Bentuk usaha tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan subjek pajak luar negeri (non-resident taxpayer) baik orang pribadi (nature person) atau badan (legal person) untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Merujuk Pasal 2 Ayat (5) Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Batasan waktu sebanyak 183 hari dalam satu tahun diterapkan apabila antara Indonesia dan negara asal perusahaan tersebut tidak memiliki tax traety atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Akan tetapi, apabila antara Indonesia dengan negara asal perusahaan tersebut terdapat tax treaty atau P3B maka batasan waktu sebagai BUT yang berlaku mengikuti perjanjian yang disepakati kedua negara tersebut. Pengertian P3B atau Tax Treaty Dalam dunia perpajakan, istilah P3B yang merupakan kepanjangan dari Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda. Istilah ini pun dikenal dengan nama tax treaty. P3B adalah perjanjian internasional di bidang perpajakan antar kedua negara yang mengatur pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh penduduk salah satu negara atau penduduk kedua negara dalam persetujuan itu. Pembagian hak tersebut diatur dengan tujuan untuk mencegah seminimal mungkin terjadinya pengenaan pajak berganda. Definisi tax treaty adalah perjanjian antara dua negara yang terdiri dari serangkaian aturan dan konsesi yang saling menguntungkan dalam hal undang-undang perpajakan antar negara tersebut. (Isenbergh : 1997) Dunia yang semakin terhubung menyebabkan berbagai transaksi keuangan tidak hanya terjadi dalam satu negara namun sudah lintas negara. Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) telah mengalami perubahan sebanyak empat kali, yang mana Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 menjadi regulasi induk dari perubahan yang telah dibuat. Sementara, UU 36/2008 merupakan perubahan keempat atau terbaru bagi kiblat perpajakan penghasilan di negeri ini. BUT masuk dalam kategori subjek pajak luar negeri dan merupakan wajib pajak (WP) badan, di samping subjek pajak lainnya yang juga dipungut pajak penghasilan, seperti orang pribadi, perseroan terbatas (PT), yayasan, serta badan usaha milik negara (BUMN) dan BUMD. Mengapa Ketentuan Bentuk Usaha Tetap dibuat? BUT dibuat untuk perusahaan penanaman modal asing yang menjadi wajib pajak dalam negeri (resident taxpayer). Hal ini terjadi seiring bertambahnya investor asing di Indonesia yang masuk menggunakan pola joint venture dengan bekerja sama dengan perusahaan asing lainnya maupun perusahaan lokal. Untuk menghindari pengenaan pajak berganda atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh penduduk dari negara treaty partner di Indonesia, pemerintah melakukan pengujian keberadaan suatu BUT perusahaan dari negara treaty partner tersebut di Indonesia sebagai kriteria untuk menentukan apakah Indonesia memiliki hak untuk memajaki penghasilan tersebut. Sesuai pasal 2 ayat (6) UU 36/2008, tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya. Bentuk Usaha Tetap yang Menjadi Subjek Pajak Pada Pasal 2 Ayat (5) UU 36/2008, pemerintah menyebutkan bahwa bentuk usaha tetap yang menjadi subjek pajak penghasilan terdiri saat ini dari 16 bentuk usaha, yakni: 1. Tempat kedudukan manajemen. 2. Cabang perusahaan. 3. Kantor perwakilan. 4. Gedung kantor. 5. Pabrik. 6. Bengkel. 7. Gudang. 8. Ruang untuk promosi dan penjualan. 9. Pertambangan dan penggalian sumber alam. 10. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi. 11. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan 12. Proyek konstruksi, instalasi, atau perakitan. 13. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan. 14. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas. 15. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia. 16. Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi eklektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalaui internet. Revisi UU terbaru tentang PPh ini juga menegaskan bahwa BUT merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannnya dipersamakan dengan subjek pajak badan. Hal ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (1a) yang baru saja ditambahakn dalam pasal 2 antara ayat 1 dan 2. Perbedaan Perlakuan Perpajakan Dibandingkan dengan Wajib Pajak Dalam Negeri Lainnya BUT tidak dapat menikmati tax treaty Indonesia dengan negara treaty partner lainnya karena ia bukan penduduk Indonesia. Laba bersih setelah pajak yang diterima atau diperoleh suatu BUT dikenakan branch profit tax. Besaran Penghasilan Kena Pajak BUT Besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP) bagi WP dalam negeri dan BUT ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Berdasarkan Pasal 6 Ayat (1) UU 36/2008 pengurang biaya dari penghasilan bruto termasuk: Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, seperti biaya pembelian bahan, biaya yang berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, biaya perjalanan, hingga premi asuransi. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagihm dan memelihara penghasilan. Kerugian selisih kurs mata uang asing. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pamerintah Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Cara Menghitung Penghasilan Kena Pajak BUT PKP bagi wajib pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan penghasilan dikurangi biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan, laba, serta penghasilan bruto yang dikurangi penghasilan tidak kena pajak. Tarif Pajak BUT Pemerintah menerapkan tarif pajak sebesar 25% untuk penghasilan kena pajak BUT yang baru mulai berlaku pada tahun pajak 2010. Tidak hanya si wajib pajak luar negeri, tarif ini juga berlaku untuk wajib pajak badan dalam negeri. Hal itu ditegaskan pemerintah dalam perubahan UU PPh Nomor 36/2008 yang tertuang dalam pasal 17 ayat (2a) UU tersebut. Sebelumnya tarif pajak bagi BUT dan wajib pajak badan dalam negeri berlaku progresif sesuai besaran penghasilan kena pajak perusahaan tersebut. Tarif pajak yang berlaku pada UU PPh Nomor 17/2000 ditetapkan sebesar 10-30%, mulai dari penghasilan kena pajak Rp50.000.000 hingga Rp100.000.000 ke atas. Perlu diingat, penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20%. Kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
HUBUNGAN ISTIMEWA
Definisi Hubungan Istimewa Dalam Pajak Pada PMK 22
Hubungan istimewa dalam pajak menurut PMK 22 sangat erat kaitannya dengan transfer pricing atau harga transfer. Transfer pricing mengacu pada harga barang atau jasa yang diperdagangkan antar perusahaan di bawah naungan bendera yang sama. Misalnya, antara anak perusahaan dengan induk perusahaan atau cabang perusahaan. Nah, harga inilah yang disebut transfer pricing. Hubungan istimewa dalam pajak PMK 22 inilah yang akan mengatur mengenai berapa besaran transfer pricing tersebut. Terkait pelaksanaannya akan disepakati dalam Advance Pricing Agreement atau APA. Sesuai PMK 22 Tahun 2020, pasal 3 ayat 1, dijelaskan bahwa pengajuan APA oleh wajib pajak di Indonesia akan ditentukan oleh Dirjen Pajak sepakat dengan wajib pajak serta pejabat berwenang. Menurut pengertiannya, hubungan istimewa pada pajak dalam PMK 22 adalah suatu cara pemungutan uang negara berdasarkan undang-undang PMK 22 Tahun 2020 untuk wajib pajak dengan persyaratan tertentu. Apa Saja Persyaratan Hubungan Istimewa Dalam Pajak? Suatu wajib pajak badan usaha atau orang pribadi, dapat memiliki hubungan istimewa pada pajak, jika memiliki persyaratan antara lain: 1. Sesuai Undang-Undang Pajak Penghasilan Menurut pasal 18 ayat 4 UU PPH (undang-undang pajak penghasilan), hubungan istimewa pada pajak berlaku jika: a. Wajib pajak memiliki modal minimal 25% pada wajib pajak lainnya. b. Wajib pajak menguasai wajib pajak lainnya di bawah penguasaan yang sama. c. Ada hubungan keluarga kandung atau ke samping satu derajat.
2. Sesuai Undang-Undang PPN Dan PPnBM
Menurut pasal 2 ayat 2 UU PPN dan PPnBM, hubungan istimewa pada pajak berlaku jika: a.Terdapat dua atau lebih pengusaha yang berada di bawah penguasaan pengusaha yang sama. b.Pengusaha menyertakan modal 25% dari jumlah modal pada pengusaha lain. Atau, terdapat hubungan antar pengusaha yang menyertakan modal 25%, termasuk hubungan antara dua pihak atau lebih yang menyertakan modal sebesar 25%.