Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kejahatan kesusilaan atau moral offences dan pelecehan seksual atau

sexual harassement merupakan dua bentuk pelanggaran atas kesusilaan

yang bukan saja merupakan masalah hukum nasional suatu negara didunia

atau merupakan masalah global1. Dewasa ini bentuk pelecehan bukan hanya

secara fisik, namun banyak yang memperlihatkan pelecehan dengan

berbagai macam bentuk, salah satu bentuk yang sering didapatkan oleh

korban berupa pelecehan seksual secara verbal.

Masing-masing dimensi pelecehan seksual memiliki berbagai elemen

perilaku verbal dan non-verbal. Pelecehan gender merupakan perilaku yang

merendahkan perempuan secara seksual di tingkat kelompok seperti

membuat gurauan atau komentar tentang perempuan sebagai objek seks atau

memamerkan atau mendistribusikan gambar perempuan sebagai objek seks,

ucapan atau bahasa tubuh yang secara seksual mengejek tampilan, bentuk

tubuh atau pakaian seseorang, atau mempertontonkan atau menyebarkan

pornografi. Perhatian seksual yang tidak diinginkan meliputi perilaku

merendahkan perempuan dengan menjadikannya sebagai objek seksual

seperti upaya berulang-ulang dan pemaksaan untuk membangun hubungan

1
Romi Atmasasmita, “Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi”, Mandar Maju, Bandung,
1995, hlm, 103.

1
2

romantis, menyentuh bagian tubuh yang tidak diinginkan, mengirim email

cabul atau bernuansa seksual atau mengajukan pertanyaan tentang

kehidupan seksual seseorang. Sedangkan pemaksaan seksual umumnya

berbentuk suap atau ancaman secara eksplisit atau implisit untuk

memfasilitasi terjadinya tindakan seksual (misal pemaksaan tindakan

seksual dengan imbalan yang berhubungan dengan pekerjaan atau

pendidikan korban).

Pelecehan seksual verbal yang terjadi di publik menggunakan

beberapa simbol. Pelecehan seksual secara verbal dilontarkan diruang

publik seperti dipinggir jalan dalam bentuk siulan, berseru, memberikan

gestur, menatap bagian tubuh atau berkomentar dengan nada keras dan

merayu sehingga aktifitas tersebut termasuk dalam street harassment. Street

harassement sendiri merupakan sebuah pelecehan seksual yang dilakukan

oleh orang yang tidak dikenal kepada korban diruang publik.2

Penelitian diberbagai negara menunjukkan pelecehan seksual

umumnya terjadi diwilayah-wilayah yang dipandang ‘aman’ seperti

sekolah, kampus atau universitas, asrama mahasiswa, dan tempat kerja yang

dilakukan oleh orang-orang yang dikenal korban seperti teman, rekan kerja,

guru atau dosen, atau pimpinan kerja dan sebagian di wilayah publik (WHO,

2012). Mengutip berbagai hasil penelitian di berbagai belahan dunia, United

2
Naufal Al Rahman “Pelecehan Seksual Verbal pada Mahasiswi Berjilbab ( Studi Tentang
Pemaknaan Pengalaman Pelecehan Seksual Verbal Bagi Mahasiswi Berjilbab di Kota Surabaya”,
Universitas Airlangga, 2019
3

Nations Development Fund for Women (UNIFEM) menjelaskan tingginya

prevalensi pelecehan seksual yang terjadi pada lingkungan sosial yang

dikenal baik korban oleh maupun di wilayah public yang belum dikenal baik

oleh korban, sehingga hal ini memerlukan penanganan serius. Misalnya, 40-

50% perempuan yang di wilayah Uni Eropa dan 30-40 persen perempuan

bekerja di Jepang, Malaysia, Filipina dan Korea Selatan melaporkan pernah

mengalami berbagai bentuk pelecahan seksual di tempat kerja. Di Amerika

Serikat, lebih dari 80% remaja perempuan berusia 12-16 tahun mengaku

pernah mengalami pelecehan seksual di sekolah umum Sementara itu,

survey di Montreal Canada menemukan hampir 60% perempuan merasa

takut berjalan sendiri di malam hari karena kekhawatiran mengamali

pelecehan seksual di jalan.3

Berdasarkan survey dilakukan oleh koalisi yang terdiri dari

Hollaback! Jakarta, perEMPUan, Lentera Sintas Indonesia, Perkumpulan

Lintas Feminis Jakarta (JFDG), dan Change.org Indonesia. Dalam temuan

survei, mayoritas korban pelecehan seksual di ruang publik tidak

mengenakan baju terbuka, melainkan memakai celana atau rok panjang

(18%), hijab (17%) dan baju lengan panjang (16%). Hasil survei juga

menunjukkan waktu korban mengalami pelecehan mayoritas terjadi pada

siang hari (35%) dan sore hari (25%). Bentuk pelecehan yang sering dialami

korban yakni pelecehan verbal 60% ( komentar atas tubuh, siulan,

3
Binahayati Rusyidi, Antik Bintari, Hery Wibowo, “Pengalaman dan Pengetahuan Tentang
Pelecehan Seksual: Studi Awal di Kalangan Mahasiswa Perguruan Tinggi”,Social Work Jurnal.
Vol. 9 No. 1 Hlm 75-85. 2019.
4

diklakson, suara kecupan atau ciuman, komentar rasis atau seksis, komentar

seksual, didekati terus), pelecehan fisik 24% ( disentuh, dihadang, diintip,

difoto, digesek, dikuntit), pelecehan visual 15% ( main mata, gestur fulgar,

dipertontonkan mastrubasi, diperlihatkan kelamin).

Di antara manusia di Indonesia yang rawan menjadi korban

pelecehan seksual verbal adalah kaum perempuan. Beragam persoalan

sensitif menimpa kehidupan kaum perempuan, antaranya kejahatan

kekerasan seksual (sexual violence) dan pelecehan sexual (sexual

harassement)4, walaupun tidak menutup kemungkinan yang menjadi korban

adalah laki-laki tetapi sangat jarang terjadi. Perempuan yang menjadi

korban sedang tidak berdaya menghadapi kebiadaban individual, kultural

dan struktural yang dibenarkan. Nilai-nilai kesusilaan yang seharusnya

dijaga kesucianya sedang dikoyak dan dinodai oleh naluri kebinatangan dari

manusia yang tidak mempunyai nilai moral dan etika.

Pelecehan seksual verbal atau sering disebut sebagai catcalling

adalah istilah yang sering digunakan diberbagai negara salah satunya

Indonesia. Keberadaan catcalling yang belum diatur secara khusus dalam

Undang-undang di Indonesia saat ini seringkali dianggap sebagai hal yang

biasa dikalangan masyarakat karena sebagian masyarakat berpendapat

bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku catcalling itu sendiri karena

adanya faktor dari korban, seperti cara berpakaian, gestur tubuh, dan lain

4
Marcheyla Sumera, “Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan”, Lex et
Societotis, Vol.1, No. 2, April-Juni 2013, hlm 40
5

sebagainya. Secara pengukuran kewajaran dalam pelecehan seksual dapat

dilihat apabila perilaku tersebut mengarah kepada tindakan pelecehan

seksual sehingga timbul rasa tersinggung, malu, dan takut. Pelecehan yang

dianggap hal yang biasa dimasyarakat secara langsung dapat memberikan

dampak yang negatif kepada korbanya, pelecehan seksual verbal

(catcalling) yang dilakukan oleh pelaku memberikan rasa tidak nyaman,

terganggu, ketakutan, trauma atau bahkan bisa sampai gangguan mental

terhadap korbanya.

Sebagian besar masyarakat yang beranggapan bahwa pelecehan

seksual verbal (catcalling) adalah hal yang biasa, pada kenyataanya bahwa

pelecehan seksual verbal (catcalling) merupakah suatu kejahatan. Menurut

Kartono kejahatan secara sosiologis adalah semua ucapan, perbuatan dan

tingkah laku yang secara ekonomis, politis, sosial psikologis sangat

merugikan masyarakat, melanggar norma-norma susila dan menyerang

keselamatan warga negara (baik yang telah tercantum dalam undang-

undang pidana).5 Kasus pelecehan seksual verbal sudah sering kali diekspos

oleh media masa, namun dalam masyarakat kita masih banyak yang belum

sepenuhnya menyadari bahwa mereka sebenarnya telah menjadi korban

pelecehan seksual verbal atau menganggap masalah ini sebagai sesuatu

yang tidak serius untuk ditanggapi. Dalam banyak kasus banyak korban

yang memilih diam dan menganggap biasa perlakuan yang terus-menerus

dialami. Padahal apabila tidak segera diselesaikan maka akan menjadi

5
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit, hlm 14
6

peristiwa traumatis, semakin lambat keadaan ini tidak ditangani maka akan

semakin susah ditangani, karena kita tidak pernah bisa menaruh prasangka

terhadap orang yang bahwa orang tersebut adalah orang yang dapat

melakukan pelecehan seksual verbal terhadap orang lain. Karena mulai dari

orang yang bertampang keji sampai orang yang bertampang baik pun dapat

melakukan pelecehan. Hal ini bukan hanya darurat tetapi bencana terhadap

perkembangan manusia saat ini kedepanya

Parameter pelecehan dapat dilihat dari konteks korban itu sendiri,

apakah dia merasa nyaman atau tidak nyaman dengan pelecehan tersebut.

Contohnya ketika dijalan seorang pelaku melakukan catcalling dengan

berkata “bokongmu bagus”, “seksi banget”, “montok banget sih”, bersiul

dan lain sebagainya. Ada beberapa orang yang merasa pelecehan karena

merasa tidak nyaman mendapatkan hal tersebut, ada juga yang merasa

bahwa hal tersebut adalah pujian bagi dirinya. Namun disayangkan masih

banyak korban ketika mendapatkan pelecehan menganggap hal tersebut

adalah normal atau biasa, jika dilihat dari paramida pelecehan, pelecehan

berat dapat terjadi diawali dengan pelecehan ringan seperti pelecehan

verbal. Unsur-unsur terpenting dari pelecehan adalah dimana adanya

ketidakinginan atau penolakan pada bentuk-bentuk perhatian bersifat

seksual telah terpenuhi, namun di Indonesia dengan budaya timur yang

kental justru menyebabkan para korban enggan melapor kepada pihak

berwajib dan membuat banyak korban-korban pelecehan hanya diam karena

takut. Tidak sedikit pula para korban bingung saat ingin melaporkan tindak
7

pelecehan tersebut karena tidak adanya bukti yang cukup dalam hukum

pidana pembuktian diatur dalam pasal 184 KUHAP.

Kebiasaan masyarakat yang menormalisasi catcalling, kurang

cakapnya pranata hukum dalam menyelesaikan perkara catcalling, serta

kurang beraninya seseorang yang diidentifikasi sebagai korban untuk

melaporkan bahwa telah kepada dia atau orang disekitarnya, catcalling

sudah tidak boleh dianggap suatu hal yang wajar dimasyarakat. Walaupun

hal ini sulit diubah sejak jaman dulu dinormalisasi oleh masyarakat tetapi

dengan melibatkan semua elemen masyarakat serta aparat penegak hukum

perbuatan catcalling pasti dapat dihilangkan.

Perlindungan terhadap korban pelecehan seksual verbal sangatlah

penting dilihat dari semakin maraknya perbuatan pelecehan yang terjadi di

Indonesia hal ini menjadikan tugas negara untuk menjamin setiap

penduduknya mendapatkan keamanan dan kenyamanan sampai taraf yang

masih dianggap tabu seperti konteks seksual. Tentu kesadaran bukan hanya

tertuju kepada masyarakat saja tetapi juga para penegak hukum. Meskipun

saat ini masih terdapat pro kontra mengenai pasal mana yang dapat

digunakan untuk menjerat pelaku pelecehan verbal. Saat ini perlindungan

kepada korban tindak pidana pelecehan verbal diatur dalam Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Selain Undang-undang tersebut, Undang-undang Nomor 39 tahun 1999

tentang Hak Asasi Manuisa juga dapat digunakan sebagai dasar hukum
8

perlindungan korban tindak pidana pelecehan seksual secara verbal atau

catcalling.

Pasal 1 angka 2 menyatakan secara garis besar korban adalah

seseorang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental dan/atau kerugian

ekonomi akibat suatu tindak pidana. Korban pelecehan seksual secara

verbal adalah seseorang yang mengalami kerugian secara mental dan

psikisnya karena perbuatan catcalling menyebabkan rasa malu, terganggu

dan ketakutan. Seharusnya korban mendapatkan perlindungan dari

masyarakat, apparat penegak hokum ataupun pemerintah. Tetapi justru

stereotype-stereotype yang muncul dimasyarakat sangat menyudutkan

korban, seolah-olah segala bentuk pelecehan seksual itu adalah karena

adanya kesalahan dari si korban. Korban langsung memiliki karakteristik6 :

korban ialah setiap orang, individu maupun kolektif, menderita suatu

kerugian baik fisik atau mental atau emosional, kehilangan pendapatan,

penindasan terhadap hak asasi manusia, disebabkan oleh suatu tindak

pidana dalam hukum pidana dan disebabkan oleh adanya penyalahgunaan

kekuasaan.

Dalam keadaan demikian, masyarakat, aparat penegak hukum

bahkan negara yang seharusnya memberi perhatian lebih terhadap korban

pelecehan seksual baik fisik ataupun non fisik karena baik fisik atau non

fisik keduanya menimbulkan kerugian bagi korban selain itu juga. Upaya

Maya Indah S, “Perlindungan Korban Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi”, Edisi
6

Kedua, Prenamedia, Jakarta:2014, hlm 30


9

untuk memberikan perlindungan dan pencegahan terhadap pelecehan

seksual secara verbal harus diperhatikan, memberika ruang kepada korban

supaya korban memahami dampak pelecehan dan mau untuk melaporkan

hal tersebut demi mengurangi kasus-kasus pelecehan verbal yang terjadi

dewasa ini. Namun perlindungan terhadap korban hingga saat ini belum bisa

terlealisasikan, berdasarkan hal tersebut maka timbul sebuah pertanyaan apa

yang menjadi sebuah kendala bagi aparat penegak hukum yang salah satu

tugasnya adalah untuk memberikan perlindungan terhadap korban akibat

dari sebuah kejahatan sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang

maksimal terhadap si korban.

Viktimologis mencoba memberi pemahaman, mencerahkan

permasalahan kejahatan dengan mempelajari para korban kejahatan,

perlindungan korban, proses viktimisasi dan akibat akibatnya dalam rangka

menciptakan kebijaksanaan serta tindakan pencegahan dan menekan

kejahatan secara lebih bertanggungjawab. Viktimologi memberikan

pengertian yang lebih baik tentang korban kejahatan sebagai hasil perbuatan

manusia yang menimbulkan penderitaan-penderitaan mental, fisik dan

sosial7. Viktimologis mengkaji bagaimana perlindungan terhadap korban

yang mengalami kerugian secara non fisik, perlindungan ini bertujuan untuk

mengetahui hak dan kewajiban korban serta kepastian hokum terhadap

korban pelecehan seksual secara verbal.

7
Lista Vina Tania, “Analisis Persfektif Victimologis Terhadap Korban Tindak Pidana Pemalsuan
Dokumen Tenaga Kerja Wanita”, tersedia di https://jurnal.fh.unila. ac.id, jurnal poenale, Vol.1,
2018. hlm. 7.
10

Lokasi yang paling banyak terjadinya pelecehan seksual baik itu

secara fisik ataupun non fisik yakni jalan umum, transportasi publik,

sekolah dan kampus, semuanya adalah ruang publik, dan kasus pelecehan

seksual diruang publik ternyata paling tinggi terjadi pada siang hari tanpa

gelap memberikan ruang untuk sembunyi. Ruang publik tempat yang

seharusnya terlindungi karena tertoreh kata publik disana, bahkan semua itu

terjadi seketika dihadapan kita sementara kita hanya menjelma sepasang

mata yang terpaku dan membatu, mungkin terlalu terkejut, bimbang, ragu-

ragu atau seperti yang terdata. 91% dari masyarakat tidak melakukan

apapun karena tidak tahu harus berbuat apa.

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka penulis

terdorong untuk melakukan penelitian yang cukup mendalam mengenai

victimologi dan pelecehan verbal, yang berjudul : “Analisis Viktimologis

Pelecehan Seksual Verbal Di Wilayah Hukum Kota Malang (Studi di

Polresta Kota Malang)”

B. Rumusan Masalah

Dari uraian diatas penulis fokus pembahasan masalah pada 2 (dua)

rumusan masalah untuk menghindari melebarnya penelitian yang penulis

lakukan, adapun dua rumusan masalah tersebut sebagaimana berikut :

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap korban dalam pelecehan

seksual verbal di wilayah hukum Kota Malang?


11

2. Apakah kendala Aparat Penegak Hukum dalam memberikan

perlindungan terhadap korban pelecehan verbal di wilayah hukum

Kota Malang?

A. Tujuan Penelitian

Latar belakang sebagaimana penulis kemukakan diatas, maka tujuan

penulisan penelitian hukum ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan memahami perlindungan hokum terhadap

korban pelecehan seksual verbal di wilayah hukum Kota Malang.

2. Untuk mengetahui kendala Aparat Penegak Hukum dalam

memberikan perlindungan hukum terhadap korba pelecehan seksual

secara verbal di wilayah hukum Kota Malang

B. Manfaat Penelitian

Beranjak dari tujuan yang telah penulis rumuskan sebagaimana diatas

maka penulis berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi

penulis, masyarakat dan aparat penegak hukum sebagaimana berikut :

1. Bagi Penulis

Penelitian ini penulis harapkan memberi manfaat dalam

memecahkan masalah yang diakibatkan karena semakin menipisnya

tingkat kesadaran masyarakat terhadap pelecehan verbal serta

menambah keilmuan terkait permasalahan yang telah penulis angkat

sebagai tema besar penelitian hukum ini dan penulisan ilmiah ini

dapat dijadikan referensi atau bahan bagi penelitian lanjutan yang

sejenis.
12

2. Bagi Masyarakat

Penelitian ini penulis harapkan bisa menjadi acuan untuk

mengubah stigma dan kebiasaan masyarakat yang menganggap

bahwa pelecehan verbal adalah hal yang biasa. Selain itu juga

penulis berharap penelitian ini untuk memberikan informasi kepada

masyarakat terkait bentuk-bentuk pelecehan seksual secara verbal

serta dampak yang dapat ditimbulkanya.

3. Bagi Aparat Penegak Hukum

Penelitian ini penulis harapkan dapat digunakan referensi

oleh aparat penegak hukum dalam upaya memberikan perlindungan

terhadap korban pelecehan seksual secara verbal serta upaya

penanggulangan kejahatan pelecehan seksual verbal.

C. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan pada tujuan yang telah penulis kemukakan diatas, maka

penelitian ini diharapkan memberi kegunaan sebagai berikut :

1. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan

ilmu hukum khususnya hukum pidana dan menjadi tambahan ilmu

dalam memahami kejahatan pelecehan seksual verbal di Indonesia.

Penelitian ini diharapkan menjadi rujukan bagi penelitian

selanjutnya terkait pentingnya perlindungan terhadap korban

pelecehan seksual serta menjadi bahan acuan untuk akademisi


13

melakukan kajian terhadap hukum positif yang mengatur mengenai

pelecehan verbal.

2. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan

bagi masyarakat dan aparat penegak hukum untuk melakukan upaya

penanggulangan, perlindungan bagi korban serta penerapan sanksi

yang tepat bagi pelaku pelecehan verbal sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Penelitian ini juga diharapkan

menjadi rujukan untuk membentuk peraturan yang lebih spesifik

mengatur mengenai pelecehan verbal.

D. Metode Penelitian.

Penelitian hukum adalah seluruh upaya untuk mencari dan

menemukan jawaban yang benar (right answer) dan/atau jawaban yang

tidak sekali-kali keliru (true answer) mengenai suatu permasalahan, untuk

itu menjawab segala macam permasalahan hukum diperlukan hasil

penelitian yang cermat dan sahih untuk menjelaskan dan menjawab

permasalahan yang ada8.

1. Metode Pendekatan

Metode yang digunakan adalah pendekatan yuridis sosiologis adalah

penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan

hukum secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang

8
Pengertian Penelitian Hukum menurut Soetandyo Wignosoebroto dalam bukunya Zaenudin Ali,
“Metode Penelitian Hukum”. Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm. 18.
14

terjadi dalam masyarakat9. Atau dengan kata lain yaitu suatu penelitian

yang dilakukan terhadap keadaan sebenarnya atau keadaan nyata

kejahatan pelecehan seksual secara verbal yang terjadi dimasyarakat

dengan maksud untuk mengetahui dan menemukan fakta fakta dan data

yang didapatkan oleh penulis, setelah data yang dibutuhkan terkumpul

kemudian menuju kepada identifikasi masalah yang pada akhirnya

menuju pada penyelesaian masalah.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang penulis lakukan di Polresta Kota Malang di

Jl. Jaksa Agung Suprapto No.19, Samaan, Kec. Klojen, Kota Malang,

Jawa Timur. Dengan melakukan penelitian langsung ke Polres Kota

Malang untuk mengetahui secara detail masalah yang penulis uraikan.

3. Sumber Data

a. Data Primer

Bahan hukum primer, yaitu data yang diambil langsung oleh

penulis dipangan tempat penulis melakukan penelitian dengan

cara melalui wawancara dan kuesioner secara langsung dengan

masyarakat, instansi Kepolisian yang ada di Kota Malang dan

juga pihak-pihak yang dirasa terkait dengan penulisan ini untuk

memperkuat argument dalam penulisan ini.

b. Data sekunder

9
Abdulkadir Muhammad, 2004, “Hukum dan Penelitian Hukum“, Bandung, Citra Aditya Bakti,
hlm 134
15

Data sekunder adalah bahan yang berupa undang-undang,

dokumen-dokumen resmi, karya ilmiah, artikel ilmiah dan

peraturan hokum lain yang memberikan penjelasan dalam

tulisan ini. Undang-undang yang digunakan dalam penulisan ini

yakni :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia

3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan adalah sebuah teknik atau cara yang dilakukan

oleh peneliti untuk bisa mengumpulkan data yang terkait dengan

permasalahan dari penelitian yang diambilnya. Dalam teknik penelitian

ini penulis mengumulkan data dengan menggunakan penelitian

lapangan berdasarkan fakta-fakta yang ada dimasyarakat dengan

sumber data primer maupun sekunder yang disesuaikan dengan

pendekatan penelitian sebagai berikut :

a. Wawancara

Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang

berlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap

muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau


16

keterangan-keterangan.10 Wawancara dilakukan secara bebas

terbuka dengan menggunakan alat berupa daftar pertanyaan yang

telah disiapkan penulis (sebagai pedoman wawancara) sesuai

dengan permasalahan yang akan dicari jawabannya tanpa menutup

kemungkinan untuk menambah pertanyaan lain yang bersifat

spontan sehubungan dengan jawaban yang diberikan. Tujuan dari

wawancara adalah agar informant dapat berbicara atau

menyampaikan pernyataan yang menjadi kepentingannya secara

terbuka. Wawancara dilakukan secara bebas terbuka dengan

menggunakan alat berupa daftar pertanyaan yang telah disiapkan

(sebagai pedoman wawancara) sesuai dengan permasalahan yang

akan dicari jawabannya tanpa menutup kemungkinan untuk

menambah pertanyaan lain yang bersifat spontan sehubungan

dengan jawaban yang diberikan oleh responden. Adapun pihak yang

merupakan narasumber pada wawancara penelitian ini, yaitu :

1. Nama : Iptu Tri Nawangsari

Profesi : Kanit (Kepala Unit) PPA (Pelayanan

Perempuan dan Anak)

2. Nama : Ayu Fitrianingrum

Profesi : Head Office

3. Nama : Zahra

Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, “Metodologi Penelitian”, Bumi Aksara, Jakarta, 2001,
10

halaman 81
17

Profesi : Pelayan kedai kopi

b. Angket atau Kuesioner

Angket atau kuesioner adalah teknik pengumpulan data melalui

formulir-formulir yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan

secara tertulis pada seseorang atau sekumpulan orang untuk

mendapatkan jawaban atau tanggapan dan informasi yang

diperlukan oleh peneliti. Adapun pihak yang menjadi narasumber

kuesioner yakni :

Nama Profesi

Mahasiswi
Regita Anastasya

Mahasiswi
Maulidina Nafiah Guntoro

Mahasiswi
Alya

Asisten Apoteker
Putri Santika Octaviani

Mahasiswi
Zikrina Pretty Dzhini

Mahasiswi
Annisa Indiarsy

Mahasiswi
Armeylia Muliati

Staff Administrasi
Nadya

Mahasiswi
Vrisca Widya Octavia
18

Tenaga Kefarmasian
Yulia Elisabeth JT

Mahasiswi
Nur Aulia Rahmatika

Freelance
Riza Umami

Mahasiswi
Raysa Miranda

Mahasiswi
Nadia Nur

Mahasiswi
Regita Cahyani

Mahasiswi
Khaerunisa A

Mahasiswi
Adianda Alfi Hanifa

c. Dokumentasi

Untuk memperoleh data sekunder dalam penelitian ini

dilakukan dengan cara mengkaji dan mempelajari bahan-bahan

kepustakaan (literature research) yang berupa bahan bahan hukum

baik bahan hukum primer dan sekunder.

5. Teknik Analisis Data

Data yang telah terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data

belum memberikan arti apa-apa bagi tujuan suatu penelitian. Penelitian

belum dapat ditarik kesimpulan bagi tujuan penelitiannya, sebab data itu

masih merupakan data mentah dan masih diperlukan usaha atau upaya
19

untuk mengolahnya. Proses yang dilakukan adalah dengan memeriksa,

meneliti data yang telah diperoleh untuk menjamin apakah data dapat

dipertanggungjawabkan sesuai dengan kenyataan. Setelah data diolah

dan dirasa cukup maka selanjutnya disajikan dan selanjutnya dianalisis

secara kualitatif. Analisis data kualitatif adalah suatu teknik yang

menggambarkan dan menginterpretasikan data data yang telah

terkumpul sehingga memperoleh gambaran secara umum dan

menyeluruh tentang keadaan yang sebenarnya melalui tahap tahap

konseptualisasi, kategorisasi, relasi dan eksplanasi

E. Sistematika Penulisan

Dalam hal penulisan diperlukanlah suatu sistematika penulisan agar

mempermudah penulis untuk menulis penelitian ini serta mempermudah

pembaca untuk memahami dan mengerti isi dari penelitian ini. Oleh karena

itu penulis membagi menjadi 4 (empat) BAB dengan sistematika penulisan

sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan

Dalam BAB ini berisikan latar belakang permasalahan, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kegunaan penelitian, metode

penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan

sistematika penulisan.

BAB II Tinjauan Pustaka

Dalam BAB ini berisikan tentang tinjauan pustaka yang

memaparkan semua teori-teori yang berkaitan dengan permasalahan dalam


20

penelitian yang penulis lakukan mulai dari tinjauan viktimologi, teori

tentang korban, tinjauan kejahatan pelecehan verbal, teori viktimologi

tentang peranan korban dalam kejahatan dan teori perlindungan hokum

yang digunakan sebagai kerangka untuk memudahkan penulisan penelitian.

BAB III Hasil Penelitian dan Pembahasan

Pada BAB ini akan dipaparkan hasil penelitian ini atau menjawab

dari rumusan masalah yang telah penulis paparkan diatas dengan

menganalisi menggunakan teori yang menjelaskan mengenai kriteria

korban, perlindungan terhadap korban, dan kendala yang dihadapi aparat

penegak hukum dalam upaya memberikan perlindungan kepada korban

kejahatan pelecehan verbal (catcalling) yang terjadi di wilayah hukum Kota

Malang.

BAB IV Penutup

Pada BAB ini merupakan bab terakhir dalam penulisan ini yang

berisikan kesimpulan dan saran dari rumusan masalah yang diangkat oleh

penulis
21

Anda mungkin juga menyukai