Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH PERSEPTORAN

NEONATAL HIPERBILIRUBINEMIA

Oleh:

Nurfitria Anjani 4151161413 Seno Wibisono 4151161481

Baiq Meila 4151161427 Rizki Bunawan 4151161491

Hendri Rahmat 4151161436 Muhammad Hanif 4151161494

Putri Rosalina Tamzil 4151161439 Bariza Shabrina Suryana 4151161514

Diella Aisyah Rismadinna 4151161447 Annisa Ismiyanti F. 4151161528

Hijri Ressa A. 4151161466 Ulfa Luthfiani N. M. 4151161535

Perseptor:
Dr. Yoke Ayukarningsih, dr., Sp.A.,M.Kes.

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
AGUSTUS 2017
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. KETERANGAN UMUM
Nama Pasien : By. Ny. Nurul Khoiriyah
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Tempat/ tanggal lahir : Cimahi, 08/10/2018
Alamat : Asrama Brigif Linud 17
Tanggal Dirawat : 23/10/2018
Tanggal Pemeriksaan : 23/10/2018
Ibu
Nama : Ibu N
Umur : 28 tahun
Golongan darah : O
Pendidikan :
Pekerjaan :
Alamat : Asrama Brigif Linud 17
Penghasilan :
Ayah
Nama : Tn.
Umur :
Golongan darah : O
Pendidikan : S2
Pekerjaan : TNI AD
Alamat : Asrama Brigif Linud 17
Penghasilan :

B. KELUHAN UTAMA
Bayi tampak kuning

2
C. ANAMNESIS KHUSUS
Bayi berusia 14 hari tampak kuning sejak usia 5 hari. Keluhan kuning
awalnya terlihat di daerah mata pasien, saat ini kuning terlihat hingga seluruh
tubuh pasien.

D. ANAMNESIS UMUM
. Keluhan kuning tidak disertai dengan demam, muntah, kejang, dan
penurunan kesadaran. Buang air besar tidak tampak seperti dempul dan buang
air kecil tidak tampak berwarna teh pekat. Bayi diberikan ASI selama
15menit. Sekarang BAB bayi berwarna kehitaman dengan konsistensi lembek.
Ibu mengganti popok sebanyak 2-3 kali perhari. Bayi lahir dari seorang ibu
G1P1A0, gravida 37-38 minggu (HPHT 28 Januari 2018, siklus haid teratur)
Persalinan dilakukan di kamar operasi dengan penolong seorang dokter
SpOG dengan bayi lahir hidup, jumlah kehamilan tunggal letak puncak
kepala. Bayi langsung menangis dengan APGAR Score 7/9. Jenis persalinan
sectio caesaria atas indikasi pre-eklamsi ringan, KPD, gawat janin.
Ibu melakukan pemeriksaan kehamilannya ke dokter spesialis kandungan
secara rutin setiap bulan dengan jumlah >11 kali pemeriksaan selama
kehamilan. Selama kehamilan riwayat ibu menderita tekanan darah tinggi (+).
Selama kehamilan, kejang, perdarahan selama kehamilan, kencing manis,
penyakit jantung, sakit kuning, abortus, maupun kelainan darah (-). Imunisasi
TT sebanyak 2 kali selama kehamilan, obat-obatan khusus (-). Sebelum hamil
dan selama hamil ibu pasien tidak memelihara hewan peliharaan apapun
misalnya kucing.
Riwayat imunisasi pada bayi yang telah dilakukan adalah polio dan
hepatitis B.

3
E. ANAMNESIS TAMBAHAN
Riwayat Imunisasi Riwayat Kesehatan :

• BCG :- • Ayah : Sehat


• Polio :0 • Ibu : Sehat
• DPT :-
• Campak :-
• Hepatitis B :0

Intake & Output


Intake : ASI
Output : BAB 2-3x, warna
BAK 5x warna

II. PEMERIKSAAN FISIK

Tanggal 11-08-2017 12-08-2017 13-08-2017


Umur 3 hari 4 hari 5 hari
BBL 3420 gram 3420 gram 3420 gram
BBS 3116 gram 3114 gram 3110 gram
Penurunan BB 8,8% 8,9% 9%
PB 53 cm 53cm 53 cm
LK 33 cm 33 cm 33 cm
LD 28 cm 28 cm 28 cm
LP 28 cm 28 cm 28 cm

Tanda Vital :

• Heart rate (Bunyi jantung) : 108x/menit regular, equal, isi cukup


• Laju napas : 45x/menit, regular, tipe thorakoabdominal
• Suhu : 36,6oC
• Tekanan Darah : tidak diperiksa

4
Keadaan Umum :
• Kesadaran : Alert, menangis kuat, gerak aktif
• Kesan sakit : tampak sakit ringan
• Sesak : PCH (-) Retraksi (-)
• Sianosis : Sentral/perifer (-/-)
• Ikterus : (+) Kremer 5
• Edema : Pitting edema (-) Anasarka (-)
• Dehidrasi : (-)
• Anemi : (-)
• Kejang : Lokal/umum (-) Tonik/klonik (-)

Pemeriksaan Khusus :

1. Rambut : tak ada kelainan


Kuku : tak ada kelainan
Kulit : Ikterik
KGB : tidak teraba
2. Kepala : normocephal, simetris, cephal hematom (+)
Mata : sklera ikterik +/+
Pupil : bulat isokor
Hidung : rhinorrhae (-)
Telinga : otorrhae -/-
Bibir : tak ada kelainan
Mulut : Frenulum lingua ikterik (+)
Gusi : tak ada kelainan
Langit-langit : tak ada kelainan
3. Leher
Kaku Kuduk : (-)
Kelenjar Getah Bening : tidak teraba
Lain-lain : ikterik(+)
4. Thorax

5
Paru
Inspeksi : Bentuk dan gerak simetris, ikterik(+)
Palpasi : Bentuk dan gerak simetris
Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Auskultasi : BVS kanan=kiri, Wheezing -/-, Ronkhi -/-
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : Tidak diperiksa
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni regular, murmur (-)

5. Abdomen
Inspeksi : Datar, soepel, tali pusat terawat, ikterik (+)
Palpasi : Hepar, lien tidak teraba
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : Bising usus (+) normal 7x/menit

6. Genitalia
Jenis Kelamin : Laki-laki
Kelainan : Tidak ada kelainan

7. Ekstremitas
Akral hangat, sianosis (-), ikterik (+)

8. Susunan Saraf
• Reflek : Reflek cahaya (pupil) : +/+
• Reflek moro :+
• Reflek pegang/palmar grasp :+
• Reflek rooting :+
• Refleks sucking :+
• Reflek babinsky :+

6
• Motorik : gerak aktif
• Vegetatif : BAB berwarna kehitaman,
konsistensi lembek

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


PEMERIKSAAN 11/08/2017 14/08/2017
Bilirubin total 10,04 mg/dl 9,28 mg/dl

Bilirubin direk 0,34 mg/dl 0,34 mg/dl

IV. RESUME
Seorang bayi cukup bulan dengan berat badan lahir cukup, berusia 3 hari
dengan jenis kelamin perempuan dirawat di ruang perina RS Dustira dengan
keluhan utama ikterik. Bayi ikterik sejak usia 2 hari. Keluhan ikterik terlihat
dari kepala sampai telapak mata kaki pasien. Pasien belum diberikan ASI
karena ASI ibu belum keluar. Feses pasien berwarna kehitaman dengan
konsistensi lembek. Ibu mengganti popok sebanyak 2-3 kali perhari. Pasien
lahir dari seorang ibu G1P1A0, gravida 37-38 minggu (HPHT 02 November
2016, siklus haid teratur).
Persalinan dilakukan di kamar operasi dengan penolong seorang dokter
SpOG. Bayi langsung menangis dengan APGAR Score 7/9. Jenis persalinan
sectio caesaria atas indikasi kala II memanjang dan gagal drip, komplikasi
selama persalinan (-) Air ketuban jernih. Ibu melakukan pemeriksaan
kehamilannya ke bidan secara rutin setiap bulan dengan jumlah >8 kali
pemeriksaan selama kehamilan. Riwayat imunisasi yang telah dilakukan
adalah polio dan hepatitis B.
Pasien mendapatkan fototerapi (Blue Light Therapy) selama 4 hari sejak
tanggal 11 Agustus 2017 (Usia 3 hari). Bilirubin total yang diperiksa pada
tanggal 11 Agustus 2017 (Usia 3 hari) adalah 12,03 mg/dl dengan bilirubin
direk 0,35 mg/dl.

7
Keadaan Umum
• Kesadaran : Alert, menangis kuat, gerak aktif
• Kesan sakit : tampak sakit ringan
• Ikterus : (+) Kremer 5

Pengukuran
• Umur : 3 hari
• BB lahir : 3420 gram
• BB sekarang : 3116 gram
• Penurunan BB : 8,8 %
• Intake :
• Output :
Tanda Vital
• Heart rate : 108x/menit regular, equal, isi cukup
• Laju napas : 45x/menit, regular, tipe thorakoabdominal
• Suhu : 36,6oC (afebris)

Pemeriksaan Khusus
• Kepala : normocephal, cephalhematom(+)
• Mata : Sklera ikterik +/+
• Mulut : Frenulum linguae ikterik (+)
• Leher : KGB tidak teraba, ikterik (+)
• Thorax : Tidak ada kelainan
• Abdomen : Datar, Bising Usus (+), Hepatospelnomegali (-), ikterik
(+)
• Ekstremitas : ikterik (+)
• Kulit : Ikterik (+) Kremer 5

8
Pemeriksaan Penunjang
PEMERIKSAAN 11/08/2017 14/08/2017
Bilirubin total 10,04 mg/dl 9,28 mg/dl

Bilirubin direk 0,34 mg/dl 0,34 mg/dl

V. DIAGNOSIS BANDING
1. BBLC+BCB+SMK+SC a/i kala II memanjang dan gagal drip+Laki-
laki+Ikterus Neonatorum Fisiologis ec cephalhematom
2. BBLC+BCB+SMK+SC a/i kala II memanjang dan gagal drip+Laki-
laki+Ikterus Neonatorum Fisiologis Breast milk jaundice

VI. USULAN PEMERIKSAAN


1. Coomb test
2. Kadar enzim UDPGT
3. Kadar enzim G6PD

VII. DIAGNOSIS KERJA


BBLC+BCB+SMK+SC a/i kala II memanjang dan gagal drip+Laki-
laki+Ikterus Neonatorum Fisiologis

VIII. PENATALAKSANAAN
ASI On Demand
Blue Light Therapy
Termoregulasi

IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam

9
TEORI NEONATUS HIPERBILIRUBINEMIA

1. Definisi
Neonatal hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar plasma
bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan ditandai oleh
pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak
terkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi
baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL.1,2,3

2. Etiologi
Terdapat 4 mekanisme umum terjadinya hiperbilirubinemia dan ikterus pada
neonatus yaitu pembentukan bilirubin secara berlebihan, gangguan pengambilan
bilirubin tak terkonjugasi oleh hati, gangguan konjugasi bilirubin, penurunan
ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor intra hepatik yang
bersifat obstruksi fungsional atau mekanik.4,5,6

2.1 Pembentukan bilirubin secara berlebihan


Penyakit hemolitik atau peningkatan kecepatan destruksi sel darah merah
merupakan penyebab utama dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus
yang timbul sering disebut ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen
empedu berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui
kemampuan. Beberapa penyebab ikterus hemolitik yang sering adalah
hemoglobin abnormal ( hemoglobin S pada animea sel sabit), sel darah merah
abnormal (sterositosis herediter), anti body dalam serum (Rh atau autoimun),
pemberian beberapa obat-obatan, dan beberapa limfoma atau pembesaran (limpa
dan peningkatan hemolisis). Sebagaian kasus Ikterus hemolitik dapat di akibatkan
oleh peningkatan destruksi sel darah merah atau prekursornya dalam sum-sum
tulang (talasemia, anemia persuisiosa, porviria). Proses ini dikenal sebagai
eritropoiesis tak efektif Kadar bilirubin tak terkonjugasi yang melebihi 20 mg /
100 ml pada bayi dapat mengakibatkan Kern Ikterus.

10
2.2 Gangguan pengambilan bilirubin
Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi yang terikat abulmin oleh sel-sel hati
dilakukan dengan memisahkannya dari albumin dan mengikatkan pada protein
penerima. Hanya beberapa obat yang telah terbukti menunjukkan pengaruh
terhadap pengambilan bilirubin oleh sel-sel hati, asam flafas pidat (dipakai untuk
mengobati cacing pita), nofobiosin, dan beberapa zat warna kolesistografik.
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan Ikterus biasanya menghilang bila obat
yang menjadi penyebab di hentikan. Dahulu Ikterus Neonatal dan beberapa kasus
sindrom Gilbert dianggap oleh defisiensi protein penerima dan gangguan dalam
pengambilan oleh hati. Namun pada kebanyakan kasus demikian, telah di
temukan defisiensi glukoronil tranferase sehingga keadaan ini terutama dianggap
sebagai cacat konjugasi bilirubin.

2.3 Gangguan konjugasi bilirubin


Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang ringan ( < 12,9 / 100 ml ) yang
mulai terjadi pada hari ke dua sampai ke lima lahir disebut Ikterus Fisiologis pada
Neonatus. Ikterus Neonatal yang normal ini disebabkan oleh kurang matangnya
enzim glukoronik transferase. Aktivitas glukoronil tranferase biasanya meningkat
beberapa hari setelah lahir sampai sekitar minggu ke dua, dan setelah itu Ikterus
akan menghilang.
Kern Ikterus atau Bilirubin enselopati timbul akibat penimbunan Bilirubin
tak terkonjugasi pada daerah basal ganglia yang banyak lemak. Bila keadaan ini
tidak di obati maka akan terjadi kematian atau kerusakan Neorologik berat.

2.4 Penurunan eksresi bilirubin terkonjugasi


Gangguan eksresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor
fungsional maupun obstruksi, terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia
terkonjugasi. Karena bilirubin terkonjugasi latut dalam air, maka bilirubin ini
dapat di ekskresi ke dalam kemih, sehingga menimbulkan bilirubin dan kemih
berwarna gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen kemih sering berkurang
sehingga terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat di sertai

11
bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar alkali
fosfatase dalam serum, AST, Kolesterol, dan garam-garam empedu. Peningkatan
garam-garam empedu dalam darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus
yang diakibatkan oleh hiperbilirubinemia terkonjugasi biasanya lebih kuning di
bandingkan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Perubahan warna berkisar
dari kuning jingga muda atau tua sampai kuning hijau bila terjadi obstruksi total
aliran empedu perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang
merupakan nama lain dari ikterus obstruktif. Kolestasis dapat bersifat intrahepatik
(mengenai sel hati, kanalikuli, atau kolangiola) atau ekstra hepatik (mengenai
saluran empedu di luar hati ). Pada ke dua keadaan ini terdapat gangguan niokimia
yang sama.
Selain keempat penyebab di atas, sumber lain menyatakan penyebab dari
hiperbilirubinemia adalah produksi bilirubin yang meningkat, penurunan
konjugasi bilirubin, dan peningkatan reabsorbsi bilirubin dalam saluran cerna.
a. Produksi bilirubin yang meningkat akibat peningkatan jumlah sel darah
merah, penurunan umur sel darah merah, peningkatan pemecahan sel darah
merah (inkompatibilitas golongan darah dan Rh), defek sel darah merah pada
defisiensi G6PD atau sferositosis, polisetemia, sekuester darah, infeksi)
b. Penurunan konjugasi bilirubin, prematuritas, ASI, defek congenital yang
jarang)
c. Peningkatan reabsorpsi bilirubin dalam saluran cerna seperti
ASI, asfiksia, pemberian ASI yang terlambat, dan obstruksi saluran cerna.4,5,6

3. Faktor Risiko
Faktor resiko hiperbilirubinemia berat bayi usia kehamilan  35 minggu yaitu:7,8

A. Faktor Risiko Major


1. Sebelum pulang kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus
terletak pada daerah risiko tinggi
2. Ikterus yang muncul dalam 24 jam pertama kehidupan

12
3. Inkompatibilitas golongan darah dengan tes antiglobulin direk yang positif
atau penyakit hemolitik lainnya (defisiensi G6PD, peningkatan ETCO)
4. Umur kehamilan 35-36 minggu
5. Riwayat anak sebelumnya yang mendapatkan fototerapi
6. Sefalhematom atau memar yang bermakna
7. ASI eksklusif dengan cara perawatan tidak baik dan kehilangan berat
badan yang berlebihan
8. Ras Asia Timur

B. Faktor Risiko Minor


1. Sebelum pulang kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus
terletak pada daerah resiko sedang
2. Umur kehamilan 37-38 minggu
3. Sebelum pulang bayi tampak kuning
4. Riwayat anak sebelumnya kuning
5. Bayi makrosomia dari ibu DM
6. Umur ibu  25 tahun
7. Laki-laki

C. Faktor Risiko Kurang


Faktor-faktor ini berhubungan dengan menurunnya resiko ikterus yang
signifikan, besarnya resiko sesuai dengan urutan yang tertulis makin ke bawah
resiko semakin rendah.
1. Kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus pada daerah resiko
rendah
2. Umur kehamilan  40 minggu
3. Bayi mendapat susu formula penuh
4. Kulit hitam
5. Bayi dipulangkan setelah 72 jam

13
4. Manifestasi Klinis
Hiperbilirubinemia bisa disebabkan proses fisiologis atau patologis atau
kombinasi keduanya. Risiko hiperbilirubinemia yang signifikan dalam 36 jam
pertama biasanya disebabkan karena peningkatan produksi bilirubin. Berbagai
faktor risiko dapat meningkatkan kejadian hiperbilirubinemia yang berat. Perlu
penilaian pada bayi baru lahir terhadap berbagai risiko, terutama untuk bayi-bayi
yang pulang lebih awal.9

Gejala yang timbul dapat berbeda-beda pada setiap anak. Gejala yang timbul
berupa perubahan warna kulit dan sklera pada mata menjadi berwarna kuning.
Biasanya perubahan warna dimulai dari wajah bayi yang kemudian dapat
menyebar hingga seluruh tubuh. Gejala lain yang dapat timbul antara lain
penurunan nafsu makan atau tidak mau menetek serta lemas.10

5. Klasifikasi
 Ikterus Fisiologis
Umumnya terjadi pada bayi baru lahir dengan kadar bilirubin tidak
terkonjugasi pada minggu pertama > 2 mg/dl pada bayi cukup bulan yang
mendapat susu formula akan mencapai puncaknya sekitar 6-8 mg/dl pada hari ke
3 kehidupan dan kemudian akan menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan
penurunan yang lambat sebesar 1 sampai 2 minggu. Pada bayi cukup bulan yang
mendapat ASI, kadar bilirubin akan mencapai kadar yang lebih tinggi (7-14
mg/dl) dan penurunan terjadi lebih lambat.Bisa terjadi dalam waktu 2-4 minggu,
bahkan dapat mencapai waktu 6 minggu. Pada bayi kurang bulan yang mendapat
susu formula juga akan mengalami peningkatan dengan puncak yang lebih tinggi
dan lebih lama, begitu juga dengan penurunannya yang diberikan fototerapi
pencegahan. Peningkatan sampai 10-12 mg/dl masih dalam kisaran fisiologis,
bahkan hingga 15 mg/dl tanpa disertai kelainan metabolisme bilirubin. Kadar
normal bilirubin tali pusat kurang dari 2 mg/dl dan berkisar dari 1,4-1,9 mg/dl.10,11

14
 Ikterus non Fisiolologis
- Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam
- Setiap peningkatan kadar bilirubin serum memerlukan fototerapi
- Peningkatan kadar bilirubin total serum > 0,5 mg/dL/jam
- Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi (muntah,
letargi, malas menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea,
atau suhu yang tidak stabil)
- Ikterus bertahan selama 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari
pada bayi kurang bulan.10,11

Pada bayi yang mendapat ASI terdiri atas Breastfeeding jaundice dan Breastmilk
jaundice.
 Breastfeeding Jaundice
Ikterus yang disebabkan oleh kekurangan asupan ASI. Biasanya timbul pada
hari ke-2 atau ke-3 pada waktu produksi ASI belum banyak. Untuk neonatus
cukup bulan sesuai masa kehamilan (bukan bayi berat lahir rendah), hal ini tidak
perlu dikhawatirkan karena bayi dibekali cadangan lemak coklat, glikogen, dan
cairan yang dapat mempertahankan metabolisme selama 72 jam. Walaupun
demikian, keadaan ini dapat memicu terjadinya hiperbilirubinemia yang
disebabkan oleh peningkatan sirkulasi enterohepatik akibat kurangnya asupan
ASI. Ikterus pada bayi ini tidak selalu disebabkan oleh breastfeeding jaundice,
karena dapat saja merupakan ikterus fisiologis.10,11
 Breastmilk Jaundice
Ikterus yang disebabkan oleh ASI. Insidens pada bayi cukup bulan berkisar 2-
4%. Pada sebagian besar bayi, kadar bilirubin turun pada hari ke-4, tetapi pada
breastmilk jaundice, bilirubin terus naik, bahkan dapat mecapai 20-30 mg/dL pada
usia 14 hari. Bila ASI dihentikan, bilirubin akan turun secara drastis dalam 48
jam. Bila ASI diberikan kembali, maka bilirubin akan kembali naik tetapi
umumnya tidak akan setinggi sebelumnya. Bayi menunjukkan pertambahan berat
badan yang baik, fungsi hati normal, dan tidak terdapat bukti hemolisis. Breast
milk jaundice dapat berulang (70%) pada kehamilan berikutnya. Mekanisme yang

15
menyebabkan breastmilk jaundice belum diketahui, tetapi diduga timbul akibat
terhambatnya uridine diphoshoglucuronic acid glucuronyl transferase (UDPGA)
oleh hasil metabolisme progesteron, yaitu pregnane-3-alpha 2-beta-diol yang ada
di dalam ASI sebagian ibu.10,11

6. Diagnosis
WHO dalam panduannya menerangkan cara menilai ikterus dari visual, yaitu:
- Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari
dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat
dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang
kurang.
- Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di
bawah kulit dan jaringan subkutan.
- Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang
tampak kuning.12

 Anamnesis
1. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin,
malnutrisi intrauterine, infeksi intranatal)
2. Riwayat persalinan dengan tindakan/komplikasi
3. Riwayat ikterus/terapi sinar/ tranfusi tukar pada bayi sebelumnya
4. Riwayat inkompatibilitas darah
5. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa.13

 Pemeriksaan Fisik
Secara klinis icterus pada neonates dapat dilihat segera setalah lahir atau
setelah beberapa hari. Amati icterus pada siang hari dengan lampu sinar yang
cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bias tidak terlihat
dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang berkulit gelap.
Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi
sinar.12,13

16
Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonates secara klinis adalah
dengan penilaian menurut Kramer tahun 1969. Caranya dengan jari telunjuk
ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung,
dada, lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning.
Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan
table yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya.12,13 Derajat Ikterus pada
Neonatus menurut Kramer:

Gambar 1. Kramer pada ikterus


Dikutip dari Mathindas12

 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan serum bilirubin (direk dan indirek) harus dilakukan pada
neonates yang mengalami icterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau
bayi-bayi yang tergolong risiko tinggi hiperbilirubinemia berat. Pemeriksaan
tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menetukan penyebab icterus
antara lain adalah golongan darah dan ‘Coombs test’, darah lengkap dan hapusan
darah, hitung retikulosit, skrining G6PD dan bilirubin direk. Pemeriksaan serum
bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya
kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga harus diukur untuk menetukan pilihan
terapi sinar atau tranfusi tukar. 13

17
Guna mengantisipasi komplikasi yang akan timbul, maka perlu diketahui
daerah letak kadar bilirubin serum total beserta faktor risiko terjadinya
hiperbilirubinemia yang berat. Semakin rendah faktor risiko, semakin rendah
kemungkinan terjadinya kernikterus. 13

Gambar 2. Penentuan risiko hiperbilirubinemia


Dikutip dari Pediatrics13

Nomogram Penentuan Risiko Hiperbilirubinemia Pada Bayi Sehat usia 36


Minggu atau Lebih dengan Berat Badan 2000 gram atau Lebih atau Usia
Kehamilan 35 Minggu atau Lebih dan Berat Badan 2500 gram atau Lebih
Berdasarkan Jam Observasi Kadar Bilirubin Serum.13

18
7. Patofisiologi

Gambar 2. Metabolisme dan ekskresi Bilirubin


Dikutip dari: Champe, dkk.11

Proses metabolisme pemecahan heme sangatlah kompleks. Setelah kurang


lebih 120 hari, eritrosit diambil dan didegradasi oleh sistem RES terutama hati
dan limpa. Sekitar 85% heme yang didegradasikan berasal dari eritrosit dan 15%
berasal dari jaringan ekstraeritroid. Bilirubin terbentuk akibat terbukanya cincin
karbon-alfa dari heme yang berasal dari eritrosit maupun ekstraeritroid.18,19
Tahap awal proses degradasi heme dikatalisis oleh enzim heme oksigenase
mikrosom didalam sel RE. Dengan adanya NADPH dan O2, enzim ini akan
menambahkan gugus hidroksil ke jembatan metenil diantara dua cincin pirol,
bersamaan dengan oksidasi ion ferro (fe2+) menjadi ferri (fe3+). Oksidasi
selanjutnya oleh enzim yang menyebabkan pemecahan cincin porfirin. Ion ferri
dan CO dilepaskan, sehingga menyebabkan pembentukan biliverdin yang
berpigmen hijau. Biliverdin kemudian direduksi sehingga membentuk bilirubin
yang berwarna merah jingga. Bilirubin dan turunannya bersama-sama disebut
pigmen empedu. 18,19

19
Bilirubin hanya sedikit larut dalam plasma, sehingga diangkut ke hati
berikatan dengan protein albumin secara nonkovalen. Bilirubin terurai dari
molekul pembawa albumin dan masuk ke dalam hepatosit, tempat bilirubin akan
berikatan dengan protein intrasel, terutama protein liganin. Didalam hepatosit,
kelarutan bilirubin meningkat karena penambahan dua molekul asam glukoronat.
Reaksi ini dikatalisis oleh bilirubin glukoniltransferase dengan menggunakan
asam glukoronat UDP sebagai donor glukoronat. Bilirubin diglukoronid
ditransport secara aktif dengan melawan gradien konsentrasi ke dalam kanalikuli
biliaris dan kemudian ke dalam empedu. Proses ini memerlukan energi,
merupakan tahapan yang membatasi laju dan rentan mengalami gangguan pada
anak penyakit hepar. Bilirubin yang tidak terkonjugasi normalnya diekskresikan.11
Bilirubin diglukoronid dihidrolisis dan direduksi oleh bakteri di usus untuk
menghasilkan urobilinogen. Sebagian besar urobilinogen dioksidasi oleh bakteri
usus menjadi sterkobilin, memberi warna coklat pada feses. Namun, beberapa
urobilinogen direasorbsi oleh usus dan masuk ke dalam sirkulasi portal. Sebagian
urobilinogen ini berperan dalam siklus urobilinogen intrahepatik yang akan di
uptake oleh hepar kemudian diekskresikan kembali kedalam empedu. Sisa
urobilinogen diangkut darah ke ginjal dimana diubah menjadi urobilin yang
berwarna kuning dan di ekskresikan melalui urin. 18,19

 Patofisiologi neonatorum hiperbilirubin (fisiologis)


Pada dewasa normal level serum bilirubin <1mg/dl. Ikterus akan muncul pada
dewasa bila serum bilirubin >2mg/dl dan pada bayi yang baru lahir akan muncul
ikterus bila kadarnya >7mg/dl.20
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang
melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh
kegagalan hati(karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan
dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi
hati juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini,
bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai

20
tertentu(sekitar 2- 2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang
kemudian menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice.20,21
Neonatus akan memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgBB per hari, sedangkan
orang dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB per hari. Produksi bilirubin yang meningkat
pada neonatus disebabkan masa hidup eritrosit neonatus lebih pendek (70-90 hari)
dibandingkan dengan orang dewasa (120 hari), peningkatan degranasi heme, turn
over sitokrom yang meningkat dan juga reabsorbsi bilirubin dari usus yang
meningkat (siklus enterohepatik).22

 Patofisiologi Ikterus Patologis


- Defisiensi G6PD
Pada defisiensi G6PD kadar NADPH berkurang, sehingga adanya paparan
terhadap stress oksidan akan mempengaruhi pembentukan ikatan disulfide,
mengakibatkan hemoglobin mengalami denaturasi dan membentuk partikel kental
(Heinz bodies). Heinz bodies akan berikatan dengan membran sel, menyebabkan
perubahan isi, elastisitas, dan permeabilitas sel. Sel darah merah pada kondisi
tersebut dikenali sebagai sel darah merah yang rusak dan akan dihancurkan oleh
sistem retikulo-endotelial (lien, hepar dan sumsum tulang) proses hemolitik..
Meskipun gen G6PD terdapat pada semua jaringan tubuh, tetapi efek defisiensi
dalam eritrosit pengaruhnya sangat besar karena enzim G6PD diperlukan dalam
menghasilkan energi untuk mempertahan umur eritrosit, membawa oksigen,
regulasi transport ion dan air kedalam dan keluar sel, membantu pembuangan
karbondioksida dan proton yang terbentuk pada metabolisme jaringan. Karena
tidak ada mitokondria di dalam eritrosit maka oksidasi G6PD hanya bersumber
dari NADPH, bila kadar enzim G6PD menurun, eritrosit mengalami kekurangan
energi dan perubahan bentuk yang memudahkan mengalami lisis bila ada stres
oksidan.23,24,25
- Inkompatibilitas ABO
Terjadinya hemolisis akibat inkompatibilitas ABO disebabkan antibody-A dan
anti-B yang masuk dalam sirkulasi fetus bereaksi dengan antigen-A atau antigen-
B pada permukaan eritrosit. Pada ibu yang memiliki darah tipe A atau B secara

21
alami terdapat anti-A atau anti-B dalam bentuk molekul IgM, sehingga tidak dapat
melewati plasenta, namun ibu dengan golongan darah O mempunyai antibody
terutama terdiri dari molekul IgG. Dengan alas an inilah maka inkompatibilitas
ABO biasanya terbatas pada ibu goongan darah O dengan fetus golongan darah A
atau B. Adanya IgG anti-A atau anti-B pada ibu tipe O dapat menjelaskan proses
hemolisis yang disebabkan inkompatibilitas ABO, yang sering terjadi pada
kehamilan pertama tanpa diperlukan sensitisasi terlebih dahulu. Inkompatibilitas
ABO jauh lebih ringan daripada inkompatibilitas rhesus, hasil DAT seringkali
negative dan gejala hiperbilirubinemia tidak berat. Tidak adanya peningkatan
kadar IgG pada ibu dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis
inkompatibilitas ABO.26,27
-
Inkompatibiitas Rhesus
Apabila terjadi pencampuran darah Rh (-) dengan Rh (+) maka secara
otomatis tubuh ibu Rh (-) akan membentuk antibody Rh (+) karenadianggap
sebagai benda asing di tubuh ibu. Pada kehamilan pertama, jika terbentuk
antibody Rh (-) dalam tubuh ibu tidak akan memberikan efek apapun kepada bayi.
Biasanya bayi lahir normal dengan anemia ringan. Pada kehamilan selanjutnya,
jika bayi memiliki Rh (+) maka antibody Rh (+) dalam darah ibu akan menyerang
Rh (+) dalam darah bayi yang mengakibatkan:
a. Penghancuran besar-besaran sel darah merah bayi sehingga sumsum tulang
bayi aktif terus memproduksi sel darah merah untuk mengimbangi
penghancuran tersebut, akibatnya banyak sel-sel darah muda yang beredar
dalam pembuluh darah bayi.
b. Terjadi penghancuran sel darah merah di organ hati dan limpa yang
mengakibatkan organ hati dan limpa membesar.
c. Fungsi hati tidak normal, produksi albumin menurun, tubuh bayi menjadi
bengkak.26,27

22
Defisiensi G6PD Gol. Darah Gol. Darah Rh ibu - Rh bayi +
ibu O bayi A atau B

Sel eritrosit mudah rusak


Tersensitisasi selama
IgG anti A atau anti B persalinan
Lebih cepat mengalami pada ibu tipe O
hemolisis
Paparan sangat singkat
Masuk ke PD bayi  bereaksi
dengan antigen A atau B pada
permukaan SDM bayi
Tidak cukup untuk
membentuk IgG ibu
Mengalami hemolisis yang bermakna

Setelah tersensitisasi perlu ± 1


bulan untuk antibodi Rh yang
dibentuk ibu masuk ke PD
bayi

Kehamilan ke 2 dengan
Anemia ringan
bayi Rh +

Kehamilan ke 3 dengan
IUFD ec anemia hemolitik
bayi Rh +

Peningkatan produksi Bilirubin

Gambar 3. Patofisiologi hiperbilirubinemia pada neonatus

23
8. Penatalaksanaan
Strategi pencegahan
American academy of Pediatrics tahun 2004 mengeluarkan strategi praktis
dalam pencegahan hiperbilirubinemia bayi baru lahir (<35 minggu atau lebih)
dengan tujuan untuk menurunkan insidensi darineonatal hiperbilirubinemia berat
dan ensefalopatia bilirubin serta meminimalkan risiko yang tidak menguntungkan
seperti kecemasan ibu, berkurangnya breastfeeding atau terapi yang tidak
diperlukan. Pencegahan dititikberatkan pada pemberian minum sesegera
mungkin, sering menyusui untuk menurunkan siklus enterohepatik, menunjang
kestabilan bakteriflora normal dan merangsang usus halus.

Strategi pencegahan hiperbirubinemia


Pencegahan primer yaitu menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling
sedikit 8-12 kali perhari untuk beberapa hari pertama serta tidak memberikan
cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang mendapat ASI dan
tidak mengalami dehidrasi.
Pencegahan sekunder yaitu semua wanita hamil harus diperiksa golongan
darah ABO dan rhesus serta penyaringan serum untuk antibodi isoimun yang
tidak biasa. Jika golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif, dilakukan
pemeriksaan antibodi direk (tes coombs), golongan darah dan tipe Rh darah tali
pusat bayi. Jika golongan darah ibu O, Rh positif, terdapat pilihan untuk
dilakukan tes golongan darah dan tes coombs pada darah tali pusat bayi, tetapi hal
itu tidak diperlukan jikan dilakukan pengawasan, penilaian terhadap resiko
sebelum keluar RS dan tindak lanjut yang memadai. Harus dipastikan bahwa
semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya ikterus dan menetapkan
protokol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda vital
bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8-12 jam.
Evaluasi laboraturium. Pemeriksaan kadar bilirubin serum total harus
dilakukan pada setiap bayi yang mengalami ikterus dalam 24 jam pertama setelah
lahir. Penentuan waktu dan perlunya pengukuran ulang bilirubin serum total

24
tergantung pada daerah dimana kadar bilirubin serum terletak, umur bayi, dan
evolusi hiperbilirubinemia.
Penyebab kuning. Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau
konjugasi harus dilakukan analisis dan kultur urin. Bayi sakit dan ikterus pada
umur atau lebih dari 3 minggu harus dilakukan pemeriksaan bilirubin total dan
direk untuk mengidentifikasi adanya kolestatis. Jika kadar bilirubin direk
meningkat, dilakukan evaluasi tambahan mencari penyebab kolestatis.
Pemeriksaan kadar G6PD direkomendasikan untuk bayi ikterus yang mendapat
fototerapi dan dengan riwayat keluarga atau ernis/asal geografis yang menunjukan
kecenderungan defisiensi G6PD atau pada bayi dengan respon fototerapi buruk.
Penilaian resiko sebelum bayi dipulangkan, setiap bayi harus dinilai terhadap
resiko berkembangnya hiperbilirubinemia berat, dan semua perawatan harus
menetapkan protocol untuk menilai risiko ini. Penilaian sangat penting pada bayi
yang pulang sebelum umur 72 jam, jika perlu diperiksa kadar bilirubin serum.
Kebijakan dan prosedur rumah sakit. Rumah sakit harus memberikan
informasi tertulis dan lisan kepada orangtua mengenai kuning, perlunya monitor
terhadap kuning, dan anjuran bagaimana monitoring harus dilakukan. Semua bayi
harus diperiksa oleh petugas kesehatan professional yang berkualitas beberapa
hari setelah keluar rumah sakit untuk menilai keadaan bayi dan ada tidaknya
kuning. Waktu dan tempat untuk melakukan penilaian ditentukan berdasarkan
lamanya perawatan, ada atau tidaknya faktor risiko untuk hiperbilirubinemia dan
risiko masalah neonatal lainnya. Saat tindak lanjut dapat dilihat berdasarkan tabel
dibawah ini:

Tabel 1. Tindak lanjut bayi keluar RS


Bayi Keluar RS Harus dilihat saat umur

Sebelum umur 24 jam 72 jam


Antara umur 24 – 27,9 jam 96 jam
Antara umur 48 dan 72 jam 120 jam

25
Pada bayi yang mempunyai faktor risiko terhadap hiperbilirubinemia,
dilakukan tindak lanjut yang lebih awal atau lebih sering. Bila tindak lanjut
tidak/kurang memadai terhadap adanya peningkatan risiko timbulnya
hiperbilirubinemia berat, kepulangan dari rumah sakit perlu ditunda sampai tindak
lanjut yang memadai dapat dipastikan atau periode risiko terbesar dapat terlewati
(72 – 96 jam). Penilaian tindak lanjut termasuk berat badan bayi dan peru bahan
persentasi berat lahir, asupan yang adekuat, pola buang air besar dan buang air
kecil, serta ada tidaknya kuning.
Pengelolaan bayi dengan ikterus (early jaundice) yang mendapat ASI.
Observasi semua feses awal bayi, pertimbangkan untuk merangsang pengeluaran
jika feses keluar dalam waktu 24 jam. Segera mulai menyusui dan beri sesering
mungkin. Menyusui yang sering dengan waktu yang singkat lebih efektif
dibandingkan dengan menyusui yang lama dengan frekuensi yang jarang
walaupun total waktu yang diberikan sama. Tidak dianjurkan pemberian air,
dektrosa, atau formula pengganti. Observasi berat badan, BAK, dan BAB yang
berhubungan dengan pola menyusui. Ketika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dL,
tingkatkan pemberian minum, rangsang pengeluaran/produksi ASI dengan cara
memompaa, dan menggunakan protokol penggunaan fototerapi yang dikeluarkan
AAP. Tidak terdapat bukti bahwa early jaundice berhubungan dengan
abnormalitas ASI, sehingga penghentian menyusui sebagai suatu upaya hanya
diindikasikan jika ikterus menetap lebih dari 6 hari atau meningkat diatas 20
mg/dL atau ibu memiliki riwayat bayi sebelumnya terkena kuning.

Manajemen bayi ikterus pada rawat jalan


Pada bayi yang menyusui yang memerlukan fototerapi, AAP
merekomendasikan bahwa jika memungkinkan, menyusui harus diteruskan. Juga
terdapat pilihan untuk menghentikan menyusui sementara dan menggantinya
dengan susu formula.. Hal ini dapat mengurangi kadar bilirubin dan atau
meningkatkan efektifitas fototerapi. Pada bayi menyusui yang mendapat
fototerapi, suplementasi dengan pemberian ASI yang dipompa atau susu formula

26
adalah cukup jika asupan bayi tidak adekuat, berat badan turun berlebihan, atau
bayi tampak dehidrasi.

FOTOTERAPI

Gambar 4. Panduan fototerapi pada bayi kurang usia kehamilan ≥ 35 minggu

• Sebagai patokan menggunakan kadar bilirubin total.


• Faktor risiko: isoimune hemolytic disease, defisiensi G6PD, asfiksia,
letargis, suhu tubuh yang tidak stabil, sepsis, asidosis, atau kadar
albumin < 3 g/dl.
• Pada bayi dengan usia kehamilan 35 – 37 6/7 minggu diperbolehkan
untuk melakukan fototerapi pada kadar bilirubin total sekitar medium
risk line.
• Fototerapi intensif adalah fototerapi dengan menggunakan sinar blue-
green spectrum (panjang gelombang 430 – 490 nm) dengan kekuatan
paling kurang 30uW/cm2 (diperiksa dengan radiometer, atau
diperkirakan dengan menempatkan bayi langsung dibawah sumber sinar
dan kulit bayi yang terpajan lebih luas).

27
Tabel 2. Pilihan tindakan terapi sinar berdasarkan usia dan kadar bilirubin.
Kadar bilirubin total (dalam mg/dl)
Usia (Jam)
Pertimbangan terapi sinar Terapi sinar
< 24 - -
25 – 48 > 12 > 15
49 – 72 > 15 > 18
> 72 > 17 > 20

Efek samping Fototerapi


1. Perubahan suhu dan metabolic lainnya. Peningkatan suhu lingkungan dan
tubuh, peningkatan konsumsi oksigen dan frekuensi napas.
2. Status cairan. Peningkatan aliran darah perifer, meningkatkan kehilangan
cairan dan peningkatan insensible water loss.
3. Fungsi saluran cerna. Peningkatan jumlah dan frekuensi buang air besar akibat
peningkatan aliran empedu yang menstimulasi aktivitas saluran cerna.
Penurunan absorpsi, retensi nitrogen, air dan elektrolit. Perubahan aktivitas
laktosa, riboflavin. Intoleransi sementara laktosa dengan penurunan lactase
pada silia epitel.
4. Feel ocular. Penutup mata meningkatkan risiko infeksi, aberasi kornea,
peningkatan tekanan intracranial (jika terlalu kencang).
5. Perubahan kulit. Tanning disebabkan oleh induksi sintesa melanin atau
disperse oleh sinar ultraviolet. Rashes disebabkan oleh cedera pada sel mast
kulit dengan pelepasan histamine, eritema dari sinar ultraviolet. Burns
disebabkan oleh paparan berlebih emisi gelombang pendek sinar fluorescent.
Bronze baby syndrome disebabkan oleh interaksi fototerapi dan ikterus
kolestasis menghasilkan pigmen coklat (bilifuscin) yang berwarna kulit.

28
TRANSFUSI TUKAR

Gambar 5. Panduan transfusi tukar.

• Garis putus-putus pada 24 jam pertama menunjukan keadaan tanpa patokan


pasti karena terdapat pertimbangan klinis yang luas dan tergantung respon
terhadap foto terapi.
• Direkomendasikan tranfusi tukar segera bila bayi menunjukan gejala
ensefalopati akut (hipertoni, arching retrocollis, opistotonus, high pitch cry,
demam) atau bila kadar bilirubin total ≥5 mg/dL diatas garis patokan.
• Faktor risiko: penyakit hemolitik autoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargis,
suhu tidak stabil, sepsis, asidosis
• Periksa kadar albumin dan hitung rasio bilirubin total/albumin.
• Sebagai patokan adalah bilirubin total.
• Pada bayi sehat dan usia kehamilan 35 - 37 minggu (risiko sedang) transfusi
tukar dapat dilakukan bersifat individual berdasarkan kadar bilirubin total
sesuai usianya.

29
Tabel 3. Rasio bilirubin total/albumin sebagai penunjang untuk memutuskan
untuk transfusi tukar
Rasio B/A saat transfusi tukar
Harus Dipertimbangkan
Kategori Resiko Bilirubin Total Bilirubin Total
(mg/dl) / Albumin (µmol/L) / Albumin
(g/dl) (µmol/L)
Bayi ≥ 38 0/7 mg 8,0 0,94
Bayi 35 0/7 mg – 36 6/7 mg dan 7,2 0,84
sehat atau ≥ 38 0/7 mgg jika
resiko tinggi atau isoimmune
hemolytic disease atau defisiensi
G6PD
Bayi 35 0/7 – 37 6/7 mg jika 6,8 0,80
risiko tinggi atau isoimmune
hemolytic disease atau defisiensi
G6PD

Komplikasi transfusi tukar :


1. Hipokalsemia dan hipomagnesia
2. Hipoglikemia
3. Gangguan keseimbangan asam basa
4. Hiperkalemia
5. Gangguan kardiovaskular
 Perforasi pembuluh darah
 Emboli
 Infark
 Aritmia
 Volume overload
 arrest
6. Perdarahan
 Trombositopenia
 Defisiensi faktor pembekuan
7. Infeksi
8. Hemolisis

30
9. Graft-versus host disease
10. Lain-lain: hipoterma, hipertermia, dan kemungkinan terjadinya
enterokolitis nekrotikans.

Tabel 4. Petunjuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi sehat cukup


bulan berdasarkan AAP.

Tabel 5. Petunjuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia berdasarkan berat badan


dan bayi baru lahir yang relatif sehat

Cairan
Masukan cairan yang adekuat akan meminimalkan kadar bilirubin. Masukan
cairan rumatan harus ditingkatkan hingga 30% bahkan 100% bila bayi sedang
mendapat fototerapi untuk mengkompensasi kehilangan cairan insensible.
Perawatan rutin
• Rawat bayi tanpa pakaian di dalam inkubator atau boks bayi dengan lapisan
protektif untuk melindungi bayi bila ada tabung fluoresens yang pecah
(perlindungan gonad tetap merupakan kontroversi).
• Mata bayi ditutup sewaktu dilakukan fototerapi.
• Mata bayi ditetesi dengan larutan saline secara teratur

31
• Suhu inkubator diturunkan hingga 10 C di bawah suhu yang
direkomendasikan.
• Kulit dijaga agar tetap bersih dan kering , terutama di daerah perianal,
untuk mencegah ekskoriasi.
• Tidak boleh menggunakan krim dan losio pada kulit bayi karena adanya
risiko terbakar.
• Pantau: Berat badan setiap hari, suhu setiap 2-4 jam, hidrasi (turgor kulit,
membran mukosa, fontanel anterior), derajat ikterus (sklera, kulit terutama
badan dan kaki), melihat ada tidaknya kotoran mata, untuk melihat adanya
petekie atau rash, untuk melihat ada tidaknya distensi pada abdomen.

PENERAPAN PADA KASUS


Seorang bayi cukup bulan dengan berat badan lahir cukup, berusia 3 hari
dengan jenis kelamin perempuan dengan berat bayi lahir 3420 gram (BBLC)
terlihat kuning sejak usia 2 hari. hasil pemeriksaan tanggal 11-08-2017 bilirubin
total sebesar 10,04 mg/dl bilirubin direk 0,34 mg/dl dan pada tanggal 14-08-2017
bilirubin total sebesar 9,28 mg/dl dan biirubin direk 0,34 mg/dl (ikterus
fisiologis). Pasien lahir dari seorang ibu G1P1A0, gravida 37-38 minggu (HPHT
02 November 2016, siklus haid teratur).
Pada saat pemeriksaan fisik didapatkan, tampak sklera ikterik pada kedua
mata, frenulum lingue ikterik dan kremer yang didapat adalah 5 (tanda dan gejala
ikterus). Terapi yang diberikan adalah ASI on demand dan Blue Light Therapy.
Quo ad vitam pasien ad bonam dikarenakan pada pasien terjadi ikterus
fisiologis yang normal apabila timbul pada bayi setelah lahir dan tidak
mengancam jiwa. Quo ad functionam ad bonam, karena pada pasien terjadi
ikterus fisiologis dan kadar bilirubin pasien sebesar 10 mg/dl tidak akan
menyebabkan kerusakan organ yang irreversible.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Wong RJ, Stevenson DK, Ahlfors CE, Vreman HJ. Neonatal Jaundice:
Bilirubin physiology and clinical chemistry. NeoReviews 2007;8:58-67.
2. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. In: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa
GI, Usman A, penyunting. Buku Ajar Neonatologi (Edisi Ke-1). Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010; p. 147-53.
3. Garna, H., Nataprawira, H.M. 2014. Pedoman Diagnosis dan Terapi.
Bandung: Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Padjajaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin.
4. Meredith L. Porter, Beth L. Dennis. Hyperbilirubinemia In The Term
Newborn. American Family Physician. 2002. Dewitt Army Community
Hospital, Fort Belvoir, Virginia.
5. Etika, Risa, Dkk. 2010. Hiperbilirubinemia Pada Neonatus. Surabaya:
Divisi Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fk Unair/Rsu Dr.
Soetomo.

6. Sholeh K, Ari Y, Rizalya D, Gatot IS, Ali U. 2010. Buku Ajar


Neonatologi. Edisi pertama. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; p.
147-169
7. Halamek LP, Stevenson DK. Neonatal jaundice and liver disease. In:
Fanaroff AA, Martin RJ, editors. Neonatalperinatal Medicine. Disease of
the Fetus and Infant (Seventh Edition). St Louis: Mosby Inc, 2002;
p.1309-50.
8. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sa
rosa GI, Usman A, penyunting. Buku ajar neonatologi. Edisi 1. Jakarta: Ba
dan Penerbit IDAI, 2008. hal.157.
9. Effendi SH, Indrasanto E. Buku Ajar Neonatologi. 1st ed. Jakarta: Badan P
enerbit IDAI; 2014.
10. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis. 2011.
11. Kosim MS, Yunanto Ari, Dewi Rizalya dkk. Buku Ajar Neonatologi. 1st
ed. Jakarta. Badan Penerbit IDAI; 2014.hal. 147-169.
12. American Academy of Pediatrics. Management of Hyperbilirubinemia in
the Newborn Infant 35 or More Weeks of Gestation.
http://breastfeedingmadesimple.com/wp-
content/uploads/2016/02/jaundice.pdg_.pdf. 2014. [Diunduh tanggal 14
Mei 2016]
13. Mathindas S, Wilar R, Wahani A. Hiperbilirubinemia pada neonatus .
Jurnal biomedik 2013; 5(1):S4-S10.
14. Effendi SH, Indrasanto E. Buku Ajar Neonatologi. 1st ed. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI; 2014.

33
15. Champe PC, Harvey RA, Ferrier DR. Biokimia ulasan bergambar. Edisi
ke-3. Jakarta. EGC; 2010.
16. Fevery J. Bilirubin in clinical practice: a review. Liver international. 2008.
17. Sjarif DM, Lestari ED, Mexitalia M, Nasar SS. Buku ajar nutrisi pediatrik
dan penyakit metabolik. Jilid 1. Badan penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia.2011.
18. HTA Indonesia. Tatalaksana ikterus neonatorum. Unit Pengkajian
Teknologi. Kesehatan, Direktorat Jendral Pelayanan Medik, Departemen
Kesehatan RI. Indonesia, 2004.
19. Blackburn ST, editor. Bilirubin metabolism, maternal, fetal & neonatal
physiology, a clinical perspective. Edisi ke-3. Saunders. Missouri; 2007.
20. Carter SM. Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase Deficiency. eMedical
World Library. Oktober 2002. Available in :
http:www.eMed.edu.sg/15hapd/2002/056.pdf.
21. Retzinger GS. Editors. Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase (G6PD)
Deficiency. In: Lab Lines. May/Junes. 2002. Vol 8. Issue 3. Available in :
www.med.edu/departme/pathdept/web/lablines/vol813.
22. Sack GH. Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase Deficiency. Medical
Genetics. New York, USA, McGraw-Hill,1999;153-54.
23. Salem L. 2006. Rh incompatibility. www. Neonatology.org.
24. Madan A, Macmahon JR, Stevenson DK. 2005. Neonatal
hyperbilirubinemia. Dalam: Taeusch HW, Ballard RA, Gleason CA,
penyunting Acery’s Disease of The Newborn. Philadelphia: Elsevier
Saunders.h:1226-32
25. Rohsiswatmo R. Indikasi terapi sindar pada bayi menyusui yang kuning.
Buku Indonesia Menyusui http://www.idai.or.id/. 2013.
26. Suradi R. Letupeirissa D. Air susu ibu dan ikterus. Buku Bedah ASI IDAI
http://www.idai.or.id/. 2013.

34

Anda mungkin juga menyukai