Anda di halaman 1dari 39

i

TUGAS AKHIR

LITERATURE REVIEW:

KOGNISI PEREMPUAN PELAKU KEKERASAN SEKSUAL

Ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan akademik guna memperoleh gelar Sarj
ana Kedokteran Strata Satu

VANIA HADI
102016208

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
JAKARTA
2022
1

ABSTRAK
LITERATURE REVIEW:
KOGNISI PEREMPUAN PELAKU KEKERASAN SEKSUAL
Vania Hadi
102016208

(x + 33 halaman: 1 tabel)

Latar belakang: Kekerasan seksual sering dijumpai seperti pemerkosaan, pelecehan


seksual yang tidak diinginkan, pemerkosaan sistematis, perbudakan seksual, dan lainnya.
Kekerasan seksual dapat mentargetkan siapapun tanpa memandang jenis kelamin, usia,
ataupun kategori spesifik lain. Terkadang, masyarakat menganggap remeh kasus kekerasan
seksual saat pelaku merupakan seorang perempuan akibat stigma yang ada. Pada pelaku
sendiri, terdapat faktor-faktor penyebab atas mengapa mereka melakukan kekerasan seksual,
salah satunya terkait dengan kognisi pelaku. Tujuan: memberikan gambaran kognisi pada p
erempuan pelaku kekerasan seksual. Metode: Kajian literatur dilakukan berdasarkan hasil te
laah pada 7 artikel ilmiah yang sesuai dengan kriteria inklusi dan ujh eksklusi, yang dihimpu
n dari PubMed, RAINN, MedScape, Livingwell, dan NCBI. Hasil: Trauma berat, riwayat m
engalami kekerasan seksual, dan perilaku antisosial menjadi faktor risiko utama dari peremp
uan pelaku kekerasan seksual. Perempuan pelaku kekerasan seksual memiliki rasa tidak bers
alah dan tidak bertanggung jawab, persoalan kesehatan mental seperti PTSD dan ADHD, ke
cenderungan menonton film pornografi dengan adegan kekerasan terutama pada pelaku rem
aja perempuan. Dapat dikatakan bahwa lingkungan sosial sangat berperan penting dalam me
mbangun karakter seseorang dan melihat tingkat kemiripan pemikiran yang terdistorsi antara
pelaku laki-laki dan perempuan, pendekatan pengobatan yang biasa digunakan laki-laki mun
gkin dapat digunakan oleh perempuan pelaku kekerasan seksual. Kesimpulan: Perempuan p
elaku kekerasan seksual memiliki keyakinan dan sikap yang menyimpang akibat adanya dist
orsi kognitif tingkat tinggi yang serupa dengan pelaku kekerasan seksual laki-laki.

Kata Kunci: pelaku perempuan, kekerasan seksual, kognisi

Referensi : 41 (1999-2022)

Universitas Kristen Krida Wacana


ABSTRACT
LITERATURE REVIEW:
FEMALE SEXUAL OFFENDERS’ COGNITION
Vania Hadi
102016208

(x + 33 pages: 1 table)

Background: Sexual violence that often encountered are rape, unwanted sexual harassment,
systematic rape, sexual slavery, and others. Sexual violence can target anyone regardless of
their gender, age, or other specific categories. At times, people tend to underestimate sexual
violence when the perpetrator is a woman, due to the existing stigma. For the perpetrators
themselves, there are factors that can cause them to commit sexual violence, one of which is
related to the cognition of the perpetrator. Purpose: to provide an overview of the cognition
of female perpetrators of sexual violence. Method: The literature review was conducted
based on the results of a review of 7 scientific articles that met the inclusion criteria and
exclusion tests, which were compiled from PubMed, RAINN, MedScape, Livingwell, and
NCBI. Results: Severe trauma, a history of experiencing sexual violence, and antisocial
behavior are the main risk factors for women who are perpetrators of sexual violence.
Female perpetrators of sexual violence have a sense of innocence and irresponsibility,
mental health problems such as PTSD and ADHD, and a tendency to watch pornographic
films with violent scenes, especially among female perpetrators. It can be said that the
social environment plays an important role in building one's character and seeing the level
of similarity of distorted thinking between male and female perpetrators, the treatment
approach that is usually used by men may be used by women who are perpetrators of sexual
violence. Conclusion: Female perpetrators of sexual violence have deviant beliefs and
attitudes due to a high level of cognitive distortion similar to that of male perpetrators of
sexual violence.

Keywords: female perpetrators, sexual violence, cognition

Reference: 41 (1999-2022)
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kekerasan berasal dari kata keras di mana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), merupakan perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan
cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang milik
orang lain dan dapat berupa paksaan.1 Kekerasan sendiri dapat berbentuk serangan
atau penganiayaan secara fisik ataupun psikis. Kekerasan dibagi dalam dua kategori
yaitu kekerasan fisik dan non fisik.

Kekerasan fisik merupakan kekerasan kasat mata, dimana terdapat sentuhan fisik
langsung antara pelaku dan korban seperti memukul, menendang, menampar,
melempar korban dengan barang, dan lainnya. Sementara itu, kekerasan non fisik
berupa kekerasan yang tidak kasat mata, yang berarti tidak dapat diketahui secara
pasti apakah terdapat kontak langsung antara pelaku dan korban. Kekerasan secara
fisik dan non fisik (verbal ataupun psikologis) dapat mempengaruhi kondisi fisik dan
mental dari seseorang serta dapat menimbulkan trauma hingga kematian.

Berdasarkan sebuah studi pada tahun 2011, terdapat empat jenis kekerasan yang
sering terjadi yaitu kekerasan secara fisik, emosional, ekonomi dan seksual.
Kekerasan fisik dan terutama kekerasan seksual sering dijumpai. 2 WHO (2021)
menyebutkan bahwa secara global, 1 dari 3 (30%) perempuan di seluruh dunia telah
atau pernah mengalami kekerasan secara fisik atau seksual dari pasangan ataupun
orang lain dalam hidup mereka dan sekitar 1⁄3 (27%) perempuan berumur 15-49 tahun
merupakan korban kekerasan pasangan.3

Sebuah organisasi dukungan terhadap pria korban pelecehan serta kekerasan seksual
yang berbasis di Australia juga menunjukkan prevalensi kekerasan seksual di
beberapa bagian dunia di tahun 2013. Prevalensi terbesar berada di Barbados,
Trinidad, dan Jamaica (40-54%) dan terkecil di China (12%). Sementara itu,
Indonesia (6/7-12%) menempati urutan ke 12.4

WHO (2012) menyebutkan terdapat jenis-jenis kekerasan seksual seperti


pemerkosaan dalam rumah tangga/hubungan berkencan, pemerkosaan oleh orang
asing/kenalan, pelecehan seksual yang tidak diinginkan (di tempat kerja atau
sekolah), pemerkosaan sistematis, perbudakan seksual, dan bentuk kekerasan lainnya
seperti pemaksaan kehamilan, pelecehan seksual terhadap orang dengan cacat fisik
atau mental, pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap anak, serta suatu bentuk
kekerasan seksual yang lazim yakni pernikahan paksa.5

Pada umumnya, masyarakat akan mengasosiasikan istilah kekerasan seksual sebagai


tindakan penganiayaan yang dilakukan kepada wanita ataupun anak-anak. Namun,
kekerasan seksual dapat mentargetkan siapapun tanpa memandang jenis kelamin,
usia, ataupun kategori spesifik lainnya. Meskipun pengetahuan masyarakat terhadap
berbagai kasus kekerasan secara umum cukup baik dan istilah tersebut sudah familiar,
terkadang masyarakat menganggap remeh kasus kekerasan seksual disaat pelaku
merupakan seorang perempuan. Hal ini diakibatkan oleh stigma yang ada mengenai
kekerasan seksual. Masih banyak stereotip yang beredar bahwa seorang perempuan
lebih wajar dilecehkan secara seksual daripada seorang laki-laki (62.8%).6

Dari tahun 2016 hingga 2018, Komnas Perempuan mencatat terdapat 17.088 kasus
kekerasan seksual.6 Selanjutnya, sebuah survei dari Koalisi Ruang Publik Aman
(KRPA), menunjukkan bahwa 64% atau 3 dari 5 perempuan serta 11% atau 1 dari 10
laki-laki setidaknya pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik.7

Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2015, terdapat sekitar 46.8%
laki-laki dan 38.8% perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual dan
melaporkan hal tersebut ke polisi.8 Hal tersebut menggambarkan bahwa laki-laki
dapat menjadi korban pelecehan atau kekerasan seksual baik dengan pelaku yang
juga laki-laki atau perempuan. Pada tahun 2014 di Indonesia, terdapat kasus
pelecehan seksual terhadap seorang murid laki-laki yang diduga dilakukan oleh guru
perempuan nya. Berita ini pun cukup dibincangkan karena pelaku yang berprofesi
sebagai guru dan merupakan seorang perempuan.

Sebuah penelitian di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa perempuan pelaku


kejahatan seksual lebih umum daripada yang diperkirakan sebelumnya. Melihat data
hasil survei dari Center for Disease Control pada tahun 2011, jumlah laki-laki dan
perempuan yang melapor bahwa mereka dipaksa untuk melakukan hubungan seks
non-konsensual adalah sama. Sebuah survei serupa memperkirakan hampir 4,5 juta
pria di Amerika Serikat pernah dipaksa untuk melakukan penetrasi kepada pelaku dan
dalam 79,2% kasus, pelaku pemaksaan hubungan seksual tersebut adalah seorang
perempuan.9

Selain itu, data dari Department of Justice Canada menunjukkan 53 dari 57


partisipan merupakan korban pelecehan dari orang terdekat seperti anggota
keluarga.10 International NGO Forum on Indonesian Development (2020) juga
menyebutkan dalam laporannya, sebanyak 5 dari 7 orang responden (71.8%) pernah
mengalami sendiri kekerasan seksual atau mengetahui anggota keluarga ataupun
orang lain yang dikenal yang pernah menjadi korban kekerasan seksual.6

Pada pelaku sendiri, terdapat faktor-faktor penyebab atas mengapa mereka


melakukan kekerasan seksual seperti faktor kelalaian orang tua, faktor rendahnya
moralitas dan mentalitas pelaku yang mengakibatkan perilaku tidak terkontrol, faktor
ekonomi yang memudahkan pelaku dalam mentargetkan korban,11 dorongan seksual
yang tinggi, perkembangan internet yang memudahkan akses untuk melihat tayangan
yang mengandung kekerasan atau pornografi yang kemudian membuat individu
kecanduan tayangan pornografi yang mengandung kekerasan, gaya hidup, serta
gangguan proses berfikir dimana tidak dapat membedakan mana hal yang salah dan
benar.12

Semua hal di atas terkait dengan kognisi pelaku. Kognisi sendiri merupakan tindakan
mental atau proses memperoleh pengetahuan dan pemahaman melalui pikiran,
pengalaman, dan indera seseorang serta merupakan kombinasi dari proses di otak
yang terlibat dalam hampir setiap aspek kehidupan.13 Hal-hal tersebut termasuk
pemikiran, memori, bahasa, penilaian, dan kemampuan untuk mempelajari hal-hal
baru.

Pendekatan kognitif mengacu pada sebuah perolehan, penyimpanan, transformasi,


serta penggunaan pengetahuan oleh seseorang. Perilaku yang dimiliki oleh pelaku
kekerasan seksual dapat dipengaruhi oleh penyimpangan seksual yang ada.14 Sebuah
penelitian juga menunjukkan dengan ada nya distorsi dari kognitif pelaku kekerasan
seksual usia remaja dapat menyebabkan pengulangan dari tindak kejahatan tersebut.
Masih sedikit literatur yang membahas mengenai perempuan yang berperan sebagai
pelaku kekerasan seksual terutama dari sisi kognitifnya. Oleh karena itu, dalam
literature review ini penulis akan membahas beberapa artikel penelitian terkait proses
berpikir atau kognisi dari perempuan pelaku kekerasan seksual.

Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang ingin diketahui berdasarkan latar belakang adalah sisi kogniti
f atau proses berpikir dari perempuan pelaku kekerasan seksual.

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum
Memberikan gambaran kognisi pada pelaku kekerasan seksual.
Tujuan Khusus
Memberikan gambaran kognisi pada perempuan pelaku kekerasan seksual.
Manfaat Penelitian

Bagi Penulis
Memberikan pengetahuan pada peneliti mengenai kognisi perempuan pelaku
kekerasan seksual dan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ke
dokteran di Universitas Kristen Krida Wacana.
Bagi Institusi
Menambah referensi penelitian untuk institusi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehat
an Universitas Kristen Krida Wacana tentang gambaran kognisi pada perempuan pel
aku kekerasan seksual.
Bagi Pembaca
Manfaat dari penelusuran literatur ini yaitu dapat menjadi salah satu sumber informasi
bagi masyarakat tentang gambaran kognisi pada perempuan pelaku kekerasan seksual.
8

TINJAUAN PUSTAKA

Kekerasan

Kekerasan berasal dari kata keras dimana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), merupakan perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan
cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang milik
orang lain dan dapat berupa paksaan.1 Kekerasan sendiri dapat berbentuk serangan
atau penganiayaan secara fisik ataupun psikis. Kekerasan dibagi dalam dua kategori y
aitu kekerasan fisik dan non fisik.

Kekerasan fisik merupakan kekerasan kasat mata, dimana terdapat sentuhan fisik lang
sung antara pelaku dan korban seperti memukul, menendang, menampar, melempar k
orban dengan barang, dan lainnya. Sementara itu, kekerasan non fisik berupa kekeras
an yang tidak kasat mata, yang berarti tidak dapat diketahui secara pasti apakah terda
pat kontak langsung antara pelaku dan korban. Kekerasan secara fisik dan non fisik (v
erbal ataupun psikologis) dapat mempengaruhi kondisi fisik dan mental dari seseoran
g serta dapat menimbulkan trauma hingga kematian.

Kekerasan adalah sebuah tindakan tidak menyenangkan yang bisa melibatkan fisik
maupun kejiwaan atau psikis yang dilakukan suatu pihak kepada pihak lainnya. Menu
rut KBBI, kekerasan adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyeba
bkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang o
rang lain.15

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, “kekerasan” diartikan dengan perihal yang bersifat,
berciri keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain,
atau menyebabkan kerusakan fisik. Dengan demikian, kekerasan merupakan wujud p
erbuatan yang lebih bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit atau unsur ya
ng perlu diperhatikan adalah berupa paksaan atau ketidakrelaan pihak yang dilukai.

Kata kekerasan sepadan dengan kata “violence” dalam bahasa Inggris diartikan sebag
ai suatu serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseo

Universitas Kristen Krida Wacana


rang. Menurut para ahli kriminologi, “kekerasan” yang mengakibatkan terjadinya ker
usakan fisik adalah kekerasan yang bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu, kek
erasan merupakan kejahatan.16,17

Terlebih lagi jika melihat definisi yang dikemukakan oleh Sanford Kadish dalam Enc
yclopedia of Criminal Justice, beliau mengatakan bahwa kekerasan adalah semua jeni
s perilaku yang tidak sah menurut kadang-kadang, baik berupa suatu tindakan nyata
maupun berupa kecaman yang mengakibatkan pembinasaan atau kerusakan hak milik.
18

Kekerasan Seksual

Kekerasan Seksual adalah adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina,


menyerang dan atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu
perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan atau fungsi reproduksi, secara paksa,
bertentangan dengan kehendak seseorang, dan atau tindakan lain yang menyebabkan
seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena
ketimpangan relasi kuasa, relasi gender dan atau sebab lain, yang berakibat atau dapat
berakibat penderitaan atau kesengsaraan terhadap secara fisik, psikis, seksual,
kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik.19

Menurut Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, kekerasan seksual adalah setiap pe


rbuatan merendahkan, menghina, melecehkan dan atau menyerang tubuh, dan atau fu
ngsi reproduksi seseorang, yang berakibat penderitaan psikis dan atau fisik termasuk
gangguan kesehatan reproduksi seseorang.20

Pelecehan Seksual yaitu tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun nonfisik denga
n sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Tindakan yang dimaksud termasuk j
uga siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukkan materi pornograf
i dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, dan gerakan atau isya
rat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, me
rasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan
dan keselamatan.19

Kekerasan seksual didefenisikan sebagai setiap tindakan seksual, usaha melakukan


tindakan seksual, komentar atau menyarankan untuk berperilaku seksual yang tidak
disengaja ataupun sebaliknya, tindakan pelanggaran untuk melakukan hubungan
seksual dengan paksaan kepada seseorang (WHO, 2017).21

Data Komnas Perempuan menunjukkan kekerasan seksual terjadi pada semua ranah,
yaitu: personal, publik, dan negara. Ranah personal berarti kekerasan seksual dilakuk
an oleh orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), kek
erabatan, perkawinan (suami), maupun relasi intim (pacaran) dengan korban. Sebanya
k ¾ (70,11%) kekerasan seksual berada pada ranah personal, atau dilakukan oleh ora
ng yang memiliki hubungan dekat.22

Ranah berikutnya adalah ranah publik (22.284 kasus) yang berarti kasus ini melibatka
n korban dan pelaku yang tidak memiliki hubungan kekerabatan, darah, ataupun perk
awinan. Pelaku yang adalah majikan, tetangga, guru, teman sekerja, tokoh masyaraka
t, ataupun orang yang tidak dikenal tergolong dalam ranah publik. Ranah negara adal
ah jika pada peristiwa kekerasan, aparat negara berada di lokasi kejadian namun tidak
berupaya untuk menghentikan atau membiarkan tindak kekerasan tersebut berlanjut.
Pada dasarnya, siapa saja dapat menjadi korban dari kekerasan dan/atau kekerasan se
ksual. Kekerasan seksual dapat berdampak buruk dan mempengaruhi kesehatan (fisik
maupun psikis) untuk jangka waktu yang lama.22

Jenis-jenis Kekerasan Seksual

1. Perkosaan
Serangan berupa penetrasi terhadap bagian seksual seseorang dengan
menggunakan organ seksual pelaku ke organ seksual korban, anus atau
mulut, dan atau menggunakan bagian tubuh lain yang tidak merupakan
organ seksual atau pun benda-benda lainnya. Serangan dapat beserta
kekerasan, ancaman kekerasan, ataupun dengan pemaksaan sehingga
mengakibatkan rasa takut akan kekerasan, dibawah paksaan, penahanan,
tekanan psikologis, dan lainnya.22
2. Pelecehan seksual
Tindakan seksual yang dapat melalui kontak fisik maupun non fisik,
terhadap bagian tubuh seseorang secara seksual, seperti menggunakan
siulan, main mata, komentar atau ucapan bernuasa seksual,
mempertunjukkan materimateri pornografi dan keinginan seksual, colekan
atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual
sehingga mengakitbatkan rasa tidak nyaman, dan sebagainya.22
3. Eskploitasi seksual
Percobaan penyalahgunaan kekuatan yang berbeda untuk tujuan seksual
pelaku serta tidak terbatas untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk
uang, sosial maupun politik dari eksploitasi seksual terhadap orang lain.
Contoh nya adalah tindakan mengiming-imingi perkawinan untuk
memperoleh layanan seksual dari perempuan.22
4. Penyiksaan seksual
Perbuatan yang secara khusus menyerang organ seksual ataupun non-
seksual dan seksualitas perempuan yang dilakukan dengan sengaja,
sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik
jasmani, rohani, maupun seksual pada seseorang.22
5. Perbudakan seksual
Sebuah tindakan penggunaan kekuasaan yang melekat pada “hak
kepemilikian” terhadap seseorang. Hal ini termasuk akses seksual melalui
pemerkosaan atau tindakan kekerasan seksual lain. Hal ini mencakup
pemaksaan untuk menikah, memberikan pelayanan rumah tangga atau
bentuk kerja paksa yang pada akhirnya melibatkan kegiatan seksual paksa
termasuk perkosaan oleh pelaku penyekap. 22

6. Intimidasi/serangan bernuansa seksual termasuk ancaman atau


percobaan perkosaan
Tindakan menyerang seksualitas dan dapat menimbulkan rasa takut atau
penderitaan psikis pada korban. Dapat secara langsung maupun tidak
langsung melalui surat, pesan, email, dan lain-lain. 22
7. Prostitusi paksa
Sebuah kondisi dimana seseorang dipaksa menjadi pekerja seks, baik
melalui penipuan, ancaman, atau kekerasan. Pemaksaan ini dapat terjadi
pada saat perekrutan dan/atau membuat korban tidak berdaya untuk
melepaskan diri dari prostitusi. Prostitusi memiliki beberapa dampak
tetapi tidak selalu sama dengan perdagangan seks untuk tujuan seksual.22
8. Pemaksaan kehamilan
Ketika seorang perempuan melanjutkan kehamilan yang tidak
diinginkannya karena tekanan, ancaman, atau paksaan dari pihak lain.
Kondisi ini bisa dialami oleh perempuan yang diperkosa dan tidak diberi
pilihan lain selain melanjutkan kehamilan nya.22
9. Pemaksaan aborsi
Pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan,
ancaman, maupun paksaan dari pihak lain. 22
10. Pemaksaan perkawinan
Meliputi perkawinan dimana perempuan diikat diluar kehendaknya
dengan maksud untuk mengurangi beban ekonomi keluarga dan alasan
lainnya.22
11. Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual
Meliputi perbuatan, pengangkutan, penyimpanan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penculikan, pengurungan, penipuan, atau penipuan untuk tujuan pelacuran
atau eksploitasi seksual lainnya. 22

12. Kontrol seksual termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi


perempuan lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan
agama.
Termasuk tindakan kekerasan fisik atau non fisik yang ditujukan kepada
perempuan, baik tindakan tersebut merupakan tindakan kekerasan berbasis
gender maupun bukan, dalam upaya memaksa mereka untuk memakai
pakaian tertentu atau dinyatakan melanggar hukum karena cara
berpakaiannya.22
13. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual
Hukuman tidak manusiawi yang menyebabkan penderitaan, rasa sakit,
ketakutan, atau rasa malu yang luar biasa. Hukuman cambuk dan yang
merendahkan martabat manusia yang ditujukan kepada mereka yang
dituduh melanggar norma moral termasuk dalam kategori ini.22
14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau
mendiskriminasi perempuan.
Kebiasaan seksual yang dilakukan oleh suatu komunitas, terkadang
didukung oleh alasan agama dan budaya, yang dapat ditimbulkan secara
fisik, psikologis atau seksual pada perempuan atau dilakukan untuk
mengendalikan seksualitas perempuan.22

Dampak Kekerasan Seksual

Akibat kekerasan yang diterima, sangat dimungkinkan korban mengalami gangguan p


sikologis yang dapat berupa gangguan emosional, gangguan perilaku maupun ganggu
an kognisi. Gangguan emosional yang dimaksud yakni emosi yang tidak stabil dan be
rdampak pada suasana hati memburuk. Kemudian, gangguan perilaku cenderung terli
hat pada perubahan perilaku korban ke hal yang lebih negatif seperti rasa malas yang
berlebihan. Terakhir adalah gangguan kognisi yakni gangguan yang mempengaruhi p
ola pikir korban sehingga sulit untuk berkonsentrasi, sering melamun dan pikiran kos
ong atau hal sejenis lainnya. 23

Dampak psikologis dari tindak kekerasan tidak sesederhana pemikiran masyarakat u


mum. Begitu psikologis korban terkena dampaknya, maka pola pikir korban perlaha
n-lahan berubah dan mempengaruhi ke berbagai hal. Mulai dari cara berpikir terhada
p sesuatu, kestabilan emosi yang rentan, hingga depresi. Dampak psikologis tersebut
dapat dikatakan sebagai suatu jenis trauma pasca kejadian. Dimana trauma ini cukup
mempengaruhi korban, khususnya menyebabkan ketakutan dan kecemasan berlebiha
n sebagai akibat dari otak yang tanpa sengaja mengkilas balik akan kejadian kekerasa
n yang pernah dialami. 23

Sebagian orang yang mengalami trauma akan merasakan cemas, was-was, bahkan ket
akutan yang sangat dalam saat mengalami suatu kejadian yang mirip dengan tindak k
ekerasan yang pernah dialami. Hal ini tidak dapat dihindari karena ini merupakan sala
h satu dampak psikologis dari kekerasan seksual. Untuk mengurangi tekanan psikolo
gis yang dialami dari trauma tersebut, korban biasanya akan meluapkan pemikiran ata
u perasaan nya pada orang lain guna mendapat saran dan menenangkan dirinya sendir
i. 23

Korban juga mengalami depresi akibat dari kejadian yang menimpanya. Depresi tentu
nya tidak dapat diremehkan karena kemungkinan terburuk dari orang depresi adalah k
eputusan untuk mengakhiri hidup sendiri. Kemungkinan paling kecil dan paling ringa
n dari seorang yang depresi adalah tindak selfharm atau menyakiti diri sendiri. Entah
itu mengiris-iris bagian tubuh dengan cutter, gunting, dan lain sebagainya yang bersif
at melukai diri sendiri.23

Kognitif

Beberapa pengertian kognitif menurut para ahli diantaranya; menurut Drever yang
dikutip oleh Yulianid Nurani dan Sujiono, disebutkan bahwa “kognitif adalah istilah
umum yang mencakup segenap model pemahaman, yakni persepsi, imajinasi,
penangkapan makna, penilaian, dan penalaran.”24

Sedangkan menurut Piaget, menyebutkan bahwa “kognitif adalah bagaimana anak


beradaptasi dan menginterpretasikan objek dan kejadian-kejadian disekitarnya.”. Piag
et memandang bahwa anak memainkan peranan aktif didalam menyusun pengetahuan
nya mengenai realitas, dan tidak pasif menerima informasi. Walaupun proses berpikir
dan konsepsi anak mengenai realitas telah dimodifikasi oleh pengalamannya dengan
dunia sekitar, namun anak juga aktif menginterpretasikan informasi yang ia peroleh d
ari pengalaman, serta dalam mengadaptasikannya pada pengetahuan dan konsepsi.25

Pengertian lain juga tentang kognitif menurut Chaplin yang di kutip oleh Winda
Gunarti mengemukakan bahwa “kognitif adalah konsep umum yang mencakup
semua bentuk mengenal, menyangka, membayangkan, memperkirakan, menduga dan
menilai.26,27

Dari berbagai penilaian yang telah disebutkan diatas, dapat dipahami bahwa kognitif
adalah sebuah istilah yang digunakan oleh psikolog untuk menjelaskan semua
aktifitas mental yang berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan, dan pengolahan
informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan
masalah, dan merencanakan masa depan, atau semua proses psikologis yang
berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari, memperhatikan, mengamati,
membayangkan, memperkirakan, menilai, dan memikirkan lingkungannya.26,27

Terdapat pendapat lain yang menyatakan bahwa banyak faktor yang dapat mempenga
ruhi perkembangan kognitif, seperti: 26,27
1. Faktor Hereditas/Keturunan
Teori hereditas atau nativisme yang dipelopori oleh seorang ahli filsafat
Schopenhauer, mengemukakan bahwa manusia yang lahir sudah
membawa potensi tertentu yang tidak dapat dipengaruhi oleh lingkungan.
Taraf intelegensi sudah ditentukan sejak lahir. 26,27

2. Faktor Lingkungan
John Locke berpendapat bahwa, manusia dilahirkan dalam keadaan suci
seperti kertas putih yang belum ternoda, dikenal dengan teori tabula rasa.
Taraf intelegensi ditentukan oleh pengalaman dan pengetahuan yang
diperolehnya dari lingkungan hidupnya. 26,27
3. Faktor Kematangan
Tiap organ (fisik maupaun psikis) dikatakan matang jika telah mencapai
kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing. Hal ini berhubungan
dengan usia kronologis.26,27
4. Faktor Pembentukan
Pembentukan adalah segala keadaan di luar diri seseorang yang
mempengaruhi perkembangan intelegensi. Ada dua pembentukan yaitu
pembentukan sengaja (sekolah formal) dan pembentukan tidak sengaja
(pengaruh alam sekitar). 26,27
5. Faktor Minat dan Bakat
Minat mengarahkan perbuatan kepada tujuan dan merupakan dorongan
untuk berbuat lebih giat dan lebih baik. Bakat seseorang akan
mempengaruhi tingkat kecerdasannya. Seseorang yang memiliki bakat
tertentu akan semakin mudah dan cepat mempelajarinya. 26,27
6. Faktor Kebebasan
Keleluasaan manusia untuk berpikir divergent (menyebar) yang berarti
manusia dapat memilih metode tertentu dalam memecahkan masalah dan
bebas memilih masalah sesuai kebutuhan.26,27
7. Faktor Usia
Berdasarkan sebuah jurnal yang mengulas mengenai perubahan kognitif
yang terjadi dengan penuaan normal, korelasi struktural dan fungsional
dari perubahan kognitif, serta prevalensi dan efek kognitif penyakit terkait
usia, dapat dikatakan bahwa perubahan yang ada pada kognitif seseorang
terjadi seiring bertambah nya usia. Perubahan yang terpenting merupakan
penurunan tingkat kognitif yang mengharuskan seseorang untuk dengan
cepat memproses atau mengubah informasi untuk membuat keputusan,
termasuk ukuran kecepatan pemrosesan, memori kerja, dan fungsi kognitif
eksekutif.28
METODOLOGI

Metode

Metode yang digunakan pada penulisan literature review ini adalah strategi secara ko
mprehensif, contohnya dengan pencarian artikel dalam database jurnal penelitian, yak
ni pencarian melalui internet. Pencarian database yang digunakan meliputi PubMed,
RAINN, MedScape, Livingwell, dan NCBI. Kata kunci yang digunakan dalam pencari
an artikel yaitu pelaku perempuan, kekerasan seksual, dan kognisi. Tinjauan literatur
memperoleh sekitar 40 artikel yang didapat dari pencarian dengan menggunakan kat
a kunci. Namun, pada proses seleksi sesuai dengan analisis tujuan, kesesuaian topik,
metode penelitian yang digunakan, hasil dari setiap artikel yang ditemukan dan keterb
atasan yang ditemukan, sehingga hasil akhirnya menggunakan 7 artikel yang dapat dil
ihat pada tabel dibawah ini.

Beberapa referensi jurnal-jurnal yang telah dipilih oleh peneliti sesuai dengan kata ku
nci yang kemudian akan dipilah agar mendapatkan hasil yang sesuai. Selanjutnya jurn
al-jurnal akan dikumpulkan, lalu diuraikan hasil dari jurnal penelitian serta teori dari
artikel, tinjauan pustaka yang berkaitan dengan kognisi pada perempuan pelaku kek
erasan seksual.

Kriteria Inklusi

1. Jurnal dalam bentuk naskah lengkap.


2. Jurnal dengan berdasarkan penelitian kesehatan.
3. Jurnal dengan subjek yang sesuai yaitu pada perempuan.
4. Jurnal dapat di akses.
5. Jurnal yang menggunakan Bahasa Indonesia / Inggris.

Kriteria Eksklusi

1. Jurnal tidak sesuai dengan pembahasan.


2. Tujuan tidak relevan.
3. Metode tidak jelas.
4. Jurnal tidak dapat di akses.
5. Jurnal hanya menampilkan sebagian teks atau tidak full text.

Hasil Penelusuran

Berdasarkan hasil penelusuran di PubMed, RAINN, MedScape, Livingwell, dan NCBI


dengan kata kunci pelaku perempuan, kekerasan seksual, dan kognisi. Beberapa jurna
l yang ditemukan sesuai kata kunci pencarian tersebut kemudian dilakukan skrining, s
ebagian jurnal dieksklusi karena tidak tersedia artikel full text. Penilaian kelayakan dil
akukan terhadap jurnal full text dilakukan, jurnal yang duplikasi dan tidak sesuai krite
ria inklusi dilakukan eksklusi akan dibuang, sehingga didapatkan jurnal full text yang
dilakukan review.

Jurnal ditemukan lewat internet sesuai


kata kunci (n =40)

Jurnal dilakukan skrining (n=33) Jurnal dieksekusi

Jurnal full text dilakukan assesment k Jurnal full text di eksekusi


elayakan (n=23) berdasarkan kriteria ataup
un adanya tanda duplikasi
(n =3)

Tidak bisa diunduh


(n =13 )
Jurnal Full text dilakukan review (n
=7)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Hasil Pencarian Artikel Penelitian

No. Penulis Judul Metode Hasil


1 Kubik EK, e Adolescent Females W1. Studi pertama menggunakan 1. Studi pertama menunjukkan kelompok
t al (2003).29 ho Have Sexually Offe metode pengumpulan data dan remaja perempuan dengan riwayat pela
nded: Comparisons wit membandingkan 11 remaja
h Delinquent Adolesce nggaran seksual cenderung memiliki ri
perempuan dengan riwayat
nt Female Offenders an
pelanggaran kejahatan seksual wayat pelaku antisosial yang kurang pe
d Adolescent Males W
ho Sexually Offend. dan 11 remaja perempuan rvasif dibandingkan dengan kelompok r
lainnya dengan riwayat
emaja perempuan dengan riwayat pelan
pelanggaran yang melibatkan
korban non-seksual yang ggaran yang melibatkan korban non-sek
terlibat dalam kasus terbuka sual.
dengan Departemen
Pemasyarakatan Maine (DOC)
2. Persamaan sikap yang ditemukan meng
dari 1 Juni 1997 hingga 31
Mei 1998. Studi kedua juga enai perilaku pelanggaran dalam studi k
menggunakan metode yang onsisten dengan temuan pada pelanggar
sama seperti studi pertama
an yang dilakukan oleh remaja laki-lak
namun terhadap 11 remaja
putri dengan riwayat i, dimana ditunjukkan adanya sedikit pe
pelanggaran kejahatan seksual rbedaan dalam tingkat distorsi kognitif
pada studi pertama dan 11 apabila dibandingkan dengan mereka y
remaja laki-laki dengan
riwayat pelanggaran kejahatan ang melakukan pelanggaran non-seksua
seksual serta mengeksplorasi l. Hal ini juga konsisten dengan studi ya
persamaan dan perbedaan di ng telah terbit sebelumnya (Bumby & B
antara kedua kelompok.
umby, 1997; Matthews et al., 1997),

3. Studi kedua menunjukkan bahwa remaj


a laki-laki dan perempuan memiliki ke
miripan dalam riwayat psikososial dan
kriminal, karakteristik dari pelanggaran
seksual, dan tingkat keparahan yang sa
ma dalam perilaku pelanggaran yang te
rkait.

2 Slotboom A Contrasting Adolescent1. Metode yang digunakan1. Pada kelompok remaja perempuan denga
M, et al (20 Female and Male Sexu adalah pengumpulan data n risiko menengah dan tinggi, keyakinan
11).30 al Aggression: A Self- dengan menggunakan
Report Study on Preval akan aktivitas seksual yang tinggi dari se
kuesioner laporan diri pada
ence and Predictors of
451 perempuan dan 382 laki- sama rekan perempuan tampaknya mem
Sexual Aggression.
laki dari tiga kelompok risiko prediksi tingkat agresi seksual dari kelom
berbeda.
pok tersebut.
2. Pada kelompok remaja perempuan denga
n risiko tinggi, kekerasan fisik oleh orang
tak dikenal menjadi prediktor terkuat, dis
usul oleh keyakinan akan aktivitas seksu
al yang tinggi dari sesama rekan peremp
uan.

3 Kubik EK, e Cognitive Distortions 1. Penelitian ini menggunakan m 1. Pada studi ini, kelompok remaja peremp
t al (2005).31 About Sex and Sexual etode kuesioner sketsa (vignet uan dengan riwayat kekerasan seksual m
Offending: A Compari tes questionnaires) pada 44 re
son of Sex Offending enunjukkan keyakinan serta sikap yang l
maja putri berusia 13 hingga 1
Girls, Delinquent Girl
8 tahun; dimana 11 di antaran ebih menyimpang mengenai pelanggaran
s, and Girls from The
Community. ya memiliki riwayat pelanggar seksual dibandingkan dengan dua kelom
an kekerasan seksual, 12 di ant
pok lainnya.
aranya memiliki riwayat pelan
ggaran non-seksual, dan 21 di
antaranya tidak memiliki riwa2. Keyakinan dan sikap menyimpang terseb
yat pelanggaran seksual maup ut meliputi perasaan tidak bersalah serta
un non-seksual.
merasa tidak bertanggung jawab atas kon
tak seksual yang diinisiasikan terhadap k
orban.

4 Strickland S Female Sex Offenders: 1. Penelitian ini menggunakan 1. Trauma berat pada masa kanak-kanak
M. (2008).32 Exploring Issues of Per metode perbandingan skor
dan kekerasan seksual merupakan
sonality, Trauma, and pada berbagai hasil ukuran
Cognitive Distortions. temuan utama pada penelitian serta
dari perempuan yang
menjalani tahanan di penjara merupakan faktor risiko signifikan dalam
negara bagian Georgia dengan perkembangan perilaku seksual
menggunakan The
menyimpang di masa depan bagi
Multiphasic Sex Inventory-II
Female version (MSI-II; perempuan dewasa.
Nichols & Molinder, 1996) 2. Hasil penelitian ini juga menunjukkan
sebagai pengukuran pada 60
bahwa perempuan pelaku pelanggaran
perempuan pelaku
pelanggaran kekerasan seksual kekerasan seksual memiliki latar
dan 70 perempuan pelaku belakang yang kurang mampu secara
pelanggaran non-seksual. umum dibandingkan dengan perempuan
pelaku pelanggaran non-seksual.
3. Meski demikian, tidak ditemukan
perbedaan signifikan terkait distorsi
kognitif dan subskala ketidakdewasaan.

5 Beech AR, e Assesing Female Sexu 1. Penelitian ini menggunakan m Hasil penelitian menunjukkan bahwa dar
t al (2009).33 al Offenders’ Motivati etode wawancara semi terstruk
i lima teori implisit oleh Ward (Ward, 20
ons and Cognitions: A tur pada 15 perempuan pelaku
n Exploratory Study. 00; Ward & Keenan, 1999) yang digunak
kekerasan seksual anak yang d
ipenjara. an untuk mendasari kognisi laki-laki pela
ku kekerasan seksual, terdapat empat di a
ntaranya yang dapat ditemukan pada pere
mpuan pelaku kekerasan seksual yaitu tid
ak terkendali (87%), dunia yang berbaha
ya (53%), anak-anak sebagai objek seksu
al (47%), dan sifat berbahaya (20%).

6 Gannon TA, Offense-Related Interp 1. Studi ini mengadaptasi metode


1. Hasil studi menunjukkan perempuan
et al (2009). retative Bias in Female paradigma pengenalan memori
yang melakukan kekerasan seksual lebih
34
Child Molesters: A Pre dari Eysenck et al (1991) pada
liminary Study. mungkin untuk menginterpretasikan
19 perempuan yang terpidana
pelanggaran kekerasan seksual informasi ambigu mengenai laki-laki dan
anak dan 18 perempuan yang memiliki sikap mengancam mengenai
terpidana pelanggaran non-
hal tersebut. Di sisi lain, pelaku maupun
seksual.
kontrol tidak menginterpretasikan
informasi ambigu terkait anak-anak
secara seksual.

7 Kjellgren C, Female Youth Who Se 1. Penelitian ini menggunakan m 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa per
et al (2011). xually Coerce: Prevale etode kuesioner laporan diri an ilaku seksual bersifat memaksa yang ada
35
nce, Risk, and Protecti onim pada remaja perempuan
ve Factors in Two Nati pada remaja perempuan sekolah meneng
dari sekolah menengah di Nor
onal High School Surv
way dan Sweden. ah di studi berkaitan dengan faktor risiko
eys. 
/kebutuhan umum untuk perilaku antisosi
al dan faktor risiko spesifik yang berhub
ungan dengan seksualitas.
PEMBAHASAN

Kekerasan seksual merupakan suatu kejadian menyimpang, di mana siapapun dapat


menjadi korban serta pelaku kekerasan seksual. Umumnya, kekerasan seksual dilakuk
an oleh laki-laki namun nyatanya perempuan juga dapat berperan sebagai pelaku kek
erasan seksual. Selain itu, kekerasan seksual sendiri dapat melibatkan anak-anak, yan
g meliputi tindakan/perlakuan yang diterima anak baik secara fisik, seksual, ataupun
psikis yang berdampak negatif pada anak.36

Bentuk kekerasan seksual sangat beragam, dari verbal; non-verbal; fisik ataupun mela
lui daring/teknologi komunikasi dan informasi. Hal yang membedakan kasus kekeras
an seksual diantara banyaknya kasus kekerasan adalah kasus kekerasan seksual memi
liki dampak trauma yang besar dan memilukan bagi korban serta sulit untuk dibuktika
n.37 Hal-hal yang dapat dialami seseorang saat menjadi korban perilaku kekerasan sek
sual diantaranya terjadi kelumpuhan sementara atau tonic immobility38, victim blamin
g, dan gender bias akibat kemungkinan ada nya tuduhan atau laporan palsu.

Tonic immobility adalah keadaan reaksi reflektif yang disebabkan oleh persepsi bahay
a yang tidak dapat dihindari, ditandai dengan adanya kelemahan pada motorik dan tid
ak responsif terhadap rangsangan. Dari 300 perempuan, sebanyak 7 dari 10 diantaran
ya mengalami tonic immobility39 dan karena hal tersebut, korban mengalami kelumpu
han sementara dan tidak dapat melawan pelaku.

Selanjutnya terdapat victim blaming yang dapat terjadi secara internal, yakni menyala
hkan diri sendiri dan eksternal, di mana pihak lain yang menyalahkan korban mengen
ai tindakan ataupun pakaian korban yang memicu pelaku melakukan kekerasan seksu
al terhadap korban.40 Terakhir adalah kemungkinan ada nya tuduhan atau laporan pals
u yang dapat menimbulkan gender bias, sehingga pada kasus kekerasan seksual, korb
an menjadi pusat perhatian.41

Pada penelitian yang dilakukan oleh Kubik dkk (2003)29, didapatkan bahwa perempua
n pelaku kekerasan seksual umumnya merupakan seseorang yang antisosial serta kura
ng pervasif jika dibandingkan dengan perempuan pelaku kekerasan non-seksual. Seca
ra sikap, ditemukan bahwa baik pelaku kekerasan seksual laki-laki dan perempuan m
emiliki kemiripan yang tinggi terkait tingkat distorsi dari kognitif mereka.

Penelitian oleh Kubik dkk pun sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bumby
& Bumby, 1997; Matthews et al, 1997. Matthews dkk membandingkan 67 responden
remaja perempuan dan 70 responden remaja laki-laki dengan keduanya memiliki latar
belakang sebagai pelaku kekerasan seksual. Pada sisi lain, Bumby dkk membandingk
an 18 responden perempuan dengan dua kelompok, 18 laki-laki dengan latar belakang
pelaku kekerasan seksual dan 16 perempuan tanpa latar belakang pelaku kekerasan se
ksual. Didapatkan bahwa keduanya, baik laki-laki dan perempuan memiliki kemiripa
n dalam riwayat psikososial dan kriminal, karakteristik dari pelanggaran seksual, sert
a tingkat keparahan yang sama dalam perilaku pelanggaran yang terkait.

Kubik dkk menjelaskan bahwa pada pelaku kekerasan seksual laki-laki dan perempua
n secara karakteristik, psikologis, perkembangan, dan latar belakang yang relevan terl
ihat bahwa keduanya memiliki kemiripan pada karakteristik psikososial umum. Pada
perempuan khususnya, memiliki kondisi gangguan mental yakni diagnosis PTSD yan
g lebih dominan dibanding laki-laki. Dilihat dari latar belakang penganiayaan pada ke
duanya, terlihat korban penganiayaan lebih banyak dialami oleh perempuan dan ada k
emungkinan bahwa perempuan mendapatkan pelecehan dari orang yang mereka kena
l dan mengalami kehamilan yang tidak diinginkan akibat pelecehan tersebut.29

Kejahatan seksual yang didakwakan pada perempuan diurutkan dari yang paling ting
gi yakni kontrak seksual yang tidak sah; penyerangan seksual berat dan penyerangan.
Pada laki-laki, yang tertinggi ialah penyerangan seksual berat; kontak seksual yang ti
dak sah dan penyerangan. Pada karakteristik pelaku kekerasan seksual, baik perempu
an maupun laki-laki, menyerang korban tanpa memandang jenis kelamin.

Contoh kekerasan seksual yang dilakukan oleh keduanya dapat berupa fondle genital
s atau memegang alat reproduksi/kelamin dari korban. Baik perempuan dan laki-laki
melakukan kekerasan seksual secara berulang, umumnya terjadi di rumah pelaku den
gan hubungan antara pelaku dan korban hanya sebatas kenalan biasa dengan adanya p
emaksaan pada korban, setidaknya agresi fisik.

Pada 2005, Kubik dan Hecker31 melakukan penelitian terkait perempuan pelaku keker
asan seksual, dimana hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa remaja putri d
engan riwayat pelanggaran seksual memiliki keyakinan dan sikap yang lebih menyim
pang terhadap pelanggaran yang dilakukan dibandingkan dengan kelompok lainnya;
yang memiliki riwayat pelanggaran non-seksual dan yang tidak memiliki riwayat pela
nggaran apapun. Keyakinan dan sikap yang menyimpang ini meliputi perasaan tidak
bersalah dan merasa tidak bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada korban. Pene
muan ini menjelaskan lebih dalam serta sejalan, dengan penelitian yang dilakukan Ku
bik dkk sebelumnya pada tahun 2003, dimana adanya sedikit perbedaan dalam tingkat
distorsi kognitif antara remaja perempuan dengan riwayat pelanggaran seksual dan re
maja perempuan dengan riwayat pelanggaran non-seksual.31

Dalam memprediksi tingkat agresi seksual seseorang, sebuah penelitian oleh Slotboo
m dkk30 pada remaja perempuan, laki-laki dan kelompok berisiko menunjukkan bahw
a tingkatan pendidikan juga memiliki pengaruh terhadap pengalaman seksual mereka.
Temuan sebanyak 1 dari 10 remaja laki-laki dan 1 dari 12 remaja perempuan memper
lihatkan bentuk dari agresi seksual. Selain itu, 1 dari 12 remaja perempuan menjadi k
orban dari kontak seksual yang tidak diinginkan oleh mereka. Pada kelompok risiko r
endah (berpendidikan tinggi) menunjukkan sebagian dari mereka merupakan pelaku d
ari agresi seksual.30

Hal ini memperlihatkan bahwa siapapun dapat menjadi pelaku agresi seksual tanpa m
emandang status pendidikan. Pada satu sisi dari kasus yang melibatkan pengadilan re
maja, perempuan dengan risiko menengah ternyata memiliki prevalensi yang tinggi di
bandingkan dengan perempuan risiko tinggi.
Dari segi faktor resiko, Strickland dkk32 menemukan bahwa bagi perempuan untuk m
emiliki perilaku menyimpang seksual, faktor risiko utama merupakan trauma berat ya
ng dialami pada masa anak-anak serta adanya kekerasan seksual yang dialami. Keker
asan fisik, pelecehan emosional dan seksual serta penelantaran juga merupakan faktor
penyebab dari perilaku menyimpang seksual yang ada. Pada umumnya pelaku memili
ki latar belakang yang kekurangan seperti tidak dapat memenuhi kehidupan yang laya
k, tidak mendapatkan makanan dengan gizi yang baik, serta tidak mampu mengakses
layanan kesehatan.

Trauma berat yang diderita pelaku baik secara fisik, mental, dan kekerasan seksual ju
ga membuat pelaku tidak dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi, tidak dapat m
engatur kesehatan diri, keterampilan komunikasi serta hubungan sosial yang kurang b
aik, dan perasaan berharga pada diri sendiri. Keluarga dari pelaku cenderung tidak m
emberikan kasih sayang yang dibutuhkan, di mana tidak adanya kehangatan dalam ke
luarga atau rumah tangga mereka (penyiksaan fisik, mental dan seksual). Dikarenaka
n kurangnya kemampuan bersosialisasi, pelaku menganggap bahwa kekerasan seksua
l yang mereka lakukan merupakan cara untuk bersosialisasi dengan orang lain dan um
umnya, pelaku merupakan pecandu dan mengkonsumsi alkohol dalam jumlah tinggi.3
2

Kembali mengenai faktor risiko, penelitian yang dilakukan oleh Kjellgren dkk mene
mukan bahwa perilaku seksual memaksa yang diperbuat oleh remaja perempuan pela
ku kekerasan seksual berkaitan dengan dua faktor risiko. Faktor risiko umum dimana
pelaku cenderung kurang aktif dalam bersosial jika dibandingkan dengan perempuan
normal lainnya, serta faktor risiko spesifik yaitu mitos akan pemerkosaan. Pada faktor
risiko umum yakni perilaku antisosial, secara dominan ditemukan banyak yang memi
liki masalah pertemanan terutama dengan teman sebaya, kabur, perkelahian, dan tem
peramental (anger issues).35

Ditemukan juga konsumsi alkohol terlalu dini dengan jumlah di atas normal, perilaku
yang sangat depresif dan sangat agresif. Terdapat juga penyalahgunaan ganja atau Ca
nnabis35, lebih dari dua kali lebih umum pada kalangan remaja perempuan yang mela
kukan tindak seksual paksa bila dibandingkan dengan grup kontrol. Namun, konsums
i alkohol cenderung lebih dominan karena konvensional serta mudah didapatkan diba
ndingkan dengan narkoba yang sulit didapatkan dan juga illegal. Dampaknya, banyak
perempuan yang dipenjara karena selain menjadi pelaku kekerasan seksual, juga men
gkonsumsi alkohol serta narkoba (baik dikonsumsi atau kepemilikan).35

Kjellgren dkk berpendapat bahwa perempuan pelaku kekerasan seksual juga menonto
n film atau tayangan pornografi terutama pornografi dengan unsur kekerasan. Mereka
memiliki nafsu seksual yang tinggi dan juga pasangan seks yang beragam. Sikap antis
osial ini diikuti dengan menikmati konten pornografi dan pro-pemerkosaan sehingga
menjadi masalah terutama sifat memaksa mereka dalam berhubungan seks.35

Masalah lain yang ada dalam perempuan pelaku kekerasan seksual adalah adanya ma
salah psikologis seperti Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), Anxiety Disorder, M
ood Disorder, Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dan Conduct Disord
er. Ditemukan juga bahwa pelaku berada di usia sekolah menengah pertama (SMP) d
an korban yang diserang ialah mereka yang sudah dewasa atau seumuran dengan pela
ku. Sedikit laporan mengenai korban yang berusia anak-anak atau dibawah pelaku.35

Di samping pemikiran dan sikap menyimpang, prediktor, serta faktor risiko dari pere
mpuan pelaku kekerasan seksual yang telah disebutkan, sebuah penelitian yang dilak
ukan Beech dkk33 memperoleh kognisi dan motivasi perempuan pelaku kekerasan sek
sual melalui wawancara semi-struktural. Analisis kualitatif dari penelitian Beech dkk
menunjukkan bahwa empat dari lima teori implisit (oleh Ward) untuk mendasari kog
nisi pelaku pelanggaran seksual laki-laki dapat diidentifikasi dengan jelas pada perem
puan pelaku kekerasan seksual.

Teori pertama dari keempat teori implisit adalah uncontrollability atau tidak terkendal
i, di mana mereka tidak dapat berpikir secara jernih, merasa dirinya lemah dan tidak c
ukup kuat untuk berhenti melakukan perbuatannya sehingga mereka dapat melakukan
nya secara terus menerus. Perilaku tidak terkontrol ini merupakan teori yang paling u
mum ditemukan dan terdapat pada 13 partisipan (87%) Beech dkk. Partisipan-partisip
an tersebut seringkali meyakini bahwa mereka tidak berpikir lurus dan hal ini menem
patkan mereka pada posisi yang rentan. Selain itu, beberapa partisipan percaya bahwa
karakter yang lemah dan kurangnya kekuatan menjadi alasan mereka tidak dapat men
ghentikan terjadinya pelecehan.33

Kedua, dangerous world atau dunia yang berbahaya, dimana lingkungan sosial dari p
erempuan pelaku kekerasan seksual dipandang sebagai ancaman, niat jahat orang lain
serta sifat destruktif, yang pada umumnya lebih dirasakan dari lingkungan keluarga.
Teori kedua ini ditemukan pada 8 partisipan (53%) pada penelitian Beech dkk. Lebih
dalamnya, rekan terdakwa pelaku kekerasan seksual (laki-laki) dipandang sebagai ind
ividu yang kejam dan dapat mengancam, hingga peserta pada penelitian Beech dkk m
elaporkan bahwa mereka sangat takut pada rekan terdakwa mereka dan percaya bahw
a jika mereka tidak bergabung, mereka juga akan menjadi korban.33

Ketiga merupakan children as sexual objects atau anak-anak sebagai objek seksual, di
mana pelaku melihat anak-anak yang tidak sesuai dengan umurnya cenderung terlihat
dewasa. Teori ini ditemukan pada 7 partisipan (47%) dan dimanifestasikan dalam tiga
cara yaitu korban sudah mampu membuat keputusan untuk berhubungan seksual deng
an orang dewasa; pelaku umumnya sudah melakukan hubungan seksual dengan korba
n dan merasa tertarik juga terangsang pada korban; dan pelaku berfikir bahwa korban
turut menikmati hubungan seksual yang dilakukan, ingin melakukan pengalaman ters
ebut serta pelaku juga merasa senang karena mereka tidak melaporkan kontak seksual
tersebut kepada pihak berwajib.33

Keempat adalah nature of harm atau sifat bahaya, di mana pelaku merasa pelecehan y
ang terjadi merupakan tindakan melindungi korban dari bahaya berkelanjutan atau ya
ng lebih parah. Sifat berbahaya ini dapat ditemukan pada 3 partisipan (20%) Beech d
kk. Salah satu contoh ialah bila pelaku melakukan pelecehan pada korban, maka keja
dian berhenti disitu dan rekan pelaku tidak akan melakukan pelecehan terhadap korba
n. Di situasi kemudian, diduga bahwa pelecehan dari rekan pelaku laki-laki akan beru
jung lebih buruk bagi korban dan berkemungkinan besar mengakibatkan penderitaan
berat dan kerusakan jangka panjang.33

Selanjutnya, hasil penelitian yang dilakukan oleh Gannon dkk34 menunjukkan bahwa
perempuan pelaku kekerasan seksual memandang laki-laki sebagai seseorang yang a
mbigu dan suka mengancam, sehingga adanya pemrosesan informasi yang bias. Pere
mpuan pelaku kekerasan seksual yang melakukan pelanggaran bersama laki-laki cend
erung pasif, patuh dan bergantung pada laki-laki. Namun, perempuan yang tidak mem
iliki kontak langsung berfikir bahwa laki-laki kerap melontarkan kalimat yang menga
ndung ancaman kepada mereka. Terkait dampak bias terhadap kekerasan yang dilaku
kan sendiri ataupun dengan laki-laki tidak dijelaskan.34

Perempuan pelaku kekerasan seksual tunggal umumnya melakukan aksinya dengan la


ki-laki dibawah umur karena mereka tidak mampu menciptakan hubungan atau intera
ksi dengan laki-laki dewasa. Di sisi lain, perempuan yang melakukan kekerasan seksu
al secara berkelompok dipaksa oleh laki-laki untuk melakukan tindakan tersebut.34

Penelitian oleh Gannon dkk mengenai pandangan perempuan pelaku kekerasan seksu
al akan rekan pelaku laki-laki serupa dengan penelitian oleh Beech dkk, yaitu teori im
plisit kedua, dangerous world atau dunia yang berbahaya. Peserta pada penelitian Bee
ch dkk (53%)33 menunjukkan rasa takut serta memandang rekan pelaku laki-laki seba
gai seseorang yang berbahaya serta dapat mengancam mereka dan hal tersebut sejalan
dengan hasil penelitian oleh Gannon dkk, yang menunjukkan bahwasanya perempuan
pelaku kekerasan seksual memandang laki-laki sebagai seseorang yang memiliki sifat
mengancam.34

Namun, terdapat hasil penelitian dari Gannon dkk yang bertentangan dengan penelitia
n Beech dkk dengan analisis kualitatif yang menunjukkan bahwa hampir setengah dar
i perempuan pelaku penganiaya anak atau female child molesters (47%; n=7) memilik
i kepercayaan seksual mengenai anak-anak. Sementara itu, Gannon dkk menggunaka
n paradigma pengenalan memori atau memory recognition paradigm dan menemukan
bahwa perempuan pelaku penganiaya anak tidak otomatis, salah menginterpretasikan
perilaku ambigu anak-anak sebagai hal yang seksual.

Dari seluruh jurnal yang telah dibandingkan, terdapat hal-hal yang patut untuk dibaha
s dan dipahami lebih lanjut. Harus disadari bahwa kekerasan seksual merupakan perm
asalahan serius, terutama dengan pelaku remaja perempuan, diikuti dengan lemahnya
sistem peradilan yang ada. Selain itu, pada sistem peradilan anak terutama kasus deng
an pelaku remaja perempuan, agresi seksual sering dikaitkan dengan penganiayaan an
ak, masalah kesehatan mental, tingkat klinis kemarahan yakni “mudah tersinggung da
n depresi” serta kecemasan lainnya. Dilihat dari persfektif korban dan pelaku, penting
untuk memperhatikan remaja perempuan dan nyatanya, hal ini hampir tidak diperhati
kan oleh sistem keadilan dan kesejahteraan.30

Terkait perlakuan serta penanganan pengawasan dalam penjara dan komunitas, pelak
u perempuan membutuhkan perlakuan khusus termasuk perhatian pada seksualitas; re
solusi trauma; keterampilan sosial dan meningkatkan gairah pada hubungan seksual y
ang wajar dan sepantasnya adanya kesetujuan dan sesuai dengan usia. 32 Layanan ini h
arus berfokus pada mengurangi trauma berat pada masa kanak-kanak, efek pelecehan
seksual, peningkatan kompetensi sosial dan efisiensi diri, bagaimana cara membangu
n interaksi atau hubungan sosial yang tepat dan juga signifikan dengan orang lain sert
a pengetahuan terkait seksual yang memadai dan akurat.

Terapis perlu memperhatikan informasi apa saja yang diperlukan terkait faktor-faktor
yang dianggap penting selama pemeriksaan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui pena
nganan tepat, di mana penanganan tersebut diberikan pada pasien laki-laki namun dap
at diaplikasikan juga pada pasien perempuan.

Fokus utama mencakup pengobatan distorsi kognitif, penyangkalan dan strategi penc
egahan kambuh. Adanya pendekatan pengobatan yang biasa digunakan laki-laki mun
gkin dapat digunakan oleh perempuan pelaku kekerasan seksual. Pada pasien yang m
emiliki tingkat PTSD yang tinggi dan tingkat viktimisasi pelecehan seksual yang para
h, penting bagi terapis untuk memperhatikan dan memberikan intervensi yang menan
gani pengalaman viktimisasi pribadi mereka. Terapis juga harus melakukan pendekat
an pengobatan khusus pelanggaran seks yang dikembangkan pada remaja laki-laki da
pat diaplikasikan pada remaja perempuan yang telah melakukan pelanggaran atau kek
erasan seksual.

Terapis juga perlu mengetahui lebih jauh dengan melakukan eskplorasi terkait traum
a-trauma yang dihadapi oleh pelaku kekerasan seksual, selain itu penting untuk meng
etahui juga ancaman-ancaman yang diterima perempuan oleh laki-laki yang memaksa
mereka melakukan pelecehan seksual pada anak-anak.34 Hal tersebut mengakibatkan
adanya ketertarikan pada anak di bawah umur dan keinginan untuk mengajak anak di
bawah umur sebagai pasangan intim.

KESIMPULAN

Kekerasan seksual merupakan perilaku menyimpang, tidak memandang usia, jenis ke


lamin, ataupun tingkat pendidikan, siapapun dapat melakukan kekerasan seksual. Sec
ara umum, pelaku kekerasan seksual dianggap sebagai seorang laki-laki. Namun nyat
anya, perempuan juga dapat melakukan pelanggaran tersebut. Berdasarkan hasil liter
ature review yang didukung oleh tujuh penelitian lain, didapatkan:
 Terdapat persamaan antara penelitian Kubik, et al (2003) dan penelitian
Kubik dan Hecker (2005), di mana perempuan pelaku kekerasan seksual
memiliki perilaku menyimpang terkait pelanggaran seksual yang
dilakukan.
 Baik Strickland (2008) dan juga Kjellgren dkk (2011) menyebutkan sikap
kurang aktif dalam bersosial sebagai faktor risiko perempuan pelaku
kekerasan seksual.
 Beech, dkk (2009) serta Gannon dan Rose (2009) memiliki persamaan, di
mana kedua nya menyebutkan bahwa perempuan pelaku kekerasan
seksual memandang laki-laki sebagai individu yang memiliki sifat
mengancam serta berbahaya. Namun, di antara kedua nya juga terdapat
perbedaan terkait perempuan penganiaya anak dan kepercayaan mereka
terhadap perilaku ambigu anak-anak.
 Hasil penelitian Slotboom, dkk (2011) yang menunjukkan siapa pun dapat
menjadi pelaku kekerasan seksual tanpa memandang tingkat pendidikan.
 Lingkungan sosial sangat berperan penting dalam membangun karakter
seseorang. Pendekatan pengobatan yang biasa digunakan terhadap laki-
laki pelaku kekerasan seksual mungkin dapat digunakan oleh perempuan
pelaku kekerasan seksual (melihat tingkat kemiripan pemikiran yang
terdistorsi antara kedua nya).

SARAN
Dibutuhkan pendekatan pengobatan lebih lanjut serta sesuai bagi korban kekerasan
seksual sehingga dapat mencegah korban menjadi pelaku kekerasan seksual di masa
depan.
KETERBATASAN
Saat melakukan penelitian Literature review ini, didapatkan keterbatasan seperti dala
m tugas akhir ini adalah akses jurnal penlitian dan waktu yang terbatas sehingga keter
ampilan dalam membuat literature review ini masih kurang sempurna. Kemudian, jur
nal penelitian yang di dapatkan hanya dengan menggunakan lima jenis database yaitu
(PubMed, RAINN, MedScape, Livingwell, dan NCBI.) oleh karena itu refrensi jurnal y
ang didapatkan sedikit.
34

DAFTAR PUSTAKA

1. Ebta Setiawan. Arti kata keras - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online.
Kbbi.web.id. 2012 [cited 2021 Sep 20]. Available from:
https://kbbi.web.id/keras
2. Janet Mahoney. Types of Abuse. 46(4), 385390. doi: 10.1016/
j.cnur.2011.08.00. 2011.
3. World Health Organization: WHO. Violence Against Women. Who.int. World
Health Organization: WHO; 2021 [cited 2021 Sep 20]. Available from:
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/violence-against-women
4. Sexual abuse statistics - Male sexual assault and abuse. Living Well. 2020
[cited 2021 Sep 20]. Available from: https://livingwell.org.au/information/
statistics/#_edn10
5. World Health Organization, Pan. Understanding and Addressing Violence
Against Women: Intimate Partner Violence. Whoint [Internet]. 2012 [cited 2022
Mar 24]; Available from: https://apps.who.int/iris/handle/10665/77432
6. ‌Laporan studi kuantitatif barometer kesetaraan gender. [cited 2021 Sep 20].
Available from: https://ijrs.or.id/wp-content/uploads/2020/12/Laporan-Studi-
Kuantitatif-INFID-IJRS.pdf
7. Ashila BI, Barus, NR. Kekerasan Seksual Pada Laki-Laki: Diabaikan dan
Belum Ditangani Serius - IJRS [Internet]. IJRS. 2021. Available from:
http://ijrs.or.id/kekerasan-seksual-pada-laki-laki-diabaikan-dan-belum-
ditangani-serius/
8. ‌ Badan Pusat Statistik. Bps.go.id. 2015 [cited 2021 Sep 20].
https://www.bps.go.id/indikator/indikator/view_data/0000/data/1253/sdgs_11/1
9. Female Sex Offenders are More Common Than You Think, Reveals Study. The
Independent. 2017 Jul 20 [cited 2021 Sep 20]; Available from:
https://www.independent.co.uk/life-style/female-sex-offenders-more-common-
gender-bias-statistics-rape-abuse-a7839361.html

Universitas Kristen Krida Wacana


10. McDonald S, Tijerino A. Male Survivors of Sexual Abuse and Assault: Their
Experiences. Research and Statistics Division, Department of Justice Canada.
2013. https://www.justice.gc.ca/eng/rp-pr/cj-jp/victim/rr13_8/rr13_8.pdf
11. Fuadi, M. Anwar. Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi
Fenomenologi.  Jurnal Psikologi Islam (JPI). 8: 2. 192-208. 2011.
12. Aisyah PA. Faktor-Faktor Penyebab Melakukan Kekerasan Seksual terhadap
Korban Kekerasan Seksual Dampingan Pusat Layanan Informasi dan
Pengaduan Anak (PUSPA) di Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA)
Medan. Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sumatera Utara, Medan. 2017.
13. Ebta Setiawan. Arti kata kognisi - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Online. Kbbi.web.id. 2012 [cited 2021 Sep 20]. Available from:
https://kbbi.web.id/kognisi
14. Farmer TA, Matlin MW. Cognition. Wiley. 10th edition. 2019.
15. Wahyuni, Lestari I. Bentuk Kekerasan dan Dampak Kekerasan Perempuan yang
Tergambar dalam Novel Room Karya Emma Donoghue. Basa Taka, 2018: 1(2):
19-28.
16. Hasan Shadily, Kamus InggrisIndonesia, Cet. XII, Gramedia, Jakarta, 1983,
hlm.630.
17. Amalia M. Kekerasan Perempuan Dalam Perspektif Hukum Dan Sosiokultural.
Jurnal Wawasan Hukum, 2011: 25
18. Mansour Fakih, Analisis Gender Dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1999, hlm. 37.
19. MaPPI FHUI. Kekerasan Seksual. Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia,
2018. Akses at: http://mappifhui.org/wp-content/uploads/2018/10/MaPPI-
FHUI-kekerasan-seksual.pdf.
20. Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Apa itu kekerasan
seksual, 2022. Available from: https://merdekadarikekerasan.kemdikbud.go.id/
kekerasan-seksual/
21. WHO. Sexual Violence. 2017. Available from: http://apps.who.int/
violenceinfo/sexual-violence
22. Gina A. Kekerasan Seksual. Klinik Kesehatan Pria dan Wanita. Available from:
https://angsamerah.com/pdf/Angsamerah-Handout_Kekerasan_Seksual.pdf
23. Anindya A, Dewi YI, Oentari ZD. Dampak Psikologis dan Upaya
Penanggulangan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan. Terapan Informatika
Nusantara, 2020: 1 (3): 137-40.
24. Nurani Y, Sujiono. Metode Pengembangan Kognitif. Jakarta; Universitas
Terbuka, 2004, h. 23.
25. Ibda F. Perkembangan Kognitif: Teori Jean Piaget. Intelektualita. Banda Aceh;
Ar-Raniry State Islamic University Banda Aceh, 2015.
26. Winda Gunarti, Metode Pengembangan Perilaku dan Kemampuan Dasar Usia
Dini, Jakarta; Universitas Terbuka 2008, h. 10.
27. Ahmad Susanto. 2011. Perkembangan Anak Usia Dini. Jakarta: Kencana
Prenada. Media Group.
28. Murman DL. The Impact of Age on Cognition. National Library of Medicine.
2015 Aug; 36(3): 111-121.
29. Kubik EK, Hecker JE, Righthand S. Adolescent Females Who Have Sexually
Offended: Comparisons with Delinquent Adolescent Female Offenders and
Adolescent Males Who Sexually Offend. Journal of Child Sexual Abuse. 2003
Jun 16;11(3):63-83.
30. Slotboom AM, Hendriks J, Verbruggen J. Contrasting Adolescent Female and
Male Sexual Aggression: A Self-Report Study on Prevalence and Predictors of
Sexual Aggression. Journal of Sexual Aggression. 2011 Mar 1;17(1):15-33.
31. Kubik EK, Hecker JE. Cognitive Distortions About Sex and Sexual Offending:
A Comparison of Sex Offending Girls, Delinquent Girls, and Girls from The
Community. Journal of Child Sexual Abuse. 2005 Dec 13; 14(4):43-69.
32. Strickland SM. Female Sex Offenders: Exploring Issues of Personality,
Trauma, and Cognitive Distortions. Journal of Interpersonal Violence. 2008
Apr; 23(4):474-89.
33. Beech AR, Parrett N, Ward T, Fisher D. Assessing Female Sexual Offenders’
Motivations and Cognitions: An Exploratory Study. Psychology, Crime & Law.
2009 Feb 1; 15(2-3):201-16.
34. Gannon TA, Rose MR. Offense-related Interpretative Bias in Female Child
Molesters: A Preliminary Study. Sexual Abuse. 2009 Jun;21(2):194-207.
35. Kjellgren C, Priebe G, Svedin CG, Mossige S, Långström N. Female Youth
Who Sexually Coerce: Prevalence, Risk, and Protective Factors in Two
National High School Surveys. The Journal of Sexual Medicine. 2011 Dec
1;8(12):3354-62.
36. Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia [Internet]. Kesga.kemkes.go.id.
2013 [cited 3 April 2022]. Available from:
https://kesga.kemkes.go.id/assets/file/pedoman/PMK%20No.%2068%20ttg
%20Kewajiban%20Memberikan%20Informasi%20Kekerasan%20Terhadap
%20Anak.pdf
37. Kekerasan Seksual - Merdeka Dari Kekerasan [Internet]. Merdeka Dari
Kekerasan. 2022 [cited 3 April 2022]. Available from:
https://merdekadarikekerasan.kemdikbud.go.id/kekerasan-seksual/
38. Norte C, Volchan E, Vila J, Mata J, Arbol J, Mendlowicz M et al. Tonic
Immobility in PTSD: Exacerbation of Emotional Cardiac Defense Response.
Frontiers in Psychology. 2019;10.
39. Möller A, Söndergaard H, Helström L. Tonic Immobility During Sexual
Assault  - A Common Reaction Predicting Post-Traumatic Stress Disorder and
Severe Depression. Acta Obstetricia et Gynecologica Scandinavica.
2017;96(8):932-938.
40. Harvard Law School Halt [Internet]. orgs.law.harvard.edu/halt/how-to-avoid-
victim-blaming/.2022. [cited 3 April 2022] Available from:
https://orgs.law.harvard.edu/halt/how-to-avoid-victim-blaming/.
41. McGrath M, Savino J, Turvey B. False Allegations of Sexual Assault. False
Allegations. 2018: 191-223.

Anda mungkin juga menyukai