Oleh :
2022
A. Penggolongan Jenis Pajak
Pajak, seperti hal lainnya memiliki beberapa jenis yang disebut golongan. Terdapat 3 jenis
golongan pajak yang ada di Indonesia, golongan ini terbagi dari sifat, cara pemungutannya
hingga siapa yang memungut pajak. Perbedaan ini ada untuk memudahkan dan memisahkan
peruntukkan pajak baik untuk wajib pajak maupun pemerintah. Kami akan membahasanya
satu persatu selengkapnya di bawah ini.
1. Golongan Pajak Menurut Sifatnya
Yang pertama adalah pajak menurut sifatnya, golongan pajak ini dibagi menjadi dua,
yaitu :
a. Pajak Subjektif
Pajak Subjektif adalah pajak yang diambil dengan mempertimbangkan kondisi dan
kemampuan subjek pajak atau wajib pajak. Kondisi yang dimaksud seperti status
kawin atau tidak kawin, mempunyai tanggungan keluarga atau tidak. Pajak ini
berlaku untuk setiap wajib pajak yang tinggal di Indonesia. Sementara itu, WNA
(Warga Negara Asing) yang tinggal di Indonesia dikenakan wajib pajak jika memiliki
keterikatan ekonomi serta bisnis dengan Indonesia. Contoh pajak subjektif adalah
pajak penghasilan dan pajak kekayaan.
b. Pajak Objektif
Pajak Objektif, pajak yang diambil hanya berdasarkan kondisi objek, tanpa
memperhatikan kondisi dari wajib pajak. Pajak objektif dikenakan pada seorang WNI
(Warga Negara Indonesia) jika penghasilan yang dimiliki sudah memenuhi syarat
sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Pajak yang masuk dalam pajak objektif
adalah pajak impor, pajak kendaraan bermotor (PKB), PPN, bea materai, serta bea
masuk.
2. Golongan Pajak Berdasarkan Cara Pemungutnya
Pengelompokan jenis pajak menurut cara pemungutannya dibagi menjadi dua yaitu pajak
langsung dan pajak tidak langsung, berikut penjelasannya :
a. Pajak Langsung
Jenis pajak langsung adalah pajak yang bebannya harus ditanggung sendiri oleh wajib
pajak yang bersangkutan dan tidak dapat dialihkan kepada orang lain. Dengan
demikian, pajak langsung harus dibayar sendiri oleh wajib pajak yang bersangkutan.
Pajak langsung biasanya melekat pada orang pribadi si wajib pajak, sehingga hak dan
kewajibannya tidak dapat dialihkan ke pihak lain. Pajak yang termasuk dalam pajak
langsung di antaranya adalah :
1. Pajak penghasilan (PPh);
2. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
3. Pajak Kendaraan Bermotor.
b. Pajak Tidak Langsung
Pajak tidak langsung adalah pajak yang pajak yang bebannya dapat dialihkan atau
dilimpahkan kepada pihak lain. Dengan demikian, pembayaran pajak ini dapat
diwakilkan kepada pihak lain. Pajak tidak langsung juga tidak memiliki surat
ketetapan pajak, sehingga pengenaannya tidak dilakukan secara berkala, namun
dikaitkan dengan tindakan perbuatan atas kejadian.
Ada 3 unsur untuk mengenali pajak tidak langsung :
1. Penanggung jawab pajak yaitu orang yang secara formal yuridis diharuskan
melunasi pajak, bila padanya terdapat faktor atau kejadian yang menimbulkan
sebab untuk dikenakan pajak.
2. Penanggung pajak yaitu orang yang dalam kenyataannya memikul beban pajak.
3. Pemikul beban pajak, yakni orang yang menurut maksud pembuat undang-undang
harus memikul beban pajak.
3. Golongan Pajak Berdasarkan Lembaga Pemungutnya
Pajak ini dipungut dari 2 entitas pajak yang berbeda dan dibedakan menjadi 2,
yaitu Pajak Pusat dan Pajak Daerah.
a. Pajak Pusat
Pajak Pusat adalah pajak yang dipungut langsung oleh pemerintah pusat
melalui Dirjen Pajak dan disetorkan langsung ke negara. Hasil dari pungutan jenis
pajak ini kemudian digunakan untuk membiayai APBN, dan digunakan untuk
pembangunan negeri, seperti pembangunan jalan, bantuan kesehatan, sekolah, dan
lain sebagainya.
Jenis Pajak Pusat adalah sebagai berikut :
1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
2. Pajak Penghasilan (PPh)
3. Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM)
4. Pajak Bumi dan Bangungan – Pertambangan, perkebunan, dan perhutanan (PBB –
P3)
5. Bea Materai
b. Pajak Daerah
Pajak daerah adalah berbagai pajak yang dipungut dan dikelola oleh Pemerintah
Daerah baik di tingkat provinsi maupun kota/kabupaten. Hasil dari pungutan jenis
pajak ini nantinya digunakan untuk membiayai belanja pemerintah daerah. Contoh
pajak daerah adalah sebagai berikut :
a. Jenis Pajak Provinsi
1. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
2. Pajak Air Permukaan
3. Pajak Rokok
4. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB)
5. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)
b. Jenis Pajak Kabupaten/Kota :
1. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2)
2. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
3. Pajak Parkir
4. Pajak Air Tanah (PAT)
5. Pajak Sarang Burung Walet
6. Pajak Hotel
7. Pajak Restoran
8. Pajak Hiburan
9. Pajak Hiburan
10. Pajak Penerangan Jalan (PPJ)
11. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (PMBLB)
B. Subyek Pajak
Subyek pajak adalah individu atau badan yang punya hak dan kewajiban dalam perpajakan
sebagaimana telah diatur dalam peraturan yang berlaku di Indonesia. Istilah ini diatur dalam
Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun
1983 tentang pajak penghasilan. Menurut UU tersebut subjek pada pajak terdiri dari :
1. Orang Pribadi
Orang pribadi adalah perseorangan yang tinggal atau tidak tinggal di Indonesia baik itu
WNI/WNA tetapi memiliki penghasilan dari aktivitas ekonomi yang dilakukan di
Indonesia.
2. Badan
Badan adalah semua badan yang berdiri dan berkembang di Indonesia kecuali badan-
badan yang bersifat tidak komersil dan badan yang pembiayaannya berasal dari
APBN/APBD.
3. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan adalah harta warisan dari pewaris yang
harus dibayarkan terlebih dahulu oleh ahli waris sebelum mereka membagi-baginya.
Kewajiban pajak bagi ahli waris dimulai saat timbulnya warisan yang belum terbagi
tersebut dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi.
4. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha pribadi dari orang yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia seperti WNA atau WNI belum lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan berada di Indonesia dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
BUT dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan,
gedung, pabrik, bengkel, gudang, dan lain-lain.
Di Indonesia, kita mengenal pembagian subjek pajak menjadi dua yakni subjek pajak dalam
negeri dan subjek pajak luar negeri.
1. Subyek Pajak Dalam Negeri
Subjek pajak dalam negeri ditentukan berdasarkan domisili pendiriannya atau lamanya
suatu aktivitas bisnis dilakukan di Indonesia.
Subjek pajak dalam negeri bisa berupa orang perorangan, badan dan warisan yang belum
dibagi.
a. Jika orang perorangan lahir di Indonesia atau telah tinggal selama lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu 12 bulan, atau berniat untuk tinggal lama di Indonesia, dia dapat
disebut sebagai subjek pajak pribadi dalam negeri.
b. Begitu juga dengan badan. Suatu badan dapat disebut sebagai subjek pajak dalam
negeri ketika didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia selama lebih dari 183
hari. Namun, unit tertentu dari badan pemerintah yang dibentuk berdasarkan
peraturan perundang-undangan atau pembiayaannya bersumber dari
APBN/APBDdikecualikan dari ketentuan ini.
Badan yang dikecualikan tersebut diatur oleh ketentuan subjek pajak khusus di bawah
kebijakan pemerintah pusat atau daerah. Contoh dari badan yang dikecualikan
tersebut adalah BUMN/BUMD.
c. Warisan yang belum terbagi dinyatakan sebagai subjek pajak dalam negeri karena
menggantikan satu kesatuan dari pewaris, mendapat perlindungan hukum Indonesia
dan melakukan aktivitas ekonomi di Indonesia.
2. Subyek Pajak Luar Negeri
Subjek pajak luar negeri mencakup orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia.
a. Orang pribadi yang berada di Indonesia tapi tidak lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan.
b. Badan usaha tetap yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
namun menjalankan usaha atau melakukan kegiatan bisnis di Indonesia.
C. Obyek Pajak
Obyek pajak adalah penghasilan atau disebut juga setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dikonsumsi atau meningkatkan harta kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk :
1. Penghasilan karena pekerjaan / jasa, gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun dan imbalan lainnya terkecuali ditentukan lain dalam Undang-
undang;
2. Hadiah undian, hadiah dari pekerjaan atau kegiatan dan hadiah penghargaan;
3. Laba usaha;
4. Keuntungan penjualan atau keuntungan dari pengalihan harta;
5. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
6. Keuntungan yang diperoleh karena adanya pengalihan harta kepada para pemegang
saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
seperti :
a. Keuntungan likuidasi, keuntungan penggabungan, keuntungan peleburan, keuntungan
pemekaran, keuntungan pemecahan, keuntungan pengambilalihan usaha atau
reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
b. Keuntungan dari pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali
yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan
badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau
orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan;
c. Keuntungan dari penjualan / pengalihan sebagian atau semuanya dari hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan;
d. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang sudah dibebankan menjadi biaya dan
pembayaran tambahan dari pengembalian pajak.
7. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
8. Dividen, termasuk yang diberikan perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan
pembagian SHU (Sisa Hasil Usaha) koperasi;
9. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
10. Sewa dan penghasilan lain yang berhubungan dengan penggunaan harta;
11. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
12. Keuntungan yang diperoleh karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
13. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
14. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
15. Premi asuransi;
16. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib
Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
17. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
18. Penghasilan dari usaha berbasis syariah;
19. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
ketentuan umum dan tata cara perpajakan;
20. Surplus Bank Indonesia.
D. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak
Sebagai Wajib Pajak di Indonesia, Wajib Pajak memiliki hak dan kewajiban yang harus
dipatuhi. Ketentuan terkait hak dan kewajiban Wajib Pajak ini telah diatur dalam Undang-
undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Berikut Hak dan Kewajiban Wajib
Pajak di Indonesia.
a. Hak Wajib Pajak
1. Hak dalam hal Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan
Wajib Pajak berhak untuk melihat tanda pengenal pemeriksa, meminta surat perintah
pemeriksaan, menerima penjelasan terkait maksud dan tujuan pemeriksaan, meminta
detail perbedaan antara hasil pemeriksaan dan SPT, serta hadir saat pembahasan akhir
hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.
2. Hak mengajukan keberatan, banding dan peninjauan kembali
Apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan surat ketetapan pajak dari Ditjen Pajak,
maka dapat mengajukan keberatan. Wajib Pajak juga berhak mengajukan banding
hingga peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
3. Hak katas kelebihan pembayaran pajak
Jika Wajib Pajak membayar pajak dengan jumlah lebih banyak dari seharusnya, maka
Wajib Pajak berhak menerima kelebihan bayarnya. Caranya adalah mengirimkan
surat permohonan ke Kepala Kantor Pajak Pratama (KPP) atau melalui Surat
Pemberitahuan (SP).
4. Hak pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak
Bagi Wajib Pajak yang termasuk Wajib Pajak patuh, maka berhak mendapat
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dalam waktu minimal satu
bulan untuk PPN dan tiga bulan untuk PPh terhitung sejak surat permohonan diterima
Ditjen Pajak.
5. Hak untuk pengangsuran atau penundaan pembayaran
Pada kondisi-kondisi tertentu, Wajib Pajak bisa meminta permohonan pengangsuran
atau penundaan untuk membayar pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan
di Indonesia.
6. Hak kerahasiaan
Hak dan kewajiban Wajib Pajak juga menyangkut perlindungan kerahasiaan atas
semua informasi yang Wajib Pajak sampaikan kepada Ditjen Pajak terkait
kepentingan perpajakan. Hal-hal yang dilindungi mencakup data dari pihak ketiga
yang sifatnya rahasia.
7. Hak pengurangan pajak bumi dan bangunan (PBB)
Apabila terjadi kondisi tertentu, misalnya kerusakan bumi dan bangunan akibat
bencana alam, Wajib Pajak berhak mengajukan pengurangan pajak terutang PBB.
8. Hak penundaan pelaporan SPT Tahunan
Wajib Pajak dapat mengajukan perpanjangan atau penundaan penyampaian SPT
Tahunan PPh Orang Pribadi maupun PPh badan dengan alasan atau kondisi tertentu.
9. Hak pembebasan pajak
Wajib Pajak berhak mengajukan permohonan pembebasan pemungutan atau
pemotongan Pajak Penghasilan dengan alasan atau kondisi tertentu.
10. Hak pengurangan PPh Pasal 25
Wajib Pajak dapat meminta permohonan pengurangan jumlah angsuran PPh Pasal 25
dengan kondisi tertentu.
11. Hak mendapatkan insetif perpajakan
Sejumlah kegiatan atau Barang Kena Pajak (BKP) berhak atas fasilitas pembebasan
PPN, di antaranya buku-buku, pesawat udara, kereta api, kapal laut, serta
perlengkapan TNI/Polri yang diimpor atau diserahkan di area pabean oleh Wajib
Pajak tertentu.
12. Hak mendapatkan pajak ditanggung pemerintah
Khusus pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai menggunakan hibah atau dana
pinjaman luar negeri, PPh terutang atas penghasilan konsultan, kontraktor,
dan supplier utama ditanggung pemerintah.
b. Kewajiban Wajib Pajak
1. Kewajiban mendaftarkan diri
Salah satu hak dan kewajiban Wajib Pajak yang utama adalah mendaftarkan diri
untuk mendapat Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Hal ini bisa dilakukan di
KP2KP atau KPP. Bisa juga secara online melalui ereg.pajak.go.id atau aplikasi pajak
online AyoPajak yang telah diawasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
2. Kewajiban memberi data
Data yang dimaksud adalah informasi orang pribadi atau badan yang dapat
menunjukkan kegiatan/usaha, penghasilan dan/atau kekayaan, peredaran usaha,
termasuk informasi terkait transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, nasabah debitur,
kartu kredit, hingga laporan keuangan dan/atau laporan kegiatan usaha yang
disampaikan kepada instansi lain di luar Ditjen Pajak.
3. Kewajiban pembayaran, pelaporan, pemungutan/pemotongan pajak
Wajib Pajak harus menghitung, membayar, dan melaporkan pajak terutangnya
sendiri. Wajib Pajak bisa melakukan hal ini secara mudah dan praktis
melalui platform AyoPajak.
4. Kewajiban pemeriksaan
Contoh kewajiban yang dimaksud adalah memenuhi panggilan untuk menghadiri
pemeriksaan, memberikan izin untuk memasuki ruangan atau tempat yang dinilai
perlu, dan memberikan keterangan jika dibutuhkan.
E. Hak dan Kewajiban Fiskus
Fiskus atau yang bisa disebut juga dengan Aparatur Pajak atau Pejabat Pajak merupakan
orang ataupun badan yang memiliki tugas untuk dapat melakukan pemungutan pajak
atau iuran terhadap Wajib Pajak.
a. Hak Fiskus
1. Menerbitkan NPWP dan NPPKP secara jabatan
Sesuai dengan self assessment system, apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena
Pajak tidak melakukan kewajibannya untuk mendaftarkan diri dan atau melaporkan
usahanya ke kantor pajak, maka Direktorat Jendral Pajak berhak untuk menerbitkan
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)/ Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
(NPPKP) secara jabatan.
Hal ini dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh oleh kantor pajak ternyata
Wajib Pajak atau pengusaha kena pajak telah memenuhi syarat untuk memperoleh
NPWP dan dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak .
2. Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) berhak menerbitkan surat ketetapan pajak berupa
Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang (SPPT) sebagai dasar hukum besarnya penetapan pajak yang harus dibayar
Wajib Pajak.
3. Menerbitkan Surat Paksa dan Melaksanakan Penyitaan
Dalam hal Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak setelah jatuh tempo pembayaran,
fiskus berhak untuk menerbitkan surat paksa dalam waktu yang ditentukan. Apabila
dalam waktu tersebut Wajib Pajak belum juga melunasi, maksa fiskus
menindaklanjutinya dengan melaksanakan penyitaan.
4. Melakukan Pemeriksaan dan Penyegelan
Fiskus melakukan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain. Sedangkan penyegelan terhadap tempat
atau ruangan dilakukan untuk mengamankan atau mencegah hilangnya pembukuan,
catatan atau dokumen yang diperlukan.
5. Menghapuskan atau Mengurangkan Sanksi Administrasi
Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dilakukan apabila Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan/Pembatalan Ketetapan Pajak
yang tidak benar atau Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan
Peninjauan Kembali, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar berkurang
atau dibatalkan.
6. Melakukan Penyidikan
Penyidikan dilakukan apabila Wajib Pajak diduga melakukan tindak pidana
perpajakan. Penyidikan ini dilaksanakan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
yang ada di Direktorat Jenderal Pajak. Apabila terbukti melakukan tindak pidana
perpajakan, maka akan dibawa ke pengadilan untuk ditindaklanjuti.
7. Melakukan Pencegahan
Hak melakukan pencegahan terhadap Wajib Pajak untuk pergi ke luar negeri.
Pencegahan dilakukan apabila Wajib Pajak mempunyai utang pajak sekurang-
kurangnya Rp 100.000.000 dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang
pajaknya.
8. Melakukan Penyanderaan
Hak melakukan penyanderaan terhadap Wajib Pajak atau Penanggung Pajak di
tempat tertentu. Penyanderaan dilakukan apabila WP atau Penanggung Pajak
mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya Rp 100.000.000 dan diragukan itikad
baiknya dalam melunasi utang pajaknya.
b. Kewajiban Fiskus
1. Kewajiban untuk membina Wajib Pajak Dilakukan dengan berbagai upaya seperti
pemberian penyuluhan, konseling, pemberitahuan pengetahuan perpajakan melalui
media massa maupun secara langsung.
Sehubungan dengan penerapan self assessment system, Direktorat Jenderal Pajak
wajib melakukan pembinaan terhadap Wajib Pajak seperti dalam hal :
a. Pelaksanaan pembukuan/pencatatan;
b. Penghitungan besarnya pajak;
c. Pelaporan kewajiban pajak;
d. Pembuatan Faktur Pajak;
e. Administrasi perpajakan.
2. Kewajiban menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB).
a. Jika dalam suatu masa pajak, atau tahun pajak ternyata menurut penghitungan
Wajib Pajak terjadi lebih bayar, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran tersebut (restitusi)