Anda di halaman 1dari 4

TUGAS KELOMPOK PERPAJAKAN II

“BENTUK USAHA TETAP (BUT)”


DOSEN PENGAMPU: A. A. KETUT AGUS SUARDIKA, SE.M.Si.BKP

OLEH:
1. GUSTI AYU PUTU WIWIK ANGGRAENI (1902022270)
2. I MADE TEGUH PRANATHA (1902022278)
3. I KADEK YOGI DWI ASTANA (1902022221)
4. DEWA AYU MADE VIONAVIANTI (1902022247)
KELAS: VI AKUNTANSI PAGI

FAKUSTAS EKONOMI BISNIS DAN PARIWISATA


UNIVERSITAS HINDU INDONESIA
TAHUN AJARAN 2022
A. Bentuk Usaha Tetap (BUT )
Dalam permasalahan pajak usaha atau badan, kita mengenal sebuah istilah Bentuk Usaha
Tetap. Bentuk usaha tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan subjek pajak luar
negeri baik orang pribadi atau badan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia. BUT atau Bentuk Usaha Tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia. Yang mana dapat merupakan orang
pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan. Dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Jadi, kesimpulannya BUT adalah semacam
cabang atau perwakilan perusahaan dari luar negeri yang didirikan di Indonesia.
BUT masuk dalam kategori subjek pajak luar negeri dan merupakan wajib pajak badan.
Di samping subjek pajak lainnya yang juga dipungut pajak penghasilan, seperti orang
pribadi, perseroan terbatas (PT), yayasan, serta badan usaha milik negara (BUMN) dan
BUMD. BUT dibuat untuk perusahaan penanaman modal asing yang menjadi wajib pajak
dalam negeri. Hal ini terjadi seiring bertambahnya investor asing di Indonesia yang masuk
menggunakan pola joint venture dengan bekerja sama dengan perusahaan asing lainnya
maupun perusahaan lokal. Untuk menghindari pengenaan pajak berganda atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh, pemerintah melakukan pengujian keberadaan suatu BUT
perusahaan dari negara treaty partner tersebut. Dengan tujuan untuk menentukan apakah
Indonesia memiliki hak untuk memajaki penghasilan tersebut.

I. Objek Pph BUT


Badan Usaha Tetap atau lebih dikenal dengan Bentuk Usaha Tetap (BUT), berdasarkan
UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 2 Ayat 5, adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh
Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, Orang Pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, serta Badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia yang dapat berupa:
1) Tempat kedudukan manajemen
2) Cabang perusahaan
3) Kantor perwakilan
4) Gedung kantor
5) Pabrik
6) Bengkel
7) Gudang
8) Ruang untuk promosi dan penjualan
9) Pertambangan dan penggalian sumber alam
10) Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi
11) Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan
12) Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan
13) Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain sepanjang
dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
14) Orang atau Badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas
15) Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di
Indonesia.
16) Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha
melalui internet.
Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang dimiliki atau
dikuasai:
1) Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian
jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh BUT
di Indonesia.
2) Penghasilan sebagaimana tersebut dalam PPh Pasal 26 yang diterima atau diperoleh
kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau
kegiatan yang memberikan penghasilan yang dimaksud.
BUT dikenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari usaha atau kegiatan dan dari
harta yang dimiliki atau dikuasainya, karena pada dasarnya BUT merupakan subjek pajak
yang perlakuan perpajakannya disamakan dengan subjek pajak badan. Dengan demikian,
semua penghasilan tersebut dikenakan pajak di Indonesia. Pada UU PPh Pasal 5 Ayat (1)
huruf b, dijelaskan bahwa penghasilan kantor pusat yang berasal dari usaha atau kegiatan,
penjualan barang dan pemberian jasa, yang sejenis dengan yang dilakukan oleh BUT
dianggap sebagai penghasilan BUT, karena usaha atau kegiatan tersebut termasuk dalam
ruang lingkup usaha atau kegiatan dan dapat dilakukan oleh BUT.Usaha atau kegiatan
yang sejenis dengan usaha atau kegiatan BUT, misalnya terjadi apabila sebuah bank di
luar Indonesia yang mempunyai BUT di Indonesia, memberikan pinjaman secara
langsung kepada perusahaan di Indonesia tanpa melalui BUT-nya.
Penjualan barang yang sejenis dengan yang dijual oleh BUT, misalnya kantor pusat di
luar negeri yang mempunyai BUT di Indonesia menjual produk yang sama dengan
produk yang dijual oleh BUT tersebut secara langsung kepada pembeli di Indonesia tanpa
melalui BUT-nya.Pemberian jasa oleh kantor pusat yang sejenis dengan jasa yang
diberikan oleh BUT, misalnya jika terdapat kantor pusat perusahaan konsultan di luar
Indonesia memberikan konsultasi yang sama dengan jenis jasa yang dilakukan BUT
tersebut secara langsung kepada klien di Indonesia tanpa melalui BUT-nya. Adapun
penghasilan lain yang menjadi Objek Pajak BUT sesuai UU PPh Pasal 26 adalah sebagai
berikut:
1) Dividen.
2) Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang, royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta.
3) Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.
4) Hadiah dan penghargaan.
5) Pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
6) Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya.
7) Keuntungan karena pembebasan utang.

II. Penentuan Laba But


Laba BUT yang dianut dalam UU Pajak Penghasilan, pada dasarnya menganut pengertian
yang diatur dalam pasal 7 UN model. Ada beberapa pengertian yang menyangkut Laba BUT
tersebut yaitu:
1) Attribution Rule: Laba BUT di suatu negara merupakan laba yang diperoleh dari
kegiatannya di negara tersebut.
2) Force of Attraction Rule: Penghasilan suatu BUT termasuk penghasilan kantor pusatnya
dari Indonesia yang diperolehnya dari kegiatan usaha yang sejenis dengan yang
dijalankan atau dilakukan oleh BUT di Indonesia, dengan demikian penghasilan yang
diterima Kantor Pusatnya dianggap sebagai penghasilan BUT nya di Indonesia.
3) Effectively Connected Rule: penghasilan seperti yang ada pada pasal 26 UU PPH
(dividen, bunga, royalti dll) yang diterima atau diperoleh kantor pusatnya dan memiliki
hubungan efektif dengan kegiatan usaha BUT nya di Indonesia dianggap sebagai
penghasilan BUT nya di Indonesia.
Pengertian diatas sesuai dengan pasal 5 UU Pajak Penghasilan dan Article 7 UN Model.
Lebih Kanjut Laba BUT juga menganut pengertian seperti yang dianut dalam pasal 10, 11
dan 12 UN Model, antara lain:
1) Pasal 10 UN model sesuai dengan Pasal 23 UU PPH dimana Dividen dikenakan tarif
15% dari bruto.
2) Pasal 11 UN model sesuai dengan pasal 23 UU PPH dimana Bunga dikenakan tarif
15% dari bruto.
3) Pasal 12 UN model sesuai dengan pasal 23 UU PPH dimana Royalti dikenakan tarif
15% dari bruto.

III. Perlakuan Pajak Atas Penghasilan Kena Pajak Dari Suatu BUT
Laba bersih setelah pajak yang diterima atau diperoleh suatu BUT dikenakan branch
profit tax. Besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP) bagi WP dalam negeri dan BUT
ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan. PKP bagi wajib pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dalam suatu tahun pajak
dihitung dengan cara mengurangkan penghasilan dikurangi biaya-biaya yang berkenaan
dengan penghasilan, laba, serta penghasilan bruto yang dikurangi penghasilan tidak kena
pajak. Pemerintah menerapkan tarif pajak sebesar 25% untuk penghasilan kena pajak BUT
yang baru mulai berlaku pada tahun pajak 2010. Tidak hanya si wajib pajak luar negeri, tarif
ini juga berlaku untuk wajib pajak badan dalam negeri. Hal itu ditegaskan pemerintah dalam
perubahan UU PPh Nomor 36/2008 yang tertuang dalam pasal 17 ayat (2a) UU tersebut.

Anda mungkin juga menyukai