Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN KASUS

CEDERA KEPALA
Oleh : dr. Anita Dwi Jaynti
Dokter Pembimbing : dr. Sudiyatmo, Sp. B
Dokter Pendamping : dr. Fadhli m Kurnia, Sp. P
dr. Ranti Adriani, Sp. A
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS
Nama : Ny. Y
Umur : 48 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Palapa
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
MRS : 11 April 2019, pukul 09.10 WIB
No.RM : 068176

II. ANAMNESIS (11 April 2019)


Keluhan utama : Nyeri dan bengkak dikelopak mata bagian atas
sebelah kiri
Riwayat Penyakit Sekarang:
• Pasien datang ke IGD RSUD Padang Pariaman diantar oleh suami
karena kecelakaan lalu lintas akibat menghindari mobil yang melaju
kencang sekitar 20 menit sebelum masuk rumah sakit. Kepala jatuh
mengenai aspal dengan posisi terjatuh posisi telungkup.
• Pasien mengeluhkan nyeri dan bengkak pada kelopak mata bagian
atas sebelah kiri. Pasien juga mengeluhkan nyeri dan bengkak pada
dahi sebelah kanan.
• Nyeri kepala (+), mual (+), muntah disangkal, riwayat pingsan (+)
sekitar 5-10 menit lalu pasien sadar kembali, kejang sebelumnya
disangkal.
• Pasien juga mengeluhkan nyeri dan luka lecet di sekitar tangan dan
bibir.
• Pandangan kabur disangkal. Penurunan pendengaran disangkal.
Kelemahan angota gerak disangkal. Kesulitan bernapas disangkal.
Keluar perdarahan dari telinga dan mulut disangkal namun pasien
mengatakan ada keluar darah dari hidung namun saat ini tidak ada
mengeluhkan perdarahan dari hidung.
Riwayat penyakit dahulu
• Riwayat kejang disangkal
• Riwayat alergi obat disangkal
• Riwayat hipertensi disangkal
• Riwayat asma disangkal
• Riwayat sakit jantung disangkal
• Riwayat diabetes mellitus disangkal
• Riwayat suka minuman alkohol disangkal
Riwayat penyakit dalam keluarga
• Riwayat asma disangkal
• Riwayat hipertensi disangkal
• Riwayat stroke disangkal
• Riwayat keluarga sakit yang sama dengan pasien disangkal
III. PEMERIKSAAN FISIK (11 April 2019)
• Keadaan umum : sedang
• Kesadaran : Compos mentis GCS 15 = E4M6V 5
• Tekanan darah : 130/80 mmHg
• Nadi : 94x/menit
• Frekuensi pernapasan : 20 x/menit
• Suhu : 370C
• VAS :4
• SaO2 :98
Keadaan spesifik
1. Kepala
• Normosefali, simetris, ekspresi tampak sakit sedang, warna rambut
hitam
2. Mata
• Edema palpebra (-/-), konjungtiva palpebral pucat (-/-), sklera ikterik
(-/-), pupil bulat isokor, refleks cahaya (+/+), diameter 3mm/3mm.
3. Hidung
• Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), cavum nasi
lapang, tidak keluar cairan, epistaksis (-).
4. Mulut
• Bibir kering (-), Sariawan (-), gusi berdarah (-), lidah pucat (-),
lidah kotor (-), atrofi papil (-), pembesaran tonsil (-).
5. Telinga
• Tampak luar tidak ada kelainan, kedua meatus acusticus
externus lapang, tidak ada keluar cairan.
6. Leher
• JVP R-2 cmH2O, struma (-), pembesaran KGB (-).
7. Thoraks
Paru
• Inspeksi:statis: simetris, tidak ada dada yang tertinggal.
dinamis: kiri sama dengan kanan, tidak ada dada yang tertinggal. Tidak
ada otot bantu pernapasan tambahan, retraksi dinding dada (-)
• Palpasi: nyeri tekan (-), stem fremitus normal pada kedua
paru.
• Perkusi: sonor pada kedua lapangan paru, batas paru-hepar
pada ICS VI dengan peranjakan 1 jari, batas paru-lambung ICS VII.
• Auskultasi: vesikuler (+) di kedua paru, Rhonki (-/-), Wheezing
(-/-)
Jantung
• Inspeksi: ictus cordis tidak terlihat.
• Palpasi: ictus cordis tidak teraba.
• Perkusi: batas atas ICS II, batas kanan ICS IV linea sternalis
dextra, batas kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
• Auskultasi: HR 94 x/menit, reguler, tidak ada pulsus defisit,
HR=PR, murmur (-), gallop (-)
8. Abdomen
• Inspeksi: datar, venektasi (-), massa (-)
• Palpasi : soepel, hepar dan lien tidak teraba, ballotement
(-)
• Perkusi : timpani (+), shifting dullness (-), nyeri ketok CVA
(-).
• Auskultasi : peristaltik (+) normal 3 kali/menit

9. Genitalia: tidak diperiksa


10. Ekstremitas: palmar eritem (-/-), edema pretibial (-/-),
akral hangat (+/+), CRT < 2 detik (+/+)
Primary Survey :
A : Clear
B : Patent, RR : 20x/menit
C : nadi : 94x/menit, reguler TD : 130/80 mmhg
D : GCS 15, E4M6V5, defisit neurologis tidak ada
E : - Hematoma er palpebra superior, ukuran 4cmx3cmx2cm
- Hematoma er frontalis dextra, ukuran 2cmx1cmx1cm
- Vulnus ekskoriasi er frontalis sinistra, diameter 2cmx2cm
- Vulnus ekskoriasi er nasolabialis, diameter 3cmx1cm
- Multiple vulnus ekoriasi er manus dan frontalis
- ROM baik
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium (11 April 2019)
Pemeriksaan Hasil Rujukan
Hemoglobin 15,5 g/dl 13 – 17 g/dl
Eritrosit 5,2 jt/mm3 4,5-5,5 jt/mm3
Leukosit 10.470 /mm3 5000-10.000 /mm3
Hematokrit 46 % 40-48%
Trombosit 254.000 150.000-450.000
GDS 146 <200 mg/dl
Rontgen Schedel posisi AP/Lateral (11 April 2019)

Tulang tengkorak tampak intact, densitas baik.

Kesan: Normal
V. DIAGNOSIS
• CKR GCS 15 + Hematoma er palpebra superior sinistra +
Hematoma er frontalis + multiple vulnus ekskoriasi

VI. DIAGNOSIS BANDING


1. Epidural Hematoma
2. Fraktur Basis Kranii
VII. TATALAKSANA
Non farmakologis
• Tirah Baring Semifoler
• Total Bedrest
• Edukasi
• O2 2-4L/m nasal kanul
• Wound toilet
Farmakologis
• IVFD NaCl 0, 9% 28 gtt/menit
• Ceftriaxone 2x1 gr (iv), skin test
• Vitamin K 3x1 (iv)
• Transamin 3x1 (iv)
• Vitamin C 3x1 (iv)
• Paracetamol 3x500mg PO
VIII. RENCANA PEMERIKSAAN
1. Head CT Scan

IX. PROGNOSIS
Quo Ad vitam: dubia ad bonam
Quo Ad functionam: dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
CEDERA KEPALA
DEFINISI
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik
yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala
yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang
tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan
otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis
(Sjahrir, 2012).
Cedera kepala menurut penelitian di scottish hospital :
• Adanya riwayat benturan pada kepala
• Laserasi kulit kepala atau dahi
• Penurunan kesadaran meskipun singkat
EPIDEMIOLOGI
Penyebab cedera kepala di Indonesia mayoritas karena
kecelakaan lalu lintas yang dapat dilaporkan
kecenderungannya dari tahun 2007 dengan 2013 hanya
untuk transportasi darat, tampak ada kenaikan cukup
tinggi yaitu dari 25,9 persen menjadi 47,7 persen
(RISKESDAS, 2013).
Insidensi cedera kepala di seluruh dunia cenderung untuk
terus meningkat. Kejadian ini berhubungan dengan
meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor yang
terlihat jelas pada negara-negara yang berpendapatan
rendah dan menengah (Roozenbeek, Maas, dan Menon,
2013).
• Secara kesuluruhan angka kematian pada pasien-pasien
cedera kepala ringan adalah sekitar 0,1% dan paling sering
disebabkan oleh perdarahan intrakranial yang tidak
terdiagnosa. Walaupun banyak pasien cedera kepala ringan
yang dapat kembali bekerja, namun sekitar 50% dari pasien ini
memiliki disabilitas sedang sampai berat bila diukur dengan
Glasgow Outcome Scale (GOS) atau Disability Outcome Scale
(DOS). Hal ini menunjukkan bahwa cedera kepala ringan pun
memiliki morbiditas yang signifikan (Moppett, 2007).
ETIOLOGI
Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer
yaitu cedera yang terjadi akibat benturan langsung
maupun tidak langsung, dan cedera sekunder yaitu cedera
yang terjadi akibat cedera saraf melalui akson meluas,
hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea / hipotensi
sistemik. Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi
akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap
lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan,
edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,
peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi
FAKTOR RESIKO
Faktor-faktor yang berhubungan dengan penurunan angka
survival meliputi nilai GCS rendah, usia lanjut, dijumpainya
hematom intrakranial dan keadaan sistemik lain yang
memperberat keadaan cedera kepala.
1. Faktor usia
Pada usia diatas 60 tahun yang mengalami cedera kepala
memiliki risiko terjadinya kelainan pada otak lebih besar
dibandingkan usia muda.
Hal ini karena pada usia tua berisiko terjadi lesi fokal
karena atrofi otak dan mudah robeknya bridging vein pada
usia tua
2. Hipotensi
Hipotensi, yang bisa muncul kapan saja akibat trauma, telah dijadikan
prediktor utama terhadap outcome pada pasien cedera kepala.
Riwayat penderita dengan kondisi hipotensi berhubungan dengan
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pasien cedera kepala.
Terdapatnya cedera sistemik ganda terutama yang berhubungan
dengan hipoksia sistemik dan hipotensi (tekanan sistolik < 90 mmHg),
memperburuk prognosis penyembuhan.
3. Hipoksia
4.Skor Glasgow Coma Scale
Derajat kesadaran tampaknya mempunyai pengaruh yang kuat
terhadap kesempatan hidup dan penyembuhan. GCS juga merupakan
faktor prediksi yang kuat dalam menentukan prognosis, suatu skor
GCS yang rendah pada awal cedera berhubungan dengan prognosis
yang buruk
5.Gambaran Awal CT Scan Kepala
Indikasi untuk melakukan CT scan adalah jika pasien mengeluh sakit
kepala akut yang diikuti dengan kelainan neurologis seperti mual,
muntah atau dengan GCS <14.
6.Patah Tulang Kepala
Patah tulang kepala merupakan faktor klinis yang sering
dikaitkan dengan terjadinya lesi otak paska terjadinya trauma.
Patah tulang menggambarkan besarnya trauma yang terjadi
pada kepala.
Patah tulang kepala adalah faktor resiko yang bermakna
terhadap terjadinya abnormalitas CT Scan kepala dengan besar
resiko mencapai 80 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok yang normal. Sebagian besar peneliti setuju bahwa
patah tulang kepala memiliki hubungan yang bermakna
terhadap terjadinya kelainan pada CT Scan kepala
7.Waktu Kejadian Trauma Sampai Penanganan di Rumah Sakit
Waktu 6 jam setelah kedatangan merupakan masa untuk
melakukan tindakan awal di rumah sakit. Pada waktu ini, proses
kerusakan jaringan otak dan iskemik otak karena cedera primer
maupun terdapatnya cedera tambahan yang menimbulkan
kegagalan kompensasi dapat terjadi, sehingga kematian paling
banyak terjadi dalam periode ini.
KLASIFIKASI
Berdasarkan Advanced Traumatic Life Support (ATLS, 2014)
cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek.
Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu
berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.
klasifikasi berdasarkan mekanismenya, cedera kepala
dibagi menjadi:
1. Cedera kepala tumpul, biasanya disebabkan oleh
kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh ataupun terkena
pukulan benda tumpul.
2. Cedera kepala tembus, biasanya disebabkan oleh luka
tusukan, atau luka tembak.
Berdasarkan morfologi :
1.Fraktur Kranium
2.Perdarahan Epidural
3.Perdarahan Subdural
4.Contusio dan Perdarahan Intraserebri
5.Commosio cerebri
6.Fraktur Basis Kranii
1. Fraktur Kranium
• Fraktur kranium diklasifikasikan berdasarkan lokasi
anatomisnya, dibedakan menjadi fraktur calvaria dan fraktur
basis cranii.
• Berdasarkan keadaan lukanya, dibedakan menjadi fraktur
terbuka yaitu fraktur dengan luka tampak telah menembus
duramater, dan fraktur tertutup yaitu fraktur dengan fragmen
tengkorak yang masih intak
2. Perdarahan Epidural
• Hematom epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga
tengkorak dan gambarannya berbentuk bikonveks atau
menyerupai lensa cembung. Biasanya terletak di area temporal
atau temporo parietal yang disebabkan oleh robeknya arteri
meningea media akibat fraktur tulang tengkorak
(Sjamsuhidajat, 2010).
3. Perdarahan Subdural
• Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan
epidural. Robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks
cerebri merupakan penyebab dari perdarahan subdural.
Perdarahan ini biasanya menutupi seluruh permukaan
hemisfer otak, dan kerusakan otak lebih berat dan
prognosisnya jauh lebih buruk bila dibandingkan dengan
perdarahan epidural (Sjamsuhidajat, 2010).
4. Contusio dan perdarahan intraserebral
Contusio atau luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan
subkutan dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah
meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak
dan berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi
apabila otak menekan tengkorak. Contusio cerebri sering terjadi di
lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada
setiap bagian dari otak. Contusio cerebri dapat terjadi dalam waktu
beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intraserebral
yang membutuhkan tindakan operasi
5. Commotio cerebri
Commusio cerebri atau gegar otak merupakan keadaan pingsan
yang berlangsung kurang dari 10 menit setelah trauma kepala, yang
tidak disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin akan
mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah dan pucat
6. Fraktur basis cranii
• Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan
fraktur pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan
kesadaran yang menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang
dapat berlangsung beberapa hari. Dapat tampak amnesia retrogade dan
amnesia pascatraumatik. Gejala tergantung letak frakturnya:
1) Fraktur fossa anterior
• Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata
dikelilingi lingkaran “biru” (Brill Hematom atau Racoon’s Eyes), rusaknya
Nervus Olfactorius sehingga terjadi hyposmia sampai anosmia.
2) Fraktur fossa media
• Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga /othorhea. Fraktur
memecahkan arteri carotis interna yang berjalan di dalam sinus cavernous
sehingga terjadi hubungan antara darah arteri dan darah vena (A-V shunt).
3) Fraktur fossa posterior
• Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid/battles sign’s. Getaran fraktur
dapat melintas foramen magnum dan merusak medula oblongata sehingga
penderita dapat mati seketika (Ngoerah, 1991).
Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan
nilai GCS yaitu:
1. Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS > 13, tidak terdapat
kelainan berdasarkan CT scan otak, tidak memerlukan tindakan
operasi, lama dirawat di rumah sakit < 48 jam.
2. Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan
kelainan pada CT scan otak, memerlukan tindakan operasi untuk
lesi intrakranial, dirawat di rumah sakit setidaknya 48 jam.
3. Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu > 48 jam setelah
trauma, score GCS < 9 (George, 2009).
PATOGENESIS
• Mekanisme cedera kepala dapat berlangsung peristiwa coup dan
contrecoup. Lesi coup merupakan lesi yang diakibatkan adanya
benturan pada tulang tengkorak dan daerah disekitarnya. Lesi
contrecoup merupakan lesi di daerah yang letaknya berlawanan
dengan lokasi benturan. Akselerasi - deselerasi terjadi akibat kepala
bergerak dan berhenti mendadak dan kasar saat terjadi trauma.
Perbedaan densitas antara tulang tengkorak dan otak menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur
permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari
benturan (PERDOSSI, 2007).
PENEGAKAN DIAGNOSIS
1.Manifestasi Klinis Cedera Kepala
Menurut Reisner (2009), gejala klinis cedera kepala yang dapat
membantu mendiagnosis adalah battle sign (warna biru atau
ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid), hemotipanum
(perdarahan di daerah membran timpani telinga), periorbital
ekhimosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung), rhinorrhoe
(cairan serebrospinal keluar dari hidung), otorrhoe (cairan
serebrospinal keluar dari telinga).
Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala ringan
adalah pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama
beberapa saat kemudian sembuh, sakit kepala yang menetap atau
berkepanjangan, mual dan atau muntah, gangguan tidur dan
nafsu makan yang menurun, perubahan kepribadian diri, letargik.
Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala berat
adalah perubahan ukuran pupil (anisocoria), trias Cushing (denyut
jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan) apabila
meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau
posisi abnormal ekstremitas.
2.Pemeriksaan Fisik Cedera Kepala
• Komponen utama pemeriksaan neurologis pada pasien cedera kepala
sebagai berikut:
1. Bukti eksternal trauma: laserasi dan memar.
2. Tanda fraktur basis cranii: hematom periorbital bilateral,
hematom pada mastoid (tanda Battle), hematom subkonjungtiva (darah
di bawah konjungtiva tanpa adanya batas posterior, yang menunjukkan
darah dari orbita yang mengalir ke depan), keluarnya cairan
serebrospinal dari hidung atau telinga (cairan jernih tidak berwarna,
positif mengandung glukosa), perdarahan dari telinga.
3. Tingkat kesadaran (GCS)
4. Pemeriksaan neurologis menyeluruh, terutama reflek pupil,
untuk melihat tanda–tanda ancaman herniasi tentorial
3. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiografi kranium: untuk mencari adanya fraktur, jika
pasien mengalami gangguan kesadaran sementara atau persisten
setelah cedera, adanya tanda fisik eksternal yang menunjukkan fraktur
pada basis cranii fraktur fasialis, atau tanda neurologis fokal lainnya.
Fraktur kranium pada regio temporoparietal pada pasien yang tidak
sadar menunjukkan kemungkinan hematom ekstradural, yang
disebabkan oleh robekan arteri meningea media (Ginsberg, 2007).
2. CT scan kranial: segera dilakukan jika terjadi penurunan
tingkat kesadaran atau jika terdapat fraktur kranium yang disertai
kebingungan, kejang, atau tanda neurologis fokal (Ginsberg, 2007). CT
scan dapat digunakan untuk melihat letak lesi, dan kemungkinan
komplikasi jangka pendek seperti hematom epidural dan hematom
subdural (Pierce & Neil, 2014).
• Secara umum, pasien dengan cedera kepala harusnya dirawat
di rumah sakit untuk observasi. Pasien harus dirawat jika
terdapat penurunan tingkat kesadaran, fraktur kranium dan
tanda neurologis fokal. Cedera kepala ringan dapat ditangani
hanya dengan observasi neurologis dan membersihkan atau
menjahit luka / laserasi kulit kepala. Untuk cedera kepala
berat, tatalaksana spesialis bedah saraf sangat diperlukan
setelah resusitasi dilakukan.
Aspek spesifik terapi cedera kepala dibagi menjadi dua kategori:
1. Bedah
a. Intrakranial: evakuasi bedah saraf segera pada hematom yang
mendesak ruang.
b. Ekstrakranial: inspeksi untuk komponen fraktur kranium yang
menekan pada laserasi kulit kepala. Jika ada, maka hal ini
membutuhkan terapi bedah segera dengan debridement luka dan
menaikkan fragmen tulang untuk mencegah infeksi lanjut pada
meningen dan otak.
2. Medikamentosa
a. Bolus manitol (20%, 100 ml) intravena jika terjadi peningkatan
tekanan intrakranial. Hal ini dibutuhkan pada tindakan darurat sebelum
evakuasi hematom intrakranial pada pasien dengan penurunan
kesadaran.
b. Antibiotik profilaksis untuk fraktur basis cranii.
c. Antikonvulsan untuk kejang.
d. Sedatif dan obat-obat narkotik dikontraindikasikan, karena dapat
memperburuk penurunan kesadaran (Ginsberg, 2007).
KOMPLIKASI
Komplikasi utama trauma kepala adalah perdarahan, infeksi, edema dan
herniasi melalui tontronium.
1. Gejala sisa cedera kepala berat: beberapa pasien dengan cedera kepala
berat dapat mengalami ketidakmampuan baik secara fisik (disfasia,
hemiparesis, palsi saraf cranial) maupun mental (gangguan kognitif, perubahan
kepribadian). Sejumlah kecil pasien akan tetap dalam status vegetatif.
2. Kebocoran cairan serebrospinal: bila hubungan antara rongga subarachnoid
dan telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis cranii hanya kecil
dan tertutup jaringan otak maka hal ini tidak akan terjadi. Eksplorasi bedah
diperlukan bila terjadi kebocoran cairan serebrospinal persisten.
3. Epilepsi pascatrauma: terutama terjadi pada pasien yang mengalami kejang
awal (pada minggu pertama setelah cedera), amnesia pascatrauma yang lama,
fraktur depresi kranium dan hematom intrakranial.
4. Hematom subdural kronik.
5. Sindrom pasca concusio : nyeri kepala, vertigo dan gangguan konsentrasi
dapat menetap bahkan setelah cedera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi
akibat cedera vestibular (konkusi labirintin) (Adams, 2000).
DISKUSI KASUS
Teori Kasus
Definisi - Pasien datang ke IGD RSUD
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera Padang Pariaman diantar oleh
mekanik yang secara langsung atau tidak suami karena kecelakaan lalu
langsung mengenai kepala yang lintas akibat menghindari
mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur mobil yang melaju kencang
tulang tengkorak, robekan selaput otak dan sekitar 20 menit sebelum
kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta masuk rumah sakit. Kepala
mengakibatkan gangguan neurologis (Sjahrir, jatuh mengenai aspal dengan
2012). posisi terjatuh posisi
telungkup.
- Pasien mengeluhkan nyeri
dan bengkak pada kelopak
mata bagian atas sebelah kiri.
Pasien juga mengeluhkan
nyeri dan bengkak pada dahi
sebelah kanan.
Epidemiologi Pada pasien ini dijumpai pasien jatuh
Insidensi cedera kepala di seluruh dunia dari motor akibat menghindari mobil
cenderung untuk terus meningkat. Kejadian ini yang melaju kencang
berhubungan dengan meningkatnya
penggunaan kendaraan bermotor yang terlihat
jelas pada negara-negara yang berpendapatan
rendah dan menengah (Roozenbeek, Maas, dan
Menon, 2013).
Etiologi Pada pasien ini ditemukan
Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua disebabkan oleh faktor primer yaitu
faktor, yaitu : 1. Trauma Primer, terjadi akibat akibat trauma kepala secara langsung
trauma pada kepala secara langsung maupun akibat kepala bergerak mengenai
tidak langsung (akselerasi dan deselerasi). 2. benda yang diam/ deselerasi
Trauma Sekunder, terjadi akibat trauma saraf
(melalui akson) yang meluas, hipertensi
intracranial, hipoksia, hiperkapnea, atau
hipotensi sistemik (Sibuea, 2009).
Faktor resiko Pada pasien ini tidak mempunyai
Faktor resiko yang mempengaruhi penanganan faktor resiko
pasien :
1.Usia >>60tahun beriko terjadi lesi fokal
karena atropi otak dan mudah bridging vein
pada usia tua
2.Hipotensi berhubungan dengan outcome
pasien cedera kepala
3.Hipoksia
4.GCS menjadi tolak ukur klinis menilai
beratnya cedera kepala
Klasifikasi Pada pasien ini secara mekanisme
Berdasarkan Advenced Trauma Life Support digolongkan cedera kepala tumpul
(ATLS) tahun 2004, klasifikasi berdasarkan karena disebabkan oleh kecelakaan
mekanismenya, cedera kepala dibagi menjadi: kendaraan bermotor, secara
1. Cedera kepala tumpul, biasanya disebabkan morfologi dicurigai perdarahan
oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh epidural karena lucid interval<24jam
ataupun terkena pukulan benda tumpul. dan fraktur basis kranii karena pasien
2. Cedera kepala tembus, biasanya disebabkan mengatakan ada riwayat epistaksis,
oleh luka tusukan, atau luka tembak. secara berat ringannya cedera kepa
Berdasarkan morfologi : digolongkan cedera kepala ringan
1.Fraktur Kranium karena GCS 15 dan tidak ditemukan
2.Perdarahan Epidural defisit neurologis
3.Perdarahan Subdural
4.Contusio dan Perdarahan Intraserebri
5.Commosio cerebri
6.Fraktur Basis Kranii
Penilaian derajat keparahan dinilai dengan
GCS yaitu skala kuantitatif tingkat kesadaran
seseorang dan kelainan neurologis yang terjadi.
1.CKR dengan GCS >13, tidak ada kelainan
otak dengan head CT SCAN, lama perawatan
<48jam
2.CKS dengan GCS >8 <13, ditemukan
kelainan otak, lama perawatan minimal 48 jam
3.CKB bila dalam waktu >48 jam setelah
Patogenesis Pada pasien ini ditemukan akibat
Mekanisme cedera kepala dapat berlangsung kepala bergerak mengenai benda
peristiwa coup dan contrecoup. Lesi coup yang diam/ deselerasi
merupakan lesi yang diakibatkan adanya
benturan pada tulang tengkorak dan daerah
disekitarnya. Lesi contrecoup merupakan lesi
di daerah yang letaknya berlawanan dengan
lokasi benturan. Akselerasi - deselerasi terjadi
akibat kepala bergerak dan berhenti mendadak
dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan
densitas antara tulang tengkorak dan otak
menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat
dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur
permukaan dalam tengkorak pada tempat yang
berlawanan dari benturan (PERDOSSI, 2007).
Penegakan Diagnosis Pasien mengeluhkan ada perdarahan
1.Manifestasi Klinis Cedera Kepala dari hidung namun saat pemeriksaan
Menurut Reisner (2009), gejala klinis cedera fisik dihidung cavum nasal lapang
kepala yang dapat membantu mendiagnosis dan dijumpai vulnus ekskoriasi di
adalah battle sign (warna biru atau ekhimosis nasolabialis yang berkemungkinan
dibelakang telinga di atas os mastoid), perdarahan dari hidung bersumber
hemotipanum (perdarahan di daerah membran dari vulnus ekskoriasi nasolabialis.
timpani telinga), periorbital ekhimosis (mata Pasien juga mengeluhkan terdapat
warna hitam tanpa trauma langsung), nyeri kepala dan mual yang
rhinorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari merupakan salah satu manifestasi
hidung), otorrhoe (cairan serebrospinal keluar klinis dari cedera kepala ringan.
dari telinga).
Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang
cedera kepala ringan adalah pasien tertidur
atau kesadaran yang menurun selama beberapa
saat kemudian sembuh, sakit kepala yang
menetap atau berkepanjangan, mual dan atau
muntah, gangguan tidur dan nafsu makan yang
menurun, perubahan kepribadian diri, letargik.
Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang
cedera kepala berat adalah perubahan ukuran
pupil (anisocoria), trias Cushing (denyut
jantung menurun, hipertensi, depresi
pernafasan) apabila meningkatnya tekanan
intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi
abnormal ekstremitas (Reisner, 2009).
2.Pemeriksaan Fisik Cedera Kepala Pada pemeriksaan fisik pasien
Komponen utama pemeriksaan neurologis ditemukan hematom diregio palpebra
pada pasien cedera kepala sebagai berikut: superior sinistra dan frontalis, vulnes
1. Bukti eksternal trauma: laserasi dan ekskoriasi diregio frontalis dan
memar. nasolabialis
2. Tanda fraktur basis cranii: hematom
periorbital bilateral, hematom
pada mastoid (tanda Battle), hematom
subkonjungtiva (darah di bawah konjungtiva
tanpa adanya batas posterior, yang
menunjukkan darah dari orbita yang mengalir
ke depan), keluarnya cairan serebrospinal dari
hidung atau telinga (cairan jernih tidak
berwarna, positif mengandung glukosa),
perdarahan dari telinga.
3. Tingkat kesadaran (GCS)
4. Pemeriksaan neurologis
menyeluruh, terutama reflek pupil, untuk
melihat tanda–tanda ancaman herniasi tentorial
(Ginsberg, 2007).
3. Pemeriksaan Penunjang Pada pasien ini dilakukan rontgen
1. Radiografi kranium: untuk schedel dan tidak dilakukan
mencari adanya fraktur, jika pasien pemeriksaan head ct scan karena
mengalami gangguan kesadaran sementara fasilitas kurang memadai
atau persisten setelah cedera, adanya tanda
fisik eksternal yang menunjukkan fraktur pada
basis cranii fraktur fasialis, atau tanda
neurologis fokal lainnya. Fraktur kranium pada
regio temporoparietal pada pasien yang tidak
sadar menunjukkan kemungkinan hematom
ekstradural, yang disebabkan oleh robekan
arteri meningea media (Ginsberg, 2007).
1. CT scan kranial: segera dilakukan jika
terjadi penurunan tingkat kesadaran atau jika
terdapat fraktur kranium yang disertai
kebingungan, kejang, atau tanda neurologis
fokal (Ginsberg, 2007). CT scan dapat
digunakan untuk melihat letak lesi, dan
kemungkinan komplikasi jangka pendek
seperti hematom epidural dan hematom
subdural (Pierce & Neil, 2014).
4.Diagnosis Cedera Kepala Pada saat pasien awal masuk RS
Diagnosis cedera kepala didapatkan dengan pasien dalam keadaan sadar dan
anamnesis yang rinci untuk mengetahui tidak ditemukan defisit neurologis
adanya riwayat cedera kepala serta mekanisme sehingga pasien digolongkan cidera
cedera kepala, gejala klinis dan pemeriksaan kepala ringan
penunjang. Pada anamnesis informasi penting
yang harus ditanyakan adalah mekanismenya.
Pemeriksaan fisik meliputi tanda vital dan
sistem organ (Iskandar, 2002). Penilaian GCS
awal saat penderita datang ke rumah sakit
sangat penting untuk menilai derajat
kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan
neurologis, selain pemeriksaan GCS, perlu
dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan
fungsi batang otak, saraf kranial, fungsi
motorik, fungsi sensorik, dan reflek
(Sjamsuhidayat, 2010).
Penatalaksanaan Pada pasien ini awalnya diobservasi
Secara umum, pasien dengan cedera kepala dilakukan pembersihan luka dan
harusnya dirawat di rumah sakit untuk pemasangan nasal kanul. Pasien
observasi. Pasien harus dirawat jika terdapat dianjurkan rawat inap karena pasien
penurunan tingkat kesadaran, fraktur kranium mengatakan ada riwayat rhinorea
dan tanda neurologis fokal. Cedera kepala yang merupakan salah satu gejala
ringan dapat ditangani hanya dengan observasi fraktur basis kranii di fossa anterior,
neurologis dan membersihkan atau menjahit hematoma berukuran
luka / laserasi kulit kepala. Untuk cedera 4cmx3cmx2cm, dan riwayat
kepala berat, tatalaksana spesialis bedah saraf penurunan kesadaran sebelum masuk
sangat diperlukan setelah resusitasi dilakukan. rumah sakit yang dicurigai adanya
Aspek spesifik terapi cedera kepala dibagi epidural hematoma.
menjadi dua kategori: Non farmakologis
1. Bedah • Tirah Baring Semifoler
a. Intrakranial: evakuasi bedah saraf segera • Total Bedrest
pada hematom yang mendesak ruang. • Edukasi
b. Ekstrakranial: inspeksi untuk komponen • O2 2-4L/m nasal kanul
fraktur kranium yang menekan pada laserasi • Wound toilet
kulit kepala. Jika ada, maka hal ini Farmakologis
membutuhkan terapi bedah segera dengan • IVFD NaCl 0, 9% 28 gtt/menit
debridement luka dan menaikkan fragmen • Ceftriaxone 2x1 gr (iv), skin test
tulang untuk mencegah infeksi lanjut pada • Vitamin K 3x1 (iv)
meningen dan otak. • Transamin 3x1 (iv)
2. Medikamentosa • Vitamin C 3x1 (iv)
a. Bolus manitol (20%, 100 ml) intravena jika • Paracetamol 3x500mg PO
terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Hal
ini dibutuhkan pada tindakan darurat sebelum
evakuasi hematom intrakranial pada pasien
dengan penurunan kesadaran.
b. Antibiotik profilaksis untuk fraktur basis
cranii.
c. Antikonvulsan untuk kejang.
d. Sedatif dan obat-obat narkotik
dikontraindikasikan, karena dapat
memperburuk penurunan kesadaran (Ginsberg,
2007).
TERIMA
KASIH

Anda mungkin juga menyukai