Anda di halaman 1dari 9

Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak

bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa :

1. tempat kedudukan manajemen;


2. cabang perusahaan;
3. kantor perwakilan;
4. gedung kantor;
5. pabrik;
6. Bengkel;
7. Gudang;
8. ruang untuk promosi dan penjualan;
9. pertambangan dan penggalian sumber alam;
10. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
11. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
12. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
13. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
14. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
15. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di
Indonesia;dan
16. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha
melalui internet.

Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap
mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima
pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai,
perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa
peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan
adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di
Indonesia.
Contoh BUT :

adalah Perusahaan dari China yang memenangkan tender pembangunan PLTU maka untuk
membangun PLTU tersebut perusahaan dari China mendirikan BUT yang akan beroperasi
selama pembangunan PLTU tersebut, setelah selesai maka BUT tersebut bubar dan
mengajukan penghapusan NPWP.

Dasar Hukum : Pasal 2 UU No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan

Abstrak
Pajak yang dibayar, dipotong, atau terutang atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau
diperoleh Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia tidak diatur ketentuan pengkreditannya dalam
Pasal 24 Undang-undang PPh[1]. Namun demikian, karena perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib
Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia
dipersamakan dengan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri, maka pajak yang telah dibayar atau
dipotong atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh BUT di Indonesia seharusnya
dapat dikreditkan terhadap PPh Terutang bagi BUT di Indonesia agar tidak menimbulkan pajak
berganda internasional.
Kata kunci:
Pajak yang dibayar, dipotong, atau terutang atas penghasilan dari luar negeri, BUT di Indonesia,
Dikreditkan.
A.Pendahuluan

Subjek Pajak Luar Negeri dapat memperoleh penghasilan dari Indonesia dengan dua cara,
yaitu dengan cara menjalankan usaha atau kegiatan melalui BUT di Indonesia atau tidak dengan cara
menjalankan usaha atau kegiatan melalui BUT di Indonesia. Undang-undang PPh telah memberikan
pengaturan pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Subjek Pajak Luar Negeri yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia. Secara umum,
pemajakannya menggunakan tarif umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat
(2a) Undang-undang PPh, namun ada juga yang pemajakannya menggunakan tarif khusus bersifat
final yang penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Khusus
sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Undang-undang PPh. Dalam perkembangannya, BUT di
Indonesia dimungkinkan menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari luar negeri yang
telah dibayar, dipotong, atau terutang pajaknya di luar negeri. Bagaimana perlakuan pajak yang telah
dibayar, dipotong, atau terutang di luar negeri bagi BUT di Indonesia tersebut?
Sebelum dilakukan pembahasan atas hal tersebut, terlebih dahulu dipaparkan ketentuan
perpajakan bagi BUT berikut ini.
B.Ketentuan Perpajakan Bagi BUT yang Penghasilannya Dikenakan Pajak dengan Tarif Umum

1.Ketentuan Subjek Pajak Bagi BUT

Pasal 2 ayat (1) Undang-undang PPh menyebutkan secara eksplisit bahwa BUT dijadikan
sebagai Subjek Pajak. Sebetulnya, yang menjadi Subjek Pajak adalah orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia. Dengan kata lain, yang
menjadi Subjek Pajak adalah Subjek Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui BUT di Indonesia.
Selanjutnya, Pasal 2 ayat (5) Undang-undang PPh memberikan pengertian BUT sebagai
berikut:
“(5) Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih
dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
… b. cabang perusahaan; ….”
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 2 ayat (1a) dan memori penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-
undang PPh, Subjek Pajak/Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya
dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan dalam negeri
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPh dan Undang-Undang yang mengatur mengenai
ketentuan umum dan tata cara perpajakan (Undang-undang KUP)[2].
2.Ketentuan Objek Pajak BUT

Ketentuan Objek Pajak dalam Undang-undang PPh diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal
15. Dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang PPh diatur definisi penghasilan yang menjadi Objek
Pajak sebagai berikut:
“(1) Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun,
….”
Selanjutnya, dalam Pasal 5 Undang-undang PPh diatur secara khusus mengenai Objek Pajak
bagi BUT. Adapun rumusan ketentuan Pasal 5 Undang-undang PPh adalah sebagai berikut:
“(1) Yang menjadi Obyek Pajak bentuk usaha tetap adalah :
a. penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta
yang dimiliki atau dikuasai;
b. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang
dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;
c. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh
kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap
dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
(2) Biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b dan huruf c boleh dikurangkan dari penghasilan bentuk usaha tetap.
(3) Dalam menentukan besarnya laba suatu bentuk usaha tetap :
a. biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya
yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;
b. pembayaran kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan sebagai
biaya adalah :
1)Tarif atau imbalan lainnya sehubungan penggunaan harta, paten, atau hak-hak
lainnya;
2)imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;
3)bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan;
c. pembayaran sebagaimana tersebut pada huruf b yang diterima atau diperoleh dari
kantor pusat tidak dianggap sebagai Obyek Pajak, kecuali bunga yang berkenaan
dengan usaha perbankan.”

Adapun ketentuan cara menghitung Penghasilan Kena Pajak bagi BUT dalam Undang-undang
PPh diatur dalam Pasal 16 ayat (3). Rumusan ketentuan Pasal 16 ayat (3) Undang-undang PPh
tersebut adalah sebagai berikut:
“(3) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dalam suatu tahun
pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) dengan memerhatikan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1)
dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3),
Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf
g.”
3.Ketentuan Tarif Pajak BUT

Pemajakan terhadap BUT menggunakan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
huruf b dan ayat (2a) Undang-undang PPh. Besarnya tarif pajak untuk tahun pajak 2009 sebesar 20%
dan mulai tahun pajak 2010 menjadi sebesar 25% kecuali BUT tertentu yang penghasilannya dihitung
dengan menggunakan Norma Penghitungan Khusus, maka tarifnya adalah tarif khusus yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
4.Ketentuan Pelunasan Pajak Dalam Tahun Berjalan dan Perhitungan Pajak Akhir Tahun

Pelunasan pajak dalam tahun berjalan yang dilakukan oleh BUT sepanjang tidak bersifat
final , berdasarkan Pasal 20 Undang-undang PPh, dapat dikreditkan terhadap Pajak
Penghasilan yang terutang tahun pajak yang bersangkutan.
Berdasarkan Pasal 28, Pasal 28A, dan Pasal 29 Undang-undang PPh, perhitungan pajak
pada akhir tahun dilakukan dengan cara Pajak Penghasilan yang terutang dikurangi dengan
kredit pajak untuk tahun yang bersangkutan sehingga diperoleh pajak yang kurang atau lebih
dibayar pada akhir tahun.
5.Ketentuan Kredit Pajak Luar Negeri

Ketentuan kredit pajak luar negeri dalam Undang-undang PPh diatur dalam Pasal 24.
Rumusan ketentuan Pasal 24 Undang-undang PPh adalah sebagai berikut:
“(1) Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak
yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.
(2) Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak
penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi
penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini. …
(6) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan dari luar negeri
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.”
Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan dari luar negeri diatur
dengan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 164/KMK.03/2002. Berdasarkan
KMKNomor 164/KMK.03/2002 tersebut, untuk menghitung PPh Pasal 24 yang boleh dikreditkan
(Kredit Pajak Luar Negeri) dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pertama, harus dihitung Batas Maksimum Kredit Pajak Luar Negeri (BMKPLN) yang besarnya
dihitung dengan cara sebagai berikut:
BMKPLN = Penghasilan Neto Luar Negeri / Penghasilan Kena Pajak x PPh Terutang
b. Kedua, BMKPLN dibandingkan dengan pajak yang dibayar/dipotong atau terutang di luar negeri
dan dipilih jumlah yang paling kecil.
c. Ketiga, setelah dipilih jumlah yang paling kecil kemudian dibandingkan dengan PPh terutang.
Apabila jumlah yang paling kecil tersebut tidak boleh melebihi PPh terutang, maka jumlah yang paling
kecil tersebut merupakan PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan. Namun demikian, apabila jumlah
yang paling kecil tersebut melebihi PPh terutang maka PPh Pasal 24-nya adalah sebesar PPh
Terutang.
C.Pembahasan
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1a) dan memori penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang PPh,
Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau kegiatan untuk memperoleh penghasilan
melalui BUT di Indonesia, perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan Wajib Pajak Badan Dalam
Negeri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPh dan Undang-undang KUP. Pemenuhan
kewajiban perpajakannya dilakukan oleh BUT-nya di Indonesia. Dengan demikian, Wajib Pajak Luar
Negeri yang menjalankan usaha atau kegiatan untuk memperoleh penghasilan melalui BUT di
Indonesia harus mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan pada
akhir tahun harus menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri bersarnya pajak
yang harus dibayar (self assessment) melalui BUT-nya.
Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia (world wide income). Karena perlakuan Pajak
Penghasilan bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau kegiatan untuk memperoleh
penghasilan melalui BUT di Indonesia dipersamakan dengan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan
pemenuhan kewajiban perpajakannya dilakukan oleh BUT-nya di Indonesia, maka penghasilan BUT
yang dikenakan pajak adalah penghasilan baik yang bersumber dari Indonesia maupun luar
Indoesia.Semua penghasilan pada akhir tahun pajak digabungkan untuk memperoleh penghasilan
kena pajak, kecuali penghasilan yang telah dikenakan pajak bersifat final dan penghasilan yang
bukan Objek Pajak.
Penghasilan Kena Pajak bagi BUT di Indonesia dihitung dengan cara mengurangkan dari
penghasilan bruto dengan pengeluaran/biaya yang boleh dikurangkan dan kompensasi kerugian
untuk tahun-tahun sebelumnya yang masih berhak dikompensasikan. Penghitungan PPh terutang
dilakukan dengan menerapkan menggunakan tarifPasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) Undang-
undang PPh yang besarnya 28% untuk tahun pajak 2009 dan 25% untuk tahun pajak berikutnya
sejak tahun pajak 2010. Pajak-pajak yang dilunasi dalam tahun berjalan oleh BUT di Indonesia
dapat dikreditkan terhadap PPh terutang.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kalau BUT di Indonesia selain menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia juga menerima atau memperoleh pengahasilan dari luar
Indonesia (luar negeri) yang telah dibayar, dipotong atau terutang pajaknya di luar negeri? Apakah
pajak yang dibayar, dipotong, atau terutang pajaknya di luar negeri tersebut dapat dikreditkan
terhadap PPh terutang bagi BUT di Indonesia tersebut? Untuk membahas permasalahan tersebut
diberikan ilustrasi berikut ini:
Misalkan X-Bank Ltd, bertempat kedudukan di Negara A, bergerak dalam bidang usaha perbankan
membuka cabang di Indonesia. Cabang X-Bank Ltd di Indonesia tersebut selain menjalankan usaha
perbankan juga memberikan pinjaman kepada Y Corp. yang bertempat kedudukan di Negara B.
Penghasilan neto dari usaha perbankan di Indonesia tahun 2014 sebesar Rp20.000.000.000. Dari
pemberian pinjaman kepada Y Corp. di Negara B, Cabang X-Bank Ltd di Indonesia
menerima penghasilan berupa bunga pinjaman sebesar Rp500.000.000. Atas penghasilan bunga
pinjaman tersebut dipotong pajak oleh Y Corp. sebesar Rp100.000.000. Cabang X-Bank Ltd di
Indonesia telah membayar PPh Pasal 25 untuk masa Januari s.d. Desember 2014 dengan jumlah
sebesar Rp4.000.000.000. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah pajak yang dipotong oleh Y
Corp. sebesar Rp100.000.000 tersebut dapat dikreditkan terhadap PPh Terutang bagi Cabang X-
Bank Ltd di Indonesia?
Keberadaan cabang di Indonesia yang dipergunakan oleh X-Bank Ltd yang bertempat kedudukan di
Negara A untuk menjalankan usaha perbankan di Indonesia tersebut menimbulkan
BUT X-Bank Ltd di Indonesia. Karena perlakuan Pajak Penghasilan bagi BUT
dipersamakan dengan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri, maka penghasilan neto BUT X-Bank Ltd di
Indonesia adalah hasil penggabungan penghasilan neto dalam negeri dan penghasilan neto luar
negeri dengan jumlah sebesar Rp20.500.000.000. Hal ini juga sesuai dengan ketentuan Pasal 5
ayat (1) huruf a Undang-undang PPh bahwa yang menjadi Objek Pajak BUT adalah penghasilan
dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai.
PPh terutang bagi BUT X-Bank Ltd di Indonesia untuk tahun pajak 2014 sebesar Rp5.125.000.000
(= 25% x Rp20.500.000.000). Berdasarkan Pasal 20 Undang-undang PPh, jumlah PPh Pasal 25
sebesar Rp4.000.000.000 dapat dikreditkan terhadap PPh Terutang.
Untuk menjawab pertanyaan apakah jumlah pajak yang dipotong oleh Y Corp. sebesar
Rp100.000.000 tersebut dapat dikreditkan atau tidak, terlebih dahulu perlu dicermati ketentuan
Pasal 24 ayat (1) Undang-undang PPh sebagai berikut: “Pajak yang dibayar atau terutang di luar
negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri
boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak
yang sama.” Ketentuan ini hanya mengatur pengkreditanpajak yang dibayar atau terutang di luar
negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri,
tidak mengatur pengkreditanpajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari
luar negeri yang diterima atau diperoleh BUT di Indonesia. Kalau begitu ketentuannya, apakah pajak
yang dipotong oleh Y Corp. sebesar Rp100.000.000 di negara B tidak dapat dikreditkan terhadap
PPh Terutang bagi BUT X-Bank Ltd di Indonesia?
Sehubungan dengan hal tersebut, penulis berpendapat bahwa walaupun ketentuan Pasal 24
ayat (1) Undang-undang PPh tidak mengatur pengkreditanpajak yang dibayar atau terutang di luar
negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh BUT di Indonesia, pajak yang
dipotong oleh Y Corp. sebesar Rp100.000.000 di negara B seharusnya dapat dikreditkan terhadap
PPh Terutang bagi BUT X-Bank Ltd di Indonesia.
Hal ini didasarkan pada prinsip dasar sebagaimana diatur dalam ketentuanPasal 2 ayat (1a)
dan memori penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang PPh, bahwa Subjek Pajak/Wajib Pajak luar
negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia, pemenuhan
kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak
badan dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPh dan Undang-undang KUP.
Kalau penghasilan neto BUT di Indonesia yang berasal dari luar negeri digabungkan dengan
penghasilan neto dalam negeri, maka pajak yang dibayar, dipotong, atau terutang di luar negeri
seharusnya dapat dikreditkan terhadap PPh terutang. Kalau tidak dapat dikreditkan, maka akan
terjadi pemajakan berganda internasional atas Objek Pajak yang sama. Pajak berganda internasional
inilah yang spiritnya dicegah oleh secara unilateral oleh Undang-undang PPh dengan mengatur
ketentuan pengkreditan pajak yang dibayar, dipotong, atau terutang di luar negeri dalam Pasal 24
dengan menggunakan metode pengreditan pajak terbatas (ordinary credit method) yaitu maksimum
sebesar PPh Terutang bagi BUT di Indonesia tersebut. Dengan demikian, kalau dihitung dengan
metode pengkreditan terbatas sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Undang-undang PPh, maka
besarnya PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan bagi BUT X-Bank Ltd di Indonesia dihitung sebagai
berikut:
- BMKPLN = 500.000.000 / 20.500.000.000 x Rp5.125.000 = Rp125.000.000
- Karena pajak yang dipotong Y Corp. di Negara B sebesar Rp100.000.000 lebih
rendah dari BMKPLN dan lebih kecil dari PPh terutang, maka PPh Pasal 24 yang
dapat dikreditkan oleh BUT X-Bank Ltd di Indonesia adalah sebesar Rp100.000.000.
Berkaitan dengan permasalahan tersebut di atas, penulis mengusulkan apabila dilakukan
perubahan Undang-undang PPh dikemudian hari, sebaiknya diatur ketentuan pengkreditan pajak
yang dibayar, dipotong, atau terutang di luar negeri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
BUT di Indonesia.
D.Kesimpulan dan Saran

Perlakuan perpajakan (Pajak Penghasilan) bagi BUT di Indonesia dipersamakan dengan


perlakuan perpajakan (Pajak Penghasilan) bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang PPh dan Undang-undang KUP. Dengan demikian, penghasilan yang
menjadi Objek Pajak bagi BUT di Indonesia adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh BUT di
Indonesia baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Namun demikian, ketentuan Pasal
24 Undang-undang PPh tidak mengatur pengkreditan pajak yang dibayar, dipotong, atau terutang di
luar negeri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh BUT di Indonesia.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, apabila di kemudian hari dilakukan perubahan Undang-
undang PPh, maka akan lebih baik kalau diberikan pengaturan berupa ketentuan pengkreditan pajak
yang dibayar, dipotong, atau terutang di luar negeri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
BUT di Indonesia agar tidak menimbulkan pajak berganda internasional.
Referensi:
1. Kurniawan, Anang Mury, SST, Ak. 2012, Tax Treaty: Memahami Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda (P3B) melalui Studi Kasus, Penerbit Bee Media Indonesia, Jakarta.
2. Gunadi, DR., MSc, Ak. 1997, Pajak Internasional Edisi Revisi (1999), Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

3. Darussalam, Hutagaul, Septriadi. 2010, Konsep dan Aplikasi Perpajakan Internasional,


Penerbit DANNY DARUSSALAM Tax Center (PT Dimensi Internasional Tax).

4. Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan


sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.

5. Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2009.

6. 7.Republik Indonesia. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002 tentang Kredit


Pajak Luar Negeri.

[1]
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008
[2]
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009.

Pemahaman mengenai status subjek pajak, apakah subjek pajak luar negeri atau sudah menjadi subjek pajak dalam
negeri, mutlak harus dikuasai oleh setiap individu. Sebab status subjek pajak inilah yang akan menentukan ada
atau tidaknya kewajiban perpajakan yang harus dilakukan serta ikut menentukan dalam konteks pemotongan
maupun pemungutan PPh.
Hak & Kewajiban Pajak

Subjek pajak yang secara normatif (sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan) sudah ditetapkan
sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) memiliki hak serta kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi atau
dilaksanakan. Kewajiban perpajakan yang harus dilakukan di antaranya mendaftarkan diri untuk ber-NPWP,
memotong/memungut pajak, menyetor dan membayar pajak serta melaporkan SPT.

Bagi subjek pajak berbentuk badan, kewajiban ber-NPWP dan seterusnya tersebut sudah harus dilakukan manakala
badan tersebut ditetapkan sebagai SPDN. Sementara bagi subjek pajak orang pribadi (individu), kewajiban tersebut
akan muncul pada saat yang bersangkutan menerima atau memperoleh penghasilan di atas PTKP atau secara
normatif ditunjuk menjadi pemotong/pemungut pajak.

Bagi subjek pajak yang secara normatif ditetapkan sebagai Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN), mereka tidak dikenai
kewajiban untuk ber-NPWP serta tidak wajib melaporkan SPT. SPLN hanya memiliki kewajiban untuk bersedia
membayar pajak dan itu pun jika penghasilannya mereka terima/peroleh dari sumber di Indonesia. Umumnya
pembayaran pajaknya ini dilakukan melalui pemotongan PPh Pasal 26 oleh pihak pemberi penghasilan di
Indonesia. SPLN hanya wajib ber-NPWP dan melaksanakan kewajiban perpajakan lainnya bila mereka mempunyai
BUT di Indonesia. Sebab secara fiskal, BUT milik SPLN dipersamakan dengan SPDN berbentuk badan.

Subjek Pajak Badan

Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) terdiri dari subjek pajak yang berupa orang pribadi atau individu dan juga badan
(perusahaan atau organisasi). Mengenai pengertian subjek pajak badan ini kita bisa lihat di Pasal 1 angka 3 UU KUP
atau bisa Anda cari di blog saya ini pada kategori artikel “Tax Encyclopedia”.

Menentukan badan termasuk SPDN atau SPLN, relatif sangat mudah. Kita tinggal
melihat akte pendiriannya atau melihat tempat kedudukan (kantor pusat) sesuai keadaan sebenarnya. Jika menurut
akte pendiriannya badan itu didirikan di Indonesia, maka dapat langsung disimpulkan bahwa badan itu SPDN.
Tetapi jika menurut aktenya badan itu didirikan tidak di Indonesia, kita cukup melihat di mana letak tempat
kedudukan (kantor pusatnya). Jika tempat kedudukannya (kantor pusatnya) berada di Indonesia, badan itu juga
sudah menjadi SPDN.

Jika badan tersebut menurut akte pendiriannya tidak didirikan di Indonesia dan tempat kedudukannya (kantor
pusatnya) juga tidak berada di Indonesia, maka badan tersebut adalah SPLN (Subjek Pajak Luar Negeri).

Apabila badan yang berstatus SPLN itu memiliki cabang atau perwakilan di Indonesia, maka cabang itu bisa disebut
dengan BUT (bentuk usaha tetap). Saya katakan ‘bisa disebut dengan BUT’ sebab jika badan itu berasal dari negara
treaty partner, penentuan ada-tidaknya BUT harus sesuai dengan ketentuan tax treaty. Jika memang ada BUT di
Indonesia, maka BUT tersebut diperlakukan sama seperti SPDN badan.

Orang Pribadi Lebih Sulit


Berbeda dengan subjek pajak badan, untuk menentukan apakah orang pribadi (individu) berstatus SPDN atau SPLN
relatif lebih sulit. Secara teori, dalam Pasal 3 PER-43/PJ./2011, dikatakan bahwa orang pribadi menjadi SPDN
apabila memenuhi salah satu kondisi berikut:

1. Bertempat tinggal di Indonesia; atau


2. Berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan; atau

3. Dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

Orang pribadi (individu) yang merupakan SPDN adalah orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia. Kata
‘bertempat tinggal di Indonesia’ dalam konteks ini berarti mempunyai tempat tinggal (place of residence) yang
digunakannya baik untuk:

1. berdiam (permanent dwelling place), yang tidak bersifat sementara dan tidak hanya sebagai tempat
persinggahan;
2. melakukan kegiatan sehari-hari atau menjalankan kebiasaannya (ordinary course of life); atau

3. untuk tempat menjalankan kebiasaaan (place of habitual abode).

Orang pribadi yang bertempat tinggal tersebut, jika kemudian pergi ke luar negeri, tetap dianggap bertempat
tinggal di Indonesia apabila keberadaannya di luar negeri berpindah-pindah dan berada di Indonesia lebih dari 183
hari dalam jangka waktu 12 bulan.

Individu yang dilahirkan di Indonesia dan masih berada di Indonesia dianggap mempunyai tempat domisili (place of
domicile) di Indonesia, juga dikategorikan sebagai SPDN.

Orang pribadi Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di luar negeri, dianggap tidak bertempat tinggal di
Indonesia apabila bertempat tinggal tetap di luar negeri yang dibuktikan dengan salah satu dokumen tanda
pengenal resmi yang masih berlaku sebagai penduduk luar negeri, yaitu:

 Green Card;
 Identity card;

 Student card;

 Pengesahan alamat di luar negeri pada passport oleh Kantor Perwakilan RI di luar negeri;

 Surat keterangan dari Kedubes RI atau Kantor Perwakilan RI di luar negeri; atau

 Tertulis resmi di passport oleh Kantor Imigrasi negera setempat.

Penentuan Tempat Tinggal


Penentuan tempat tinggal (place of residence atau place of domicile) didasarkan pada keadaan yang sebenarnya.
Artinya kita tidak perlu melihat pada formallitas dokumen seperti kartu Tanda Penduduk (KTP) atau surat izin
tinggal lainnya. Jika pada kenyataannya individu tadi bertempat tinggal di suatu daerah di Indonesia, meskipun
misalnya ia tidak memiliki KTP atau izin tinggal lainnya, maka secara normatif individu tadi dianggap memiliki
place of residence atau place of domicile di Indonesia.

Tempat tinggal tadi juga tidak harus dimiliki oleh orang pribadi (individu) yang bersangkutan. Jika misalnya
tempat itu disewa atau disediakan oleh pihak lain (misalnya disediakan oleh kantornya), maka itu tetap dianggap
sebagai tempat tinggal dalam penentuan status SPDN.

Faktor Kedatangan ke Indonesia

Bagi individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, ia akan menjadi SPDN apabila ia berada di Indonesia lebih
dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan. Jangka waktu ini ditentukan dengan menghitung lamanya ia berada di
Indonesia, yang keberadaannya di Indonesia dapat secara terus menerus atau terputus-putus, dan bagian dari hari
dihitung penuh satu hari.

Misalnya seseorang datang ke Indonesia pada tanggal 20 April 2012, maka hitungan mundur 183 hari dimulai
sejak tanggal 20 April 2012 hingga dua belas bulan ke depan sampai dengan tanggal 19 April 2013. Jika dari 20
April 2012 hingga 19 April 2013 jumlah hari kedatangannya sudah melebihi 183 hari, maka ia sudah dikategorikan
sebagai SPDN. Kedatangannya ke Indonesia bisa saja secara terus menerus atau terputus-putus. Misalnya jika
kedatangannya ke Indonesia dilakukan tanggal 20 April 2012 hingga 21 April 2012. Kemudian datang lagi pada
bulan Juni 2012 (secara terputus-putus).

Dalam konteks ini, kata ‘berada’ juga harus didasarkan pada keadaan yang sebenarnya berada di dalam wilayah
Indonesia. Kondisi ini bisa dibuktikan misalnya dengan bukti-bukti menginap (akomodasi), passport, kartu visa,
bukti transportasi seperti tiket pesawat, dan lain sebagainya.

Untuk individu yang keberadaannya di Indonesia belum melebihi jangka waktu 183 hari tersebut tetapi yang
bersangkutan memiliki niat untuk bertempat tinggal di Indonesia, maka secara normatif ia juga sudah termasuk
sebagai SPDN. Ia dianggap memiliki niat untuk bertempat tinggal di Indonesia, dalam hal:

1. Ia menunjukkan niatnya tersebut dengan bukti dokumen: Visa kerja; atau Kartu Izin Tinggal Sementara
(KITAS), yang lamanya lebih dari 183 hari atau kontrak/perjanjian untuk melakukan pekerjaan, usaha,
atau kegiatan yang dilakukan di Indonesia selama lebih dari 183 hari.
2. Ia melakukan tindakan yang menunjukkan bahwa dirinya akan bertempat tinggal di Indonesia atau bersiap
untuk bertempat tinggal di Indonesia, seperti menyewa atau mengontrak tempat termasuk menyewa
tempat tinggal di Indonesia, memindahkan anggota keluarganya atau memperoleh tempat yang
disediakan oleh pihak lain.

AdvertisemenTwitterFacebook1

Anda mungkin juga menyukai