Anda di halaman 1dari 26

I.

Pengertian Dan Konsep Dasar PPh Potongan / Pungutan


Sistem pemungutan pajak di Indonesia dapat dilakukan dengan penyetoran sendiri oleh
Wajib Pajak (self-assessment system) atau melalui pemotongan atau pemungutan pajak
penghasilan oleh pihak ketiga. Berdasarkan pasal 20 Undang-Undang PPh, Pajak yang
diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun
pajak berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran
pajak oleh Wajib Pajak sendiri. Agar pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan mendekati
jumlah pajak yang akan terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, maka pelaksanaannya
dilakukan melalui:
1. Pemotongan pajak oleh pihak lain dalam hal diperoleh penghasilan oleh wajib pajak
dari pekerjaan, jasa atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-
undang PPh, pemungutan pajak atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 Undang-Undang PPh dan pemotongan pajak atas penghasilan dari
modal, jasa dan kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-
Undang PPh
2. Pembayaran oleh wajib pajak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-
Undang PPh.

Sesuai ketentuan dalam Undang-Undang PPh dan Undang-Undang PPN dan PPnBM,
pajak yang dipotong/dipungut terdiri dari PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal
24, PPh Pasal 26, dan PPh final Pasal 4 Ayat (2). Berikut adalah penjelasan secara singkat
pajak yang dipotong/dipungut :

A. PPh Pasal 21
PPh Pasal 21 adalah pajak yang dipotong dari penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri yaitu penghasilan berupa gaji, upah honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan
kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi. Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana
dimaksud dalam pasal 21 Undang-undang Pajak Penghasilan.

1
B. PPh Pasal 22
PPh Pasal 22 adalah pembayaran pajak penghasilan dalam tahun berjalan yang
dipungut oleh bendahara pemerintah terkait dengan pembayaran atas penyerahan barang
yang berasal dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, badan-badan tertentu
terkait dengan penghasilan dari kegiatan dibidang impor atau kegiatan usaha dibidang
lain baik badan pemerintah maupun swasta, dan Wajib Pajak badan tertentu untuk
memungut pajak dari pembeliatas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

C. PPh Pasal 23
PPh Pasal 23 mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal
(dividen, bunga, dan royalti), penyerahan jasa (sewa, imbalan jasa), atau
penyelenggaraan kegiatan (hadiah, penghargaan, dan bonus) selain yang telah dipotong
PPh Pasal 21, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo
pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.

D. PPh Pasal 24

PPh Pasal 24 adalah pajak yang dibayar/dipotong/terutang di luar negeri atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh di luar negeri dalam tahun yang bersangkutan, sebesar PPh yang
dibayar/dipotong/ terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang
terutang berdasarkan UU PPh. Penghitungan "batas maksimum kredit pajak luar negeri yang
dapat dikreditkan" tersebut harus dilakukan untuk masing-masing negara. Pajak Penghasilan
Pasal 24 ini bertujuan agar wajib pajak tidak dikenakan pajak ganda. Dalam artian, pajak yang
telah dibayarkan di luar negeri oleh wajib pajak dapat menjadi pengurang nilai pajak terutang
yang wajib pajak miliki di Indonesia. Sumber penghasilan dari luar negeri yang dapat menjadi
pengurang pajak di dalam negeri :
1. Penghasilan dari saham dan surat berharga lainnya.
2. Pendapatan lain berupa bunga, royalti, dan sewa yang berkaitan dengan penggunaan
harta benda bergerak.

2
3. Jasa imbalan yang berhubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan.
4. Keuntungan dari pengalihan saham dan surat berharga lainnya.
5. Pendapatan yang berupa sewa terkait dengan penggunaan harta benda tidak bergerak.
6. Keuntungan dari pengalihan harta tetap.

E. PPh Pasal 26
Pemotongan pajak atas Wajib Pajak Luar Negeri adalah bersifat final namun atas
penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c Undang-
Undang PPh dan atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang
berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, pemotongan
pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat dikreditkan dalam
SPT Tahunan PPh.
 Ketentuan Mengenai Individu atau Perusahaan Yang Dikategorikan Wajib Pajak
Luar Negeri
Dari UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, bisa disimpulkan bahwa
yang menentukan seorang individu atau perusahaan sebagai Wajib Pajak Luar Negeri,
yaitu:
a) Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang
tidak didirikan atau berada di Indonesia, yang mengoperasikan usahanya melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia.
b) Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang
tidak didirikan atau berada di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia tidak melalui menjalankan usaha melalui suatu bentuk
usaha tetap di Indonesia.

F. PPh Final Pasal 4 ayat (2)


Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 Ayat 2 adalah salah satu jenis pajak atas
penghasilan dengan beberapa ketentuan spesifik mulai dari objek pajak, pemotong pajak

3
sampai subjek pajak yang bisa dikenakan pajak tersebut. Pemotongan pajak dalam PPh
Pasal 4 Ayat 2 bersifat final. Artinya, pajak harus diselesaikan atau dilunasi dalam masa
pajak yang sama. Yang menjadi pemotong PPh Pasal 4 Ayat 2 seperti yang telah diatur
dalam ketentuan adalah koperasi, penyelenggara kegiatan, otoritas bursa, dan
bendaharawan. Sementara yang menjadi penerima penghasilan yang wajib membayar
PPh Pasal 4 Ayat 2 adalah penerima bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga
obligasi dan surat utang negara, bunga simpanan yang dibayarkan koperasi kepada
anggota koperasi orang pribadi. Selain itu, penerima hadiah undian, penjual saham dan
sekuritas lainnya, serta pemilik properti berupa tanah dan/atau bangunan juga wajib
menyetor PPh Pasal 4 Ayat 2.
 Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 4 ayat 2 antara lain:
a. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat
utang Negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
koperasi orang pribadi;
b. Penghasilan berupa hadiah undian;
c. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
d. Persewaan tanah dan bangunan;
e. Pengalihan hak atas tanah dan bangunan;
f. Penghasilan usaha jasa konstruksi.

II. Dasar Hukum PPh Potongan / Pungutan


PPh merupakan Pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Dalam Pajak Penghasilan terdapat PPh
potongan dan atau pungutan atau yang lebih sering dikenal dengan istilah PPh potput.
Pemotongan pajak adalah kegiatan memotong sebesar pajak terutang dari keseluruhan
pembayaran yang dilakukan. Pemotongan ini dilakukan oleh pihak-pihak yang melakukan
pembayaran atau gaji terhadap penerima gaji atau pegawainya. Sederhananya pemotongan
akan mengurangi jumlah gaji atau pembayaran yang diterima oleh pihak pegawai.
Pemungutan pajak merupakan kegiatan memungut sejumlah pajak yang terutang atas suatu

4
transaksi, dimana pemungutan ini akan menambah besarnya jumlah nominal yang harus
dibayarkan atas suatu transaksi.

Untuk menjalankan kegiatan pemotongan dan pemungutan pajak maka adapun peraturan yang
mengatur tentang pemotongan dan pemungutan pajak penghasilan. Peraturan atau dasar
hukum yang mengatur tentang PPh Potput adalah sebagai berikut :

1. Udang Undang No. 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara
Perpajakan
2. Undang Undang No. 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang Undang No.28 tahun 2007
3. Undang Undang No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang Undang No. 36 tahun 2008
4. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 541/KMK 04/2000
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 184/ PMK 03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh
Tempo Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, serta Tata Cara
Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak
5. Peraturan Menteri Keuangan No. PMK-254/PMK.03/2008 tentang Penetapan Badan
Pengahasilan Sehubung dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan seta
Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pajak Pemotongan Pajak
Penghasilan
6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaiman telah diubah
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009 tentang Pedoman
Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal
21/26
7. Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-31/PJ/2015 Tentang Pedoman Teknis
Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan atau
Pasal 26 sehubung dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi
8. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 99 /PMK.03/2018 Tentang
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Pajak Penghasilan

5
Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Pajak
Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak
Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
10. PP No. 45 Tahun 1994 Tentang Pajak Penghasilan Bagi Pejabat Negara, Pegawai
Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Para Pensiunan
Atas Penghasilan yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah
11. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2009 Tentang Tarif Pajak
Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat
Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus
12. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/Pmk.03/2008 Tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan
Kegiatan Orang Pribadi
13. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 250/Pmk.03/2008 Tentang
Besarnya Biaya Jabatan Atau Biaya Pensiun yang Dapat Dikurangkan Dari
Penghasilan Bruto Pegawai Tetap Atau Pensiunan

14. Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016 tentang Tarif Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP) 2019.

III. Variabel - Variabel dalam Perhitungan PPh Potongan / Pungutan,


PTKP, Biaya Jabatan, Biaya Pensiun dan Penghasilan Bruto

1. PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak)


Pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan Nomor: 101-
PMK.010-2016 mengenai Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak, yang
telah ditandatangani oleh Menteri Keuangan Bapak Bambang P.S. Brodjonegoro pada
tanggal 27 Juni 2016. Perhitungan Perubahan PTKP Terbaru Tahun 2016 :

a) Wajib Pajak Tidak Kawin (TK)


Uraian Status PTKP
Wajib Pajak TK 0 54.000.000

6
Tanggungan 1 TK 1 58.500.000
Tanggungan 2 TK 2 63.000.000
Tanggungan 3 TK 3 67.500.000

b) Wajib Pajak Kawin


Uraian Status PTKP
WP Kawin K0 58.500.000
Tanggungan 1 K1 63.000.000
Tanggungan 2 K2 67.500.000
Tanggungan 3 K3 72.000.000

c) Wajib Pajak Kawin, Penghasilan Suami dan Istri digabung


Uraian Status PTKP
Wajib Pajak K I/0 112.500.000
Tanggungan 1 K I/1 117.000.000
Tanggungan 2 K I/2 121.500.000
Tanggungan 3 K I/3 126.000.000

Catatan:
Tunjangan PTKP untuk anak atau tanggungan maksimal 3 orang.
TK : Tidak Kawin
K : Kawin
K/I : Kawin dan penghasilan pasangan digabung

2. Biaya Jabatan
Biaya jabatan merupakan salah satu pengurang dalam menghitung PPh pasal 21
untuk pegawai tetap sebagaimana diatur dalam pasal 21 ayat (3) Undang-Undang
Pajak Penghasilan. Jadi, setiap pega4ai tetap bentuk untuk mendapat pengurangan ini.
Istilah “jabatan” tidak merujuk pada pengertian jabatan formal tertentu dalam
perusahaan atau instansi. Dari staf biasa sampai Direktur utama berhak mendapatkan
pengurang biaya jabatan ini. Besarnya biaya jabatan yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto untuk perhitungan Pajak penghasilan bagi pegawai tetap, ditetapkan
sebesar 5%(lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp500.000,00
(lima ratus ribu rupiah) sebulan atau Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun.

7
3. Biaya Pensiun
Berdasarkan Pasal 21 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan, PPh Pasal 21
yang dipotong bagi pensiunan adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan
biaya pensiun dan Pengahsilan Tidak Kena Pajak. Dalam pengertian pensiunan
termasuk juga penerima tunjangan hari tua atau tabungan hari tua. Seperti biaaya
jabatan bagi pegawai tetap besarnya biaya pensiun juga diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 250/PMK 03/2008 tentang besarnya Biaya Jabatan Atau
Biaya Pensiunan Yang dapat dikurangkan penghasilan Bruto atau Pensiunan
Berdasarkan peraturan tersebut, besarnya biaya pensiunan yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto untuk perhitungan pemotongan PPh, Pasal 21 bagi penerima uang
pensiun yang dibayarkan secara berkala ditetapkan sebesar 5% dari penghasilan bruto
setinggi-tingginya Rp2.400.000,00 setahun.

4. Penghasilan Bruto
Penghasilan kotor (Bruto) jenis penghasilan yang dikenakan pemotongan pajak
sebagaimana diatur sesuai/PPh pasal 26 dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a) Penghasilan Bruto (Berkala), yaitu penghasilan yang diterima pegawai secara
teratur setiap bulan berupa gaji, tunjangan-tunjangan, lembur, uang makan, uang
transport dan sejenisnya.
b) Pengahasilan tidak rutin (Tahunan), yaitu penghasilan yang diterima pegawai
dalam waktu tidak tentu dan umumnya sekali atau lebih dalam setahun, berupa
tunjangan hari raya (THR), bonus, tantiem insentif tahunan dan sejenisnya
c) Penerimaan Natura, yaitu jenis penghasilan lain yang diterima pegawai dalam
bentuk fisik benda/barang berupa pemberian sembako, bantuan lauk-pauk, nutrisi
tambahan, fasislitas catering dan sejenisnya. Dalam perhitungan pajak
penghasilan, penerimaan aturan harus di konvesikan dalam satuan nilai/harga
tertentu
d) Premi Asuransi, yaitu premi asuransi atas nama pegawai yang dibayarkan oleh
pemberi kera kepada instansi terkait, berupa premi jamsostek, premi AKHDK,
premi asuransi kesehatan dan sejenisnya. Wajib pajak badan dalam negeri dengan

8
peredaran bruto sampai dengan Rp.50.000.000.000 mendapat fasilitas berupa
pengurangan tarif sebesar 50% dari tariff sebagaimana dimaksud dalam pasal 17
ayat 1 huruf b dan ayat 2a yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari
bagian peredaran bruto sampai dengan Rp. 4.800.000.000.

 Perhitungan PPH terutang berdasarkan pasal 31E dapat dibedakan menjadi 2 yaitu :
a) Jika peredaran bruto sampai dengan RP. 4.800.000.00, maka penghitungan PPh
terutang yaitu sebagai berikut:

PPH terutang = 50% × 28% × seluruh pehasilan kena pajak

b) Jika peredaran bruto lebih dari Rp. 4.800.000.000 sampai dengan Rp.
50.000.000.000, perhitungan PPH terutang yaitu sebgai berikut:

PPH terutang = (50% × 28%) × penghasilan kena pajak dari peredaran


bruto yang memperoleh fasilitas + 28% × penghasilan kena pajak dari
bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas.

IV. Tata Cara dan Melakukan Perhitungan, Penyetoran dan Pelaporan PPh
Potongan / Pungutan

1) PPh Pasal 21
Perhitungan PPh 21 dilakukan dengan mengalikan tarif pajak dengan Dasar
Pengenaan Pajak atau jumlah bruto dari penghasilan yang ditetapkan. Umumnya
penghasilan yang diterima atau diperoleh tersebut akan dikurangi dengan unsur
pengurang yang juga ditetapkan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Rumus cara
menghitung PPh 21 sebagai berikut:
PPh 21 = Tarif Pajak x (Penghasilan – Pengurang)

9
Bagi pihak penerima penghasilan yang belum memiliki NPWP, perhitungan
dilakukan dengan mengalikan 120% dengan total pajak yang terutang.
PPh 21 yang harus dibayar = 120% x PPh 21 Terutang

Perhitungan PPh 21 selalu disesuaikan dengan tarif PTKP yang ditetapkan oleh
Direktorat Jenderal Pajak (DJP). PTKP yang tercantum pada Pasal 17 Ayat (1) huruf a
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008. adalah sebagai berikut :

1. Rp 54.000.000 per tahun atau setara dengan Rp 4.500.000 per bulan untuk wajib pajak
orang pribadi.
2. Rp 4.500.000 per tahun atau setara Rp 375.000 per bulan tambahan untuk wajib pajak
yang kawin (tanpa tanggungan).
3. Rp 4.500.000 per tahun atau setara Rp 375.000 per bulan tambahan untuk setiap
anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus atau anak
angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (orang) untuk setiap
keluarga

 CARA PERHITUNGAN PPh 21 KARYAWAN TETAP

Dalam menghitung PPh pasal 21 bagi pegawai tetap perlu diperhatikan rumus
perhitungannya, yaitu sebagai berikut:
Penghasilan bruto setahun Rp xxx
Pengurang penghasilan bruto (Rp xxx)
Penghasilan neto setahun Rp xxx
Penghasilan tidak kena pajak (Rp xxx)
Penghasilan kena pajak Rp xxx
PPh Pasal 21 yang dipotong:
PKP x tarif pasal 17 ayat 1 huruf a UU PPh = PPh pasal 2 setahun
PPh pasal 21 setahun : 12 bulan = PPh pasal 21 sebulan

 Contoh cara penghitungan PPh Pasal 21 secara manual:

10
Sita Rianti adalah karyawati pada perusahaan PT. Onix Komunika dengan status
menikah dan mempunyai tiga anak. Suami Sita merupakan pegawai negeri sipil di
Kementrian Komunikasi & Informatika. Sita menerima gaji Rp 6.000.000 per bulan.
PT. Onix Komunika mengikuti program pensiun dan BPJS Kesehatan. Perusahaan
membayarkan iuran pensiun dari BPJS Ketenagakerjaan sebesar 1% dari perhitungan
gaji, yakni senilai Rp 60.000 per bulan. Di samping itu perusahaan membayarkan iuran
Jaminan Hari Tua (JHT) karyawannya setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji, sedangkan
Sita membayar iuran (JHT) setiap bulan sebesar 2,00% dari gaji. Premi Jaminan
Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JK) dibayar oleh pemberi kerja
dengan jumlah masing-masing sebesar 0,24% dan 0,3% dari gaji. Pada bulan Juli
2016, di samping menerima pembayaran gaji, Sita juga menerima uang lembur
(overtime) senilai Rp 2.000.000.

Maka hasil perhitungannya adalah sebagai berikut:

Gaji Pokok 6.000.000

(i) Tunjangan Lainnya (jika ada) 2.000.000

(ii) JKK 0,24% 14.400

JK 0,3% 18.000

Penghasilan Bruto 8.032.400

Pengurangan:

1. (iii) Biaya jabatan 5% x 8.032.400 401.620

2. Iuran Jaminan Hari Tua (JHT), 2% dari gaji pokok 120.000

3. (iv) Jaminan Pensiun (JP), 1% dari gaji pokok 60.000

(581.620)

Penghasilan neto (bersih) sebulan 7.450.780

(v) Penghasilan neto setahun 12 x 7.450.780 89.409.360

11
(vi) PTKP 54.000.000

(54.000.000)

Penghasilan Kena Pajak Setahun 35.409.360

(vii) Pembulatan ke bawah 35.409.000

PPh Terutang 5% x 35.409.000 1.770.450

PPh Pasal 21 Bulan Juli: 1.770.450/12 147.538

Ilustrasi di atas berlaku bagi wajib pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Sementara, bagi wajib pajak yang tidak memiliki NPWP, akan dikalikan 120%, sehingga PPh
Pasal 21 Bulan Juli menjadi Rp 147.538 x 120% = Rp 177.046.

Penjelasan:

(i) Tunjangan lainnya seperti tunjangan transportasi, uang lembur, akomodasi, komunikasi,
dan tunjangan tidak tetap lainnya. Umumnya tunjangan tersebut dapat diberikan oleh
perusahaan atau tidak, tergantung dari kebijakan perusahaan itu sendiri.

(ii) Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) berkisar antara 0.24% – 1.74% sesuai
kelompok jenis usaha seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2007.

Di OnlinePajak, tarif iuran JPP yang diterapkan adalah tarif JKK yang paling umum dipakai
perusahaan-perusahaan yaitu 0.24%.

(iii) Biaya Jabatan sebesar 5% dari Penghasilan Bruto, setinggi-tingginya Rp


500.000 sebulan, atau Rp 6.000.000 setahun

(iv) Jaminan atau Iuran Pensiun ditentukan oleh lembaga keuangan yang pendiriannya
disahkan dalam Peraturan Menteri Keuangan dan ditunjuk oleh perusahaan.

Jumlah persentase yang diterapkan di sini adalah 1%.

(v) Penghasilan Neto: Jika pegawai merupakan pegawai lama (lebih dari satu tahun) atau
pegawai baru yang mulai bekerja pada bulan Januari tahun itu, maka penghasilan neto
dikalikan 12 untuk memperoleh nilai penghasilan neto setahun.

12
Namun jika pegawai merupakan pegawai baru yang mulai bekerja pada bulan Mei (sekadar
contoh), maka penghasilan neto setahun dikalikan 8 (diperoleh dari penghitungan bulan dalam
setahun: Mei-Desember = 8 bulan).

Pada contoh ini diasumsikan pegawai merupakan pegawai baru yang mulai bekerja pada bulan
Januari.

(vi) Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berfungsi untuk mengurangi penghasilan bruto,
agar diperoleh nilai Penghasilan Kena Pajak yang akan dihitung sebagai objek pajak
penghasilan milik wajib pajak.

Pada contoh ini WP sudah menikah dan memiliki tiga tanggungan anak, namun karena suami
WP menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya PTKP WP Sita adalah PTKP untuk
dirinya sendiri (TK/0).

(vii) Penghasilan Kena Pajak harus dibulatkan ke bawah hingga nominal ribuan penuh, atau
3 angka di belakang (ratusan rupiah) adalah 0. Contoh: 56.901.200,00 menjadi 56.901.000.

 CARA PERHITUNGAN PPh 21 KARYAWAN TIDAK TETAP

PPh Pasal 21 Pegawai Tidak Tetap yang upahnya dibayarkan secara harian atau
mingguan atau borongan atau satuan.
Penghasilan bruto setahun PTKP = Penghasilan Kena Pajak
Penghasilan kena pajak x tarif pajak = PPh pasal 21 setahun
PPh pasal 21 setahun : 12 = PPh pasal 21 sebulan

Sebelum menghitung PPh Pasal 21 bagi pegawai tidak tetap yang upahnya dibayarkan
secara harian/ mingguan/ borongan/satuan, maka perlu diperhatikan jumlah upah harian, atau
rata-rata upah yang diterima dalam sehari, yaitu:
 upah mingguan dibagi banyaknya hari bekerja dalam seminggu;
 upah satuan dikalikan dengan jumlah rata-rata satuan yang dihasilkan dalam
sehari;
 upah borongan dibagi dengan jumlah hari yang digunakan untuk
menyelesaikan pekerjaan borongan;
 upah harian kurang dari Rp200.000,00 atau penghasilan dalam bulan kalender
yang bersangkutan belum melebihi Rp2.025.000,00, maka tidak ada PPh
Pasal 21 yang harus dipotong;

13
 upah harian lebih dari Rp200.000,00 tetapi jumlah kumulatif yang diterima
dalam bulan kalender yang bersangkutan belum melebihi Rp2.025.000,00;
 Penghasilan bruto sebulan melebihi Rp2.025.000,00 tapi tidak lebih dari
Rp7.000.000,00;
 Penghasilan bruto sebulan lebih dari Rp7.000.000,00

 Contoh cara penghitungan PPh Pasal 21 secara manual:

Ardi adalah pegawai tenaga lepas untuk desain grafis di PT. Cahaya Kurnia dengan
penghasilan Rp 5.000.000.

Besarnya PPh 21 yang terutang adalah:

5% x 50% x Rp 5.000.000,00 = Rp 125.000.

Bila Aditya tidak memiliki NPWP maka besarnya PPh Pasal 21 yang terutang adalah:

120% x 5% x 50% x Rp 5.000.000,00 = Rp 150.000.

Penjelasan:

Karena Ardi bukan pegawai tetap di PT. Cahaya Kurnia, maka PKP yang dikenakan
sebesar 50% dari jumlah penghasilan bruto. Hal ini sesuai dengan peraturan PER-32/PJ/2015
Pasal 3 huruf c. Sedangkan tarif PPh Pasal 21 untuk penghasilan tahunan sampai dengan Rp
50.000.000 adalah 5%.

2) PPh Pasal 22

 Kebijakan tarif PPh Pasal 22

1. Atas impor, jika menggunakan API (Angka Pengenal Importir) maka tarifnya 2,5% x
nilai impor. Sedangkan non API tarifnya 7,5% x nilai impor dan untuk impor yang
tidak dikuasai tarifnya menjadi 7,5% x nilai impor.
2. Atas pembelian barang, tarifnya 1,5% x harga pembelian.

14
3. Atas penjualan hasil produksi, untuk semen 0,25% x DPP PPN, kertas 0,1% x DPP
PPN, produk baja 0,3% x DPP PPN produk otomotif 0,45% x DPP PPN.
4. Atas pembelian bahan industri, tarifnya 0,25 % x harga pembelian.
5. Atas impor kedelai, gandum dan tepung terigu, terifnya 0,5 x nilai impor.

 Contoh Perhitungan PPh Pasal 22 :


Pada 20 Februari 2015, Bendahara membeli 4 (empat) printer dari PT Super
Komputindo (NPWP/NPPKP 01.222.355.5-063.000) dengan harga beli Rp22.000.000
(harga termasuk PPN). Besarnya pemungutan pajak atas pembelian printer tersebut
adalah :
a. Pemungutan PPh
- Harga pembelian = 22.000.000
- Dasar Pengenaan Pajak = 20.000.000
- PPh Pasal 22 (1,5% x 20.000.000) = 300.000
b. Pemungutan PPN:
- Dasar Pengenaan Pajak = 20.000.000
- PPN (10% x 20.000.000) = 2.000.000

 Contoh Penghitungan Nilai Impor PPh Pasal 22


Tanggal 1 November 2011 PT. ABC impor barang elektronik senilai (FOB)
$10,000, biaya kirim $500, asuransi $25. Kurs dari Kemenkau pada saat itu adalah Rp
8000/1 USD. PPh impor pasal 22 yang harus dibayarkan :
- PPh Impor (Pasal 22) = ($10,000 + 500 + 25 + 1,578.75) x 7.5% = $907.78
- Jika dirupiahkan, maka besaran PPh impor (pasal 22) yang harus dibayarkan
menjadi : PPh Impor (Pasal 22) = $907.78 x Rp 8000 = Rp 7.262.250

1. Tata Cara Pemungutan dan Pelunasan PPh Pasal 22 atas atas pembelian barang:
1. Atas pembelian barang oleh bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran
(KPA), bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian
barang yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP), Kuasa Pengguna
Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi

15
delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), terutang dan dipungut pada saat
pembayaran.
2. Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22, wajib disetor oleh pemungut ke kas
negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama
rekanan serta ditandatangani oleh pemungut pajak.
3. Pemungut pajak wajib melaporkan hasil pemungutannya dengan menggunakan
Surat Pemberitahuan Masa ke Kantor Pelayanan Pajak. Penyetoran Pajak
Penghasilan Pasal 22 dan pelaporan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22,
dilakukan sesuai jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri
Keuangan yang mengatur mengenai penentuan tanggal jatuh tempo pembayaran,
penyetoran dan pelaporan pemungutan pajak.

2. Tatacara Pemungutan dan Pelunasan PPh Pasal 22 atas penjualan barang:


1. Atas penjualan hasil produksi dari Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha
industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri
farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada distributor di dalam negeri,
terutang dan dipungut pada saat penjualan.
2. Atas penjualan kendaraan bermotor didalam negeri oleh Agen Tunggal Pemegang
Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan
bermotor, terutang dan dipungut pada saat penjualan.
3. Atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, terutang dan
dipungut pada saat penerbitan surat perintah pengeluaran barang (delivery order).
4. Atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul, terutang dan dipungut
pada saat pembelian.
5. Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh pemungut pajak, wajib disetor oleh
pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.
6. Pemungut pajak, wajib menerbitkan Bukti Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
dalam rangkap 3 (tiga), yaitu:
a. lembar kesatu untuk Wajib Pajak yang dipungut;

16
b. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan
Pajak (dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan
Pasal 22); dan
c. lembar ketiga sebagai arsip pemungut pajak yang bersangkutan
7. Pemungut pajak wajib melaporkan hasil pemungutannya dengan menggunakan
Surat Pemberitahuan Masa ke Kantor Pelayanan Pajak. Penyetoran Pajak
Penghasilan Pasal 22 dan pelaporan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22,
dilakukan sesuai jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri
Keuangan yang mengatur mengenai penentuan tanggal jatuh tempo pembayaran,
penyetoran dan pelaporan pemungutan pajak.

3) PPh Pasal 23

Tarif dan Objek pajak yang terkena PPh Pasal 23 yang berlaku di Indonesia.
1. Dikenakan 15% dari jumlah bruto atas:
a. dividen kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi dikenakan final, bunga, dan
royalti;
b. hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.

2. Dikenakan 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.
3. Dikenakan 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, dan jasa konsultan.
4. Dikenakan 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa lainnya, misalnya:
a. Jasa penilai;
b. Jasa aktuaris;
c. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan
d. Jasa hukum;
e. Jasa arsitektur;
f. Jasa perencanaan kota dan arsitektur landscape;
g. Jasa perancang;

17
h. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
i. Jasa penebangan hutan.
5. Untuk yang tidak ber-NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 23.

 Contoh Perhitungan PPh Pasal 23

PT Insan Media Print adalah perusahaan yang bergerak di bidang penerbitan buku dan
percetakan. Perusahaan ini melakukan sejumlah pembayaran yang terkait dengan PPh Pasal
23 kepada beberapa pihak dengan rincian: Pembayaran terhadap royalti tiga orang penulis:
Damayanti dengan NPWP 01.444.888.2.987.000, Nurmadina NPWP
01.888.555.2.456.000, dan Azzahra yang belum memiliki NPWP. Royalti yang diberikan
kepada Damayanti sebesar Rp25.000.000. Royalti untuk Nurmadina sebesar Rp10.000.000,
dan royalti untuk Azzahra sebesar Rp5.000.000.

Jadi, perhitungan pajak penghasilan (PPh Pasal 23) untuk PT Insan Media Print
adalah sebagai berikut:

 Pembayaran royalti kepada penulis:


- Damayanti 15% x Rp25.000.000 = Rp3.750.00
- Nurmadina 15% x Rp10.000.000 = Rp1.500.000
- Azzahra 15% x Rp5.000.000 = Rp750.000

Karena Azzahra masih belum memiliki NPWP, maka dikenakan tambahan PPh
sebesar 100% dengan nominal = 100% x Rp750.000 = Rp750.000; Dengan demikian,
Azzahra akan terkena pemotongan sebesar Rp750.000 + Rp750.000 = Rp1.500.000.
Setelah melakukan pemotongan PPh Pasal 23, penulis akan mendapatkan hasil bukti
pemotongan.

Apabila masa pajak telah berakhir, pemotong PPh Pasal 23 wajib melaporkan
pemotongan yang telah dilakukan dalam masa pajak tersebut. Pelaporan ini dilakukan
dengan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23/26 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat
Wajib Pajak pemotong PPh Pasal 23 terdaftar.

18
Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23/26 harus disampaikan paling lama
20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. Contoh, untuk pemotongan PPh Pasal 23
bulan Oktober 2010, SPT Masa PPh Pasal 23 harus disampaikan paling lambat tanggal 20
Nopember 2010.

Dalam hal batas akhir pelaporan di atas bertepatan dengan hari libur termasuk hari
Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Pengertian hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan
Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang
ditetapkan oleh Pemerintah.

4) PPh Pasal 24
Ketentuan pasal 24 UU PPh mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas
penghasilan yang dibayara atau terutang diluar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak
penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negri. Pengkreditan
pajak luar negeri dilakukan dalam tahun digabungkannya penghasilan dari luar negeri dengan
penghasilan di Indonesia. Dimana Indonesia menganut tax credit yang ordinary credit method
dengan menerapkan per country limination.
Penggabungan penghasilan yang bersasal dari luar negeri dilakukan sebagi berikut:
1. Penggabungan dilakukan saat diperolehnya penghasilan tahun pajaknya,
2. Penggabungan dilakukan saat diterimanya penghasilan tahun pajaknya,
3. Penggabungan berupa deviden dilakukan saat tahun pajak perolehan deviden.
Dalam hal ini juga terdapat batasn maksimun kredit pajak. Untuk melaksankan
pengkreditan pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri, wajib pajak menyampaikan
permohonan kepada Dirjen pajak dengan dilampiri:
1. Laporan keuangan dari penghasilan luar negeri,
2. Fotokopi surat pemberitahuan pajak yang disampaikan diluar negeri,
3. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.
Penyampaian permohonan kredit pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri tersebut
dilakukan bersamaan dengan penyampaian SPT tahunan PPh.

19
 Mekanisme Perhitungan PPh Pasal 24 :
Katakanlah PT ABC tahun 2017 memperoleh pendapatan neto di dalam negeri
sebesar Rp 25.000.000.000 dan dari luar negeri sebesar Rp 10.000.000.000. Asumsi
pajak di luar negeri sebesar 20%. Total penghasilan yang tercatat adalah sebesar Rp
35.000.000.000 (Penghasilan dalam negeri + penghasilan luar negeri)
 Total PPh Terutang: 25% × Rp 35.000.000.000=Rp 8.750.000.000
PPh Maksimum yang dapat dikreditkan:
= (Penghasilan Luar Negeri/Total Penghasilan) × Total PPh Terutang
= (Rp 10.000.000.000/Rp 35.000.000.000) × Rp 8.750.000.000=Rp 2.500.000.000

Jadi, PPh terutang yang sudah dibayarkan di luar negeri adalah sebesar Rp
2.500.000.000. Nominal ini yang akhirnya digunakan sebagai pengurang pajak dalam
negeri.
Namun apabila wajib pajak hendak mengkreditkan PPh terutang yang sudah
dibayarkan pada pajak dalam negeri, terlebih dahulu harus melapor kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan melaporkannya pada saat melapor SPT Tahunan.
Pelaporannya dilengkapi dengan tax return yang dilaporkan di luar negeri dan
dokumen-dokumen pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak di luar negeri.

5) PPh Pasal 26
Kebijakan Tarif PPh Pasal 26
PPh Pasal 26 mengatur tentang kebijakan tarif sebesar 20% (final) atas jumlah bruto
dari pendapatan yang diperoleh dari:
a. Dividen.
b. Bunga, termasuk premium, diskonto, insentif yang terkait dengan jaminan
pembayaran pinjaman.
c. Royalti, sewa, dan pendapatan lain yang terkait dengan penggunaan aset.
d. Insentif yang berkaitan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.
e. Hadiah dan penghargaan.
f. Pensiun dan pembayaran berkala.
g. Premi swap dan transaksi lindung lainnya.
h. Perolehan keuntungan dari penghapusan utang.

20
Selain pajak atas pendapatan (omzet), Wajib Pajak Luar Negeri yang terkena PPh
Pasal 26 juga terkena kebijakan tarif pajak dari laba bersih. Tarif 20% (final) dari laba
bersih dikenakan bagi yang memiliki penghasilan dari:
a. Pendapatan dari penjualan aset di Indonesia.
b. Premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung ataupun melalui
pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
 Ketentuan tarif 20% mengikuti kriteria sebagai berikut:
a. Tarif 20% (final) dari laba bersih juga berlaku atas penjualan atau pengalihan
saham perusahaan yang didirikan atau bertempat di negara yang memberikan
perlindungan pajak, termasuk dalam BUT di Indonesia.
b. Tarif 20% yang dipungut dari penghasilan kena pajak setelah dikurangi dengan
pajak termasuk di dalamnya dalam BUT di Indonesia. Tidak berlaku bagi Wajib
Pajak yang penghasilannya tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.
c. Tax Treaty atau P3B antara Indonesia dan negara-negara lain yang berada dalam
perjanjian bisa saja berbeda satu sama lain. Tarifnya biasanya bisa untuk
mengurangi tingkat dari tarif biasa yang sebesar 20% dan beberapa mungkin
memiliki tarif 0%.

 Contoh Perhitungan PPh Pasal 26 :


PT ABC memiliki perwakilan di luar negeri dan mengasuransikan bangunan
bertingkat ke perusahaan asuransi di luar negeri dengan membayar jumlah premi pada
tahun 1995 sebesar Rp1 miliar. Dengan demikian, penghitungan PPh Pasal 26-nya
adalah sebagai berikut.
 Perkiraan penghasilan = 50% x Rp1.000.000.000 = Rp500.000.000,-
 PPh Pasal 26 = 20% x Rp500.000.000 = Rp100.000.000 (10% x
Rp1.000.000.000)
Sering kali untuk memudahkan proses, PT ABC bisa saja ikut asuransi melalui
perusahaan yang ada di Indonesia, misal PT XYZ, dengan membayar jumlah premi
yang sama sebesar Rp1 miliar. PT XYZ mengikutkan (reasuransi) perusahaan tersebut
ke perusahaan asuransi di luar negeri, misalnya PT KLM, dengan membayar premi
sebesar Rp500 juta. Maka ketentuan PPh Pasal 26-nya adalah:

21
 Perkiraan penghasilan neto = 10% x Rp500.000.000 = Rp50.000.000
 PPh Pasal 26 PT ABC = 20% x Rp50.000.000 = Rp10.000.000 (2% x
Rp500.000.000)

6) PPh Final Pasal 4 ayat (2)

 Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2


Ada berbagai macam jenis penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 4 Ayat 2. Setiap
penghasilan mempunyai tarif yang berbeda-beda dan diatur di dalam Peraturan
Pemerintah (PP). Di bawah ini akan dijelaskan berbagai objek pajak dengan tarifnya
masing-masing yang telah diatur Pemerintah.
1) Bunga deposito serta jenis-jenis tabungan, Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan
diskon jasa giro dikenakan tarif sebesar 20% sebagaimana telah diatur PP No. 131
Tahun 2000 serta turunannya Keputusan Menteri Keuangan No. 51/KMK.04/2001.
2) Bunga simpanan yang dibayarkan koperasi kepada para anggotanya masing-
masing dikenakan tarif 10% sebagaimana telah diatur pada Pasal 17 Ayat 7 serta
turunannya PP No. 15 Tahun 2009.
3) Bunga dari kewajiban dengan berbagai jenis tarif dari 0-20%. Penjelasan lebih
lanjutnya bisa dicari dalam PP No. 16 Tahun 2009.
4) Dividen yang diterima Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dikenakan tarif
10% sebagaimana telah diatur dalam Pasal 17 Ayat 2C.
5) Hadiah lotre atau undian dikenakan tarif 25% sebagaimana telah diatur PP No. 132
Tahun 2000.
6) Transaksi derivatif berjangka panjang yang telah diperdagangkan di bursa
dikenakan tarif 2,5% sebagaimana telah diatur PP No. 17 Tahun 2009.
7) Transaksi penjualan saham pendiri dan saham bukan pendiri (non-founder),
tarifnya masing-masing adalah 0,5% dan 0,1%, seperti yang tercantum dalam PP
No. 14 Tahun 1997 serta turunannya Keputusan Menteri Keuangan No.
282/KMK.04/1997, yang SE-15/PJ.42/1997 dan SE-06/PJ.4/1997.
8) Jasa konstruksi dikenakan tarif 2-6%. Penjelasan lebih lanjutnya bisa ditemukan
pada PP No. 51 Tahun 2008 serta turunannya PP No. 40 Tahun 2009.

22
9) Sewa atas tanah dan/atau bangunan, tarifnya adalah 10% seperti yang telah diatur
PP No. 29 Tahun 1996 dan juga turunannya PP No. 5 Tahun 2002.
10) Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (dalam hal ini termasuk usaha real
estate), tarifnya adalah 5% seperti yang tercantum dalam PP No. 71 Tahun 2008.
11) Transaksi dari penjualan saham atau pengalihan ibu kota mitra perusahaan yang
telah diterima oleh modal usaha, tarifnya adalah 0,1% sebagaimana telah diatur di
dalam PP No. 4 Tahun 1995.

 Contoh Perhitungan PPh Final Pasal 4 ayat (2)

PT Sehat Sejahtera merupakan perusahaan konstruksi yang mempunyai kualifikasi


dalam usaha kelas menengah. Sementara Tuan Imam merupakan konsultan sipil yang
mempunyai sertifikasi dalam perencanaan konstruksi dengan kualifikasi usaha kecil. Nilai dari
proyek berdasarkan kontrak sebesar Rp5.000.000.000 (tidak termasuk PPN).

Pembayaran dilakukan berdasarkan progres pembangunan yang sudah dilaporkan.


Pada 2014, telah dilakukan pembayaran terhadap pelaksanaan konstruksi kepada PT Sehat
Sejahtera tertanggal 22 Juli 2014 dengan jumlah Rp1.500.000.000 atas tagihan tanggal 15 Juli
2014 dengan kode nomor Faktur Pajak 020.000-15.00000650. Pembayaran untuk kontrak
perencanaan konstruksi ke Tuan Imam dilaksanakan pada tanggal 5 Juli 2014 dengan jumlah
Rp50.000.000, atas tagihan tanggal 4 Juli 2014 kode nomor seri Faktur Pajak 020.000-
15.00000950.
Berdasarkan keterangan di atas, kewajiban pajak yang harus dipenuhi adalah:
 Pemotongan/Pemungutan PPh
Bendahara Inspektorat Provinsi memotong PPh Pasal 4 Ayat 2 atas jasa konstruksi, yaitu:
1. Pelaksanaan Konstruksi PT Sehat Sejahtera dibayar pada 22 Juli 2014:
Rp1.500.000.000 x 3% = Rp45.000.000
2. Perencanaan Konstruksi oleh Tuan Imam yang dibayar pada 5 Juli 2014:
Rp50.000.000 x 4% = Rp2.000.000

 Pemungutan PPN
Bendahara Inspektorat Provinsi mengambil Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10%
dari transaksi jasa konstruksi tersebut.

23
1. Pelaksanaan Konstruksi oleh PT Sehat Sejahtera dibayar pada 22 Juli 2014:
Rp1.500.000.000 x 10% = Rp150.000.000
2. Perencanaan Konstruksi oleh Tuan Imam dibayar pada 5 Juli 2014: Rp50.000.000 x
10% = Rp5.000.000

 Contoh Pemotongan Dan Penghitungan PPh Pasal 4 Ayat (2) Atas Penghasilan Dari
Persewaan Tanah Dan Atau Bangunan
CV Polan (badan memiliki NPWP) membayar kepada Tuan A sebesar Rp 20.000.000,-
atas sewa toko. Besarnya PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dipotong CV Polan :

Sewa Toko Rp 20.000.000

Tarif PPh Pasal 4 (2) 10%

Besar PPh yang harus dipotong (10% x Rp 20.000.000) Rp 2.000.000

 Contoh Pemotongan Dan Penghitungan PPh Pasal 4 Ayat (2) Atas Penghasilan Dari
Usaha Jasa Konstruksi
CV Polan (badan memiliki NPWP) menerima penghasilan atas jasa kosntruksi yang
diserahkannya ke Dinas Pendidikan kota A sebesar Rp 400.000.000,-. Besarnya PPh Pasal
4 ayat (2) yang harus dipotong Dinas Pendidikan Kota A atas penghasilan yang diterima
CV Polan :

Jasa Konstruksi Rp 400.000.000

Tarif PPh Pasal 4 (2) 2%

Besar PPh yang harus dipotong (2% x Rp 400.000.000) Rp 8.000.000

24
 Contoh Penyetoran Sendiri Dan Penghitungan PPh Pasal 4 Ayat (2) Atas
Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Atau Bangunan
Tuan Bonar (perseorangan memiliki NPWP) menerima penghasilan atas penjualahan
tanah berikut bangunannya sebesar Rp 1.200.000.000,-. Besarnya PPh Pasal 4 ayat (2)
yang harus disetor sendiri oleh Tuan B atas penghasilan yang diterimanya :

Penjualan Tanah dan Bangunan Rp 1.200.000.000

Tarif PPh Pasal 4 (2) 5%

Besar PPh yang harus dipotong (5% x Rp 1.000.000.000) Rp 60.000.000

25
DAFTAR PUSTAKA

Mardiasmo. 2016. Perpajakan Edisi Revisi 2016. Yogyakarta:Andi Yogyakarta

Mardiasmo. 2014. Perpajakan Edisi Revisi 2014. Yogyakarta:Andi Yogyakarta

Resmi, Siti. 2013. Perpajakan: Teori dan Kasus. Jakarta:Salemba Empat

Leony Iskandar, Juni 2018, Pajak Penghasilan (PPh) Pemotongan & Pemungutan (Pot-
Put). https://slideplayer.info/slide/13324422/ diakses tanggal 15 September 2019

Desak Nyoman Tri Rani Putri dkk, September 2014, PPh Potongan Pungutan.
https://prezi.com/crhkomym1ebq/pph-potongan-pemungutan/ diakses tanggal 15 September
2019

L.Y. Hari Sih Advianto, M.M, April 2014, Pemotongan dan Pemungutan Pajak Penghasilan.
https://bppk.kemenkeu.go.id/id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/12682-pemotongan-dan-
pemungutan-pajak-penghasilan diakses tanggal 17 September 2019

26

Anda mungkin juga menyukai