Anda di halaman 1dari 18

BAB II

KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori

2.1.2 Pajak Penghasilan


Pajak dapat dijabarkan menjadi lima poin. Pertama, bersifat wajib yang berarti
pajak bukan hanya sekedar iuran bersifat sukarela, akan tetapi iuran yang wajib
dibayarkan kepada negara. Kedua, iuran berupa uang, bukan kontibusi berupa tenaga
maupun fisik. Ketiga, terutang oleh orang pribadi atau badan yang artinya pihak-pihak
yang membayarkan pajak dapat berupa orang pribadi atau badan. Keempat, sifatnya
memaksa bagi yang memenuhi syarat material maupun formal sehingga terdapat
sanksi apabila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan. Kelima, tidak mendapatkan
imbalan secara langsung, maksudnya ialah dampak dari pembayaran pajak tidak
langsung dirasakan ketika orang atau badan membayarkan pajak karena penerimaan
pajak dikelola untuk membiayai pengeluaran negara bagi kepentingan publik. Hal
tersebut tertuang dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Tertulis pada laman www.pajakku.com yang ditulis oleh Sandra (2021) pajak
yang berdasarkan pada pengelolaannya terbagi menjadi dua, yaitu pajak pusat melalui
Direktorat Jendral Pajak dan Pajak Daerah yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik
kabupaten/kota dan profinsi. Salah satu yang termasuk kedalam jenis pajak pusat
adalah pajak penghasilan dimana pajak tersebut akan dibahas pada penelitian ini.
Pada laman www.pajakku.com yang dipublikasikan oleh Tommy (2021)
mengungkapkan tentang Pajak penghasilan yang mana dijelaskan bahwa Pajak
Penghasilan adalah pajak yang di bebankan kepada seseorang atau instansi atas
penghasilan yang mereka terima dalam waktu satu tahun. Sifat dari pemotongan pajak
dibagi menjadi dua, yaitu:
1. PPh Final, yaitu pajak yang sudah selesai dimana seorang wajib pajak akan
langsung dikenakan pajak saat ia menerima penghasilan. Contoh objek
pajak final diantaranya penghasilan seperti bunga deposito, hadiah undian,
penghasilan yang di dapatkan dari transaksi saham, penghasilan dari
transaksi penghasilan tanah atau bangunan, jasa konstruksi, real estate, dan
lain-lain.
2. PPh Non-final, yaitu pajak yang belum selesai dimana pajak akan dihitung
lagi dengan tarif umum dalam laporan SPT Tahunan. Pasal 56 PP 55/2022
menyebutkan bahwasannya contoh dari usaha yang dikenakan pajak PPh
non-final ialah penghasilan yang didapatkan dari usaha jasa yang
berhubungan dengan pekerjaan bebas.
Pajak penghasilan adalah bagian dari jenis-jenis pajak lainnya yang telah diatur
dalam Undang-undang no.7 tahun 1983 yang selanjutnya menjadi Undang-undang
no.36 Tahun 2008 mengenai Pajak Penghasilan. Menurut UU terebut, pajak
penghasilan merupakan kontribusi yang diwajibkan kepada seseorang atau instanssi
atas penghasilan ekonomis yang diperoleh dalam jangka waktu satu tahun pajak.
Terdapat beberapa karakteristik dari pajak penghasilan, yaitu sebagai berikut:
1. Merupakan jenis pajak subjektif. Dimana jumlah yang terutang kepada WP
disesuaikan dengan kondisi WP tersebut.
2. Merupakan pajak langsung yang dibebankan kepada WP yang bersangkutan
atas penghasilan yang diperoleh satu tahun pajak. Beban tanggungan pajak
penghasilan tersebut tidak dapat dialihkan kepada pihak lain.
3. Merupakan pajak pusat dimana kebijakan dan pengelolaan diatur oleh
pemerintah pusat, terkhusus oleh direktorat jendral pajak.
4. Pemungutannya menganut system self-assessment dan withholding. Dalam
system self-assessment, WP menghitung dan memperhitungkan serta
melaporkan bahkan menyetor sendiri jumlah pajak yang terutang kepada
negara. Dengan maksud lain, WP bersifat aktif terhadap pajak yang terutang
kepada negara dan petugas pajak hanya memberikan pengarahan serta
bimbingan terkait kewajiban perpajakan bagi WP tersebut. Selain system
self-assessment, pemotongan PPh juga menganut system withholding yang
secara garis besar memberikan kewenangan pemotongan pajak terhadap
pihak ketiga.
5. Pengenaan pajak penghasilan bersifat progresif. Tarif umum PPh untuk WP
badan merupakan tarif proprorsional, sedangkan untuk WP orang pribadi
merupakan tarif progresif. Maka dapat disimpulkaan bahwa jumlah pajak
yang terutang bagi kedua jenis WP akan adanya peningkatan jika penghasilan
yang diterima WP semakin besar.
Streamer merupakan wajib pajak yang harus membayar pajak dengan system
self-assesment. Dengan kata lain, streamer harus aktif menghitung, melaporkan, dan
menyetor jumlah pajak yang terutang ke kantor pajak terdekat. Besaran jumlah pajak
penghasilan streamer akan meningkat jika penghasilan yang diterima streamer
tersebut semakin besar.

2.1.3 Subjek Pajak Penghasilan


Resmi (2019) menyimpulkan bahwa “Segala sesuatu yang dimiliki oleh
seseorang dimana sesuatu itu dapat mendatangkan penghasilan dan berpotensi
dikenakan pajak atas penghasilan yang diperolehnya dalam jangka waktu satu tahun”
Menurut Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 2 ayat (2) Subjek pajak
juga dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Subjek Pajak Dalam Negri
a. Seseorang yang tinggal di Indonesia, seseorang yang menetap di
Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam kurun
waktu 12 (dua belas) bulan, atau seseorang yang dalam jangka waktu satu
tahun pajak tinggal di Indonesia dan berniat tinggal di Indonesia.
b. Badan instansi yang berdiri atau berada di Indonesia, kecuali untuk unit
dari badan pemerintahan dengan kriteria berikut ini:
I. Dibentuk sesuai dengan ketentuan dari peraturan perundang-undangan.
II. Di danai dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau daerah.
III. Penerimanya dimasukan dalam anggaran pemerintah pusat atau daerah.
IV. Pembukuannya diawasi oleh aparat pengawasan fungsional negara.
c. Warisan yang masih menjadi satu dan belum dibagi-bagi menggantikan
yang berhak.
2. Subjek Pajak Luar Negri
a. Seseorang yang tidak tinggal di Indonesia atau bermukim di Indonesia
kurang dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam kurun waktu 12
(dua belas) bulan dan badan usaha yang yang di jalankan atau berkegiatan
tetap di Indonesia.
b. Seseorang yang tidak bermukim di Indonesia atau berada di Indonesia
kurang dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam kurun waktu 12
(dua belas) bulan namun ia mendapatkan penghasilan dari Indonesia
meskipun tidak melakukan kegiatan usaha tetap di Indonesia.
Dari penjelasan diatas, streamer yang tinggal di Indonesia dan memperoleh
penghasilan dari kegiatan live show dapat dikatakan sebagai subjek pajak seseorang
dalam negeri. Sedangkan penghasilannya dikenakan sebagai objek pajak.

2.1.4 Objek Pajak Penghasilan


Objek pajak merupakan beban pajak dari sesuatu yang akan di potong kemudian
disetorkan. Sumarsan (2014) menyimpulkan bahwa “Objek pajak merupakan
penghasilan atau pendapatan yang diperoleh wajib pajak, objek pajak dapat berasal
dari dalam negeri maupun luar negeri asalkan ia dapat meningkatkan kekayaan secara
ekonomi dari wajib pajak”
Menurut Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat (1) yang menjadi
objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan ekonomis yang diperoleh
Wajib Pajak, baik yyang berasal dari Indonesia maupun dari luar negeri yang mana
[enghasilan tersebut dapat digunkan untuk konsumsi dan untuk memperoleh kekayaan
Wajib Pajak tersebut. Menurut Sumarsan (2014) tambahan kekayaan neto sebenarnya
berasal dari kumpulan penghasilan yang sudah dikenakan pajak ataupun belum
dikenakan pajak serta sesuatu yang bukan objek pajak.
Objek pajak yang sesuai untuk dikenakan kepada streamer ialah adanya
kekayaan neto dari penghasilan yang belum di potong pajak. Jika seorang streamer
telah memiliki pendapatan yang melebihi akumulasi dari penghasilan yang telah
dikenakan pajak dan yang bukan objek pajak, dapat diketahui bahwasannya tambahan
penghasilan tersebut adalah objek pajak. Dan streamer tersebut harus melapor dan
membayarkan pajaknya dikarenakan streamer termasuk ke subjek pajak dan
penghasilannya termasuk ke objek pajak.

2.1.5 Pekerjaan Bebas


Dalam peraturan perpajakan yang ada di Indonesia makna dari pekerjaan bebas
sudah diatur baik dalam hal siapa yang termasuk kategori pekerjaan bebas dan
bagaimana mekanisme pemotongan pajak terhadap Wajib Pajak yang tergolong
kedalam pekerjaan bebas tersebut. Menurut Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas Undang-undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pekerjaan bebas
merupakan pekerjaan yang dilaksanakan oleh seseorang dengan kemampuan khusus
dalam hal tertentu tanpa adanya ikatan oleh hubungan pekerjaan misalnya tidak
adanya ikatan pada suatu perjanjian pekerjaan. Dilihat berdasarkan pada Pasal 1
Angka 24 tentang Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang
tergolong sebagai pekerjaan bebas yakni sebagai berikut:
a. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas seperti pengacara, akuntan,
dokter, konsulta, arsitektur, penilai, aktuaris, dan notaris.
b. Pekerjaan bebas diluar tenaga ahli seperti pemain musik, penyanyi, pelawak,
artis, model, pembawa acara, penari, pragawan/pragawati, pelukis atau
seniman lainnya. Dimana mereka bekerja secara independent, bukan sebagai
karyawan dan berstatus wajib pajak.
Dalam penelitian ini seorang streamer juga dapat dikategorikan sebagai
pekerjaan bebas diluar tenaga ahli dikarenakan streamer itu sendiri tergolong pekerja
seni, karena streamer itu sendiri menciptakan karya yang dapat dilihat dan dinikmati
oleh masyarakat.

2.1.6 Penghasilan Bruto


Dasar hukum penghasilan bruto terdapat pada dua regulasi, yaitu Undang-
undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang perubahan keempat atas UU Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan dan Peraturan Direktur Jendral Pajak No.
PER-16/PJ/2016 tentang Tarif Pajak Penghasilan. Penghasilan bruto ialah total
pendapatan kotor yang diperoleh seseorang sebagai imbalan atas pekerjaannya,
jumlah penghasilan tersebut dihitung berdasarkan dari akumulasi pendapatnya selama
satu tahun.
Tertulis pada laman www.online-pajak.com yang diterbitkan oleh Maulida
(2022) Penghasilan yang akan dihitung bersifat fleksibel sehingga sumber penghasilan
dapat bersumber dari gaji tetap maupun wirausaha. Maka, cara perhitungan
penghasilan bruto ini berdasarkan gaji yang telah diterima dari setiap pekerjaan.
Penghasilan bruto merupakan penghasilan yang dibagi kedalam dua jenis penghasilan,
yaitu:
1. Rutin, dimana penghasilan yang konsisten perolehannya
2. Tidak rutin, yang berarti pendapatan ini diperoleh dengan tidak adanya
ketentuan dan tidak teratur. Seperti halnya Tunjangan Hari Raya dan bonus

2.1.7 Penghasilan Kena Pajak


Penghasilan Kena Pajak atau biasa disebut PKP merupakan penghasilan yang
menjadi dasar perhitungan penetapan jumlah pajak penghasilan (PPh) yang dikenakan
pada wajib pajak. Hal tersebut diatur dalam UU No.36 Tahun 2008 mengenai pajak
penghasilan. Cara memperoleh besaran penghasilan kena pajak ialah menghitung
banyaknya penghasilan bruto setelah diketahui lalu dikurangi dengan biaya
pemelihraan, menagih serta mendapatkan penghasilan.
Dalam aturan UU Nomor 36 Tahun 2008 jika telah dihitung Penghasilan Kena
Pajak dan penghasilan kotor lalu dikurangi dengan biaya memelihara, menagih serta
memelihara penghasilan dan ternyata penghasilan tersebut didapatkan kerugian maka
kerugian tersebut akan digantikan oleh penghasilan tahun pajak selanjutnya sampai
dengan lima tahun berturut-turut.

2.1.8 Penghasilan Tidak Kena Pajak


Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) merupakan bagian penting untuk
memhitung jumlah pajak terutang. Sebelum menjadi Penghasilan Kena Pajak, fungsi
Penghasilan Tidak Kena Pajak akan digunakan sebagai pengurang penghasilan neto.
Besaran penghasilan Tidak Kena Pajak setiap orang bisa saja berbeda. Hal ini
dipengaruhi oleh kondisi Wajib Pajak pada awal tahun pajak. Wajib Pajak tidak
diwajibkan membayar pajak apabila penghasilan Wajib Pajak kurang dari Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP). Pasal 7 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan mengatur bagaimana
ketentuan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Adapun ketentuannya sebagai berikut:
Penghasilan Tidak Kena Pajak Pertahun diberikan paling sedikit:
a. Untuk diri wajib pajak secara pribadi sebeasar Rp.54.000.000 (lima puluh
empat juta rupiah).
b. Tamahan bagi wajib pajak yang telah menikah sebesar Rp.4.500.000 (Empat
Juta Lima Ratus Ribu Rupiah).
c. Berdasarkan padal 8 ayat (1) terdapat tambahan bagi seorang istri yang
pendapatanya digabungkan dengan pendapatkan suami sebesar
Rp.54.000.000 (lima puluh empat juta rupiah).
d. Tambahan sebesar Rp.4.500.000 (empat juta lima ratus ribu rupiah) bagi
setiap anggota keluarga dengan ikatan darah dan dalam garis lurus keturuan
serta menanggung maksimal 3 (tiga) biaya anak angkat tambahan untuk
setiap anggota keluarga
e. Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) huruf E dimana tidak dikenakan pajak
penghasilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki predaran bruto
tertentu sampai dengan Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) dalam 1
(satu) tahun pajak

Tabel 2.II.1 Besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak


PTKP Pria/Wanita PTKP Suami Isteri
PTKP Pria Kawin
Belum Kawin Digabung
TK/0 Rp54.000.000 K/0 Rp58.500.000 K/1/0 Rp112.500.000
Tk/1 Rp58.500.000 K/1 Rp63.000.000 K/1/1 Rp117.000.000
TK/2 Rp63.000.000 K/2 Rp67.500.000 K/1/2 Rp121.500.000
TK/3 Rp67.500.000 K/3 Rp72.000.000 K/1/3 Rp126.000.000
Teruntuk isteri, jika suami dan isteri masing-masing mempunyai
NPPWP, maka PTKP isteri TK/0 (Dianggap tidak kawin dan tidak
punya tanggungan)
Sumber: www.jumanto.com

Pada table diatas jika subjek pajak memperoleh penghasilan kurang dari Rp
54.000.000 pada tahun pajak maka subjek pajak tersebut tidak wajib untuk membayar
pajak.

2.1.9 Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN)


Pemerintah telah memberikan solusi memudahkan pada Wajib Pajak dalam
memenuhi kewajibanya membayar pajak. Salah satunya yaitu wajib pajak dapat
memakai PER-17/PJ/2015 tentang perhitungan pajak menggunakan Norma
Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN), karena dengan menggunakan norma ini Wajib
Pajak dapat memenuhi tanggung jawab perpajakannya tanpa harus mengumpulkan
slip gaji penghasilannya.
Meskipun wajib pajak dapat menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan
Neto (NPPN) dalam menghitung pendapatan neto selama satu tahun pajak, tidak
semua wajib pajak dapat menggunakan aturan tersebut untuk memenuhi kewajiban
perpajakannya. Yang dapat menggunakan NPPN ini salah satunya adalah Wajib Pajak
yang termasuk kedalam kategori pekerjaan bebas. Menurut Klasifikasi Lapangan
Usaha (KLU) dalam PER-17/PJ/2015, streamer termasuk kedalam KLU pekerja seni
dikarenakan streamer menciptkan karya yang dapat dilihat dan dinikmati oleh
masyarakat luas. Dari KLU tersebut, streamer dapat digolongkan menjadi pekerjaan
bebas diluar tenaga ahli sehingga streamer dapat menggunakan NPPN dalam
perhitungan pajaknya sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi. Dalam menggunakan
Norma Perhitungan Penghasilan Neto ini streamer harus memberitahu Direktur
Jendral Pajak selambat-lamabatnya 3 bulan sejak awal tahun pajak.
Persentase tiap Norma Perhitungan Penghasilan Neto berbeda-beda sesuai
dengan Kelasifikasi Lapangan Usaha (KLU) dan wilayahnya. Besaran presntase
NPPN dikelompokkan berdasarkan wilayah yakni:
1. 10 ibukota provinsi, diantaranya Denpasar, Makassar, Manado, Pontianak,
Surabaya, Semarang, Bandung, Jakarta, Palembang, dan Medan.
2. Ibukota profinsi lainnya
3. Daerah lainnya

Tabel 2.II.2 Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU)


NPPN WP OP (dalam persen)
NO KLU URAIAN KLU Ibukota
10 Ibukota Daerah
provinsi
Provinsi Lainnya
Lainnya
1342 90002 KEGIATAN PEKERJA SENI 50 50 50

Kelompok ini mencakup pekerja seni, seperti novelia, penulis cerita dan
pengarang lainnya, aktor, penyanyi, penari sandiwara, penari dan seniman
panggung lainnya yang sejenis. Termasuk pula usaha kegiatan produser
radio, televisi, dan film, pelukis, kartunis dan pemahat patung.

Sumber: Lampiran 1 PER 17 PJ 2015


Tabel diatas merupakan kode yang akan dipergunakan untuk menghitung
kewajiban Pajak Penghasillan, kode KLU diatas adalah 9002 yang mana kode tersebut
dipakai atau dipergunakan oleh kegiatan pekerja seni

2.1.10 Tarif Pajak Penghasilan


Jumlah pajak yang wajib disetorkan dan dilaporkan oleh Wajib Pajak sebagai
Wajib Pajak dari Penghasilan Kena Pajaknya dapat dihitung dari jumlah penghasilan
neto dikalikan dengan Tarif Pajak Penghasilan yang tertuang dalam Pasal 17 Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan
Perpajakan.
Streamer live show termasuk pada Wajib Pajak orang pribadi dimana Tarif
Pajak Penghasilan yang dikenakan atas streamer bersifat progresif yang artinya
persenan tarif akan naik sesuai dengan dasar pengenaan pajaknya. Berdasarkan pasal
17 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi
Peraturan Perpajakan, Tarif Progresif Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
diklasifikasikan sebagai berikut:
Tabel 2.II.3 Tarif Progresif Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
Tarif PPh Tahunan Orang
Urutan Penghasilan Kena Pajak
Pribadi
Rp.60.000.000 5%
Rp.60.000.000 – Rp.250.000.000 15%
Rp.250.000.000 – Rp.500.000.000 25%
Rp.500.000.000 – Rp.5.000.000.000
30%
Di atas Rp 500 juta sampai Rp 5 miliar
Di atas Rp.5.000.000.000 35%
Sumber: Pasal 17 UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan

Tabel diatas merupakan tarif PKP orang pribadi yang mana jika Wajib Pajak
berpenghasilan mencapai Rp 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) akan dikenakan
tarif 5%, jika Wajib Pajak berpenghasilan Rp 60.000.000 (enam puluh juta rupiah)
hingga Rp 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah) akan dikenakan tarif 15%,
dan seterusnya.

2.1.11 Sistem Pemungutan Pajak


Kadir (2014) mengungkapkan bahwasannya system pemungutan pajak dibagi
menjadi 3, yaitu berdasarkan waktu pemungutannya, dasar penetapan pajaknya, dan
yang menetapkan pajaknya. System tersebut diantaranya :
1. Berdasarkan waktu pengambilannya, pajak bisa digolongkan menjadi 2 yaitu,
Voorheffing dimana pengambilan pajak dikerjakan pada awal tahun pajak
kedua dan Naheffing yang mana pengambilan pajaknya di akhir tahun pajak.
2. Menurut dasar penetapan pajak
a. System fiktif (anggapan), dimana dalam sistem fiktif ini dasar
pengambilan pajak dilandaskan oleh suatu anggapan hukum tertentu.
Dasar yang digunakan dalam pengambilan pajak ialah anggapan yang
mendekati keadaan sebenarnya dari wajib pajak, yaitu penghasilan wajib
pajak dianggap sama besarnya di setiap tahun pajak. Jika terdapat
kenaikan atau penurunan pendapatan maka perhitungan kembali akan
dilakukan di tahun pajak berikutnya.
Sistem anggapan ini biasa digunakan pada Pengenaan Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) dimana landasan yang dijasikan pengenaan pajak yaitu
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di awal tahun yaitu pada tanggal 1 Januari.
Setelah tanggal 1 Januari apabila terdapat harta baru yang diperoleh atau
dihapus akibat dijual atau hilang maka hal tersebut tidak akan
berpengaruh terhadap jumlah pajak yang terutang yang harus dibayarkan
dan akan dihitung kembali pada tahun pajak selanjutnya. Kelebihan dari
sistem ini selama tahun pajak masih berjalan wajib pajak dapat
membayarkan pajaknya sehingga tidak perlu menunggu keadaan di akhir
tahun. Untuk kelemahannya ialah karena berdasarkan anggapan maka
pajak yang dibayarkan tidak di dasarkan pada keadaan wajib pajak yang
sebenarnya sehingga nilai pada keadilannya menjadi berkurang.
b. System riil (nyata), pada system ini pengambilan pajak didasarkan pada
keadaan sebenarnya dari wajib pajak, yaitu penghasilan yang didapat oleh
wajib pajak di tahun pajak wajib pajak. Maka dari itu, pendapatan ini akan
diketahui saat akhir tahun sehingga pajak juga akan diambil setelah
berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan. Kelebihan dari sistem ini
yaitu keadilannya cukup tinggi karena pajak yang diambil dari WP akan
sesuai dengan keadaan WP yang sebenarnya. Sedangkan untuk
kelemahannya ialah tertundanya uang yang masuk ke dalam kas negara
karena pengambilan pajak dilakukan di akhir tahun.
c. System campuran, sistem ini adalah campuran dari sistem anggapan dan
nyata untuk saling melengkapi kelemahan masing-masing sistem. Pada
sistem campuran ini, WP membayar pajak di awal tahun sesuai besarnya
utang pajak yang dihitung dengan sistem anggapan dan dikeluarkan surat
ketetapan pajak fiktir. Kemudian saat akhir tahun paak akan dihitung
kembali jumlah utang pajak yang disesuaikan dengan keadaan WP yang
sebenarnya menggunakan sistem nyata sehingga dikeluarkanlah surat
ketetapan pajak final. Apabila jumlah pajak menurut kenyataan lebih
besar dari anggapan maka WP wajib menambah bayaran pajaknya lagi
sesuai keadaannya, namun jika kenyataan lebih kecil dari anggapan maka
kelebihan dari pajak yang telah dibayarkan bisa diminta kembali. Sistem
pajak ini diterapkan pada pajak penghasilan.
Sistem campuran memiliki kelebihan dimana karena Surat Ketetapan
Pajak dikeluarkan di awal tahun maka WP dapat segera mengajukan surat
keberatan dan kas negara tidak akan mengalami penundaan untuk diisi.
Kelemahan dari sistem ini ialah dalam pengenaan pajak Kantor Pelayanan
Pajak harus bekerja dua kali yaitu saat mengeluarkan Surat Ketetapan
Pajak Rampung Fiktif dan Surat Ketapan Pajak Final sehingga dapat
membebani administrasi karena bertambahnya biaya, waktu dan tenaga.
3. Menurut yang menetapkan pajak,
a. Self Assessment System
Setelah masa reformasi pajak pada tahun 1983 system ini diberlakukan di
Indonesia hingga sampai saat ini. Dalam pemungutan pajak system ini
digunakan untuk memungut pajak negara atau pajak pusat. System wajib
pajak ini juga dapat diartikan seperti diberi kepercayaan untuk
memperhitungkan sendiri, menyetor, dan melaporkan sendiri kewajiban
perpajakannya.
Untuk keberhasilannya sendiri system ini sangat bergantung dari
kesadaran masyarakat, beberapa wajib pajak yang masih terbilang awam
tentang perpajakan akan merasa kebingungan. Minimnya pengetahuan
yang akan mengakibatkan pihak wajib pajak tidak membayar pajak. Peran
pemerintah dalam pemungutan pajak pada system ini hanya sebagai
pengawas dari para wajib pajak, contoh dari system self assessment ini
yaitu jenis pajak PPN dan PPh.
Jika ada wajib pajak yang enggan memahami bagaimana system
perpajakan ini lalu aperartur perpajakanpun menjalankan perbuatan
curang, maka keberhasilan pada system perpajakan ini tidak berjalan
dengan lancar atau tidak berjalan dengan baik di negara ini. Beberapa ciri
system pemungutan pajak Self-Assessment :

- Besarnya pajak ditentukan oleh terutang yang dapat dilakukan oleh


wajib pajak sendiri.

- Dalam menyelesaikan kewajiban pajaknya, wajib pajak harus ikut


andil dimulai dari menghitung besaran pajaknya, membayar, dan
melaporkan pajaknya.

- Surat ketetapan pajak tidak wajib dikeluarkan oleh pemerintah, kecuali


jika WP telat melapor, membayar atau tidak membayarkan pajak yang
seharusnya dibayar.
Sistem umumnya menerapkan jenis pajak yang memungkinkan WP
menghitung dan menetapkan utang pajaknya sendiri. Seperti contoh pada
Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa
(PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
Maka dari itu system ini dapat memberi kepercayaan yang sangat besar
untuk Wajib Pajak menghitung, menetapkan serta membayar pajaknya
sendiri, cara ini akan berhasil apabila Wp memenuhi syarat sebagai
berikut :
- Tax Consciousness, WP memiliki kesadaran akan kewajiban pajak.
- Tax honesty WP memiliki kejujuran dalam kewajiban pajaknya.
- Tax mindedness, WP memiliki keinginan untuk membayar pajaknya.

- Tax discipline, WP memiliki sikap disiplin dalam melaksanakan


kewajiban pajaknya.
Apabila wajib pajak memiliki kriteria diatas, maka ia akan menyelesaikan
beban pajak yang diberikan oleh Undang-undang seperti memasukan
Surat Pemberitahuan (SPT) tepat waktu, membayar pajak sesuai
ketentuan, dan lain-lain tanpa harus diperingati Kembali untuk melakukan
kewajiban tersebut.
b. Official Assessment System
Sistem ini merupakan system pengambilan pajak yang masih digunakan
untuk pungutan pajak di daerah dan pajak pusat atau bisa disebut pajak
bumi dan bangunan. Pada system ini yang akan memberi wewenang
besarnya pajak yaitu apparat perpajakan atau bisa dibilang fiskus untuk
menentukan berapa besarnya pajak pada wajib pajak dan wajib pajak ini
bersifat pasif. Pada system ini keberhasilannya tergantung pada seberapa
aktif dan seberapa professional fiskus itu sendiri. Ciri-ciri official
assessment, yaitu:
- Jumlah pajak terutang ditentukan oleh Fiskus.
- Wajib pajak lebih pasif dalam mengurus pajaknya.
- Utang pajak berlaku setelah Surat Ketetapa Pajak diterbitkan oleh
Fiskus.
System ini umumnya diberlakukan pada jenis pajak yang masyarakat dari
semua kalangan terlibat di dalamnya, dimana masyarakat tersebut
dianggap belum memiliki kemampuan dalam memperhitungkan dan
menetapkan pajaknya sendiri, seperti pajak bumi dan bangunan (PBB).
c. Withholding System
Sistem ini dalam menentukan jumlah pajak yang terutang oleh wajib pajak
memberikan wewenangnya bukan kepada fiskus atau wajib pajak yang
bersangkutan namun diberikan kepada pihak ketiga. Dari system
perpajakan witholding ada beberapa contohnya yaitu pemerintah
mengambil pajak hotel melalui pengusaha hotel atau pemotongan pajak
penghasilan karyawan yang sudah dilakukan oleh perusahaan sehingga
karyawan tersebut tidak perlu lagi melakukan pembayaran pajak sendiri.
Ciri-ciri dari withholding system adalah sebagai berikut:
- Tidak aktifnya wajib pajak dan pemerintah dalam perhitungan jumlah
pajak yang harus dibayar.
- Terdapat pihak ketiga yang berperan aktif menghitung jumlah pajak
yang terutang, biasanya instansi atau perusahaan.
Dalam sistem ini wajib pajak harus melampirkan bukti potong gaji atau
SSP dengan SPT Tahunan PPh atau SPT masa PPN.
Menurut waktu pemngutannya streamer membayar pajak pada akhir tahun
pajak. Sedangkan menurut dasar penetapan pajaknya, streamer membayar pajak
dengan system riil atau perhitungan yang nyata pada akhir tahun pajak tanpa adanya
perhitungan anggapan pada saat tahun pajak tersebut dimulai. Serta menurut yang
menetapkan pajak, streamer membayar pajak dengan system Self-assesment dimana
streamer melaporkan dan menyetor pajaknya sendiri ke kantor pajak terdekat.
2.1.12 Kewajiban Perpajakan Orang Pribadi dan SPT
Selain menghitung dan menyetorkan pajak yang terutang, kewajiban lain dari
wajib pajak ialah melaporkan pajak yang sudah disetorkan kepada negara melalui
Surat Pemberitahuan. Hal ini disebutkan dalam pasal 3 ayat (1) UU KUP yang
menyebutkan bahwa tiap wajib pajak harus mengisi Surat Pemberitahuan dengan
benar, lengkap, serta jelas menggunakan Bahasa Indonesia dengan huruf latin, angka
Arab, satuan mata uang rupiah, dan menyampaikan ke kantor Direktorat Jendral
Pajak setempat dimana nama wajib pajak di daftarkan atau tempat lain yang
memiliki persetujuan Direktur Jendral Pajak.

Dari terciptanya pasal tersebut, telah disimpulkan bahwa Wajib pajak harus
melakukan pelaporan pajak yang telah disetorkan dari sarana yang disebut Surat
Pemberitahuan (SPT). Definisi SPT itu sendiri juga telah diatur dalam UU KUP,
khususnya pasal 1 angka 12. Pada dasarnya, Surat Pemberitahuan Pajak (SPT)
merupakan surat yang digunakan oleh Wajib Pajak, baik Wajib Pajak Orang Pribadi
ataupun Badan, guna melaporkan perhitungan atau membayar pajak dan/atau bukan
objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban yang dimiliki oleh wajib pajak sesuai
dengan undang-undang yang berlaku.
Surat Pemberitahuan Pajak dibagi menjadi SPT Tahunan dan SPT Masa. Bagi
Wajib Pajak Orang Pribadi, SPT Tahunun dibagi menjadi 3 formulir, yaitu sebagai
berikut:
1. Formulir SPT 1770 SS, dimana sarana pelaporan PPh Tahunan bagi Wajib
Pajak Orang Pribadi yang menerima pendapatan dan pekerjaan selain dari
usaha dan/atau pekerjaan bebas dengan penghasilan bruto dalam setahun
tidak lebih dari RP60.000.000 (enam pulih juta rupiah). Penghasilan dari
pekerjaan yang dimaksud hanya bersumber dari satu pemberi kerja.
2. Formular SPT 1770 S, yaitu sarana pelaporan PPh Tahunan bagi Wajib Pajak
dengan penghasilan bruto dalam satu tahun lebih dari Rp.60.000.000 (enam
puluh juta rupiah). Penghasilan yang didapat bisa bersumber dari satu atau
lebih pemberi kerja.
3. Formulir SPT 1770, yaitu sarana pelaporan PPh Tahunan bagi Wajib Pajak
yang memiliki pendapatan dari pemberi kerja, memiliki kegiatan usaha
dan/atau pekerja bebas, mendapatkan penghasilan yang dikenakan PPh Final
dan/atau bersifat Final. Atau pun penghasilan yang didapat dari luar negeri.
Sebagai tambahannya, ada pula Batasan waktu dalam pelaporan SPT Tahunan.
Hal ini diatur dalam UU KUP pasal 3 ayat (3), yaitu selambat-lambatnya 3 bulan
setelah akhir tahun pajak bagi wajib pajak orang pribadi dan selambat-lambatnya 4
bulan setelah akhir tahun bagi wajib pajak badan.
Dengan kata lain, jika Wajib Pajak menggunakan tahun takwim (Januari-
Desember) sebagai tahun pajaknya, maka batas pelaporan SPT Tahunan untuk wajib
pajak orang pribadi pada tanggal 31 Maret dan bagi wajib pajak badan jatuh pada
tanggal 30 April.
SPT Tahunan wajib dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat
dimana Wajib Pajak yang bersangkutan telah terdaftar. Metode yang disampaikan
SPT telah diatur dalam PMK no.9/PMK.03/2018 tentang Perubahan atsa Peraturan
Menteri Keuangan no.243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT). PMK
tersebut menyatakan bahwa penyampaian SPT oleh Wajib Pajak ke KPP tempat
Wajib Pajak terdaftar dapat disampaikan dengan langsung mendatangi KPP tempat
Wajib Pajak terdaftar, pengiriman SPT menggunakan pos atau kurir ekspedisi disertai
bukti pengiriman lewat surat, atau dapat juga dilakukan melalui media lain yang
disesuaikan dengan perkembangan teknologi yang telah disetujui oleh Dirjen Pajak.
Saluran yang dimaksud salah satunya telah disebutkan dalam Surat Edaran Dirjen
Pajak no. SE-03/PJ/2019, dimana penyampaian SPT Tahunan melalui e-Filling.
Secara singkat, e-Filing merupakan fasilitas untuk melaporkan SPT menggunakan
website Direktorat Jendral Pajak (www.pajak.go.id). yang menjadi kelebihan
pelaporan SPT melalu e-filling itu sendiri dapat diperoleh Wajib Pajak dengan mudah,
karena pelaporan SPT melalui e-Filling dapat dilakukan dengan gadget pribadi (HP
atau computer/laptop) secara real-time di mana saja dan kapan saja.
Salah satu yang menjadi kewajiban bagi Wajib pajak adalah menyampaikan
SPT ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar, sehingga sebelum bisa melaporkan SPT,
Wajib Pajak harus mendaftarkan terlebih dahulu dirinya di KPP yang wilayah
kerjanya meliputi tempat usaha wajib pajak berdiri atau tempat tinggal wajib pajak.
Setelah sudah terdaftar sebagai Wajib Pajak di KPP, Wajib Pajak akan mendaptakan
sebuah nomor identitas yang biasa disebut Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Menurut pasal 1 angka 6 UU KUP, untuk pengertiannya sendiri Nomor Pokok Wajib
Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam
administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas
Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Sehingga, pada dasarnya NPWP merupakan sarana Wajib Pajak dalam
melaksanakan kewajiban dan mendapatkan hak terkait dengan administtrasi dan
penyelesaian perpajakannya. Sementara fenomena yang terjadi di lapangan banyak
yang belum menyelesaikan kewajibannya sebagai Wajib Pajak. Maka dari itu,
streamer harus mempunyai NPWP agar terdaftar sebagai Wajib Pajak, setelah itu
streamer wajib melaporkan SPT ke KPP dimana NPWP tersebut telah didaftarkan
atau bisa melaporkan melalui web terkait.

2.2 Review Penelitian Terdahulu


Penelitian terdahulu oleh Putra (2018), yang dilakukan dengan metode kualitatif
deskriptif. Riset ini dilakukan dengan tujuan untuk lebih memahami dan
menggambarkan proses penerapan dari pengenaan pajak penghasilan dengan Norma
Perhitungan Penghasilan Neto bagi Youtuber yang ada di Indonesia. Subjek yang
digunakan pada riset ini yaitu para Youtuber dimana data pendapatannya diperoleh dari
website resmi Socialblade.com. sedangkan sumber data yang dikumpulkan dari
penelitian ini dilakukan dengan observasi dan studi pustaka. Kemudian analisa datanya
dilakukan dengan tiga tahap, yaitu dengan penerapan peraturan Per-17/PJ/2-15 pada
penghasilan Youtuber, penyampaian data, dan penarikan kesimpulan.
Selanjutnya penelitian terdahulu lain yang dipaparkan oleh Mumtaz dan Wijaya
(2022) melakukan pembatasan ruang lingkup dengan memilih subjek penelitian berupa
profesi streamer pada platform Nimo TV yang bertempat tinggal di Indonesia. Riset ini
dilakukan dengan tinjauan mengetahui aspek pajak penghasilan yang timbul dari
profesi streamer pada platform Nimo TV selama tahun 2021. Riset ini dilakukan
menggunakan metode deskriptif kualitatif.
Penelitian lain dilakukan oleh Gusnara (2020) yang mana isi penelitiannya
berfokus pada analisis posisi hukum dan keabsahan dari pengambilan pajak streamer
Nimo TV dilandaskan pada UU No. 28 Tahun 2007 serta UU No.38 Tahun 2008
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Selanjutnya oleh Syafuddin (2020) yang dilakukan dengan metode deskriptif
kualitatif. Riset ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana komunikasi siaran game
streaming di Nimo TV dan juga prosedur kerja kelas prekariat pada industri game
streaming. Dari riset yang telah dilakukan dapat diketahui bahwasannya Nimo TV
menggunakan teori komunikasi timbal balik sebagai fasilitasnya. Komunikasi timbal
balik ini memungkinkan streamer dan pemirsa untuk saling berkomunikasi melalui
kolom komentar. Untuk menjadikan interaksi semakin nyata, Nimo TV juga
menyediakan fitur pemberian penghargaan. Namun, Nimo TV menimbulkan masalah
sosial berupa kerentanan terhadap streamer. Dimana selanjutnya para streamer masuk
dalam kelompok precariat.
Agustina (2018) dalam penelitiannya menggunakan metode studi literatur. Dalam
riset ini bertujuan untuk memberikan gambaran terkait fitur live video streaming agar
tetap terus bertahan, serta mengetahui perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi. Dari riset yang telah dilakukan dapat diketahui bahwasaanya terdapat
perubahan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam media sosial.
Dalam riset ini pembahasan mengenai perkembangan media sosial dibahas dari
fenomena live video streaming yang banyak digunakan oleh pengguna media sosial.
Pada awalnya live video streaming bersifat netral, namun saat banyak pengguna media
sosial menggunakan fitur tersebut maka akan muncul penilaian negatif atau positif dari
pemirsa yang akan muncul di fitur video live streaming tersebut. Peristiwa tersebut
terjadi karena terdapat perbedaan kebutuhan, pandangan, dan juga kepentingan dari
pengguna fitur live video streaming tersebut.
Oleh Cahyani dan Noviari (2019) riset ini bertujuan untuk menguji tarif pajak,
memahami perpajakan dan sanksi pajak terhadap kepatuhan wajib pajak UKM. Metode
penentuan sampel dalam penelitian ini adalah accidental sampling dan analisis data
teknis penelitian ini menggunakan analisis regresi linier berganda. Hasil pada riset ini
menunjukkan bahwa tarif pajak, pemahaman tentang perpajakan dan sanksi perpajakan
sangat berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak UKM.
Oleh Prasetyo dan Imadudiin (2019) pada riset ini meninjau Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto
terhadap beberapa pekerja bebas tertentu. Pembahasan riset ini terkait pengaturan
mengenai Norma Penghitungan Penghasilan Neto terhadap Wajib Pajak Profesi
Penulis, Notaris, dan Dokter dan penerapan peraturan tersebut ditinjau dari Asas
Kepastian Hukum terhadap Wajib Pajak tersebut. Metode yang digunakan yaitu yuridis
normatif dengan tipe penelitian deskriptif analitis. Hasil pada riset ini bahwa
pengaturan mengenai Norma Penghitungan Penghasilan Neto terhadap terhadap Wajib
Pajak Profesi Penulis, Notaris, dan Dokter sudah diatur dalam Peraturan Direktorat
Jenderal Pajak PER17/PJ/2015 sesuai Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) masing-
masing.

2.3 Kerangka Konseptual


Pada era saat ini, live streaming menjadi salah satu mata pencaharian bagi
masyarakat Indonesia. Bahkan banyak masyarakat Indonesia yang menjadikan live
streaming sebagai mata pencaharian utamanya. Dari penelusuran berita-berita pada
website dapat diketahui banyak streamer Nimo TV telah mendapatkan penghasilan
diatas PTKP yang telah ditentukan di Indonesia (www.kumparan.com, 2022).
Streamer live show Nimo TV yang mendapatkan penghasilan tentunya harus
menghitung pajak penghasilannya sesuai dengan peraturan pajak yang berlaku di
Indonesia. Hal ini dikarenakan Nimo TV merupakan perusahaan asing yang tidak bisa
memungut pajak para streamer tersebut. Dari adanya latar belakang ini maka peneliti
dapat menggunakan kerangka konseptual penelitian sebagai berikut:
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

STREAMER

PAJAK PENGHASILAN PAJAK PENGHASILAN


FINAL NON-FINAL

PENENTUAN JENIS PENGHASILAN


DAN PERHITUNGAN PAJAK
STREAMER NIMO TV

Kerangka konseptual tersebut bertujuan untuk memudahkan peneliti dalam


menyusun analisis penerapan pajak penghasilan berdasarkan jenis dan perhitungan
pajak penghasilan yang sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai