Anda di halaman 1dari 11

Tinea Kruris pada Lipatan Paha serta Penatalaksanaannya

Vania Hadi 102016208

A6

Jl. Arjuna Utara no.6 Jakarta 11510. Telepon : 021-5694 2061; Fax : 021-563 1731

Email: vania.2016fk208@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak
Dermatofitosis adalah suatu penyakit akibat infeksi jamur dermatofita yang
menghasilkan enzim keratinase untuk mencerna keratin pada kulit. Tinea kruris
merupakan bentuk dermatofitosis yang ditemukan di daerah inguinal. Tinea kruris
tersebar luas terutama di daerah beriklim tropis, banyak terdapat di Indonesia. Pada
tinea cruris akan didapati adanya efloresensi berupa makula eritematosa, berbatas
tegas dengan tepi yang lebih aktif serta terdiri dari papula atau pustula. Prognosis
tinea cruris baik apabila dilakukan terapi yang sesuai dan dilakukan pencegahan yang
sesuai agar jamur tidak kembali tumbuh.

Kata kunci: Dermatofitosis, tinea kruris, pencegahan

Abstract
Dermatophytosis is a disease caused by dermatophyte fungal infections that produce
keratinase enzymes to digest keratin on the skin. Tinea cruris is a form of
dermatophytosis found in the inguinal region. Tinea cruris is widespread, especially
in the tropical area, there are many in the Indonesia. . In tinea cruris will be found
existence efloresensi such as erythematous macules, demarcated by more active edge
and may consist of papules or pustules. The prognosis of tinea cruris is good when
appropriate therapy is performed and appropriate prevention applied in order to
prevent the recurrent of fungal growth.

Keywords: Dermatophytosis, tinea kruris, prevention

1
Pendahuluan
Kulit merupakan bagian tubuh utama yang sering terpapar dengan dunia luar
maupun benda asing yang digunakan sehari-hari. Mikroorganisme seperti jamur,
bakteri, dan virus sangat mungkin mengkontaminasi sawar utama tubuh manusia
dengan lingkungan di luar tubuh yaitu stratum korneum kulit. Jamur merupakan salah
satu parasit yang dapat mengkontaminasi dan menyebabkan penyakit kulit pada
manusia.

Mikosis superfisial adalah penyakit jamur yang mengenai lapisan permukaan


kulit yaitu stratum korneum, rambut, dan kuku.1 Mikosis superfisial dalam penyakit
kulit dibagi menjadi dua, yaitu golongan dermatofitosis dan non dermatofitosis.
Golongan dermatofitosis adalah penyakit jamur yang terjadi pada jaringan yang
mengandung keratin, seperti stratum korneum epidermis, rambut dan kuku.
Dermatofitosis disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita yang menghasilkan enzim
keratinase sehingga dapat mencerna keratin. Jamur dermatofita terbagi dalam 3 genus,
antara lain Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton.1 Keluhan infeksi jamur
umumnya cukup menganggu aktivitas manusia karena menimbulkan rasa gatal. Untuk
itu penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memahami manifestasi klinis,
pengobatan, dan pencegahan penyakit kulit, khususnya infeksi jamur yang terjadi
pada daerah lipatan paha.

Anamnesis
Pada hasil anamnesa diketahui pasien merupakan seorang laki-laki berusia 30
tahun yang datang ke klinik dikarenakan adanya bercak coklat pada lipatan paha yang
terasa gatal semenjak empat minggu yang lalu. Rasa gatal ini dirasakan terutama pada
saat cuaca panas atau saat berkeringat banyak. Diketahui pasien menggunakan salep
hidrokortison pada lipatan pahanya namun tidak membuahkan hasil dan tampak
kelainan kulit yang semakin meluas.

Pemeriksaan Fisik
Pada saat pemeriksaan fisik, kali pertama yang dilakukan adalah memeriksa
keadaan umum, kesadaran, dan tanda tanda vital pasien. Pada inspeksi perlu
diperhatikan lokalisasi dan penyebaran, warna, bentuk, batas, serta efloresensi di tiap

2
lokasi. Perlu juga diketahui tekstur, elastisitas, dan suhu dari kulit, apakah kulit pasien
lembab atau kering atau berminyak dan permukaan dari lesi nya tersendiri. Dilihat
apakah tampak kemerahan pada kulit. Apabila tampak, terdapat tiga kemungkinan
antara lain eritema, purpura, atau telangiektasis. Bila warna kemerahan menghilang
dan kembali seperti awal sesaat setelah ditekan dengan jari dan digeser, itu
merupakan eritema. Sementara pada purpura, warna kemerahan akan menetap dan
tidak akan menghilang karena terjadinya pendarahan di kulit. Telangiektasis juga
serupa dengan purpura, namun yang menjadi pembeda adalah hal ini terjadi karena
adanya pelebaran pembuluh darah kapiler yang menetap.

Selanjutnya yang dilakukan adalah palpasi. Pada palpasi diperhatikan ada atau
tidak tanda-tanda dari radang akut (seperti dolor, kalor, rubor, dsb), ada atau tidaknya
indurasi, fluktuasi, serta pembesaran kelenjar regional ataupun generalisata.
Pemeriksaan umum juga harus dilakukan karena sering kali penyakit kulit merupakan
komponen dari suatu penyakit multisistem.

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium2,3,4
Diagnosis dermatofitosis yang dilakukan secara rutin adalah pemeriksan
mikroskopik langsung dengan KOH 10%-20%. Pada sediaan KOH tampak hifa
bersepta dan bercabang tanpa penyempitan. Terdapatnya hifa pada sediaan
mikroskopis dengan potassium hidroksida (KOH) dapat memastikan diagnosis
dermatofitosis. Pemeriksaan mikroskopiik langsung untuk mengidentifikasi
struktur jamur merupakan teknik yang cepat, sederhana, terjangkau, dan telah
digunakan secara luas sebagai teknik skrining awal. Teknik ini memiliki
sensitivitas hingga 40% dan spesifitas hingga 70%.

b. Kultur jamur2,3
Kultur jamur merupakan metode diagnostic yang lebih spesifik namun
membutuhkan waktu yang lebih lama dan memiliki sensitivitas yang rendah,
harga lebih mahal dan biasanya digunakan hanya pada kasus yang berat dan tidak
berespon pada pengobatan sistemik. Kultur perlu dilakukan untuk menentukan
spesiesnya karena semua spesies dermatofita tampak identic pada sediaan

3
langsung. Media kultur diinkubasi pada suhu kamar maksimal selama 4 minggu,
dan dibuang bila tidak ada pertumbuhan.

c. Punch biopsy2,3
Punch biopsy dapat digunakan untuk membantu menegakan diagnosis namun
sensitifitasnya dan spesifitasnya rendah. Pada pengecatan dengan peridoc acid-
schiff, jamur akan ampak merah muda atau dengan menggunakan pengecatan
methenamin silver, jamur akan tampak coklat atau hitam.

d. Lampu wood2,3,4
Penggunaan lampu wood menghasilkan sinar ultraviolet 360nm, (atau sinar
“hitam”) yang dapat digunakan untuk membantu evaluasi penyakit kulit dan
rambut. Dengan lampu wood, pigmen fluoresen dan perbedaan warna pigmentasi
melanin yang subtle bisa divisualisasi. Lampu wood digunakan untuk
menyingkirkan diagnosis banding eritrasma dimana akan tampak floresensi merah
bata.

Working Diagnosis
Tinea Kruris
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan
melihat gambaran klinis dan lokasi terjadinya lesi serta pemeriksaan penunjang untuk
menyingkirkan diagnosis banding. Pada kasus ini working diagnosinya adalah tinea
kruris. Tinea kruris adalah dermatofitosis yang mengenai lipat paha, daerah inguinal,
pubis, daerah perineum dan sekitar anus. Penyakit ini dapat besifat akut atau
menahun. Lesi kulit yang tampak akan berbatas tegas, bagian tepi lebih nyata/aktif,
ditengahnya tampak central clearing. Efloresensi terdiri atas maam-macam bentuk
yang primer dan sekunder (polimorfik). Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat
berupa bercak hitam tampak sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya
diakibatkan oleh garukan.5

Differential Diagnosis

4
Diagnosis banding tinea kruris adalah antara lain kandidiasis intertriginosa, eritrasma,
dermatitits intertriginosa, dan psoriasis inversa.

Gambar 1. Tinea kruris dan diagnosis banding di


daerah lipat paha dan intergluteus.6

a. Kandidiasis intertriginosa

Kandidosis adalah penyakit jamur yang disebabkan oleh Candida spp (contoh:
Candida albicans), dapat menyerang semua umur, pria maupun wanita dan
terdapat di seluruh dunia. Infeksi dapat terjadi apabila adanya faktor predisposisi
baik endogen ataupun eksogen. Pada kandidiasis intertriginosa terdapat lesi di
daerah genitokrural, lipatan kulit ketiak, intergluteal, lipat payudara, interdigital,
dan juga umbilikus. Pada lipatan kulit dinding perut terdapat bercak yang
berbatas tegas, bersisik, basah, dan eritematosa. Lesi dikelilingi oleh satelit
berupa vesikel-vesikel dan bula yang bila pecah, akan meninggalkan daerah
erosif dengan pinggir yang kasardan berkembang seperti lesi primer.

b. Eritrasma

Merupakan infeksi kulit superfisial, eritrasma ditandai oleh adanya makula


eritematosa hingga kecoklatan, memiliki batas tegas, terdapat di daerah lipatan
(intertriginosa), atau berbentuk fisura dengan maserasi putih di sela-sela jari. 5
Agen penyebab dari eritrasma adalah bakteri Corynebacterium minutissimum.
Salah satu pemeriksaan penunjang untuk membantu dalam diagnosis eritrasma
adalah pemeriksaan lampu Wood. Pada daerah yang terinfeksi, akan
menunjukkan fluorosensi berwarna merah coral. Warna merah coral tersebut
dikarenakan adanya porfrin yang dihasilkan oleh Corynebacterium
minutissimum.5,7

5
c. Dermatitis intertriginosa

Dermatitis intertriginosa merupakan sebuah kelainan kulit pada daerah lipatan,


dapat berupa inflamasi atau infeksi bakteri atau jamur. Faktor predisposisi dari
dermatitis intertriginosa yaitu berkeringat banyak atau kelembaban, tubuh yang
gemuk, gesekan antar 2 permukaan kulit, dan oklusi. Pada kondisi ini mudah
terjadi super infeksi oleh Candida albicans yang memiliki ciri khas yaitu eritema
berwarna merah-gelap dan dapat ditemukan lesi satelit di sekitarnya.8,9

Gejala awal dapat berupa rasa gatal, nyeri, menyengat, serta terbakar di daerah
intertriginosa atau lipatan. Awalnya muncul sebagai eritematosa ringan dan/atau
plak di kedua sisi lipatan kulit. Kemudian lesi tersebut dapat berkembang atau
berubah menjadi erosi, fisura, maserasi, atau krusta.9
d. Psoriasis inversa

Psoriasis inversa ditandai dengan adanya plak eritematosa dan maserasi di


kulit lipatan (mammae, perut, aksila, genitokrural, lipat bokong). Dapat juga
disertai dengan lesi satelit disekitarnya. Lesi berbatas tegas serta cenderung
berkilau dan tampak lembab. Pada beberapa kasus psoriasis inversa ditemukan
adanya celah ditengah dengan skuama yang minimal atau hampir tidak ada.8

Etiologi

Tinea kruris (eczema marginatum, dhoble itch, ringworm of the groin)


merupakan dermatofitosis pada lipat paha, perineum, daerah inguinal, pubis dan
sekitar anus yang dapat bersifat akut, menahun, atau bahkan berlangsung seumur
hidup. Diketahui penyebab dari tinea kruris adalah Tricophyton rubrum, Tricophyton
mentagrophytes, atau Epidermophyton floccosum. Tinea kruris lebih sering
menyerang pria dibandingkan wanita dari rentang usia 51-60 tahun dan jarang
ditemukan pada anak-anak.

Epidemiologi

Tinea kruris pada umumnya tersebar di daerah yang beriklim tropik. Di


Indonesia, dari seluruh kasus dermatomikosis yang dijumpai, 52% nya merupakan
dermatofitosis (tinea kruris dan tinea korporis). Insiden dermatomikosis di berbagai
rumah sakit di Indonesia menunjukkan angka persentase terhadap kasus
dermatofitosis bervarian dari yang terendah yaitu 2,93% di Semarang sampai yang

6
tertinggi yaitu 27,6% di Padang. Diketahui pula laki-laki pasca pubertas lebih banyak
terkena dibandingkan dengan wanita, dimulai dari usia 18-25 tahun hingga 40-50
tahun. Tinea kruris lebih sering terjadi pada pria karena daerah dekat scrotum lebih
hangat dan lembab dan faktor tersebut memicu pertumbuhan jamur. Faktor
predisposisi tinea kruris dapat berupa pemakaian fasilitas bersama. Contohnya dalah
tinggal di satu ruangan atau rumah bersama atau rumah tahanan, memakai baju yang
cukup ketat, berkeringat, dan menggunakan baju yang lembab dalam jangka waktu
yang cukup lama.

Patofisiologi

Tinea kruris terjadi biasanya setelah adanya kontak dengan suatu hal, entah
individu maupun binatang yang terinfeksi. Tidak menutup kemungkinan juga terjadi
karena adanya kontak melalui benda seperti pakaian, perabotan sehari-hari, dsb.
Maserasi dan oklusi kulit pada lipat paha menyebabkan suhu serta kelembaban kulit
meningkat. Dengan demikian hal tersebut memudahkan terjadinya infeksi dan dapat
pula terjadi akibat penjalaran infeksi dari bagian tubuh yang lain.10

Infeksi dermatofitosis dipicu oleh tiga proses yang mendasari invasi spora
jamur yaitu perlekatan, penetrasi, serta respon host.10

I. Perlekatan ke keratinosit
Jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa melekat pada
jaringan keratin di antaranya sinar UV, suhu, kelembaban, kompetisi dengan
flora normal lain, sphingosine yang diproduksi oleh keratinosit, da asam lemak
yang di produksi oleh kelenjar sebasea yang berisfat fungistatik.10
II. Penetrasi melalui ataupun di antara sel
Setelah terjadi perlekatan spora harus berkembang dan menembus stratum
korneum pada kecepatan yang lebih cepat daripada proses deskuamasi.
Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase lipase dan enzim mucinolitik
yang juga memyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi juga
membantu penetrasi jamur ke jaringan. Pertahanan baru muncul ketika jamur
mencapai lapisan terdalam epidermis.10

III. Perkembangan respon host

7
Derajat inflamasi dipengaruhi oleh status imun pasien dan organisme yang
terlibat. Reaksi hipersensitivitas IV atau delayed type hypersensitivity (DHT)
memainkan peran yang sangat penting dalam melawan dermatofita. Pada
pasien yang belum pernah terinfeksi dermatofita sebelumnya inflamasi
menyebabkan inflamasi minimal dan trichopitin test hasilnya negative. Infeksi
menghasilkan sedikit eritema dan skuama yang dihasilkan oleh peningkatan
pergantian keratinosit. Dihipotesakan bahwa antigen dermatofita diproses oleh
sel Langerhans epidermis dan dipresentasikan oleh limfosit T di nodus limfe.
Limfosit T melakukan proliferasi dan bermigrasi ke tempat yang terinfeksi
untuk menyerang jamur. Pada saat ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi dan
barrier epidermal menjadi permeable terhadap transferrin dan sel-sel yang
bermigrasi. Segera jamur hilang dan lesi secara spontan menjadi sembuh.10

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang timbul adalah rasa gatal yang bertambah saat
berkeringat dan atau ada nya rasa terbakar pada daerah lipat paha, genital, perianal,
dan daerah perineum.11,12 Lesi tampak sirkumskrip, polimorfik dan dengan tepi yang
aktif.

Pada tinea kruris, lesi yang ditemukan pada umumnya adalah papulovesikel
yang eritematosa dengan batas tegas dan tepi meninggi. Pruritus sering ditemukan,
seperti halnya nyeri yang disebabkan oleh maserasi ataupun infeksi sekunder. Tinea
kruris yang disebabkan oleh Epidermophyton floccosumpaling sering menunjukkan
gamabran central healing, dan paling sering terbatas pada iaptan genitokrural dan
bagian pertengahan paha atas. Sebaliknya, infeksi oleh Trichophyton rubrum sering
memebrikan gambaran lesi yang bergabung dan meluas sampai ke pubis, perianal,
pantat dan bagian abdomen bawah. Tidak terapat keterliatan pada daerah genitalia.3

Penatalaksanaan

Medika Mentosa

Pengobatan tinea kruris pada umumnya menggunakan obat topikal dan


terbukti efektif. Golongan obat topikal yang diberikan adalah golongan imidazoles,
triazoles, dan allylamines. Pemberian obat topikal digunakan dua kali dalam satu hari
dalam satu minggu setelah lesi atau kelainan kulit hilang. Namun, obat oral perlu

8
diberikan pada pasien immunocompromised, infeksi yang menyebar luas, kegagalan
terapi topikal, dan pasien dengan infeksi kronik. Obat per oral yang digunakan adalah
griseofulvin, ketokonazole, itrakonazole, atau terbinafin.

 Griseofulvin

Pada dewasa diberikan 0.5-1 gram per hari dibagi untuk empat kali pemberian.
Sementara pada anak, dosis yang diberikan lebih sedikit yaitu 0.25-5 gram per
hari atau setara dengan 10-25 mg/kgBB.

 Ketokonazole

Pada kasus pasien yang resisten terhadap griseofulvin, dapat diberikan


ketokonazole dengan dosis 200 mg per hari selama 10-14 hari, diminum pada
pagi hari setelah makan. Absorbsi ketokonazole akan lebih baik pada hp asam
hingga pemberian dapat digabung dengan pemberian vitamin C. Kontra
indikasinya ialah pada penderita kelainan hepar karena obat ini bersifat
hepatotoksik.

 Itrakonazole

Sebagai pengganti dari ketokonazole (bila sudah dikonsumsi selama 10 hari),


dapat diberikan itrakonazole dengan dosis 2 x 100-200 mg per hari selama 3
hari. Meski demikian, pemberian harus tetap diperhatikan karena itrakonazole
banyak berinteraksi dengan obat lain.

 Terbinafin

Terbinafin merupakan salah satu pilihan pengganti ketokonazole dan dapat


diberikan selama 2-3 minggu dengan dosis 62.5-250 mg per hari nya.5

Non Medika Mentosa

Edukasi pada pasien dan memberitahu faktor-faktor yang perlu dihindari


untuk mencegah terjadinya tinea kruris, termasuk dalam menganjurkan pasien untuk
menjaga daerah lesi tetap kering, menjaga kebersihan kulit, untuk tidak menggaruk
apabila terasa gatal karena akan berujung infeksi, apabila berkeringat segera
keringkan dengan handuk, mengganti pakaian yang lembab, serta menghindari
menggunakan pakaian yang terlalu ketat.

9
Komplikasi (A5)

Spesies tertentu pada golongan dermatofita dapat menghasilkan penicillin-like


antibiotics yang memungkinkan jamur ini memanfaatkan flora normal.
Staphylococcus aureus dapat menjadi ko-patogen yang meningkatkan derajat
peradangan pada infeksi dermatofita.12

Selain itu, infeksi sekunder juga dapat terjadi akibat luka garukan maupun
kebersihan yang tidak terjaga. Tinea cruris dapat terinfeksi sekunder oleh candida atau
bakteri yang lain. Pada infeksi jamur yang kronis dapat terjadi likenifikasi dan
hiperpigmentasi kulit.11

Pencegahan

Untuk menghindari terjadinya penularan penyakit, pakaian serta handuk yang telah
digunakan penderita harus segera dicuci kemudian direndam air panas. Kemudian
setelah mandi, pastikan tubuh sudah benar-benar dikeringkan dengan baik, serta
pastikan untuk meningkatkan hygiene secara pribadi dan di lingkungan sekitar.

Prognosis

Prognosis tinea kruris akan baik dengan diagnosis dan pengobatan yang tepat.
Namun, dapat terjadi kekambuhan kemungkinan jika daerah selangkangan tidak
dijaga kelembabannya. Tidak ada kematian yang dikaitkan dengan tinea cruris.

Kesimpulan

Diduga laki-laki pada skenario ini menderita tinea kruris dan diagnosis ditegakkan
berdasarkan gejala klinis yang khas berupa gatal saat berkeringat, lesi berbatas tegas,
terdapat bercak coklat kemerahan serta tepi lesi yang aktif. Diagnosis juga ditegakkan
dari pemeriksaan penunjang kerokan kulit dengan KOH serta wood’s light.

Daftar Pustaka

10
1. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Buku ajar parasitologi
kedokteran. 4th Ed. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia;
2016:p. 319-26 ; 356.

2. Elston DM. Tinea Cruris Workup [internet]. United States: Medscape; 2018
[Updated 2018 Feb 22; Cited 2018 April 14]. Available from
https://emedicine.medscape.com/article/1091806-workup#showall
3. Yossela T. Diagnosis and treatment of tinea cruris. J Majority. 2015;4(2):122-8.
4. Jawetz E, Melnick J, Adelberg E. Mikrobiologi kedokteran. Edisi ke-20. Jakarta:
EGC;1996.h.613-5.
5. Djuanda A, Suriadiredja A, Sudharmono A, Wiryadi B, Kurniati D, Daili E, et
al.Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh Cetakan Keempat. Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2017. H. 47-48, 109-16,
118, 404.
6. Syarif A, Gayatri A, Estuningtyas A, Setiawati A, Muchtar A, Suyatna FD, et al.
Farmakologi dan terapi. 6th Ed. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Indonesia; 2016: p. 588-91.

7. Greywal T, Cohen PR. Erythrasma: a report of nine men successfully managed


with mupirocin 2% ointment monotherapy. DOJ. 2017;23(5):1-4.
8. Syed Z, Khachemoune A. Inverse psoriasis: case presentation and review. Am J
Clin Dermatol. 2011;12(2):1-4.
9. James WD. Intertrigo Clinical [internet]. United States: Medscape; 2017
[Updated 2017 April 28; Cited 2018 April 14]. Available from
https://emedicine.medscape.com/article/1087691-overview#showall
10. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Lecture notes: kedokteran klinis. Edisi ke-6.
Jakarta: Erlangga; 2007. H. 1815-6.
11. Menaldi SLSW, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu penyakit kulit dan kelamin.
7thEd. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia; 2017:p. 2-7; 109-
16; 404

12. Kurniati CR. Etiopatogenesis dermatofitosis. Unair J Berkala Ilmu Kesehatan


Kulit dan Kelamin 2008 Des; 20(3) : 244-9.

11

Anda mungkin juga menyukai