Anda di halaman 1dari 9

PEMAJAKAN ATAS LABA PERUSAHAAN

PEMAJAKAN ATAS LABA PERUSAHAAN PELAYARAN DAN


PENERBANGAN INTERNASIONAL

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perpajakan Internasional

Dosen Pengampu : Umi Sulistiyanti, SE.Ak,M.Acc,CA,CPA,BKP

Disusun Oleh :

Kelompok 5

1. Shinta Mutia Dewi - 20312353


2. Syafia Aleyda Mazaya - 20312378
3. Dhira Ayu Putri Agustin - 20312382
4. Nadila Regita Intan W. - 20312403
5. Razifa Anni Zahra - 20312406

Program Studi Akuntansi


Fakultas Bisnis dan Ekonomika
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
2022/2023
BAB 14 - Pemajakan Atas Laba Perusahaan (Business Profit)

A. Pendahuluan
Laba dari suatu perusahaan asing yang beroperasi di negara lain hanya dapat dikenakan
pajak di negara mana tersebut berdomisili atau didirikan kecuali perusahaan tersebut memiliki
BUT (Permanent Establishment) di negara lain tersebut dan pajak yang dikenakan hanya
terkait dengan laba usaha BUT di negara lain tersebut.
Contoh, YY Ltd. yang berdomisili di Amerika Serikat mendapatkan kontrak dari PT PLN
di Indonesia berupa proyek Instalasi Turbin dengan nilai kontrak sebesar USD 3 juta. Lama
pekerjaan berlangsung selama 3 bulan. Estimasi laba proyek tersebut adalah 7% dari nilai
kontrak. Sesuai dengan Tax Treaty Indonesia - AS apabila pekerjaan tersebut lebih dari 120
hari dianggap sebagai BUT, jika tidak maka Indonesia tidak berhak mengenakan pajak atas
laba YY Ltd. jika pemajakan atas laba yang diperoleh perusahaan YY Ltd. tersebut di negara
Indonesia berlangsung selama lebih dari 120 hari sebesar 7% x USD 3 juta = USD 210.000.000

B. Objek Pajak Bentuk Usaha Tetap


Dalam Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah beberapa kali
terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang UU Pajak Penghasilan, bahwa yang
menjadi objek pajak BUT sebagai berikut:
1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang
dimiliki atau dikuasai (attribution by fact). Semua penghasilan tersebut dikenakan pajak
di indonesia.
2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa
di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha
tetap di Indonesia (force of attraction atau penarikan paksa).
3. Penghasilan sebagaimana tersebut diatur dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh
kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta
atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud (effectively connected income).

C. Ketentuan Atribusi Laba Usaha pada BUT


Pada umumnya ketentuan atribusi laba usaha pada BUT diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Tax
Treaty Indonesia dengan mitra lainnya.

D. Withholding Tax PPh Pasal 26


Penghasilan yang diperoleh SPLN yang tanpa melalui BUT di Indonesia merupakan objek
pemotongan PPh Pasal 26. Berikut jenis penghasilan Withholding Tax PPh Pasal 26
berdasarkan cara pemotongannya:
1. Penghasilan dengan tarif 20% dari bruto. Seperti: dividen, bunga, sewa, royalti, imbalan
sehubungan pekerjaan, jasa dan kegiatan, hadiah dan penghargaan, uang pensiun, premi
swap, dan keuntungan pembebasan utang.
2. Penghasilan dengan tarif 20% dari perkiraan penghasilan neto. Seperti: capital gain atas
penjualan atau pengalihan harta di Indonesia dan premi asuransi yang dibayarkan kepada
perusahaan asuransi luar negeri. Selain itu, penghasilan dari penjualan atau pengalihan
saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3c) UU PPh.
3. Penghasilan Branch Profit Tax dari BUT. penghasilan kena pajak sudah dikurangi pajak
dari suatu BUT di Indonesia dikenai pajak sebesar 20%, kecuali penghasilan tersebut
ditanamkan kembali di Indonesia.

E. Branch Profit Tax


Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT disebut Branch Profit Tax.
ketentuan mengenai ini di Indonesia diatur dalam PMK Nomor 14/PMK.03/2011 tentang
Perlakuan Perpajakan atas Penanaman Kembali Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi
Pajak Penghasilan dari suatu BUT.
Dalam P3B Tax Treaty, pada umumnya di sebagian besar P3B Indonesia, klausul Tarif
Branch Profit Tax (BPT) dan Pengecualiannya untuk Perusahaan Kontrak Bagi Hasil (KBH)
diatur dalam Pasal 10 ayat (6) Tax Treaty Indonesia dengan negara mitra lainnya.

F. Biaya-Biaya BUT yang Berkenaan dengan Penghasilan “Force of Attraction Income”


dan “Effectively Connected Income” boleh dikurangkan dari penghasilan BUT
Dalam pasal 5 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 mengatur bahwa dalam menentukan
besarnya laba suatu Bentuk Usaha Tetap:
1. Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang
berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap di Indonesia, yang jenis serta
besarnya ditentukan dirjen pajak.
2. Pembayaran kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan sebagai biaya
adalah:
a. Royalti atau imbalan lainnya sehubungan penggunaan harta, paten, atau hak lainnya
b. Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen atau lainnya
c. Bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan
3. Pembayaran sebagaimana tersebut pada huruf b yang diterima atau diperoleh dari kantor
pusat tidak dianggap sebagai objek pajak, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha
perbankan.
Jenis dan besarnya biaya administrasi kantor pusat yang boleh dikurangkan dari penghasilan
suatu BUT sesuai keputusan Dirjen Pajak Nomor 62/PJ/1995 sebagai berikut:
1. Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan
bruto yang diterima atau diperoleh suatu BUT di Indonesia adalah biaya administrasi yang
dikeluarkan oleh kantor pusat yang berkaitan dan dalam rangka untuk menunjang usaha
atau kegiatan BUT yang bersangkutan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan.
2. Besarnya biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari
penghasilan bruto di Indonesia setinggi-tingginya adalah sebanding dengan besarnya
peredaran usaha atau kegiatan BUT di Indonesia terhadap seluruh peredaran usaha atau
kegiatan perusahaan di seluruh dunia.
3. BUT di Indonesia yang mengurangkan biaya administrasi kantor pusat wajib
menyampaikan laporan keuangan konsolidasi atau kombinasi dari kantor pusat untuk
tahun pajak yang bersangkutan sebagai lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan.
4. Laporan keuangan konsolidasi atau kombinasi harus sudah di audit oleh akuntan publik
dan mengungkapkan perincian keseluruhannya.

G. Perlakuan Perpajakan terhadap BUT


1. Perlakuan perpajakan atas penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu
BUT
Sesuai Peraturan Menteri Nomor 14/PMK.03/2011 adalah sebagai berikut:
a. Atas penghasilan kena pajak sesudah dikurangi PPh BUT di Indonesia dikenai PPh
dengan tarif 20%
b. Dalam hal penghasilan kena pajak sesudah dikurangi PPh BUT yang ditanamkan
kembali di Indonesia, penghasilan dimaksud dikecualikan dari pengenaan pajak
penghasilan
Pengecualian dari pengenaan pajak penghasilan dari BUT
a. Seluruh penghasilan kena pajak sesudah dikurangi PPh BUT yang ditanamkan
kembali di Indonesia dalam bentuk:
i. Penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan di Indonesia sebagai
pendiri atau peserta pendiri
ii. Penyertaan modal pada perusahan yang sudah didirikan di Indonesia sebagai
pemegang saham
iii. Pembelian aktiva tetap
iv. Investasi berupa aktiva tidak berwujud
b. Persyaratan yang harus dipenuhi agar seluruh penghasilan kena pajak sesudah
dikurangi PPh dari BUT yang ditanamkan kembali di Indonesia dikecualikan dari
pengenaan PPh:
i. Penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada akhir
tahun pajak berikutnya setelah tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut
bagi BUT yang bersangkutan
ii. BUT yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
mengenai bentuk penanaman modal
iii. Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal,
selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada butir 1 harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1. Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia secara
aktif telah melakukan kegiatan usaha sesuai akta pendiriannya paling
lama 1 tahun sejak perusahaan tersebut didirikan
2. BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas
penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 2 tahun sejak
perusahaan baru di maksud berproduksi komersial
iv. Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal
selain yang disebutkan pada butir 1 harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1. Perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia
mempunyai kegiatan usaha aktif di Indonesia
2. BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas
penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 3 tahun sejak
penyertaan modal
v. Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk:
1. Pembelian aktiva tetap
2. Investasi berupa aktiva tidak berwujud selain persyaratan pada butir 1
vi. Dalam hal persyaratan-persyaratan sebagaimana dimaksud pada butir 1-4,
tidak lagi dipenuhi maka dikenai PPh terhitung sejak diperolehnya
penghasilan kena pajak yang bersangkutan dan dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku
vii. Wajib pajak BUT yang melakukan penanaman kembali seluruh penghasilan
kena pajak wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai
bentuk penanaman modal yang dilakukan kepada kantor pelayanan pajak
viii. Wajib pajak BUT wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
mengenai realisasi penanaman kembali telah dilakukan kepada kantor
pelayanan pajak
ix. Pemberitahuan dimaksud, paling sedikit meliputi hal-hal berikut:
1. Jumlah penghasilan kena pajak sesudah dikurangi PPh dari BUT dan
tahun pajak yang bersangkutan
2. Bentuk penanaman kembali, jumlah realisasi, dan tahun pajak
x. Wajib pajak BUT yang melakukan penanaman kembali seluruh penghasilan
kena pajak wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai saat
mulai berproduksi komersial
Menghitung PPh dalam hal induk perusahaan BUT dari negara yang mempunyai P3B
● Dalam hal induk perusahaan dari wajib pajak BUT, besarnya tarif untuk menghitung
PPh adalah sebagaimana ditentukan dalam P3B yang berlaku
Menghitung PPh dalam hal BUT dikenai PPh yang bersifat final
● Dasar pengenaan PPh adalah penghasilan kena pajak yang dihitung berdasarkan
pembukuan yang sudah dilakukan koreksi fiskal, dikurangi dengan jumlah PPh yang
bersifat final
2. Perlakuan perpajakan khusus BUT yang menggunakan norma perhitungan khusus
penghasilan neto
Di Indonesia terdapat beberapa BUT yang perhitungan PPh dihitung dengan
menggunakan norma perhitungan khusus penghasilan neto, antara lain:
a. BUT perusahaan perwakilan dagang asing
b. BUT perusahaan pelayaran dan penerbangan asing
c. BUT perusahaan jasa konstruksi/jasa konsultan yang dikenakan PPh final
d. BUT perusahaan pengeboran minyak dan gas bumi

H. BUT Perusahaan Jasa Konstruksi/Jasa Konsultan yang dikenakan PPh Final


Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan
jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan konstruksi
(tidak termasuk jasa konsultan pajak dan jasa konsultan hukum). Dengan terbitnya PP Nomor
51 Tahun 2008 atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dikenai PPh final. Perhitungan PPh
final didasarkan atas tarif x jumlah imbalan bruto tidak termasuk PPN dan PPnBM.

I. BUT Perusahaan Perwakilan Dagang Asing


Pasal 2 ayat (5) huruf c UU PPh Nomor 36/2008 menyatakan bahwa yang termasuk BUT
salah satunya adalah kantor perwakilan sejalan dengan Tax Treaty Indonesia dalam Pasal 5
ayat 2 menyatakan bahwa yang termasuk BUT salah satunya adalah “Office”. Pada surat
edaran Dirjen Pajak Nomor 2/PJ.03/2008 tanggal 31 Juli 2008 yang menetapkan pajak atas
PPh yang diperoleh di Indonesia ditetapkan berdasarkan norma perhitungan khusus
penghasilan neto sebesar 0,44% dari nilai ekspor bruto, bersifat final. Adapun dasar
perhitungan 0,44% adalah sebagai berikut:
PPh atas penghasilan kena pajak terutang = 30% x 1%
= 0,30%
Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari
Suatu BUT (branch profit tax/BPT) (tarif 20%) = 20% x (1-0,3)%
= 0,14%
Total = 0,44%
Contoh, Shaun Co. Jakarta, merupakan kantor perwakilan dagang Shaun Co. Ltd.
Argentina selama tahun pajak 2016 Shaun Co. Argentina telah melakukan ekspor ke Indonesia
melalui Shaun Co. Jakarta sebesar Rp60.000.000.000. Pendapatan yang diperoleh Shaun Co.
Jakarta berupa fee sebesar Rp600.000.000, maka PPh yang harus disetor sendiri oleh Shaun
Co. Jakarta sebesar: 0,44% x Rp60.000.000.000 = Rp264.000.000

J. BUT Perusahaan Pengeboran (Drilling) Minyak dan Gas Bumi


Pasal 2 ayat (5) huruf c UU PPh Nomor 36/2008 menyatakan bahwa yang termasuk BUT
adalah pertambangan dan penggalian sumber alam, dan wilayah kerja pertambangan minyak
dan gas bumi. Demikian pula halnya dengan Tax Treaty Indonesia dengan negara mitra luar
negeri, dalam pasal 5 ayat f tax treaty tersebut menyatakan bahwa yang termasuk suatu
pertambangan adalah suatu ladang minyak atau gas, suatu tempat penggalian atau tempat
penambangan sumber tempat penggalian atau tempat penambangan sumber alam lainnya
termasuk kayu atau hasil hutan lainnya.
Untuk menghitung penghasilan neto dari BUT yang melakukan kegiatan usaha di
pengeboran minyak dan gas bumi secara internasional ditetapkan sebesar 15% x penghasilan
bruto, bersifat tidak final. Sementara itu, besarnya angsuran pajak penghasilan Pasal 25 setiap
bulan bagi wajib pajak BUT di bidang ini adalah jumlah yang dihasilkan dari penetapan tarif
menurut Pasal 17 UU pajak penghasilan tahun 1984 atas penghasilan neto yang dihitung
menggunakan norma perhitungan khusus ditambah penghasilan neto dari kegiatan usaha lain
yang disetahunkan, dibagi dengan 12. Dalam praktik, besarnya angsuran PPh yang harus
dilunasi setiap bulannya yaitu sebesar 4,5% dari peredaran bruto (yakni sebagai hasil
penerapan tarif tertinggi sebesar 30% terhadap penghasilan neto sebesar 15% dari bruto).

BAB 15 - Pemajakan Atas Laba Perusahaan Pelayaran dan Penerbangan Internasional

A. Pendahuluan
Tax Treaty yang mengatur pemajakan atas laba perusahaan pelayaran dan penerbangan
internasional diatur dalam pasal 8 (kecuali Indonesia - AS diatur dalam pasal 9).
Laba yang diperoleh dari perusahaan pengoperasia pesawat dari suatu negara pada jalur
internasional dapat dikenakan pajak :
● Di negara tempat perusahaan pengelola pesawat udara tersebut berada, atau
● Di negara tempat manajemen efektif berada
Contoh: pesawat udara beryurisdiksi hong kong milik perusahaan hong kong beroperasi di
jalur internasional indonesia. Laba operasi dikenakan pajak di hongkong.
Laba yang diperoleh dari perusahaan pengoperasian kapal laut dari suatu negara pada jalur
internasional dapat dikenakan pajak :
● Di negara lain tempat kapal laut tersebut beroperasi yang dikurangi dengan suatu nilai
persentase tertentu sesuai perjanjian yang disepakati, atau
● Di negara tempat manajemen efektif berada
Contoh: kapal laut berbendera indonesia milik perusahaan indonesia beroperasi di jalur
internasional hongkong. Laba operasi dikenakan pajak di hongkong dengan tarif 5%
(kebijakan yang berlaku di hong kong.
Berlaku juga terhadap bagian laba yang diperoleh karena ikut serta dalam gabungan
perusahaan usaha patungan/kerja sama atau perwakilan internasional. Termasuk penghasilan
seperti: penjualan tiket, operasional bus antar kota dan bandara, iklan dan komersial, dan
operasional pengangkutan barang dengan truk antara depo dan pelabuhan atau bandara.

B. BUT Perusahaan Pelayaran


Menurut Kosasih dan Soewedo (2012: 11, 31, 32), usaha jasa angkutan laut dalam kegiatan
perusahaan pelayaran terbagi atas:
● Liner service, jalur pelayaran dan perjalanan kapal tertentu dan teratur, menyinggahi
pelabuhan yang ditetapkan sebelumnya dengan frekuensi yang tetap dan mempunyai
sailing schedule tertentu yang semuanya diumumkan kepada semua pemilik muatan
(cargo owner).
● Tramper service, pelayaran bebas yang tidak terikat ketentuan formal, tidak
mempunyai jalur pelayaran tetap, dan kapal dapat berlayar kemana saja.
● Feeder service, pelayaran yang menggunakan kapal kontainer dengan ukuran dan
kapasitas lebih kecil yang mengumpulkan muatan di suatu pelabuhan untuk
dipindahkan ke mother vesselnya dan melayari jalur HUB Port ke pelabuhan tujuan
(SPOKE) atau sebaliknya.

C. Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak Perusahaan Pelayaran dan Penerbangan Luar Negeri
Ketentuan wajib pajak Perusahaan Pelayaran dan Penerbangan Luar Negeri yang
melakukan usaha melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996 tanggal 14 Juni 1996.
Perhitungan pajak perusahaan pelayaran dan penerbaangan luar negeri didasarkan pada
peredaran bruto wajib pajak yaitu semua pengganti atau imbalan berupa uang atau nilai uang
dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat suatu pelabuhan ke pelabuhan lain di
Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri.
Besarnya Norma penghasil Neto bagi wajib pajak perusahaan pelayaran dan/atau
penerbangan luar negeri adalah sebesar 6% dari peredaran bruto. Besarnya PPh yang wajib
dilunasi oleh wajib pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri adalah
sebesar 2,64% dari peredaran bruto dan bersifat final.
Pelunasan atau pembayaran PPh Wajib Pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan
luar negeri dilakukan sebagai berikut :
a. Penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian charter, maka pihak yang membayar
atau pihak yang men-charter wajib :
1) Memotong PPh yang terutang pada saat pembayaran atau terutangnya imbalan/nilai
pengganti
2) Memberikan Bukti Pemotongan PPh atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran
dan/atau Penerbangan Luar Negeri (final) kepada pihak yang menerima atau
memperoleh penghasilan.
3) Menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-
lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya
imbalan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).
4) Melaporkan pemotongan dan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan
Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran
atau terutangnya imbalan.
b. Penghasilan diperoleh selain sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka wajib pajak
Perusahaan dan/atau Penerbangan Luar Negeri :
1) Menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-
lambatnya tanggal 15 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya
penghasilan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) final.
2) Melaporkan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-
lambatnya tanggal 20 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya
penghasilan.
Dalam hal wajib pajak juga menerima atau memperoleh penghasilan lainnya selain
penghasilan dari peredaran bruto diatas, maka atas penghasilan lainnya tersebut dikenakan
PPh berdasarkan ketentuan yang berlaku. Tarif PPh Perusahaan Pelayaran Luar Negeri
sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996 dan Surat Edaran
Dirjen Pajak Nomor SE-32/PJ.4/1996 tanggal 29 Agustus. 1996 tentang Norma
Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak yang bergerak di bidang usaha
Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri adalah PPh Pasal 15 dengan tarif 2,64% dari
Penghasilan Bruto yang bersifat final, dengan perhitungan sebagai berikut :
Norma Penghasilan Neto 6,00%
PPh Pasal 15 Final = 30% x 6% 1,80%
Laba Setelah PPh Pasal 15 4,20%
Branch Profit Tax (PPh Pasal 26) = 20% x 4,20% 0,84%
Laba setelah PPh 3,36%
Tarif efektif PPh (PPh Pasal 15) = 1,80% + 0,84% 2,64%

Anda mungkin juga menyukai