DERMATITIS ATOPIK
Pembimbing
dr. Desidera Husadani, Sp. KK
Disusun Oleh:
Vania Hadi (112022104)
KEPANITERAAN KLINIK
ILMU DEPARTEMEN KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT IMANUEL BANDAR LAMPUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN KRISTEN KRIDA WACANA
17 OKTOBER 2022 - 18 NOVEMBER 2022
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
DERMATITIS ATOPIK
Disusun oleh :
Vania Hadi 112022104
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karuniaNya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas laporan kasus ini. Laporan kasus yang berjudul
Dermatitis Atopik ini merupakan salah satu syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik bagian
Departemen Ilmu Kulit dan Kelamin.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Desidera Husadani, Sp. KK,
selaku pembimbing penulis. Penulis menyadari laporan kasus ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan
dalam penyusunan tugas ini.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis yang sedang menempuh pendidikan dan dapat dijadikan pelajaran
bagi yang membacanya.
Penulis
BAB I
STATUS PASIEN
I.1. Identitas Pasien
Nama : Ny, S. P.
Umur : 29 tahun
3
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Ryacudu nomor 78 Campang Raya Sukabumi, Bandar
Lampung
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Pendidikan : SMU Sederajat
Status Pernikahan : Menikah
I.2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 21 Oktober 2022 di poliklinik kulit dan
kelamin RS Imanuel Way Halim Bandar Lampung secara autoanamnesis.
4
I.2.5. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan beberapa anggota keluarga ada yang mengalami hal serupa
seperti gatal dan kemerahan namun dapat sembuh dengan sendirinya. Pasien
mengatakan kakak nya memiliki riwayat asma. Anggota keluarga lain pasien tidak
ada yang memiliki riwayat diabetes, hiperensi, alergi, infeksi kulit lain, dan atau
asma.
5
dinamis. Auskultasi paru: suara nafas
vesikuler, tidak ada rhonki, tidak ada
wheezing
Auskultasi jantung: Bunyi jantung I dan II
normal, regular
Abdomen : Inspeksi: datar
Ekstremitas Atas : Lihat status dermatologikus
Eksteremitas Bawah : Normal
Lampiran gambar
6
Foto 2. Regio Fossa cubiti sinistra Foto 3. Regio Fossa cubiti dextra
Status Dermatologikus
Pada regio Fossa cubiti sinistra
Distribusi : Bilateral
Regio : Lokalisata
Efloresensi primer : Plak eritematosa berukuran plakat, pustul berukuran
miliar, beberapa bintik hitam, simetris, konfluens.
Efloresensi Sekunder : Krusta
I.5. Resume
Ny, S. P. berusia 29 tahun datang ke Poli Kulit dan Kelamin RS Imanuel
Bandar Lampung pada tanggal 21 Oktober 2022 dengan keluhan bercak dan
beruntus kemerahan pada lipat tangan yang terasa gatal terus menerus kuransg
lebih 1 minggu sebelum masuk rumah sakit dan bertambah saat berkeringat.
Saat ini pasien tidak mengkonsumsi obat apapun, namun pernah menggunakan
daun ketapang dengan cara ditumbuk kemudian dilumurkan pada daerah lengan
yang gatal. Namun, gatal tidak hilang dan timbul bercak kehitaman pada kedua
lipat lengan.
Pada pemeriksaan fisik, didapat lesi berupa plak eritema berukuran plakat,
pustul berukuran miliar, beberapa bintik hitam dari penggunaan daun ketapang,
7
konfluens, simetris, serta ada nya krusta pada kedua lipat lengan.
I.9. Penatalaksanaan
Non Medikamentosa:
Mandi 1-2x sehari, menggunakan air hangat kuku (36-37⁰C), lama mandi 10-
15 menit
Menggunakan sabun yang mengandung pelembab, pH 5,5,-6, tidak
mengandung pewangi dan zat pewarna, hipoalergenik
Pelembap perlu dioleskan segera dalam 3 menit setelah mandi 2-3 kali sehari
atau bila masih teraba kering.
Memakai pakaian yang ringan, lembut, halus dan dapat menyerap keringat
Menghindari faktor pencetus, yaitu:
Bahan iritan, misalnya sabun antiseptik, deterjen, sabun pencuci piring,
desinfektan, dan sebagainya
Bahan alergen, misalnya tungau debu rumah, binatang peliharaan dan
serbuk bunga
Suhu ekstrim panas atau dingin
Makanan, kacan, biji-bijian, diary product, telur
Stres
Medikamentosa:
R/ Mometasone furoate 1% - Fusidic acid 5 gr tab no. VI (krim racikan)
8
S 2 dd tab 1
...............................................(sign)
R/ Methylprednisolone 8 mg tab no. VI
S 2 dd tab 1
...............................................(sign)
R/ Cetirizine 10 mg tab no. X
S 1 dd tab 1
...............................................(sign)
R/ Cholecalciferol 5000 IU tab no. X
S 1 dd tab 1
...............................................(sign)
I.10. Prognosis
Quo Ad Vitam : Bonam
Quo Ad Functionam : Bonam
Quo Ad Sanationam : Dubia ad malam
PEMBAHASAN
9
kepala, garis batas rambut, glabela, lipatan nasolabial, dada bagian atas, punggung, ketiak,
dan juga sela paha. Sehingga, kemungkinan diagnosis dermatitis seboroik dapat disingkirkan.
Gatal dapat dialami oleh pasien psoriasis. Namun pada satu sisi, diagnosa banding
psoriasis juga dapat disingkirkan karena tidak ditemukan nya gejala khas psoriasis, yakni
plak eritematosa sirkumskrip dengan skuama putih keperakan dan adanya Auspitz sign. Dapat
ditemukan warna plak yang bervariasi, dari plak eritematosa dengan minim skuama, plak
berwarna putih dengan skuama yang tebal, hingga plak putih keabuan tergantung dengan
ketebalan skuama. Fenomena tetesan lilin, fenomena Koebner, dan Auspitz sign akan
ditemukan pada pasien dengan psoriasis.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan lesi simetris dengan distribusi lokal pada lipat
lengan kanan dan kiri yang berupa plak berukuran plakat, disertai pustul berukuran miliar,
eritema, bintik hitam yang tersebar di sekitar plak, dan terdapat efloresensi sekunder dalam
bentuk krusta.
Dari gejala yang dialami oleh pasien dan kriteria diagnosis oleh Hanifin-Rajka, dapat
ditegakkan bahwa diagnosis mengarah pada dermatitis atopik atau eczema, yaitu penyakit
inflamasi umum, bersifat kronis dan kambuhan yang ditandai dengan rasa gatal yang hebat
dan kulit kering.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
Dermatitis atopik merupakan peradangan atau inflamasi kulit yang umum ditemukan,
bersifat kronis residif dan dapat terus menerus kambuh. Penderita DA umumnya datang
dengan keluhan gatal yang hebat pada bagian tubuh tertentu yang tidak kunjung hilang, misal
pada daerah sekitar wajah (fase infantil) dan pada fleksural ekstremitas (fase anak).1
Temuan yang ada pada penderita DA bergantung pada fase dari penderita. Pada fase
infantil/bayi, dapat ditemukan eritema disertai erosi dan ekskoriasi di wajah, biasanya pada
kedua sisi pipi yang kemudian dapat meluas. Pada fase anak, lesi eritema tampak lebih kering
dan dapat disertai oleh papul dan likenifikasi. Kemudian, apabila seseorang mengalami DA
pada fase dewasa, lesi dapat tampak kering, menimbul, disertai papul dan juga plak, adanya
likenifikasi dan atau skuama, dan dapat timbul krusta.1
II.2 Epidemiologi
10
Prevalensi tahunan DA yang didiagnosis dokter pada orang dewasa berkisar dari 1,2%
di Asia hingga 17,1% di Eropa berdasarkan tinjauan literatur sistematis yang baru-baru ini
dilakukan.2 Dalam studi multinasional cross-sectional besar yang baru-baru ini diterbitkan
oleh Barbarot et al. (2018), prevalensi tahunan AD dewasa berdasarkan pelaporan sendiri
akan gejala adalah 4,3% di Jepang, 8,1% di Kanada, 9,4% di Eropa, dan 11,9% di AS. 3
Dalam studi cross-sectional lain yang dilakukan di lima negara Eropa (Jerman, Italia,
Belanda, Portugal, dan Swedia), prevalensi tahunan AD dewasa berdasarkan diagnosis yang
dilaporkan pasien oleh dokter berkisar antara 3,3% di Portugal hingga 9,4%. di Jerman.4
II.3 Etiopatogenesis
Etiologi dan patogenesis DA sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti. Terdapat 2
bentuk DA, yaitu bentuk ekstrinsik/alergik dan bentuk intrinsik/non alergik. Bentuk ekstrinsik
didapatkan pada 70-80% pasien DA. Pada bentuk ini terjadi sensitisasi terhadap alergen lingkungan
disertai serum IgE yang meningkat sedangkan bentuk intrinsik didapatkan pada 20-30% pasien DA
dan tidak terjadi sensitisasi terhadap alergen lingkungan disertai serum IgE yang rendah. 5,6
DA merupakan hasil interkasi yang kompleks antara faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor
intrinsik meliputi suseptibilitas genetik, disregulasi sistem imun, disfungsi sawar kulit, psikologis
(dapat menjadi pemicu maupun akibat). Faktor ekstrinsik sering kali sebagai faktor pencetus dalam
mekanisme terjadinya DA. Faktor ekstrinsik DA adalah lingkungan, misalnya berbagai bahan iritan,
polutan, alergen hirup maupun makanan. Kulit kering merupakan gejala klinis penting pada DA. Hal
ini disebabkan adanya gangguan pada sawar epidermal kulit, sehingga terjadi peningkatan
transepidermal water loss (TEWL), dan kemampuan kulit untuk mengikat air menurun. Respon
inflamasi akan menimbulkan subyektif rasa gatal dan gejala objektif berupa lesi kulit. Gangguan
fungsi sawar akan meningkatkan risiko pajanan terhadap bahan kontaktan (iritan, allergen) dan
memudahkan terjadinya kolonisasi dan infeksi.5,6
Abnormalitas barier akan memudahkan penetrasi benda asing dari lingkungan dan
meningkatkan transepidermal water loss (TEWL), yaitu berpindahnya kandungan air dari dalam tubuh
melalui lapisan epidermis ke lingkungan sekitar, sehingga kulit menjadi kering bahkan sebelum DA
berkembang. Segera setelah lahir, stratum korneum (SK) kulit neonatus intak, tetapi kemampuan
menahan air seperti pada dewasa baru tercapai setelah usia 1 tahun. Kulit kering sering menyebabkan
munculnya reaksi inflamasi. Hidrasi SK bervariasi berdasarkan usia bayi, pada 1 bulan pertama
kehidupan lebih rendah dan setelahnya menjadi lebih tinggi, jika dibandingkan dewasa.
Perkembangan fungsi barier kulit seiring bertambahnya usia dikaitkan dengan prevalensi dan resolusi
gejala DA.4
Genetik juga memegang peranan penting. Riwayat DA orang tua dihubungkan dengan
perkembangan dan derajat keparahan DA bayi. Banyak gen dikaitkan dengan DA, terutama yang
mengkode protein struktural epidermis dan memegang peran kunci dalam sistem imun. Pemeriksaan
11
genetik mengidentifikasi lebih dari 40 gen berkaitan dengan DA, terutama kelompok gen pada
kromosom 1q21 yang berperan dalam keseimbangan epidermis. Selain itu, terdapat mutasi gen
filagrin (FLG)1 yang merupakan komponen kunci dalam proses diferensiasi epidermal untuk
membentuk fungsi pertahanan. FLG merupakan protein yang terlibat dalam pembentukan natural
moisturizing factor (NMF) dengan mengagregasikan filamen keratin. 4
Lingkungan berperan dalam munculnya dan derajat keparahan DA. Hipotesis higienitas
menyatakan bahwa peningkatan DA dan penyakit atopi lainnya dalam beberapa dekade ini
disebabkan oleh kurangnya pajanan terhadap agen-agen lingkungan. Pajanan tersebut dianggap
berperan penting dalam maturasi sistem imun bayi dan anak, sehingga jika ditiadakan, sistem imun
akan bereaksi berlebihan terhadap agen yang sebenarnya tidak berbahaya, seperti serbuk sari tanaman.
Prevalensi alergi makanan pada anak hanya 6-8%, tetapi prevalensinya pada anak DA sebesar 33-
63%. Perkembangan alergi makanan, seperti susu sapi, telur ayam, gandum, atau kedelai, pada usia 3
tahun dilaporkan 61% pada anak DA, di mana 92% nya berkembang menjadi alergi terhadap alergen
udara.4
Pada DA, peran SK sebagai antimikroba terganggu. pH permukaan kulit pasien DA lebih
tinggi daripada individu tanpa DA dan makin meningkat pada kekambuhan. Perubahan mikroba kulit
juga dapat menyebabkan perubahan pH. Bakteri komensal akan membantu membatasi pertumbuhan
bakteri patogen, namun pada DA variabilitas mikroba ini menurun, terutama saat kambuh.
Staphylococcus aureus merupakan organisme dominan pada DA. Pada individu normal jumlah
Staphylococcus aureus kurang dari 5% variasi mikroba kulit. 4
12
residif.2,5
Tipe anak (childhood type, 3-12 tahun)
Predileksi pada fosa kubiti dan popliteal, daerah fleksor pergelangan tangan,
wajah dan leher. Lesi kering, likenifikasi, batas tidak tegas, karena garukan terlihat
pula ekskoriasi dan krusta. Dapat merupakan lanjutan tipe bayi atau timbul pertama
kali. Sering ditemukan lipatan Dennie Morgan (gambar 3) yaitu lipatan kulit dibawah
kelopak mata. Kuku dapat menjadi lebih mengkilap dan kasar akobat gesekan yang
konstan. Sebagian besar tipe ini akan menghilang pada usia pubertas.5
Tipe dewasa (adult type, >12 tahun)
Kelainan kulit berupa likenifikasi, papul, eksema, dan krusta. Predileksi lesi
secara klasik ditemukan pada daerah fossa kubiti dan popliteal, leher depan dan
belakang, dahi serta sekitar mata. Tipe ini adalah kelanjutan dari tipe bayi dan tipe
anak ataupun dapat timbul pertama kali.5
13
Gambar 3. Lipatan Dennie Morgan3
II.5 Diagnosa
Diagnosis DA dapat ditegakkan secara klinis dengan gejala utama gatal, penyebaran
simetris di tempat predileksi (sesuai usia), terdapat dermatitis yang kronik residif, riwayat
atopi pada pasien atau keluarganya. Kriteria yang dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis yaitu kriteria William (tabel 1) dan kriteria Hanifin-Rajka (tabel 2). Pada Kriteria
William lebih sederhana, praktis, dan cepat, karena tidak memasukkan beberapa kriteria
minor Hanifin Rajka yang hanya didapatkan pada kurang dari 50% pasien DA. Kriteria
William lebih spesifik, sedangkan kriteria Hanifin-Rajka lebih sensitif.2
Tabel 1. Kriteria William2
Kriteria William
I. Harus ada
14
anak <10 tahun)
Riwayat asma atau hay fever pada anak (riwayat atopi pada anak <4
tahun pada generasi-1 dalam keluarga)
Riwayat kulit kering sepanjang akhir tahun
Dermatitis fleksural (pipi, dahi dan paha bagian lateral pada anak <4
tahun)
Awitan di bawah usia 2 tahum (tidak dinyatakan pada anak <4 tahun)
15
17. Lipatan pada leher sisi anterior
18. Gatal bila berkeringat
19. Intoleransi terhadap wol dan
pelarut lemak
20. Aksentuasi perifolikular
21. Intoleransi makanan
22. Perjalanan penyakit diperngaruhi
oleh factor lingkungan dan emosi
23. White dermographism atau
delayed blanch
Dihitung menggunakan system rule of nine (gambar 6). Pada anak dibawah
usia 2 tahum, wajah dan kepala masing-masing dihitung 8,5% dan kedua
ekstremitas masing –masing 6%. Sedangkan pada orang dewasa, wajah dan kepala
masing-masing dinilai 4,5% dan kedua ekstremitas bawah masing-masing dinilai
9%.
B. Penilaian intensitas
Parameter yang dinilai adalah morfologi pada kulit dengan dermatitis, yaitu
eritema, edema atau papul, eksudat atau krusta, ekskorias, likenifikasi. Setiap lesi
dinilai sebagai berikut: 0 bila tidak ada, 2 bila ringan, 2 bila sedang, 3 bila berat.
Tidak ada nilai ½ atau 0,5. Sedangkan untuk kulit kering yang dinilai adalah kulit
diluar kelima lesi. Intensitas morfologi dinilai oleh 2 orang pengamat dengan variasi
(perbedaan) penilaian yang tidak bermakna. Standar penilaian intensitas pada
SCORAD adalah foto atau slide foto pasien.
C. Penilaian subjektif
Dilakukan terhadap rasa gatal dan gangguan tidur. Untuk kedua parameter
tersebut pasien diminta menilai dengan menggunakan visual analog scales 0 sampai
dengan 10. Peilaian berdasarkan kesimpulan analogi derajat rasa gatal dan tidak bisa
16
tidur selama 3 hari atau 3 malam terakhir. Untuk usia anak dibawah 7 tahun
pemberian nilai tidak dapat dipercaya, sehingga tidak ikut dinilai.2
Total nilai indeks SCORAD : ditetapkan dengan menggunakan rumus A/5+ 7B/2 +C. Pada
formula ini A adalah luas luka (0-100), B adalah intensitas (0-18), dan C adalah gejala
subjektif (0-20).2
Berdasarkan dari penilaian SCORAD dermatitis atopik digolongkan menjadi:7
1. Dermatitis atopik ringan (skor SCORAD <15): perubahan warna kulit menjadi
kemerahan, kulit kering yang ringan, gatal ringan, tidak ada infeksi sekunder.
2. Dermatitis atopik sedang (skor SCORAD antara 15–40): kulit kemerahan, infeksi
kulit ringan atau sedang, gatal, gangguan tidur, dan likenifikasi.
3. Dermatitis atopik berat (skor SCORAD >40): kemerahan kulit, gatal, likenifikasi,
gangguan tidur, dan infeksi kulit yang semuanya berat
Psoriasis
Psoriasis merupakan sebuah penyakit peradangan kronik dengan dasar genetik yang
kuat dengan karakteristik pertumbuhan dan diferensiasi sel epidermis disertai manifestasi
vaskular, juga diduga adanya pengaruh sistem saraf. Dapat ditemukan warna plak yang
bervariasi, dari plak eritematosa dengan minim skuama, plak berwarna putih dengan skuama
yang tebal, hingga plak putih keabuan tergantung dengan ketebalan skuama. Fenomena
tetesan lilin, fenomena Koebner, dan Auspitz sign akan ditemukan pada pasien dengan
psoriasis.2
17
G
ambar 5. Indeks SCORAD2
Gambar 6. Rule of nine pada anak berusia di bawah 2 tahun (a) dan anak yang lebih
besar atau dewasa(b)6
II.8 Tatalaksana
18
Tujuan terapi DA adalah meminimalkan frekuensi kekambuhan dan mengurangi
durasi serta derajat keparahan saat kambuh. Terdapat lima pilar penatalaksanaan DA yaitu
edukasi dan empowerment pasien serta caregivers, menghindari dan memodifikasi faktor
pencetus lingkungan/modifikasi gaya hidup, memperkuat dan mempertahankan fungsi sawar
kulit yang optimal, menghilangkan penyakit kulit inflamasi, mengendalikan dan
mengeliminasi siklus gatal-garuk. 4,6
1. Edukasi
Penjelasan kepada pasien, keluarga, dan/atau caregivers mengenai penyakit,
terapi, serta prognosis. Memberi edukasi cara merawat kulit, menghindari
penggunaan obat-obat tanpa sepengetahuan dokter. Penjelasan mencakup semua
masalah yang berkaitan dengan DA (gejala, penyebab, faktor pencetus, prognosis
dan tatalaksana). Perawatan kulit pasien DA:8
Mandi 1-2x sehari, menggunakan air hangat kuku (36-37⁰C), lama mandi 10-
15 menit
Menggunakan sabun yang mengandung pelembab, pH 5,5-6, tidak
mengandung pewangi dan zat pewarna, hipoalergenik
Pelembap perlu dioleskan segera dalam 3 menit setelah mandi 2-3 kali sehari
atau bila masih teraba kering. Pelembab efektif dan aman digunakan untuk
terapi DA pada anak dan dewasa dengan gejala ringan-sedang.8
Memakai pakaian yang ringan, lembut, halus dan dapat menyerap keringat
Menghindari faktor pencetus, yaitu:
Bahan iritan, misalnya sabun antiseptik, deterjen, sabun pencuci piring,
desinfektan, dan sebagainya
Bahan alergen, misalnya tungau debu rumah, binatang peliharaan dan
serbuk bunga
Suhu ekstrim panas atau dingin
Makanan, kacan, biji-bijian, diary product, telur
Stres
Terkait dengan terapi DA, hal penting yang perlu disampaikan adalah indikasi
diberikannya terapi tersebut, efektivitas dan efek samping yang mungkin
terjadi, dosis obat, cara pakai, lama pengobatan, cara menaikkan dan
menurunkan potensi atau frekuensi pemberikan obat baik sistemik maupun
topical, dan cara menghentikannya.6
19
2. Menghindari dan Memodifikasi Faktor Pencetus Lingkungan/Modifikasi Gaya
Hidup
Menghindari berbagai faktor pencetus DA menjadi bagian yang sangat
penting dalam tata laksana penyakit ini. Bahan iritan, allergen, makanan tertentu,
suhu ekstrim panas dan dingin, dan stress merupakan faktor yang sering menjadi
pencetus. Sebagian besar pasien mengeluh gatal saat udara panas dan berkeringat
karena terjadi vasodilatasi yang meningkat terutama pada lesi kulit inflamasi. Anak
dengan DA biasanya aktif dalam olahraga misalnya renang. Air kolam renang
mengandung klorin, maka sebaiknya kulit dilindungi dengan penggunaan emolien
dengan jumlah tebal setelah tabir surya yang dapat melindungi kulit berkontak
dengan klorin, sehingga mengurangi risiko iritasi. Segera mandi setelahnya dan
menggunakan pelembab setelah mandi. Pendingin udara saat udara panas dapat
mengurangi pruritus. Anak sebaiknya berdiam terlebih dahulu di ruangan dengan
pendingin udara setelah aplikasi tebal emolien.6,9
Saliva merupakan iritan menyebabkan lesi dermatitis atopik pada wajah.
Melindungi area wajah sebelum makan dapat mencegah terjadinya dermatitis.
Perhatian terhadap bahan pakaian juga penting, hindari penggunaan pakaian
berbahan kasar dan wool. Anak dengan DA harus menghindari penggunaan sabun,
detergen, pelembut bahan, pewangi, pengawet dan bubble baths. Asap rokok harus
dihindari karena dapat meningkatkan pruritus dan iritasi, serta meningkatkan
terjadinya asma.9
3. Memperkuat dan Mempertahankan Fungsi Sawar Kulit yang Optimal
Pelembab merupakan terapi standar yang mempunyai fungsi yaitu:6
Memperbaiki sawar kulit
Mempertahankan integritas dan penampilan kulit
Mempertahankan hidrasi kulit dengan cara menurunkan TEWL
Mengembalikan kemampuan sawar lipid menarik, menahan dan
mendistribusikan air
Beberapa jenis pelembab antara lain berupa humektan (contohnya gliserin
dan propilen glikol), natural moisturing factor (misalnya urea 10% dalam euserin
hidrosa), emolien (contohnya lanolin 10%, petrolatum, minyak tumbuhan dan
sintesis), protein rejuvenators (misalnya asam amino), bahan lipofilik (di antaranya
asam lemak esensial, fosfolipid, dan seramid). Pastikan jumlah pelembab cukup
yaitu 100-200 gr/minggu pada anak, 200-300 gr/minggu pada dewasa. Gunakan
20
pelembab bersama dengan bahan antiinflamasi topikal saat penyakit sedang aktif,
atau sebagai terapi pemeliharaan. Gunakan pelembab berminyak pada kulit kering
dan pelembab yang mengandung lebih banyak air untuk lesi inflamasi dan
kemerahan. Bentuk lotion lebih baik digunakan pada kulit yang tidak terlalu kering,
pada wajah, dan pada kulit berambut.2,6
4. Menghilangkan penyakit kulit inflamasi
Kortikosteoid topikal
Kortikosteroid topikal efektif dan aman bila digunakan secara tepat dan
dalam pengawasan dokter. Bila penggunaan kortikosteoid dilakukan dengan benar,
diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terjadi efek samping. Efek samping
kortikosteroid sistemik pada anak terutama supresi aksis hipotalamus-pitiutri-
korteks adrenal (HPA) dan atrofi kulit. Untuk bayi dan anak dianjurkan pemilihan
kortikosteroid golongan VII-IV. Pada DA fase bayi/anak yang ringan dapat dimulai
dengan kortikosteroid golongan VII, misalnya hidrokortison krim 1-2½ %,
metilprednisolon atau flumetason. Pada DA dengan derajat keparahan sedang dapat
digunakan kortikosteroid golongan VI, misalnya desonid, triamsinolon, asetonid,
prednikarbat, hidrokortison butirat, flusinolon astonid.2,10
Bila kondisi DA lebih parah dapat digunakan kortikosteroid golongan V,
misalnya flutikason, betametason 17 valerat, atau golongan IV yaitu mometason
furoat (MF) atau aklometason. Walaupun MF tergolong kortikosteroid potensi
sedang, namun hasil penelitian klinis membutktikan bahwa MF tidak
mengakibatkan efek atrofogenik atau hanya minimal. Dalam keadaan tertentu
kortikosteroid topikal potensi kuat dapat digunakan secara singkat (1-2 minggu).
Bila DA sudah teratasi segera ganti dengan potensi sedang atau lemah.2
Kortikosteroid harus tetap digunakan sampai lesi kulit aktif terkontrol, yaitu
sekitar 14 hari. Bila lesi sudah terkontrol, frekuensi pemberian kortikosteroid dapat
dikurangi, misalnya kortikosteroid 1x pada pagi hari dan inhibitor kalsineurin
topical (IKT) pada sore hari. Bila harga kortikosteroid tidak terjangkau, dapat
digantikan dengan emolien. Pada fase pemeliharaan, kortikosteroid dapat digunakan
pada daerah “hot spot” (daerah kulit yang sering timbul lesi) 2x seminggu dan
dilanjutkan dengan sekali seminggu (terapi akhir pekan). Utnuk lesi yang berat di
daerah wajah dan fleksor dapat dikontrol dengan kortikosteroid potensi sedang
selama 5-7 hari, kemudian diganti dengan kortikosteroid potensi ringan dan/atau
IKT. Kortikosteroid dapat digunakan pada kulit yang tidak utuh. Kortikosteroid
21
dapat diberikan pada lesi dengan infeksi, tetapi infeksi tersebut harus tetap diobati.6
22
Staphylococcus, diberikan selama 1 minggu sesuai perbaikan klinis. Amoksisilin-
klavulanat dan sefaleksin dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk pasien
DA pada anak, sedangkan eritromisin dan sefaleksin dapat digunakan sebagai terapi
lini ke-2. Pada kasus MRSA dapat diberikan clindamycin, trimethoprim-sulfa-
methoxazole (cotrimoxazole), vancomicyn.6
II.9 Komplikasi
DA yang mengalami perluasan dapat menjadi eritroderma. Atrofi kulit (striae
atroficans) dapat terjadi akibat pemberian kortikosteroid jangka panjang.2
II.10 Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
23
Quo ad sanationam: dubia ad malam, karena merupakan kelainan kulit inflamasi yang
bersifat kronis berulang, namun tergantung dari
penatalaksanaan untuk mencegah kekambuhan.8
DAFTAR PUSTAKA
1. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2019.
2. Boediardja SA. Dermatitis Atopik. Dalam: Menaldi SLSW. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
24
Edisi 7. Jakarta: FKUI; 2015.h.167-82.
3. Simpson EL, Leung DYM, Eichen_eld LF, Boguniewicz. Dermatitis. In: Kang S, Amagai M,
Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AM, Orringer JS, editors. Fitzpatrick’s
Dermatology. 9th Edition. New York: Mc GrawHill. 2019
4. Adelia MAJ, Saraswati PDA. Peran dan fungsi pelembap pada tatalaksana dermatitis atopi. CDK-
284 2020; 47(3).179-83.
5. Lestari W. Manifestasi klinis dan tatalaksana dermatitis atopi. Jked Maret 2018; 1(1).84-90.
6. KSDAI. Panduan diagnosis dan tatalaksanan dermatitis atopic di Indonesia. Jakarta.2014.
7. Evina B. Clinical manifestation and diagnostic criteria of atopic dermatitis. J-
MAJORITY. Februari 2015; 4(4). 23-30.
8. PERDOSKI. Panduan praktis klinis bagi dokter spesialis kulit dan kelamin di Indonesia.
Jakarta; 2017.
9. IDAI. Knowledge and soft skill update to improve child health care. Jakarta. 2015.
10. IDAI. Knowledge and soft skill update to improve child health care. Jakarta. 2015.
25