Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS | NEONATORUM HIPERBILIRUBINEMIA 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering


ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali dirawat
dalam minggu pertama kehidupan disebabkan oleh keadaan ini. Bayi dengan
hiperbilirubinemia tampak kuning akibat akumulasi pigmen bilirubin yang berwarna
kuning pada sklera dan kulit. Pada janin, tugas mengeluarkan bilirubin dari darah
dilakukan oleh plasenta, dan bukan oleh hati. Setelah bayi lahir, tugas ini langsung
diambil alih oleh hati, yang memerlukan sampai beberapa minggu untuk penyesuaian.
Selama selang waktu tersebut, hati bekerja keras untuk mengeluarkan bilirubin dari darah.
Walaupun demikian, jumlah bilirubin yang tersisa masih menumpuk di dalam tubuh. Oleh
karena bilirubin berwarna kuning, maka jumlah bilirubin yang berlebihan dapat memberi
warna pada kulit, sklera, dan jaringan-jaringan tubuh lainnya.
Pada setiap bayi yang mengalami ikterus harus dibedakan apakah ikterus yang
terjadi merupakan keadaan yang fisiologik atau non-fisiologik. Selain itu, perlu dimonitor
apakah keadaan tersebut mempunyai kecenderungan untuk berkembang menjadi
hiperbilirubinemia berat yang memerlukan penanganan optimal.
Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada sebagian
besar neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya.
Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan
80% bayi kurang bulan. Di RSU Dr. Soetomo Surabaya angka kejadian ikterus patologis
9,8% pada tahun 2002 dan 15,66% pada tahun 2003.
RSAB Harapan Kita Jakarta melakukan transfusi tukar 14 kali/bulan pada tahun
2002. Di Hospital Bersalin Kuala Lumpur dengan ‘tripple phototherapy’ tidak ada lagi
kasus yang memerlukan tindakan transfusi tukar (tahun 2004), demikian pula di Vrije
Universitiet Medisch Centrum Amsterdam dengan ’double phototherapy’ (tahun 2003).
LAPORAN KASUS | NEONATORUM HIPERBILIRUBINEMIA 2

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Bayi Ny.L

Umur : 7 hari

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan :-

Alamat : Teluk Belibi

Suku : Minang

Tanggal Masuk : 10-November 2018 Pukul : 19.05 WIB

2.2 ANAMNESA

Keluhan utama : Bayi kuning

Telaah :

Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Umum Daerah Padang Pariaman dengan keluhan
bayi kuning dan demam sejak 2 hari yang lalu serta tidak mau menyusu. Bayi kuning sampai ke
wajah dan seluruh tubuh. BBL: 2800 gram, PB: 48 cm, BB saat ini: 2.500 gram, lingkar kepala:
29 cm, jenis kelamin: perempuan. BAK dan mekonium dalam batas normal.

Riwayat Persalinan :

Bayi lahir dibidan dengan persalinan spotan pervaginam. Bayi merupakan anak pertama. Bayi
lahir cukup bulan, kelainan (-), tali pusar kemerahan, plasenta komplit. Riwayat penyakit ibu saat
LAPORAN KASUS | NEONATORUM HIPERBILIRUBINEMIA 3

hamil (-), riwayat konsumsi obat-obatan selama hamil (-). Penyulit selama persalinan(-), ketuban
pecah dini (-), warna ketuban jernih, mekonium (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak Ada

Riwayat Pemakaian obat :

Tidak Ada

KEADAAN UMUM

STATUS PRESENT KEADAAN PENYAKIT


KU : Tampak lemas Anemia :Tidak Ada
Sensorium : Letargis Edema :Tidak Ada
Temperature : 38,9℃ Ikterus : Ada
Pernafasan : 52x/menit Eritema : Tidak ada
Nadi : 142 x/menit Sianosis : Tidak ada
Berat Badan saat ini : 2500 gram Turgor : Normal
Panjang Badan : 48 cm Dispneu :Tidak ada

KEADAAN GIZI

Berat Badan Lahir : 2800 gram


Panjang Badan : 48 cm
Status gizi: Berat Badan Lahir cukup

Refleks Fisiologis:

Refleks moro : (+)

Refleks menggenggam : (+)


LAPORAN KASUS | NEONATORUM HIPERBILIRUBINEMIA 4

Refleks hisap : (kurang)

2.3 PEMERIKSAAN FISIK

KEPALA LEHER
Inspeksi Inspeksi
Normocephali, ubun-ubun besar masih KGB : Tidak ada pembesaran
terbuka, tidak ada penonjolan Posisi trakea : Midline
Rambut :Hitam, Distribusi merata,
tidak mudah dicabut
Wajah : kuning
Bulu mata : Tidak ada kelainan
Mata : Anemis (-/-), ikterik (+/+)
Hidung : Nafas cuping hidung (-),
sekret(-), deviasi septum(-)
Bibir : Sianosis (-),
labiopalatognatoschizis (-)
Lidah : Tidak ada kelainan

THORAX
THORAX DEPAN THORAX BELAKANG
Inspeksi Inspeksi
Paru Paru
- Bentuk : Simetris, retraksi - Bentuk : Simetris
dada(-)
- Otot bantu nafas : Tidak ada Perkusi
Paru : tidak dilakukan pemeriksaan
Palpasi
Paru: Tidak dilakukan pemeriksaan
Jantung : ictus cordis tidak teraba
Perkusi
LAPORAN KASUS | NEONATORUM HIPERBILIRUBINEMIA 5

Tidak dilakukan pemeriksaan


Auskultasi
Paru
- Suara pernafasan : Vesikuler
(+/+)
- Suara tambahan : Ronki (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung
- Bunyi Jantung : BJ I > BJ II
- Bunyi Jantung Tambahan : Tidak Ada

ABDOMEN GENITALIA
Inspeksi Tidak ada kelainan
Simetris(+), Distensi(-)
Palpasi Anus: Ada
Distensi(-),
- Hepar : Tidak teraba
- Lien : Tidak teraba
Perkusi :Tympani (+)
Auskultasi : Peristaltik Usus (+) normal

EKSTREMITAS
Ekstremitas Atas Ekstremitas Bawah
- Bengkak : Tidak ada - Bengkak :Tidak ada
- Merah : Tidak ada - Merah : Tidak ada
- Pucat : Tidak ada - Pucat :Tidak ada
- Kuning : ada - Kuning : Ada
LAPORAN KASUS | NEONATORUM HIPERBILIRUBINEMIA 6

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

PEMERIKSAAN LABORATORIUM (Tgl: 16 November 2018)


Jenis Pemeriksaan Hasil/Satuan
Hemoglobin 12.4
Hematokrit 35%
Eritrosit 3,4/Ul x1000000
Leukosit 15.700/Ul x1000
Thrombosit 426.000/Ul x1000
Bilirubin Total 33 gr/dl

2.5 DIAGNOSA SEMENTARA

Neonatus Hiperbilirubinemia + Sepsis

2.7 PENATALAKSAAN

Non Farmakologis :

- Fototherapy intensive
- Pasang OGT

Farmakologis :

- ASI 8x45 cc/sonde


- IVFD NS 20 gtt/i (mikro)
- Paracetamol drops 4 x 0,3 cc
- Inj. Ampicillin 2 x 140 mg
- Inj. Gentamicin 1 x 14 mg
LAPORAN KASUS | NEONATORUM HIPERBILIRUBINEMIA 7

Follow Up harian

Tanggal S O A P
11/11/ - Demam (-) - Sens: CM Neonatus Non Farmakologis :
2018 - Kuning (+) - HR: 140x/i Hiperbilirubi - Fototherapy intensive
seluruh badan - RR: 42x/i nemia + - Pasang OGT
- Daya hisap - Temp: 36,8°C sepsis Farmakologis :
lemah - ASI 12 x 35 cc/sonde
- IVFD NS 20 gtt/i
(mikro)
- Paracetamol drops 4 x
0,3 cc
- Inj. Ampicillin 2 x 140
mg
- Inj. Gentamicin 1 x 14
mg
12/10/ - Demam (-) - Sens: CM Neonatus Non Farmakologis :
2018 - Kuning - HR: 152x/i Hiperbilirubi - Fototherapy intensive
berkurang - RR: 42x/i nemia + - Pasang OGT
- Daya hisap - Temp: 37,0°C sepsis Farmakologis :
masih lemah - ASI 8x45 cc/sonde
- IVFD NS 20 gtt/i
Hasil lab : (mikro)
Hemaglobin : 15.0 - Paracetamol drops 4 x
Haematokrit : 46,0% 0,3 cc
Trombosit : 69.000 - Inj. Ampicillin 2 x 140
mg
Inj. Gentamicin 1 x 14 mg
LAPORAN KASUS | NEONATORUM HIPERBILIRUBINEMIA 8

13/11/ - Demam (-) - Sens: CM Neonatus Non Farmakologis :


2018 - Kuning masih - HR: 140x/i Hiperbilirubi - Fototherapy intensive
ada - RR: 42x/i nemia + - Pasang OGT
- Daya hisap - Temp: 36,9°C sepsis Farmakologis :
masih lemah - ASI 8x45 cc/sonde
Hasil lab: - IVFD NS 20 gtt/i
Hemaglobin: 15.0 (mikro)
Trombosit: 134.000 - Paracetamol drops 4 x
Haematokrit: 46% 0,3 cc
- Inj. Ampicillin 2 x 140
mg
Inj. Gentamicin 1 x 14 mg
14/11/20 Keluarga pasien pulang atas permintaan sendiri
18
LAPORAN KASUS | NEONATORUM HIPERBILIRUBINEMIA 9

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFINISI HIPERBILIRUBINEMIA


Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang
meningkat di dalam jaringan ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa, dan alat
tubuh lainnya berwarna kuning yangmana menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau
ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin tidak dikendalikan(Mansjoer,2008).
Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non patologis
sehingga disebut ‘Excess Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai
hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar serum bilirubin
terhadap usia neonatus >95% menurut Normogram Bhutani.
Ikterus pada bayi atau yang dikenal dengan istilah ikterus neonatarum adalah
keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera
akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih(Sukadi,2008). Pada orang
dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin >2 mg/dl(>17µmol/L) sedangkan
pada neonatus baru tampak apabila serum bilirubin >5mg/dl(86µmol/L)(Etika et al,2006).
Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis berupa pewaranaan kuning pada kulit,
sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada gambaran kadar bilirubin serum total.

3.2 KLASIFIKASI IKTERUS NEONATORUM


Terdapat 2 jenis ikterus yaitu yang fisiologis dan patologis.
1. Ikterus fisiologi
Ikterus fisiologi adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan hari ketiga serta tidak
mempunyai dasar patologi. Adapun tanda-tanda sebagai berikut :
a. Timbul pada hari kedua dan ketiga
b. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% per hari.
d. Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%.
e. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
f. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis.
LAPORAN KASUS | NEONATORUM HIPERBILIRUBINEMIA 10

2. Ikterus Patologi
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubin
mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Adapun tanda-tandanya sebagai
berikut :
a. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
b. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi 12,5%
pada neonatus kurang bulan.
c. Pengangkatan bilirubin lebih dari 5 mg% per hari.
d. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
e. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
f. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik (defisiensi G6PD) (Arief ZR,
2009. hlm. 29)

3.3 ETIOLOGI IKTERIK NEONATORUM


Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus neonatarum dapat dibagi:
a) Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis
yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi
G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b) Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk
konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau
tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase(Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab
lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake
bilirubin ke sel hepar.
c) Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan
bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
LAPORAN KASUS | NEONATORUM HIPERBILIRUBINEMIA 11

sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin


indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak
d) Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan
di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar
biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. (Hassan et al.2005)

3.4 PATOFISIOLOGI IKTERIK NEONATORUM


Patofisiologi Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar(85-90%)
terjadi dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil(10-15%) dari senyawa lain seperti
mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang
telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme
sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk
menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam
air (bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma
terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air.
Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati ,hepatosit melepas
bilirubin dari albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam
glukoronat(bilirubin terkonjugasi, direk)(Sacher,2004). Dalam bentuk glukoronida
terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem empedu untuk diekskresikan.
Saat masuk ke dalam usus ,bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen.
Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian
urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta
membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke
dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi
sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama
urin(Sacher, 2004).
Pada dewasa normal level serum bilirubin 2mg/dl dan pada bayi yang baru lahir
akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl(Cloherty et al, 2008). Hiperbilirubinemia
dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi kemampuan hati normal
untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan hati (karena rusak) untuk
LAPORAN KASUS | NEONATORUM HIPERBILIRUBINEMIA 12

mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya


kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan
hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika
konsentrasinya mencapai nilai tertentu(sekitar 2- 2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke
dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau
jaundice(Murray et al,2009).

3.5 MANIFESTASI KLINIS


Bayi baru lahir(neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-
kira 6mg/dl(Mansjoer at al, 2007). Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek
pada kulit mempunyai kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga.
Sedangkan ikterus obstruksi(bilirubin direk) memperlihatkan warna kuningkehijauan atau
kuning kotor. Perbedaan ini hanya dapat ditemukan pada ikterus yang berat(Nelson,
2007).
Gambaran klinis ikterus fisiologis:
a) Tampak pada hari 3,4
b) Bayi tampak sehat(normal)
c) Kadar bilirubin total
d) Menghilang paling lambat 10-14 hari
e) Tak ada faktor resiko
f)Sebab: proses fisiologis(berlangsung dalam kondisi fisiologis)(Sarwono et al, 1994)
Gambaran klinik ikterus patologis:
a) Timbul pada umur <24 jam
b) Cepat berkembang
c) Bisa disertai anemia
d) Menghilang lebih dari 2 minggu
e) Ada faktor resiko
f) Dasar: proses patologis (Sarwono et al, 1994)
LAPORAN KASUS | NEONATORUM HIPERBILIRUBINEMIA 13

3.6 DIAGNOSIS IKTERIK NEONATORUM


1. Anamnesis
a)Riwayat kehamilan dengan komplikasi(obat-obatan, ibu DM, gawat janin, malnutrisi
intrauterine, infeksi intranatal)
b)Riwayat persalinan dengan tindakan/komplikasi
c)Riwayat ikterus/terapi sinar/transfusi tukar pada bayi sebelumnya
d)Riwayat inkompatibilitas darah
e)Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa(Etika et al,
2006).
2. Pemeriksaan fisik
Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah
beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan
terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang
kurang, terutama pada neonatus yang berkulit gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi
apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar(Etika et al, 2006). Salah satu cara
memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah dan sederhana adalah
dengan penilaian menurut Kramer(1969). Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada
tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung,dada,lutut dan lain-lain.
Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Pemeriksaan dilakukan dengan
pencahayaan yang cukup. Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat tersebut
disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya(Mansjoer et al,
2007).
LAPORAN KASUS | NEONATORUM HIPERBILIRUBINEMIA 14

Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan
penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan
kemungkinan penyebab ikterus tersebut(Etika et al, 2006).
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan serum bilirubin(direk dan indirek) harus dilakukan pada neonatus
yang mengalami ikterus.
Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi bayi yang tergolong resiko
tingggi terserang hiperbilirubinemia berat. Pemeriksaan tambahan yang sering
dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus antara lain adalah golongan
darah dan ‘Coombs test’, darah lengkap dan hapusan darah, hitung retikulosit,
skrining G6PD dan bilirubin direk. Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang
setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum
albumin juga harus diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar atau transfusi
LAPORAN KASUS | NEONATORUM HIPERBILIRUBINEMIA 15

tukar(Etika et al, 2006)

3.7 PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya, pengendalian bilirubin adalah seperti berikut:
a) Stimulasi proses konjugasi bilirubin menggunakan fenobarbital. Obat ini kerjanya
lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila kadar bilirubinnya rendah dan ikterus yang
terjadi bukan disebabkan oleh proses hemolitik. Fenobarbital dapat menstimulasi hati
untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan konjugasi bilirubin dan mengeksresinya.
Obat ini sudah jarang dipakai lagi.

b) Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme bilirubin (misalnya


menambahkan glukosa pada hipoglikemi) atau (menambahkan albumin untuk
memperbaiki transportasi bilirubin). Penambahan albumin bisa dilakukan tanpa
hipoalbuminemia. Penambahan albumin juga dapat mempermudah proses ekstraksi
bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini menyebabkan kadar bilirubin plasma
meningkat, tetapi tidak berbahaya karena bilirubin tersebut ada dalam ikatan dengan
albumin. Albumin diberikan dengan dosis tidak melebihi 1g/kgBB, sebelum maupun
sesudah terapi tukar.

c) Memberi terapi sinar hingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang tidak toksik dan
mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut dalam air dan dapat dikeluarkan
melalui urin dan feses. Foto terapi diberika jika bilirubin indirek >10 mg/dl.

d) Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar(Mansjoer et al, 2007).


Pada umumya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:
1) Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek ≤20mg%
2) Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3-1mg%/jam
3) Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung

e) Menghambat produksi bilirubin. Metalloprotoporfirin merupakan kompetitor inhibitif


terhadap heme oksigenase. Ini masih dalam penelitian dan belum digunakan secara rutin.
LAPORAN KASUS | NEONATORUM HIPERBILIRUBINEMIA 16

f) Menghambat hemolisis. Immunoglobulin dosis tinggi secara intravena (500-


1000mg/Kg IV>2) sampai 2 hingga 4 jam telah digunakan untuk mengurangi level
bilirubin pada janin dengan penyakit hemolitik isoimun. Mekanismenya belum diketahui
tetapi secara teori immunoglobulin menempati sel Fc reseptor pada sel retikuloendotel
dengan demikian dapat mencegah lisisnya sel darah merah yang dilapisi oleh
antibody(Cloherty et al, 2008).

g) Menyusui bayi dengan ASI. Bilirubin juga dapat dipecah jika bayi mengeluarkan feses
dan urin. Untuk itu bayi harus mendapatkan cukup ASI. Akan tetapi, pemberian ASI juga
harus dibawah pengawasan dokterkarena beberapa kasus, ASI justru meningkatkan kadar
bilirubin bayi (Breast Milk Jaundice). Kejadian ini biasanya muncul di minggu pertama
dan kedua setelah bayi lahir dan berakhir di minggu ke-3.

h) Terapi dengan sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan. Biasanya dianjurkan
setelah bayi selesai dirawat di RS. Caranya, bayi dijemur selama setengah jam dengan
posisi berbeda-beda, misalnya seperempat jam telentang, lalu seperempat jam telungkup.
Pukul 07.00 sampai 09.00 pagi merupakan waktu ketika sinar matahari efektif
mengurangi kadar bilirubin.

Terapi sinar pada ikterus bayi baru lahir yang di rawat di rumah sakit.
Dalam perawatan bayi dengan terapi sinar,yang perlu diperhatikan sebagai
berikut:
1) Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin dengan
membuka pakaian bayi.
2) Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan
cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel reproduksi bayi.
3) Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yang terbaik
untuk mendapatkan energi yang optimal.
4) Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh bayi yang terkena
cahaya dapat menyeluruh.
LAPORAN KASUS | NEONATORUM HIPERBILIRUBINEMIA 17

5) Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam. 6) Kadar bilirubin bayi diukur
sekurang-kurangnya tiap 24 jam.
6) Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.
7) Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan hemolisis.

3.8 KOMPLIKASI
Terjadi kernikterus yaitu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada
otak. Pada kern ikterus, gejala klinis pada permulaan tidak jelas antara lain: bayi tidak
mau menghisap, letargi, mata berputar-putar, gerakan tidak menentu, kejang tonus otot
meninggi, leher kaku dan akhirnya opistotonus. Bayi yang selamat biasanya menderita
gejala sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis, gangguan pendengaran, paralysis
sebagian otot mata dan dysplasia dentalis.
LAPORAN KASUS | NEONATORUM HIPERBILIRUBINEMIA 18

BAB IV

PEMBAHASAN

Teori Kasus
Gambaran klinik neonatorum Dari hasil uraian diatas, kami menemukan
hiperbilirubinemia: beberapa gejala atau gambaran klinis dari os
Ikterus patologis: yang menjurus ke neonatorum
a) Timbul pada umur <24 jam hiperbilirubinemia.
b) Cepat berkembang
c) Bisa disertai anemia Beberapa gejala tersebut antara lain :
d) Menghilang lebih dari 2 minggu - seluruh badan kuning hingga ke wajah .
e) Ada faktor resiko
f) Dasar: proses patologis Pada pemeriksaan fisik dijumpai :
Ikterus fisiologi: Seluruh badan kuning hingga ke wajah
a) Tampak pada hari 2,3,4
b) Bayi tampak sehat(normal) Pada pemeriksaan laboratorium dijumpai
c) Kadar bilirubin total peningkatan nilai bilirubin total : 33 mg/dl.
d) Menghilang paling lambat 10-14 hari
e) Tak ada faktor resiko Kasus ini termasuk ikterik patologis karena
f)Sebab: proses fisiologis(berlangsung nilai kadar bilirubin >10 mg/dl
dalam kondisi fisiologis
Terapi yang diberikan pada kasus ini yaitu:
laboratorium ikterus patologis: Non Farmakologis :
a. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada - Fototherapy intensive
neonatus cukup bulan atau melebihi 12,5% - Pasang OGT
pada neonatus kurang bulan.
b. Pengangkatan bilirubin lebih dari 5 mg% Farmakologis :
per hari. - ASI 8x45 cc/sonde
c. Ikterus menetap sesudah 2 minggu - IVFD NS 20 gtt/i (mikro)
pertama. - Paracetamol drops 4 x 0,3 cc
d. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%. - Inj. Ampicillin 2 x 140 mg
LAPORAN KASUS | NEONATORUM HIPERBILIRUBINEMIA 19

e. Mempunyai hubungan dengan proses - Inj. Gentamicin 1 x 14 mg


hemolitik (defisiensi G6PD)

PENATALAKSANAAN
1. Foto terapi
2. Transfusi pengganti
3. Terapi obat
4. Menyusui bayi dengan ASI.
5. Terapi sinar matahari
LAPORAN KASUS | NEONATORUM HIPERBILIRUBINEMIA 20

BAB V

KESIMPULAN

Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang meningkat di


dalam jaringan ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa, dan alat tubuh lainnya
berwarna kuning yangmana menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin
bila kadar bilirubin tidak dikendalikan(Mansjoer,2008). Hiperbilirubinemia fisiologis yang
memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non patologis sehingga disebut ‘Excess Physiological
Jaundice’. Digolongkan sebagai hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological Jaundice)
apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus >95% menurut Normogram Bhutani.
LAPORAN KASUS | NEONATORUM HIPERBILIRUBINEMIA 21

DAFTAR PUSTAKA

1. Markum, H. 1991. Ilmu Kesehatan Anak. Buku 3. FKUI, Jakarta.

2. Stell BJ. The-High Risk Infant. Nelson Textbook of Pediatrics 19th edition. Dalam
Kliegman RM, editor. Philadelphia, USA: Saunders 2011.

3. IDAI. Buku Ajar Neonatologi Edisi Pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2010

4. Saifuddin,AB,Adrianz,G.Masalah Bayi Baru Lahir. Dalam:Buku Acuan Nasional


Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal; edisi ke-1. Jakarta :yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 2000;376-8.

5. Rennie MJ, Roberton NRC. A manual of neonatal intensive care; edisi ke-4.
London:Arnold, 2002; 62-88.

6. Aurora S, Snyder EY. Perinatal asphyxia. Dalam : Cloherty JP, Stark AR, eds. Manualof
neonatal care; edisi ke-5. Boston : Lippincott Williams & Wilkins, 2004; 536-54.

7. Handoko, I.S. 2003. Hiperbilirubinemia. Klinikku.

8. Prawirohartono EP, Sunarto (ed), Ikterus dalam Pedoman Tata Laksana Medik Anak
RSUP.Dr. Sardjito, Edisi 2, Cetakan 2, Medika FK UGM, Yogyakarta 2000, hal 37-43.

Anda mungkin juga menyukai