Anda di halaman 1dari 17

PERPAJAKAN

Oleh :

Kelompok 1 Manajemen Keuangan B

1. Ni Nyoman Ayuning Kertyasih 1902612010637/06


2. Putu Ayu Wika Deviyani 1902612010735/11
3. Ni Kadek Mertiasih 1902612010748/13

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR

2022
A. Penggolongan Jenis Pajak
Pajak, seperti hal lainnya memiliki beberapa jenis yang disebut golongan. Terdapat 3 jenis
golongan pajak yang ada di Indonesia, golongan ini terbagi dari sifat, cara pemungutannya
hingga siapa yang memungut pajak. Perbedaan ini ada untuk memudahkan dan memisahkan
peruntukkan pajak baik untuk wajib pajak maupun pemerintah. Kami akan membahasanya
satu persatu selengkapnya di bawah ini.
1. Golongan Pajak Menurut Sifatnya
Yang pertama adalah pajak menurut sifatnya, golongan pajak ini dibagi menjadi dua,
yaitu :
a. Pajak Subjektif
Pajak Subjektif adalah pajak yang diambil dengan mempertimbangkan kondisi dan
kemampuan subjek pajak atau wajib pajak. Kondisi yang dimaksud seperti status
kawin atau tidak kawin, mempunyai tanggungan keluarga atau tidak. Pajak ini
berlaku untuk setiap wajib pajak yang tinggal di Indonesia. Sementara itu, WNA
(Warga Negara Asing) yang tinggal di Indonesia dikenakan wajib pajak jika memiliki
keterikatan ekonomi serta bisnis dengan Indonesia. Contoh pajak subjektif adalah
pajak penghasilan dan pajak kekayaan.
b. Pajak Objektif
Pajak Objektif, pajak yang diambil hanya berdasarkan kondisi objek, tanpa
memperhatikan kondisi dari wajib pajak. Pajak objektif dikenakan pada seorang WNI
(Warga Negara Indonesia) jika penghasilan yang dimiliki sudah memenuhi syarat
sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Pajak yang masuk dalam pajak objektif
adalah pajak impor, pajak kendaraan bermotor (PKB), PPN, bea materai, serta bea
masuk.
2. Golongan Pajak Berdasarkan Cara Pemungutnya
Pengelompokan jenis pajak menurut cara pemungutannya dibagi menjadi dua yaitu pajak
langsung dan pajak tidak langsung, berikut penjelasannya :
a. Pajak Langsung
Jenis pajak langsung adalah pajak yang bebannya harus ditanggung sendiri oleh wajib
pajak yang bersangkutan dan tidak dapat dialihkan kepada orang lain. Dengan
demikian, pajak langsung harus dibayar sendiri oleh wajib pajak yang bersangkutan.
Pajak langsung biasanya melekat pada orang pribadi si wajib pajak, sehingga hak dan
kewajibannya  tidak dapat dialihkan ke pihak lain. Pajak yang termasuk dalam pajak
langsung di antaranya adalah :
1. Pajak penghasilan (PPh);
2. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
3. Pajak Kendaraan Bermotor.
b. Pajak Tidak Langsung
Pajak tidak langsung adalah pajak yang pajak yang bebannya dapat dialihkan atau
dilimpahkan kepada pihak lain. Dengan demikian, pembayaran pajak ini dapat
diwakilkan kepada pihak lain. Pajak tidak langsung juga tidak memiliki surat
ketetapan pajak, sehingga pengenaannya tidak dilakukan secara berkala, namun
dikaitkan dengan tindakan perbuatan atas kejadian.
Ada 3 unsur untuk mengenali pajak tidak langsung :
1. Penanggung jawab pajak yaitu orang yang secara formal yuridis diharuskan
melunasi pajak, bila padanya terdapat faktor atau kejadian yang menimbulkan
sebab untuk dikenakan pajak.
2. Penanggung pajak yaitu orang yang dalam kenyataannya memikul beban pajak.
3. Pemikul beban pajak, yakni orang yang menurut maksud pembuat undang-undang
harus memikul beban pajak.
3. Golongan Pajak Berdasarkan Lembaga Pemungutnya
Pajak ini dipungut dari 2 entitas pajak yang berbeda dan dibedakan menjadi 2,
yaitu Pajak Pusat dan Pajak Daerah.
a. Pajak Pusat
Pajak Pusat adalah pajak yang dipungut langsung oleh pemerintah pusat
melalui Dirjen Pajak dan disetorkan langsung ke negara. Hasil dari pungutan jenis
pajak ini kemudian digunakan untuk membiayai APBN, dan digunakan untuk
pembangunan negeri, seperti pembangunan jalan, bantuan kesehatan, sekolah, dan
lain sebagainya.
Jenis Pajak Pusat adalah sebagai berikut :
1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
2. Pajak Penghasilan (PPh)
3. Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM)
4. Pajak Bumi dan Bangungan – Pertambangan, perkebunan, dan perhutanan (PBB –
P3)
5. Bea Materai
b. Pajak Daerah
Pajak daerah adalah berbagai pajak yang dipungut dan dikelola oleh Pemerintah
Daerah baik di tingkat provinsi maupun kota/kabupaten. Hasil dari pungutan jenis
pajak ini nantinya digunakan untuk membiayai belanja pemerintah daerah. Contoh
pajak daerah adalah sebagai berikut :
a. Jenis Pajak Provinsi
1. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
2. Pajak Air Permukaan
3. Pajak Rokok
4. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB)
5. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)
b. Jenis Pajak Kabupaten/Kota :
1. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2)
2. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
3. Pajak Parkir
4. Pajak Air Tanah (PAT)
5. Pajak Sarang Burung Walet
6. Pajak Hotel
7. Pajak Restoran
8. Pajak Hiburan
9. Pajak Hiburan
10. Pajak Penerangan Jalan (PPJ)
11. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (PMBLB)
B. Subyek Pajak
Subyek pajak adalah individu atau badan yang punya hak dan kewajiban dalam perpajakan
sebagaimana telah diatur dalam peraturan yang berlaku di Indonesia. Istilah ini diatur dalam
Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun
1983 tentang pajak penghasilan. Menurut UU tersebut subjek pada pajak terdiri dari :
1. Orang Pribadi
Orang pribadi adalah perseorangan yang tinggal atau tidak tinggal di Indonesia baik itu
WNI/WNA tetapi memiliki penghasilan dari aktivitas ekonomi yang dilakukan di
Indonesia.
2. Badan
Badan adalah semua badan yang berdiri dan berkembang di Indonesia kecuali badan-
badan yang bersifat tidak komersil dan badan yang pembiayaannya berasal dari
APBN/APBD.
3. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan adalah harta warisan dari pewaris yang
harus dibayarkan terlebih dahulu oleh ahli waris sebelum mereka membagi-baginya.
Kewajiban pajak bagi ahli waris dimulai saat timbulnya warisan yang belum terbagi
tersebut dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi.
4. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha pribadi dari orang yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia seperti WNA atau WNI belum lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan berada di Indonesia dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
BUT dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan,
gedung, pabrik, bengkel, gudang, dan lain-lain.
Di Indonesia, kita mengenal pembagian subjek pajak menjadi dua yakni subjek pajak dalam
negeri dan subjek pajak luar negeri.
1. Subyek Pajak Dalam Negeri
Subjek pajak dalam negeri ditentukan berdasarkan domisili pendiriannya atau lamanya
suatu aktivitas bisnis dilakukan di Indonesia.
Subjek pajak dalam negeri bisa berupa orang perorangan, badan dan warisan yang belum
dibagi.
a. Jika orang perorangan lahir di Indonesia atau telah tinggal selama lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu 12 bulan, atau berniat untuk tinggal lama di Indonesia, dia dapat
disebut sebagai subjek pajak pribadi dalam negeri.
b. Begitu juga dengan badan. Suatu badan dapat disebut sebagai subjek pajak dalam
negeri ketika didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia selama lebih dari 183
hari.  Namun, unit tertentu dari badan pemerintah yang dibentuk berdasarkan
peraturan perundang-undangan atau pembiayaannya bersumber dari
APBN/APBDdikecualikan dari ketentuan ini.
Badan yang dikecualikan tersebut diatur oleh ketentuan subjek pajak khusus di bawah
kebijakan pemerintah pusat atau daerah. Contoh dari badan yang dikecualikan
tersebut adalah BUMN/BUMD.
c. Warisan yang belum terbagi dinyatakan sebagai subjek pajak dalam negeri karena
menggantikan satu kesatuan dari pewaris, mendapat perlindungan hukum Indonesia
dan melakukan aktivitas ekonomi di Indonesia.
2. Subyek Pajak Luar Negeri
Subjek pajak luar negeri mencakup orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia.
a. Orang pribadi yang berada di Indonesia tapi tidak lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan.
b. Badan usaha tetap yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
namun menjalankan usaha atau melakukan kegiatan bisnis di Indonesia.
C. Obyek Pajak
Obyek pajak adalah penghasilan atau disebut juga setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dikonsumsi atau meningkatkan harta kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk :
1. Penghasilan karena pekerjaan / jasa, gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun dan imbalan lainnya terkecuali ditentukan lain dalam Undang-
undang;
2. Hadiah undian, hadiah dari pekerjaan atau kegiatan dan hadiah penghargaan;
3. Laba usaha;
4. Keuntungan penjualan atau keuntungan dari pengalihan harta;
5. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
6. Keuntungan yang diperoleh karena adanya pengalihan harta kepada para pemegang
saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
seperti :
a. Keuntungan likuidasi, keuntungan penggabungan, keuntungan peleburan, keuntungan
pemekaran, keuntungan pemecahan, keuntungan pengambilalihan usaha atau
reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
b. Keuntungan dari pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali
yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan
badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau
orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan;
c. Keuntungan dari penjualan / pengalihan sebagian atau semuanya dari hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan;
d. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang sudah dibebankan menjadi biaya dan
pembayaran tambahan dari pengembalian pajak.
7. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
8. Dividen, termasuk yang diberikan  perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan
pembagian SHU (Sisa Hasil Usaha) koperasi;
9. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
10. Sewa dan penghasilan lain yang berhubungan dengan penggunaan harta;
11. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
12. Keuntungan yang diperoleh karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
13. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
14. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
15. Premi asuransi;
16. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib
Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
17. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
18. Penghasilan dari usaha berbasis syariah;
19. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
ketentuan umum dan tata cara perpajakan;
20. Surplus Bank Indonesia.
D. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak
Sebagai Wajib Pajak di Indonesia, Wajib Pajak memiliki hak dan kewajiban yang harus
dipatuhi. Ketentuan terkait hak dan kewajiban Wajib Pajak ini telah diatur dalam Undang-
undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Berikut Hak dan Kewajiban Wajib
Pajak di Indonesia.
a. Hak Wajib Pajak
1. Hak dalam hal Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan
Wajib Pajak berhak untuk melihat tanda pengenal pemeriksa, meminta surat perintah
pemeriksaan, menerima penjelasan terkait maksud dan tujuan pemeriksaan, meminta
detail perbedaan antara hasil pemeriksaan dan SPT, serta hadir saat pembahasan akhir
hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.
2. Hak mengajukan keberatan, banding dan peninjauan kembali
Apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan surat ketetapan pajak dari Ditjen Pajak,
maka dapat mengajukan keberatan. Wajib Pajak juga berhak mengajukan banding
hingga peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
3. Hak katas kelebihan pembayaran pajak
Jika Wajib Pajak membayar pajak dengan jumlah lebih banyak dari seharusnya, maka
Wajib Pajak berhak menerima kelebihan bayarnya. Caranya adalah mengirimkan
surat permohonan ke Kepala Kantor Pajak Pratama (KPP) atau melalui Surat
Pemberitahuan (SP).
4. Hak pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak
Bagi Wajib Pajak yang termasuk Wajib Pajak patuh, maka berhak mendapat
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dalam waktu minimal satu
bulan untuk PPN dan tiga bulan untuk PPh terhitung sejak surat permohonan diterima
Ditjen Pajak.
5. Hak untuk pengangsuran atau penundaan pembayaran
Pada kondisi-kondisi tertentu, Wajib Pajak bisa meminta permohonan pengangsuran
atau penundaan untuk membayar pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan
di Indonesia.
6. Hak kerahasiaan
Hak dan kewajiban Wajib Pajak juga menyangkut perlindungan kerahasiaan atas
semua informasi yang Wajib Pajak sampaikan kepada Ditjen Pajak terkait
kepentingan perpajakan. Hal-hal yang dilindungi mencakup data dari pihak ketiga
yang sifatnya rahasia.
7. Hak pengurangan pajak bumi dan bangunan (PBB)
Apabila terjadi kondisi tertentu, misalnya kerusakan bumi dan bangunan akibat
bencana alam, Wajib Pajak berhak mengajukan pengurangan pajak terutang PBB. 
8. Hak penundaan pelaporan SPT Tahunan
Wajib Pajak dapat mengajukan perpanjangan atau penundaan penyampaian SPT
Tahunan PPh Orang Pribadi maupun PPh badan dengan alasan atau kondisi tertentu.
9. Hak pembebasan pajak
Wajib Pajak berhak mengajukan permohonan pembebasan pemungutan atau
pemotongan Pajak Penghasilan dengan alasan atau kondisi tertentu.
10. Hak pengurangan PPh Pasal 25
Wajib Pajak dapat meminta permohonan pengurangan jumlah angsuran PPh Pasal 25
dengan kondisi tertentu.
11. Hak mendapatkan insetif perpajakan
Sejumlah kegiatan atau Barang Kena Pajak (BKP) berhak atas fasilitas pembebasan
PPN, di antaranya buku-buku, pesawat udara, kereta api, kapal laut, serta
perlengkapan TNI/Polri yang diimpor atau diserahkan di area pabean oleh Wajib
Pajak tertentu.
12. Hak mendapatkan pajak ditanggung pemerintah
Khusus pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai menggunakan hibah atau dana
pinjaman luar negeri, PPh terutang atas penghasilan konsultan, kontraktor,
dan supplier utama ditanggung pemerintah.
b. Kewajiban Wajib Pajak
1. Kewajiban mendaftarkan diri
Salah satu hak dan kewajiban Wajib Pajak yang utama adalah mendaftarkan diri
untuk mendapat Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Hal ini bisa dilakukan di
KP2KP atau KPP. Bisa juga secara online melalui ereg.pajak.go.id atau aplikasi pajak
online AyoPajak yang telah diawasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
2. Kewajiban memberi data
Data yang dimaksud adalah informasi orang pribadi atau badan yang dapat
menunjukkan kegiatan/usaha, penghasilan dan/atau kekayaan, peredaran usaha,
termasuk informasi terkait transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, nasabah debitur,
kartu kredit, hingga laporan keuangan dan/atau laporan kegiatan usaha yang
disampaikan kepada instansi lain di luar Ditjen Pajak.
3. Kewajiban pembayaran, pelaporan, pemungutan/pemotongan pajak
Wajib Pajak harus menghitung, membayar, dan melaporkan pajak terutangnya
sendiri. Wajib Pajak bisa melakukan hal ini secara mudah dan praktis
melalui platform AyoPajak.
4. Kewajiban pemeriksaan
Contoh kewajiban yang dimaksud adalah memenuhi panggilan untuk menghadiri
pemeriksaan, memberikan izin untuk memasuki ruangan atau tempat yang dinilai
perlu, dan memberikan keterangan jika dibutuhkan.
E. Hak dan Kewajiban Fiskus
Fiskus atau yang bisa disebut juga dengan Aparatur Pajak atau Pejabat Pajak merupakan
orang ataupun badan yang memiliki tugas untuk dapat melakukan pemungutan pajak
atau iuran terhadap Wajib Pajak.
a. Hak Fiskus
1. Menerbitkan NPWP dan NPPKP secara jabatan
Sesuai dengan self assessment system, apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena
Pajak tidak melakukan kewajibannya untuk mendaftarkan diri dan atau melaporkan
usahanya ke kantor pajak, maka Direktorat Jendral Pajak berhak untuk menerbitkan
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)/ Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
(NPPKP) secara jabatan.
 Hal ini dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh oleh kantor pajak ternyata
Wajib Pajak atau pengusaha kena pajak telah memenuhi syarat untuk memperoleh
NPWP dan dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak .
2. Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) berhak menerbitkan surat ketetapan pajak berupa
Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang (SPPT) sebagai dasar hukum besarnya penetapan pajak yang harus dibayar
Wajib Pajak.
3. Menerbitkan Surat Paksa dan Melaksanakan Penyitaan
Dalam hal Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak setelah jatuh tempo pembayaran,
fiskus berhak untuk menerbitkan surat paksa dalam waktu yang ditentukan. Apabila
dalam waktu tersebut Wajib Pajak belum juga melunasi, maksa fiskus
menindaklanjutinya dengan melaksanakan penyitaan.
4. Melakukan Pemeriksaan dan Penyegelan
Fiskus melakukan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain. Sedangkan penyegelan terhadap tempat
atau ruangan dilakukan untuk mengamankan atau mencegah hilangnya pembukuan,
catatan atau dokumen yang diperlukan.
5. Menghapuskan atau Mengurangkan Sanksi Administrasi
Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dilakukan apabila Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan/Pembatalan Ketetapan Pajak
yang tidak benar atau Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan
Peninjauan Kembali, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar berkurang
atau dibatalkan.
6. Melakukan Penyidikan
Penyidikan dilakukan apabila Wajib Pajak diduga melakukan tindak pidana
perpajakan. Penyidikan ini dilaksanakan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
yang ada di Direktorat Jenderal Pajak. Apabila terbukti melakukan tindak pidana
perpajakan, maka akan dibawa ke pengadilan untuk ditindaklanjuti.
7.  Melakukan Pencegahan
Hak melakukan pencegahan terhadap Wajib Pajak untuk pergi ke luar negeri.
Pencegahan dilakukan apabila Wajib Pajak mempunyai utang pajak sekurang-
kurangnya Rp 100.000.000 dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang
pajaknya.
8. Melakukan Penyanderaan
Hak melakukan penyanderaan terhadap Wajib Pajak atau Penanggung Pajak di
tempat tertentu. Penyanderaan dilakukan apabila WP atau Penanggung Pajak
mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya Rp 100.000.000 dan diragukan itikad
baiknya dalam melunasi utang pajaknya.
b. Kewajiban Fiskus
1. Kewajiban untuk membina Wajib Pajak Dilakukan dengan berbagai upaya seperti
pemberian penyuluhan, konseling, pemberitahuan pengetahuan perpajakan melalui
media massa maupun secara langsung.
Sehubungan dengan penerapan self assessment system, Direktorat Jenderal Pajak
wajib melakukan pembinaan terhadap Wajib Pajak seperti dalam hal :
a. Pelaksanaan pembukuan/pencatatan;
b. Penghitungan besarnya pajak;
c. Pelaporan kewajiban pajak;
d. Pembuatan Faktur Pajak;
e. Administrasi perpajakan.
2. Kewajiban menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB).
a.  Jika dalam suatu masa pajak, atau tahun pajak ternyata menurut penghitungan
Wajib Pajak terjadi lebih bayar, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran tersebut (restitusi)

b. Setelah melalui proses penelitian/pemeriksaan oleh Fiskus, bila ternyata menurut


ketentuan UU Perpajakan memang lebih bayar, maka Fiskus akan menerbitkan
SKPLB untuk pengembalian lebih bayar pajak.
3. Merahasiakan Data Wajib Pajak (Pasal 34 UU KUP)
Atas data Wajib Pajak yang ada dan disampaikan kepada Fiskus, dirahasiakan untuk
kepentingan di luar Direktorat Jenderal Pajak.
4. Kewajiban melakukan Putusan
Putusan Pengadilan Pajak harus dilaksanakan oleh Pejabat yang berwenang dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterima putusan. (Pasal 88
ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak)
F. Teori pemungutan pajak
Ada lima teori pemungutan pajak yang digunakan dalam pemungutan pajak di Indonesia
yang wajib kita ketahui. Berikut penjelasan kelima teori tersebut.
1. Teori Asuransi
Menurut teori asuransi, pembayaran pajak diibaratkan seperti membayar premi
dalam perusahaan asuransi dengan harapan mendapatkan perlindungan dari kejadian
tidak terduga di masa yang akan datang.
Premi asuransi harus dibayarkan oleh setiap peserta asuransi. Dana tersebut kemudian
akan digunakan untuk menjamin kehidupan setiap peserta asuransi yang mengalami
kejadian tidak terduga yang bisa mengganggu keuangan pribadi.
2. Teori Kepentingan
Dalam teori kepentingan, ibarat dua belah pihak yang saling membutuhkan dan saling
menguntungkan. Negara harus melindungi harta dan jiwa masyarakat agar
kepentingannya bisa terlaksana dengan baik.
Untuk melakukan itu semua pastinya diperlukan biaya yang cukup banyak, biaya yang
cukup banyak tersebut dibebankan kepada masyarakat. Biaya yang dikeluarkan
masyarakat itu sama dengan masyarakat yang membayar pajak.
3. Teori Gaya Pikul
Dalam teori gaya pikul, pajak yang harus dibayarkan oleh masyarakat harus sesuai gaya
pikul dan ukuran yang sesuai dengan pengeluaran dan penghasilan, baik perorangan atau
sebuah badan usaha.
Gaya pikul yang digunakan untuk membayar pajak akan muncul apabila kebutuhan
primer dari individu sudah terpenuhi. Jika individu masih memiliki penghasilan di bawah
PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) maka belum memiliki gaya pikul.
4. Teori Bakti
Teori bakti mengatakan jika suatu negara memiliki hak mutlak untuk mengambil pajak
dari rakyat. Rakyat sudah memahami bahwa membayar pajak merupakan sebuah
kewajiban dan tanda bakti kepada negara.
Hal tersebut dilakukan agar sistem pemerintahan negara bisa terus berjalan dengan baik.
Rakyat sudah mulai mengerti bahwa uang pajak yang dibayarkan akan dikelola
pemerintah untuk banyak hal, seperti membangun infrastruktur.
5. Teori Daya Beli
Teori daya beli ini sangat erat berkaitan dengan kemampuan masyarakat saat melakukan
transaksi jual beli. Masyarakat yang banyak dengan kebutuhan yang berbeda-beda tentu
membutuhkan berbagai barang untuk memenuhi setiap kebutuhannya.
Pada transaksi jual beli, jenis pajak yang dikenakan adalah pajak PPN (Pajak
Pertambahan Nilai dan PPnBM (Pajak Penjualan Atas Barang Mewah). Jadi semakin
mewah atau semakin mahal barang yang dimiliki masyarakat, maka nominal pajaknya
semakin besar pula.
G. Asas pemungutan pajak
Ada 7 asas pemungutan pajak yang di terapkan di Indonesia, antara lain :
1. Asas Finansial
Asas Finansial adalah asas yang dilakukan berdasarkan kondisi keuangan atau kondisi
finansial wajib pajak. Asas ini menekankan pada kemampuan wajib pajak dalam
membayar tanpa memberatkan wajib pajak. Misalnya, pekerja dengan gaji Rp 10.000.000
per bulan akan membayar pajak lebih besar daripada pekerja yang hanya mendapatkan
gaji sebesar Rp 3.000.000 per bulan.
2. Asas Ekonomis
Asas ekonomis menunjukkan bahwa pemungutan pajak harus digunakan atau
dimanfaatkan guna kepentingan umum dan tidak akan mengakibatkan kemerosotan
ekonomi nasional. Misalnya, pungutan pajak tidak digunakan untuk pembangunan
infrastruktur yang bersifat pemborosan melainkan pembangunan infrastruktur yang
memang dibutuhkan. Misalnya melakukan pembangunan jalan tol di Sumatera supaya
akses penyaluran bahan kebutuhan.
3. Asas Yuridis
Asas yuridis pemungutan pajak di Indonesia adalah UUD 1945 pasal 23 ayat 2 “Segala
pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”. Hal ini dapat diartikan
dengan, pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum
pemerintahan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun
pembangunan.
4. Asas Umun
Asas umum menyatakan bahwa pemungutan pajak harus didasarkan pada keadilan
umum. Hal ini bertujuan agar pemungutan maupun penggunaan pajak dirancang dari dan
untuk masyarakat. Berdasarkan hal ini, diharapkan masyarakat dengan sukarela
melakukan pembayaran pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
5. Asas Kebangsaan
Asas kebangsaan menunjukkan bahwa seluruh bangsa Indonesia tanpa terkecuali akan
dikenai pajak atau dengan kata lain menjadi wajib pajak. Begitu juga dengan bangsa
asing yang menetap di Indonesia selama dua belas bulan berturut-turut tanpa pernah
meninggalkan Indonesia akan menjadi wajib pajak.
6. Asas Sumber
sas sumber menyatakan bahwa pemungutan pajak harus disesuaikan dengan tempat
perusahaan berdiri atau tempat tinggal wajib pajak itu sendiri. Misalnya, bangsa
Indonesia yang bekerja pada perusahaan asing di luar negeri tidak wajib dikenai pajak
penghasilan oleh pemerintah. Begitu juga sebaliknya, bagi warga negara asing yang
bekerja pada perusahaan nasional di Indonesia wajib dikenai pajak oleh pemerintah
Indonesia.
7. Asas Wilayah
Asas wilayah menunjukkan bahwa subjek pajak dan objek pajak yang berada di wilayah
Indonesia harus dikenai pajak. Hal ini juga berlaku bagi aset bangsa lain yang berada di
Indonesia wajib dikenai pajak Indonesia yang tarifnya telah disesuaikan.
H. Hukum pajak
Hukum pajak adalah sekumpulan peraturan yang mengatur hak dan kewajiban, serta
hubungan antara wajib pajak dan pemerintah selaku pemungut pajak. Pemerintah dalam hal
ini diwakilkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, yang berwenang mengambil kekayaan
seseorang dalam bentuk pembayaran pajak. Hukum pajak juga merupakan bagian dari hukum
publik, karena hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah dengan wajib pajak.
a. Peraturan Perundangan Perpajakan
Setidaknya, ada delapan undang-undang yang menjadi landasan atau dasar hukum
pemungutan pajak di Indonesia, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai;
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan;
3. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan;
4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Penghasilan;
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Pajak Pertambahan Nilai atas
Barang dan Jasa dan Penjualan atas Barang Mewah;
6. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak  dengan Surat
Paksa;
7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan;
8. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak.
b. Fungsi Hukum Pajak
1. Hukum pajak berfungsi sebagai acuan dalam menciptakan sistem pemungutan pajak
yang berlandaskan atas dasar keadilan, efisien, serta diatur sejelas-jelasnya dalam
undang-undang tentang hukum pajak itu sendiri.
2. Hukum pajak berfungsi sebagai sumber yang menerangkan tentang siapa subjek dan
objek yang perlu atau tidak perlu dijadikan sumber pemungutan pajak demi
meningkatkan potensi pajak secara keseluruhan.
c. Macam – macam Hukum Pajak
1. Hukum Pajak Formal
Hukum pajak yang memuat adanya ketentuan-ketentuan dalam mewujudkan hukum
pajak material menjadi kenyataan. Hukum pajak formal memuat tata cara atau
prosedur penetapan jumlah utang pajak, hak-hak fiskus untuk mengadakan evaluasi.
Hukum pajak formal juga menentukan kewajiban wajib pajak untuk mengadakan
pembukuan, serta prosedur pengajuan surat keberatan maupun banding. Contoh
hukum pajak formal adalah Tata Cara Perpajakan.
2. Hukum Pajak Material
Hukum pajak yang memuat tentang ketentuan-ketentuan terhadap keadaan yang
dikenai pajak (obyek pajak), siapa yang akan dikenakan pajak (subyek pajak) dan
siapa yang dikecualikan dengan pajak serta berapa jumlah yang harus dibayar (tarif
pajak). Contoh hukum pajak material adalah Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN).
I. Tarif Pajak
Tarif pajak adalah dasar pengenaan pajak terhadap objek pajak yang menjadi tanggungannya.
Tarif pajak biasanya berupa presentase (%). Dasar Pengenaan Pajak adalah nilai berapa uang
yang dijadikan untuk menghitung pajak yang terutang. Secara struktural menurut tarif pajak
dibagi dalam empat jenis yaitu :
1. Tarif proporsional (a proportional tax rate structure) yaitu tarif pajak yang presentasenya
tetap meskipun terjadi perubahan dasar pengenaan pajak. Contoh : Pajak Pertambahan
Nilai.
2. Tarif regresif / tetap (a regresive tax rate structure) yaitu tarif pajak akan selalu tetap
sesuai peraturan yang telah ditetapkan.
3. Tarif progresif (a progresive tax rate structure) yaitu tarif pajak akan semakin naik
sebanding dengan naiknya dasar pengenaan pajak. Contoh Pajak Pengahsilan.
4. Tarif degresif (a degresive tax rate structure) yaitu kenaikan persentase tarif pajak akan
semakin rendah ketika dasar pengenaan pajaknya semakin meningkat.
Tarif Pajak yang berlaku untuk Pajak Penghasilan di Indonesia adalah tarif progressif
sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan. Sedangkan untuk
Pajak Pertambahan Nilai berlaku tarif pajak proporsional yaitu 10%.

Anda mungkin juga menyukai