Anda di halaman 1dari 14

RTM PSIKOLOGI SEKSUAL

“KEKERASAN SEKSUAL”

OLEH
I Putu Rangga Panjita Krisnaphaty (1906003)
Ni Kadek Tya Listiya Dewi (19061007)
Ni Komang Sri Ayu Ratih (19061009)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS BISNIS, SOSIAL, TEKNOLOGI, DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kekerasan seksual pada dasarnya merupakan kenyataan dan fakta yang
terjadi di tengah masyarakat. Maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi dapat
dilihat dari meningkatnya kasus kekerasan seksual dari tahun ke tahun. Di Indonesia
sendiri masih lemah dalam sistem perundangan dalam menangani kasus kekerasan
seksual tersebut. Sehingga masih banyak para pelaku yang melakukan kekerasan
seksual baik terhadap anak di bawah umur maupun sudah dewasa. Menurut Sari
(2015) kekerasan terhadap anak-anak yang terjadi di sekitar kita, tidak saja dilakukan
oleh lingkungan masyarakat sekitar anak, namun juga dilakukan oleh lingkungan
keluarga anak sendiri baik orang tua maupun orang terdekat. Kasus-kasus kekerasan
yang menimpa anak-anak, tidak saja terjadi di perkotaan tetapi juga di pedesaan.
Karena kurangnya pengawasan dan pengarahan serta pergaulan bebas dikalangan
anak–anak dan remaja.
Sumera (2013) berpendapat bahwa kejahatan kesusilaan dan kekerasan
seksual sudah begitu kompleks, meresahkan serta mencemaskan masyarakat,
sehingga tidak dapat dipandang dari sudut mikro saja. Apabila ingin mengetahui akar
permasalahannya, maka harus berani masuk ke berbagai wilayah aspek kehidupan
yang mempunyai pengaruh terhadap perilaku manusia, termasuk kejahatan kesusilaan
dan kekerasan. Perilaku manusia tidak muncul dengan sendirinya, tetapi berkembang
melalui suatu proses, akibat pengaruh lingkungan, seperti lingkungan alam, aspek
sosiologis, politis, ekonomi dan budaya (agama termasuk didalamnya).
Yusyanti (dalam Paradiaz, 2022) menyatakan bahwa sesuai data yang
telah dihimpun oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
telah tercatat bahwasanya kasus kekerasan seksual pada tahun 2020 berada pada
angka 7.191 kasus. Sedangkan terhitung dari Juni 2021, kasus kekerasan seksual telah
mencapai 1.902 kasus (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap perempuan, 2021).
Hingga saat ini kekerasan seksual di Indonesia yang telah dirasakan anak dibawah
umur masih sangat banyak. Hal ini terlihat dari berita, baik media cetak maupun
elektronik di Indonesia yang masih memberikan informasi berkaitan dengan
kekerasan seksual. Kasus kekerasan sesual anak baik secara fisik maupun psikis
selalu menjadi pembicaraan hangat baik di tingkat nasional atau internasional.
Korban sering juga diberi stigma oleh masyarakat bahwasanya korban
dapat saja juga ‘menikmati’ kekerasan seksual yang terjadi. Ketika korban sudah
berani mengadukan kekerasan seksual yang terjadi padanya, tidak jarang pula aparat
ataupun pihak berwajib tidak menanggapi aduan tersebut, atau malah menanggapinya
dengan tidak serius dan menganggap remeh.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat
tema kekerasan seksual sebagai bahan untuk tugas akhir dari mata kuliah Psikologi
Seksual, yang dimana pada tugas ini penulis akan fokus pada tiga jenis kekerasan
seksual yang banyak terjadi di masyarakat. Adapun tindak kekerasan seksual yang
akan dibahas adalah Pedophilia, Incest, dan Pemerkosaan.
1.2 Sasaran
Sasaran dari booklet yang penulis susun adalah anak-anak dengan rentang usia
…………. .
1.3 Tujuan Sasaran
Adapun tujuan pemilihan anak-anak sebagai sasaran edukasi kami adalah untuk
meningkatkan pengetahuan anak, sehingga kedepannya anak mampu untuk
memahami serta menjaga diri agar terhindar dari tindak kekerasan seksual.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pedophilia
Menurut Multiwijaya (2019) pedophilia adalah kecendurungan orang
dewasa baik pria maupun wanita untuk melakukan aktivitas seksual berupa hasrat
ataupun fantasi impuls seksual pada anak kecil atau di bawah umur. Sedangkan
menurut Efendi (2019) pedophilia berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata
pais (anak-anak) dan phillia (cinta yang bersahabat atau sahabat), pedophilia secara
umum digunakan sebagai istilah untuk menerangkan salah satu kelainan
perkembangan psikoseksual dimana individu memiliki hasrat erotis yang abnormal
terhadap anak-anak.
2.1.1 Faktor-faktor Penyebab Pedophilia
Adapun penyebab pedophilia bisa terjadi yaitu sebagai berikut :
1. Hambatan dalam perkembangan psikologis yang menyebabkan
ketidakmampuan penderita menjalin relasi heterososial dan homososial
yang wajar
2. Kecenderungan kepribadian antisosial yang ditandai dengan hambatan
perkembangan pola seksual yang matang disertai oleh hambatan
perkembangan moral
3. Terdapat kombinasi regresi, ketakutan impotent, serta rendahnya tatanan
etika dan moral.

2.2 Incest
Menurut Afifah (2021) incest adalah hubungan seksual yang terjadi
diantara anggota kerabat dekat, biasanya adalah kerabat inti seperti ayah, atau
paman. Incest dapat terjadi suka sama suka yang kemudian bisa terjalin dalam
perkawinan dan ada yang terjadi secara paksa. Incest digambarkan sebagai kejadian
relasi seksual diantara individu yang berkaitan darah, akan tetapi istilah tersebut
akhirnya dipergunakan secara lebih luas, yaitu untuk menerangkan hubungan
seksual ayah dengan anak, antar saudara. Incest merupakan perbuatan terlarang bagi
hampir setiap lingkungan budaya. Sedangkan menurut Efendi (2019) Incest
merupakan hubungan saling mencintai yang bersifat seksual yang dilakukan oleh
pasangan yang memiliki ikatan keluarga (kekerabatan) yang dekat, biasanya antara
ayah dan anak perempuannya, ibu dengan anak laki-lakinya, atau antara sesama
saudara kandung atau saudara tiri.
2.2.1 Faktor-faktor Penyebab Incest
Adapun faktor-faktor yang penyebab terjadinya incest yaitu :
1. Kondisi rumah tangga yang sudah tidak harmonis. Dalam keadaan ini,
suami istri sering bertengkar dan saling kehilangan sosok pasangannya,
akhirnya melampiaskan pada anak
2. Kondisi rumah pelaku incest biasanya jauh dari kerabat ataupun tetangga
sekitar.
3. Status kekuasaan pelaku dalam keluarga.
4. Perbuatan yang berulang karena dianggap hanya sebagai permasalahan
dalam keluarga.
5. Pengawasan dan didikan orang tua yang kurang pada anaknya.

2.3 Pemerkosaan
Menurut Amanda (2019) pemerkosaan merupakan bentuk kekerasan dan
kejahatan kesusilaan terhadap perempuan yang bisa terjadi kapan saja kepada
siapapun dan dimana saja contohnya di jalanan, di tempat kerja, di rumah, atau
tempat-tempat yang tidak diinginkan lainnya. Sedangkan menurut Setiawan (2018)
pemerkosaan merupakan suatu tindakan hubungan kelamin yang dilakukan oleh
seorang pria terhadap seorang wanita yang bukan isterinya atau tanpa persetujuanya
dan dilakukan ketika wanita tersebut ketakutan.
2.3.1 Faktor-faktor Penyebab Pemerkosaan
Adapun dua faktor yang membuat pelaku melakukan pemerkosaan yaitu faktor
internal dan faktor eksternal yang akan dijabarkan sebagai berikut:
1. Faktor Internal yaitu dimana pelaku memiliki permasalahan psikologis
yang membuat pelaku dengan mudahnya melakukan tindak pemerkosaan
tanpa berpikir sebab dan akibat yang akan diterimanya.
2. Faktor eksternal yaitu perilaku pelaku dipengaruhi oleh lingkungan di
sekitar pelaku, seperti halnya pelaku setelah melihat atau menyaksikan hal-
hal yang berkaitan dengan pornoaksi dan pornografi hal itu akan
menimbulkan hasrat seksual pelaku. Sehingga pelaku ingin melampiaskan
hasratnya tersebut dengan berbagai cara, salah satunya adalah
pemerkosaan.

2.4 Dampak yang ditimbulkan


Menurut Noviana (2015) tindakan kekerasan seksual pada anak
membawa dampak emosional dan fisik kepada korbannya. Secara emosional, anak
sebagai korban kekerasan seksual mengalami stres, depresi, guncangan jiwa,
adanya perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri, rasa takut berhubungan
dengan orang lain, bayangan kejadian dimana anak menerima kekerasan seksual,
mimpi buruk, insomnia. Serta ketakutan dengan hal yang berhubungan dengan
penyalahgunaan termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter, masalah harga
diri, disfungsi seksual, sakit kronis, keinginan bunuh diri, keluhan somatik, dan
kehamilan yang tidak diinginkan.
Menurut Levitan (dalam Noviana 2015) dampak dari muncul gangguan-
gangguan psikologis seperti pasca-trauma stress disorder, kecemasan, penyakit jiwa
lain termasuk gangguan kepribadia, kecenderungan untuk reviktimisasi di masa
dewasa, bulimia nervosa, bahkan adanya cedera fisik kepada anak. Secara fisik,
korban mengalami penurunan nafsu makan, sulit tidur, sakit kepala, tidak nyaman di
sekitar vagina atau alat kelamin, berisiko tertular penyakit menular seksual, luka di
tubuh akibat perkosaan dengan kekerasan dan lainnya. Sedangkan kekerasan
seksual yang dilakukan oleh anggota keluarga adalah bentuk inses, dan dapat
menghasilkan dampak yang lebih serius dan trauma psikologis jangka panjang,
terutama dalam kasus inses orangtua. Selain itu adapun dampak sosial yang diterima
korban yaitu stigmatisasi dan labeling negatif pada si korban dan menjadi stressor
yang mempengaruhi terhadap kesehatan mental korban.
2.5 Cara Menghindari/ Mengantisipasi Tindakan Kekerasan Seksual
Seseorang yang belum pernah mengalami tindak kekerasan seksual
tentunya perlu mengetahui cara-cara untuk menghindari atau mengantisipasi
kejadian tersebut. Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Memberikan pendidikan seksual melalui video animasi
Individu lebih tertarik melihat video bergambar dan akan lebih mudah
menerima dan memahami materi ajar karena tidak perlu berimajenasi sebab
dalam video sudah disajikan gambar dan penjelasannya. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Margaretta (2021) menunjukkan hasil bahwa pemberian edukasi
menggunakan video animasi pendidikan seksual berpengaruh terhadap
pengetahuan yang dimiliki anak terkait seksualitas dan cara pencegahan tindakan
pelecehan seksual sehingga diharapkan dapat mengubah perilaku anak dalam hal
seksualitas dan anak dapat mengantisipasi terjadinya pelecehan seksual oleh
lingkungan sekitar anak.
2. Komunikasi Antarpribadi
Handayani (2017) Komunikasi antarpribadi yaitu antar orang tua dan
anak untuk memberi pemahaman tentang perlindungan diri dari kejahatan
seksual merupakan upaya yang penting dilakukan. Komunikasi yang baik sangat
penting diterapkan antara orang tua dan anak guna menghasilkan hubungan
positif. Komunikasi tersebut haruslah dibangun mulai dari anak usia dini.
Hal tersebut dimaksudkan supaya tercipta keterkaitan yang baik antara
orang tua dan anak agar dapat menciptakan hubungan harmonis.
Komunikasi antarpribadi merupakan proses pengiriman dan penerimaan
pesan diantara dua orang atau kelompok kecil orang dengan berbagai efek dan
umpan balik. Menurut Gunarsa (dalam Handayani, 2017) tujuan komunikasi
dalam interaksi keluarga ditinjau dari kepentingan orang tua adalah untuk
memberikan informasi, nasihat, mendidik dan menyenangkan anak. Anak
berkomunikasi dengan orang tua adalah untuk mendapatkan saran, nasihat,
masukan atau dalam memberikan respon dari pertanyaan orang tua.
Komunikasi antaranggota keluarga dilakukan untuk terjadinya keharmonisan
dalam keluarga.
2.6 Penanganan Tindakan Kekerasan Seksual
Terdapat beberapa penanganan yang dapat dilakukan ketika kekerasan
seksual tersebut sudah terlanjur terjadi, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Peran Keluarga
Langkah paling sederhana untuk melindungi anak dari kekerasan seksual bisa
dilakukan oleh keluarga. Orangtua memegang peranan penting dalam menjaga
anak-anak dari ancaman kekerasan seksual. Orangtua harus benar-benar peka
jika melihat sinyal yang tak biasa dari anaknya. Namun, tak semua korban
kekerasan seksual bakal menunjukkan tanda-tanda yang mudah dikenali.
Terutama apabila si pelaku melakukan pendekatan secara persuasif dan
meyakinkan korban apa yang terjadi antara pelaku dan korban merupakan hal
wajar. Oleh karena itu, yang pertama harus dilakukan adalah memberikan rasa
aman kepada anak untuk bercerita. Biasanya orang tua yang memang memiliki
hubungan yang dekat dengan anak akan lebih mudah untuk melakukannya.
2. Penanganan Khusus oleh Tenaga Professional
Individu yang merupakan korban kekerasan mendapatkan penanganan khusus
seperti layanan rehabilitasi oleh professional seperti psikolog. Rehabilitasi sangat
dibutuhkan bagi korban kekerasan seksual terutama korbannya merupakan
korban yang masih dibawah umur yang dapat memberikan efek negatif bagi
perkembangan anak dalam menuju masa dewasanya. Tujuan dilakukannya
rehabilitasi ini adalah untuk mengembalikan kembali kondisi korban menjadi
seperti semula pada saat belum terjadinya permasalahan.
3. Melapor kepada Pihak Berwajib
Salah satu upaya untuk menangani kekrasan seksual korban dapat melaporkan
pelaku kepada pihak berwajib. Hal ini dapat dikatakan dengan upaya penal atau
hukum pidana, dimana pelaku akan dikenakan sanksi berupa hukuman penjara
dan denda. Hukuman penjara dan denda ini diberikan jika sanksi lain dianggap
belum dapat meminimalisir kejadian kekerasan seksual.
2.7 Contoh Kasus
Untuk menambah pemahaman pembaca terkait dengan jenis kekerasan
seksual yang telah dibahas di atas, maka penulis menyertakan contoh dari masing-
masing jenis kekerasan seksual yang telah dibahas :
2.7.1 Contoh Kasus Pedophilia
Dilansir dari CNN Indonesia : Polda Sumatera Selatan menangkap
seorang guru salah satu Pondok Pesantren di Kabupaten Ogan Ilir yang
diduga telah melakukan tindak pidana pencabulan terhadap 12 muridnya
yang masih di bawah umur. Kasus pedofilia itu terungkap ketika ada orang
tua korban yang melapor. Kasus pedofilia terungkap setelah unit Subdit IV
Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Ditreskrimum Polda Sumatera
Selatan menerima laporan dari orangtua korban. "Tersangka ditangkap di
rumah orangtua salah satu korban nyaris tanpa perlawanan," kata Direktur
Direskrimum Polda Sumatera Selatan, Kombes Hisar Sialagan, Rabu (15/9).
Orang tua korban juga telah memeriksakan kondisi kesehatan anak
yang sakit secara tidak wajar di kemaluannya kepada dokter. Setelah
diperiksa, dokter mendiagnosa anak itu sudah menjadi korban kekerasan
seksual. Lalu karena tidak bisa menahan sakitnya, seorang anak itu
membenarkan diagnosa dokter. Dia mengaku pernah dipaksa melakukan
tindakan asusila oleh gurunya di Pondok Pesantren AT. Berdasarkan
keterangan dari saksi, korban bukan hanya satu orang tapi 12 anak. Masing-
masing enam orang disodomi dan enam lainnya mendapat perlakuan cabul.
Berdasarkan pemeriksaan terhadap korban, Kasubdit PPA Polda Sumatera
Selatan, Komisaris Polisi Masnoni, tersangka melakukan itu selama sekitar
satu tahun terhitung sejak Juni 2020 hingga Agustus 2021. "12 anak itu
semua laki-laki, mereka dicium pelaku lalu disuruh melakukan oral kelamin
tersangka hingga ia mencapai kepuasan," katanya.
Modus yang dilakukan tersangka dalam aksinya yakni
menghampiri korban yang sedang tertidur di kamarnya. Setelah itu korban
dibujuk rayu dengan memberikan uang puluhan ribu rupiah. Apabila korban
menolak keinginan itu, tersangka mengancam tidak segan mengurung
korban di gudang lalu menganiayanya. "Saya melakukan asusila semata
untuk memperoleh kepuasan," kata tersangka berinisial J.
Tersangka dikenakan pasal 82 ayat 1, 2 dan 4 Jo 76 UU Nomor
17/2016, Perppu Nomor 1/2016 Tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor
23/2003 Tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana penjara
maksimal 15 tahun.
2.7.2 Contoh Kasus Incest
Contoh kasus ini diambil dari penelitian yang dilakukan oleh
Zahirah,dkk (2019) : Perilaku bejat seorang ayah di Kabupaten Aceh
Tenggara, Provinsi Aceh, sudah sangat keterlaluan. Dia tega memperkosa
anak kandungnya yang masih berusia 13 tahun hingga harus menanggung
malu karena hamil 7 bulan. Korban yang masih duduk di sekolah kelas 6
SD, kini enggan melanjutkan pendidikannya. Dia cuma mau berdiam diri di
rumah karena merasa malu untuk bertemu dengan teman-temannya lagi.
Kapolres Aceh Tenggara, AKBP Rahmad Har Denny Yanto mengatakan,
tersangka berinisial S (35) diamankan polisi di Desa Tanjung Lama,
Kecamatan Darul Hasanah, Kabupaten Aceh Tenggara.
"Perbuatannya terungkap ketika ibu korban curiga dengan kondisi
perut anaknya yang semakin buncit," kata Rahmad di Mapolres Aceh
Tenggara, Provinsi Aceh, Kamis (17/1/2019). Dia mengatakan, saat ditanya
ibunya korban akhirnya mengaku pernah dipaksa berhubungan badan
dengan ayahnya. Dia diperkosa sebanyak 2 kali pada Juli 2018 lalu.
Mendapat pengakuan tersebut, ibu korban melaporkan ke polisi. Dari hasil
penyelidikan, tersangka S yang bekerja sebagai petani ini, menyetubuhi
anaknya di rumah nenek korban saat kondisi sedang sepi. Dia dipaksa
melayani nafsu sang ayah dengan ancaman kekerasan fisik."Perbuatan ini
terulang ketika korban mandi di sungai. S juga menyetubuhinya di kebun
pinggir sungai," ujar dia.
Pelaku akhirnya ditahan di Mapolres Aceh Tenggara. Pelaku
terancam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
dengan ancaman 15 tahun penjara. Selain itu anak yang merupakan korban
dirawat dengan ibu kandungnya dan dijauhkan dengan ayah kandungnya
untuk mengantisipasi adanya trauma yang terjadi pada korban, selain itu dan
mendapatkan rehabilitasi untuk menghilangkan trauma dari professional.
2.7.3 Contoh Kasus Pemerkosaan
Dilansir dari Liputan 6 : tersangka berinisial I (20) yang melakukan
pemerkosaan pada korban berinisial MI (19) yang merupakan anak
berkebutuhan khusus (ABK). Kejadian tersebut terjadi di toilet masjid,
Kecamatan Tajur Halang, Kabupaten Bogor. Kejadian tersebut terjadi pada
11 September 2022, sekitar pukul 21.00 WIB di toilet masjid di Kecamatan
Tajur Halang. Kanit PPA Polres Metro Depok, Iptu Indro menjelaskan pada
saat kejadian sekitar pukul 16.30 WIB, korban pamit keluar kepada
keluarganya. Korban bersama saksi berinisial Z menuju rumah kakaknya Z.
Sesampainya di sana, korban mendapatkan chat dari tersangka yang
berprofesi pengamen ondel-ondel untuk mengajak ketemuan. “Korban
diajak ketemuan oleh tersangka di Lapangan Siaga dengan alasan
diberikan kado,” jelas Indro. Menerima pesan tersebut korban bersama saksi
Z mendatangi lokasi tempat pertemuan. Sesampai di lokasi korban bertemu
dengan tersangka dan duduk sambil ngobrol di teras toko karena kondisi
hujan.“Setelah hujan reda sekitar pukul 21.00 WIB korban diajak tersangka
ke rumahnya dengan alasan untuk diberikan kado,” ucap Indro.
Tersangka sempat melarang saksi Z untuk ikut dengan tersangka dan
korban. Tersangka bersama korban pergi menggunakan sepeda motor
tersangka, sesampainya di sebuah masjid kawasan Tajur halang, tersangka
memberhentikan motornya. “Tersangka langsung menarik korban ke dalam
toilet masjid tersebut,” terang Indro. Indro mengungkapkan, di dalam toilet
tersebut tersangka memperkosa korban yang sudah tidak berdaya. Setelah
memuaskan nafsunya, tersangka langsung mengantarkan korban untuk
pulang ke rumah.“Setelah diperkosa korban diantar pulang, itu sekitar
pukul 23.30 WIB,” ungkap Indro.
Unit PPA Polres Metro Depok berhasil mengamankan tersangka
dengan barang bukti berupa pakaian korban. Atas perbuatannya tersangka
dijerat dengan Pasal 285 dan 286 KUHP tentang pemerkosaan dengan
hukuman penjara lebih dari 5 tahun.
DAFTAR PUSTAKA

Afifah, W., & Sari, N. L. (2021, December). Pemberatan pidana bagi pelaku pemerkosaan
hubungan sedarah (incest). In Prosiding Seminar Nasional & Call for Paper" Peran
Perempuan Sebagai Pahlawan di Era Pandemi" PSGESI LPPM UWP (Vol. 8, No. 1, pp.
328-340).
Amanda, A., & Krisnani, H. (2019). Analisis kasus anak perempuan korban pemerkosaan
inses. Focus: Jurnal Pekerjaan Sosial, 2(1), 120-136.
Efendi, S. (2019). Penanggulangan kejahatan pedophilia ditinjau menurut hukum positif dan
fikih jinayah.
Handayani, M. (2017). Pencegahan kasus kekerasan seksual pada anak melalui komunikasi
antarpribadi orang tua dan anak. Jurnal Ilmiah Visi, 12(1), 67-80.
Margaretta, S. S., & Kristyaningsih, P. (2021, August). Effektifitas Edukasi Seksual Terhadap
Pengetahuan Seksualitas Dan Cara Pencegahan Kekerasan Seksual Pada Anak Usia
Sekolah. In Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2020.
Multiwijaya, V. R. (2019). Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana
Pedofilia. Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum, 1(2).
Noviana, I. (2015). Kekerasan seksual terhadap anak: dampak dan penanganannya. Sosio
Informa: Kajian Permasalahan Sosial Dan Usaha Kesejahteraan Sosial, 1(1).
Paradiaz, R., & Soponyono, E. (2022). Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelecehan
Seksual. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 4(1), 61-72.
Prihanto, D. A. (2023, januari 11). Polisi Tangkap Pengamen yang Perkosa Anak Berkebutuhan
Khusus. Retrieved from Liputan6.com:
https://www.liputan6.com/news/read/5177593/polisi-tangkap-pengamen-yang-perkosa-
anak-berkebutuhan-khusus

Sari, M. A. (2015). Pelecehan seksual terhadap anak (pedhophilia) menurut hukum positif dan
hukum Islam. Skripsi. Fakultas Ilmu Syariah dan Hukum Institut Agama Islam Negeri
(IAIN), Tulungangung.
Sumera, M. (2013). Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan. Lex et
Societatis, 1(2).
Setiawan, I. (2018). Tindak Pidana Perkosaan Dalam Tinjauan Hukum Pidana Indonesia. Jurnal
Ilmiah Galuh Justisi, 6(2), 227-239.
Zahirah, U., Nurwati, N., & Krisnani, H. (2019). Dampak dan penanganan kekerasan seksual
anak di keluarga. Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 6(1), 10.

Anda mungkin juga menyukai