Anda di halaman 1dari 9

PERPAJAKAN

Nama Kelompok:
1. I Komang Anggara Putra (05)
2. Ni Nyoman Sri Purwaningsih (16)
3. I Kadek Romi Gunawan (17)
4. I Gede Verry Arimbawa (21)
A. PENGERTIAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) Pasal 26
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas
penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
(WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Sementara itu, Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang
digunakan oleh subjek pajak luar negeri (pribadi maupun badan) yang melakukan
kegiatan usaha di Indonesia.
PPh pasal 26 adalah Pajak Penghasilan (PPh) yang didasarkan pada Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang “Perubahan Keempat atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan”.

B. PEMOTONG PPH PASAL 26


Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun
1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun
2008 (Undang-undang Pajak Penghasilan 1984), pemotong Pajak Penghasilan (PPh)
Pasal 26 ayat (1) adalah:
 Badan Pemerintah
Tidak ada penjelasan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tentang arti
Badan Pemerintah ini. Namun demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa
yang dimaksud dengan Badan Pemerintah adalah Pemerintah negara Republik
Indonesia dan Pemerintah Daerah diIndonesia beserta instansi-instansi di
bawahnya.
 Subjek Pajak Badan dalm negeri
Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984,
subjek pajak badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia. Istilah didirikan mengandung arti bahwa badan
tersebut didirikan berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia. Sementara itu
istilah bertempat kedudukan menunjukkan bahwa badan tersebut memiliki
efektif manajemen di Indonesia dimana pengambilan keputusan-keputusan
penting tentang badan tersebut dilakukan di Indonesia. Pengertian badan
sendiri berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak
Penghasilan 1984 adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha
yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
badan usaha milik negara atau badanusaha milik daerah dengan nama dan
dalam bentuk apa pun, firma,kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulam, yayasan,organisasi massa, organisasi sosial politik, atau
organisasi lainnya,lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak
investasi kolektifdan bentuk usaha tetap.
 Penyelenggara kegiatan
Penyelenggara kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan
yang melakukan suatu event atau kegiatan. Contoh penyelenggara kegiatan
adalah orang pribadi atau badan yang mengorganisir suatu acara seperti
pertunjukan, perlombaan, seminar dan lain-lain.
 Bentuk Usaha Tetap (BUT)
BUT adalah bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di
Indonesia sehingga menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber
dari Indonesia. Walaupun termasuk Wajib Pajak luar negeri, pemenuhan hak
dan kewajiban BUT disamakan dengan pemenuhan hak dan kewajiban Wajib
Pajak dalam negeri. Pengertian BUT bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (5)
Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu bentuk usaha yang dipergunakan
oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi
yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183(seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat diIndonesiauntuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang
perusahaan,kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel dan lain-lain.
 Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya
Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia
juga merupakan pemotong PPh Pasal 26. Contohnya adalah Representative
office (RO) dari perusahaan-perusahaan asing.

C. WAJIB PAJAK PPH 26


Wajib pajak pph pasal 26 (1)
Pasal 26 UU PPh mengatur tentang Pemotongan atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh oleh WP Luar Negeri, selain Bentuk Usaha Tetap (BUT),
yang bersumber dari Indonesia. Pemotongan PPh Pasal 26 dilakukan oleh Pemotong
Pajak atas penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh
tempo pembayarannya.
Adapun pihak yang dipotong PPh Pasal 26 adalah Wajib Pajak Luar Negeri
(Badan dan Pribadi) selain BUT di Indonesia. Sedangkan pemotong PPh Pasal 26
meliputi Badan Pemerintah, Subjek Pajak Dalam Negeri (Badan Dalam Negeri
maupun Orang Pribadi Dalam Negeri), Penyelenggara Kegiatan, Bentuk Usaha Tetap
dan Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya.
Wajib pajak pph pasal 26 (2)
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas
penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
(WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya
dipersamakan dengan subjek pajak badan.
Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah
Negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang
sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut
D. SUBJEK DAN TARIF PPH PASAL 26
 SUBJEK PAJAK PPH PASAL 26
Subjek pajak PPh Pasal 26 ini adalah wajib pajak luar negeri selain BUT.
Pengertian Wajib Pajak luar negeri bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b
Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Pada ketentuan ini Subjek Pajak (juga
Wajib Pajak) luar negeri selain BUT adalah orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan
yang tidak didirikandan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.Jadi, WP luar negeri
seperti ini mendapat penghasilan dari Indonesia tanpa perlu melakukan kegiatan usaha
di Indonesia melalui BUT. Misalnya warga negara Singapura yang memiliki saham
PT Indosat yang menerima penghasilan berupa deviden dari PT Indosat.

 TARIF PAJAK PPH PASAL 26


Berdasarkan Undang-undang PPh Pasal 26 disebutkan bahwa Tarif dan Objek PPh
Pasal 26 adalah sebagai berikut:

1. 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima ataudiperoleh


Wajib Pajak Luar Negeri berupa :
a. Deviden
b. Bunga, premium, diskonto, premi swap, dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang
c. Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta
d. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
e. Hadiah dan penghargaan.
f. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya
2. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa:
a. Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia
b. Premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung
3. 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak
darisuatu BUT di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan
kembali di Indonesia.
4. Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)antara
Indonesia dengan negara pihak pada persetujuan

E. PERHITUNGAN PPH PASAL 26


1. PT Abadi Berkarya memiliki perwakilan di luar negeri dan mengasuransikan
bangunan bertingkat ke PT Maju Makmur yang merupakan perusahaan asuransi di
luar negeri dengan membayar jumlah premi pada tahun 2015 sebesar Rp2 miliar.
Hitunglah PPh Pasal 26 dari PT Abadi Berkarya tahun 2015?
Jawaban:

Penghitungan PPh Pasal 26 adalah sebagai berikut:


Perkiraan penghasilan neto =50% x Rp2.000.000.000 = Rp1.000.000.000
PPh Pasal 26 =20% x Rp1.000.000.000 = Rp200.000.000

Sementara, apabila PT Abadi Berkarya mengikuti asuransi melalui perusahaan


yang ada di Indonesia, misal PT Asuransi Raya, dengan membayar jumlah premi
yang sama sebesar Rp2 miliar. PT Asuransi Raya mengikutkan (reasuransi)
perusahaan tersebut ke perusahaan asuransi yang berada di luar negeri, misalnya
PT Maju Makmur, dengan membayar premi sebesar Rp1miliar. Maka ketentuan
PPh Pasal 26 adalah sebagai berikut:

Perkiraan penghasilan neto =10% x Rp1.000.000.000 = Rp100.000.000


PPh Pasal 26 PT Abadi Berkarya =20% x Rp100.000.000 =Rp20.000.000

F. YANG TIDAK TERMASUK JASA KENA PAJAK (JKP)


Jasa yang tidak dikenakan PPN ini memiliki pertimbangan berdasarkan ekonomi,
sosial dan budaya. Sebab beberapa jasa pemanfaatannya dapat menyangkut hidup
orang banyak. Berdasarkan undang-undang, jasa yang tidak dikenakan pajak adalah
sebagai berikut:
1. Jasa pelayanan kesehatan medis
2. Jasa pelayanan sosial
3. Jasa pengiriman surat dengan perangko
4. Jasa asuransi
5. Jasa keuangan
6. Jasa keagamaan
7. Jasa pendidikan
8. Jasa kesenian dan hiburan
9. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan
10. Jasa Katering

G. KEWAJIBAN PENGUSAHA KENA PAJAK (PKP)


Menurut Pasal 3A ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN),
disebutkan enam hal yang wajib oleh dilakukan oleh PKP, yaitu:
 Melaporkan usahanya untuk dikukuhan sebagai PKP;
 Memungut PPN yang terutang;
 Menerbitkan faktur pajak;
 Membuat pencatatan atau pembukuan atas kegiatan usahanya;
 Menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal pajak keluaran lebih besar
daripada pajak masukan yang dapat dikreditkan serta menyetor pajak penjualan
atas barang mewah (PPnBM) yang terutang; dan
 Melaporkan penghitungan pajak melalui surat pemberitahuan (SPT) pajak, yaitu
SPT Masa PPN.
H. PEMBUATAN FAKTUR PAJAK
Dalam pembuatan Faktur Pajak secara umum mencantumkan data berikut ini:
1. NPWP, alamat, nama PKP yang menyerahkan BKP/JKP.
2. NPWP, alamat, nama PKP yang membeli BKP/JKP.
3. Memasukkan informasi barang atau jasa, dengan jumlah harga jual atau
penggantian dan pemotongan harga.
4. Jumlah PPN yang dipungut.
5. Jumlah PPnBM yang dipungut

I. SYARAT PAJAK MASUKAN YANG DAPAT MAUPUN YANG TIDAK


DAPAT DI KREDITKAN

 Syarat Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan


Beberapa syarat berikut ini harus dipenuhi dan berlaku untuk seluruh
bidang usaha agar pajak masukan suatu masa pajak dapat dikreditkan. Syarat
pajak masukan dapat dikreditkan antara lain:
1. Tercantum dalam faktur pajak lengkap atau dokumen tertentu yang
diperlakukan sama dengan faktur pajak.
2. Berhubungan langsung dengan kegiatan usaha
 Syarat Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan
Berikut adalah jenis Faktur Pajak yang dibuat dari PPN atau Pajak Masukan
yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 ayat (8)
UU PPN 42/2009, di antaranya:
1. Perolehan BKP/JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP
Sebagaimana tertuang dalam dalam UU PPN ini, maka penjualan BKP
maupun JKP berlangsung ketika perusahaan belum resmi dikukuhkan
sebagai PKP jelas tidak dapat mengkreditkan Faktur Pajak.
2. Perolehan BKP/JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung
dengan kegiatan usaha
Penyebab Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan berikutnya adalah karena
perolehan BKP maupun JKP tidak punya kaitan langsung dengan kegiatan
usaha.Jenis pengeluaran yang berkaitan dengan kegiatan usaha tersebut
meliputi pengeluaran terkait kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, serta
manajemen.Selain meliputi kegiatan-kegiatan tersebut, pengeluaran wajib
berkaitan dengan penyerahan PPN yang terutang.
3. Perolahan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan
station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan
Perolehan serta pemeliharaan kendaraan bermotor jenis sedan dan station
wagon ini Pajak Masukannya juga tidak dapat dikreditkan.Ketentuan ini
tidak berlaku apabila sedan maupun wagon tersebut merupakan barang
dagangan atau untuk disewakan pada pihak lain.
4. Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar
Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP
Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah
Pabean sebelum pengukuhan resmi sebagai PKP juga tidak dapat
mengkreditkan Pajak Masukan.Penjelasan perihal poin ini kurang lebih
serupa dengan poin pertama. Bedanya hanya pada objek yang dikenakan,
yakni BKP tidak berwujud dan JKP yang berasal dari luar daerah pabean.
5. Perolehan BKP/JKP yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi
ketentuan seperti mencantumkan keterangan tentang penyerahan
BKP/JKP atau tidak mencantumkan identitas seperti nama, alamat,
dan NPWP pembeli BKP/JKP
J. TARIF DAN SAAT TERUTANG PPN DAN PPNBM
 Tarif PPN dan PPnBM
1. Tarif PPN adalah 10% (sepuluh persen).
2. Tarif PPN sebesar 0% (sepuluh persen) diterapkan atas:
 ekspor Barang Kena Pajak (BKP) Berwujud;
 ekspor BKP Tidak Berwujud; dan
 ekspor Jasa Kena Pajak.
3. Tarif PPnBM adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200%
(dua ratus persen).
4. Tarif PPnBM atas ekspor BKP yang tergolong mewah adalah 0% (nol persen)
 Saat dan Tempat Terutang PPN dan PPNBM sesuai (Pasal 17 PP No. 1
Tahun 2012)
1. Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah terjadi pada saat:
 impor Barang Kena Pajak;
 penyerahan Jasa Kena Pajak;
 pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean;
 pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;
 ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
 ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atau
 ekspor Jasa Kena Pajak
2. Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak
atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran
dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah adalah pada saat pembayaran
3. Impor Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut dimasukkan ke dalam Daerah
Pabean.
4. Penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
terjadi pada saat:
 harga atas penyerahan Jasa Kena Pajak diakui sebagai piutang atau
penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh
Pengusaha Kena Pajak, sesuai dengan prinsip akuntansi yang
berlaku umum dan diterapkan secara konsisten;
 kontrak atau perjanjian ditandatangani, dalam hal saat sebagaimana
dimaksud pada huruf a tidak diketahui; atau
 mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara
nyata, baik sebagian atau seluruhnya, dalam hal pemberian cuma-
cuma atau pemakaian sendiri Jasa Kena Pajak.
5. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean terjadi pada tanggal ditandatanganinya
kontrak atau perjanjian, dalam hal saat terjadinya Pemanfaatan Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak diketahui.

K. PIHAK YANG DAPAT MEMBAYAR ATAU MENYETORKAN DAN


MELAPOR PPN DACN PPNBM

Yang Wajib Membayar/Menyetor Dan Melapor PPN/PPnBM yaitu:


1. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
2. Pemungut PPN/PPnBM, adalah:
 Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara
 Bendahara Pemerintah Pusat dan Daerah
 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
 Yang Wajib Disetor
1. Oleh PKP adalah:
a. PPN yang dihitung sendiri melalui pengkreditan Pajak Masukan dan Pajak
Keluaran. Yang disetor adalah selisih Pajak Masukan dan Pajak Keluaran,
bila Pajak Masukan lebih kecil dari Pajak Keluaran.
b. PPnBM yang dipungut oleh PKP Pabrikan Barang Kena Pajak (BKP) yang
tergolong mewah.
c. PPN/ PPnBM yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Tagihan Pajak (STP).
2. Oleh Pemungut PPN/PPnBM adalah PPN/PPnBM yang dipungut oleh Pemungut
PPN/ PPnBM.
 Tempat Pembayaran/Penyetoran Pajak
1. Kantor Pos dan Giro
2. Bank Persepsi
 Saat Pembayaran/Penyetoran PPN/PPnBM
1. PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetor paling lama akhir
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan.
2. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP harus
dibayar/disetor sesuai batas waktu yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan
STP tersebut.
3. PPN/PPnBM atas Impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea
Masuk, dan apabila pembayaran Bea Masuk ditunda/ dibebaskan, harus dilunasi
pada saat penyelesaian dokumen Impor.
4. PPN/PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh:
a. Bendahara Pemerintah, harus disetor paling lama tanggal 7 (tujuh) bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang memungut PPN / PPnBM atas Impor,
harus disetor dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja setelah dilakukan
pemungutan PPN pajak.
5. PPN dari penyerahan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistik (BULOG), harus
dilunasi sendiri oleh PKP sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (D.O)
ditebus.
 Saat Pelaporan PPN/PPnBM
1. PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT
Masa dan disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lama akhir
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
2. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP yang telah
dilunasi segera dilaporkan ke KPP yang menerbitkan.
3. PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan:
a. Bendahara Pemerintah harus dilaporkan paling lama akhir bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas Impor, harus dilaporkan paling lama
akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
4. Untuk penyerahan tepung terigu oleh BULOG, maka PPN dan PPnBM dihitung
sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan kepada
KPP setempat paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
 Sarana Pembayaran/Penyetoran Pajak
1. Untuk membayar/menyetor PPN dan PPnBM digunakan formulir Surat Setoran
Pajak (SSP) yang tersedia di Kantor-kantor Pelayanan Pajak dan Kantor-kantor
Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) di seluruh Indonesia.
2. Surat Setoran Pajak (SSP) menjadi lengkap dan sah bila jumlah PPN/ PPn BM
yang disetorkan telah sesuai dengan yang tercantum di dalam Daftar Nominatif
Wajib Pajak (DNWP) yang dibuat oleh: Bank penerima pembayaran, Kantor Pos
dan Giro, atau Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai penerima setoran.

Anda mungkin juga menyukai