Anda di halaman 1dari 132

STUDI EKSPLORATIF MENGENAI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB

DAN DAMPAK SOSIAL KEKERASAN DALAM PACARAN


(DATING VIOLENCE) DI KALANGAN MAHASISWA

Oleh :
KARLINA SETYAWATI
D 0305006

SKRIPSI

Disusun Guna Memenuhi Tugas dan Syarat-Syarat


Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Pada
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Remaja adalah aset dan potensi bangsa yang sangat berharga karena

mereka adalah sumber daya insani yang akan meneruskan pembangunan

nasional di masa mendatang. Masa remaja adalah masa yang rentan, karena

merupakan masa transisi dari kanak-kanak menjelang dewasa yang ditandai

dengan perkembangan yang sangat cepat dari aspek fisik, biologis dan sosial.

Salah satu kegiatan yang sering dilakukan remaja adalah pacaran (dating)

yang melibatkan remaja perempuan dan laki-laki. Ketika masa remaja mereka

tumbuh dan berkembang mengenal masa cinta dan kasih sayang, mereka

mewujudkannya dalam sebuah hubungan berbaut rasa sayang dan rasa

memiliki. Mereka menyebutnya sebagai masa bercinta, pacaran, dating,

hubungan romantis atau apapun istilah lainnya yang melukiskan sebuah pola

ketertarikan antartubuh yang melibatkan segenap emosi, jiwa dan raga. Hal

yang menjadi motif untuk berpacaran adalah proses interaksi personal antara

dua jenis kelamin, trend status sosial, tempat untuk mencurahkan isi hati,

mencari sosok pelindung, dan memilih pasangan hidup (Al-Huda, 2009,

dikutip dari http://ariefbharata.multiply.com/journal/item/14/Kenali_dan_

Cegah_Kekerasan_dalam_Pacaran).

Seiring berjalannya waktu, hubungan pacaran (dating) yang awalnya

dianggap sebagai ajang saling mengasihi, melindungi, berbagi suka dan duka

1
2

bersama selanjutnya berkembang menjadi sesuatu yang dieksplorasi

sedemikian rupa sehingga pacaran tidak melulu berjalan indah dan

menyenangkan, bahkan dalam kenyataan yang terjadi adalah berbagai bentuk

pelecehan, intimidasi, kekerasan ataupun pemerkosaan yang mengatas

namakan cinta dan kasih sayang. Meski hubungan pacaran belum diikat

pernikahan, ternyata banyak yang melakukan kekerasan terhadap

pasangannya. Atas nama cinta, kekerasan dalam pacaran terjadi berulang-

ulang. Pacaran mestinya menjadi proses pengenalan untuk melangkah ke

tahap berikutnya, yaitu perkawinan. Namun, akibat perubahan zaman dan

kebudayaan, kini pacaran tidak lagi menjadi proses mengenal pasangan lebih

baik. Bisa dikatakan, pacaran justru menjadi arena pelampiasan emosi yang

tidak seharusnya. Perilaku-perilaku menyimpang pun terjadi pada remaja yang

berpacaran.

Beberapa kasus pacaran, misalnya, kehamilan yang tidak diinginkan,

aborsi, dan kekerasan pranikah yang mengakibatkan kematian pun tahun demi

tahun meningkat. Rifka Annisa, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

yang bergerak di bidang kesehatan reproduksi dan gender menemukan bahwa

sejak tahun 1994–2001, dari 1683 kasus kekerasan yang ditangani, 385

diantaranya adalah Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) (Komnas Perempuan,

2002 dikutip dari http://situs.kesrepro.info/gendervaw/des/2004/gendervaw

02.htm).

Berdasarkan catatan Rifka Annisa, data kasus kekerasan terhadap

pacar di DIY yang masuk ke Rifka Annisa sejak 1994 hingga 2007 mencapai
3

703 kasus. Untuk tahun 2008, hingga bulan November tercatat ada 19 kasus

kekerasan dalam pacaran (http://kompas.com/read/xml/2008/12/19/18564931/

kasus.kekerasan.dalam.pacaran.masih.cukup.tinggi).

Sedangkan Persatuan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)

Yogyakarta mendapatkan bahwa dari bulan Januari hingga Juni 2001, terdapat

47 kasus kekerasan dalam pacaran, 57% di antaranya adalah kekerasan

emosional, 20% mengaku mengalami kekerasan seksual, 15% mengalami

kekerasan fisik, dan 8% lainnya merupakan kasus kekerasan ekonomi

(Kompas, 20 Juli 2002 dalam http://www.bkkbn.go.id/).

Namun, hal yang patut disayangkan adalah bahwa kekerasan dalam

pacaran merupakan fenomena sosial yang banyak terjadi namun belum

mendapat porsi perhatian yang lebih dari masyarakat. Banyak sekali orang tua,

remaja, dan guru yang belum sepenuhnya memahami masalah dating violence,

kebanyakan dari mereka belum menganggap persoalaan unik ini sebagai

sebuah kasus besar yang harus dicermati bersama. Pacaran di kalangan remaja

masih dianggap sebagai aktivitas main-main, cinta monyet, atau beberapa

anggapan lain yang menyatakan pacaran gaya remaja hanya sebuah permainan

belaka. Padahal data di lapangan dan kondisi aktivitas pacaran di kalangan

remaja kita terjadi secara besar-besaran dalam intensitas jumlah dan kualitas

pelanggaran atau kekerasan yang semakin meningkat.

Banyak orang yang peduli tentang kekerasan yang terjadi di dalam

rumah tangga (domestic violence), namun masih sedikit yang peduli pada

kekerasan yang terjadi pada remaja, terutama kekerasan yang terjadi saat
4

mereka sedang berpacaran atau dating violence. Banyak yang beranggapan

bahwa dalam berpacaran tidaklah mungkin terjadi kekerasan, karena pada

umumnya masa berpacaran adalah masa yang penuh dengan hal-hal yang

indah, di mana setiap hari diwarnai oleh manisnya tingkah laku dan kata-kata

yang dilakukan dan diucapkan sang pacar. Hal tersebut dapat dipahami

sebagai salah satu bentuk ketidaktahuan akibat kurangnya informasi dan data

dari laporan korban mengenai kekerasan ini. Fenomena kekerasan dalam

pacaran seperti gunung es karena selama ini tertutupi oleh pemberitaan KDRT

(kekerasan dalam rumah tangga) padahal seringkali kekerasan dalam pacaran

inilah yang merupakan cikal bakal KDRT.

Dijelaskan dalam Jurnal Perempuan (2002:148) bahwa bentuk-bentuk

dari dating violence antara lain:

1. Kekerasan fisik

Bentuk kekerasan fisik ini berupa memukul, menendang,

menjambak rambut, mendorong sekuat tenaga, menampar, menonjok,

mencekik, membakar bagian tubuh/ menyundut dengan rokok, pemaksaan

berhubungan seks, atau dengan sengaja mengajak seseorang ke tempat

yang membahayakan keselamatan. Ini biasanya dilakukan karena

pasangannya tidak mau menuruti kemauannya atau dianggap telah

melakukan kesalahan.

2. Kekerasan seksual

Berupa pemaksaan hubungan seksual, pelecehan seksual (rabaan,

ciuman, atau sentuhan) tanpa persetujuan. Perbuatan tanpa persetujuan


5

atau pemaksaan itu biasanya disertai ancaman akan ditinggalkan, akan

menyengsarakan atau ancaman kekerasan fisik.

3. Kekerasan emosional

Bentuk kekerasan ini biasanya jarang disadari, karena memang

wujudnya tidak kelihatan. Namun sebenarnya, kekerasan ini justru akan

menimbulkan perasaan tertekan, tidak bebas dan tidak nyaman. Bentuk

kekerasan non fisik ini berupa pemberian julukan yang mengandung olok-

olok, membuat seseorang jadi bahan tertawaan, mengancam, cemburu

yang berlebihan, membatasi pasangannya untuk melakukan kegiatan yang

disukai, kekerasan ekonomi, wujudnya dapat berupa pemerasan, memaksa

meminta uang, meminta barang dan sebagainya, mengisolasi, larangan

berteman, caci maki, larangan bersolek, larangan bersikap ramah pada

orang lain dan sebagainya.

Penyebab kekerasan dalam pacaran dalam Jurnal Perempuan tahun

2002 yang berjudul Hentikan Kekerasan terhadap Perempuan, antara lain:

1. Pola asuh dan lingkungan keluarga yang tidak menyenangkan

Keluarga merupakan lingkungan pertama yang dikenal anak sejak

lahir. Orang tua secara lahir memberikan hidup, bertanggung jawab dan

berkewajiban mengusahakan perkembangan anak yang sehat baik rohani

maupun jasmani. Proses ini dapat dilakukan melalui pola asuh orang tua

terhadap anaknya karena peranan dan bantuan orang tua tercermin dalam

pola asuhnya.
6

Menurut Tarsis Tarmuji (http:/www.depdiknas.go.id), “Pola asuh

orang tua adalah interaksi antara orang tua dengan anaknya selama

mengadakan pengasuhan”. Interaksi ini dapat dilihat dari beberapa segi

antara lain dari cara orang tua memberikan peraturan dan disiplin, hadiah

dan hukuman, juga tanggapan terhadap keinginan anak. Oleh karena itu

orang tua besar sekali andilnya dalam pembentukan dan perkembangan,

baik fisik maupun psikis anak, terutama konsep diri anak mengingat

konsep diri merupakan inti kepribadian.

Ketika seorang anak memiliki pengalaman menjadi korban

kekerasan pada masa kecil atau menyaksikan tindak kekerasan dalam

keluarganya, sangat berpotensi untuk menjadi pelaku kekerasan juga

ketika dia dewasa. Ini terutama karena budaya pengasuhan kita umumnya

mengijinkan tindakan kekerasan dilakukan terhadap anak. Anak yang

mengalami pengasuhan dengan pola kekerasan, pada saat besar nanti akan

mudah sekali melakukan tindakan kekerasan kepada orang lain, meskipun

sebenarnya dia tidak menyukainya. Ini terjadi begitu saja, baik pelakunya

suka ataupun tidak suka.

2. Peer group

Minat untuk berkelompok menjadi bagian dari proses tumbuh

kembang manusia. Yang dimaksud di sini bukan sekadar kelompok biasa,

melainkan sebuah kelompok yang memiliki kekhasan orientasi, nilai-nilai,

norma, dan kesepakatan yang secara khusus hanya berlaku dalam


7

kelompok tersebut. Atau yang biasa disebut geng. Biasanya kelompok

semacam ini memiliki usia sebaya atau bisa juga disebut peer group.

Teman sebaya memang memiliki pengaruh yang besar dalam

memberikan kontribusi semakin tingginya angka kekerasan antar

pasangan. Berteman dengan teman yang sering terlibat kekerasan dapat

meningkatkan resiko terlibat kekerasan dengan pasangannya. Secara

individual, pada awalnya remaja mungkin merasa tidak nyaman dengan

hal tersebut, tetapi lama kelamaan hal ini akan membuat remaja menjadi

permisif terhadap kekerasan dan tidak berpikir panjang jika suatu ketika

memiliki kesempatan untuk melakukannya.

3. Media massa

Media massa sedikit banyak juga memberikan kontribusi terhadap

munculnya perilaku agresif terhadap pasangan. Tayangan kekerasan yang

sering muncul dalam program siaran televisi maupun adegan sensual

dalam film tertentu dapat memicu tindakan kekerasan terhadap pasangan

dalam hubungan pacaran.

Sebuah riset di Amerika menganalis bahwa banyaknya tayangan

kekerasan di televisi membuat seorang anak pada usia menjelang 12 tahun

rata-rata telah menyaksikan 101.000 episode kekerasan di televisi,

termasuk 13.400 kematian (Standfield, 1973 dikutip dari http://ruangstudio

.blogspot.com/2009/07/tayangan-kekerasan-di-tv-merubah-anak.html).

Riset seperti ini (mungkin) belum pernah dilakukan di Indonesia,

tapi jika menghitung banyaknya program yang bernuansa kekerasan di TV


8

nasional, bukan tidak mungkin bahwa angka yang cenderung sama,

mungkin saja terjadi.

Tingkat kekerasan pada remaja di Indonesia, entah itu tawuran,

pemerasan antar teman, ataupun kekerasan terhadap pasangan rawan

terjadi pada tingkat pelajar SMP ke atas. Banyaknya memori kekerasan

yang tersimpan di otak, membuat para remaja ini bersifat sangat permisif

bahkan terkadang sangat agresif terhadap kekerasan yang terjadi di

lingkungannya.

4. Kepribadian

Salah satu akar kekerasan adalah karena faktor kepribadian. Pada

gangguan jiwa ada yang diistilahkan dengan gangguan kepribadian. Salah

satunya adalah gangguan kepribadian dengan pola agresif. Orang yang

mengalami gangguan kepribadian pola agresif ini dicirikan dengan tingkah

laku yang mudah tersinggung dan destruktif bila keinginannya tidak

tercapai atau bila menghadapi situasi yang menyebabkannya menjadi

frustrasi.

Selain gangguan kepribadian, tingkah laku kekerasan juga terjadi

karena adanya kepribadian status. Kepribadian status adalah kepribadian

yang dimiliki oleh seseorang berkaitan dengan statusnya. Kepribadian

status ini seringkali berbeda bahkan sangat berbeda dengan kepribadian

asli dari orang yang bersangkutan. Peristiwa kekerasan yang menimpa

para pasangan kekasih oleh kekasihnya sendiri adalah contoh dari

kepribadian status tersebut. Pada kehidupan sehari-hari mungkin para


9

remaja yang melakukan tindak kekerasan ini tidak pernah melakukan hal

yang sama kepada orang lain. Status sebagai pacar menyebabkannya

berperilaku keras terhadap pacarnya.

5. Peran jenis kelamin

Pada banyak kasus, korban kekerasan dalam pacaran adalah

perempuan. Hal ini terkait dengan aspek sosio budaya yang menanamkan

peran jenis kelamin yang membedakan laki-laki dan perempuan. Laki-laki

dituntut untuk memiliki citra maskulin dan macho, sedangkan perempuan

feminim dan lemah gemulai. Laki-laki juga dipandang wajar jika agresif,

sedangkan perempuan diharapkan untuk mengekang agresifitasnya.

Walaupun kesetaraan jender sudah marak dibicarakan, namun masih

terdapat pandangan di masyarakat akan superioritas maskulin yang

diidentikkan dengan laki-laki.

Dari berbagai bentuk human relations, berpacaran merupakan

salah satu fase yang pada umumnya tidak terlewatkan oleh tiap individu di

usia remaja atau dewasa awal. Dalam prosesnya, wajar jika terjadi konflik

atau perselisihan dalam berpacaran, dan bagaimana seseorang menyikapi

konflik akan relasinya dengan lawan jenis ini diasumsikan dapat

dipengaruhi oleh peran jender yang terbentuk dalam dirinya. Konflik itu

sendiri pada akhirnya dapat menjadi kekerasan jika individu-individu di

dalamnya tidak menyikapinya dengan toleransi terhadap pasangannya.

(Jurnal Perempuan, 2002:148)


10

Penyebab berlangsungnya kekerasan terus-menerus menurut Jurnal

Perempuan ISPSI (2002, hal 148) adalah karena sikap pihak yang saling

mendukung keberlangsungan kekerasan dalam hubungan mereka, sikap

tersebut yaitu:

1. Laki-laki yang menggunakan kekerasan dalam berpacaran

a. Mereka belajar sikap dan tingkah laku tersebut dalam keluarga mereka

sendiri. 75 % dari pelaku kekerasan mengatakan bahwa mereka

menyaksikan ayah mereka telah menyiksa ibu mereka

b. Mereka berupaya untuk terus memelihara citra laki-laki macho yang

mendapat penguatan dari masyarakat dan juga media

c. Mereka sangat meyakini bahwa kontrol dan kekuasaan ada pada laki-

laki

d. Tidak mampu mengontrol diri, biasanya hanya sedikit orang yang

menyadari akibat dari tindakan kekerasan tersebut

2. Perempuan yang kelihatannya menerima kekerasan dalam berpacaran

a. Mereka mengharapkan hubungan mereka berjalan dengan mulus, dan

berharap pasangannya akan berubah pada akhirnya

b. Mereka merasa takut atau kuatir bahwa pacar mereka akan menyakiti

atau melakukan balas dendam

c. Mereka merasa bersalah atau malu

d. Mereka melihat bahwa memang tidak ada alternatif lain, dan tidak

menyadari bahwa meminta pertolongan bisa dilakukan

e. Mereka tidak memiliki dukungan baik secara sosial maupun individu


11

f. Mereka menganggap bahwa pasangan yang hanya sekali-sekali

melakukan kekerasan lebih baik dibandingkan tidak memiliki

pasangan sama sekali

g. Mereka meyakini bahwa sebetulnya tindakan kekerasan normal-

normal saja

h. Mereka berpikir bahwa tindak kekerasan akan lenyap dengan

sendirinya ketika mereka sudah menikah dan memiliki anak

Dari uraian di atas tampak bahwa faktor-faktor sosial seperti pola asuh

dan lingkungan keluarga, peer group, media massa, dan pembagian peran

menurut jenis kelamin adalah faktor dominan yang menyebabkan terjadinya

kekerasan dalam pacaran disamping faktor yang lain yaitu kepribadian

individu. Dan pada dasarnya kepribadian individu terbentuk dari lingkungan

sosialnya. Dari penyebab-penyebab kekerasan dalam pacaran tersebut pada

akhirnya akan menimbulkan dampak fisik dan psikis yang mengaruhi

kehidupan sosial pelaku dan korban. Berikut ini adalah beberapa dampak

kekerasan pada masa pacaran yang kemudian akan menimbulkan adanya

dampak sosial bagi kehidupan pelaku dan korbannya (Error! Hyperlink

reference not valid. //sindy.student.um.ac.id/2010/02/05/kekerasan-terhadap-

perempuan-pada-ma sa-pacaran/):

1. Menurunnya rasa percaya diri

Agresivitas dalam berkomunikasi seperti: membentak, memaki,

tidak menghargai pendapat korban (disepelekan), melarang bergaul, tidak

pernah diajak diskusi yang sehat, mengancam, maupun melecehkan akan


12

membuat korban menjadi bahan olok-olokan atau tertawaan bagi teman-

temannya maupun di tempat umum. Hal ini secara otomatis akan

menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. Korban merasa minder

untuk bergaul terutama ketika memasuki lingkungan yang baru.

Akibatnya, korban terhambat kehidupan sosialnya karena tidak mampu

menyesuaikan diri dengan lingkungan. Bentuk rasionalisasi dan

pembenaran dari laki-laki akan memperhebat bentuk kekerasan ini.

Beberapa perempuan akan menganggap hal ini wajar dia terima, bahkan

kemungkinan perempuan tersebut ikut menertawakan dirinya sendiri.

2. Meningkatnya rasa tidak berdaya

Perilaku pelaku kekerasan yang merendahkan korban, termasuk

memanggil dengan panggilan yang tidak wajar atau tidak menyenangkan

akan membuat korban merasa bahwa dirinya tidak berguna dan tidak

berarti, sekaligus juga membuat korban merasa sangat beruntung karena

masih ada pacarnya yang mau menjadikannya sebagai pacar. Hal ini

membuat korban merasa tidak berdaya jika ditingalkan oleh pacarnya

karena baginya pacarnya adalah segalanya. Sehingga korban menerima

apa pun perlakuan pacarnya terhadapnya sekalipun perlakuan tersebut

berupa pengekangan untuk bersosialisasi dengan lingkungan yang

mengakibatkan korban terasingkan dari lingkungannya.

3. Meningkatnya rasa cemas

Rasa tertekan yang dialami korban secara terus menerus akan

membuatnya memiliki rasa cemas yang berlebihan. Korban dihantui rasa


13

takut melakukan kesalahan kepada pacarnya. Setiap kali melakukan

aktivitas, korban merasa cemas dan takut hal itu tidak berkenan di hati

pacarnya dan membuat pacarnya marah. Rasa cemas yang dialami korban

secara terus menerus terbawa dalam kehidupan sehari-hari korban ketika

ia bersosialisasi dengan lingkungannya. Korban menjadi sulit

mempercayai orang lain sehingga dalam kehidupan sosialnya korban sulit

bergaul dengan orang lain, lama kelamaan hal ini akan membuat korban

terisolir dari lingkungannya.

4. Menurunnya produktivitas kerja atau prestasi

Terbatasnya ruang gerak aktivitas sosial korban akibat kekerasan

dalam pacaran. Pengawasan yang dilakukan pelaku menjadikan korban

terbatas ruang geraknya, termasuk ruang gerak sosialnya. Hal ini

diperparah dengan beberapa perasaan tidak senang yang diungkapkan

pelaku ketika mengetahui beberapa aktivitas pacarnya. Pelaku mungkin

tidak melarangnya, tapi ungkapan tidak senangnya sudah cukup membuat

korban menghentikan aktivitas rutin kegemarannya.

5. Mengalami sakit fisik

Koalisi Antikekerasan di Alabama menyebutkan bahwa satu dari

tiga anak mengalami kekerasan fisik selama pacaran usia dini. Bentuknya

seperti mendorong, memukul, mencekik, dan membunuh. Kejahatan

tersebut sangat tertutup karena pihak korban ataupun pelaku tidak

mengakui adanya masalah selama hubungan kencan (Kompas, 10 Februari


14

2010). Kekerasan fisik ini dapat berefek psikis pula, seperti menurunnya

konsentrasi, perasaan malu, dan sebagainya.

Tindakan kekerasan dalam pacaran rentan terjadi pada remaja terutama

usia 18-21 tahun, ini adalah jenjang usia remaja yang duduk di bangku

perkuliahan atau dengan kata lain mahasiswa/ mahasiswi. Karena pada usia

tersebut minat untuk menjalin hubungan pacaran dan kecenderungan untuk

mengeksplorasinya terlihat lebih nyata. Pacaran di kalangan mahasiswa,

kadang juga tidak seromantis sebagaimana buku-buku dan artikel-artikel

panduan pacaran. Dalam banyak kasus, pacaran di kalangan mahasiswa juga

banyak diwarnai dengan berbagai macam penyimpangan. Tidak jarang

pacaran menjadi ajang bagi hubungan dominasi. Dan dominasi adalah awal

dari terjadinya kekerasan dan penindasan.

Latar belakang di atas mendorong penulis untuk melakukan suatu

penelitian mengenai faktor-faktor penyebab dan dampak sosial kekerasan

dalam pacaran (dating violence) di kalangan mahasiswa yang nantinya

diharapkan akan memberikan pengetahuan kepada banyak pihak mengenai

kekerasan dalam pacaran (dating violence) di kalangan mahasiswa.

B. PERUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan penelitian ini adalah:

a. Apa saja faktor-faktor sosial penyebab kekerasan dalam pacaran (dating

violence) di kalangan mahasiswa?


15

b. Apa saja dampak sosial kekerasan dalam pacaran (dating violence) di

kalangan mahasiswa?

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui faktor-faktor sosial penyebab kekerasan dalam pacaran

(dating violence) di kalangan mahasiswa.

b. Untuk mengetahui dampak sosial kekerasan dalam pacaran (dating

violence) di kalangan mahasiswa.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara

pribadi maupun secara umum. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada mahasiswa pada

khususnya dan masyarakat pada umumnya mengenai kekerasan dalam

pacaran (dating violence).

2. Secara Teoritis

a. Memberi alternatif solusi tentang permasalahan seputar kekerasan

dalam pacaran

b. Memberi masukan untuk mempelajari dan memecahkan masalah

kekerasan dalam pacaran


16

c. Dapat digunakan sebagai titik tolak untuk melaksanakan penelitian

sejenis secara lebih mendalam dan dalam lingkup yang lebih luas

E. LANDASAN TEORI

Di dalam melihat masalah-masalah dalam penelitian ini paradigma

yang digunakan adalah paradigma perilaku sosial. Menurut B.F. Skinner,

pemuka exemplar paradigma ini, obyek studi sosiologi yang konkrid-realistis

itu adalah: perilaku manusia yang nampak serta kemungkinan perulangannya

(behavior of man and contingencies of reinforcment) (Ritzer, 2004:69).

Dalam paradigma ini Skinner mengatakan bahwa pengertian kultur

yang diciptakan itu tidak perlu disertai dengan unsur mistik seperti ide dan

nilai sosial. Alasannya karena orang tidak dapat melihat secara nyata ide dan

nilai-nilai dalam mempelajari masyarakat. Yang jelas terlihat adalah

bagaimana manusia hidup, memelihara anaknya, cara berpakaian, mengatur

kehidupan bersamanya, dan sebagainya.

Paradigma perilaku sosial memusatkan perhatiannya kepada hubungan

antara individu dan lingkungannya. Pokok persoalan sosiologi menurut

paradigma ini adalah tingkah laku individu yang berlangsung dalam

hubungannya dengan faktor lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat, atau

perubahan dalam faktor lingkungan menimbulkan perubahan terhadap tingkah

laku. Jadi terdapat hubungan fungsional antara tingkah laku dengan perubahan

yang terjadi dalam lingkungan aktor.


17

Dalam penelitian ini menggunakan teori Behavioral Sosiology, yang

merupakan salah satu teori yang termasuk dalam paradigma Perilaku Sosial.

Teori ini memusatkan perhatiannya kepada hubungan antara akibat dari

tingkah laku yang terjadi di dalam lingkungan aktor dengan tingkah laku

aktor. Teori ini berusaha menerangkan tingkah laku yang terjadi itu melalui

akibat-akibat yang mengikutinya kemudian. Jadi nyata secara metafisik teori

ini mencoba menerangkan tingkah laku yang terjadi di masa sekarang melalui

kemungkinan akibatnya yang terjadi di masa yang akan datang.

Yang menarik perhatian Behavioral Sosiology adalah hubungan

historis antara akibat tingkah laku yang terjadi dalam lingkungan aktor dengan

tingkah laku yang terjadi sekarang. Akibat dari tingkah laku yang terjadi di

masa lalu mempengaruhi tingkah laku yang terjadi di masa sekarang. Dengan

mengetahui apa yang diperoleh dari suatu tingkah laku nyata di masa lalu akan

dapat diramalkan apakah seorang aktor akan bertingkah laku yang sama

(mengulanginya) dalam situasi sekarang.

Konsep dasar Behavioral Sosiology yang menjadi pemahamannya

adalah: “reinforcement” yang dapat diartikan sebagai ganjaran (reward). Tak

ada sesuatu yang melekat dalam obyek yang dapat menimbulkan ganjaran.

Perulangan tingkah laku tidak dapat dirumuskan terlepas dari efeknya

terhadap perilaku itu sendiri. Perulangan dirumuskan dalam perulangannya

terhadap aktor. Sesuatu ganjaran yang tak membawa pengaruh terhadap aktor

tidak akan diulang.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, behaviorisme berpendapat

bahwa kekerasan disebabkan dari hasil belajar.


18

Manusia cenderung melakukan repetisi terhadap perilaku orang

disekitarnya, terutama perilaku yang dipersepsikan dapat memberikan

keuntungan bagi pelakunya atau sebagai pemecahan masalah yang efisien.

Lingkungan sosial menyebabkan terjadinya peniruan perilaku itu oleh para

mahasiswa karena dianggap sebagai solusi efektif dalam memecahkan suatu

masalah. Proses belajar seperti itu dimungkinkan karena pengaruh penguatan

(reinforcement), baik berupa tiadanya punishment (hukuman) maupun reward

(ganjaran). Jika mahasiswa mengobservasi bahwa aksi kekerasan yang pernah

terjadi disekitarnya tidak mendapatkan hukuman maka aksi yang sama akan

dilakukan oleh mahasiswa di masa sekarang dan akan datang.

Tingkah laku juga terjadi karena adanya modelling (belajar meniru).

Bila lingkungan sekitar (orang tua, saudara, teman, tetangga, media)

menyajikan adegan-adegan kekerasan, maka sangatlah mungkin individu akan

meniru tindakan kekerasan tersebut. Jadi, behaviorisme melihat bahwa

perilaku kekerasan terjadi karena memang perilaku tersebut membawa

konsekuensi yang positif (menyenangkan) bagi individu pelakunya serta

karena memang lingkungan menyediakan model-model untuk melakukannya.

F. TINJAUAN PUSTAKA

1. Kekerasan

Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan,

pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang menyebabkan atau

dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain,

dan hingga batas tertentu tindakan menyakiti binatang dapat dianggap


19

sebagai kekerasan, tergantung pada situasi dan nilai-nilai sosial yang terkait

dengan kekejaman terhadap binatang. Istilah "kekerasan" juga mengandung

kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak. Kerusakan

harta benda biasanya dianggap masalah kecil dibandingkan dengan

kekerasan terhadap orang (Krucil, 2007 dikutip dari http://republik

damai.blogspot.com//2007/06/kekerasan.html).

Dalam penelitian mengenai hubungan antara kekerasan dalam

pacaran dengan gagasan untuk melakukan bunuh diri di kalangan mahasiwa

terdapat jurnal internasional sebagai berikut:

“Aggressive personality disorders which involve high levels of


anger expression, such as antisocial, borderline, and self-harm personality
disorders, are common among domestic violence offenders.” (International
Journal of Midwifery & Women’s Health, 2008:529)

“Gangguan kepribadian agresif (galak) pada tingkat yang tinggi


yang melibatkan ekspresi kemarahan, seperti antisosial, pembatasan, dan
gangguan kepribadian yang melukai diri sendiri adalah hal yang umum
dilakukan di antara pelaku kekerasan dalam rumah tangga”. (International
Journal of Midwifery & Women’s Health, 2008:529)

Menurut Kamus Sosiologi, kekerasan adalah penggunaan kekuatan

fisik secara paksa terhadap orang atau benda (Soekanto, 1999:476).

Di dalam KUHP, pengertian kekerasan diatur dalam Pasal 89 KUHP

yang menyatakan bahwa membuat orang pingsan atau tidak berdaya

disamakan dengan menggunakan kekerasan.

Secara bahasa, kekerasan (violence) dimaknai Mansour sebagai

serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental

psikologis seseorang (Fakih, 1996:17). Sementara menurut Johan Galtung,

terminologi kekerasan atau violence berasal dari bahasa latin vis vis yang
20

berarti daya atau kekuatan dan latus yang berarti membawa sehingga bisa

diartikan secara harfiah sebagai daya atau kekuatan untuk membawa

(Warsana, 1992:30).

Pada saat ini, masalah kekerasan di negeri ini ternyata tidak hanya

milik preman (yang selalu di identikan dengan kekerasan) tetapi juga

mahasiswa, dari kekerasan antar fakultas dalam satu perguruan tinggi,

demonstrasi dengan kekerasan, perploncoan dengan kekerasan, pacaran

dengan kekerasan, dan sebagainya. Beberapa hal bisa dicermati dalam

banyak kasus kekerasan yang mewarnai dunia pendidikan berkaitan dengan

proses belajar sosial.

Manusia cenderung melakukan repetisi terhadap perilaku orang

disekitarnya, terutama perilaku yang dipersepsikan dapat memberikan

keuntungan bagi pelakunya atau sebagai pemecahan masalah yang efisien.

Pemberitaan di televisi dan media cetak tentang bagaimana aksi kekerasan

dan akibatnya yang terjadi di berbagai tempat, mungkin saja menyebabkan

terjadinya peniruan perilaku itu oleh para mahasiswa. Di samping itu,

observasi langsung para pelaku kekerasan terhadap kasus-kasus kekerasan

yang dilakukan oleh angkatan-angkatan sebelumnya di tahun-tahun yang

lalu (dalam kegiatan orientasi mahasiswa baru) kemudian ditiru oleh

mahasiswa pada saat ini karena dianggap sebagai solusi efektif dalam

memecahkan suatu masalah. Proses belajar seperti itu dimungkinkan karena

pengaruh penguatan (reinforcement), baik berupa tiadanya punishment

maupun reward.
21

Jika mahasiswa mengobservasi bahwa aksi kekerasan yang terjadi

di lingkungan akademisnya tersebut tidak mendapatkan hukuman (baik

oleh rektorat maupun kepolisian), maka aksi yang sama akan dilakukan

oleh mahasiswa di masa sekarang dan akan datang. Tidak ada ketegasan

dalam menerapkan aturan main yang seharusnya menjadi kesepakatan

bersama menimbulkan kecenderungan untuk melakukan kegiatan yang

melawan hukum dan dapat membentuk persepsi yang buruk terhadap

penegakan hukum. Jika mahasiswa percaya bahwa melakukan kekerasan

tidak akan mendapatkan hukuman, maka mahasiswa akan cenderung

menggunakan kekerasan untuk memperjuangkan kepentingannya dan

mengaplikasikannya di kehidupan sehari-hari dalam berinteraksi dengan

orang lain sebagai suatu hal yang tidak lagi tabu. Terutama ketika

berinteraksi dengan orang-orang terdekatnya seperti pacar atau keluarga.

2. Pacaran

Pacaran bisa diartikan sebagai hubungan khusus dengan lawan jenis

atau sesama jenis yang melukiskan sebuah pola ketertarikan antartubuh

yang melibatkan segenap emosi, jiwa dan raga. Makna asli pacaran

berdasarkan etimologinya adalah persiapan menikah.

Menurut Kamus Bahasa Portugis-Brazil pacaran atau yang lebih

dikenal dengan istilah “namoro” adalah suatu kegiatan yang menyangkut

hubungan antar individu untuk mencoba saling menjajagi perasaan dan atau

secara seksual antara dua orang, melalui pertukaran pengalaman dan hidup

bersama guna saling lebih membina kecocokan dalam berumah tangga


22

(Mustika, 2009 dikutip dari http://shodiq.com/2009/03/16/definisi-bentuk-

nyata-pacaran-islami.html).

Pacaran diidentikkan dengan pengenalan antara dua individu secara

mendalam. Bisa juga diartikan terjalinnya hubungan khusus dengan lawan

jenis atau sesama jenis. Pada umumnya pacaran dilakukan sebagai upaya

pematangan (pengkondisian) sebelum bertunangan atau pernikahan.

Pacaran dilakukan dalam waktu tertentu dengan menitikberatkan

pada aktivitas berkasih sayang yang menuntut satu atau lebih pasangan

memperlihatkan perilaku menyenangkan yang diinginkan oleh pasangannya

yang lain (Hamzah, 2008 dikutip dari http://hamzahasdullah.multiply.com).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pacaran adalah bercintaan

dengan kekasih tetap. Bercintaan merupakan aktivitas ekspresi cinta dua

arah, antara dua pihak. Jika berlangsung secara searah saja, hanya sebatas

mencintai, maka aktivitas ini belum tergolong pacaran. Sedangkan kekasih

ialah teman lain-jenis yang dicintai. Walau dapat berlangsung dua arah,

cinta bisa pula searah saja. Karenanya, kekasih kita belum tentu adalah

orang yang mencintai kita. Tetap adalah selama mungkin, bukan sesaat.

Jadi, kekasih tetap bisa diartikan sebagai sahabat lain jenis yang dicintai

untuk selama mungkin, bukan untuk sesaat.

Pacaran berasal dari kata pacar, yang sekarang berarti kekasih.

Pacar/ kekasih berhubungan dengan perasaan ketertarikan seseorang

terhadap orang lain. Ketertarikan ini disebabkan karena banyak hal, antara

lain fisik, ketrampilan, kepandaian, kekayaan, kebangsawanan, kepribadian,


23

dsb. Jika perasaan ketertarikan itu disampaikan dan diterima atau berbalas

maka akan terbentuk sebuah komitmen pacaran. Saat itu ada semacam rasa

memiliki satu sama lain.

Pacaran adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan yang

diwarnai keintiman. Keduanya terlibat dalam perasaan cinta dan saling

mengakui pasangan sebagai pacar. Demikian definisi yang dikemukakan

Reiss dalam buku Marriage and Family Development karangan Duval and

Miller, keluaran tahun 1985 (http://www.kompas.com/kompas-

cetak/0309/26/muda /584131.htm).

Adapun komponen utama dari pacaran diidentifikasikan sebagai

berikut:

a. Bertemu di suatu tempat yang telah ditetapkan bersama untuk

berkasih-kasihan

b. Dilakukan dengan kekasih atau teman lain jenis yang tetap

c. Perilaku menyenangkan yang diinginkan oleh pasangannya yang lain.

Dalam jurnal internasional Prevalence of Violence Against Dating

Partners by Male and Female University Students Worldwide, Murray A.

Straus mendefinisikan pacaran sebagai berikut:

“Dating was defined as a dyadic relationship involving meeting for


social interaction and joint activities with an explicit or implicit intention to
continue the relationship until one or the other party terminates or until
some other more committed relationship is established (e.g., cohabiting,
engagement, or marriage). The social norms for dating and actual dating
behavior differ according to many dimensions, including individual
differences, racial/ethnic and socioeconomic group differences, historical
era, and cultural context. Despite these differences, there are also some
inherent structural similarities; for example, it is a dyadic relationship and
the parties usually invest time and energy. Therefore, social interactional
24

processes typical of dyads are likely to apply, regardless of whether the


relationship was arranged by parents or friends, by newspaper or by
Internet, or by one party initiating the development of a relationship.”
(Straus, 2004:792)

“Dating (pacaran) didefinisikan sebagai hubungan khusus yang


melibatkan pertemuan untuk berinteraksi sosial dan melakukan aktivitas
bersama-sama dengan maksud yang eksplisit ataupun implisit untuk
melanjutkan hubungan tersebut hingga salah satu pihak mengakhiri atau
sampai beberapa hubungan lain yang lebih berkomitmen didirikan
(misalnya, pertunangan, atau pernikahan). Norma-norma sosial untuk
berpacaran dan perilaku berpacaran sebenarnya berbeda menurut banyak
dimensi, yang meliputi perbedaan individu, ras/ etnis dan perbedaan
kelompok sosial ekonomi, sejarah, dan konteks budaya. Di samping
perbedaan-perbedaan ini, ada juga beberapa persamaan struktural yang
melekat; sebagai contoh, sebuah hubungan khusus biasanya menghabiskan
watu dan tenaga dari masing-masing pihak. Oleh karena itu, proses
interaksi sosial yang khas tersebut kemungkinan akan berlaku terlepas dari
apakah hubungan ini diatur oleh orang tua atau teman, oleh koran atau
internet, atau salah satu pihak mulai mengembangkan hubungan tersebut.”
(Straus, 2004:792)

Pacaran di kalangan mahasiswa terjalin oleh dua orang yang telah

sama-sama dewasa. Pada umumnya, mahasiswa yang berpacaran memiliki

hubungan yang lebih intim dari berbagai segi, baik itu komitmen maupun

fisik. Keintiman ini menyebabkan rawannya terjadi perilaku tidak sehat,

mulai dari yang ringan hingga berat seperti free seks dan terjadinya

dominasi berlebihan dari salah satu pihak yang berujung pada terjadinya

kekerasan dalam pacaran. Tingginya tingkat privacy sebagai mahasiswa,

mengakibatkan mahasiswa bebas melakukan apa pun tanpa ada yang

memperhatikan. Apalagi gaya pacaran anak kuliahan adalah pacaran di

kamar. Selain tidak mengeluarkan biaya (untuk makan, nonton di bioskop,

atau transport), pacaran di kamar lebih terjaga privacy-nya. Ada semacam


25

kode etik di kalangan mahasiswa bahwa jika si mahasiswa sudah mengunci

kamar, maka yang lain dilarang mengganggu.

3. Kekerasan dalam Pacaran

Kekerasan dalam pacaran adalah segala bentuk tindakan yang

mempunyai unsur kekerasan yang meliputi pemaksaan, tekanan, perusakan,

dan pelecehan fisik maupun psikologis yang terjadi dalam hubungan

pacaran. Hal ini dapat dilakukan oleh pria maupun wanita, bahkan pada

pasangan sejenis seperti gay atau lesbi (Abbot, 1992 dikutip dari

http://ariekaonly.multiply.com). Meski hubungan pacaran belum diikat

pernikahan, ternyata banyak yang melakukan kekerasan terhadap

pasangannya. Atas nama cinta, kekerasan dalam pacaran terjadi berulang-

ulang.

Kekerasan dalam pacaran adalah perbuatan yang berakibat

timbulnya kesengsaraan atau penderitaan termasuk penderitaan secara fisik,

seksual, psikologis dan penelantaran termasuk juga ancaman yang

menghasilkan kesengsaraan di dalam lingkup hubungan pacaran.

Kekerasan dalam pacaran (KDP) terjadi ketika seseorang yang

sedang berpacaran merasa terpaksa menerima segala perilaku yang

dilakukan pasangannya. KDP merupakan salah satu bentuk dari kekerasan

yang mayoritas terjadi terhadap perempuan walaupun tidak semua

korbannya adalah perempuan. Definisi kekerasan terhadap perempuan

menurut Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun

1994 pasal 1, adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin


26

yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan

perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan

tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang,

baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi. Definisi

ini juga berlaku sebaliknya jika korbannya adalah laki-laki.

Dating violence seperti lingkaran setan dimana pihak-pihak yang

terlibat sulit sekali terlepas dari lingkaran setan ini. Jika dijabarkan akan

menjadi seperti berikut:

Permintaan putus

Kekerasan fisik/
Kekerasan non fisik Pelaku meminta maaf
(menangis-nangis, bersujud, dsb)
dan berjanji tidak akan mengulangi lagi

Pemakluman korban
(dirasa wajar, sayang yang berlebihan) Korban menerima maaf

Kekerasan awal terjadi, contoh: posesif

Gambar 1.
Skema dating violence (Sumber: http://arieka only.multiply.com)

Pada kasus dating violence cinta telah membutakan batas

humanisme. Meskipun korban mendapat perlakuan yang tak pantas dari

pasangannya namun selalu saja bersedia memaafkan dan akhirnya kembali


27

menjalani hubungan yang tak sehat ini. Biasanya pihak-pihak yang terlibat

dating violence kemudian mengalami disonansi kognitif, mereka tak dapat

lagi memakai pandangan yang normal dalam memaknai pacaran yang

sehat. Antara korban dan pelaku telah timbul suatu ketergantungan yang tak

sehat, mereka terlarut dalam kekerasan yang berselimutkan kasih sayang.

Sebagian besar menganggap bahwa hal tersebut adalah bagian duka yang

harus dilaluinya dalam suka duka sebuah hubungan sehingga persepsi yang

timbul pada diri korban mengenai dating violence adalah bentuk kasih

sayang yang berbeda (Arika NS, 2007 dikutip dari http://arieka

only.multiply.com).

Dalam hubungan pacaran di kalangan mahasiswa, pada umumnya

mereka menganggap hubungan cinta sebagai hal yang serius yang biasanya

dibumbui dengan rasa sayang, sedih, duka, haru, nyaman, serta segala

perasaan lain layaknya sepasang kekasih. Ada perasaan saling melindungi,

menjaga, atau rasa takut untuk berpisah walau hanya sesaat.

Namun rasa cinta dan sayang itu bisa hancur ketika ada kondisi

hubungan dominan yang tidak seimbang. Biasanya sebagian besar kaum

laki-laki melakukan dominasi terhadap pasangannya. Ketika dominasi

terjadi cepat atau lambat akan muncul kondisi yang disebut dating violence,

kekerasan dan pelanggaran etika fisik maupun psikis dalam hubungan cinta.

Pihak perempuan yang tidak menyadari akan menganggap bahwa ia

hanyalah makhluk yang harus menuruti segala perintah sang kekasih.

Kemudian, deraan dan siksaan yang lebih keras akan terjadi, baik secara
28

fisik maupun mental. Dan tidak ada satu pun early warning system yang

bisa dijadikan panduan untuk mengetahui dan menghindari kekerasan

dalam pacaran.

Dalam jurnal internasional Prevalence of Dating Partner Violence

and Suicidal Ideation Among Male and Female University Students

Worldwide, kekerasan dalam pacaran yang terjadi di kalangan mahasiswa

diuraikan sebagai berikut:

“Dating couples are even more likely to be violent than married


couples, despite the fact that the higher rate has been demonstrated by
more than 50 studies, starting in the 1980s (Stets & Straus, 1989;
Sugarman & Hotaling, 1989). Numerous studies in the United States and
Canada have found an extremely high prevalence of physical assault on
dating partners by university students. For example, in Canada and the
United States, 20% to 40% of students report one or more assaults in the
previous 12 months (Sugarman & Hotaling, 1989). University studies have
also indicated similar rates of physical assault by men and by women
(Sugarman & Hotaling, 1989), except for sexual assault whenwomenare
overwhelmingly the victims (Hines & Saudino, 2003; Zweig, Barber, &
Eccles, 1997). For purposes of primary prevention (Cowen, 1978; A.
O’Leary & Sweet-Jemmott, 1995), it is vital to increase our understanding
of the etiology of this dating couple violence because it can establish
patterns that persist over a lifetime (O’Leary et al., 1989; O’Leary,
Malone, & Tyree, 1994).” (International Journal of Violence Against
Dating Partner, 2004:791)

“Pasangan kencan bahkan lebih cenderung melakukan kekerasan


daripada pasangan suami istri, meskipun dalam kenyataannya tingkat yang
lebih tinggi telah dibuktikan oleh lebih dari 50 study, yang dimulai pada
tahun 1980-an (Stets & Straus, 1989; Sugarman & Hotaling, 1989).
Sejumlah penelitian di Amerika Serikat dan Canada telah menemukan
hubungan yang sangat tinggi dari serangan fisik dalam pacaran oleh
mahasiswa. Sebagai contoh, di Canada dan Amerika Serikat, 20% hingga
40% dari siswa melaporkan satu atau lebih serangan dalam 12 bulan
terakhir (Sugarman & Hotaling, 1989). Penelitian di universitas juga
menunjukkan angka yang sama serangan fisik oleh laki-laki dan perempuan
(Sugarman & Hotaling, 1989), kecuali untuk serangan sekisual ketika
perempuan adalah korbannya (Hines & Saudino, 2003; Zweig, Barber, &
Eccles, 1997). 1997). Untuk tujuan pencegahan primer(Cowen, 1978; A.
O'Leary & Sweet-Jemmott, 1995), sangat penting untuk meningkatkan
29

pengertian kita atas etiologi dari pasangan dating violence ini karena dapat
menetapkan pola-pola yang menetap sepanjang hidup (O'Leary et al., 1989;
O'Leary, Malone, & Tyree, 1994). 1989; O'Leary, Malone, & Tyree,
1994).” (International Journal of Violence Against Dating Partner,
2004:791)

Macam-macam tanda dating violence di kalangan mahasiswa antara

lain:

a. Pertama adalah intimidation (intimidasi) yaitu perlakuan menakut-

nakuti dan menggertak pasangan dengan cara merusak benda,

bertindak ceroboh saat mengendarai kendaraan, atau bergaya seolah

seorang preman yang setiap waktu mengawasi gerak-gerik pacarnya.

b. Kedua violating your privacy (melanggar privasi) yaitu menerobos

area pribadi dan mengacak-acak segala rahasia diri pasangan. Perilaku

ini ditandai dengan mengambil alih catatan pribadi, sms pada

handphone hingga men-sweeping isi tas. Pelaku menganggap bahwa

orang lain tidak berhak mencampuri urusan cintanya.

c. Ketiga adalah threats (tindakan ancaman) yang lebih serius dan lebih

menakutkan. Pelaku sering memaksa korban untuk menuruti

kemauannya dengan ancaman bunuh diri, memutuskan hubungan

cinta, hingga mengancam menyebarkan foto-foto dan video pribadi

yang dibuat bersama kekasihnya.

d. Keempat using male privilege (menggunakan hak istimewa laki-laki).

Biasanya pelaku selalu menggambarkan dirinya sebagai jagoan, laki-

laki yang perkasa. Ia selalu berusaha mengalahkan cara pikir

perempuan dan tidak mau menerima argumen apa pun. Dalam tahap
30

ini, laki-laki telah menguasai perempuan untuk melakukan apa pun

kehendaknya.

e. Kelima limiting independence (membatasi kebebasan). Pelaku

mengurung kebebasan kekasihnya dengan cara mengatur penampilan

sesuai kehendaknya. Ia juga mengatur teman-teman yang harus dijauhi

atau didekati, memaksakan pengaruh rokok dan minuman keras pada

kekasihnya, serta membatasi pergaulannya. Pada saat itu, pelaku

bahkan bisa mengatur beragam rencana kekasihnya, termasuk rencana

pendidikan, masa depan, dan pekerjaan.

f. Keenam humiliation (penghinaan) yaitu tindakan mempermalukan

nama baik sang kekasih di depan umum. Perilaku ini ditandai dengan

cara mernperlakukan sang pacar dengan tidak manusiawi.

g. Ketujuh isolation (pengasingan). Tindakan mengisolasi segala bentuk

hubungan keluarga, pertemanan, sekolah, dan masyarakat dari

kekasihnya sendiri. Jenis tindakan seperti ini, seolah-olah seperti

memenjara sang kekasih dan memutuskannya dari komunikasi dunia

luar.

h. Kedelapan harassment (gangguan). Bentuk gangguan yang dilakukan

pelaku dalam berbagai macam aktivitas yang dilakukan kekasihnya.

Bahkan meskipun hubungan cinta telah berhenti, bentuk gangguan ini

tetap berlangsung. Pelaku berusaha masuk ke dalam pergaulan sosial

korban, meskipun tidak diundang atau dilarang sekalipun (Sony Set,

2009:45).
31

4. Mahasiswa

Mahasiswa atau mahasiswi adalah panggilan untuk orang yang

sedang menjalani pendidikan tinggi di sebuah universitas atau perguruan

tinggi (http://id.wikipedia.org/wiki/Pergerakan_Mahasiswa_Islam_Indone

sia).

Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, kata mahasiswa

memiliki pengertian berupa orang atau setiap orang yang terdaftar secara

resmi dan belajar di suatu perguruan tinggi (Yasyin, 1997:329).

Mahasiswa adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di

perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa

terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan dinamis, insan sosial

dan insan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul tanggung

jawab keagamaan, intelektual, sosial kemasyarakatan dan tanggung jawab

individual baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga negara.

Mahasiswa secara harfiah adalah orang yang belajar di perguruan

tinggi, entah di universitas, institut atau akademi (Takwin, 2008 dikutip

dari http://bagustakwin.multiply.com). Mereka yang terdaftar sebagai

murid di perguruan tinggi otomatis dapat disebut sebagai mahasiswa.

Tetapi pada dasarnya makna mahasiswa tidak sesempit itu. Terdaftar

sebagai pelajar di sebuah perguruan tinggi hanyalah syarat administratif

menjadi mahasiswa. Menjadi mahasiswa mengandung pengertian yang

lebih luas dari sekedar masalah administratif.


32

Mahasiswa merupakan calon pembaharu, calon cendekiawan dan

calon penyangga keberlangsungan hidup masyarakat. Dan untuk mencapai

tujuan-tujuan tersebut, mahasiswa dituntut untuk memiliki tiga kualitas

psikologis yaitu keterbukaan pikiran, kemampuan berpikir kritis, dan

kreativitas.

Dunia kampus saat ini seolah menjadi dunia politik, yang sarat

dengan intrik kepentingan dan intrik politik praktis. Bahkan, tak jauh

berbeda dengan budaya politik di legislatif. Kekerasan seolah menjadi salah

satu alternatif dalam mewujudkan kepentingan politik di kampus. Pejuang-

pejuang kampus yang semestinya diwarnai aroma akademis dan keilmuan,

kemudian muncul ke permukaan dengan warna-warna yang menakutkan.

Kekerasan, pemaksaan, dan intimidasi, baik lisan, tulisan, maupun beban

psikologis, tumbuh kembang di lingkungan dunia kampus.

Mahasiswa yang merupakan salah satu elemen kampus, saat ini

terjebak pada lingkungan yang dekat dengan nuansa kekerasan. Menjadikan

mereka menganggapnya bukanlah hal yang tabu lagi untuk dilihat dan

diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan oleh kaum akademisi

yang memiliki intelektual tinggi yang seharusnya lebih tahu mana hal yang

baik dan buruk serta lebih terbuka pemikirannya dalam menghadapi suatu

masalah. Pada akhirnya kekerasan menjamah kehidupan mahasiswa dalam

berbagai segi kehidupannya terutama permasalahan pribadi seperti dalam

menjalin hubungan dengan pasangannya.


33

Jurnal internasional yang berjudul Prevalence of Violence Against

Dating Partners by Male and Female University Students Worldwide

menyebutkan beberapa alasan mengapa kekerasan dalam pacaran

difokuskan di kalangan mahasiswa:

“The International Dating Violence Study is focused on the dating


relationships of university students for a number of reasons: (a) Data on
university students can be obtained in a uniform way by inexpensive
questionnaires. This puts participation in the study within the resources of
investigators in many countries; (b) In many countries, heterosexual
relationships in the form of “dating” are more likely to exist among
university students than in other sectors of the population; (c) As indicated
above, a large number of studies show that physical assaults occur very
frequently among student dating couples; (d) Students constitute a sizeable
population in many countries. In the United States, for example, there are
about 15 million currently enrolled in colleges and universities; (e)
Students are at a formative period in their lives, especially in relation to the
development of appropriate patterns of behavior with a partner. The
patterns manifested at this age are often enduring features of their
relationship”. (International Journal of Violence Against Dating Partner,
2004:792)

“Penelitian Dating Violence Internasional ini difokuskan pada


mahasiswa untuk sejumlah alasan: (a) Data tentang mahasiswa dapat
diperoleh dengan cara yang seragam dengan dana yang tidak mahal. Hal ini
menempatkan partisipasi dalam penelitian ini dengan sumber-sumber
penyelidikan di banyak negara; (b) Di banyak negara, hubungan
heteroseksual dalam bentuk pacaran lebih mungkin terjadi di antara
mahasiswa daripada sektor penduduk lain; (c) Sebagaimana ditunjukkan di
atas, sejumlah besar penelitian menunjukkan bahwa serangan fisik terjadi
sangat sering terjadi di antara pasangan dating di kalangan mahasiswa; (d)
Mahasiswa merupakan populasi yang cukup besar di banyak negara. Di
Amerika Serikat, misalnya, saat ini ada sekitar 15 juta mahasiswa terdaftar
universitas; (e) Mahasiswa berada pada periode formatif kehidupan mereka,
terutama dalam kaitannya dengan pengembangan pola-pola perilaku
dengan pasangan. Pola-pola ini dibuktikan dalam usia ini sering tahan lama
fitur dari hubungan mereka (Murphy & O'Leary, 1989; O'Leary et al.,
1989; O'Leary et al., 1994; Pan, & O'Leary, 1989; O'Leary et al., 1989;
O'Leary et al., 1994; Pan, Neidig, & O'Leary, 1994). Neidig, & O'Leary,
1994).” (International Journal of Violence Against Dating Partner,
2004:792)
34

G. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Berdasarkan masalah yang diambil yaitu tentang faktor-faktor

penyebab dan dampak kekerasan dalam pacaran di kalangan mahasiswa

maka jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian eksploatif karena peneliti tidak familiar dengan masalah yang

diteliti. Topik penelitian ini masih relatif baru karena belum banyak orang

yang meneliti masalah ini. Literatur atau hasil penelitian yang membahas

permasalahan tersebut masih langka.

Dalam metode penelitian ini, sampel-sampel yang ada

diidentifikasi berdasarkan ciri-ciri sosiologis dan perannya di dalam

masyarakat. Kemudian dicatat kejadian-kejadian yang terjadi dan disusun

kategori atas subyek-subyek pelaku dan kategori atas kejadian-kejadian.

Dari kategori-kategori itu dikembangkan konsep sesuai dengan keadaan

yang ada di lapangan (Slamet, 2006:7).

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di Universitas Sebelas Maret

Surakarta, dengan pertimbangan lokasi ini dianggap sesuai dengan tujuan

penelitian, lokasi ini merupakan salah satu universitas negeri di wilayah

Surakarta dan merupakan universitas terbesar di kota ini. Sebagai

universitas yang besar UNS memiliki mahasiswa dengan jumlah yang

besar pula dengan beragam tingkah lakunya. Di lokasi ini dimungkinkan

terdapat data-data yang diperlukan.


35

3. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi adalah keseluruhan daripada unit-unit analisis yang

memiliki spesifikasi tertentu (Slamet, 2006:40). Dalam penelitian ini

populasinya adalah seluruh pasangan kekerasan dalam pacaran (dating

violence’s couple) di Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang jumlahnya kurang

dari populasi. Sampel ini diambil dari anggota populasi yang diketahui

peneliti dapat menjadi sumber informasi data yang diinginkan dan

diperlukan dalam penelitian ini. Tujuan penentuan sampel adalah

untuk memperoleh keterangan tentang obyek penelitian dengan cara

hanya mengamati sebagian dari populasi, suatu reduksi terhadap obyek

penelitian (Komaruddin, 1991:26-27).

Yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah tiga pasangan

kekerasan dalam pacaran (dating violence’s couple) yang merupakan

mahasiswa UNS dari berbagai fakultas dan tiga orang teman dekat

pelaku dan korban kekerasan dalam pacaran yang mengetahui

peristiwa tersebut.

c. Teknik Pengambilan Sampel

Sedangkan strategi pengambilan sampel yang peneliti gunakan

yaitu purposive sampling. Penarikan sampel dengan cara ini


36

membutuhkan kemampuan dan pengetahuan yang baik dari peneliti

terhadap populasi penelitian. Dalam menentukan siapa yang masuk

menjadi anggota sampel penelitiannya, peneliti harus benar-benar

mengetahui dan beranggapan bahwa orang yang dipilihnya dapat

memberikan informasi yang diinginkan sesuai dengan permasalahan

penelitian. Untuk itu peneliti melakukan pengamatan terlebih dahulu

terhadap orang-orang yang nantinya akan dijadikan sampel dengan

memasuki lingkungannya dan mengamati perilaku berpacarannya.

Pengamatan ini betujuan agar sampel yang diambil benar-benar sesuai

dengan penelitian.

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Sumber Data

1) Data Primer

Yaitu data yang diperoleh dari wawancara dengan

informan. Dan yang menjadi informan dari penelitian ini yaitu:

pasangan kekerasan dalam pacaran (Mala dan Adit, Tata dan Ryan,

Tya dan Affan) dan orang-orang di sekitar pelaku dan korban

(dalam hal ini teman dekat pelaku atau korban) kekerasan dalam

pacaran yang mengetahui peristiwa tersebut (Nia, Ana, dan Sari).

2) Data Sekunder

Data sekunder yaitu literatur berupa buku-buku dan

literatur lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti

yaitu:
37

a) Dokumen:

International Journal of Midwifery & Women’s Health dan

International Journal of Violence Againts Dating Partner

b) Internet:

http://ariefbharata.multiply.com/;http://republikdamai.blogspo

t.com/;http://shodiq.com/;http://ruangstudio.blogspot.com/;htt

p://bkkbn.go.id/;http://situs.kesrepro.info/;http://kompas.com/;

http://bagustakwin.multiply.com/;http://depdiknas.go.id/;http:/

/uns.ac.id/.

c) Buku:

Data dan Informasi Universitas Sebelas Maret, Analisis

Gender dan Transformasi Sosial, Hentikan Kekerasan

terhadap Perempuan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

Metode Penelitian Kualitatif, Sosiologi Ilmu Pengetahuan

Berparadigma Ganda, Teen Dating Violence, Metode

Penelitian Sosial, Kamus Sosiologi, Metodologi Penelitian

Kualitatif, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung.

b. Metode Pengumpulan Data

Untuk pengumpulan data pada penelitian ini digunakan teknik-

tehnik berikut:

1) Metode observasi (pengamatan)

Tehnik observasi adalah tehnik pengumpulan data dengan

pengamatan dan pencatatan suatu objek dari masalah yang diteliti.


38

Observasi itu sendiri dapat dilakukan secara sesaat maupun

berulang-ulang. Observasi ada dua, yaitu observasi participant dan

non participant. Dalam penelitian ini, peneliti memakai tehnik

observasi non participant, dimana peneliti hanya sebatas melihat

atau mengamati subyek penelitian.

Dalam penelitian ini observasi dilakukan terlebih dahulu

terhadap calon informan untuk memastikan bahwa informan

tersebut benar-benar sesuai dengan tujuan penelitian. Observasi

yang pertama kali dilakukan adalah mengamati perilaku

berpacaran calon informan untuk memastikan terjadinya kekerasan

dalam pacaran dalam hubungan calon informan tersebut dengan

pacarnya. Selanjutnya setelah dipastikan sebagai informan, peneliti

mengamati perilaku berpacaran informan, mengamati bagaimana

terjadinya kekerasan dalam pacaran mahasiswa tersebut,

mengamati bagaimana latar belakang sosialnya sehingga

mahasiswa tersebut dapat melakukan kekerasan dalam pacaran

serta mengamati dampak sosial kekerasan dalam pacaran dalam

kehidupan sehari-harinya.

2) Metode in dept interview (wawancara mendalam)

Tehnik wawancara adalah kegiatan yang dilakukan untuk

memperoleh data yang diinginkan dengan melakukan interaksi

langsung dengan informan. Didalam interaksi itu, peneliti berusaha


39

mengungkapkan kasus yang sedang diteliti melalui proses tanya-

jawab. Sebelum mengadakan wawancara mendalam untuk

mendapatkan informasi yang diperlukan peneliti menggunakan

pembicaraan informal terlebih dahulu dengan tujuan menciptakan

hubungan yang akrab antara peneliti dan informan.

Dalam penelitian ini peneliti akan melakukan wawancara

dengan mahasiswa UNS dan pasangannya yang menjadi pelaku

atau korban kekerasan dalam pacaran serta teman dekatnya yang

mengetahui peristiwa tersebut. Pelaksanaan wawancara di

lapangan peneliti menggunakan pedoman wawancara yang telah

dipersiapkan sebelumnya. Pada pelaksanaannya daftar pertanyaan

berkembang sesuai dengan keadaan yang terjadi.

Inti dari pertanyaannya adalah menanyakan tentang

terjadinya kekerasan dalam pacaran mahasiswa UNS, faktor-faktor

sosial yang menyebabkannya serta dampak sosial dari perilaku

kekerasan tersebut terhadap kehidupan sosialnya.

5. Validitas Data

Pengecekan validitas data dalam penelitian ini adalah dengan

tehnik triangulasi, yaitu pemeriksaan keabsahan data dengan

memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data tersebut. Maksudnya adalah

untuk mengecek balik atau membanding derajat keabsahan data tersebut

melalui waktu dan alat yang berbeda, yang dapat diperoleh melalui

beberapa cara yaitu:


40

a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara

b. Membandingkan keadaan dan perspektif dari seseorang dengan

berbekal pendapat dan pandangan orang lain

c. Membandingkan hasil wawancara dengan isi hasil suatu dokumen

yang berkaitan (Moleong, 1998:178)

Peneliti cenderung menggunakan trianggulasi data dan trianggulasi

metode. Trianggulasi data disebut juga trianggulasi sumber. Jenis

trianggulasi ini dilakukan dengan dua cara. Pertama, data yang sejenis

dikumpulkan dengan berbagai sumber data yang tersedia dengan teknik

pengambilan data sama.

Kedua, data yang sejenis dikumpulkan dari sumber data yang

berbeda dengan teknik pengumpulan data yang berbeda. Trianggulasi

sumber yang memanfaatkan jenis sumber data yang berbeda-beda untuk

menggali data yang sejenis di sini tekanannya pada perbedaan sumber

data, bukan pada teknik pengumpulan data atau yang lain. Peneliti bisa

memperoleh dari informan yang berbeda-beda posisinya dengan teknik

wawancara mendalam, sehingga informasi dari informan yang satu bisa

dibandingkan dengan informasi dari informan lainnya. Dengan cara

menggali data dari sumber yang berbeda-beda dan juga teknik

pengumpulan data yang berbeda itu pun data sejenis bisa teruji

kemantapan dan kebenarannya, dan teknik ini tetap dinyatakan sebagai

teknik trianggulasi sumber.


41

Informan 1

Data wawancara Informan 2

Informan 3

Gambar 2.

Skema Trianggulasi (Sumber: HB. Sutopo, 2002:80)

Sedangkan trianggulasi metode dilakukan dengan cara

mengumpulkan data sejenis dari sumber data yang sama tapi dengan

teknik pengumpulan data berbeda. Dari sini akan diketahui keabsahan

data-data tersebut.

6. Analisis Data

Analisis data adalah proses mengorganisasi dan mengurutkan data

ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan

tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja yang disarankan oleh data.

Yang menjadi dasar analisa dalam penelitian ini yaitu; seluruh data

dicermati secara mendalam, ditelaah, diberi kode mengacu pada

kepustakaan yang relevan atau apa yang dipelajari dan dibaca dari

kepustakaan tetap dilihat dari perspektif paradigma dan asumsi peneliti

sendiri.

Data yang berupa kalimat-kalimat yang dikumpulkan melalui

wawancara diolah dan dianalisa supaya menghasilkan kesimpulan yang

valid. Ada tiga komponen pokok dalam tahap analisis (Sutopo, 2002:91)

yaitu:
42

a. Reduksi Data

Reduksi data merupakan proses seleksi, pemfokusan,

penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang

muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Proses ini berlangsung

terus-menerus selama penelitian berlangsung di lapangan.

Reduksi data sudah dimulai sejak peneliti mengambil

keputusan tentang kerangka kerja konseptual, permasalahan dan cara

pengumpulan data yang dipakai. Pada saat pengumpulan data

berlangsung, reduksi data dapat berupa ringkasan, mengkode,

memusatkan tema, membuat batasan permasalahan, menulis memo.

Proses reduksi ini terus berlangsung sesudah penelitian

lapangan sampai laporan akhir selesai. Data setelah diperoleh dari

lapangan akan dipilah-pilahkan sesuai dengan fokus perhatian yang

peneliti inginkan. Kemudian disusun disesuaikan dengan format yang

ditentukan oleh peneliti.

b. Penyajian Data

Penyajian data merupakan organisasi informasi yang

memungkinkan kesimpulan riset dapat dilakukan. Dengan melihat

suatu penyajian data, peneliti akan mengerti apa yang terjadi dan

memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu pada analisis ataupun

tindakan lain berdasarkan pengertian tersebut.

Penyajian data dalam hal ini meliputi berbagai macam matrik,

skema, jaringan kerja, keterkaitan kegiatan dan tabel. Hal itu

merupakan kegiatan yang dirancang untuk merakit informasi secara


43

teratur agar mudah dilihat, dimengerti, praktis dan mudah diterima

oleh khalayak sebagai informasi yang lengkap dan saling mendukung.

c. Menarik Kesimpulan (Verifikasi)

Dalam menarik sebuah kesimpulan, dapat juga diverifikasi

selama penelitian berlangsung, dengan cara merefleksi kembali apa

yang telah kembali ditemukan serta bertukar pikiran untuk

memperoleh kebenaran intersubjektif sehingga makna-makna yang

muncul dari data dapat diuji kebenarannya dan kekokohannya, yakni

yang merupakan validitasnya.

Pengumpulan Data

Reduksi Data Sajian Data

Penarikan Kesimpulan

Gambar 3.
Model Analisis Interaktif (Sumber: H. B. Sutopo, 2002:96)
BAB II

DESKRIPSI LOKASI

A. Sejarah Singkat dan Lokasi Universitas Sebelas Maret

Universitas Sebelas Maret resmi didirikan sejak tanggal 11 Maret

1976, berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 10 Tahun 1976 yang

ditanda tangani tanggal 8 Maret 1976 dengan nama resmi Universitas Negeri

Surakarta Sebelas Maret yang selanjutnya lazim disebut dengan singkatan

UNS saja. Namun, sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 55 Tahun

1982 nama resmi Universitas Negeri Surakarta Sebelas Maret diganti menjadi

hanya Universitas Sebelas Maret (Buku Data dan Informasi Universitas

Sebelas Maret, 2007).

Universitas Sebelas Maret pada awalnya merupakan gabungan dari

beberapa perguruan tinggi yang ada di kota Surakarta dan sekitarnya, antara

lain adalah:

1. Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Surakarta,

2. Akademi Administrasi Negara Surakarta,

3. Sekolah Tinggi Olahraga Negeri Surakarta,

4. Fakultas Kedokteran Perguruan Tinggi Pembangunan Surakarta (FK-

PTPN), dan

5. Universitas Gabungan Surakarta yang terdiri dari beberapa perguruan

tinggi swasta, antara lain Universitas Islam Indonesia Cabang Surakarta,

Universitas 17 Agustus Cabang Surakarta, Universitas Cokroaminoto

44
45

Cabang Surakarta dan Universitas Nasional Saraswati (Company Profile

Universitas Sebelas Maret).

Setelah 5 tahun melakukan konsolidasi, UNS mempersiapkan diri

untuk memulai proses perkembangannya. Pembangunan secara fisik dimulai

pada tahun 1980. Di bawah kepemimpinan dr. Prakosa, kampus yang semula

terletak di beberapa tempat disatukan dalam suatu kawasan. Lokasi tersebut

adalah di daerah Kentingan, di tepi Sungai Bengawan Solo, dengan cakupan

area sekitar 60 hektar. Di daerah Kentingan inilah, pembangunan kampus

tahap pertama berakhir pada tahun 1985.

Pembangunan fisik kampus yang tergolong cepat, juga diimbangi

dengan perkembangan di sektor yang lain. Tahun 1986, Prof. Dr. Koento

Wibisono selaku rektor berikutnya, melakukan peletakan dasar-dasar

percepatan pertumbuhan. Pada masa ini perubahan telah terjadi seperti

perkembangan yang cukup bagus dalam bidang akademik dan jumlah staf,

juga dalam penguatan infrastruktur kampus. Setelah Prof. Haris Mudjiman,

Ph.D menjadi rektor berikutnya, percepatan UNS dimulai untuk melangkah ke

arah yang lebih baik.

Universitas Sebelas Maret pada awal berdirinya terdiri dari 17 (tujuh

belas) jurusan yang tergabung dalam sembilan fakultas, yaitu:

1. Fakultas Ilmu Pendidikan

2. Fakultas Ilmu Keguruan

3. Fakultas Sastra Budaya

4. Fakultas Sosial Politik


46

5. Fakultas Hukum

6. Fakultas Ekonomi

7. Fakultas Kedokteran

8. Fakultas Pertanian

9. Fakultas Teknik.

Pada saat diresmikan, Universitas Sebelas Maret memiliki tenaga

dosen/ asisten sebanyak 810 orang yang terdiri dari 365 dosen/ asisten tetap

dan 454 dosen/ asisten tidak tetap, serta memiliki 5.578 mahasiswa. Pada

tanggal 8 Maret 1976 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K)

mengeluarkan SK No.03/C/Depk/76 yang mengantur tentang Pimpinan

Sementara Universitas Sebelas Maret, dengan Kantor Pusat Universitas

Sebelas Maret sementara bertempat di Pagelaran Keraton Surakarta dan

tempat untuk kegiatan kuliah tersebut di beberapa tempat (Buku Sejarah

Berdirinya Universitas Negeri Surakarta (UNS) Sebelas Maret).

Universitas Sebelas Maret saat ini berpusat di jalan Ir. Sutami No.36A

Kentingan, Surakarta. Selain di Kentingan, Universitas Sebelas Maret

memiliki beberapa kampus yang letaknya terpisah, yaitu:

1. Kampus Fakultas Ekonomi program Diploma 3 di daerah Mesen

2. Kampus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP)

3. Program pendidikan (prodi) olah raga di daerah Manahan dan di Ngoresan

4. Prodi teknik mesin di daerah Pabelan dan PGSD di daerah Kleco

Surakarta
47

5. Kampus FKIP program Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) di

kabupaten Kebumen

B. Susunan Organisasi dan Fungsi Susunan Organisasi

Susunan organisasi Universitas Sebelas Maret ditetapkan berdasarkan

SK Mendikbud No. 0201/O/95 tanggal 18 Juli 1995 tentang Organisasi dan

Tata Kerja UNS untuk jabatan struktural. Sedangkan pengembangan

organisasi non struktural didasarkan pada SK Rektor. Susunan organisasi dan

fungsi susunan organisasi menurut SK Mendikbud No. 0201/O/95 tanggal 18

Juli 1995 tentang Organisasi dan Tata KerjaUNS adalah sebagai berikut:

1. Rektor

Rektor adalah pembantu menteri pendidikan dan kebudayaan di

bidang yang menjadi tugas kewajiban di samping kedudukannya selaku

pimpinan Universitas Sebelas Maret. Rektor mempunyai tugas:

a. Memimpin penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian

kepada masyarakat, membina tenaga kependidikan, mahasiswa, tenaga

administrasi serta hubungannya dengan lingkungan.

b. Membina dan melaksanakan kerjasama dengan instansi, badan swasta

dan masyarakat untuk memecahkan persoalan yang timbul terutama

yang menyangkut bidang tanggung jawabnya.

Dalam menjalankan tugasnya Rektor dibantu oleh Pembantu

Rektor, yaitu:
48

a. Pembantu Rektor Bidang Akademik, selanjutnya disebut Pembantu

Rektor I, yang mempunyai tugas membantu Rektor dalam memimpin

pelaksanaan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada

masyarakat.

b. Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum, selanjutnya disebut

Pembantu Rektor II, yang mempunyai tugas membantu Rektor dalam

memimpin pelaksanaan kegiatan di bidang keuangan dan administrasi

umum.

c. Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan, selanjutnya disebut

Pembantu Rektor III, yang mempunyai tugas membantu Rektor dalam

pelaksanaan kegiatan di bidang pembinaan dan layanan kesejahteraan

mahasiswa

d. Pembantu Rektor Bidang Perencanaan, Pengembangan dan Kerjasama,

selanjutnya disebut Pembantu Rektor IV, yang mempunyai tugas

membantu Rektor dalam perencanaan, pengembangan dan kerjasama

Universitas Sebelas Maret.

2. Dewan Penyantun

Dewan penyantun adalah sebuah dewan yang beranggotakan

tokoh-tokoh masyarakat yang diadakan untuk membantu perkembangan

perguruan tinggi yang bersangkutan. Dewan penyantun memiliki tugas

sebagai berikut:

a. Mengasuh hubungan baik antara masyarakat, instansi pemerintah dan

badan swasta dengan perguruan tinggi.


49

b. Membantu memecahkan permasalahan perguruan tinggi.

c. Membantu perkembangan perguruan tinggi.

d. Menampung aspirasi dan mendorong partisipasi masyarakat dalam

meningkatkan peranan dan pengembangan perguruan tinggi.

3. Senat Universitas

Senat Universitas Sebelas Maret merupakan badan normatif dan

perwakilan tertinggi di universitas yang diketuai oleh rektor dan

didampingi oleh sekretaris beserta sejumlah anggota. Anggota senat terdiri

dari para guru besar, guru besar emeritus, pimpinan fakultas atau lembaga

dan perwakilan dosen dari setiap fakultas.

Senat Universitas terdiri dari 6 komisi, yaitu:

a. Komisi A (Pendidikan dan Pengajaran)

b. Komisi B (Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat)

c. Komisi C (Kemahasiswaan dan Alumni)

d. Komisi D (Administrasi Keuangan dan Kesejahteraan)

e. Komisi E (Pengembangan dan Kerjasama)

f. Komisi F (Penilaian Tenaga Akademik dan Tata Cara Akademik)

4. Biro beserta bagian dan sub bagian

a. Biro Administrasi Akademik (BAA)

Biro Administrasi Akademik (BAA) adalah pembantu

pimpinan di bidang administrasi akademik di bawah dan bertanggung

jawab secara langsung kepada Rektor. BAA mempunyai tugas

melaksanakan layanan teknis dan administrasi di bidang akademik di


50

lingkungan UNS. Untuk melaksanakan tugas tersebut BAA

mempunyai fungsi:

1) Melaksanakan administrasi pendidikan dan evaluasi, penelitian,

dan pengabdian kepada masyarakat

2) Melaksanakan urusan administrasi di bidang kerjasama

3) Melaksanakan registrasi dan statistik

4) Melaksanakan sarana administrasi pendidikan

BAA terdiri atas:

1) Bagian Pendidikan bertugas melaksanakan administrasi pendidikan

dan evaluasi, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

2) Bagian Kerjasama bertugas melaksanakan administrasi kerjasama.

b. Biro Administrasi Umum dan Keuangan (BAUK)

Biro Administrasi Umum dan Keuangan (BAUK) adalah unsur

pembantu pimpinan di bidang administrasi umum dan keungan yang

berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Rektor.

BAUK mempunyai tugas memberikan pelayanan administrasi umum

dan keuangan di lingkungan Universitas Sebelas Maret.

Untuk menyelenggarakan tugas tersebut BAUK mempunyai

fungsi:

1) Melakukan urusan tata usaha, rumah tangga, hukum, dan tata

laksana

2) Melaksanakan administrasi kepegawaian

3) Melakukan administrasi keuangan


51

4) Melaksanakan administrasi perlengkapan

BAUK terdiri atas:

1) Bagian Tata Usaha, Rumah Tangga, Hukum dan Tata Laksana

mempunyai tugas melakukan urusan tata usaha, rumah tangga,

hukum, dan tata laksana. Untuk melaksanakan tugas tersebut Tata

Usaha, Rumah Tangga, Hukum dan Tata Laksana mempunyai

fungsi:

 Melaksanakan ketatausahaan

 Melaksanakan urusan rumah tangga

 Melaksanakan hukum dan tata laksana

2) Bagian Kepegawaian mempunyai tugas melaksanakan urusan

kepegawaian. Untuk melaksanakan tugas tersebut bagian

kepegawaian mempunyai fungsi:

 Melaksanakan administrasi tenaga akademik

 Melaksanakan administrasi tenaga administratif

3) Bagian Keuangan mempunyai tugas melaksanakan administrasi

keuangan di lingkungan Universitas Sebelas Maret. Untuk

melaksanakan tugas tersebut bagian keuangan mempunyai fungsi:

 Melaksanakan administrasi anggaran rutin dan

megkoordinasikan anggaran keuangan

 Melaksanakan administrasi dana yang berasal dari masyarakat

 Melaksanakan monitoring dan evaluasi


52

4) Bagian Perlengkapan mempunyai tugas melaksanakan administrasi

perlengkapan. Untuk melaksanakan tugas tersebut bagian

perlengkapan mempunyai fungsi:

 Melaksanakan administrasi pengadaan dan pemeliharaan

perlengkapan

 Melaksanakan inventarisasi dan mempersiapkan usul

penghapusan barang perlengkapan

c. Biro Administrasi Kemahasiswaan (BAK)

Biro Administrasi Kemahasiswaan (BAK) adalah unsur

pembantu pimpinan di bidang kemahasiswaan yang berada di bawah

dan bertanggung jawab langsung kepada rektor. BAK mempunyai

tugas memberikan pelayanan administrasi kemahasiswaan. Untuk

dapat melaksanakan tugas tersebut BAK mempunyai fungsi:

1) Melaksanakan administrasi minat, penalaran, dan informasi

kemahasiswaan

2) Melaksanakan layanan kesejahteraan mahasiswa

BAK terdiri atas:

1) Bagian Minat, Penalaran, dan Informasi Kemahasiswaan bertugas

melaksanakan administrasi minat, penalaran, fasilitas, dan

informasi kemahasiswaan.

2) Bagian Kesejahteraan bertugas melaksanakan layanan

kesejahteraan mahasiswa.
53

d. Biro Administrasi Perencanaan dan Sistem Informasi (BAPSI)

Biro Administrasi Perencanaan dan Sistem Informasi (BAPSI)

adalah unsur pembantu pimpinan di bidang perencanaan dan sistem

informasi yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung

kepada Rektor. BAPSI mempunyai tugas melaksanakan layanan

administrasi perencanaan dan sistem informasi. Untuk

menyelenggarakan tugas tersebut, BAPSI mempunyai fungsi:

1) Melaksanakan administrasi perencanaan akademik.

2) Melaksanakan administrasi sistem informasi.

BAPSI terdiri atas:

1) Bagian Perencanaan bertugas melaksanakan administrasi

perencanaan akademik dan fisik.

2) Bagian Sistem Informasi bertugas melaksanakan administrasi

sistem informasi.

5. Fakultas

Fakultas adalah unsur pelaksana akademika yang melaksanakan

tugas pokok dan fungsi Universitas Sebelas Maret yang berada di bawah

Rektor. Fakultas dipimpin oleh Dekan yang bertanggung jawab langsung

kepada Rektor. Dalam melaksanakan tugas, Dekan dibantu oleh tiga orang

Pembantu Dekan. Fakultas mempunyai tugas mengkoordinasi dan

melaksanakan pendidikan akademika dan profesional dalam satu atau

seperangkat cabang ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian tertentu.

Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, fakultas mempunyai fungsi:


54

a. Melaksanakan dan mengembangkan pendidikan

b. Melaksanakan penelitian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan,

teknologi, dan kesenian

c. Melaksanakan pengabdian kepada masyarakat

d. Melaksanakan pembinaan civitas akademika

e. Melaksanakan urusan tata usaha fakultas

Menurut pasal 10, fakultas terdiri dari:

a. Dekan dan Pembantu Dekan

1) Dekan mempunyai tugas memimpin, menyelenggarakan

pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, membina

tenaga kependidikan, mahasiswa, tenaga administrasi, dan

administrasi fakultas, dan bertanggung jawab kepada Rektor.

2) Pembantu Dekan terdiri atas:

a) Pembantu Dekan Bidang Akademik yang selanjutnya disebut

Pembantu Dekan I yang mempunyai tugas membantu Dekan

dalam memimpin pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan

pengabdian kepada masyarakat.

b) Pembantu Dekan Bidang Administrasi yang selanjutnya disebut

Pembantu dekan II yang mempunyai tugas membantu Dekan

dalam memimpin dalam pelaksanaan kegiatan di bidang

keuangan dan administrasi umum.

c) Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan yang selanjutnya

disebut Pembantu Dekan III yang mempunyai tugas membantu


55

Dekan dalam pelaksanaan kegiatan di bidang pembinaan dan

layanan kesejahteraan mahasiswa.

b. Senat Fakultas

Senat fakultas adalah badan normatif dan perwakilan tertinggi

di lingkungan fakultas yang memiliki wewenang untuk menjabarkan

kebijakan dan peraturan universitas. Senat fakultas terdiri atas guru

besar, pimpinan fakultas, ketua jurusan, dan wakil dosen. Senat

fakultas diketuai oleh Dekan yang dibantu oleh seorang sekretaris

senat yang dipilih diantara anggotanya.

c. Jurusan/ Bagian

Jurusan atau bagian adalah unsur pelaksana akademik pada

fakultas di bidang studi tertentu yang berada dibawah Dekan. Jurusan

atau bagian mempunyai tugas melaksanakan pendidikan akademika

dan professional dalam sebagian atau satu cabang ilmu, pengetahuan,

teknologi, dan kesenian tertentu dan bertanggung jawab kepada ketua

jurusan/ bagian. Jurusan atau bagian dipimpin oleh ketua jurusan yang

dipilih diantara dosen dan bertanggung jawab langsung kepada Dekan.

Dalam melaksanakantugas sehari-hari, ketua jurusan/ bagian dibantu

oleh seorang sekretaris jurusan/ bagian.

d. Laboratorium

Laboratorium merupakan perangkat penunjang pelaksanaan

pendidikan pada jurusan atau bagian dalam pendidikan akademika dan

professional. Laboratorium mempunyai tugas melakukan kegiatan


56

dalam cabang ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian tertentu

sebagai penunjang pelaksanaan tugas pokok jurusan/ bagian sesuai

dengan ketentuan bidang yang bersangkutan.

e. Dosen

Dosen mempunyai tugas utama mengajar, membimbing dan

melatih mahasiswa serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada

masyarakat. Dosen terdiri dari dosen biasa, dosen luar biasa dan dosen

tamu, dengan jenis dan kepangkatan dosen tersebut menyesuaikan

peraturan perundang-undangan.

f. Bagian Tata Usaha (TU)

Bagian Tata Usaha (TU) mempunyai tugas melaksanakan

administrasi umum, perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan

pendidikan di fakultas. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut tata

usaha mempunyai fungsi:

a) Melaksanakan administrasi umum dan perlengkapan

b) Melaksanakan administrasi keuangan dan kepegawaian

c) Melaksanakan administrasi pendidikan

d) Melaksanakan administrasi kemahasiswaan dan alumni

Bagian TU dari masing-masing fakultas terdiri dari:

a) Sub Bagian Pendidikan bertugas melakukan administrasi

pendidikan.

b) Sub Bagian Umum dan Perlengkapan bertugas melakukan urusan

tata usaha, rumah tangga dan perlengkapan.


57

c) Sub Bagian Keuangan dan kepegawaian bertugas melakukan

administrasi keuangan dan kepegawaian.

d) Sub Bagian Kemahasiswaan bertugas administrasi kemahasiswaan

dan alumni.

Universitas Sebelas Maret memiliki sembilan fakultas, yaitu:

Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,

Fakultas Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas

Ekonomi, Fakultas Kedokteran, Fakultas Pertanian, Fakultas Teknik,

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

6. Program Pasca Sarjana

Universitas Sebelas Maret memiliki 1 program pasca sarjana

dengan rincian 24 program studi jenjang S2, 11 prodi Pendidikan Dokter

Spesialis I, 4 prodi jenjang S3, 1 prodi profesi, dan 9 prodi keahlian.

7. Lembaga Penelitian dan Pengembangan

a. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)

Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)

adalah unsur pelaksana akademik yang melaksanakan sebagian tugas

pokok dan fungsi Universitas Sebelas Maret di bidang penelitian dan

pengabdian masyarakat dibawah Rektor. Kedudukan LPPM adalah

untuk memfasilitasi dan mendukung aktivitas pusat untuk melakukan

perannya sebagai produksi ilmu pengetahuan. LPPM terdiri dari 18

pusat, yaitu:

1) Pusat Pengembangan Kewirausahaan (PPKwu)


58

2) Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH)

3) Pusat Informasi dan Pembangunan Wilayah (PIPW)

4) Pusat Penelitian Kependudukan (PPK)

5) Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata (PUSPARI)

6) Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak Kekayaan Intelektual

(PPHKI)

7) Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender (PPPG)

8) Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan

Biodiversitas (PPPBB)

9) Pusat Penelitian dan Pengembangan Pangan, Gizi dan Kesehatan

Masyarakat (PPPGKM)

10) Pusat Penelitian Pedesaan dan Pengembangan Daerah

(PUSLITDESGANDA)

11) Pusat Kajian dan Pengembangan Teknologi dan Kolaborasi

Industri (PKPTKI)

12) Pusat Pemberdayaan Mahasiswa dan Masyarakat (PPMM)

13) Pusat Pengkajian Kebijakan Daerah dan Kelembagaan (PPKDK)

14) Pusat Penelitian Rehabilitasi dan Remediasi (PPRR)

15) Pusat Penelitian dan Pengembangan Konstitusi dan Hak Asasi

Manusia (PPPKHANKAM)

16) Pusat Penelitian dan Pengembangan Olah Raga (PUSLITBANG

OR)

17) Pusat Studi Bencana Alam (PSBA)


59

18) Pusat Studi Kesehatan Seksual (PPSKS)

(Buku Data dan Informasi Universitas Sebelas Maret 2007)

b. Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP)

Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) terus berupaya

mewujudkan perguruan tinggi yang berkualitas dan meningkatkan

mutu akademik Universitas Sebelas Maret, antara lain melalui

peningkatan kualitas dan materi pengajaran, penyempurnaan sistem

pembelajaran yang mengarah pada belajar aktif dan mandiri serta

penyempurnaan evaluasi belajar mengajar. Dalam pengembangan misi

tersebut LPP dibantu oleh 2 pusat, yaitu: Pusat Pengembangan Sistem

Pembelajaran (PPSP) dan Pusat Bimbingan dan Konseling dan

Pembinaan Karier (PBKPK).

8. Unsur Penunjang Akademik

Universitas Sebelas Maret memiliki unit-unit penunjang

pendidikan, antara lain adalah UPT Pusat Komputer, UPT Perpustakaan,

UPT Pelayanan dan Pengembangan Bahasa (P2B), UPT Laboratorium

MIPA Pusat, UPT UNS Press, UPT Mata Kuliah Umum.

9. Kantor Humas dan Kerjasama

Kantor Humas dan Kerjasama merupakan kantor yang menangani

hal komunikasi dengan pihak eksternal, pengenalan dan pencitraan

universitas, serta menjalin kerjasama dengan berbagai instansi baik

instansi pemerintah, swasta, masyarakat, yayasan atau organisasi

kemasyarakatan serta media massa. Bagian Humas dan Kerjasama


60

memiliki kantor yang terpisah karena pembagian kerja di antara keduanya

memiliki perbedaan. Fungsi Humas hanya sebagai fasilitator karena kerja-

kerja humas bersifat fungsional sedangkan pelaksanaannya dilakukan oleh

bagian kerjasama.

10. Kantor Penjaminan Mutu

Kantor Penjaminan Mutu merupakan kantor yang memiliki fungsi

dalam aspek pengelolaan manajemen serta kualitas produk akademik yang

dapat dipertanggungjawabkan secara transparan kepada publik

kepercayaan masyarakat terus dibangun melalui upaya-upaya penjaminan

kualitas secara berkelanjutan yang dimplementasikan dengan

menyempurnakan sistem akuntabilitas kinerja secara terukur, terprogram

dan transparan.

C. Jumlah Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta

1. Jumlah mahasiswa Program S1 Reguler Universitas Sebelas Maret tahun

akademik 2005/2006 sampai dengan 2009/2010

Tabel 1
Jumlah Mahasiswa S1 Regular UNS
Tahun Akademik

FAKULTAS 2005/2006 2006/2007 2007/2008 2008/2009 2009/2010

Sastra & Seni Rupa 268 296 280 387 346

ISIP 284 278 274 314 235

Hukum 268 250 244 348 380


61

Ekonomi 278 305 296 403 343

Kedokteran 244 293 299 314 298

Pertanian 309 432 380 419 397

Tehnik 272 387 443 525 371

KIP 640 826 911 1930 1721

MIPA 174 236 284 370 342

UNS 2737 3303 3411 5010 4433

Sumber: Data dan Informasi Universitas Sebelas Maret Surakarta

2. Jumlah mahasiswa Program Diploma Universitas Sebelas Maret tahun

akademik 2005/2006 sampai dengan 2009/2010

Tabel 2
Jumlah Mahasiswa Diploma UNS
Tahun Akademik

FAKULTAS 2005/2006 2006/2007 2007/2008 2008/2009 2009/2010

Sastra & Seni Rupa 399 359 333 273 279

ISIP 412 373 357 394 399

Ekonomi 443 500 534 555 570

Kedokteran 225 65 274 245 239

Pertanian 125 110 88 138 139

Tehnik 234 220 240 287 226

MIPA 141 146 209 266 302

UNS 1979 1773 2035 2158 2154

Sumber: Data dan Informasi Universitas Sebelas Maret Surakarta


62

3. Jumlah mahasiswa Program S1 Non Reguler Universitas Sebelas Maret

tahun akademik 2005/2006 sampai dengan 2009/2010

Tabel 3
Jumlah Mahasiswa S1 Non Regular UNS
Tahun Akademik

FAKULTAS 2005/2006 2006/2007 2007/2008 2008/2009 2009/2010

Sastra & Seni Rupa 43 87 81 0 0

ISIP 176 183 207 0 135

Hukum 130 130 170 0 0

Ekonomi 274 307 284 0 196

Pertanian 61 56 105 0 22

Tehnik 168 197 223 0 51

KIP 0 367 687 127 360

UNS 852 1327 1775 127 764

Sumber: Data dan Informasi Universitas Sebelas Maret Surakarta

4. Jumlah mahasiswa Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret

tahun akademik 2005/2006 sampai dengan 2009/2010

Tabel 4
Jumlah Mahasiswa Pasca Sarjana UNS
Tahun Akademik

FAKULTAS 2005/2006 2006/2007 2007/2008 2008/2009 2009/2010

Pasca Sarjana 419 456 1007 688 1622

Pasca Sarjana (S3) 0 0 0 0 53

UNS 419 456 1007 688 1675

Sumber: Data dan Informasi Universitas Sebelas Maret Surakarta


BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN

1. Profil informan

Pada bagian ini akan dideskripsikan mengenai profil informan

yang menunjukkan adanya kekerasan dalam pacaran dalam kehidupan

mereka ataupun kehidupan orang di sekitarnya yang mereka ketahui. Para

informan ini akan menguraikan penyebab dan dampak sosial kekerasan

dalam pacaran bagi kehidupan pelaku dan korban atau dengan kata lain

para informan diminta untuk menceritakan apa yang mereka ketahui

tentang penyebab sosial dan dampak sosial kekerasan dalam pacaran.

Jawaban para informan ini berasal dari pengalaman pribadi dan

pengetahuan yang mereka peroleh dengan mengamati orang-orang di

sekitarnya yang mengalami kekerasan dalam pacaran baik sebagai korban

ataupun pelaku. Dalam penelitian ini informan yang diambil adalah

pasangan kekerasan dalam pacaran (dating violence’s couple) dan orang-

orang di sekitar pelaku dan korban kekerasan dalam pacaran (dalam hal ini

teman dekat korban atau pelaku) yang mengetahui peristiwa tersebut

berikut penyebab dan dampak sosialnya bagi kehidupan pelaku dan

korban. Informan dalam penelitian ini adalah tiga pasangan kekerasan

dalam pacaran dan tiga orang teman dekat mereka. Adapun profil

informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

63
64

a. Informan 1

Informan pertama dalam penelitian ini adalah pasangan Adit

dan Mala. Adit berumur 23 tahun sedangkan Mala selisih satu tahun di

bawahnya. Mereka sedang menempuh pendidikan tingkat akhir di

Universitas Sebelas Maret Surakarta. Adit pada program Sarjana (S1)

Non Regular Fakultas Teknik dan Mala program Diploma (D3)

Fakultas Pertanian. Saat ini Adit tinggal di salah satu rumah kos di

kawasan Intitut Seni Indonesia (ISI) Surakarta sedangkan Mala tinggal

di sebuah rumah kontrakan di Jl. Ki Hajar Dewantara di samping

keduanya masih tinggal di rumah kedua orang tuanya masing-masing

di Purwodadi dan Boyolali.

Adit mulai mengenal Mala ketika mereka bertemu di counter

hp milik teman Adit. Mereka berteman dan kurang lebih sebulan

kemudian mereka menjalin hubungan pacaran. Intensitas pertemuan

mereka setelah menjalin hubungan pacaran cukup tinggi, hampir setiap

hari mereka bertemu. Gaya pacaran mereka adalah pacaran di kamar

karena mayoritas waktu pertemuannya dihabiskan di kamar kos Adit.

Hal ini mereka lakukan karena menurut pendapat mereka pacaran di

kamar lebih terjaga privacy-nya. Aktivitas dating mereka antara lain

ngobrol, nonton televisi, bermain game, mengerjakan tugas kuliah

bersama, dll. Selain itu, mereka juga melakukan aktivitas dating di luar

seperti jalan-jalan, nonton film di bioskop, hang out atau makan.

Hubungan Adit dan Mala telah berjalan selama kurang lebih 3 tahun.
65

Kendala terbesar dalam hubungan mereka adalah kurangnya

pengertian satu sama lain dan meningkatnya sensitivitas masing-

masing karena intensitas pertemuan yang tinggi. Sensitivitas yang

tinggi ini sangat berpotensi menimbulkan konflik diantara keduanya.

1) Aktivitas

Aktivitas Mala sehari-hari adalah kuliah, mengerjakan

Tugas Akhir, menyelesaikan pekerjaan sehari-hari di rumah

kontrakan, hang out dengan teman-teman kampus atau teman-

teman satu kontrakan, dan dating. Hobby Mala adalah nyalon dan

shoping.

Mala tidak aktif di organisasi kemahasiswaan di

kampusnya karena ia kurang berminat dengan hal tersebut, begitu

pula dengan Adit. Namun di rumah mereka mengikuti organisasi

kepemudaan walaupun tidak aktif mengikuti kegiatan-kegiatan

organisasi tersebut.

Kegiatan Adit tidak jauh berbeda dengan Mala; kuliah,

menyelesaikan pekerjaan sehari-hari di kos, hang out bersama

teman-teman, menghabiskan waktu bersama Mala dan hobbynya

adalah bermain game online di salah satu game center di Jl. Surya

Utama belakang kampus UNS.

2) Latar belakang keluarga

Adit merupakan anak sulung dari tiga bersaudara dengan

dua orang adik laki-laki, sedangkan Mala anak kedua dari empat
66

bersaudara dengan seorang kakak perempuan dan dua orang adik

laki-laki.

Keduanya berasal dari keluarga yang cukup berada. Orang

tua Mala adalah pengrajin tembaga yang cukup sukses di daerah

Cepogo, Boyolali sedangkan ayah dan ibu Adit adalah seorang

pegawai negeri sipil (PNS).

3) Latar belakang agama

Keluarga Adit adalah penganut agama yang kurang taat.

Adit memaparkan bahwa ayah dan ibunya jarang melaksanakan

salat walaupun keduanya beragama Islam. Orang tua Adit juga

membebaskan Adit dan adik-adiknya untuk mengerjakan ibadah

atau tidak.

Mala berasal dari keluarga dengan latar belakang agama

yang kuat. Ayah dan Ibu Mala rajin melaksanakan ibadah seperti

salat, puasa, dll. Mereka juga menghimbau anak-anaknya yang

perempuan untuk mengenakan jilbab.

4) Karakter informan

Berdasarkan keterangan dari Nia, teman dekat Mala yang

menjadi informan kedua dalam penelitian ini, Adit memiliki

karakter yang cuek. Hal itu juga terlihat dari cara dia berpakaian

yang santai. Sedangkan Mala adalah orang yang baik dan suka

menolong, namun terkadang ia bersikap keras kepada Adit, tambah

Nia dalam keterangannya. Sifat Mala yang suka menolong juga


67

tampak ketika Peneliti memintanya untuk menjadi informan dalam

penelitian ini, dia langsung menyetujuinya dan memberikan waktu

kepada Peneliti untuk melakukan wawancara.

5) Kekerasan yang pernah terjadi dalam pacaran

Dalam menjalani hubungan ini Adit dan Mala membuat

komitmen yang harus dipatuhi oleh keduanya. Komitmen-

komitmen tersebut meliputi: saling menghargai, setia dan saling

percaya. Ketiga komitmen tersebut dibuat agar hubungan mereka

dapat berjalan dengan lancar. Namun, seiring berjalannya waktu

komitmen-komitmen tersebut tidak dapat berjalan sebagaimana

mestinya. Ketika terjadi pelanggaran komitmen, akan terjadi

konflik yang menyulut kemarahan salah satu pihak terhadap pihak

yang melanggar komitmen tersebut. Kemarahan ini akan

memuncak dan terjadilah kekerasan dalam pacaran. Adit dan Mala

sama-sama pernah menjadi korban dan pelaku kekerasan dalam

pacaran.

Kekerasan yang pernah terjadi dalam hubungan Adit dan

Mala adalah sebagai berikut:

a) Kekerasan Fisik (Physical Abuse)

Adit pernah memukul, mencubit Mala hingga memar-

memar, menendang, mendorong sekuat tenaga, menonjok dan

mencekik.
68

Sedangkan Mala pernah mencubit Adit hingga memar-

memar, menampar, memukul, dan mendorong sekuat tenaga.

Kesemuanya itu merupakan tindakan pelecehan fisik

yang menimbulkan rasa takut dan menjadi suatu tekanan

tersendiri bagi korban. Pelaku kekerasan tidak menghargai dan

menjaga fisik pasangannya tetapi sebaliknya malah

melukainya.

b) Kekerasan Emosional (Emotional Abuse)

Bentuk kekerasan emosional yang pernah dilakukan

Adit adalah mencaci maki dengan kata-kata kasar, membuat

Mala merasa bersalah, intimidasi dengan menggertak dan

merusak benda-benda yang ada di sekitarnya sehingga

membuat Mala ketakutan.

Bentuk kekerasan emosional yang pernah dilakukan

Mala adalah cemburu yang berlebihan, memaksa pasangannya

untuk tidak melakukan kegiatan yang disukai (melarang Adit

bermain game online kesukaannnya dengan ancaman akan

ditinggalkan), dan melanggar privasi dengan men-sweeping

handphone Adit.

Kesemuanya itu termasuk pelecehan psikologis karena

pelaku tidak menjaga kondisi psikologis korban yang

merupakan pasangannya tetapi malah memberikan berbagai


69

tekanan dengan tindakan kekerasan emosional sehingga korban

terganggu kestabilan psikologisnya.

6) Solusi setelah terjadi kekerasan

Dalam menghadapi kekerasan yang terjadi dalam

hubungannya, Adit dan Mala beranggapan bahwa hubungan

mereka didasari perasaan yang positif (cinta dan kasih sayang),

sehingga ketika pasangannya marah, mereka berpikir karena

pasangannya memang sedang lelah, kesal, bad mood atau mungkin

karena kesalahan mereka sendiri, sehingga pasangannya marah.

Yang kemudian mucul adalah perasaan menyalahkan diri sendiri

dan merasa pantas diperlakukan seperti itu. Karena itu, setelah

terjadinya kekerasan dalam hubungan mereka dan emosi telah

mereda, hubungan Adit dan Mala akan kembali seperti semula.

Adit dan Mala sama-sama menyadari bahwa keduanya

memiliki kecenderungan untuk berbuat kasar terhadap

pasangannya namun mereka berusaha untuk sedikit demi sedikit

menghilangkan kebiasaan buruknya tersebut dan lebih bijaksana

dalam menghadapi masalah serta lebih menghargai satu sama lain.

b. Informan 2

Informan berikutnya adalah Nia. Nia adalah teman dekat Mala.

Mereka mulai berteman semenjak Nia pindah dari tempat kosnya yang

lama ke rumah kontrakan yang sama dengan Mala. Nia yang

merupakan sulung dari dua bersaudara ini saat ini masih berstatus
70

sebagai mahasiswi tingkat akhir program sarjana (S1) di Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Saat ini Nia sedang sibuk menyusun skripsi untuk menyelesaikan

program sarjananya.

Nia yang asli Salatiga ini mengetahui terjadinya kekerasan

dalam hubungan Adit dan Mala dari cerita Mala kepadanya. Selain itu,

beberapa kali Nia menemukan luka memar dan lebam pada tubuh

Mala. Terkadang Mala juga terlihat begitu tertekan. Berdasarkan cerita

Mala dan pengamatan Nia kekerasan yang terjadi antara Adit dan Mala

adalah kekerasan emosional dan fisik.

Di mata Nia, Mala adalah seorang teman yang baik dan suka

menolong. Namun, Mala terkadang bersikap keras kepada

pasangannya. Berdasarkan pengamatan Nia, Mala menjadi seperti itu

karena orang tuanya yang keras dan kurang memperhatikannya.

c. Informan 3

Pasangan berikutnya yang menjadi informan dalam penelitian

ini adalah Ryan dan Tata. Keduanya saat ini ia berumur 22 tahun.

Ryan telah menyelesaikan pendidikan diplomanya (D1) di salah satu

akademi swasta di Surakarta dan saat ini bekerja di Batam. Sedangkan

Tata masih berstatus sebagai mahasiswi program diploma (D3) di

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas

Maret Surakarta dan bekerja di salah satu bank swasta di kota Solo.
71

Saat ini Ryan tinggal di sebuah rumah kontrakan di Batam. Ia

bermukim disana sejak kuliah D-1nya selesai dan bekerja disana. Ryan

pulang ke daerah asalnya di Boyolali hanya pada hari Raya Idul Fitri.

Sedangkan Tata bertempat tinggal di rumah kos di daerah Ngoresan

disamping tinggal di rumah orang tuanya. Kebanyakan waktu Tata

dihabiskan di Solo karena tuntutan pekerjaan dan kuliahnya. Hanya

pada akhir pekan Tata pulang ke Boyolali.

Ryan dan Tata berteman sejak kelas 2 SMA. Mereka menjalin

hubungan pacaran hanya selisih beberapa bulan setelah keduanya

berkenalan. Mereka telah menjalin hubungan selama kurang lebih 5

tahun. Pada awalnya mereka menjalin hubungan layaknya remaja lain

dengan intensitas pertemuan yang cukup sering, apalagi mereka

bersekolah di SMA yang sama. Hingga akhirnya gaya pacaran mereka

berubah menjadi long distance relationship (hubungan jarak jauh)

semenjak Ryan diterima bekerja di Batam. Intensitas pertemuan

mereka sangat jarang, hanya setahun sekali ketika Ryan pulang ke

Boyolali pada saat hari raya Idul Fitri, namun komunikasi lewat

berbagai media terus berjalan. Aktifitas dating mereka ketika jauh

hanyalah berbicara lewat telepon, mengirim message melalui sms atau

email dan facebook’an. Sedangkan aktifitas dating mereka kertika

bertemu antara lain jalan-jalan, nonton bioskop, makan, atau hang out

berdua.
72

Kendala yang mereka hadapi dalam menjalin hubungan jarak

jauh cukup banyak seperti rentan terjadi kesalahfahaman, godaan dari

pihak ketiga, dan meningkatnya sensitivitas masing-masing karena

banyak kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh pasangan yang berada

jauh dari pasangannya.

1) Aktivitas

Aktivitas Ryan di Batam adalah bekerja di salah satu pabrik

di kota Batam, melakukan pekerjaan sehari-hari di rumah

kontrakannya, dan terkadang jalan-jalan dengan teman-temannya

pada saat ia libur bekerja. Dan aktivitas Tata setiap harinya adalah

bekerja di kantornya yang terletak di Jl. Slamet Riyadi Surakarta,

mengerjakan Tugas Akhir, melakukan pekerjaan sehari-hari di kos,

dan jalan-jalan dengan teman-teman kampus atau teman-teman

kosnya.

Saat ini Ryan tidak mengikuti kegiatan organisasi apa pun

di tempat perantauannya sedangkan Tata walaupun tidak mengikuti

organisasi kemahasiswaan di kampusnya, di rumah ia aktif sebagai

pengurus RISMA (Remaja Islam Masjid) dan Karang Taruna.

2) Latar belakang keluarga

Ryan dan Tata merupakan anak sulung dalam keluarganya,

masing-masing dari dua bersaudara dengan satu orang adik laki-

laki dan tiga bersaudara dengan dua orang adik laki-laki.


73

Berdasarkan keterangan dari Ana, teman dekat Tata, Tata

berasal dari keluarga dengan latar belakang ekonomi yang cukup

berada, ayahnya adalah seorang wiraswastawan yang sukses.

Sedangkan Ryan berasal dari keluarga dengan latar belakang

ekonomi yang lebih sederhana, orang tua Ryan juga

wiraswastawan tetapi tidak sesukses orang tua Tata.

3) Latar belakang agama

Tata dan Ryan berasal dari keluarga dengan latar belakang

agama yang kuat, terutama Tata. Kakek Tata adalah seorang Kyai

Nahdhatul Ulama di daerahnya. Bahkan rumah Tata digunakan

sebagai kantor cabang Nahdhatul Ulama. Orang tua Ryan dan Tata

juga penganut agama yang taat. Mereka rajin mengerjakan ibadah

wajib dan sunah dalam agamanya seperti salat, puasa sunah dan

wajib, tadarus Al-Qur’an, pengajian, dll.

4) Karakter informan

Berdasarkan keterangan dari Ana, sahabat Tata yang sudah

mengenal Ryan dan Tata sejak SMA, Ryan dan Tata memiliki

karerakter yang tidak jauh berbeda. Keduanya adalah orang yang

bertanggung jawab terhadap pekerjaan, rajin beribadah, dan

humoris. Berdasarkan pengamatan peneliti, karakter informan yang

rajin beribadah terlihat ketika wawancara peneliti dengan Tata

terhenti karena Tata ingin mengerjakan salat terlebih dahulu.

Karakter Ryan yang bertanggung jawab terlihat ketika ia menolak


74

untuk diwawancara pada saat bekerja dan meminta untuk

wawancara di lain waktu ketika ia sedang free. Dalam pengamatan

Peneliti, hal ini menunjukkan bahwa Ryan bertanggung jawab atas

pekerjaannya dan ia bertanggung jawab pula atas kesediaannya

menjadi informan dalam penelitian ini.

5) Kekerasan yang pernah terjadi dalam pacaran

Dalam hubungan yang dijalani Ryan dan Tata terdapat

beberapa komitmen yang harus dipatuhi oleh keduanya, meliputi

komitmen untuk saling menjaga kepercayaan, keseriusan menjalani

hubungan, berusaha memenuhi permintaaan pasangannya dan yang

utama adalah komitmen untuk menikah. Fungsi utama dari

komitmen tersebut adalah agar tidak saling menyakiti satu sama

lain dan untuk membuktikan keseriusan keduanya. Namun, seiring

berjalannya waktu komitmen-komitmen tersebut tidak dapat

berjalan sebagaimana mestinya walaupun keduanya telah berusaha

untuk menaatinya. Ryan merupakan korban kekerasan emosional

dalam pacaran, begitu pula dengan Tata.

Kekerasan yang pernah terjadi dalam hubungan Ryan dan

Tata adalah:

a) Kekerasan Emosional (Emotional Abuse)

Interaksi yang terbatas membuat keduanya menjadi

kurang bisa mengerti kesibukan satu sama lain dan membuat

keduanya sering bertengkar karena salah paham. Pada akhirnya


75

Ryan menjadi possesif. Akibatnya Tata sering mengalami

kekerasan non fisik atau kekerasan emosional. Ryan sering

merasa cemburu yang berlebihan, pemaksaaan untuk tidak

melakukan kegiatan yang disukai bahkan kegiatan akademis

sekalipun, caci maki, dan pemberian julukan yang mengandung

olok-olok juga pernah dilontarkan Ryan kepada Tata ketika

sedang marah.

Kekerasan ini menimbulkan perasaan tertekan, tidak

bebas dan tidak nyaman pada diri Tata. Begitu pula dengan

Tata, tidak sekali dua kali ia membuat Ryan merasa tertekan

karena tidak bersedia menuruti permintaannya. Menurut Ryan,

dia sudah lelah bekerja di tempat yang jauh dengan jam kerja

yang cukup padat demi masa depannya dengan Tata tetapi Tata

tidak bisa memenuhi harapannya. Ryan merasa kecewa hingga

tertekan batinnya.

Yang terjadi disini adalah pelecehan psikologis dimana

pelaku memberikan tekanan yang mengganggu keadaan

psikologis korban, padahal seharusnya ia menjaga keadaan

psikologis pasangannya.

6) Solusi setelah terjadi kekerasan

Setelah terjadinya kekerasan dalam hubungan mereka, pada

awalnya mereka akan meminta untuk putus seperti kesepakatan

awal bahwa jika terjadi pelanggaran komitmen hukumannya adalah


76

pemutusan hubungan tersebut, tetapi kemudian hubungan mereka

akan membaik ketika pihak yang bersalah bersedia minta maaf dan

memperbaiki kesalahannya dan berjanji untuk tidak mengulangi

kesalahannya tersebut.

Ryan dan Tata menanggapi kekerasan emosional dalam

hubungannya sebagi suatu hal yang biasa dan lumrah terjadi dalam

hubungan orang berpacaran. Mereka beranggapan bahwa

hubungan mereka didasari perasaan yang positif untuk tujuan yang

positif juga. Hal-hal buruk yang terjadi di dalamnya mereka

anggap sebagai ujian bagi keberlangsungan hubungan mereka.

d. Informan 4

Informan selanjutnya adalah Ana. Dia adalah teman dekat Tata

dan Ryan. Mereka bersekolah di SMA yang sama dan saat ini Tata dan

Ana tinggal di tempat kos yang sama. Ana yang masih berstatus

mahasiswi tingkat akhir program sarjana (S1) Fakultas Ekonomi di

Universitas Sebelas Maret Surakarta ini berumur 22 tahun.

Kegiatannya saat ini adalah menyusun skripsi untuk menyelesaikan

program sarjananya.

Sulung dari tiga bersaudara ini sudah berteman lama dengan

Tata dan Ryan tetapi mulai mengetahui terjadinya kekerasan dalam

hubungan Tata dengan Ryan sejak ia tinggal dengan Tata di tempat

kos yang sama. Di matanya, hubungan Tata dan Ryan berjalan dengan

baik tetapi sering diwarnai dengan pertengkaran. Beberapa kali Ana


77

mendapati temannya itu menangis setelah bertengkar dengan pacarnya.

Tata juga sering bercerita kepadanya tentang hubungannya dengan

Ryan. Berdasarkan cerita Tata dan pengamatan Ana, Ana

menyimpulkan bahwa kekerasan yang terjadi antara Ryan dan Tata

adalah kekerasan emosional.

e. Informan 5

Pasangan berikutnya yang menjadi informan dalam penelitian

ini adalah Affan dan Tya. Affan berumur 25 tahun dan Tya selisih dua

tahun di bawahnya. Affan bekerja sebagai operator warnet di daerah

tempat tinggalnya sedangkan Tya adalah mahasiswi tingkat akhir

program sarjana (S1) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

Saat ini Affan dan Tya tinggal di rumah orang tuanya masing-

masing di Kota Klaten. Mereka pertama kali bertemu saat Tya masih

duduk di bangku SMA. Mereka bertemu ketika Tya mengunjungi salah

satu salon di kotanya itu yang pada saat itu juga merupakan tempat

kerja Affan. Hubungan mereka berlanjut hingga beberapa bulan

kemudian mereka resmi menjalin hubungan pacaran. Hubungan

mereka telah berjalan dalam hitungan tahun dan putus-nyambung

selama beberapa kali.

Kendala terbesar dalam hubungan mereka adalah masalah

pengertian dan penerimaan satu sama lain. Aktivitas dating mereka


78

jalan-jalan, nonton bioskop, makan dan terkadang Tya menemani

Affan bekerja.

1) Aktivitas

Aktivitas Tya saat ini adalah mencari pekerjaan karena dia

telah menyelesaikan skripsinya dan hanya tinggal menunggu

wisuda. Selain itu, aktivitas lainnya adalah aktivitas rutin sehari-

hari seperti menyelesaikan pekerjaan sehari-hari di rumah, hang

out dengan teman-temannya, dan menghabiskan waktu dengan

pacarnya dengan berbagai kegiatan.

Tya tidak mengikuti organisasi kemahasiswaan di

kampusnya atau organisasi serupa di luar. Sejak SD dia tidak

berminat untuk mengikuti organisasi-organisasi formal dalam

lingkungan sekolah kecuali diwajibkan. Sedangkan Affan hanya

mengikuti organisasi kepemudaan di daerah tempat tinggalnya.

Kegiatan Affan sehari-hari adalah bekerja sebagai operator

warnet di salah satu warnet di Kota Klaten, menyelesaikan

pekerjaan sehari-hari di rumah, hang out bersama teman-teman

atau pacarnya.

2) Latar belakang keluarga

Affan merupakan anak pertama dari dua bersaudara dengan

seorang adik perempuan. Sedangkan Tya yang merupakan anak

kedua dari tiga bersaudara dengan seorang kakak perempuan dan

seorang adik perempuan.


79

Dari segi ekonomi, keluarga Affan tergolong keluarga

sederhana. Hal ini terlihat dari ketidakmampuan orang tua Affan

yang bekerja wiraswasta untuk membiayainya kuliah. Affan hanya

bersekolah hingga SMA dan harus bekerja setelah lulus SMA.

Sedangkan Tya berasal dari keluarga yang cukup berada, ayahnya

adalah seorang pengusaha dan ibunya bekerja sebagai PNS. Hal ini

juga tampak dari keseharian Tya yang sering bergonta ganti mobil

serta hobby-nya berbelanja.

3) Latar belakang agama

Affan dan Tya berasal dari keluarga penganut agama yang

cukup taat. Keluarga mereka taat melaksanakan ibadah seperti salat

dan puasa.

4) Karakter informan

Berdasarkan keterangan dari Sari, teman dekat Tya, Tya

adalah orang yang terbuka, royal dan humoris, namun Tya

memiliki sifat buruk yaitu agak sombong. Dan menurut Sari lagi,

Affan memiliki karakter yang kurang baik. Affan sering bersikap

genit di tempat kerjanya kepada user warnet yang dianggapnya

menarik, Affan juga orang yang pelit.

5) Kekerasan yang pernah terjadi dalam pacaran

Dalam hubungan yang dijalani Affan dan Tya terdapat

beberapa komitmen yang meliputi komitmen untuk saling setia,

keseriusan menjalani hubungan, dan menikah. Fungsi utama dari

komitmen-komitmen tersebut adalah agar hubungan keduanya


80

dapat berjalan dengan baik dan langgeng. Seiring berjalannya

waktu, komitmen-komitmen tersebut tidak dapat berjalan

sebagaimana mestinya. Kurangnya pengertian diantara keduanya

membuat mereka sering bertengkar. Tya dan Affan sama-sama

merupakan korban dan pelaku kekerasan dalam pacaran.

Kekerasan yang pernah terjadi dalam hubungan Affan dan

Tya adalah sebagai berikut:

a) Kekerasan Emosional (Emotional Abuse)

Kekerasan emosional yang pernah dilakukan Affan

kepada Tya adalah kurangnya perhatian Affan kepada Tya,

sikap Affan yang menginginkan Tya selalu ada ketika dia

butuh tetapi dia tidak jarang ada ketika Tya membutuhkannya,

serta pemerasan (pemaksaan pemberian kebutuhan ekonomi).

Selain itu sikap Affan yang sering dekat dengan perempuan

lain membuat Tya merasa marah, cemburu dan tertekan.

Sedangkan kekerasan emosional yang pernah dilakukan

Tya kepada Affan adalah cemburu berlebihan, possesif

(pemaksaan untuk tidak bergaul dengan teman lain jenis),

ketidakjujuran, dan mempermalukan nama baik Affan di depan

umum (melalui facebook).

Pelecehan yang terjadi dalam hubungan Affan dan Tya

adalah pelecehan psikologis dimana keduanya menyakiti psikis

pasangannnya dengan berbagai tindakan kekerasan emosional

hingga pembunuhan karakter.


81

6) Solusi setelah terjadi kekerasan

Setelah terjadinya kekerasan dalam hubungan mereka, dan

pertengkaran mereda. Akan ada dua pilihan untuk ke depannya,

memutuskan hubungan atau salah satu pihak mengakui kesalahan

dan bersedia meminta maaf. Beberapa kali Affan dan Tya

mengambil permintaan maaf untuk menyelesaikan konflik ini

sehingga hubungan mereka berjalan kembali. Namun, beberapa

kali pula pemutusan hubungan yang mereka ambil sebagai jalan

keluar. Namun setelah terjadinya perpisahan, dalam jangka waktu

yang tidak lama mereka akan segera bersama-sama lagi karena

keduanya mengaku masih saling menyayangi.

f. Informan 6

Informan terakhir adalah Sari. Dia adalah teman dekat Tya.

Mereka berteman sejak SMA. Mereka bersekolah di SMA yang sama

dan kuliah di universitas yang sama. Sari yang berumur 23 tahun ini

telah menyelesaikan studi S1nya di Fakultas Kedokteran UNS dan saat

ini sedang co ass.

Anak ketiga dari empat bersaudara ini mulai mengetahui

terjadinya kekerasan dalam hubungan Affan dengan Tya sejak SMA.

Di matanya, Affan hanya memanfaatkan temannya itu. Tya sering

mengeluh kepadan Sari tentang sikap Affan yang cuek dan genit. Sari

menyimpulkan berdasarkan cerita Tya dan pengamatannya, kekerasan

yang terjadi antara Affan dan Tya adalah kekerasan emosional

terutama kekerasan ekonomi.


82
83
84
85

2. Gambaran Umum Kekerasan dalam Pacaran di Kalangan Mahasiswa

Kekerasan dalam pacaran adalah segala bentuk tindakan yang

mempunyai unsur pemaksaan, tekanan, perusakan, dan pelecehan fisik

maupun psikologis yang terjadi dalam hubungan pacaran. Hal ini dapat

dilakukan oleh pria maupun wanita.

Hal khas yang sering muncul dalam kasus-kasus kekerasan dalam

pacaran adalah bahwa korban cenderung lemah dan amat mencintai

pasangannya. Apalagi karena sang pacar, setelah melakukan kekerasan

akan menunjukkan sikap menyesal, minta maaf, dan berjanji tidak akan

mengulanginya lagi, dan bersikap manis kepada pasangannya. Pada saat

inilah, karena korban sangat mencintainya dan berharap sang pacar akan

benar-benar insyaf, maka dia serta merta memaafkannya, dan hubungan

diharapkan bisa berjalan lancar kembali. Padahal kekerasan dalam pacaran

ini seperti sesuatu yang berpola, ada siklusnya. Seseorang yang pada

dasarnya memiliki kebiasaan bersikap kasar pada pasangannya, akan

cenderung mengulangi lagi, karena hal ini sudah menjadi bagian dari

kepribadiannya, dan merupakan caranya untuk menghadapi konflik atau

masalah. Seperti dikutip dalam wawancara dengan Nia, teman dekat Mala,

salah satu korban kekerasan dalam pacaran berikut:

“Mala itu udah cinta mati ma pacarnya, jadi mau disakitin ampe
gimana juga tetep aja masih sayang. Padahal dia tu ma cowoknya
sering berantem ampe ngamuk-ngamuk dan saling mukul gitu. Si
Aditnya juga sama aja, sering diamuk Mala tapi tetep aja ga mau
putus. Abis berantem pasti nyesel dan minta maaf, terus baekan
lagi. Gitu-gitu terus dari dulu.”
86

Hal serupa diungkapkan Ana pada wawancara tanggal 9 Maret

2010:

“Tata ma Ryan sering banget berantem. Abis berantem pasti jadi


kacau semua. Tata nangis, males makan. Ryannya juga mabuk-
mabukan. Udah tau gitu masih aja dipertahanin, katanya sech
udah terlanjur sayang.”

Bentuk-bentuk dari dating violence antara lain:

1. Kekerasan fisik

Kekerasan fisik yaitu kekerasan yang meninggalkan bekas nyata

di tubuh korban. Bentuk dari kekerasan fisik ini berupa memukul,

menendang, mendorong sekuat tenaga, mencubit hingga memar-memar

menampar, menonjok, dan mencekik. Seperti dikutip dalam wawancara

dengan Mala berikut:

“Aku pernah dipukul ma pacarku, trus didorong ampe aku jatuh.


Trus pernah ditonjok ma dicekik. Dicubitin ampe memar juga
pernah. Kalau yang aku laku’in ke dia, aku pernah nampar dia,
mukul ma nyubit-nyubit juga pernah. Itu yang aku sadar,
terkadang pas lagi marah banget aku ma dia ampe enggak sadar
pernah ngapain aja. Semuanya terjadi begitu aja kalau udah
kalap.”

2. Kekerasan emosional

Bentuk kekerasan ini biasanya jarang disadari, karena memang

wujudnya tidak kelihatan. Namun sebenarnya, kekerasan ini justru akan

menimbulkan perasaan tertekan, tidak bebas dan tidak nyaman. Bentuk

kekerasan non fisik ini berupa caci maki, membuat korban merasa

bersalah dan menyalahkan diri sendiri terus menerus, intimidasi dengan

menggertak dan merusak benda-benda yang ada di sekitarnya sehingga

membuat korban ketakutan, cemburu yang berlebihan, membatasi


87

pasangannya untuk melakukan kegiatan yang disukai, melanggar privasi,

possesif, pemerasan, dan pencemaran nama baik. Seperti yang

diungkapkan oleh Adit pada petikan wawancara di bawah ini:

“Aku kalau lagi marah jadi kasar ma cewekku, kadang aku maki-
maki dia kalau salahnya udah keterlaluan tapi enggak nyadar-
nyadar juga, biar dia nyadar ma kesalahannya dan enggak
ngulangin lagi. Kalau udah marah banget aku bisa ampe
ngebanting barang-barang juga. Tapi dia juga sering ngelarang-
ngelarang aku maen game online padahal aku suka maen game
online. Dia juga suka buka-buka hpku tanpa seijinku dulu. Jadi
kayak enggak punya privasi lagi.”

Hal yang lain diungkapkan Ryan pada wawancara tanggal 6

Maret 2010 berikut:

“Gara-gara PJJ aku sering ngerasa enggak percaya ma cewekku


jadinya malah jadi possesif dan jealousan.”

Hal yang lain diungkapkan Tya pada wawancara tanggal 10

Maret 2010:

“Cowokku tu kurang perhatian ma ceweknya, dia tu pengen’e


aku selalu ada pas dia butuh, tapi kalau pas aku yang butuh
dianya ngilang. Tu anak enggak modal juga jadi cowok, pelit.
Dari pertama jadian ampe sekarang bisa diitung pake jari kapan
dia ngeluarin duit pas kita lagi jalan. Udah gitu temen-temen
ceweknya banyak, bikin jealous aja.”

Hal yang lain diungkapkan Affan pada wawancara tanggal 14

Maret 2010:

“Cewekku pernah bikin status di fb seolah-olah hubungan kami


tu udah kayak suami istri, aku malu banget gara-gara hal itu.
Foto mesra kami juga dia upload di fb, privasi kami berdua jadi
konsumsi publik.”

Umumnya para remaja korban kekerasan tidak menceritakan

kepada pihak yang berwenang terhadap masalah ini, bahkan kepada orang
88

tuanya. Korban dan pelaku biasanya selalu berusaha menutupi fakta yang

ada dengan berbagai cara atau dalih.

Kasus kekerasan yang tidak dilaporkan biasanya karena korban

merasa iba karena pelaku memohon maaf sedemikian rupa setelah

melakukan kekerasan, sehingga korban percaya bahwa pelaku benar-benar

menyesali perbuatannya dan tidak akan mengulanginya. Selain itu juga

karena menganggap hal tersebut masalah privasi diantara mereka berdua

yang tidak seharusnya dicampuri oleh orang lain. Seperti yang

diungkapkan Adit pada wawancara tanggal 7 Maret berikut:

“Enggak perlu dilaporin ke pihak manapun karena itu privasi kami


berdua, kami enggak mau pihak luar ikut campur dalam hubungan
kami. Lagian udah minta maaf juga jadi enggak perlu diperpanjang
lagi. Konflik dalam pacaran kan hal biasa.”

Hal yang senada diungkapkan Mala pada wawancara tanggal 8

Maret 2010 berikut:

“Kasian kalau dilaporin, ntar malah panjang urusannya dan semua


orang jadi tahu. Malu juga kan. Yang penting udah minta maaf dan
nyadarin kesalahannya.”

Kekerasan, apapun bentuknya, adalah suatu hal yang akan

mengakar dan akan terjadi berulang. Sikap menyesal dan pernyataan maaf

yang dilakukan pelaku adalah suatu fase reda dari suatu siklus. Biasanya

setelah fase ini, pelaku akan tampak tenang, seolah-olah telah berubah dan

kembali bersikap baik. Jika pada suatu saat timbul konflik yang menyulut

emosi pelaku, maka kekerasan akan terjadi lagi.

Dalam kasus-kasus kekerasan dalam pacaran di kalangan

mahasiswa sudah muncul adanya saling ketergantungan yang tidak sehat


89

antara pelaku dan korban, korban dating violence menganggap bahwa

perlakuan yang diterimanya adalah wajar sebagai konsekuensi dari sebuah

hubungan.

Meskipun korban mendapat perlakuan yang tak pantas dari pelaku

namun selalu saja korban memaafkan dan akhirnya kembali menjalani

hubungan yang tak sehat ini. Pihak-pihak yang terlibat dating violence

mengalami disonansi kognitif, mereka tak dapat lagi memakai pandangan

yang normal dalam memaknai pacaran yang sehat. Mereka menganggap

bahwa hal tersebut adalah bagian duka yang harus dilaluinya dalam suka

duka sebuah hubungan.

MATRIK 2
JENIS-JENIS KEKERASAN DALAM PACARAN
No Jenis Kekerasan Bentuk kekerasan
1 Kekerasan fisik  Memukul
 Menendang
 Mendorong sekuat tenaga
 Mencubit hingga memar-memar
 Menampar
 Menonjok
 Mencekik
 dll
2 Kekerasan non fisik  Caci maki
(emosional)  Membuat korban merasa bersalah dan
menyalahkan diri sendiri terus menerus
 Intimidasi dengan menggertak dan
merusak benda-benda yang ada di
sekitarnya sehingga membuat korban
ketakutan
90

 Cemburu yang berlebihan


 Membatasi pasangannya untuk
melakukan kegiatan yang disukai
 Melanggar privasi
 Possesif
 Pemerasan
 Pencemaran nama baik
 dll
Sumber: Data primer, diolah Mei 2010

3. Faktor-Faktor Sosial Penyebab Kekerasan dalam Pacaran di

Kalangan Mahasiswa

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, semua

informan yang termasuk pasangan kekerasan dalam pacaran pernah

menjadi korban sekaligus pelaku kekerasan terhadap pasangannya. Dan

faktor-faktor sosial yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam

pacaran di kalangan mahasiswa menurut jurnal ISPSI (2002:148) adalah

sebagai berikut:

a. Pola asuh dan lingkungan keluarga yang tidak menyenangkan

Keluarga merupakan lingkungan sosial yang amat berpengaruh

dalam membentuk kepribadian seseorang. Masalah-masalah emosional

yang timbul dalam lingkungan keluarga seperti family stress (stress

pada diri individu yang disebabkan oleh permasalahan-permasalhan di

dalam keluarga), yang kurang diperhatikan oleh orang tua memicu

timbulnya permasalahan bagi anak di masa yang akan datang.

Stres dalam keluarga bisa berasal dari anak, orang tua, atau

situasi tertentu. Stres berasal dari anak misalnya anak dengan kondisi
91

fisik, mental, dan perilaku yang terlihat berbeda dengan anak pada

umumnya.

Stres yang berasal dari orang tua misalnya orang tua sebagai

korban kekerasan di masa lalu, orang tua terlampau perfect dengan

harapan pada anak terlampau tinggi, orang tua yang terbiasa dengan

sikap disiplin yang ketat. Seperti dikutip dalam wawancara dengan Nia

berikut:

“Orang tua Mala dua-duanya sama-sama keras. Kalau ibu Mala


kerasnya lewat omongan, beliau sering marah-marahin suami
ma anak-anaknya. Tapi kalau bapaknya Mala kerasnya maen
tangan. Mungkin itu nurun ke Mala, makanya dia jadi tega
ngasarin Adit.”

Hal senada diungkapkan Tata pada wawancara tanggal 12

Maret 2010:

“Orang tuaku banyak nuntut ke aku. Aku harus begini lah


harus begitu lah. Aku enggak krasan di tempat kerjaku yang
sekarang aja enggak dibolehin pindah. Kadang tertekan juga
tapi gimana lagi, namanya juga ma orang tua.”

Stres berasal dari situasi tertentu misalnya krisis ekonomi

dalam keluarga, pindah lingkungan, dan keluarga sering bertengkar.

Seperti dikutip dalam wawancara dengan Sari berikut:

“Affan tu keluarganya biasa aja, enggak kaya lah. Buat


nguliahin Affan aja orang tuanya enggak mampu. Sejak
ketemu Tya, tu anak kayak nemu’in tambang emas.”

Hal-hal semacam ini akan berpengaruh pada model peran (role

model) yang dianut oleh anak pada masa dewasanya. Bila model peran

yang dipelajari sejak kanak-kanak tidak sesuai dengan model yang

normal atau model standart, maka perilaku semacam kekerasan dalam


92

pacaran akan muncul. Walaupun secara logika anak membenci

perilaku kekerasan yang dilakukan orang tuanya tersebut, akan tetapi

secara tidak sadar perilaku itu terinternalisasi dan muncul pada saat dia

menghadapi konflik di saat remaja atau dewasanya. Seperti dikutip

dalam wawancara dengan Ryan berikut:

“Aku dulu waktu kecil sering ngeliat ayahku bentak-bentak ibu


make kata-kata kasar kalau lagi marah.”

Hal senada diungkapkan Mala pada kutipan wawancara

berikut:

“Waktu kecil aku pernah liat bapakku mukul ibu. Kadang


bapak juga mukul, njewer, atau nendang aku ma ade-adeku
kalau kita enggak nurut.”

Semua tindakan kekerasan yang dilakukan mahasiswa

merupakan ekspresi perasaan-perasaan yang tertekan yang dialami

selama bertahun-tahun sejak kecil. Ada paradigma salah dalam

mendidik anak. Banyak orang yang beranggapan bahwa dengan

melakukan tindakan keras seperti menjewer, memukul, mencubit, bisa

menekankan disiplin pada diri anak. Padahal sama sekali tidak. Justru

perilaku kekerasan itu terus berkembang di dalam diri anak tersebut,

dan dianggap biasa. Alhasil, kepada orang lain pun dia melakukan

kekerasan serupa atau lebih.

Adanya pengalaman abuse yang dialami pada masa kecil

merupakan akar kekerasan. Ini terutama karena budaya pengasuhan di

Indonesia yang umumnya mengijinkan tindakan kekerasan dilakukan

terhadap anak. Anak yang mengalami pengasuhan dengan pola


93

kekerasan, pada saat besar nanti juga akan mudah sekali melakukan

tindakan kekerasan kepada orang lain, meskipun sebenarnya dia tidak

menyukainya. Ini terjadi begitu saja, baik pelakunya suka ataupun

tidak suka. Dengan kata lain, korban abuse (kekerasan) pada waktu

kecil sangat berpotensi untuk menjadi abuser (pelaku kekerasan) juga

ketika dia dewasa.

b. Peer group

Teman sebaya memiliki pengaruh yang besar dalam

memberikan kontribusi semakin tingginya angka kekerasan antar

pasangan. Berteman dengan teman yang sering terlibat kekerasan

dapat meningkatkan resiko terlibat kekerasan dengan pasangannya.

Seperti dikutip dalam wawancara dengan Mala berikut:

“Kekerasan dalam pacaran itu udah biasa sekarang. Temenku


ada yang gitu juga, bahkan lebih parah dari aku. Jadi aku
nganggepnya bukan hal yang aneh lagi. Udah enggak kaget
juga kalau itu terjadi ma aku. Palagi sering banget ketemunya,
jadinya sering berantem juga.”

Dengan melihat terjadinya kekerasan dalam pacaran yang

terjadi pada teman, individu akan merasa bahwa hal tersebut bukan hal

yang tabu dan merupakan hal yang biasa terjadi dalam hubungan

pacaran. Toleransi atas kekerasan yang terjadi dalam pacaran akan

meningkat. Seperti dikutip dalam wawancara dengan Sari berikut:

“Lama-lama udah enggak asing lagi ya ma kekerasan dalam


pacaran. Temen-temenku banyak yang ngalamin, biasanya sech
kekerasan fisik ma emosional. Tapi itu urusan masing-masing.
Aku enggak mau ikut campur kecuali kalau orangnya minta
tolong ma aku. Mau ada kekerasan atau enggak dalam
hubungan mereka udah jadi pilihannya.”
94

c. Media massa

Media seperti televisi, radio, koran, majalah atau internet ikut

berperan dalam membentuk kebiasaan melakukan kekerasan.

Tayangan berita berisi kekerasan seperti demonstrasi mahasiswa,

bentrokan massa dengan aparat pemerintah, kekerasan dalam rumah

tangga, kekerasan dalam pacaran, atau kejahatan yang mengandung

unsur kekerasan; film dan sinetron yang mengandung adegan

kekerasan dan pornoaksi; serta game-game di internet yang

menampilkan adegan kekerasan direkam sangat baik oleh remaja dan

anak-anak. Seperti petikan wawancara dengan Adit di bawah ini:

“Aku biasa liat adegan kekerasan terutama di game. Aku kan


hobby maen game online. Selain itu palingan liat di film-film
action atau berita-berita di tv. Sekarang kan banyak banget
kasus-kasus kekerasan.”

Remaja dan anak-anak akan menganggap bahwa itu semua

wajar dilakukan dan merasa layak melakukan hal serupa. Banyaknya

memori kekerasan yang tersimpan di otak, membuat para remaja ini

bersifat sangat permisif terhadap kekerasan yang terjadi di

lingkungannya. Tayangan kekerasan yang sering muncul dalam

program siaran televisi dapat memicu tindakan kekerasan terhadap

pasangan.

Hal di atas dikarenakan terjadinya proses belajar sosial.

Manusia cenderung melakukan repetisi terhadap perilaku orang

disekitarnya, terutama perilaku yang dipersepsikan dapat memberikan


95

keuntungan bagi pelakunya atau sebagai pemecahan masalah yang

efisien. Pemberitaan di televisi dan media cetak tentang kekerasan

berpotensi menyebabkan terjadinya peniruan perilaku itu oleh para

mahasiswa.

Proses belajar seperti itu dimungkinkan karena pengaruh

penguatan (reinforcement), baik berupa tiadanya punishment maupun

reward. Jika mahasiswa mengobservasi bahwa aksi kekerasan yang

terjadi disekitarnya yang dilakukan oleh sesama mahasiswa tidak

mendapatkan hukuman, melainkan hal sebaliknya maka aksi yang

sama akan dilakukan oleh mahasiswa di masa sekarang dan akan

datang. Tidak ada ketegasan dalam menerapkan aturan main yang

seharusnya menjadi kesepakatan bersama bahwa melakukan kekerasan

akan mendapatkan hukuman. Hal ini dapat menimbulkan

kecenderungan untuk melakukan kekerasan dan dapat membentuk

persepsi terhadap penegakan hukum. Jika mahasiswa percaya bahwa

melakukan kekerasan tidak akan mendapatkan hukuman, maka

mahasiswa akan cenderung menggunakan kekerasan untuk

memperjuangkan kepentingannya. Seperti petikan wawancara dengan

Tya di bawah ini:

“Keras ma pacar kan enggak ada hukumannya, orang hubungan


ini juga enggak ada aturan resminya. Lagian pacar-pacar aku
ini, hak aku juga mau gimana-gimana ma dia.”

d. Kepribadian

Selain pengalaman abuse yang dialami pada masa kecil, akar

kekerasan yang lain adalah adanya frustrasi yang dialami oleh pelaku
96

tindak kekerasan. Frustrasi dialami bila tujuan yang ingin dicapai

dihalang-halangi sehingga yang bersangkutan gagal mencapai

tujuannya. Faktor frustrasilah yang menjadi salah satu sumber

mengapa mereka yang berpendidikan dan status sosial ekonomi rendah

lebih rentan melakukan tindak kekerasan. Gaya hidup modern yang

mengagungkan hedonisme di satu sisi sedangkan mereka hanya

memiliki sumber daya yang sangat terbatas pada sisi yang lain akan

mudah sekali menimbulkan frustrasi. Seperti petikan wawancara

dengan Affan di bawah ini:

“Aku enggak mampu ngikutin gaya hidup cewekku yang serba


wah, ortuku pas-pasan. Aku hidup juga make uangku sendiri.”

Reaksi terhadap frustrasi umumnya ada tiga macam. Pertama

adalah menghindari situasi yang menyebabkan frustrasi tersebut.

Kedua dengan tingkah laku apati dan ketiga adalah dengan melakukan

tingkah laku agresi. Keputusan untuk menggunakan salah satu dari

ketiga reaksi tersebut didasarkan pada pertimbangan apakah pelaku

merasa dirinya lemah/ minoritas ataukah kuat/ mayoritas. Bila dia

merasa lemah, dia akan mengambil keputusan untuk melakukan

tingkah laku menghindar terhadap situasi yang menyebabkan frustrasi.

Bila situasi tersebut ternyata tidak bisa lagi dihindari, maka reaksi

apati menjadi pilihan yang terakhir. Sebaliknya bila pelaku merasa

dirinya lebih kuat, dia akan melakukan tindakan agresi terhadap situasi

yang menyebabkan frustrasi. Seperti lanjutan petikan wawancara

dengan Affan di bawah ini:


97

“Karena dia tetep enggak mau aku tinggalin, ya sudah


konsekuensinya dia yang biaya’in hubungan kami. Akunya
enggak ada duit.”

Akar kekerasan berikutnya adalah karena faktor kepribadian.

Pada gangguan jiwa ada yang diistilahkan dengan gangguan

kepribadian. Salah satunya adalah gangguan kepribadian dengan pola

agresif. Orang yang mengalami gangguan kepribadian pola agresif ini

dicirikan dengan tingkah laku yang mudah tersinggung dan destruktif

bila keinginannya tidak tercapai atau bila menghadapi situasi yang

menyebabkannya menjadi frustrasi. Seperti petikan wawancara dengan

Tata di bawah ini:

“Saking deketnya ma Ryan aku jadi lebih sensitif, mudah


tersinggung atau marah kalau dia enggak mau ngasih yang aku
minta. Terus kalau dia marahin aku dan buat aku terpojok, ntar
aku gantian marah ma dia.”

Selain gangguan kepribadian, tingkah laku kekerasan juga

terjadi karena adanya kepribadian status. Kepribadian status adalah

kepribadian yang dimiliki oleh seseorang berkaitan dengan statusnya.

Kepribadian status ini seringkali berbeda bahkan sangat berbeda

dengan kepribadian asli dari orang yang bersangkutan. Para mahasiswa

yang melakukan tindak kekerasan tidak pernah ditemui melakukan hal

yang sama kepada orang lain. Status sebagai pemegang dominasi

dalam hubungan pacaran menyebabkannya berperilaku keras terhadap

pasangannya. Seperti petikan wawancara dengan Ryan di bawah ini:

“Aku kerasnya ma Tata aja, ma orang lain sech santai-santai


aja kalau tu orang enggak bikin masalah ma aku.”
98

Hal senada diungkapkan Affan pada kutipan wawancara

berikut:

“Aku kayak gitu ma cewekku doank, kan gara-garanya dia


juga yang gaya hidupnya mewah ampe enggak kejangkau ma
aku.”

Seseorang yang pada dasarnya punya kebiasaan bersikap kasar

pada pasangan, akan cenderung mengulangi lagi, karena hal ini sudah

menjadi bagian kepribadiannya, dan merupakan cara dia untuk

menghadapi konflik atau masalah. Seperti petikan wawancara dengan

Tata di bawah ini:

“Tiap kali berantem pasti maki-maki ma ngomong kasar lagi,


udah kebiasaan.”

Hal senada diungkapkan Nia pada kutipan wawancara berikut:

“Adit ma Mala itu engak pernah kapok. Kalau marahan pasti


maen tangan lagi. Katanya sech uda pengen berubah tapi masih
aja kayak gitu.”

e. Peran jenis kelamin

Dalam berpacaran, wajar jika terjadi konflik atau perselisihan.

Bagaimana seseorang menyikapi konflik akan relasinya dengan lawan

jenis ini dapat dipengaruhi oleh peran jenis kelamin. Dalam

masyarakat kita yang lekat dengan budaya pariarkhi, peran laki-laki

lebih menonjol dalam suatu hubungan dibandingkan perempuan.

Kontrol dan kekuasaan ada di tangan laki-laki. Seperti petikan

wawancara dengan Ryan di bawah ini:

“Pacaran itu kaya suami istri. Pemimpinnya harus tetap laki-


laki biar entar kalau udah beneran jadi istri udah terbiasa
ngormatin suaminya.”
99

Anggapan ini kemudian akan menimbulkan terjadinya

dominasi dalam hubungan. Dominasi yang terjadi dalam suatu

hubungan akan memicu terjadinya konflik yang berbuntut pada

terjadinya kekerasan dalam pacaran. Seperti petikan wawancara

dengan Tya di bawah ini:

“Hubunganku didominasi cowokku makanya kadang dia jadi


seenaknya sendiri.”

Hal ini terkait dengan aspek sosio budaya yang menanamkan

peran jenis kelamin yang membedakan laki-laki dan perempuan. Laki-

laki dituntut untuk memiliki citra maskulin dan macho, sedangkan

perempuan feminine dan lemah gemulai. Laki-laki juga dipandang

wajar jika agresif, sedangkan perempuan diharapkan untuk mengekang

agresifitasnya. Pada awalnya perempuan pelaku kekerasan ini tidak

berkeinginan untuk melakukan kekerasan terhadap pasangannya,

namun karena tidak mampu lagi menahan emosi, mereka pun

melakukan kekerasan terhadap pasangannya. Seperti petikan

wawancara dengan Mala di bawah ini:

“Awalnya aku enggak ada niat sama sekali buat kasar ma dia.
Dia yang mulai duluan, ya aku balas. Tapi abis itu kadang-
kadang aku yang mulai kasar duluan kalau lagi marah.”

Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan

kekerasan dalam pacaran pada remaja perempuan dan laki-laki dimana

baik laki-laki maupun perempuan memiliki peran yang sama sebagai

pelaku kekerasan, tetapi jika dilihat kuantitas dan kualitas


100

kekerasannya, perempuan lebih banyak menjadi korban dibandingkan

laki-laki karena pada dasarnya kekerasan ini terjadi karena adanya

ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang dianut

oleh masyarakat luas. Seperti petikan wawancara dengan Nia berikut:

“Adit ma Mala sama-sama pernah jadi pelaku ma korban, tapi


kalau diliat dari seringnya ma kualitasnya jelas lebih sering
Adit. Adit kan cowok, tenaganya lebih gedhe daripada Mala.”

Hal senada diungkapkan Sari pada kutipan wawancara berikut:

“Kalau ngebandingin kekerasan emisional yang pernah


dilaku’in Affan ma Tya, dari kualitas ma kuantitasnya lebih
sering Affan. Tya gitu-gitu orangnya setia, tapi kalau Affan
maen mata kanan kiri mulu.”

Ketidakadilan dalam hal gender selama ini telah terpatri dalam

kehidupan sehari-hari, bahwa seorang perempuan biasa dianggap

sebagai makhluk yang lemah, penurut, pasif, mengutamakan

kepentingan laki-laki dan lain sebagainya, sehingga dirasa “pantas”

menerima perlakuan yang tidak wajar atau semena-mena.

MATRIK 3
FAKTOR-FAKTOR SOSIAL
PENYEBAB KEKERASAN DALAM PACARAN
No Faktor-Faktor Keadaan faktor sosial Pengaruhnya terhadap
Sosial perilaku kekerasan dalam
pacaran mahasiswa
1 Pola asuh dan Pola asuh diwarnai dengan Berpengaruh pada model peran
lingkungan perilaku kekerasan dan (role model) yang dianut oleh
keluarga lingkungan keluarga tidak anak pada masa dewasanya.
menyenangkan.
2 Peer group Lingkungan teman sebaya Memberikan kontribusi yang
yang terdiri dari orang- besar semakin tingginya angka
101

orang yang pernah terlibat kekerasan antar pasangan


kekerasan
3 Media massa Media massa yang Memicu tindakan kekerasan
menampilkan berbagai terhadap pasangan
macam adegan dan
pemberitaan mengenai
kekerasan
4 Kepribadian Gaya hidup modern yang Reaksi terhadap frustrasi salah
menyebabkan frustrasi dan satunya adalah dengan
pada akhirnya melakukan tingkah laku agresi
menimbulkan gangguan
kepribadian
5 Peran jenis Budaya pariarkhi dalam Dominasi yang terjadi dalam
kelamin masyarakat lebih suatu hubungan akan memicu
menonjolkan peran laki-laki terjadinya konflik yang
dalam suatu hubungan berbuntut pada terjadinya
sehingga menimbulkan kekerasan dalam pacaran
munculnya dominasi dalam
hubungan
Sumber: Data primer, diolah Mei 2010

4. Dampak Sosial Kekerasan dalam Pacaran di Kalangan Mahasiswa

Kekerasan dalam pacaran menimbulkan berbagai dampak baik

fisik, maupun psikis.

a. Dampak fisik

Dampak fisik kekerasan dalam pacaran bisa berupa memar,

lecet, lebam, luka bakar, dsb. Seperti petikan wawancara dengan Mala

berikut ini;

“Luka fisik yang pernah aku alamin gara-gara dikasarin ma


cowokku palingan memar-memar ma lecet karena dicubitin,
trus lebam karena dipukul ma ditonjok.”
102

b. Dampak psikis

Dampak psikis bagi korban berupa sakit hati, harga diri yang

terluka, terhina, depresi, menyalahkan diri sendiri, rasa malu, merasa

sedih, bingung, cemas, tertekan, tidak bebas, tidak nyaman dan merasa

bersalah. Seperti petikan wawancara dengan Tata berikut ini;

“Gara-gara sering dimaki-maki ma dibentak-bentak cowokku


kadang aku ngerasa hina banget, udah kaya enggak dihargai
lagi. Sakit sech tapi mungkin emang aku yang salah.”

Hal senada diungkapkan Tya pada kutipan wawancara berikut:

“Sikap cowokku yang cuek itu kadang bikin aku tertekan,


padahal aku udah usahain sebisa mungkin buat nyenengin dia,
masih aja salah. Bikin bingung ma was-was. Takutnya dia
macam-macam di belakangku.”

Selain itu juga adanya pengalaman abuse pada diri korban akan

berpotensi untuk menjadikannya seorang abuser (pelaku kekerasan)

juga ketika di kemudian hari.

Dampak psikis bagi pelaku adalah pelaku mengalami gangguan

kepribadian dengan pola agresif, sehingga ia terbiasa mengambil jalan

kekerasan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang

dihadapinya karena hal tersebut sudah menjadi bagian dari

kepribadiannya. Seperti petikan wawancara dengan Adit berikut ini;

“Tiap kali ada masalah pasti berantem, udah kebiasaan gitu.


Tapi aku pengennya enggak gitu terus. Nyoba lebih sabar.”

Dampak-dampak fisik dan psikis di atas akan mempengaruhi

kehidupan sosial pelaku dan korban, atau dengan kata lain

menyebabkan dampak sosial bagi kehidupan korban dan pelaku


103

kekerasan dalam pacaran. Berikut ini adalah beberapa dampak fisik

dan psikis kekerasan pada masa pacaran yang menyebabkan timbulnya

dampak sosial bagi pelaku dan korbannya (http://sindy.student.

umm.ac.id/2010/02/05/kekerasan-terhadap-perempuan-pada-masa-pa

caran/):

1) Menurunnya rasa percaya diri

Kekerasan dalam pacaran akan menyebabkan penurunan

rasa percaya diri korban dalam kehidupan sosialnya. Kekerasan

dalam pacaran, terutama kekerasan emosional menciptakan suatu

perasaan tertekan pada diri korban. Perasaan tertekan ini kemudian

menyebabkan frustasi, korban merasa gagal dalam hidupnya.

Kegagalan ini akan mengembangkan penilaian negatif dalam diri

korban terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan atau

situasi yang dihadapinya. Rasa percaya diri korban menjadi lemah

yang kemudian merujuk pada adanya beberapa aspek dari

kehidupan korban tersebut dimana ia merasa tidak memiliki

kompetensi, tidak memiliki keyakinan, kemampuan dan

kepercayaan bahwa dia bisa. Korban merasa minder untuk bergaul

terutama ketika memasuki lingkungan yang baru. Akibatnya,

korban terhambat kehidupan sosialnya karena tidak mampu

menyesuaikan diri dengan lingkungan. Seperti petikan wawancara

dengan Mala berikut ini;


104

“Aku suka enggak pede kalau masuk ke lingkungan baru,


jadinya susah dapat teman. Minder aja, ngerasa enggak
sepadan ma orang lain.”

Salah satu bentuk kekerasan yang dilakukan dalam pacaran

adalah kekerasan verbal atau kekerasan yang dilakukan lewat kata-

kata yang menyakitkan. Kata-kata yang menyakitkan tersebut

biasanya bermakna melecehkan pasangan, menganggap pasangan

sebagai sumber kesialan, mengecilkan arti pasangan, memberikan

julukan negatif kepada pasangan, mempermalukan pasangan dan

memberikan kesan bahwa pasangan tidak diharapkan akan

memiliki dampak jangka panjang terhadap perasaan pasangan dan

dapat memengaruhi citra diri mereka. Seperti petikan wawancara

dengan Affan berikut ini;

”Malu banget pas Tya bikin status yang aneh-aneh gitu,


seolah-olah kami itu udah tidur bareng dan aku sering
nyakitin dia. Jadi enggak pede nongol di fb, temen-temenku
juga jadi negative thinking ke aku. Menghambat pergaulan
aja.”

Kekerasan verbal terhadap pasangan akan menumbuhkan

sakit hati hingga membuat mereka berpikir seperti yang kerap

diucapkan oleh pasangannya tersebut. Jika pasangan mengatakan

bahwa pasangannya bodoh atau jelek, maka dia akan menganggap

dirinya demikian. Dampaknya tidak terjadi secara langsung, namun

melalui proses. Karena ucapan-ucapan bernada menghina dan

merendahkan itu akan direkam dalam memori korban. Semakin

lama, maka akan bertambah berat dan membuat korban memiliki


105

pencitraan negatif terhadap dirinya sendiri. Remaja yang sering

mengalami kekerasan verbal di kemudian hari akan hilang rasa

percaya dirinya. Hilangnya kepercayaan diri tersebut akan

menghambat kehidupan sosial korban dimana korban akan sulit

bergaul dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

2) Meningkatnya rasa tidak berdaya

Kekerasan dalam pacaran meningkatkan ketergantungan

korban terhadap pelakunya. Hal ini terjadi karena pengekangan

pelaku terhadap korban dalam bergaul membuatnya terasingkan

dari lingkungan sosialnya. Seperti petikan wawancara dengan Ana

berikut ini;

”Gara-gara Ryan over posssesif ma Tata, Tata jadi susah


pergaul. Mau temenan ma temen baru dilarang-larang ma
Ryan, takut Tata macem-macem. Jadinya Tata enggak bisa
lepas dari Ryan. Kata Tata sech kalau lepas dari Ryan dia
ngerasa enggak punya siapa-siapa lagi.”

Korban kekerasan dalam pacaran akan merasa tidak

berdaya dan tidak mampu melakukan apa-apa tanpa pasangannya.

Korban merasa sendiri karena sudah terlalu bergantung pada

pasangannya. Hal ini akan membuat korban tidak bisa

mengembangkan diri dalam kehidupan sosialnya.

Selain itu perilaku pelaku kekerasan yang merendahkan

korban akan membuat korban merasa bahwa dirinya tidak berguna

dan tidak berarti, sekaligus juga membuat korban merasa sangat

beruntung karena masih ada pacarnya yang mau menjadikannya


106

sebagai pacar. Hal ini membuat korban merasa tidak berdaya jika

ditingalkan oleh pacarnya karena baginya pacarnya adalah

segalanya sehingga korban menerima segala perlakuan pacarnya

terhadapnya. Seperti yang diungkapkan Mala pada petikan

wawancara berikut ini;

”Lama-lama aku jadi mikir kalau yang diomongin Adit itu


bener. Aku emang udah enggak ada harganya lagi. Kalau
Adit ninggalin aku, pasti enggak ada lagi yang mau ma
aku.”

3) Meningkatnya rasa cemas

Rasa tertekan yang dialami korban secara terus menerus

akan membuatnya memiliki rasa cemas yang berlebihan. Hal ini

akan mempengaruhi cara korban bersosialisasi dengan lingkungan

sekitar. Korban menjadi sulit mempercayai orang lain dan selalu

merasa curiga. Seperti petikan wawancara dengan Tya berikut ini;

”Aku sering cemas, takut cowokku macem-macem.


Masalahnya dia itu banyak temen ceweknya dan lebih
mentingin temen-temennya daripada aku. Aku jadi enggak
percaya’an ma orang lain, apalagi ma orang-orang yang
aku anggep bakalan ngerusak hubunganku ma dia.”

Korban yang sulit mempercayai orang lain dalam

kehidupan sosialnya menjadi sulit bergaul dengan orang lain, lama

kelamaan hal ini akan membuat korban terisolir dari

lingkungannya.

4) Menurunnya produktivitas kerja atau prestasi

Ketergantungan antara korban terhadap pasangannya akan

berakibat kepada menurunnya produktivitasa kerja atau prestasi.


107

Hal ini terjadi ketika sedang terjadi konflik antara korban dan

pelaku hingga terjadi kekerasan, korban akan merasa tertekan,

cemas, sedih, dan sebagainya. Perasaan-perasaan itu akan membuat

korban menjadi tidak bersemangat dalam hidupnya dan menurun

produktivitasnya. Selain itu pembatasan pelaku terhadap korban

juga akan membatasi ruang gerak aktivitas sosial korban untuk

berinteraksi dengan orang lain terutama dengan orang-orang yang

dianggap pelaku akan membahayakan hubungannya dengan

korban. Seperti petikan wawancara dengan Ana berikut ini;

”Tata jadi kehambat ngerjain TAnya gara-gara Ryan


ngebatasin dia ketemu ma Adi. Padahal si Adi itu cuma
bantu Tata bikin program buat TAnya. Tata kesulitan buat
bikin program sendiri.”

Hal senada diungkapkan Adit pada kutipan wawancara

berikut:

“Kadang aku cemas kalau mau ngelaku’in sesuatu. Takut


salah di mata cewekku dan bikin dia marah-marah.”

Hal ini diperparah dengan beberapa perasaan tidak senang

yang diungkapkan pelaku ketika mengetahui beberapa aktivitas

pacarnya. Pelaku mungkin tidak melarangnya, tapi ungkapan tidak

senangnya sudah cukup membuat korban menghentikan aktivitas

rutin kegemarannya. Seperti petikan wawancara dengan Tata

berikut ini;

“Ryan terkadang enggak suka aku jalan ma temen-temenku,


katanya sech aku terlalu mentingin mereka daripada dia.
Jadinya aku batalin dech, padahal sebenarnya aku suka
108

jalan-jalan ma temen-temen, lumayan lah buat ngilangin


stress.”

5) Mengalami sakit fisik

Luka fisik yang dialami korban seperti memar, lecet,

lebam, luka bakar, dsb terutama yang meninggalkan bekas akan

membuat korban enggan berinteraksi dengan lingkungannya

karena merasa malu dan takut sehingga kehidupan sosialnya

terhambat. Seperti yang diungkapkan Nia pada petikan wawancara

berikut ini;

”Gara-gara dicubit ampe memar-memar, Mala enggak mau


berangkat kuliah sampai bekas lukanya itu hilang. Dia kaya
gitu karena malu dan dia enggak mau banyak orang tahu
kalau dia ma cowoknya sering berantem.”

MATRIK 4
DAMPAK KEKERASAN DALAM PACARAN
No Jenis Dampak kekerasan Dampak Terhadap
Dampak Kehidupan Sosial
Kekerasan
1. Psikis a. Menurunnya rasa Korban merasa minder
percaya diri untuk bergaul terutama
ketika memasuki
lingkungan yang baru.
Akibatnya, korban
terhambat kehidupan
sosialnya karena tidak
mampu menyesuaikan diri
dengan lingkungan.
109

b. Meningkatnya Korban terisolir dari


rasa tidak berdaya lingkungan sosialnya
akibat pengekangan
pelaku.
c. Meningkatnya Mempengaruhi cara
rasa cemas korban bersosialisasi
dengan lingkungan sekitar.
Korban menjadi sulit
mempercayai orang lain
dan selalu merasa curiga,
akibatnya dalam kehidupan
sosialnya korban sulit
bergaul dengan orang lain,
lama kelamaan hal ini akan
membuat korban terisolir
dari lingkungannya.
d. Menurunnya Terbatasnya ruang gerak
produktivitas aktivitas sosial korban.
kerja atau prestasi
2. Fisik Mengalami sakit fisik Korban enggan
berinteraksi dengan
lingkungannya karena
merasa malu dan takut
sehingga kehidupan
sosialnya terhambat.
Sumber: Data primer, diolah Mei 2010

B. PEMBAHASAN

Penelitian ini menggunakan teori Behavioral Sosiology yang masuk ke

dalam paradigma definisi sosial. Teori ini menekankan hubungan antara akibat
110

dari tingkah laku yang terjadi di dalam lingkungan aktor dengan tingkah laku

aktor.

Kekerasan dalam pacaran yang meliputi kekerasan fisik dan non fisik

(emosional) dapat terjadi karena tingkah laku sosial di dalam lingkungan

pelaku dan korban secara langsung maupun tidak langsung mendorong pelaku

untuk melakukan tindakan kekerasan.

Tingkah laku sosial ini meliputi:

1. Pola asuh dan lingkungan keluarga yang tidak menyenangkan karena

berbagai permasalahan yang terjadi di dalam lingkungan keluarga serta

diwarnainya pengasuhan orang tua dengan kekerasan fisik dan emosional,

2. Lingkungan teman sebaya (peer group) yang terdiri dari orang-orang yang

pernah terlibat kekerasan,

3. Media massa yang menampilkan berbagai macam adegan dan pemberitaan

mengenai kekerasan dengan intensitas cukup tinggi,

4. Gaya hidup modern yang mengagungkan hedonisme di satu sisi sedangkan

kepemilikan sumber daya yang sangat terbatas pada sisi lain yang

menyebabkan frustrasi dan pada akhirnya menimbulkan gangguan

kepribadian dengan pola agresif,

5. Budaya pariarkhi melekat dalam masyarakat dan lebih menonjolkan peran

laki-laki dalam suatu hubungan. Kontrol dan kekuasaan berada di tangan

laki-laki sehingga timbul dominasi dalam hubungan.


111

Pengaruhnya terhadap mahasiswa yang kemudian secara langsung

maupun tidak langsung mendorong mereka untuk melakukan tindakan

kekerasan meliputi:

1. Pola asuh dan lingkungan keluarga yang tidak menyenangkan serta

diwarnai dengan kekerasan berpengaruh pada model peran (role model)

yang dianut oleh anak pada masa dewasanya. Bila model peran yang

dipelajari sejak kanak-kanak tidak sesuai dengan model yang normal atau

model standart, maka perilaku semacam kekerasan dalam pacaran akan

muncul. Walaupun secara logika anak membenci perilaku kekerasan yang

dilakukan orang tuanya tersebut, akan tetapi secara tidak sadar perilaku itu

terinternalisasi dan muncul pada saat dia menghadapi konflik di saat

remaja atau dewasanya. Perilaku kekerasan itu terus berkembang di dalam

diri anak tersebut, dan dianggap biasa. Alhasil, kepada orang lain pun dia

melakukan kekerasan serupa atau lebih.

2. Lingkungan teman sebaya (peer group) yang terdiri dari orang-orang yang

pernah terlibat kekerasan memberikan kontribusi yang besar semakin

tingginya angka kekerasan antar pasangan. Dengan melihat terjadinya

kekerasan dalam pacaran yang terjadi pada teman, individu akan merasa

bahwa hal tersebut bukan hal yang tabu dan merupakan hal yang biasa

terjadi dalam hubungan pacaran. Toleransi atas kekerasan yang terjadi

dalam pacaran akan meningkat. Selain itu hal ini dapat terjadi karena

adanya proses belajar sosial. Manusia cenderung melakukan repetisi

terhadap perilaku orang disekitarnya.


112

3. Tayangan kekerasan yang sering muncul dalam media massa dapat

memicu tindakan kekerasan terhadap pasangan. Hal ini terjadi karena

berbagai macam adegan dan pemberitaan mengenai kekerasan direkam

sangat baik oleh remaja dan anak-anak. Mereka akan menganggap bahwa

itu semua wajar dilakukan dan merasa layak melakukan hal serupa.

Banyaknya memori kekerasan yang tersimpan di otak, membuat para

remaja ini bersifat sangat permisif terhadap kekerasan yang terjadi di

lingkungannya dikarenakan terjadinya proses belajar sosial.

4. Reaksi terhadap frustrasi salah satunya adalah dengan melakukan tingkah

laku agresi. Bila pelaku merasa dirinya lebih kuat, dia akan melakukan

tindakan agresi terhadap situasi yang menyebabkan frustrasi. Pada

gangguan jiwa yang diistilahkan dengan gangguan kepribadian dengan

pola agresif, orang menjadi mudah tersinggung dan destruktif bila

keinginannya tidak tercapai atau bila menghadapi situasi yang

menyebabkannya menjadi frustrasi.

5. Dominasi yang terjadi dalam suatu hubungan akan memicu terjadinya

konflik yang berbuntut pada terjadinya kekerasan dalam pacaran.

Walaupun laki-laki dan perempuan sama-sama bisa menjadi pelaku dan

korban kekerasan dalam pacaran, namun secara kuantitas dan kualitasnya,

perempuan lebih banyak menjadi korban dibandingkan laki-laki karena

pada dasarnya kekerasan ini terjadi karena adanya ketimpangan kekuasaan

antara laki-laki dan perempuan yang dianut oleh masyarakat luas.


113

Dalam teori Behavioral Sociology, behaviorisme berpendapat bahwa

kekerasan disebabkan dari hasil belajar. Manusia cenderung melakukan

repetisi terhadap perilaku orang disekitarnya, terutama perilaku yang

dipersepsikan dapat memberikan keuntungan bagi pelakunya atau sebagai

pemecahan masalah yang efisien. Lingkungan sosial menyebabkan terjadinya

peniruan perilaku itu oleh para mahasiswa karena dianggap sebagai solusi

efektif dalam memecahkan suatu masalah.

Tingkah laku kekerasan terjadi karena adanya modelling (belajar

meniru). Bila lingkungan sekitar (orang tua, saudara, teman dan media massa)

menyajikan adegan-adegan kekerasan, maka sangatlah mungkin individu akan

meniru tindakan kekerasan tersebut. Jadi, behaviorisme melihat bahwa

perilaku kekerasan terjadi karena memang perilaku tersebut membawa

konsekuensi yang positif (menyenangkan) bagi individu pelakunya serta

karena memang lingkungan menyediakan model-model untuk melakukannya.

Dari hasil temuan di lapangan, selain faktor-faktor penyebab kekerasan

dalam pacaran, peneliti juga menemukan beberapa dampak kekerasan dalam

pacaran yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial korban,

diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Menurunnya rasa percaya diri pada korban karena perasaan tertekan yang

diakibatkan oleh kekerasan emosional. Hal ini kemudian merujuk pada

adanya beberapa aspek dari kehidupan korban tersebut dimana ia merasa

tidak memiliki kompetensi, tidak memiliki keyakinan, kemampuan dan

kepercayaan bahwa dia bisa. Korban merasa minder untuk bergaul


114

terutama ketika memasuki lingkungan yang baru. Akibatnya, korban

terhambat kehidupan sosialnya karena tidak mampu menyesuaikan diri

dengan lingkungan.

2. Meningkatnya rasa tidak berdaya karena ketergantungan korban terhadap

pelaku kekerasan. Pengekangan pelaku terhadap korban dalam bergaul

membuat korban terasingkan (terisolir) dari lingkungan sosialnya dan

hanya berinteraksi dengan pelaku sehingga korban menjadi sangat

tergantung pada pelaku dan takut ditinggalkan oleh pelaku karena akan

merasa hidup sendirian.

3. Meningkatnya rasa cemas akibat perasaan tertekan yang dialami korban

secara terus menerus. Hal ini akan mempengaruhi cara korban

bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Korban menjadi sulit

mempercayai orang lain dan selalu merasa curiga.

4. Menurunnya produktivitas kerja atau prestasi disebabkan karena konflik

yang terjadi antara korban dan pelaku membuat korban merasa tertekan,

cemas, sedih, dan sebagainya yang membuat korban menjadi tidak

bersemangat dalam hidupnya dan menurun produktivitasnya. Pengekangan

pelaku atas korban mengakibatkan terbatasnya ruang gerak aktivitas sosial

korban.

5. Mengalami sakit fisik yang akan membuat korban enggan berinteraksi

dengan lingkungannya karena merasa malu dan takut, sehingga kehidupan

sosialnya terhambat.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kesimpulan Empiris

Masa remaja adalah masa yang rentan, karena merupakan masa

transisi dari kanak-kanak menjelang dewasa yang ditandai dengan

perkembangan yang sangat cepat dari aspek fisik, biologis dan sosial. Salah

satu kegiatan yang sering dilakukan remaja adalah pacaran (dating). Seiring

berjalannya waktu, hubungan pacaran (dating) yang awalnya dianggap

sebagai ajang saling mengasihi, melindungi, berbagi suka dan duka bersama

selanjutnya berkembang menjadi sesuatu yang dieksplorasi sedemikian rupa

sehingga pacaran tidak melulu berjalan indah dan menyenangkan, bahkan

dalam kenyataan yang terjadi adalah berbagai bentuk pelecehan, intimidasi,

kekerasan ataupun pemerkosaan yang mengatas namakan cinta dan kasih

sayang. Meski hubungan pacaran belum diikat pernikahan, ternyata banyak

yang melakukan kekerasan terhadap pasangannya. Akibat perubahan zaman

dan kebudayaan, kini pacaran tidak lagi menjadi proses mengenal pasangan

lebih baik. Bisa dikatakan, pacaran justru menjadi arena pelampiasan emosi

yang tidak seharusnya.

115
116

Hal yang patut disayangkan adalah bahwa kekerasan dalam pacaran

merupakan fenomena sosial yang banyak terjadi namun belum mendapat porsi

perhatian yang lebih dari masyarakat. Banyak sekali orang tua, remaja, dan

guru yang belum sepenuhnya memahami masalah dating violence,

kebanyakan dari mereka belum menganggap persoalaan unik ini sebagai

sebuah kasus besar yang harus dicermati bersama. Pacaran di kalangan remaja

masih dianggap sebagai aktivitas main-main, cinta monyet, atau beberapa

anggapan lain yang menyatakan pacaran gaya remaja hanya sebuah

permainan belaka. Padahal data di lapangan dan kondisi aktivitas pacaran di

kalangan remaja kita terjadi secara besar-besaran dalam intensitas jumlah dan

kualitas pelanggaran atau kekerasan yang semakin meningkat.

Bentuk-bentuk dari dating violence antara lain:

a. Kekerasan fisik, bentuknya berupa memukul, menendang, mendorong

sekuat tenaga, mencubit hingga memar-memar menampar, menonjok,

mencekik, dll.

b. Kekerasan non fisik (emosional) berupa caci maki, membuat korban

merasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri terus menerus, intimidasi

dengan menggertak dan merusak benda-benda yang ada di sekitarnya

sehingga membuat korban ketakutan, cemburu yang berlebihan,

membatasi pasangannya untuk melakukan kegiatan yang disukai,

melanggar privasi, possesif, pemerasan, pencemaran nama baik, dll.


117

Penyebab kekerasan dalam berpacaran antara lain:

a. Pola asuh dan lingkungan keluarga yang tidak menyenangkan karena

berbagai permasalahan yang terjadi di dalam lingkungan keluarga serta

diwarnainya pengasuhan orang tua dengan kekerasan fisik dan emosional,

b. Lingkungan teman sebaya (peer group) yang terdiri dari orang-orang yang

pernah terlibat kekerasan,

c. Media massa yang menampilkan berbagai macam adegan dan pemberitaan

mengenai kekerasan dengan intensitas cukup tinggi,

d. Gaya hidup modern yang mengagungkan hedonisme di satu sisi

sedangkan kepemilikan sumber daya yang sangat terbatas pada sisi lain

yang menyebabkan frustrasi dan pada akhirnya menimbulkan gangguan

kepribadian dengan pola agresif,

e. Budaya pariarkhi melekat dalam masyarakat dan lebih menonjolkan peran

laki-laki dalam suatu hubungan. Kontrol dan kekuasaan berada di tangan

laki-laki sehingga timbul dominasi dalam hubungan.

Sedangkan dampak kekerasan dalam berpacaran antara lain:

a. Menurunnya rasa percaya diri

Agresivitas dalam berkomunikasi, seperti: membentak, memaki,

tidak menghargai pendapat korban, melarang bergaul, tidak pernah diajak

diskusi yang sehat, mengancam, maupun melecehkan akan membuat

korban menjadi bahan olok-olokan atau tertawaan bagi teman-temannya


118

maupun di tempat umum. Hal ini secara otomatis akan menurunkan rasa

percaya diri pada diri korban. Rasa percaya diri korban menjadi lemah

yang kemudian merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan

korban tersebut dimana ia merasa tidak memiliki kompetensi, tidak

memiliki keyakinan, kemampuan dan kepercayaan bahwa dia bisa.

Korban merasa minder untuk bergaul terutama ketika memasuki

lingkungan yang baru. Akibatnya, korban terhambat kehidupan sosialnya

karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan.

b. Meningkatnya rasa tidak berdaya

Pengekangan pelaku terhadap korban dalam bergaul membuat

korban terasingkan dari lingkungan sosialnya dan hanya berinteraksi

dengan pelaku sehingga korban menjadi sangat tergantung pada pelaku

dan takut ditinggalkan oleh pelaku karena akan merasa hidup sendirian.

c. Meningkatnya rasa cemas

Rasa tertekan yang dialami korban secara terus menerus akan

membuatnya memiliki rasa cemas yang berlebihan. Korban dihantui rasa

takut melakukan kesalahan kepada pacarnya. Setiap kali melakukan

aktivitas, korban merasa cemas dan takut hal itu tidak berkenan di hati

pacarnya dan membuat pacarnya marah. Hal ini mempengaruhi cara

korban bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Korban menjadi sulit

mempercayai orang lain dan selalu merasa curiga. Akibatnya, dalam


119

kehidupan sosialnya korban sulit bergaul dengan orang lain, lama

kelamaan hal ini akan membuat korban terisolir dari lingkungannya.

d. Menurunnya produktivitas kerja atau prestasi

Pengekangan pelaku atas korban mengakibatkan terbatasnya ruang

gerak aktivitas sosial korban. Pengawasan yang dilakukan pelaku

menjadikan korban terbatas ruang geraknya. Hal ini diperparah dengan

beberapa perasaan tidak senang yang diungkapkan pelaku ketika

mengetahui beberapa aktivitas pacarnya. Pelaku mungkin tidak

melarangnya, tapi ungkapan tidak senangnya sudah cukup membuat

korban menghentikan aktivitas rutin kegemarannya.

e. Mengalami sakit fisik

Kekerasan fisik ini dapat berefek psikis pula, seperti menurunnya

konsentrasi, perasaan malu, dan sebagainya yang akan membuat korban

enggan berinteraksi dengan lingkungannya.

2. Kesimpulan Teoritis

Berdasarkan paradigma Perilaku Sosial yang dikemukakan oleh B.F.

Skinner adalah tepat khususnya penggunaan teori Behavioral Sosiology

terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Teori ini memusatkan perhatiannya

kepada hubungan antara akibat dari tingkah laku yang terjadi di dalam

lingkungan aktor dengan tingkah laku aktor. Yang menarik perhatian

Behavioral Sosiology adalah hubungan historis antara akibat tingkah laku


120

yang terjadi dalam lingkungan aktor dengan tingkah laku yang terjadi

sekarang. Akibat dari tingkah laku yang terjadi di masa lalu mempengaruhi

tingkah laku yang terjadi di masa sekarang.

Pola asuh dan lingkungan keluarga yang tidak menyenangkan,

lingkungan teman sebaya (peer group) yang terdiri dari orang-orang yang

pernah terlibat kekerasan, media massa yang menampilkan berbagai macam

tayangan kekerasan, gaya hidup modern menyebabkan frustrasi, dan budaya

pariarkhi yang melekat dalam masyarakat memeberikan pembelajaran kepada

individu mengenai kekerasan. Terjadilah proses modelling (belajar meniru).

Behaviorisme berpendapat bahwa kekerasan disebabkan dari hasil

belajar. Bila lingkungan sekitar (orang tua, saudara, tetangga, media)

menyajikan adegan-adegan kekerasan, maka sangatlah mungkin individu akan

meniru tindakan kekerasan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Jadi,

behaviorisme melihat bahwa perilaku kekerasan terjadi karena memang

perilaku tersebut membawa konsekuensi yang positif (menyenangkan) bagi

individu pelakunya serta karena memang lingkungan menyediakan model-

model untuk melakukannya.

3. Kesimpulan Metodologis

Penelitian ini menggunakan strategi yang sangat sederhana yaitu

dengan menggunakan metode observasi yang dilakukan untuk mengamati

secara langsung perilaku pelaku dan korban kekerasan dalam pacaran.


121

Dalam observasi tentang kekerasan dalam pacaran ini menggunakan

observasi non participant yaitu di mana peneliti tidak ikut aktif dalam

melakukan kegiatan yang ada tetapi hanya sebatas mengamati perilaku pelaku

dan korban kekerasan dalam pacaran.

Setelah diperoleh gambaran tentang kekerasan dalam pacaran, maka

perlu mendapatkan informasi yang dibutuhkan untuk menjawab berbagai

permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, sehingga perlu diadakan

wawancara yang mendalam dengan para informan yaitu pasangan kekerasan

dalam pacaran dan orang-orang terdekatnya yang mengetahui hal tersebut.

Selain observasi dan wawancara peneliti juga menggunakan data

sekunder sebagai tambahan dalam mendapatkan informasi. Data sekunder

yang peneliti gunakan meliputi buku-buku dan artikel-artikel yang berkaitan

dengan kekerasan dalam pacaran.

Dalam pengambilan sampel, penulis menggunakan metode purposive

sampling, purposive sampling berguna untuk mendapatkan informan yang

tepat untuk menguasai permasalahan yang menjadi obyek penelitian. Dan

secara metodologis, penelitian ini memiliki kelebihan dan kekurangan.

Kelebihannya adalah:

a. Penelitian kualitatif mampu mengungkapkan realita secara mendalam

karena mengungkapkan realita internal seperti pola pikir manusia dengan


122

segala subyektivitasnya, emosi dan nilai-nilai sehingga mampu

memberikan gambaran realita sebagai adanya.

b. Kebenaran dalam penelitian kualitatif merupakan hasil, interprestasi yang

dirundingkan dan disepakati oleh manusia yang dijadikan sumber data.

Kekurangannya adalah:

a. Tidak semua hasil penelitian kualitatif dapat digeneralisasikan,

generalisasi hanya dapat dilakukan dalam batas waktu dan konteks

penelitian.

Dalam penelitian kualitatif, dimungkinkan emosi, pandangan dan

prasangka peneliti ikut masuk dalam analisa atau hasil penelitian.

B. Saran

1. Bagi Korban

a. Membantu pasangan yang melakukan kekerasan untuk memiliki rasa

percaya diri (biasanya pasangan yang melakukan kekerasan memiliki

riwayat kekerasan dan kekurangan kebutuhan kasih sayang / afiliasi);

b. Bersikap tegas pada pasangan yang melakukan kekerasan (menolak

kekerasan yang dilakukan oleh pasangan);

c. Jika pasangan tetap melakukan kekerasan, sebaiknya berpikir dua kali

untuk meneruskan hubungan dengannya;

d. Berani berkata tidak;


123

e. Belajar menjadi diri sendiri. Jangan membiarkan kekerasan dalam

berpacaran menimpa hanya karena ingin menyenangkan pacar. Kita bisa

belajar menjadi diri sendiri. Selama sikap dan perbuatan kita positif,

pertahankan. Karena peran kita lebih banyak dibentuk oleh pola

pengasuhan yang dipengaruhi budaya, untuk mengubahnya kita juga harus

mulai dengan proses pembelajaran baru;

f. Cari dukungan, jika perlu buatlah komunitas anti kekerasan. Karena

kekerasan dalam pacaran juga dipengaruhi oleh aspek budaya, untuk

mengubahnya juga harus dilakukan bersama-sama secara massal.

Ungkapkan dan kampanyekan pikiran kita, cari teman yang sependapat.

Secara bersama terus kampanyekan keinginan kita untuk menolak

kekerasan dalam berpacaran;

g. Cari bantuan orang tua, teman, dan juga para ahli.

2. Bagi Pelaku

a. Segera meminta bantuan pada Psikolog untuk mendapatkan terapi yang

tepat untuk mengatasi pikiran-pikiran irasional, mungkin pelaku

mengalami kecanduan cinta sehingga melakukan kekerasan pada pacar

Anda.

b. Segera menyadari bahaya dari perilakunya, baik bagi dirinya sendiri

ataupun bagi pasangannya.


124

c. Melakukan pengendalian emosi dengan pelatihan yoga, latihan

pernafasan, dsb.

3. Bagi Lingkungan Sosial

a. Pasangan pacaran

Untuk mencegah terjadinya kekerasan pada masa pacaran, perlu

membuat komitmen dengan pacar untuk tidak adanya kekerasan dalam

pacaran dan menerapkan pacaran yang sehat. Adapun, pacaran yang sehat

meliputi hal-hal sebagai berikut:

1) Adanya rasa saling percaya.

2) Adanya rasa saling menghargai.

3) Adanya waktu untuk dihabiskan oleh mereka berdua tetapi juga

menghargai waktu untuk saling sendiri.

4) Tidak mengisolasi pasangan.

5) Tidak memanipulasi pasangan.

6) Adanya rasa saling memahami perasaan masing-masing.

7) Hubungan pacaran juga disertai dengan hubungan pertemanan yang

akrab di antara mereka berdua.

Definisikan dengan konkret makna pacaran dan bagaimana

hubungan akan dibina. Pacaran seharusnya merupakan keputusan sadar

dengan penuh pertimbangan dan itikad baik sepasang manusia, melibatkan

aspek emosi, keyakinan, sosial, dan budaya. Tentu ada unsur

pembelajaran, penghargaan, penghormatan, komunikasi yang dapat


125

menjadi pendekatan positif. Jika terjadi kekerasan dalam pacaran, berarti

tujuan ini tidak tercapai lagi.

b. Orang tua

Mengubah paradigma dalam keluarga, bahwa kekerasan adalah

salah satu bentuk pendidikan disiplin pada anak.

c. Pemerintah

Pemerintah harus tegas pada media, mensensor adegan kekerasan

di TV dan media lain. Komite Penyiaran Indonesia (KPI) harus lebih

tajam. Selain itu juga diadakan sosialisasi berupa kampanye, pidato dan

talkshow bahwa tindakan kekerasan pada anak-anak harus dihentikan.

d. Masyarakat

Kepada korban, masyarakat sekitar perlu meyakinkan dia untuk

berkata tidak untuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya,

membantunya melihat pilihan dan alternatif yang mungkin dan

menumbuhkan kepercayaan dirinya.

Bagi pelaku kekerasan, sebelumnya perlu telusuri apa penyebab

dari perilakunya tersebut, apakah ada peristiwa buruk atau perilaku

traumatik sehingga dia menggunakan cara penyelesaian konflik dengan

cara kekerasan atau pada penyebab lainnya. Pelaku dibantu dengan

dibawa ke psikolog atau psikiater untuk melakukan konseling ataupun

psikoterapi.
DAFTAR PUSTAKA

Buku Data dan Informasi Universitas Sebelas Maret. 2007. Surakarta.

Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta :


Pustaka Pelajar.

Jurnal Perempuan. 2002. Hentikan Kekerasan terhadap Perempuan. Jakarta: Yayasan


Jurnal Perempuan.

Moeljatno. 2001. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Yogyakarta : Sinar Grafika


Offset.

Moleong, Lexy J. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.

Ritzer, George. 2004. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta :


PT Raja Grafindo Persada.

Set, Sony. 2009. Teen Dating Violence - Stop Kekerasan Dalam Pacaran!.
Yogyakarta : Kanisius.

Slamet, Y. 1990. Metode Penelitian Sosial. Surakarta : UNS Press.

Soekanto, Soerjono. 1999. Kamus Sosiologi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Sutopo, HB. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret


University Press.

Warsana, Windhu. 1992. Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung.


Yogyakarta.

Internet:

Al-Huda, Arief Bathara. 2009. Kenali dan Cegah Kekerasan dalam Pacaran.
http://ariefbharata.multiply.com/journal/item/14/Kenali_dan_Cegah_Kekerasa
n_dalam_Pacaran. (4 Juli 2009, 09:30 WIB)
Data dan Informasi Universitas Sebelas Maret Surakarta. http://uns.ac.id// (22 Juli
2010, 19:30)

Hamzah. 2008. Pacaran sebagai Alat Ukur Seleksi Pasangan Hidup.


http://hamzahasdullah.multiply.com. (5 Juli 2009, 15:05 WIB)

Krucil. 2007. Kekerasan. http://republikdamai.blogspot.com/2007/06/kekerasan.


Html. (5 Juli 2009, 15:10 WIB)

Minna, Konnichiwa. 2010. Kekerasan Terhadap Perempuan Pada Masa Pacaran.


http://sindy.student.umm.ac.id/2010/02/05/kekerasan-terhadap-perempuan -
pada-masa-pacaran/. (5 Juli 2009, 16:05 WIB)

Mustika, M. Shodiq. 2009. Definisi dan Bentuk Nyata “Pacaran Islami”.


http://shodiq.com/2009/03/16/definisi-bentuk-nyata-pacaran-islami.html. (5
Juli 2009, 15:05 WIB)

N. S., Arika. 2007. Love Shouldn’t Hurt Sebuah Ulasan tentang Dating Violence.
http://ariekaonly.multiply.com/journal/.../LOVE_SHOULDNT_HURT_sebua
h_ulasan_tentang_DATING_VIOLENCE_Keke. (30 Juni 2009, 16:30 WIB)

Phyrman. 2009. Tayangan Kekerasan di TV Merubah “Anak Normal” Menjadi


Agresif. http://ruangstudio.blogspot.com/2009/07/tayangan-kekerasan-di-tv-
merubah-anak.html. (1 Agustus 2009, 19:00 WIB)

Redaksi. 2002. Pengaruh Sebaya hingga Kekerasan. http://bkkbn.go.id/. (4 Juli 2009,


10:00 WIB)

Redaksi. 2007. Kekerasan dalam Pacaran: Sebuah Fenomena yang Terjadi pada
Remaja. http://situs.kesrepro.info/gendervaw/des/2004/ gendervaw02.htm. (1
Juli 2009, 05:05 WIB)

Redaksi. 2008. Kasus Kekerasan Dalam Pacaran Masih Cukup Tinggi.


http://kompas.com/read/xml/2008/12/19/18564931/kasus.kekerasan.dalampac
aran.masih.cukup.tinggi. (28 Juni 2009, 22:15 WIB)

Redaksi. 2010. Berbagai Resiko Pacaran di Usia Belia. http://female.kompas. com/.


(3 Maret 2010, 16:00 WIB)
Takwin, Bagus. 2008. Menjadi Mahasiswa. http://bagustakwin.multiply.com. (6
September 2009 15:45 WIB)

http://kompas.com/kompas-cetak/0309/26/ muda/584131.htm. (4 September 2009,


12:30 WIB)

http://id.wikipedia.org/wiki/Pergerakan_Mahasiswa_Islam_Indonesia. (30 Juni 2009,


16:35 WIB)

http://depdiknas.go.id/. (3 Maret 2010, 16:15 WIB)

Jurnal:

Chan, Ko Ling, Straus, M. A., Brownridge, Douglas A., Tiwari, Agnes And Leung,
W. C. 2008. International Journal of Midwifery & Women’s Health. Amerika:
Elsevier Inc.

Straus, M. A. 2004. Violence Againts Dating Partner, Vol 10 No. 7. University of


New Hampshire : Sage Publications.
1. Pasangan Kekerasan dalam Pacaran

No Nama Umur Pendidikan Aktivitas Latar Latar Karakter Kekerasan Solusi setelah
belakang belakang infoman yang terjadi terjadi
keluarga agaman dalam pacaran kekrasan
1 Mala 22 thn D3 Fakultas Kuliah Cukup berada Taat ibadah Baik dan suka Fisik dan Memaafkan
Pertanian menolong emosional pasangan
2 Adit 23 thn S1 Non Regular Kuliah Cukup berada Tidak taat Cuek Fisik dan Berbaikan
Fakultas Teknik ibadah emosional kembali
setelah emosi
mereda
3 Tata 22 thn D3 Fakultas Kuliah dan Cukup berada Taat ibadah Tanggung Emosional Meminta putus
MIPA bekerja jawab, namun
humoris, rajin kemudian
ibadah bersedia
memaafkan
pasangan
ketika emosi
sudah mereda
4 Ryan 22 thn D1 Bekerja Sederhana Taat ibadah Tanggung Emosional Berbaikan

82
jawab, rajin setelah pihak
ibadah, yang salah
humoris bersedia
meminta maaf
7 Tya S1 Fakultas Kuliah Cukup berada Taat ibadah Terbuka dan Emosional Putus namun
Hukum royal tapi agak beberapa saat
sombong kemudian
jadian lagi
8 Affan 25 thn SMA Bekerja Sederhana Taat ibadah Genit dan pelit Emosional Putus namun
beberapa saat
kemudian
jadian lagi

2. Teman Dekat Pelaku / Korban Kekerasan dalam Pacaran

No Nama Umur Aktivitas Hubungan dengan Kekerasan dalam Mulai mengetahui Karakter korban /
pelaku atau korban pacaran yang terjadi terjadinya kekerasan pelaku menurut
pada pelaku / korban dalam pacaran informan
1 Nia 22 thn Kuliah Teman dekat Mala Fisik dan emosional + 1 tahun yang lalu Mala baik dan suka

83
menolong namun
terkadang bersikap
keras kepada
pasangannya,
sedangkan Adit cuek
2 Ana 22 thn Kuliah Teman dekat Tata Emosional + 2 tahun yang lalu Bertanggung jawab
terhadap pekerjaan,
rajin beribadah, usil,
dan humoris.
3 Sari 23 thn Co ass Teman dekat Tya Emosional + 6 tahun yang lalu Terbuka, royal dan
humoris, namun agak
sombong, sedangkan
Affan genit dan pelit.
Sumber : Data primer, diolah Maret 2010

84

Anda mungkin juga menyukai