Disusun Oleh :
Ketua : Ni Nyoman Sri Purwaningsih (2102612010563)
Anggota : I Kadek Romi Gunawan (2102612010564)
Anggota : Komang Anggara Putra (2102612010551)
Anggota : I Wayan Verry Arimbawa (2102612010568)
i
DAFTAR ISI
Pendahuluan……………………………………………………… 1
Tujuan……………………………………………………………. 2
Manfaat…………………………………………………………… 3
Gagasan…………………………………………………………... 4
Kesimpulan………………………………………………………. 5
Daftar Pustaka……………………………………………………. 6
ii
1. PENDAHULUAN
B. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Mengulas gambaran dari kekeran seksual
2. Mengulas dampak kekerasan seksual bagi korban dan pelakunya.
3. Mengulas persepsi masyarakat terhadap tindakan kekerasan seksual
4. Menganalisis tindakan kekerasan seksual dan mencari solusi optimal untuk
memberantas kekerasan seksual
C. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat penulisan ini sebagai berikut:
1. Memberikan informasi bahwa tindakan kekerasan seksual sekecil apapun mampu
menimbulkan dampak negatif bagi korban maupun pelakunya.
iii
2. Memberikan informasi bahwa kekerasan seksual tidak pantas dilakukan di
institusi pendidikan maupun di lingkungan masyarakat.
2. GAGASAN
A. Hakikat Pendidikan
Namun tidak seperti tujuan yang tercantum, pendidikan di Indonesia kini tidak lagi
menghasilkan cerminan sumber daya manusia yang berbudi pekerti luhur. Hal ini
ditandai dengan semakin maraknya irasionalitas dalam bentuk kekerasan dalam
pendidikan yang menunjukan kelemahan sistem pendidikan kita. Mengingat bahwa
pendidikan adalah ilmu normatif, maka fungsi institusi pendidikan adalah
menumbuhkan etika dan moral subjek didik ke tingkat yang lebih baik dengan cara
atau proses yang baik pula serta dalam konteks positif. Adanya beberapa bentuk
kekerasan dalam pendidikan yang masih merajalela merupakan indikator bahwa
kegiatan pendidikan kita masih jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.
B. Kekerasan Seksual
iv
secara tersembunyi, seperti mengancam dan mengintimidasi. Sedangkan kekerasan
agresif adalah kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain dengan tujuan
mendapatkan sesuatu, seperti perampokan, pemerkosaan, dan lain-lain.
a) Faktor kelalaian orang tua. Kelalaian orang tua yang tidak memperhatikan tumbuh
kembang dan pergaulan anaka yang membuat subek mejadi korban kekerasan seksual.
b) Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku. Maralitas dan mentalitas yang
tidak dapat bertumbuh dengan baik, membuat pelaku tidak dapat mengontrol nafsu
atau perilakunya.
c) Faktor ekonomi. Faktor ekonomi membuat pelaku dengan mudah memuluskan
rencananya dengan memberikan iming-iming kepada koran yang menjadi target
dari pelaku.
Adapun faktor-faktor lainnya penyebab kekerasan seksual adalah, sebagai berikut:
1. Ancaman hukuman yang relatif ringan dan sistem penegakan hukum lemah,
memerlukan pengorbanan biaya dan pengorbanan mental yang sangat tinggi
cenderung membuat korban menghindari proses hukum. Proses hukum yang rumit
dan berbelit-belit, penanganan yang kerap tidak manusiawi, dan ancaman
hukuman minimal 3 tahun maksimal 15 tahun membuat kasus-kasus kekerasan
seksual tenggelam selama bertahun-tahun dan membiarkan para korbannya
tumbuh tanpa intervensi psikologis yang tepat
2. Nutrisi fisik hormon yang terkandung dalam makanan masa kini semakin
membuat individu anak matang sebelum waktunya, yang sudah matang menjadi
lebih tinggi dorongan seksualnya. Nutrisi psikologis: tayangan kekerasan, seks
dan pornografi melalui berbagai media telah mencuci otak 23 masyarakat
Indonesia dengan karakter iri, dengki, kekerasan, dan pornoaksi. Termasuk di
v
dalamnya lagu-lagu yang semakin tidak kreatif, isi dan tampilannya hanya seputar
paha dan dada telah semakin merusak mental masyarakatIndonesia
3. Perkembangan IT (internet) dan kemudian perangkat gadget yang memungkinkan
transfer dan transmisi materi porno secara cepat dan langsung ke telapak tangan.
4. Fungsi otak manusia yang khas (neurotransmitter) kapasitas luhur manusia telah
membuat individu menjadi kecanduan seks, terutama pada individu dibawah 25
tahun dalam masa perkembangan mereka.
5. Lemahnya sistem keamanan dan keselamatan yang tidak benar-benar melindungi
anak dan perempuan bersamaan dengan memudarnya pendidikan nilai-nilai
pekerti dan karakter anak Indonesia. Pendidikan hanya menjadi hafalan teoritis
semata,termasuk pendidikan agama, norma hukum dan norma sosial.
6. Gaya hidup dan kesulitan ekonomi yang menuntut kesibukan orang tua yang luar
biasa, antara lain: double incomemen dorong ayah ibu banyak di luar rumah, anak
kehilangan kesempatan belajar cara melindungi diri. Situasi ini semakin dipersulit
dengan semakin robohnya pilar keluarga dengan Angka Kematian Ibu yang masih
tinggi. Perempuan terpaksa keluar rumah untuk bekerja menjadi Tenaga Kerja
Wanita (TKW) atau merantau ke kota besar meninggalkan anak-anak. Sementara
figur ayah justru sebagai model kekerasan atau ketidak pedulian terhadap proses
24 tumbuh kembang anak, maka rumah yang diharapkan sebagai wadah
pembentukan karakter dan kepribadian anak menjadi kehilangan fungsi dasarnya.
Anak-anak tumbuh dan berkembang sendiri atau oleh media yang justru semakin
menggerus nilai-nilai pekertinya dan kehilangan kesempatan untuk menguasai
berbagai keterampilan asertif untuk melindungi diri,bahkan mereka mencari kasih
sayang dan uang dari orang lain yang justru menjadi monster yang merenggut
masa depan mereka.
7. Persepsi masyarakat tentang pendidikan kesehatan reproduksi dan upaya
perlindungan diri cenderung ditolak, diterjemahkan sederhana sebagai pendidikan
seks dan bahkan diabaikan yang pada akhirnya justru menghambat proses
persiapan perlindungan anak. Batas usia awal untuk mulai memberikan
pendidikan ini kepada anak juga menjadi kontroversi..
8. Sistem sosial masyarakat yang masih banyak mengandung kekerasan gender atau
tokoh otoritas kerap menjadi penyebab makin suburnya praktek kekerasan seksual
karena figur laki laki atau tokoh otoritas pelaku kejahatan seksual dianggap tidak
bersalah dan lebih menyalahkan perempuan atau korban sebagai penyebab.
Banyak kasus kekerasan seksual oleh tokoh laki-laki dan otoritas(kaya atau
berkedudukan) justru dimaklumi oleh masyarakat dan bahkan balik menyerang
atau menyalahkan korban.
9. Fakta bahwa kekerasan dan kekerasan seksual telah terjadi dimana saja, rumah,
sekolah, klub olah raga, pengajian, sekolah minggu dan lain lain. 25 Praktek
membela diri dan mengalihkan isu kekerasan seksual kepada hal lain justru
semakin menyuburkan kekerasan seksual.
10. Persepsi sosial yang berkembang di masyarakat membuat korban tidak berani
melapor, predator lepas.Sudah melapor pun tidak ditangani dengan baik bahkan
ada yang mengalamikekerasan baru, baik fisik, verbal maupun kekerasan seksual
vi
tambahan. Fakta bahwa pelaku kekerasan seksual tidak hanya pedofil laki-laki,
tetapi juga ada pedofil perempuan, ada yang bukan pedofil, bahkan sudah mulai
ada pelaku anak dan remaja sebagai akibat dari pembiaran selama ini.
Kekerasan seksual memang identik terjadi pada anak perempuan, namun tidak jarang
ditemukan kekerasan seksual juga yang menimpa anak laki-laki. Kekerasan seksual
dialami anak laki-laki di lingkungan pendidikan meliputi perkosaan, pencabulan,
sodomi, paedofilia, pelecehan seksual ataupun bullying dan penyerangan fisik yang
disertai pelecehan atau penyerangan secara seksual.
Dampak kekerasan seksual sangat berpengaruh terhadap perkembangan psikis anak.
Walaupun tiap anak berbeda beda kasusnya namun tidak sedikit dari korban
kekerasan seksual yang mengalami trauma batin usai tragedi memilukan.
Adapun dampak umum yang terjadi pada korban kekerasan seksual sebagai berikut:
Merasa selalu tidak aman.
Menyalahkan atau mengisolasi diri sendiri.
Menjadi pribadi yang tertutup dan tidak percaya diri.
Timbul perasaan bersalah, stres, bahkan depresi.
Timbul ketakutan atau fobia tertentu.
Di kemudian hari, anak bisa menjadi lebih agresif, berpotensi melakukan
tindan kriminal bahkan menjadi calon pelaku kekerasan.
Terjangkit penyakit menular seksual.
Disfungsi seksual.
Tidak bersosialisasi dengan lingkungan luar.
Mudah merasa takut dan cemas berlebihan.
Prestasi akademik menjadi rendah.
Selain berdampak pada korban,kekerasan seksual juga berdampak pada pelaku yang
dimana lingkungan yang sama turut mempengaruhi terjadinya kekerasan seksual
ataupun pelecehan seksual, ini terjadi karena pelaku merasa tertarik dengan korban
vii
dari aktifitas dan intensitas bertemu yang terjadi secara berulang yang pada gilirannya
memunculkan rasa ketertarikan namun tidak berani menyampaikan ataupun terhalang
oleh situasi di mana korban semisal lebih muda/lebih tua, sudah punya pacar, tidak
selevel dan sebagainya, keterhalangan dari berbagi aspek memunculkan keinginan
yang lebih besar untuk melakukan sesuatu yang pada gilirannya terjadilah yang
namanya kekerasan seksual atau pelecehan seksual.
F. Upaya Menanggulangi Kekerasan Seksual
Memberantas krisis moral seperti kekerasan seksual dalam institusi pendidikan jelas
bukanlah perkara mudah. Namun bila tindakan asusila ini dibiarkan terus terjadi dan
mengakar sehingga meningkatkan irasionalitas, terutama di lingkungan pendidikan,
maka akan terjadi pergeseran nilai-nilai dari yang seharusnya dalam mendidik pelajar.
Padahal, kekerasan seksual berdampak sangat merugikan bagi kehidupan sosial,
perkembangan psikis anak, norma, dan masa depan bangsa. Oleh karena itu upaya-
upaya tindakan anti kekerasan seksual memerlukan dukungan dari seluruh komponen
masyarakat mulai dari keluarga, sekolah atau kampus dan lingkungan sekitar.Adapula
cara untuk menganggulangi kekerasan seksual di kampus sebagai berikut:
Menuntut ilmu tentu idealnya mampu menanamkan nilai nilai karakter yang
mengarah kepada pembentukan kepribadian yang jauh dari kata kekerasan
seksual, namun tidak dipungkiri bahwa kasus kasus kekerasan seksual justru
terjadi di lingkungan kampus bahkan pelakunya ada yang sebagian tenagga
pengajar/tenaga kependidikan/ dosen dan karyawan kampus.
Regulasi regulasi yang dapat di terapkan dalam pencegahan kekerasan seksual
adalah sebagai berikut:
1. Pihak kampus harus menciptakan peraturan/regulasi mengenai penanganan
kasus pelecehan seksual serta memberikan sanksi tegas bagi pelaku pelecehan
seksual.
2. Pihak kampus harus membentuk tim investigasi yang bersifat independen serta
imparsial untuk menyelidiki kasus pelecehan seksual dalam kampus, dimana
investigasi akan melibatkan seluruh elemen dalam kampus.
3. Pihak kampus harus menyediakan bimbingan konseling untuk korban yang
melapor kepada kampus.
4. Pihak kampus harus menyediakan jasa psikolog/psikiater untuk menjaga
kesehatan mental dan fisik dan korban serta menjaga keamanan dari korban jika
korban pelecehan tersebut terancam dari pihak manapun
3. KESIMPULAN
Kekerasan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual
yang dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya. Bentuknya
dapat berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat dan tindakan yang berkonotasi seksual.
Sementara itu Collier dalam buku "Pelecehan Seksual. Hubungan Dominasi
Mayoritas dan Minoritas" (1998), mendefinisikan pengertian pelecehan seksual
viii
sebagai segala bentuk perilaku bersifat seksual yang tidak diinginkan oleh yang
mendapat perlakuan tersebut. Ia menekankan bahwa pelecehan seksual itu dapat
terjadi atau dialami oleh semua orang baik perempuan maupun laki-laki. Kasus
pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja, bahkan termasuk tempat umum seperti
bus, pasar, sekolah, kantor, dan tempat-tempat pribadi seperti di rumah sendiri oleh
tamu yang tidak diinginkan.Adapula bentuk bentuk kekerasan seksual seperti:
Lelucon seks, Memegang atau menyentuh dengan tujuan seksual, Menempelkan
anggota tubuh secara sengaja, Godaan verbal (mengajak melakukan seks secara
terang-terangan).
Adanya Tindakan kekerasan seksual sangat berdampak pada norma-norma yang telah
berlaku dinegara kita.Maka dapat disimpulkan bahwa kekerasan seksual perlu
ditindak lanjuti karena dapat mengancam mental maupun kelangsungan hidup korban
yg mengalami.
Maka dari itu perlu diadakan upaya-upaya untuk mengatasi Pendidikan anti-kekerasan
seksual yang dimana sangat memerlukan peran orang tua,sekolah/kampus dan
pemerintah.
ix
DAFTAR PUSTAKA
http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1352/2/BAB%20I.pdf
https://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/19374