Anda di halaman 1dari 17

KOLABORASI UU PPh

TAHUN 1983-2008
SALSABINA HENI UMAIRA
A1C021261
DEFINISI PAJAK
Undang-undang no 28 tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (KUP), pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang.
Dengan tidak mendapat imbalan secara lansung dan digunakan untuk keperluan
negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

PAJAK PENGHASILAN (PPh


Pasal 1)
Adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam suatu tahun pajak.
Dasar Hukum Pajak
-Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 28 Tahun 2007.
-Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.
-Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 541/KMK.04/2000 sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 184/PMK.03/2007
tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat
Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara
Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak.
-Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-254/PMK.03/2008 tentang Penetapan Bagian Penghasilan
Sehubungan Dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya
yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan.
-Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan,
Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21/26.
Subjek Pajak (Pasal 2 ayat 1)

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (“UU Pajak Penghasilan”),
menetapkan Subjek Pajak sebagai berikut:
1. Orang pribadi atau warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak;
2. Badan usaha yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia;
3. Bentuk Usaha Tetap (BUT). Bentuk usaha tetap merupakan Subjek Pajak yang perlakuan
perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan (bentuk usaha tetap adalah bentuk
usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia tidak
lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia).
Subjek Pajak Dalam Negeri

Pasal 2 ayat (3) UU Pajak Penghasilan menetapkan Subyek Pajak Dalam Negeri sebagai berikut:
1. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, (i) orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau (ii) orang pribadi yang
dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;

2. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah
yang memenuhi kriteria: badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu
dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
a. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah;
c. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
d. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional Negara; tetap di Indonesia, tidak dianggap
sebagai subyek pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang
pribadi dimaksud melekat pada objeknya (penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf c UU Pajak Penghasilan).
SUBJEK PAJAK LUAR NEGERI

Pasal 2 ayat (4) UU Pajak Penghasilan menetapkan Subyek Pajak Luar Negeri sebagai berikut: (i)
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan
(ii) badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia:
1. Yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
dan
2. Yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Menurut Pasal 2 ayat (5) UU Pajak Penghasilan, bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha
yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi
yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
BENTUK USAHA TETAP (PASAL 2 AYAT 5)

Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (5) UU PPh, disebutkan bahwa suatu BUT mengandung pengertian :
> adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung
termasuk juga mesin-mesin dan peralatan.
tempat usaha tersebut bersifat permanen; dan
> digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Bentuk Usaha Tetap dapat berupa :
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yangdigunakan untuk eksplorasi
pertambangan;
h. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
TIDAK TERMASUK SUBJEK PAJAK (PASAL 3)
yang tidak termasuk subjek pajak adalah: (pasal 3 UU Nomor 36 Tahun 2008):
1. Kantor perwakilan Negara asing
2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari Negara
asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat
tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan Negara Indonesia dan di Indonesia tidak
menerima atau memperoleh penghasilan diluar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta Negara
bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik
3. organisasi-organisasi internasional dengan syarat Indonesia menjadi anggota organisasi
tersebut dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran
para anggota
4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional, dengan syarat bukan warga Negara
Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia
OBJEK PAJAK (PASAL 4
AYAT 1)
Pada prinsipnya Pasal 4 UU Pajak Penghasilan (PPh) mengatur bahwa atas semua
penghasilan merupakan objek Pajak Penghasilan kecuali ditetapkan lain oleh UU PPh
bukan sebagai objek pajak, karena:
1. UU Pajak Penghasilan (PPh) menganut pengertian penghasilan yang seluas-luasnya
dengan nama dan dalam bentuk apapun. Hal ini sejalan dengan prinsip substance
over form yang dianut UU PPh. Artinya, dalam penghitungan pajak hakikat ekonomis
yang sebenarnya lebih diutamakan dibandingkan nama atau istilah yang diberikan
atas penghasilan tersebut.
2. jenis penghasilan sangat banyak dan luas dan akan semakin berkembang sesuai
dengan kemajuan ekonomi sehingga tidak mungkin dapat memberikan jenis
penghasilan yang menjadi objek pajak secara spesifik dalam undang-undang.
Oleh karena itu, yang bisa dilakukan adalah memberikan batasan macam dan jenis
penghasilan yang bukan Objek Pajak (tidak terutang pajak) sehingga jenis penghasilan
yang tidak termasuk bukan objek pajak merupakan objek pajak dan terutang pajak.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU Pajak Penghasilan (PPh) disebutkan bahwa yang menjadi Objek
Pajak adalah Penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangutan dengan nama dan dalam
bentuk apapun, antara lain:
1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh,
termasuk : gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau
imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam UU PPh.
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
3. Laba usaha.
4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk:
1. keuntungan karena penglihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2. keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan
harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota;
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau
pengambilalihan usaha;
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
6. Bunga termasuk premi, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang
7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi
8. Royalti
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala
TARIF PAJAK

Tarif pajak merupakan dasar pengenaan pajak atas objek pajak yang menjadi tanggung
jawab wajib pajak. Biasanya tarif pajak berupa persentase yang sudah ditentukan oleh
pemerintah. Ada berbagai jenis tarif pajak dan setiap jenis pajak pun memiliki nilai tarif
pajak yang berbeda-beda. Dasar pengenaan pajak merupakan nilai dalam bentuk uang yang
dijadikan dasar untuk menghitung pajak terutang.

Tarif yang dikenakan pada PPh pasal 17 untuk wajib pajak pribadi dibagi atas beberapa
lapisan penghasilan. Perhitungan tarif pajak pada PPh pasal 17 Ayat 1(a) adalah sebagai
berikut:
TARIF PROGRESIF

Tarif pajak progresif merupakan tarif pungutan pajak yang mana persentase akan naik sebanding
dengan dasar pengenaan pajaknya. Di Indonesia itu sendiri, tarif pajak progresif ini diterapkan untuk
pajak penghasilan (PPh) wajib pajak orang pribadi, seperti:
• Lapisan penghasilan kena pajak (PKP) sampai Rp50 juta, tarif pajaknya 5%.
• Lapisan PKP lebih dari Rp50 – Rp250 juta, tarif pajaknya 15%.
• Lapisan PKP lebih dari Rp250 -Rp500 juta, tarif pajakya 25%.
• Lapisan PKP di atas Rp500 juta, tarif pajaknya 30%.

Sementara, tarif pajak yang dibebankan pada wajib pajak badan tertera dalam PPh pasal 17 Ayat 1(b),
yakni sebesar 28%. Namun, pada Ayat 2(a) disebutkan mulai tahun pajak 2010 tarif pajak penghasilan
bagi wajib pajak badan ditetapkan sebesar 25%.
TARIF DEGRESIF

Tarif degresif ini kebalikan dari tarif progresif. Artinya, tarif pajak ini merupakan tarif
pajak yang persentasenya akan lebih kecil dari jumlah yang dijadikan dasar pengenaan
pajak tinggi. Atau, persentase tarif pajak akan semakin rendah ketika dasar pengenaan
pajaknya semakin meningkat. Jadi, jika persentasenya semakin kecil, jumlah pajak terutang
tidak ikut mengecil. Melainkan bisa jadi lebih besar karena jumlah yang dijadikan dasar
pengenaan pajaknya semakin besar.
TARIF PROPORSIONAL

Tarif proporsional merupakan tarif yang persentasenya tetap meski


terjadi perubahan terhadap dasar pengenaan pajak. Jadi, seberapa
pun jumlah objek pajak, persentasenya akan tetap. Contohnya
adalah Pajak Pertambahan Nilai (10%) dan PBB (0,5%) dari berapa
pun objek pajaknya.
TARIF TETAP/REGRESIF

Tarif tetap atau tarif pajak regresif adalah tarif pajak yang nominalnya tetap tanpa
memerhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajaknya. Tarif tetap juga dapat
diartikan sebagai tarif pajak yang akan selalu tetap sesuai dengan peraturan yang telah
diberlakukan, seperti Bea Meterai dengan nilai atau nominal sebesar Rp3.000 dan
Rp6.000.
Thank you!

Anda mungkin juga menyukai