Anda di halaman 1dari 133

DAFTAR ISI

Bab 1 Pengertian PPh Pemotongan dan Pemungutan ........................................................... 2


1. Sistem Pemungutan Pajak Di Indonesia ......................................................................... 2
2. Objek pajak dan bukan objek pajak ................................................................................ 2
3. Ruang lingkup PPh Pemotongan Pemungutan ............................................................... 2
4. Saat dan tempat terutang PPh Pemotongan dan Pemungutan ......................................... 3
Bab 2 PPh Pasal 21 ................................................................................................................. 4
1. Objek PPh Pasal 21 ......................................................................................................... 4
2. Penghasilan Yang Bukan Obyek PPh Pasal 21............................................................... 5
3. Pemotong PPh Pasal 21/26 ............................................................................................. 6
4. Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang mempunyai kewajiban untuk melakukan
pemotongan pajak .................................................................................................................. 7
5. Hak dan kewajiban pemotong pajak PPh pasal 21 ........................................................ 7
6. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak PPh Pasal 21 .............................................................. 8
7. Klasifikasi PPh Pasal 21 ................................................................................................. 8
8. Penerima Penghasilan tidak ber-NPWP........................................................................ 12
9. Tarif umum PPh pasal 21 .............................................................................................. 12
Bab 3 Penghitungan PPh Pasal 21 ........................................................................................ 14
1. Penghitungan PPh Pasal 21 atas pegawai tetap dan pensiun ........................................ 14
2. Penghitungan PPh Pasal 21 atas pegawai yang berhak mendapatkan PTKP saja. ...... 32
3. Orang Pribadi yang tidak berhak atas biaya jabatan dan PTKP ................................... 36
4. Orang Pribadi sebagai peserta kegiatan ........................................................................ 39
5. Pegawai yang menerima penghasilan yang dikenakan pajak bersifat final .................. 40
Bab 4 PPh Pasal 22 ................................................................................................................ 54
1. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 22 ......................................................................... 54
2. Subjek Pajak, Objek Pajak dan Pemungut Pajak .......................................................... 54
3. DITJEN ANGGARAN DAN BENDAHARAWAN PEMERINTAH
PUSAT/DAERAH ............................................................................................................... 55
4. BANK DEVISA DAN DITJEN BEA CUKAI ............................................................. 55
5. PERTAMINA DAN BADAN USAHA LAIN DI BIDANG MIGAS ......................... 56
6. BADAN USAHA TERTENTU .................................................................................... 57
Pengenaan pajaknya ditentukan sebagai berikut: ........................................................... 57
7. INDUSTRI/EKSPORTIR DI BIDANG PERHUTANAN, PERKEBUNAN, ............. 57
Bab 5 PPh Pasal 23 .............................................................................................................. 61
1. Pengertian PPh Pasal 23................................................................................................ 61
2. Subjek yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 23....................................................... 61
3. Pemotong PPh pasal 23 ................................................................................................. 61
4. Objek PPh pasal 23 ....................................................................................................... 61
5. Imbalan Bruto ............................................................................................................... 69
6. Pengenaan Pajak apabila dalam kontrak/perjanjian terdapat lebih dari satu jenis jasa 69
7. Dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23 ............................................................... 69
Bab 6 PPh FINAL .................................................................................................................. 71
1. OBYEK PPh PASAL 4 AYAT (2) .............................................................................. 71
Bab 7 Lampiran .................................................................................................................... 77

1
Bab 1 Pengertian PPh Pemotongan dan Pemungutan
Sistem pemungutan pajak di Indonesia mengenal adanya Withholding System
dimana pajak yang dibayar seseorang atau badan, dipotong atau dipungut oleh pihak
ketiga. Pihak ketiga mempunyai kewajiban untuk memungut pajak penghasilan dari
pembelian atau penjualan barang atau memotong pajak penghasilan dari penerima
penghasilan, menyetorkan pajak tersebut ke kas negara dan melaporkannya pada
Kantor Pelayanan Pajak dimana pihak ketiga tersebut terdaftar.

1. Sistem Pemungutan Pajak Di Indonesia


Sistem pemungutan pajak di Indonesia secara umum terdiri dari :
1. Self Assesment System yaitu Wajib Pajak menghitung, menyetor, melapor
sendiri pajaknya yang menurutnya terutang. Contoh PPh pasal 25/29
2. Witholding System yaitu Wajib Pajak atas pajak terutangnya dihitung, disetorkan
dan dilaporkan oleh pihak lain. Contoh PPh pasal 21, PPh pasal 22, PPh pasal
23/26, PPh pasal 15 dan PPh pasal 4(2)

2. Objek pajak dan bukan objek pajak


Objek pajak adalah penghasilan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari
luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan
wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun sesuai bunyi
pasal 4 ayat 1 UU Nomor 7 tahun 1983 jo UU Nomor 10 tahun 1994 jo UU Nomor 17
tahun 2000 jo UU Nomor 36 tahun 2008.
Bukan orang objek adalah penghasilan yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi
maupun badan yang tidak dikenakan pajak pada saat menerima penghasilan. Misal
warisan, natura untuk karyawan, dividen untuk Perusahaan Terbatas (PT) atas
penyertaan modal yang disetor 25% ke atas, yang diterima oleh perusahaan
terbatas(pasal 4 ayat 3 UU Nomor 7 tahun 1983 jo UU Nomor 10 tahun 1994 jo UU
Nomor 17 tahun 2000 jo UU Nomor 36 tahun 2008)
Objek dan bukan objek PPh pemotongan dan pemungutan akan di jelaskan
kemudian pada bab-bab berikutnya.

3. Ruang lingkup PPh Pemotongan Pemungutan


PPh pemotongan pemungutan merupakan penerapan dari sistem perpajakan
withholding system, yaitu pajak yang dibayar seseorang atau badan, dipotong dan
dipungut Pajak Penghasilan pihak ketiga. Dalam hal ini pihak ketiga mempunyai
kewajiban :
1. Memotong atau memungut pajak dari penerima penghasilan
2. Menyetorkan pajak tersebut ke kas negara lewat bank persepsi/kantor pos
3. Melaporkan pemotongan/pemungutan pajaknya ke KPP dimana Wajib
Pajak pihak ketiga tersebut terdaftar

Pelaksanaan PPh pemotongan dan pemungutan pada dasarnya merupakan pajak


yang dibayar dalam tahun pajak berjalan (prepaid tax), ini bertujuan agar pelunasan
pajak tersebut mendekati jumlah pajak yang terutang untuk tahun pajak yang
bersangkutan, sehingga dapat meringankan kewajiban pajak pada akhir tahun pajak.

2
Untuk PPh final tidak termasuk kategori prepaid tax karena pajak telah berakhir tanpa
ada lagi pengkreditan pajak atau penghitungan ulang.

PPh yang atas penyetoran dan pelaporannya yang dilakukan oleh pihak lain
diklasifikasikan menjadi tujuh jenis pajak yaitu sebagai berikut :
1. PPh Pasal 21
Merupakan PPh yang terkait dengan penghasilan dari pekerjaan, jasa, kegiatan
(active income) yang dilakukan oleh orang pribadi dalam negeri baik yang bersifat
sebagai karyawan tetap atau bukan karyawan tetap.
2. PPh Pasal 22
Penerapan dari PPh Pasal 22 adalah tergantung kepada pemungut pajak, karena
tidak setiap Wajib Pajak dapat memungut PPh Pasal 22. Pemungut PPh Pasal 22
ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan atau Keputusan Direktur
Jenderal pajak.
3. PPh Pasal 23
Merupakan pajak yang terkait dengan penghasilan dari pemanfaatan modal/aktiva
(passive income) dan pemanfaatan jasa (active income) yang diterima/diperoleh
subyek pajak dalam negeri.
4. PPh Pasal 26
Merupakan pajak yang terkait dengan penerima pengasilan yang berasal dari
subyek pajak luar negeri baik berasal dari active maupun passive income.
5. PPh Pasal 4 ayat (2)
Merupakan pajak yang bersifat Final (khusus) atas obyek-obyek pajak tertentu,
jenis penghasilan yang dikenakan PPh ini ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

Untuk PPh pasal 22, pada aturan pelaksanaannya, Wajib Pajak dapat melakukan
penyetoran sendiri saat pembayaran bea masuk dan penyelesaian dokumen impor
atau sebelum delivery order (Surat Perintah Pengiriman Barang) untuk pembelian
bahan bakar dan gas ke Pertamina
Untuk PPh final mekanisme penyetoran dan pelaporannya diatur tersendiri sesuai
dengan aturan pelaksanaannya. Contoh PPh atas sewa tanah dan bangunan, jika
penyewa ádalah badan usaha atau orang pribadi yang melakukan pembukuan atau
ditunjuk sebagai pemotong pajak, penyewa tersebut sebelum membayar jumlah sewa,
terlebih dahulu harus memotong PPh Pasal 4 ayat 2 UU PPh. Tetapi apabila penyewa
ádalah orang pribadi yang tidak ditunjuksebagai pemotong PPh final atau tidak dapat
melakukan pemotongan PPh final, pemilik tanah dan bangunan berkewajiban untuk
menyetor sendiri PPh final tersebut dan melaporkannya ke KPP.

4. Saat dan tempat terutang PPh Pemotongan dan Pemungutan

Pada dasarnya saat yang menentukan terutang PPh pemotongan pemungutan adalah
saat dibayarkan secara tunai atau saat dibebankan, mana yang terlebih dahulu.
Pemotong pajak harus memotong pada saat tersebut, kecuali ditentukan lain.
Sedangkan tempat terutang PPh pemotongan dan pemungutan pada dasarnya
adalah tempat di mana pekerjaan, jasa, atau kegiatan usaha dilakukan. PPh
pemotongan pemungutan menganut sistem desentralisasi atau tidak mengenal adanya
pemusatan, kecuali ditentukan lain.

3
Bab 2 PPh Pasal 21

PPh Pasal 21, adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan,
dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan
pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek
Pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
PPh pasal 21 adalah Pajak penghasilan yang dipotong atas penghasilan yang bersifat
active income yang diterima oleh orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan sebagai karyawan tetap maupun karyawan tidak tetap
dengan nama dan dalam bentuk apapun, wajib dilakukan pemotongan, penyetoran,
dan pelaporannya. Active income adalah penghasilan yang berasal dari pekerjaan,
jasa, dan kegiatan. Sedangkan passive income seperti bunga, dividen, royalti yang
diterima orang pribadi dalam negeri bukanlah merupakan objek PPh pasal 21.

1. Objek PPh Pasal 21


Segala macam penghasilan yang dibayarkan orang pribadi dalam negeri
sehubungan dengan active income (pekerjaan, jasa dan kegiatan) wajib dipotong PPh
Pasal 21, kecuali ditentukan lain.
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 secara singkat dapat dijabarkan sebagai
berikut:
a. penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa
penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur;
b. penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima pensiun secara teratur
berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
c. penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan
sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang
pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan
pembayaran lain sejenis;
d. penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian,
upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan
secara bulanan;
e. imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee,
dan imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan;
f. imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang
representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama
dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.

g. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama


apapun yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan yag dikenakan Pajak
Pengsilan bersarkan norma penghitungan khusus (deemed
profit).Penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 atas penghasilan
berupa penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya
didasarkan pada harga pasar atas barang yang diberikan atau nilai wajar atas
pemberian kenikmatan yang diberikan.

4
Penghasilan sebagaimana dimaksud diatas yang diterima atau diperoleh orang pribadi
Subjek Pajak luar negeri merupakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26.
Dalam hal penghasilan diterima atau diperoleh dalam mata uang asing, penghitungan
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 didasarkan pada nilai tukar (kurs) yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran penghasilan
tersebut atau pada saat dibebankan sebagai biaya.
Terkait dengan penghasilan-penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 21,
perlu kiranya bagi kita untuk mengetahui juga penghasilan-penghasilan yang diterima
karyawan tetapi tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 21.

2. Penghasilan Yang Bukan Obyek PPh Pasal 21

a. Pembayaran klaim asuransi dari perusahaan asuransi, baik asuransi kesehatan,


asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, maupun asuransi
beasiswa.
Catatan dengan Pasal 4 ayat (3) huruf e UU PPh, pembayaran dari
perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna, beasiswa bukan merupakan obyek PPh.
Filosofinya adalah premi asuransi yang dibayar pemberi kerja merupakan
obyek PPh pasal 21 bagi karyawan, sehingga atas klaim asuransi yang
diterima oleh karyawan tentunya tidak perlu dikenakan PPh Pasal 21, hal ini
untuk menghindari adanya pengenaan pajak berganda.
b. Imbalan dalam bentuk natura, kecuali yang diberikan oleh bukan wajib Pajak
atau Wajib Pajak yang pengenaan PPh-nya bersifat final dan yang dikenakan
PPh berdasarkan Norma Penghitungan Khusus (Deemed Profit).
Catatan:
Fasilitas kepada karyawan biasanya diberikan dalam bentuk uang sehingg
jelas pengukurannya. Fasilitas dalam bentuk uang ini bisa dibiayakan oleh
emberi kerja. Oleh karena itu fasilitas yang diberikan dalam bentuk natura
atau kenikmatan tidak boleh menjadi biaya bagi pemberi kerja. Karena bukan
merupakan biaya maka bagi yang menerima pun bukan merupakan
penghasilan yang menjadi obyek PPh Pasal 21.
Badan-badan yang bukan Wajib Pajak atauWajib Pajak yang pengenaan
PPh-nya bersifat final dan yang dikenakan PPh berdasarkan Norma
Penghitungan Khusus tidak memperhitugkan biaya dalam penghitungan
pajaknya sehingga natura dan kenikmatan yang diberikan oleh pihak-pihak
tersebut merupakan penghasilan yang dikenakan PphPasal 21.
c. Iuran pensiun/THT yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran taspen yang dibayarkan kepada
Badan Penyelenggara Jamsostek yang dibayar oleh Pemberi kerja.
Pajak pemberi kerja, iutan pensiun/THT/JHT yang dibayar pemberi kerja
tidak dikanakan PPh Pasal 21 tetapi pengenaan pajaknya akan dilakaukan
pada saat penerimaan uang pensiun atau tunjangan hari tua.
d. Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung pemberi kerja.
Catatan:
Pajak yang ditanggung pemberi kerja termasuk dalam kriteria kenikmatan
yang tidak boleh dibiayakan oleh pemberi kerja. Karena tidak boleh
dibiayakan otomatis bagi yang menerima pun bukan merupakan penghasilan
yag dikenakan PPh Pasal 21.
e. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
Catatan:

5
Sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) huruf a nomor 1 UU PPh, di mana zakat yang
dikeluarkan oleh orang pribadi pemeluk agama Islam atau badan yang
dimiliki oleh orang pribadi pemeluk agama Islam boleh dikurangkan dari
penghsilan bruto, tetapi atas zakat yang diterima bukan merupakan obyek
pajak bagi yang penerima.
f. Beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf l Undang-
Undang Pajak Penghasilan.

3. Pemotong PPh Pasal 21/26

Secara sederhana yang bertindak sebagai pemotong PPh Pasal 21 adalah pemberi
kerja. Siapa pun itu asal membayarkan gaji, upah, honorariun kepada orang pribadi
dalam lingkup pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan, maka wajib memotong
PPh Pasal 21. Pemotongan PPh Pasal 21 tersebut bisa badan, orang pribadi,
kepanitiaan, organisasi, dan sebagainya. Apabila penerima penghasilan ádalah subyek
pajak dalam negeri maka atas pembayaran tersebut wajib dipotong PPh Psal 21,
sedangkan apabila subyek pajak luar negeri maka wajib dipotong PPh Pasal 26.

Secara rinci pemotong adalah sebagai berikut :


a. pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat
maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun,
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh
pegawai atau bukan pegawai;
b. bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang
kas pada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah,
instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan
Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang membayarkan gaji,
upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam
bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan;
c. dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-
badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan
hari tua;
d. orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta
badan yang membayar:
1. honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan
jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status
Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan
pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan
untuk dan atas nama persekutuannya;
2. honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan
kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status
Subjek Pajak luar negeri;
3. honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan,
dan magang;
e. penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat
nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya
yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah atau
penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib pajak orang pribadi dalam
negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.

6
4. Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang mempunyai kewajiban
untuk melakukan pemotongan pajak

a. kantor perwakilan negara asing;


b. organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh
Menteri Keuangan;
c. pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas yang semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk
melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

5. Hak dan kewajiban pemotong pajak PPh pasal 21


Hak-hak Pemotong Pajak PPh pasal 21 adalah :
a. Pemotong pajak berhak untuk mengajukan permohonan memperpanjang jangka
waktu penyampaian SPT Tahunan PPh pasal 21.
b. Pemotong pajak berhak untuk memperhitungkan kelebihan setoran PPh Pasal 21
dalam satu bulan takwim dengan PPh pasal 21 yang terutang pada bulan
berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan
c. Pemotong pajak berhak untuk memperhitungkan kelebihan setoran pada SPT
Tahunan dengan PPh pasal 21 yang terutang pada untuk bulan pada waktu
dilakukan penghitungan tahunan, dan jika masih ada sisa kelebihan, maka
diperhitungkan untuk bulan-bulan lainnya dalam tahun berikutnya.
d. Pemotong pajak berhak untuk membetulkan sendiri SPT atas kemauan sendiri dari
pemotong pajak
e. Pemotong pajak berhak untuk mengajukan surat keberatan kepada Direktur
Jenderal Pajak atas status skp
f. Pemotong pajak berhak mengajukan Bandung terhadap keputusan mengenai
keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak

Kewajiban Pemotong Pajak PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut :


a. Pemotong pajak wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
setempat
b. Pemotong pajak wajib mengambil sendiri formular-formulir yang diperlukan
dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya pada KPP setempat
c. Pemotong pajak wajib menghitung, memotong, dan menyetor PPh pasal 21 yang
terutang untuk setiap bulan takwim. Penyetoran Pajak dilakukan selambat-
lambatnya pada tanggal 10 bulan takwim berikutnya.
d. Pemotong pajak wajib melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke KPP
setempat, selambat-lambatnya pada tanggal 20 bulan takwim berikutnya.
e. Pemotong pajak wajib memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 baik diminta
maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi
bukan sebagai pegawai tetap, penerima uang tebusan pensión, penerima Jaminan
Hari Tua, penerima pesangon, dan penerima dana pensión iuran pasti
f. Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 Tahunan
lepada pegawai tetap, termasuk penerima pensiun bulanan, dalam waktu 2 bulan
setelah tahun takwim berakhir.

7
g. Pemotong pajak wajib menyetor kekurangan PPh pasal 21 yang terutang
selambat-lambatnya pada tanggal 25 Maret setelah tahun takwim berikutnya.

6. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak PPh Pasal 21


Hak Wajib Pajak PPh pasal 21 adalah sebagai berikut
a. Wajib Pajak berhak meminta bukti pemotongan PPh pasal 21 kepada pemotong
pajak. PPh pasal 21 tersebut dapat dikreditkan untuk tahun pajak yang
bersangkutan, kecuali PPh pasal 21 yang bersifat final.
b. Wajib Pajak berhak mengajukan surat keberatan kepada Dirjen Pajak, jika PPh
pasal 21 yang dipotong oleh pemotong pajak tidak sesuai dengan peraturan yang
berlaku
c. Wajib Pajak berhak mengajukan Bandung kepada Badan Peradilan Pajak terhadap
keputusan keberatan yang ditetapkan Dirjen Pajak.

Kewajiban Wajib Pajak PPh Pasal 21


a. Wajib Pajak berkewajiban menyerahkan surat pernyataan kepada pemotong pajak
yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun takwim atau
pada permulaan menjadi subjek pajak dalam negeri. Apabila ada perubahan
jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun takwim, Wajib Pajak
berkewajiban menyerahkan surat pernyataan kepada pemotong pajak
b. Wajib Pajak berkewajiban memasukkan SPT tahunan PPh Orang Pribadi, setiap
tahun pajak berakhir

7. Klasifikasi PPh Pasal 21


Untuk mempermudah dalam penghitungan PPh Pasal 21, dikelompokkan
penghitungan dalam 6 klasifikasi berdasarkan status karyawan, penerapan biaya
jabatan, PTKP dan obyek pajaknya sebagai berikut:
a. Karyawan Tetap dan Penerima pensiun berkala
Yang dimaksud dengan Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau
memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk
anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur
terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung, serta
pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu
sepanjang pegawai yang bersangkutan bekerja penuh (full time) dalam
pekerjaan tersebut.
Yang dimaksud dengan Penerima pensiun adalah orang pribadi atau ahli
warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang
dilakukan di masa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang
menerima tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.
Untuk Pejabat Negara, PNS, anggota TNI, anggota POLRI dan pensiunannya
Penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau
APBD meliputi penghasilan tetap dan teratur bagi:
a. Pejabat Negara, untuk:
1. gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan; atau
2. imbalan tetap sejenisnya, yang ditetapkan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
b. PNS, Anggota TN!, dan Anggota POLRI, untuk gaji dan tunjangan lain
yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

8
c. Pensiunan, untuk uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan
teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Termasuk dalam pengertian gaji, uang pensiun, dan tunjangan lain adalah
gaji, uang pensiun, dan tunjangan ke-13.
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak secara umum adalah sebagai berikut:
PPh pasal 21 = Tarif Pasal 17 x (Penghasilan Bruto-Biaya Jabatan/Pensiun-
PTKP
Penghitugan PPh Pasal 21 untuk karyawan tetap dan penerima pensiun berkala
adalah sebagai berikut:
Dengan menerapkan Tarif Umum Pasal 17 UU PPh dikalikan Penghasilan
Bruto yang telah dikurangi dengan:
Biaya jabatan/biaya pensiun
 Iuran Pensiun/THT/JHT yang dibayar karyawan.
 Penghasilan Tidak Kena pajak (PTKP)
Untuk pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang diperlakukan sebagai
pegawai tetap, penghitungan PPh pasal 21 sama dengan pegawai tetap
b. Pegawai tidak tetap yang penghasilannya di bayar secara bulanan atau jumlah
kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah
melebihi Rp 2.025.000,00 dan bukan pegawai selain tenaga ahli, yang
menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan
Penghitugan PPh Pasal 21-nya adalah sebagai berikut:
PPh Pasal 21 = Tarif PPh Pasal 17 x (Penghasilan Bruto – PTKP)

c. Pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan
atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1
(satu) bulan kalender belum melebihi Rp 2.025.000,00
Penghitungan PPh Pasal 21-nya adalah sebagai berikut:
PPh Pasal 21 = Tarif PPh Pasal 17 x (Penghasilan Bruto – PTKP)
 Pegawai harian lepas terdiri dari karyawan tidak tetap dengan upah harian,
mingguan, satuan, borongan dengan batasan tidak kena pajak sebesar
Rp200.000/hari

d. Penerima honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan
dalam bentuk apapun sebagai imbalan atas jasa atau kegiatan yang jumlahnya
tidak dapat dihitung atas dasar banyaknya hari yang digunakan untuk
menyelesaikan jasa atau kegiatan tersebut, terdiri dari:
1. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, sutradara,
crew film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat,
pelukis, dan seniman lanilla.
2. Olahragawan
3. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, moderator
4. Pengarang, peneliti, dan penerjemah
5. Pemberi jasa di bidang teknik, komputer dan aplikasinya, telekomunikasi,
elektronika, fotografi, dan pemasaran.
6. Agen iklan
7. Pengawas, pengelola proyek, anggota dan pemberi kerja pada suatu
kepanitiaan, peserta sidang atau rapat, dan tenaga lepas lainnya dalam segala
bidang kegiatan.
8. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan.
9. Petugas penjaja barang dagangan
10. Petugas dinas luar asuransi

9
11. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan
sejenis lainnya

Penghitungan PPh Pasal 21-nya adalah sebagai berikut:

a. Apabila Menerima penghasilan bersifat berkesinambungan, mempunyai


NPWP dan Tidak mempunyai penghasilan lain
(Penghasilan Bruto x 50%) – PTKP(perbulan) = PKP
PKP x Tarif Pasal 17 ayat 1(a).
PKP bersifat akumulatif untuk satu tahun pajak melihat dari lapisan tarif Pasal 17
ayat 1(a)

b.. Apabila Menerima penghasilan bersifat berkesinambungan, mempunyai


NPWP dan mempunyai penghasilan lain
(Penghasilan Bruto x 50%) = PKP. PKP x Tarif Pasal 17 ayat 1(a).
PKP bersifat akumulatif untuk satu tahun pajak melihat dari lapisan tarif Pasal 17
ayat 1(a)

c. Apabila Menerima penghasilan bersifat berkesinambungan, tidak mempunyai


NPWP dan baik mempunyai atau tidak mempunyai penghasilan lain
(Penghasilan Bruto x 50%) = PKP.PKP x Tarif Pasal 17 ayat 1(a) x 120%
PKP bersifat akumulatif untuk satu tahun pajak melihat dari lapisan tarif Pasal 17
ayat 1(a)

d. Apabila Menerima penghasilan bersifat tidak berkesinambungan, mempunyai


NPWP dan baik mempunyai atau tidak mempunyai penghasilan lain
(Penghasilan Bruto x 50%) = PKP. PKP x Tarif Pasal 17 ayat 1(a).
PKP bersifat tidak bersifat akumulatif

e. Apabila Menerima penghasilan bersifat tidak berkesinambungan, tidak


mempunyai NPWP dan baik mempunyai atau tidak mempunyai penghasilan
lain
(Penghasilan Bruto x 50%) = PKP. PKP x Tarif Pasal 17 ayat 1(a) x 120%
PKP bersifat tidak bersifat akumulatif

12. Honorarium yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau
dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada
perusahaan yang sama.
13. Jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus yang diterima atau diperoleh mantan
pegawai.
14. Penarikan dana pada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan oleh peserta program pensiun.
Penghasilan Bruto x Tarif Pasal 17 ayat 1(a)
Penghasilan bruto bersifat akumulatif dan apabila tidak berNPWP dikalikan
dengan 120%

15. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan


dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi:
a. peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olahraga,
seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
b. peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;

10
c. peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara
kegiatan tertentu;
d. peserta pendidikan, pelatihan, dan magang;
e. peserta kegiatan lainnya.
Penghasilan Bruto x Tarif Pasal 17 ayat 1(a)

Setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan tidak di pecah, yang diterima
oleh peserta kegiatan

Catatan:
Pengecualian dari pengenaan PPh Pasal 21 terhadap penghasilansebagaimana
dijelaskan di atas adalah:
Dalam hal bukan pegawai selain tenaga ahlii mempekerjakan orang lain sebagai
pegawainya maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jumlah
pembayaran setelah dikurangi dengan bagian gaji atau upah dari pegawai yang
dipekerjakan tersebut, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat
dipisahkan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut maka
besarnya penghasilan bruto tersebut adalah sebesar jumlah yang dibayarkan.
Dalam hal bukan pegawai melakukan penyerahan material atau barang maka
besarnya jumlah penghasilan bruto hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali
apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa
dengan material atau barang maka besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk
pemberian jasa dan material atau barang

e. Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 Final:


1. Uang Pesangon
Penghasilan Bruto Tarif
Sampai dengan Rp 50.000.000,- 0%
Diatas Rp50.000.000,- s/d Rp100.000.000,- 5%
Diatas Rp100.000.000,- s/d Rp500.000.000,- 15%
Diatas Rp200.000.000,- 25%

2. Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua
Penghasilan Bruto Tarif
Sampai dengan Rp 50.000.000,- 0%
Diatas Rp50.000.000,- 5%
Sumber : PP 68 tahun 2009 tanggal 16 November 2009

 Honorarium yang diterima oleh Pajabat Negara, Pegawai Negeri Sipil,


dan Anggota TNI/POLRI yang sumber dananya berasal dari Keuangan
Negara atau Keungan Daerah. Tidak termasuk biaya perjalanan dinas
Penghitungan PPh Pasal 21 Final adalah sebagai berikut:
a. Sebesar 0% (nol persen) dari penghasilan bruto bagi PNS
Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI dan Anggota POLRI
Golongan Pangkat Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya;
b. Sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto bagi PNS
Golongan III, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan
Pangkat Perwira Pertama, dan Pensiunannya;
c. Sebesar 15% (lima belas persen) dari penghasilan bruto bagi
Pejabat Negara, PNS Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota
POLRI Golongan Pangkat Perwira Menengah dan Perwira Tinggi,
dan Pensiunannya.

11
Sumber PP Nomor 80 tahun 2010 tanggal 20 Desember 2010 jo PMK-
262/PMK.03/2010 tanggal 31 Desember 2010.

f. Karyawan Asing Subjek Pajak Luar Negeri


Orang pribadi sebagai subjek pajak luar negeri (expatriate)akan dipotong PPh
pasal 26 yang bersifat sebagai berikut:
PPh Pasal 26 = 20% x Penghasilan Bruto
PPh Pasal 26 ini bersifat tidak final apabila subjek pajak luar negeri tersebut
berubah statusnya menjadi subjek pajak dalam negeri.

8. Penerima Penghasilan tidak ber-NPWP


a. Bagi Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 yang tidak memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif
lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap
Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
b. Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar 120% (seratus dua
puluh persen) dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal
yang bersangkutan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
c. Pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi sebesar 20% hanya berlaku
untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final.
d. Dalam hal pegawai tetap atau penerima pensiun berkala sebagai penerima
penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi,
mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dalam tahun
kalender yang bersangkutan paling lama sebelum pemotongan PPh Pasal 21
untuk masa pajak Desember, PPh Pasal 21 yang telah dipotong atas selisih
pengenaan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) lebih tinggi tersebut
diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan-bulan
selanjutnya setelah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak

9. Tarif umum PPh pasal 21


Tarif yang digunakan untuk menghitung PPh pasal 21 adalah tarif sesuai dengan pasal
17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan yaitu :

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak


Sampai dengan Rp50.000.000 5%
Diatas Rp50.000.000 sampai dengan 15%
Rp250.000.000
Diatas Rp250.000.000 sampai dengan 25%
Rp500.000.000
Diatas Rp500.000.000 30%

Jumlah Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf
a Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk penghitungan PPh Pasal 21 atas pegawai
tetap, peneriman pensiun berkala yang dibayarkan secara bulanan, dan pegawai tidak
tetap serta tenaga kerja lepas yang dibayarkan secara bulanan dibulatkan ke bawah hingga
ribuan penuh

12
Untuk Penghitungan PPh pasal 21 apabila yang diberi penghasilan tidak mempunyai
NPWP, maka akan dipotong 20% dari tarif umum pasal 17 UU PPh. Dengan demikian
tarinya menjadi :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif PPh
Sampai dengan Rp50.000.000 6%
Diatas Rp50.000.000 sampai dengan 18%
Rp250.000.000
Diatas Rp250.000.000 sampai dengan 30%
Rp500.000.000
Diatas Rp500.000.000 36%

13
Bab 3 Penghitungan PPh Pasal 21

Cara menghitung Pajak Penghasilan Pasal 21 seperti yang dicontohkan dalam Per-
31/PJ/2012. Disamping itu ada beberapa peraturan Menteri Keuangan yaitu :
1. Peraturan Pemerintah nomor 80 tahun 2010 tanggal 20 desember 2010 tentang
tarif pemotongan dan pengenaan pajak penghasilan pasal 21 atas penghasilan yang
menjadi beban anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan
dan belanja daerah
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.11/2012 tentang penyesuaian
besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak tanggal 22 Oktober 2012 yang mulai
berlaku 1 Januari 2013.
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206/PMK.03/2012 tentang penerapan bagian
penghasilan sehubungan dengan pekerjaan pegawai harian dan mingguan serta
pegawai tidak tetap lainnya yang tidak dikenakan pemotongan pajak penghasilan,
tanggal 17 Desember 2012, mulai berlaku 1 Januari 2013.
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008 tentang besarnya biaya
jabatan dan biaya pensiun yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pegawai
tetap pensiunan.

1. Penghitungan PPh Pasal 21 atas pegawai tetap dan pensiun

Pengertian pegawai tetap menurut Pasal 1 angka 10 Peraturan Menteri Keuangan No


252/PMK.03/2008 adalah sebagai berikut :
Pegawai Tetap adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang menerima
atau memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara teratur terus, termasuk anggota
dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur terus menerus ikut
mengelola kegiatan perusahaan secara langsung serta pegawai yang bekerja
berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu sepanjang pegawai yang
bersangkutan bekerja penuh (full time) dalam pekerjaan tersebut.
Sebelum menghitung besarnya PPh pasal 21 yang akan dipotong oleh pemberi
kerja terhadap pegawai tetap, pegawai tidak tetap, pensiunan bulan dan non pegawai,
ada beberapa unsur pengurang yang perlu diketahui yaitu :

a. Biaya Jabatan
Setiap pegawai tetap yang masih aktif bekerja diberikan pengurang penghasilan
bruto berupa biaya jabatan. Biaya ini merupakan biaya yang fiktif dan merupakan
kebijaksanaan dari pemerintah terhadap setiap orang yang menjadi pegawai tetap
atau mempunyai penghasilan dapat dipastikan ada biaya untuk penghasilan yang
akan diterima atau diperolehnya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 250/PMK.03/2008, biaya jabatan
ditentukan sebesar :

5% x penghasilan bruto atau maksimal Rp500.000 per bulan dan


Rp6.000.000 pertahun.

Apabila perhitungan biaya jabatan jumlahnya lebih kecil dari perhitungan diatas,
maka pilih yang terkecil berdasarkan masa kerja/lamanya bekerja pada tahun
takwim yang bersangkutan. Selain itu biaya jabatan melekat pada persahaan
tempat pegawai bekerja.
Contoh Perhitungan biaya jabatan :

14
1. Tn. Aziz bekerja pada PT. Adil dengan gaji Rp4.000.000 perbulan. Tn. Aziz
bekerja sejak tanggal 1 Februari 2009. Berapa biaya jabatan untuk tahun pajak
2009
Jawab :
Biaya jabatan yang dapat dijadikan pengurang adalah sebesar 5% x
Rp4.000.000 = Rp200.000/bulan
11 bulan =Rp200.000 x 11 =Rp2.200.000
2. Tn. Azizan bekerja pada PT. Tentram dengan gaji sebesar Rp20.000.000/bulan
dan pada PT. Berkah dengan gaji Rp5.000.000/bulan. Tn. Azizan bekerja pada
kedua perusahaan tersebut selama 12 bulan pada tahun pajak 2006. Berapa
biaya jabatan.
Untuk PT. Tentram :
5% x Rp20.000.000 =Rp500.000/bulan =Rp6.000.000/tahun
Untuk PT. Berkah
5% x Rp5.000.000 =Rp250.000/bulan =Rp.3.000.000/tahun

b. Biaya Pensiun
Setiap pegawai yang sudah pensiun dan menerima uang pensiun secara bulanan
mendapatkan pengurangan penghasilan bruto yaitu biaya pensiun. Biaya ini pada
dasarnya sama dengan biaya jabatan, namun diberikan kepada mantan karyawan
yang sudah pensiun.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 250/PMK.03/2008, biaya pensiun
ditentukan sebesar :

5% x penghasilan bruto atau maksimal Rp200.000/bulan dan


Rp2.400.000 pertahun.

Apabila perhitungan biaya pensiun jumlahnya lebih kecil dari perhitungan diatas,
maka pilih yang terkecil.
Contoh perhitungan biaya pensiun :
Tn. Ibad adalah mantan karyawan dari PT. Ikhlas yang menerima uang pensiun
yang dibayar secara bulanan sebesar Rp1.200.000/bulan.
Jawab :
Biaya pensiun yang diperkenankan adalah Rp1.200.000 x 5% = Rp60.000

c. Penghasilan Tidak Kena Pajak


Setiap orang pasti mempunyai beban hidup/daya pikul untuk mencukupi
kebutuhannya. Oleh karena itu setiap pegawai tetap dan pensiunan yang menerima
penghasilan secara bulanan dapat pengurangan terhadap penghasilan bruto dengan
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Berdasarkan Pasal 6 UU No. 7 tahu 1983
jo. UU No. 10 tahun 1994 jo. UU No.17 tahun 2000 Jo Pasal 7 UU No 36 tahun
2008 menyatakan bahwa kepada Wajib Pajak Orang Pribadi diberikan
pengurangan berupa PTKP, dengan demikian PTKP melekat ke orang pribadi.
Untuk karyawan tetap mendapatkan pengurangan PTKP setahun walaupun
bekerja kurang dari setahun atau 12 bulan.
PTKP ditentukan pada keadaan pada awal tahun pajak. Apabila menggunakan
tahun takwim, maka awal tahun pajak adalah keadaan pada tanggal 1 Januari.
PTKP diberikan untuk diri sendiri dan status kawin apabila sudah menikah dan
hanya diakui untuk 1 pernikahan saja, selain ini apabila mempunyai tanggungan
dapat diberikan maksimal tiga orang. Tanggungan ini untuk setiap keluarga
dengan ketentuan sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak
angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya.

15
Tabel dibawah ini adalah PTKP dari tahun 1995 (Pasal 7 UU Nomor 10 tahun
1994) sampai dengan perubahan tahun 2009. Dengan demikian PTKP yang
berlaku Sejak 1 Januari 2009 dapat dilihat pada kolom tahun tersebut.

Uraian 1995 1999 2005 2006 2009 2013


Tidak 1.728.000 2.880.000 12.000.000 13.200.000 15.840.000 24.300.000
Kawin
/-
Kawin 2.592.000 4.320.000 13.200.000 14.400.000 17.160.000 26.325.000
/-
Kawin 3.456.000 5.760.000 14.400.000 15.600.000 18.480.000 28.350.000
/1
Kawin 4.320.000 7.200.000 15.600.000 16.800.000 19.800.000 30.375.000
/2
Kawin 5.184.000 8.640.000 16.800.000 18.000.000 21.120.000 32.400.000
/3

PTKP untuk karyawati dapat ditentukan sebagai berikut :


1. Apabila karyawati kawin, PTKP yang dikurangkan adalah untuk dirinya
sendiri yaitu Rp24.300.000
2. Apabila karyawati tidak kawin, pengurangan PTKP selain untuk dirinya
sendiri ditambah dengan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan
sepenuhnya
3. Apabila suami tidak menerima atau memperoleh penghasilan (berdasarkan
keterangan dari pemda setempat), maka karyawati tersebut diberikan
tambahan PTKP sebesar Rp2.025.000 setahun dan ditambah PTKP untuk
keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
4. Tambahan PTKP atas penghasilan istri yang digabung dengan penghasilan
suami tidak dapat dilakukan dalam penghitungan PPh pasal 21, sebab pemberi
kerja tidak diperkenankan menggabungkan penghasilan istri yang berasal dari
usaha maupun pekerjaan. Status PTKP atas penggabungan ini dapat dilakukan
untuk penghitungan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi saja.

Setelah diketahui berapa jumlah pengurang penghasilan bruto diatas (dalam hal ini
disebut dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP)), maka hasilnya akan di kalikan
dengan tarif pasal 17 ayat 1 huruf a UU PPh.

Untuk menghitung PPh pasal 21 atas penghasilan pegawai tetap, terlebih dahulu
dicari penghasilan neto sebulan sebulan dengan rumus :
PPh pasal 21 = Tarif Pasal 17 x (Penghasilan Bruto-Biaya
Jabatan/Pensiun-PTKP

Sebagian dari jenis penghasilan yang menjadi objek PPh pasal 21 sudah
dijelaskan dalam bab sebelumnya. Selain penghasilan yang bersifat Benefit in
cash, yang menjadi objek PPh pasal 21 adalah premi asuransi yang dibayarkan
pemberi kerja. Sebagian besar perusahaan/pemberi kerja mengikutkan pegawainya
dalam program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 1993 Jo SE.02/PJ.31/1996 jo
S-160/PJ.42/2003, program tersebut adalah sebagai berikut :

No Program Jamsostek Besar Premi


1 Jaminan Kecelakaan kerja (JKK)
- Kelompok I 0.24% x gaji sebulan

16
- Kelompok II 0.54% x gaji sebulan
- Kelompok III 0.89% x gaji sebulan
- Kelompok IV 1.27% x gaji sebulan
- Kelompok V 1.74% x gaji sebulan
2 Jaminan Kematian (JKM) 0.30% x gaji sebulan
3 Jaminan Pelayanan Kesehatan (JPK)
- Pegawai berkeluarga 6% x gaji sebulan (maks 1 juta)
- Pegawai bujangan 3% x gaji sebulan (maks 1 juta)
4 Jaminan Hari Tua (JHT)
- Dibayar pemberi kerja 3.7% x gaji sebulan
- Dibayar sendiri oleh karyawan 2% x gaji sebulan

Untuk perlakuan perpajakan atas program jamsostek diatas dapat dilihat pada
tabel berikut :
Uraian Pemberi kerja Karyawan
JKK, JKM, JPK Biaya bagi perusahaan Penghasilan (digabung
apabila dibayar dg ph bruto gaji)
perusahaan
JKK, JKM, JPK Bukan pengurang bagi
apabila bibyar karyawan
karyawan
Iuran JHT dibayar Biaya bagi perusahaan Tidak menambah
perusahaan penghasilan bruto
Iuran JHT dibayar oleh Biaya bagi karyawan
karyawan (pengurang ph bruto)

1.1. Pegawai bekerja selama satu tahun takwim


Untuk menghitung PPh pasal 21 atas pegawai bekerja selama satu tahun takwim
penuh, maka terlebih dahulu dihitung PPh Pasal 21 untuk setiap masa/bulan.
Kemudian diakhir tahun dihitung kembali berapa PPh pasal 21 yang terutang dan
berapa PPh pasal 21 yang telah dipotong dan dilunasi oleh pemberi kerja.
Contoh soal :
Tn. Ibadurrahman dengan status TK/0bekerja pada PT. Pow-Pow sejak tahun
1999. Pada tahun 2013, setiap bulan PT. Pow-Pow membayar gaji pokok sebesar
Rp4.000.000, tunjangan transport Rp400.000, dan tunjangan makan sebesar
Rp400.000.
PT. Pow-Pow mengikuti program jamsostek dan Dana Pensiun yang sudah
mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan dengan perincian sebagai berikut :
Premi asuransi kecelakaan kerja 0,24% dari gaji pokok
Premi asuransi kematian 0,3% dari gaji pokok
Iuran JHT 3.7% dari gaji pokok
Iuran pensiun Rp100.000

Pembayaran yang dilakukan sendiri oleh Tn. Ibadurrahman adalah :


Iuran JHT 2% dari gaji pokok
Iuran pensiun Rp50.000
Berapa PPh pasal 21 yang harus dipotong atas penghasilan diterima Tn.
Ibadurrahman setiap bulannya dan berapa PPh yang kurang (lebih) dibayar pada
akhir tahun.
Jawab :
Penghitungan PPh pasal 21 setiap bulan

17
Gaji Rp 4.000.000
Tunjangan transport Rp 400.000
Tunjangan makan Rp 400.000
Premi JKK Rp 9.600
Premi JKM Rp 12.000
Penghasilan Bruto Rp 4.821.600
Pengurang
Biaya Jabatan
(5% x Rp4.821.600) Rp241.080
Iuran JHT Rp 80.000
Iuran Pensiun Rp 50.000
Jumlah pengurang Rp. 371.080
Penghasilan neto sebulan Rp. 4.450.520
Penghasilan neto setahun Rp. 53.406.240
PTKP (TK/-) Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 29.106.240
5% x Rp. 29.106.240 =Rp 1.455.312
PPh pasal 21 terutang setahun Rp. 1.455.312
PPh pasal 21 terutang sebulan Rp. 121.276

PPh pasal 21 yang harus dipotong oleh PT Pow-Pow adalah sebesar Rp. 121.276
* Apabila ada pegawai tetap menerima penghasilan setiap minggu maka untuk
menghitung penghasilan satu bulan dikalikan dengan 4 (empat) dan apabila ada
pegawai tetap menerima penghasilan setiap hari maka untuk menghitung
penghasilan satu bulan dikalikan dengan jumlah hari kerjai dalam 1 bulan.

Penghitungan PPh pasal 21 pada saat pembuatan 1721-A1 di bulan Desember


akhir tahun pajak.
Gaji Rp 48.000.000
Tunjangan transport Rp 4.800.000
Tunjangan makan Rp 4.800.000
Premi JKK Rp 115.200
Premi JKM Rp 144.000
Penghasilan Bruto Rp 57.859.200
Pengurang
Biaya Jabatan
(5% x Rp57.859.200) Rp2.892.000
Iuran JHT Rp 960.000
Iuran Pensiun Rp 600.000
Jumlah pengurang Rp. 4.452.960
Penghasilan neto setahun Rp. 53.406.240
PTKP (TK/-) Rp. 15.840.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 37.566.240
5% x Rp. 29.106.240 =Rp 1.455.312
PPh pasal 21 terutang setahun Rp. 1.455.312

PPh pasal 21 yang telah dipotong dan dibayar


(bulan Januari sampai Desember) Rp. 1.334.036
PPh pasal 21 kurang (lebih) dibayar Rp. 121.276

18
1.2. PPh atas penghasilan tidak teratur
1.2.1. PPh Pasal 21 atas Bonus atau THR
PPh pasal 21 atas bonus, THR, jasa produksi, tantiem, dan penghasilan tidak
teratur lainnya dihitung dengan cara mengurangkan PPh Pasal 21 atas seluruh
penghasilan (termasuk penghasilan tidak teratur lainnya misal bonus) dengan PPh
pasal 21 atas penghasilan teratur (tidak termasuk bonus).
Contoh soal :
Diambil dari contoh diatas, apabila Tn. Ibadurrahman, pada bulan April 2009
mendapat bonus sebesar Rp6.000.000. Berapa PPh pasal 21 yang harus dihitung
atas pembayaran bonus tersebut

Gaji Rp 48.000.000
Tunjangan transport Rp 4.800.000
Tunjangan makan Rp 4.800.000
Premi JKK Rp 115.200
Premi JKM Rp 144.000
Bonus Rp 6.000.000
Penghasilan Bruto Rp 63.859.200
Pengurang
Biaya Jabatan (5% x Rp63.859.200) Rp3.192.960
Iuran JHT Rp 960.000
Iuran Pensiun Rp 600.000
Jumlah pengurang Rp. 4.752.960
Penghasilan neto setahun Rp. 59.106.240
PTKP (TK/-) Rp. 15.840.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 43.266.240
5% x Rp43.266.240 =Rp 2.163.300

PPh pasal 21 terutang setahun (termasuk bonus) Rp.2.163.300


PPh pasal 21 yang tidak termasuk bonus Rp. 1.878.300
PPh Pasal 21 atas bonus Rp. 300.000

Perhitungan dengan PTKP baru 2013


Gaji Rp 48.000.000
Tunjangan transport Rp 4.800.000
Tunjangan makan Rp 4.800.000
Premi JKK Rp 115.200
Premi JKM Rp 144.000
Bonus Rp 6.000.000
Penghasilan Bruto Rp 63.859.200
Pengurang
Biaya Jabatan (5% x Rp63.859.200) Rp3.192.960
Iuran JHT Rp 960.000
Iuran Pensiun Rp 600.000
Jumlah pengurang Rp. 4.752.960
Penghasilan neto setahun Rp. 59.106.240
PTKP (TK/-) Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 34.806.240
5% x Rp 34.806.240 =Rp 1.740.312

PPh pasal 21 terutang setahun (termasuk bonus) Rp 1.740.312


PPh pasal 21 yang tidak termasuk bonus Rp. 1.455.312
PPh Pasal 21 atas bonus Rp. 285.000

19
1.2.2. PPh pasal 21 atas rapel
Ada kalanya pegawai mendapatkan kenaikan pangkat atau jabatan disuatu bulan
atau masa, namun baru menerima kenaikan penghasilan pada bulan-bulan
berikutnya, sehingga pegawai tersebut mendapatkan uang rapel.PPh pasal 21 atas
rapel dapat dihitung dengan mengurangkan PPh pasal 21 setelah kenaikan gaji
dengan PPh pasal 21 sebelum kenaikan gaji.
Contoh soal :
Diambil dari contoh diatas, apabila Tn. Ibadurrahman, pada bulan 1 Mei 2009
mendapatkan kenaikan pangkat sehingga atas gajinya juga ada kenaikan menjadi
Rp5.000.000 per bulan, tetapi keputusan kenaikan pangkat tersebut baru
dikeluarkan pada bulan Oktober 2009. Pada bulan Oktober 2009 Tn.
Ibadurrahman menerima uang rapel sebesar Rp. 5.000.000 (kenaikan gaji untuk
bulan mei s/d September). Berapa PPh Pasal 21 atas rapel ?

Penghitungan PPh Pasal 21 setelah kenaikan gaji


Gaji Rp 5.000.000
Tunjangan transport Rp 400.000
Tunjangan makan Rp 400.000
Premi JKK Rp 12.000
Premi JKM Rp 15.000
Penghasilan Bruto Rp 5.827.000
Pengurang
Biaya Jabatan (5% x Rp5.827.000) Rp291.350
Iuran JHT Rp100.000
Iuran Pensiun Rp 50.000
Jumlah pengurang Rp. 441.350
Penghasilan neto sebulan Rp. 5.385.650
Penghasilan neto setahun Rp. 64.627.800
PTKP (TK/-) Rp. 15.840.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 48.787.800
5% x Rp48.787.000 =Rp 2.439.350
PPh pasal 21 terutang setahun Rp. 2.439.350
PPh pasal 21 terutang sebulan Rp. 203.279

PPh pasal 21 setelah kenaikan gaji Rp. 203.279


PPh pasal 21 sebelum kenaikan gaji Rp. 156.525
PPh pasal 21 atas uang rapel Rp. 46.754
PPh pasal 21 atas uang rapel keseluruhan (5 bulan) Rp. 233.770

Penghitungan PPh Pasal 21 setelah kenaikan gaji dengan PTKP baru 2013
Gaji Rp 5.000.000
Tunjangan transport Rp 400.000
Tunjangan makan Rp 400.000
Premi JKK Rp 12.000
Premi JKM Rp 15.000
Penghasilan Bruto Rp 5.827.000
Pengurang
Biaya Jabatan (5% x Rp5.827.000) Rp291.350
Iuran JHT Rp100.000
Iuran Pensiun Rp 50.000
Jumlah pengurang Rp. 441.350
Penghasilan neto sebulan Rp. 5.385.650

20
Penghasilan neto setahun Rp. 64.627.800
PTKP (TK/-) Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 40.327.800
5% x Rp 40.327.800 =Rp 2.016.390
PPh pasal 21 terutang setahun Rp. 2.016.390
PPh pasal 21 terutang sebulan Rp. 168.032

PPh pasal 21 setelah kenaikan gaji Rp. 168.032


PPh pasal 21 sebelum kenaikan gaji Rp. 121.276
PPh pasal 21 atas uang rapel Rp. 46.756
PPh pasal 21 atas uang rapel keseluruhan (5 bulan) Rp. 233.780

1.3. Penghitungan penghasilan neto tidak disetahunkan dan disetahunkan


Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor 31/PJ./2012, penghitungan PPh
Pasal 21 atas pegawai tetap dapat dihitung dengan beberapa kondisi dari pegawai
tersebut, misalnya untuk pegawai yang baru bekerja, pegawai yang pindah,
pegawai yang berhenti bekerja dan sebagainya. Dalam menghitung PPh pasal 21
atas kondisi diatas bisa disetahunkan atau tidak disetahunkan. Untuk lebih
jelasnya pengelompokannya dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tidak disetahunkan Disetahunkan


Karyawan yang baru bekerja di Pendatang dari luar negeri dalam
periode berjalan periode berjalan
Karyawan yang berhenti bekerja di Karyawan yang berhenti karena
periode berjalan meninggal dunia
Karyawan yang berhenti karena
meninggalkan Indonesia selama-
lamanya
Mutasi dari pemberi kerja yang
sama

1.3.1. Penghitungan PPh pasal 21 tidak disetahunkan


1.3.1.1. Penghitungan PPh pasal 21 untuk pegawai yang baru bekerja
Kasus 1
Rosati dengan status TK/0 adalah pegawai yang baru bekerja pada PT. Susila
Bakti sejak tanggal 1 September 20013 dengan penghasilan sebagai berikut :
Penghitungan PPh pasal 21 setiap bulan
Gaji Rp 7.000.000
Tunjangan transport Rp 250.000
Tunjangan makan Rp 1.250.000
Premi JKK Rp 50.000
Premi JKM Rp 30.000
Penghasilan Bruto Rp 8.580.000
Pengurang
Biaya Jabatan (5% x Rp8.580.000) Rp429.000
Iuran JHT Rp100.000
Iuran Pensiun Rp120.000
Jumlah pengurang Rp. 649.000
Penghasilan neto sebulan Rp. 7.931.000
Penghasilan neto setahun(4 bulan) Rp. 31.724.000
PTKP (TK/-) Rp. 24.300.000

21
Penghasilan Kena Pajak Rp. 7.424.000
PPh pasal 21 terutang setahun (4 bulan) Rp. 371.200
PPh pasal 21 terutang sebulan Rp. 92.800

Penghitungan PPh pasal 21 pada saat pembuatan 1721-A1 di bulan Desember


akhir tahun pajak.
Gaji Rp 28.000.000
Tunjangan transport Rp 1.000.000
Tunjangan makan Rp 5.000.000
Premi JKK Rp 200.000
Premi JKM Rp 120.000
Penghasilan Bruto Rp 34.320.000
Pengurang
Biaya Jabatan (5% x Rp34.320.000) Rp1.716.000
Iuran JHT Rp400.000
Iuran Pensiun Rp480.000
Jumlah pengurang Rp. 2.596.000
Penghasilan neto setahun Rp. 31.724.000
PTKP (TK/-) Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 7.424.000
PPh pasal 21 terutang setahun (4 bulan) Rp. 371.200
(bulan September sampai dengan November) Rp. 278.400
PPh pasal 21 yang kurang (lebih) dipotong Rp. 92.800

Apabila Orang Pribadi sejak awal tahun sudah menjadi subjek pajak dalam negeri,
maka penghitungan PPh pasal 21 pada saat pembuatan 1721-A1 di bulan
Desember akhir tahun pajak, penghasilan netonya tidak disetahunkan.

Kasus 2
Mr. Ecut, Warga Negara Vietnam dengan status TK/0 adalah pegawai yang baru
bekerja pada PT. Susila Bakti sejak tanggal 1 September 2013 dengan penghasilan
sebagai berikut :
Penghitungan PPh pasal 21 setiap bulan
Gaji Rp 7.000.000
Tunjangan transport Rp 250.000
Tunjangan makan Rp 1.250.000
Premi JKK Rp 50.000
Premi JKM Rp 30.000
Penghasilan Bruto Rp 8.580.000
Pengurang
Biaya Jabatan (5% x Rp8.580.000) Rp429.000
Iuran JHT Rp100.000
Iuran Pensiun Rp120.000
Jumlah pengurang Rp. 649.000
Penghasilan neto sebulan Rp. 7.931.000
Penghasilan neto setahun(12 bulan) Rp. 95.172.000
PTKP (TK/-) Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 70.872.000
5% x Rp50.000.000 =Rp2.500.000
15% x Rp20.872.000 =Rp3.130.800
PPh pasal 21 terutang setahun (12 bulan) Rp. 5.630.800
PPh pasal 21 terutang sebulan Rp. 469.233

22
Penghitungan PPh pasal 21 pada saat pembuatan 1721-A1 di bulan Desember
akhir tahun pajak.
Gaji Rp 28.000.000
Tunjangan transport Rp 1.000.000
Tunjangan makan Rp 5.000.000
Premi JKK Rp 200.000
Premi JKM Rp 120.000
Penghasilan Bruto Rp 34.320.000
Pengurang
Biaya Jabatan (5% x Rp34.320.000) Rp1.716.000
Iuran JHT Rp400.000
Iuran Pensiun Rp480.000
Jumlah pengurang Rp. 2.596.000
Penghasilan neto 4 bulan Rp. 31.724.000
Penghasilan neto disetahunkan (x 12/4) Rp 95.172.000
PTKP (TK/-) Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 70.872.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 70.872.000
5% x Rp50.000.000 =Rp2.500.000
15% x Rp20.872.000 =Rp3.130.800
PPh pasal 21 terutang setahun (12 bulan) Rp. 5.630.800
PPh pasal 21 terutang 4 bulan (x 4/12) Rp 1.876.933
PPh pasal 21 yang telah dipotong dan dilunasi
(bulan September sampai dengan November) Rp. 1.407.699
PPh pasal 21 yang kurang (lebih) dipotong Rp. 469.233

Apabila Orang Pribadi sejak awal tahun belum menjadi subjek pajak dalam negeri
(masih menjadi Subjek Pajak Luar Negeri), maka penghitungan PPh pasal 21,
penghasilan netonya disetahunkan.

Untuk Orang Pribadi dari luar negeri apabila sebagai pegawai dan belum
menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri, penghitungan atas penghasilannya akan di
potong PPh pasal 26 bersifat final dengan tarif 20% kecuali apabila ada Tax
Treaty antara negara Indonesia dengan negara asal dari pegawai yang
bersangkutan.
Apabila dalam satu tahun pajak, ada perubahan Subjek Pajak dari Luar Negeri
menjadi Dalam Negeri, maka atas penghitungan PPh pasal 21 pada saat
pembuatan 1721-A1 di bulan Desember akhir tahun pajak, maka sesuai dengan
Pasal 26 ayat 5 UU PPh, pemotongan PPh pasal 26 untuk tahun pajak yang sama
dapat dijadikan sebagai kredit pajak.
Apabila penghasilan atas pegawai luar negeri tersebut diberikan dalam bentuk
mata uang asing, maka penghitungan PPh Pasal 21 dilakukan dengan melakukan
penghitungan terlebih dahulu atas jumlah penghasilannya dengan mata uang
rupiah dengan nilai tukar atas kurs yang berlaku pada saat pembayaran atau
pembebanan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang berlaku pada saat
itu.

1.3.1.2. Penghitungan PPh pasal 21 bagi pegawai yg berhenti bekerja


Susanti dengan status TK/0, bekerja pada PT Mandiri, memutuskan
mengundurkan diri sejak tanggal 1 Juli 2013 karena ingin menikah. Penghitungan
PPh pasal 21 setiap bulannya di lakukan seperti biasa karena diasumsikan pegawai
akan bekerja setahun penuh sedangkan penghasilan netonya tidak disetahunkan.

23
Penghitungan PPh pasal 21 setiap bulan (Januari-Juni)
Gaji Rp 2.500.000
Tunjangan transport Rp 300.000
Tunjangan makan Rp 300.000
Premi JKK Rp 20.000
Premi JKM Rp 12.000
Penghasilan Bruto Rp 3.132.000
Pengurang
Biaya Jabatan (5% x Rp3.132.000) Rp156.600
Iuran JHT Rp 50.000
Iuran Pensiun Rp 40.000
Jumlah pengurang Rp. 246.600
Penghasilan neto sebulan Rp. 2.885.400
Penghasilan neto setahun(12 bulan) Rp. 34.624.800
PTKP (TK/-) Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 10.324.800
5% x Rp. 10.324.800 =Rp 516.240
PPh pasal 21 terutang setahun Rp. 516.240
PPh pasal 21 terutang sebulan Rp. 43.020

Penghitungan PPh pasal 21 masa Desember


Gaji Rp 15.000.000
Tunjangan transport Rp 1.800.000
Tunjangan makan Rp 1.800.000
Premi JKK Rp 120.000
Premi JKM Rp 72.000
Penghasilan Bruto Rp 18.792.000
Pengurang
Biaya Jabatan (5% x Rp18.792.000) Rp939.600
Iuran JHT Rp300.000
Iuran Pensiun Rp240.000
Jumlah pengurang Rp. 1.479.600
Penghasilan neto setahun Rp. 17.312.400
PTKP (TK/-) Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. -
PPh pasal 21 terutang setahun Rp. -
PPh pasal 21 yang telah dipotong 6 x Rp43.020 Rp. 258.120
PPh pasal 21 yang lebih dipotong Rp. (258.120)

Kelebihan ini akan di kembalikan oleh PT. Mandiri kepada Susanti pada saat
pemberian bukti pemotongan PPh pasal 21. Dengan demikian penghitungan PPh
pasal 21 atas pegawai yang berhenti bekerja dapat mengakibatkan PPh pasal 21
yang telah dipotong setiap bulannya akan menjadi lebih besar apabila
dibandingkan dengan PPh pasal 21 terutang pada akhir tahun sehingga
mengakibatkan PPh pasal 21 lebih dipotong.

1.3.1.3. Penghitungan PPh pasal 21 bagi pegawai yang baru memiliki


NPWP pada tahun berjalan
Wahyu Santosa, status belum menikah dan tidak memiliki tanggungan keluarga,
bekerja pada PT Fajar Sejahtera dengan memperoleh gaji dan tunjangan setiap
bulan sebesar Rp5.500.000,00, dan yang bersangkutan membayar iuran pensiun
kepada perusahaan Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan setiap bulan sebesar Rp200.000,00. Wahyu Santosa baru memiliki

24
NPWP pada bulan Juni 2013 dan menyerahkan fotokopi kartu NPWP kepada PT
Fajar Sejahtera untuk digunakan sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 21 bulan
Juni.
Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan untuk bulan Januari-
Mei 2013 adalah sebagai berikut:
Gaji dan tunjangan sebulan Rp 5.500.000,00
Pengurangan:
1. Biaya Jabatan
5% x Rp 5.500.000,00= Rp 275.000,00
2. Iuran pensiun: = Rp 200.000,00
------------------
Rp 475.000,00
----------------------
Penghasilan Neto atas gaji dan tunjangan sebulan Rp 5.025.000,00
Pengh Neto setahun:12 x Rp 5.025.000,00 Rp 60.300.000,00
PTKP (TK/0)
- untuk Wajib Pajak Rp 24.300.000,00
----------------------
Penghasilan Kena Pajak Rp 36.000.000,00
PPh Pasal 21 atas penghasilan setahun:
5% x Rp 36.000.000,00 Rp 1.800.000,00
PPh Pasal 21 atas gaji sebulan
Rp 1.800.000,00: 12 = Rp 150.000,00
PPh Pasal 21 yang harus dipotong karena yang bersangkutan belum memiliki
NPWP : 120% x Rp 150.000,00 = Rp 180.000,00
Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong
dari Januari-Mei 2013 = 5 x Rp 150.000,00= Rp 750.000,00
Jumlah PPh Pasal 21 terutang apabilayang bersangkutan memiliki NPWP
5 x Rp 150.000,00 = Rp 750.000,00
---------------------
Selisih (20% x 5 x Rp 150.000,00) = Rp 150.000,00
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang dan yang harus dipotong untuk bulan Juni
2013, setelah yang bersangkutan memiliki NPWP dan menyerahkan fotokopi
kartu NPWP kepada pemberi kerja, dengan catatan gaji dan tunjangan untuk
bulan Juni 2013 tidak berubah, adalah sebagai berikut:
PPh Pasal 21 terutang sebulan (sama dengan perhitungan sebelumnya) Rp
150.000,00
Diperhitungkan dengan pemotongan atas tambahan
20% sebelum memiliki NPWP (Januari-Mei 2013)
20% x 5 x Rp 150,000 (Rp 150.000,00)
--------------------
PPh Pasal 21 yang harus dipotong bulan Juni 2013 Nihil
Apabila Wahyu Santosa baru memiliki NPWP pada akhir November 2013 dan
menyerahkan fotokopi kartu NPWP sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk
bulan Desember 2013, dengan asumsi penghasilan setiap bulan besarnya sama
dan tidak ada penghasilan lain selain penghasilan tetap dan teratur setiap bulan
tersebut, maka perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan
Desember 2013 adalah sebagai berikut:
PPh Pasal 21 terutang sebulan (sama dengan Perhitungan sebelumnya)
Rp 150.000,00

25
Diperhitungkan dengan pemotongan atas tambahan
20% sebelum memiliki NPWP (Januari-November 2013)
20% x 11 x Rp 150.000,00 (Rp 330.000,00)
--------------------
PPh Pasal 21 yang harus dipotong bulan Desember 2013 (Rp 180.000,00)
Karena jumlah yang diperhitungkan lebih besar daripada jumlah PPh Pasal 21
terutang untuk bulan Desember 2013, maka jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong
untuk bulan tersebut adalah Nihil. Jumlah sebesar Rp 180.000,00 dapat
diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 untuk bulan-bulan selanjutnya dalam tahun
kalender berikutnya. Karena jumlah tersebut sudah diperhitungkan dengan PPh Pasal
21 terutang untuk bulan-bulan berikutnya, jumlah tersebut tidak termasuk dalam
kredit pajak yang dapat diperhitungkan oleh pegawai tetap dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang
bersangkutan.
Perhitungan PPh Pasal 21 terutang untuk tahun 2013, dimana Wahyu Santosa sudah
memiliki NPWP pada akhir bulan November 2013 sebelum pemotongan PPh Pasal 21
bulan Desember 2013 adalah sebagai berikut:

Gaji dan tunjangan setahun:


Rp 5.500.000,00 x 12 Rp 66.000.000,00
Pengurangan:
Biaya Jabatan
5% x Rp 66.000.000,00 = Rp 3.300.000,00
Iuran pensiun:
Rp 200.000,00 x 12 = Rp 2.400.000,00
---------------------
Rp 5.700.000,00
----------------------
Penghasilan Neto setahun Rp 60.300.000,00
PTKP (TK/0)
- untuk Wajib Pajak Rp 24.300.000,00
----------------------
Penghasilan Kena Pajak Rp 36.000.000,00
PPh Pasal 21 atas penghasilan setahun:
5% x Rp 36.000.000,00 Rp 1.800.000,00
PPh Pasal 21 yang telah dipotong:
Bulan Januari - November 2013
11 x Rp 180.000 = Rp 1.980.000,00
Bulan Desember 2013 = Rp 0,00
------------------------------
Rp 1.980.000,00
-----------------------
PPh Pasal 21 lebih dipotong untuk diperhitungkan
pada bulan selanjutnya dalam tahun kalender berikutnya (Rp 180.000,00)
Karena jumlah sebesar Rp Rp 180.000,00 sudah diperhitungkan dengan PPh Pasal 21
terutang bulan berikutnya oleh Pemotong PPh Pasal 21, maka jumlah yang dapat
dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
Orang Pribadi pegawai yang bersangkutan sebesar Rp 1.800.000,00

26
1.3.2. Penghitungan PPh pasal 21 disetahunkan
1.3.2.1. Pegawai yang berhenti bekerja karena meninggal dunia
Pegawai yang meninggal dunia karena kecelekaan kerja atau sebab yang lain,
penghitungan PPh pasal 21 untuk SPT tahunannya, penghasilan netonya
disetahunkan. Disamping itu apabila pegawai yang bersangkutan menerima
asuransi atau tunjangan pensiuan/hari tua, maka perlu diperhatikan apakah
penerimaan penghasilan tersebut merupakan objek PPh pasal 21 atau tidak.
Contoh :
Mustari dengan status belum menikah, bekerja di PT. Tawakal sejak tahun 2003,
dengan gaji dan penerimaan tunjangan sesuai dengan data dibawah ini. Pada
tanggal 1 Juli 2013 meninggal dunia karena kecelekaan kerja. Mustari mendapat
pembayaran dari pihak Jamsostek atas kejadian tersebut. Jumlah pembayarannya
terdiri dari :
1. Asuransi jiwa Rp 65.000.000
2. Asuransi hari tua Rp 60.000.000
Total asuransi Rp125.000.000
Asuransi ini diterima pada tanggal 15 Juli 2013

Penghitungan PPh pasal 21 setiap bulan (januari-Juni)


Gaji Rp 3.000.000
Tunjangan transport Rp 300.000
Tunjangan makan Rp 300.000
Premi JKK Rp 20.000
Premi JKM Rp 12.000
Penghasilan Bruto Rp 3.632.000
Pengurang
Biaya Jabatan (5% x Rp3.632.000) Rp181.600
Iuran JHT Rp 50.000
Iuran Pensiun Rp 40.000
Jumlah pengurang Rp. 271.600
Penghasilan neto sebulan Rp. 3.360.400
Penghasilan neto setahun(12 bulan) Rp. 40.324.800
PTKP (TK/-) Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 16.024.800
5% x Rp. 16.024.800 =Rp 801.240
PPh pasal 21 terutang setahun Rp 801.240
PPh pasal 21 terutang sebulan Rp. 66.770
PPh pasal 21 terutang 6 bulan Rp. 400.620

Penghitungan PPh pasal 21 tahunan


Gaji (6 bulan) Rp 18.000.000
Tunjangan transport Rp 1.800.000
Tunjangan makan Rp 1.800.000
Premi JKK Rp 120.000
Premi JKM Rp 72.000
Penghasilan Bruto Rp 21.792.000
Pengurang
Biaya Jabatan (5% x Rp21.792.000) Rp1.089.600
Iuran JHT Rp 300.000
Iuran Pensiun Rp 240.000

27
Jumlah pengurang Rp. 1.629.600
Penghasilan neto setahun (6 bulan) Rp. 20.162.400
Penghasilan neto disetahunkan Rp 40.324.800
PTKP (TK/-) Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 16.024.800
5% x Rp. 16.024.800 =Rp 801.240
PPh pasal 21 terutang setahun Rp 801.240
PPh pasal 21 terutang (6 bulan) Rp 400.620
PPh pasal 21 yang telah dipotong 6 x Rp66.770 Rp. 400.620
PPh pasal 21 yang kurang (lebih) dipotong Nihil

Penghitungan PPh pasal 21 atas asuransi yang diterima pada tanggal 15 Juli 2013
adalah sebagai berikut :
1. Untuk asuransi jiwa yang diterima Mustari, bukan merupakan objek pajak
sesuai dengan pasal 4 ayat 3 huruf e UU PPh .
2. Sedangkan Asuransi hari tua merupakan objek pajak, sesuai dengan PP No. 68
Tahun 2009. Asuransi Hari Tua yang diterima secara sekaligus akan
dikenakan PPh pasal 21 final dan dipotong oleh Jamsostek dengan
penghitungan sebagai berikut.

Jumlah Asuransi yang diterima Rp60.000.000


Batas tidak kena pajak Rp50.000.000
Asuransi yang kena pajak Rp10.000.000
PPh terutang
5% x Rp10.000.000 =Rp 500.000
Penghasilan berupa asuransi hari tua atau tunjangan hari tua apabila diterma
sekaligus mulai tanggal 16 November 2013, tarifnya disesuaikan dengan PP
No 68/2009.

1.3.2.2. Pegawai yang mutasi pada pemberi kerja yang sama


Pada saat pegawai dipindahtugaskan, pegawai yang bersangkutan tidak
berhenti bekerja dari perusahaan tempat dia bekerja. Pegawai yang bersangkutan
masih tetap bekerja pada perusahaan yang sama dan hanya berubah lokasinya saja.
Dengan demikian dalam penghitungan PPh Pasal 21 tetap menggunakan dasar
penghitungan selama setahun.
Contoh :
Tasya belum menikah dan tidak mempunyai tanggungan adalah pegawai pada
PT. Thoriq yang berkedudukan di Jakarta. Bekerja selama bulan Januari sampai
dengan Juni 2013. Pada Bulan Juli 2013 di pindahkan ke cabang Denpasar.
Besarnya penghasilan adalah sebagai berikut seperti pada penghitungan dibawah
ini.
Penghitungan PPh pasal 21 selama 6 bulan di kantor Jakarta.
Penghitungan PPh pasal 21 setiap bulan
Gaji Rp 4.000.000
Tunjangan transport Rp 250.000
Tunjangan makan Rp 250.000
Premi JKK Rp 50.000
Premi JKM Rp 30.000
Penghasilan Bruto Rp 4.580.000

28
Pengurang
Biaya Jabatan (5% x Rp4.580.000) Rp229.000
Iuran JHT Rp100.000
Iuran Pensiun Rp120.000
Jumlah pengurang Rp. 449.000
Penghasilan neto sebulan Rp. 4.131.000
Penghasilan neto setahun Rp. 49.572.000
PTKP (TK/-) Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 25.272.000
PPh Terutang
5% x Rp. 25.272.000 =Rp1.263.600
PPh pasal 21 terutang setahun Rp. 1.263.600
PPh pasal 21 terutang sebulan Rp. 105.300
PPh pasal 21 sebesar Rp105.300 perbulan dipotong selama bulan Januari – Juni
2013

Penghitungan PPh pasal 21 pada saat pindah


Gaji Rp 24.000.000
Tunjangan transport Rp 1.500.000
Tunjangan makan Rp 1.500.000
Premi JKK Rp 300.000
Premi JKM Rp 180.000
Penghasilan Bruto Rp 27.480.000
Pengurang
Biaya Jabatan (5% x Rp27.480.000) Rp1.374.000
Iuran JHT Rp600.000
Iuran Pensiun Rp720.000
Jumlah pengurang Rp. 2.694.000
Penghasilan neto Januari-Juni Rp. 24.786.000
Penghasilan neto disetahunkan
24.786.000x 12/6 Rp. 49.572.000
PTKP (TK/-) Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 25.272.000
PPh Terutang
5% x Rp. 25.272.000 =Rp1.263.600
PPh pasal 21 terutang setahun Rp. 1.263.600
PPh pasal 21 terutang 6 bulan Rp. 631.800
PPh pasal 21 yang telah dipotong dan dilunasi
Rp105.300 x 6 Rp. 631.800
PPh pasal 21 yang kurang (lebih) dipotong Nihil

Penghitungan PPh pasal 21 selama 6 bulan di kantor cabang Denpasar.


Penghitungan PPh pasal 21 setiap bulan
Gaji Rp 4.000.000
Tunjangan transport Rp 250.000
Tunjangan makan Rp 250.000
Premi JKK Rp 50.000
Premi JKM Rp 30.000
Penghasilan Bruto Rp 4.580.000
Pengurang
Biaya Jabatan (5% x Rp4.580.000) Rp229.000
Iuran JHT Rp100.000
Iuran Pensiun Rp120.000

29
Jumlah pengurang Rp. 449.000
Penghasilan neto sebulan Rp. 4.131.000
Penghasilan neto setahun Rp. 49.572.000
PTKP (TK/-) Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 25.272.000
PPh Terutang
5% x Rp. 25.272.000 =Rp1.263.600
PPh pasal 21 terutang setahun Rp. 1.263.600
PPh pasal 21 terutang sebulan Rp. 105.300
PPh pasal 21 sebesar Rp105.300 perbulan dipotong selama bulan Juli – November
2013

Penghitungan PPh pasal 21 pada saat pembuatan 1721-A1 di bulan Desember


akhir tahun pajak.
Penghasilan neto kantor Jakarta Rp 24.786.000
Penghasilan neto kantor Denpasar
Rp4.252.000 x 6 Rp 24.786.000
Penghasilan neto untuk penghitungan PPh pasal 21 Rp 49.572.000
PTKP (TK/-) Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 25.272.000
PPh Terutang
5% x Rp. 25.272.000 =Rp1.263.600
PPh pasal 21 terutang setahun Rp. 1.263.600
PPh pasal 21 yang telah dipotong di kantor Jakarta Rp 631.800
PPh pasal 21 yang telah dipotong di kantor Denpasar Rp 526.500
PPh pasal 21 yang kurang (lebih) dipotong Rp 105.300

Dengan demikian apabila pegawai dimutasi pada tahun berjalan maka PPh pasal
21 dihitung di tempat lama dan tempat baru. Pada saat pindah PPh pasal 21 di
tempat asal dihitung dengan menyetahunkan penghasilan neto untuk
mengantisipasi terjadinya lebih bayar. Ditempat yang baru PPh pasal 21 pada
akhir tahun dihitung dengan menjumlahkan penghasilan ditempat asal dan baru
serta tidak menyetahunkan. PPh pasal 21 yag telah dipotong di tempat asal
diperhitungkan sehingga PPh Pasal 21 akhir tahun menjadi nihil.

1.3.2.6. Pegawai pensiun dan menerima uang pensiun bulanan


Apabila waktu pensiun sudah dapat diketahui dengan pasti pada awal tahun,
misalnya berdasarkan ketentuan yang berlaku ditempat pemberi kerja yang
dikaitkan dengan usia pegawai yang bersangkutan, maka penghitungan PPh pasal
21 terutang sebulan dihitung berdasarkan penghasilan kena pajak yang akan
diperoleh dalam periode dimana pegawai yang bersangkutan akan bekerja dalam
tahun berjalan sebelum memasuki masa pensiun.
Apabila waktu pensiun belum dapat diketahui dengan pasti pada waktu
menghitung PPh pasal 21 yang terutang untuk setiap bulan didasarkan pada
penghasilan neto yang disetahunkan.
Contoh dibawah ini untuk penghitungan PPh pasal 21 atas pegawai yang masa
pensiunnya sudah diketahui.
Rahman dengan status K/2, bekerja pada PT Ikhlas, akan memasuki usia
pensiun pada tanggal 1 Juli 2013. Penghitungan PPh pasal 21 setiap bulannya
tidak di setahunkan, karena usia pensiun sudah dapat diketahui pada awal tahun

30
sehingga tidak perlu dikalikan dengan 12. Setelah pensiun Rahman mendapat
uang pensiun dari dana pensiun sebesar Rp3.000.000 yang dibayarkan setiap
bulan.

Penghitungan PPh pasal 21 setiap bulan (januari-Juni)


Gaji Rp 5.000.000
Tunjangan transport Rp 300.000
Tunjangan makan Rp 300.000
Premi JKK Rp 20.000
Premi JKM Rp 12.000
Penghasilan Bruto Rp 5.632.000
Pengurang
Biaya Jabatan (5% x Rp5.632.000) Rp281.600
Iuran JHT Rp 50.000
Iuran Pensiun Rp 40.000
Jumlah pengurang Rp. 371.600
Penghasilan neto sebulan Rp. 5.260.400
Penghasilan neto (6 bulan) Rp. 31.562.400
PTKP (K/2) Rp. 30.375.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 1.187.400
PPh terutang
5% x Rp1.187.400 =Rp 59.370
PPh pasal 21 terutang 6 bulan Rp 59.370
PPh pasal 21 terutang sebulan Rp. 9.895

Penghitungan PPh pasal 21 tahunan


Gaji (6 bulan) Rp 30.000.000
Tunjangan transport Rp 1.800.000
Tunjangan makan Rp 1.800.000
Premi JKK Rp 120.000
Premi JKM Rp 72.000
Penghasilan Bruto Rp 33.792.000
Pengurang
Biaya Jabatan (5% x Rp33.792.000) Rp1.689.600
Iuran JHT Rp 300.000
Iuran Pensiun Rp 240.000
Jumlah pengurang Rp. 2.229.600
Penghasilan neto 6 bulan Rp. 31.562.400
Penghasilan neto (6 bulan) Rp. 31.562.400
PTKP (K/2) Rp. 30.375.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 1.187.400
PPh terutang
5% x Rp1.187.400 =Rp 59.370
PPh pasal 21 terutang 6 bulan Rp 59.370
PPh pasal 21 yang telah dipotong 6 x Rp 9.895 Rp. 59.370
PPh pasal 21 yang kurang (lebih) dipotong Nihil

Penghitungan PPh pasal 21 oleh dana pensiun yang membayarkan uang


pensiun bulanan
Pensiun neto sebulan Rp 3.000.000
Pengurangan
Biaya pensiun 5% x Rp3.000.000 Rp 150.000

31
Penghasilan neto sebulan Rp 2.850.000
Penghasilan neto 6 bulan (Juli – Desember) Rp17.100.000
Penghasilan neto dari PT. Ikhlas Rp31.562.400
Jumlah penghasilan neto Rp48.662.400
PTKP (K/2) Rp30.375.000
Penghasilan Kena Pajak Rp18.287.400
PPh Terutang
5% x Rp18.287.400
PPh terutang setahun Rp 914.370
PPh pasal 21 yang telah dipotong PT Ikhlas Rp 59.370
PPh pasal 21 terutang atas pensiun (6 bulan) Rp 855.000
PPh pasal 21 terutang atas pensiun sebulan Rp 142.500

Penghitungan PPh pasal 21 atas pensiun tahunan


Pensiun neto 6 bulan Rp18.000.000
Pengurangan
Biaya pensiun 5% x 18.000.000 Rp 900.000
Penghasilan neto 6 bulan Rp17.100.000
Penghasilan neto dari PT. Ikhlas Rp31.562.400
Jumlah penghasilan neto Rp48.662.400
PTKP (K/2) Rp30.375.000
Penghasilan Kena Pajak Rp18.287.400
PPh Terutang
5% x Rp18.287.400
PPh terutang setahun Rp 914.370
PPh pasal 21 yang telah dipotong PT Ikhlas Rp 59.370
PPh pasal 21 terutang atas pensiun (6 bulan) Rp 855.000
PPh pasal 21 yang telah dipotong 6 x Rp142.500 Rp 855.000
PPh pasal 21 yang kurang (lebih) dipotong Nihil

2. Penghitungan PPh Pasal 21 atas pegawai yang berhak


mendapatkan PTKP saja.

2.1. Pegawai lepas yang dibayar secara harian, mingguan, satuan dan
borongan
PER-DJP No.31/PJ./2012 jo yaitu :
1. Pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas adalah pegawai yang hanya menerima
penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah
hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan, yang dihasilkan atau suatu
penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja
2. Penerima penghasilan bukan pegawai adalah orang pribadi selain pegawai
tetap dan pegawai tidak tetap (tenaga kerja lepas) yang memperoleh
penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari pemotong PPh pasal
21 dan/atau PPh pasal 26 sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa atau kegiatan

32
tertentu yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi
penghasilan

Penghitungan PPh bagi pegawai tidak tetap yang berhak mendapatkan PTKP
dan dibayar secara harian PER-DJP No 31/PJ./2012
1. Upah harian, upah mingguan, satuan, borongan, uang saku harian yang lebih
dari Rp200.000/hari maka diberikan pengurangan berupa PTKP sebesar
Rp200.000 (sejak 1 Januari 2013).
2. Apabila upah tidak melebihi dari Rp200.000/hari maka tidak dipotong PPh
pasal 21
3. Apabila dalam satu bulan penghasilan bruto telah melampui Rp1.320.000
dalam 1 bulan, maka dikurangi dengan PTKP harian sebenarnya
4. Dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam satu bulan kalender telah
melebihi Rp7.000.000,00 (Tujuh juta rupiah), PPh Pasal 21 dihitung dengan
menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan
atas jumlah Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan
5. Tarif yang dikenakan adalah sebesar 5% (lapisan pertama)

Contoh 1:
Karana (TK/-) adalah pegawai harian lepas pada PT. Balikpapan Permai, bekerja
selam 6 hari kerja dan menerima upah sebesar Rp200.000/hari. Upah minimum
Provinsi DKI Jakarta Rp1.600.000 sebulan.
Penghitungan PPh Pasal 21
Upah sehari Rp200.000
Dikurangi batas penghasilan sehari tidak kena pajak Rp2000.000
Penghasilan Kena Pajak sehari Nihil
PPh pasal 21 terutang sehari : Nihil
Jumlah upah yang diterima oleh Karana belum melebihi jumlah penghasilan bruto
sebesar Rp200.000, maka tidak ada PPh pasal 21 terutang.

Contoh 2:
Hari (TK/-) dalam bulan Januari 2013 bekerja pada PT. Cirebon Sejuk selama 15
hari kerja dengan menerima upah yang dibayar secara harian sebesar Rp250.000
untuk selama 15 hari kerja

Penghitungan PPh pasal 21

Upah sehari Rp200.000


Dikurangi batas penghasilan sehari tidak kena pajak Rp200.000
Penghasilan Kena Pajak sehari Rp 0
PPh pasal 21 terutang sehari NIHIL

Penghitungan PPh pasal 21 hari kerja ke-11


Upah sampai dengan hari ke-11 Rp2.200.000
Dikurangi PTKP 11 hari Rp 742.500
Penghasilan Kena Pajak Rp1.457.500
PPh pasal 21 pada hari ke-11
Rp1.457.500 x 5% Rp 72.875

Penghitungan PPh pasal 21 hari kerja ke-12 dan seterusnya


Upah sehari Rp200.000
Dikurangi PTKP sehari 9Rp24.300.000 ; 360) Rp 67.500

33
Penghasilan Kena Pajak sehari Rp132.500
PPh pasal 21 terutang sehari
Rp132.500 x 5% Rp 6.625

Apabila jumlah penghasilan kumulatif dalam satu bulan kalender telah


melebihi Rp7.000.000, PPh pasal 21 dihitung dengan tarif pasal 17(1) UU PPh
atas jumlah Penghasilan kena pajak disetahunkan
.
Contoh 3
Aji (TK/-) adalah seorang pegawai harian lepas yang bekerja sebagai perakit TV
diupah berdasarkan upah satuan pada PT. TV Bagus. Upah yang dibayar
berdasarkan atas jumlah unit yang diselesaikan yaitu Rp25.000 per buah TV dan
dibayarkan tiap minggu. Dalam 1 minggu (6 hari kerja) dihasilkan sebanyak 30
buah TV dengan upah sebesar Rp1.600.000
Penghitungan PPh pasal 21
Upah sehari (Rp1.800.000 : 6) Rp300.000
Dikurangi batas penghasilan sehari tidak kena pajak Rp200.000
Penghasilan Kena Pajak sehari Rp100.000
Penghasilan Kena Pajak seminggu Rp600.000
PPh pasal 21 terutang semingu
Rp600.000 x 5% Rp 30.000

Untuk mendapatkan jumlah upah harian atau uang saku harian sebagaimana
dimaksud pada pegawai harian lepas berlaku ketentuan sebagai berikut :
1. Dalam hal berupa upah mingguan/uang saku mingguan, akan dibagi dengan 6
(1 minggu = 6 hari)
2. Upah satuan, merupakan upah atas banyaknya satuan yang dihasilkan dalam
satu hari
3. upah borongan, yaitu jumlah upah borongan dibagi dengan banyaknya hari
yang dipakai untuk menyelesaikan pekerjaan yang dimaksud.

Contoh 4.
Indra (K/3) mengerjakan dekorasi sebuah bangunan dengan upah borongan
sebesar Rp350.000, pekerjaan diselesaikan dalam waktu 2 hari.
Upah borongan sehari Rp700.000 : 2 Rp350.000
Upah sehari tidak kena pajak Rp200.000
Upah sehari kena pajak Rp150.000
Upah borongan yang dikenakan pajak
Rp150.000 x 2 Rp 300.000
PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp300.000 Rp 15.000

Pegawai lepas yang dibayar secara bulanan


Apabila pembayaran dilakukan secara bulanan, maka perhitungan penghasilan
kena pajak adalah penghasilan bruto setiap bulan dikurangi dengan PTKP. Hal ini
berlaku untuk pegawai-pegawai sebagai berikut :
1. Bagi distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan
kegiatan sejenis lainnya, pengurangan PTKP adalah PTKP per bulan. Kegiatan
multilevel marketing atau direct selling merupakan suatu sistem penjualan
secara langsung kepada konsumen yang dilakukan secara berantai oleh orang
perorang sebagai distributor perusahaan multilevel marketing atau direct
selling

34
2. Untuk pegawai lepas yang dibayar secara bulanan, pengurangan PTKP adalah
PTKP sebenarnya
3. Untuk pegawai yang menerima bea siswa, pengurangan PTKP adalah PTKP
sebenarnya. Bea siswa adalah pembayaran kepada pegawai tetap, tidak tetap
dan calon pegawai, yang ditugaskan oleh pemberi kerja untuk mengikuti
program pendidikan yang ditetapkan oleh pemberi kerja yang terikat dengan
kontrak atau perjanjian kerja atau pembayaran dilakukan oleh suatu institusi
kepada orang pribadi yang tidak mempunyai ikatan kontrak atau perjanjian
kerja untuk mengikuti suatu program pendidikan.

Contoh 1
Kinclong (TK/-) mempunyai penghasilan berupa honor dari PT. Thoriq
sehubungan dengan kegiatan multilevel marketing dari produk peralatan rumah
tangga sebesar Rp21.320.000 pada bulan Februari 2013.
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk bulan Februari 2013 adalah sebagai berikut:
Penghasilan bruto bulan Februari 2013 Rp20.000.000
PTKP (TK/0)/bulan Rp 2.025.000
Penghasilan Kena Pajak Rp17.975.000
PPh pasal 21
5% x Rp17.975.000 Rp 898.750
Apabila pada bulan September 2013 diterima honor sebesar Rp42.000.000,
Penghitungan PPh pasal 21 untuk bulan September 2013 adalah sebagai berikut :
Penghasilan bruto bulan September 2013 Rp42.000.000
PTKP (TK/0)/bulan Rp 2.025.000
Penghasilan kena pajak Rp39.975.000
PPh pasal 21
5% x 32.025.000 =Rp1.601.250
15% x 7.950.000 =Rp1.192.500
Jumlah Rp2.793.750
Penjelasan :
Penghitungan atas honor yang diterima oleh orang pribadi sebagai distributor
multi level marketing yang bukan sebagai pegawai dan menerima penghasilan
bersifat berkesinambungan, penghitungan PPh pasal 21nya :
1. Menggunakan tarif PPh pasal 17 ayat 1 huruf a yang bersifat berkelanjutan
dalam 1 tahun pajak
2. Penghitungan PPh pasal 21 didasarkan atas penghasilan diterima per bulan
dikurangi dengan PTKP per bulan
3. Apabila orang pribadi tersebut tidak dapat menunjukan kepemilikan NPWP
atas nama sendiri atau suami maka akan dikenakan tarif 20% lebih besar
4. Apabila tidak menyampaikan pernyataan yang menyatakan hanya memperoleh
penghasilannya dari kegiatannya tersebut (tidak mempunyai penghasilan lain),
maka tidak berhak mendapat pengurang PTKP.

Contoh 2
Ecut (K/1) bekerja pada perusahaan elektronik dengan dasar upah harian yang
dibayar bulanan. Dalam bulan November 2013, Ecut hanya bekerja selama 20 hari
kerja dengan upah sehari sebesar Rp150.000.
Penghitungan PPh pasal 21
Upah per hari Rp 100.000
Upah selama bulan November
20 hari x Rp150.000 Rp 3.000.000
Penghasilan neto setahun
12 x Rp3.000.000 Rp36.000.000

35
PTKP (K/1) Rp26.325.000
Penghasilan Kena Pajak Rp 9.675.000
PPh Pasal 21 setahun 483.750
PPh Pasal 21 sebulan 40.312

3. Orang Pribadi yang tidak berhak atas biaya jabatan dan PTKP
Orang Pribadi yang dimaksud adalah penerima honorarium, uang saku, hadiah
atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan atas
jasa atau kegiatan yang jumlahnya tidak dapat dihitung atas dasar banyaknya hari
yang digunakan untuk menyelesaikan jasa atau kegiatan tersebut. (lihat bab 2
angka 7 huruf d).
Atas penghasilan bruto dari Orang Pribadi yang bersangkutan dikalikan dengan
50%. Apabila bersifat berkesinambungan maka dihitung secara akumulasi jumlah
dari penghasilan brutonya selama 1 tahun pajak. Apabila tidak mempunyai
penghasilan lain maka dikurangi dengan PTKP untuk 1 bulan, sesuai dengan
statusnya
3.1. Orang Pribadi menerima penghasilan bersifat berkesinambungan,
mempunyai NPWP dan Tidak mempunyai penghasilan lain
Orang Pribadi yang menerima penghasilan dari pemberi kerja apabila bersifat
berkesinambungan (diberi penghasilan oleh pemberi kerja dalam 1 tahun tidak
lebih dari 1 kali), mempunyai NPWP dan menyatakan tidak punya penghasilan
lain.Untuk menghitung PPh pasal 21 atas penghasilan Orang Pribadi tersebut,
penghitungan adalah sebagai berikut :
(Penghasilan Bruto x 50%) – PTKP(perbulan) = PKP
PKP x Tarif Pasal 17 ayat 1(a).
PKP bersifat akumulatif untuk satu tahun pajak melihat dari lapisan tarif Pasal 17
ayat 1(a)

Contoh :
Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas jasa dokter yang praktik di rumah
sakit dan/atau klinik
dr. Abdul Gopar, Sp.JP merupakan dokter spesialis jantung yang
melakukan praktik di Rumah Sakit Harapan Jantung Sehat dengan perjanjian
bahwa atas setiap jasa dokter yang dibayarkan oleh pasien akan dipotong 20%
oleh pihak rumah sakit sebagai bagian penghasilan rumah sakit dan sisanya
sebesar 80% dari jasa dokter tersebut akan dibayarkan kepada dr. Abdul Gopar,
Sp.JP pada setiap akhir bulan. Selain praktik di Rumah Sakit Harapan Jantung
Sehat dr. Abdul Gopar, Sp.JP juga melakukan praktik sendiri di klinik pribadinya.
dr. Abdul Gopar, Sp.JP telah memiliki NPWP dan pada tahun 2013, jasa dokter
yang dibayarkan pasien dari praktik dr. Abdul Gopar, SP.JP di Rumah Sakit
Harapan Jantung Sehat adalah sebagai berikut :

Jasa Dokter yang dibayar Pasien


Bulan
(Rupiah)
Januari 45.000.000,00
Februari 49.000.000,00
Maret 47.000.000,00
April 40.000.000,00
Mei 44.000.000,00
Juni 52.000.000,00
Juli 40.000.000,00
Agustus 35.000.000,00

36
September 45.000.000,00
Oktober 44.000.000,00
November 43.000.000,00
Desember 40.000.000,00
Jumlah 524.000.000,00

Penghitungan PPh Pasal 21 untuk bulan Januari sampai dengan Desember 2013:

Bulan Jasa Dokter Dasar Dasar Pemotongan Tarif Pasal PPh Pasal 21
yang dibayar Pemotongan PPh PPh Pasal 21 17 ayat (1) terutang
Pasien Pasal 21 Kumulatif huruf a UU (Rupiah)
(Rupiah) (Rupiah) (Rupiah) PPh
(1) (2) (3)=50%X(2) (4) (5) (6)=(3) x (5)
Januari 45.000.000,00 22.500.000,00 22.500.000,00 5% 1.125.000,00
Februari 49.000.000,00 24.500.000,00 47.000.000,00 5% 1.225.000,00
Maret 47.000.000,00 3.000.000,00 50.000.000,00 5% 150.000,00
------------ ------------- ------ ----------
20.500.000,00 70.500.000,00 15% 3.075.000,00
April 40.000.000,00 20.000.000,00 90.500.000,00 15% 3.000.000,00
Mei 44.000.000,00 22.000.000,00 112.500.000,00 15% 3.300.000,00
Juni 52.000.000,00 26.000.000,00 138.500.000,00 15% 3.900.000,00
Juli 40.000.000,00 20.000.000,00 158.500.000,00 15% 3.000.000,00
Agustus 35.000.000,00 17.500.000,00 176.000.000,00 15% 2.625.000,00
September 45.000.000,00 22.500.000,00 198.500.000,00 15% 3.375.000,00
Oktober 44.000.000,00 22.000.000,00 220.500.000,00 15% 3.300.000,00
November 43.000.000,00 21.500.000,00 242.000.000,00 15% 3.225.000,00
Desember 40.000.000,00 8.000.000,00 250.000.000,00 15% 1.200.000,00
------------ ------------- ------ -------------
12.000.000,00 262.000.000,00 25% 3.000.000,00
Jumlah 524.000.000,00 262.000.000,00 35.500.000,00

Apabila dr. Abdul Gopar Sp.JP tidak memiliki NPWP, maka PPh Pasal 21 terutang
adalah sebesar 120% dari PPh Pasal 21 terutang sebagaimana contoh di atas.

3.2. Orang Pribadi menerima penghasilan bersifat berkesinambungan,


mempunyai NPWP tetapi mempunyai penghasilan lain
Orang Pribadi yang menerima penghasilan dari pemberi kerja apabila bersifat
berkesinambungan, mempunyai NPWP dan menyatakan punya penghasilan lain.
Untuk menghitung PPh pasal 21 atas penghasilan Orang Pribadi tersebut,
penghitungan adalah sebagai berikut :
(Penghasilan Bruto x 50%) = PKP. PKP x Tarif Pasal 17 ayat 1(a).
PKP bersifat akumulatif untuk satu tahun pajak melihat dari lapisan tarif Pasal 17
ayat 1(a)

Contoh :
Tn. Ian (K/0) adalah seorang konsultan manajemen yang bekerja secara mandiri
atau perorangan pada PT. Sunda Kelapa. Setiap bulannya pada tahun 2013
menerima penghasilan sebesar Rp15.000.000/bulan.
Apabila Orang Pribadi yang bersangkutan menyatakan memiliki penghasilan lain,
maka penghitungan PPh pasal 21nya tidak berhak mendapat pengurang
Penghasilan Tidak Kena Pajak.

37
Penghitungan PPh pasal 21
Bln Honor Dasar Dasar Tarif PPh pasal 21
Yang pemotongan pemotongan pasal terutang
diterima PPh ps 21 PPh ps 21 17
kumulatif ayat
1(a)
UU
PPh
(1) (2) (3) = 50% x (4) (5) (7) = (3) x(5)x
(2) (6)
Jan 15.000.000 7.500.000 7.500.000 5% 375.000
Feb 15.000.000 7.500.000 15.000.000 5% 375.000
Mar 15.000.000 7.500.000 22.500.000 5% 375.000
Apr 15.000.000 7.500.000 30.000.000 5% 375.000
Mei 15.000.000 7.500.000 37.500.000 5% 375.000
Jun 15.000.000 7.500.000 45.000.000 5% 375.000
Jul 10.000.000 5.000.000 50.000.000 5% 250.000
5.000.000 2.500.000 52.500.000 15% 375.000
Ags 15.000.000 7.500.000 60.000.000 15% 1.125.000
Sep 15.000.000 7.500.000 67.500.000 15% 1.125.000
Okt 15.000.000 7.500.000 75.000.000 15% 1.125.000
Nov 15.000.000 7.500.000 82.500.000 15% 1.125.000
Des 15.000.000 7.500.000 90.000.000 15% 1.125.000

3.3. Orang Pribadi menerima penghasilan bersifat berkesinambungan, tidak


mempunyai NPWP baik mempunyai penghasilan lain ataupun tidak
mempunyai penghasilan lain
Orang Pribadi yang menerima penghasilan dari pemberi kerja apabila bersifat
berkesinambungan, tidak mempunyai NPWP baikmempunyai penghasilan lain
maupun tidak. Untuk menghitung PPh pasal 21 atas penghasilan Orang Pribadi
tersebut, penghitungan adalah sebagai berikut :
(Penghasilan Bruto x 50%) = PKP. PKP x Tarif Pasal 17 ayat 1(a) x 120%
PKP bersifat akumulatif untuk satu tahun pajak melihat dari lapisan tarif Pasal 17
ayat 1(a)
Dari contoh sebelumnya tetapi tidak mempunyai NPWP :
Bln Honor Dasar Dasar Tarif Tidak PPh pasal 21
Yang pemotongan pemotongan pasal Punya terutang
diterima PPh ps 21 PPh ps 21 17 NPW
kumulatif ayat P
1(a)
UU
PPh
(1) (2) (3) = 50% x (4) (5) (6) (7) = (3)
(2) x(5)x (6)
Jan 15.000.000 7.500.000 7.500.000 5% 120% 450.000
Feb 15.000.000 7.500.000 15.000.000 5% 120% 450.000
Mar 15.000.000 7.500.000 22.500.000 5% 120% 450.000
Apr 15.000.000 7.500.000 30.000.000 5% 120% 450.000
Mei 15.000.000 7.500.000 37.500.000 5% 120% 450.000
Jun 15.000.000 7.500.000 45.000.000 5% 120% 450.000
Jul 10.000.000 5.000.000 50.000.000 5% 120% 300.000
5.000.000 2.500.000 15% 450.000

38
52.500.000 120%
Ags 15.000.000 7.500.000 60.000.000 15% 120% 1.350.000
Sep 15.000.000 7.500.000 67.500.000 15% 120% 1.350.000
Okt 15.000.000 7.500.000 75.000.000 15% 120% 1.350.000
Nov 15.000.000 7.500.000 82.500.000 15% 120% 1.350.000
Des 15.000.000 7.500.000 90.000.000 15% 120% 1.350.000

3.4. Orang Pribadi menerima penghasilan bersifat tidak berkesinambungan,


mempunyai NPWP baik mempunyai penghasilan lain ataupun tidak
mempunyai penghasilan lain
Orang Pribadi yang menerima penghasilan dari pemberi kerja apabila bersifat
tidak berkesinambungan, mempunyai NPWP baikmempunyai penghasilan lain
maupun tidak. Untuk menghitung PPh pasal 21 atas penghasilan Orang Pribadi
tersebut, penghitungan adalah sebagai berikut :
(Penghasilan Bruto x 50%) = PKP. PKP x Tarif Pasal 17 ayat 1(a).
PKP bersifat tidak bersifat akumulatif
Contoh :
Tn. Andika (K/1) mempunyai penghasilan berupa jasa membersih AC. Pada bulan
Oktober 2013, memberikan jasanya kepada PT. Sejuk Dihati dan menerima honor
sebesar Rp100.000.
Penghitungan PPh pasal 21 :
100.000 x 50% = 50.000 x 5% = Rp2.500

3.5. Orang Pribadi menerima penghasilan bersifat tidak berkesinambungan,


tidak mempunyai NPWP baik mempunyai penghasilan lain ataupun tidak
mempunyai penghasilan lain
Orang Pribadi yang menerima penghasilan dari pemberi kerja apabila bersifat
tidak berkesinambungan, tidak mempunyai NPWP baik mempunyai penghasilan
lain maupun tidak. Untuk menghitung PPh pasal 21 atas penghasilan Orang
Pribadi tersebut, penghitungan adalah sebagai berikut :
(Penghasilan Bruto x 50%) = PKP. PKP x Tarif Pasal 17 ayat 1(a) x 120%
PKP bersifat tidak bersifat akumulatif
Contoh :
Tn. Tatang (K/3) mempunyai penghasilan sebagai pemasang kabel pada PT. Jiwa
Muda, menerima honor sebesar Rp200.000.
Penghitungan PPh pasal 21
200.000 x 50% = 100.000 x 5% x 120% = Rp6.000

4. Orang Pribadi sebagai peserta kegiatan


Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi:
a. peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olahraga,
seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
b.peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
c. peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara
kegiatan tertentu;
d. peserta pendidikan, pelatihan, dan magang;
e. peserta kegiatan lainnya.
Penghasilan Bruto x Tarif Pasal 17 ayat 1(a)
Setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan tidak di pecah, yang diterimaoleh
peserta kegiatan. Apabila tidak berNPWP maka dikalikan dengan 120%

39
Contoh :
Susi (TK/0) adalah pegawai dari PT. Padang Bai, mengikuti kegiatan konfrensi
selama 3 hari dan mendapat honor sebesar Rp500.000 perhari
Penghitungan PPh pasal 21 :
1.500.000 x 5% = Rp75.000

5. Pegawai yang menerima penghasilan yang dikenakan pajak


bersifat final
Pegawai yang menerima penghasilanyang dikenakan pajak bersifat final adalah
sebagai berikut :

6.1. Pegawai menerima uang manfaat pensiun yang dibayarkan


sekaligus
Contoh 1
Agus Supriyanto (K/2) menerima Manfaat Pensiun yang dibayar sekaligus sebesar
Rp.100.000.000 pada bulan Desember 2013.
Penghitungan PPh Pasal 21 Final adalah :
Tebusan pensiun Rp100.000.000
Tidak dikenakan PPh Rp 50.000.000
Penghasilan atas Tebusan pensiun sekaligus Rp 50.000.000
5 % x Rp 50.000.000 Rp 2.500.000
Penghitungan pembayaran PPh yang tidak perlu diperhitungkan kembali pada SPT
Tahunan PPh Orang Pribadi Agus Supriyono, apabila dia seorang Wajib Pajak.
Penghasilan sebesar Rp.100.000.000 tidak menambah penghasilan netto SPT
Tahunan Orang Pribadi Agus Supriyono dan atas pajak yang telah dipungut oleh
Dana Pensiun sebesar Rp.2.500.000 bukan merupakan kredit pajak dalam SPT
1770.

6.2. Pegawai menerima uang pesangon

Contoh 1
Hari Abrianto telah bekerja pada PT Krian selama 8 tahun. Pada bulan Januari
2013 dia berhenti bekerja karena pengurangan pegawai dan menerima pesangon
sebesar Rp 25.000.000.
Penghitungan PPh pasal 21 terutang adalah 0% x Rp 25.000.000 = NIHIL

Apabila Hari Abrianto adalah seorang Wajib Pajak Orang Pribadi maka tidak
perlu menghitung kembali PPh terutangnya pada akhir tahun atas penghasilan
yang diterimanya berupa pesangon karena bersifat final

Contoh 2
Parijono Direktur PT Angin Surga. Pada bulan Januari 2013 diberhentikan karena
perusahaan mengalami kesulitan keuangan. Dia menerima pesangon sebesar
Rp500.000.000.
Penghitungan PPh pasal 21 terutang adalah
Pesangon Rp500.000.000
Dikenakan tarif 0% Rp50.000.000
DPP Pesangon Rp450.000.000
PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp 50.000.000 Rp2.500.000
15% x Rp 400.000.000 Rp60.000.000
PPh Pasal 21 Rp62.500.000

40
6.3. Honor yang diterima oleh Pejabat Negara, PNS dan Anggota
ABRI/Kepolisian

Atas penghasilan yang diterima oleh :


a. Pejabat Negara berupa gaji kehormatan dan tunjangan-tunjangan lain yang
terkait atau imbalan tetap sejenisnya;
b. Pegawai Negeri Sipil dan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
berupa gaji dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya tetap dan terkait
dengan gaji;
c. Pensiunan termasuk janda atau duda dan/atau anak-anaknya berupa uang
pensiun dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya tetap dan terkait dengan
uang pensiun yang dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan
Daerah

Dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 21 bersifat final dengan tarif (PP nomor 80 tahun 2010
jo PMK-262/PMK.03/2010):
a. sebesar 0% (nol persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain
bagi PNS Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI dan Anggota POLRI
Golongan Pangkat Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya;
b. sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi
PNS Golongan III, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat
Perwira Pertama, dan Pensiunannya;
c. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi
Pejabat Negara, PNS Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan
Pangkat Perwira Menengah dan Perwira Tinggi, dan Pensiunannya.

Surat Pemberitahuan PPh Pasal 21 tahun pajak 2014 (SPT 1721) menggunakan Formulir baru
sebagaimana diatur dalam PER-14/PJ/2013 terdiri dari:
a. Induk SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 - (Formulir 1721);
b. Daftar Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap dan Penerima
Pensiun atau Tunjangan Hari Tua/Jaminan Hari Tua Berkala serta bagi Pegawai
Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Polisi Republik
Indonesia, Pejabat Negara dan Pensiunannya (Formulir 1721-I);
c. Daftar Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal
26 - (Formulir 1721-II);
d. Daftar Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Final) - (Formulir 1721-
III);
e. Daftar Surat Setoran Pajak (SSP) dan/atau Bukti Pemindahbukuan (Pbk) untuk
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 - (Formulir 1721-IV);
f. Daftar Biaya - (Formulir 1721-V);

SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 baik dalam bentuk formulir kertas (hard copy)
maupun e-SPT dapat digunakan oleh Pemotong yang:
a. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tetap dan penerima
pensiun atau tunjangan hari tua/jaminan hari tua berkala dan/atau terhadap
pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik
Indonesia, pejabat negara dan pensiunannya yang jumlahnya tidak lebih dari 20
(dua puluh) orang dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
b. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal 26 selain
pemotongan PPh sebagaimana dimaksud pada huruf a dengan bukti pemotongan

41
yang jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa
pajak; dan/atau
c. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Final) dengan bukti pemotongan yang
jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak;
dan/atau
d. melakukan penyetoran pajak dengan SSP dan/atau bukti Pbk yang jumlahnya
tidak lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak.

SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk e-SPT wajib digunakan oleh
Pemotong yang:
a. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tetap dan penerima pensiun
atau tunjangan hari tua/jaminan hari tua berkala dan/atau terhadap pegawai negeri
sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia, pejabat negara
dan pensiunannya yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) orang dalam 1 (satu)
masa pajak; dan/atau
b. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal 26 selain
pemotongan PPh sebagaimana dimaksud pada huruf a dengan bukti pemotongan yang
jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
c. melakukan pemotongan PPh Pasal 21(Final) dengan bukti pemotongan yang
jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
d. melakukan penyetoran pajak dengan SSP dan/atau bukti Pbk yang jumlahnya lebih
dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak.

42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
Bab 4 PPh Pasal 22
1. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 22

Pajak Penghasilan yang dibayakan dalam tahun berjalan yang dipungut sehubungan
dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan dibidang impor atau kegiatan usaha
dibidang lainnya.
PPh Pasal 22 mempunyai karektiristik yang berbeda dengan PPh Potong Pungut yang
lain. Beberapa karakteristik yang membedakan antara lain sebagai berikut:
 Istilah PPh Pungut yang sering kita dengar tersebut hanya ada dalam lingkup PPh Pasal
22 ini.
 PPh Pasal 22 ini tergantung kepada pemungutnya. Dalam artian tidak semua perusahan
bisa menjadi pemungut PPh Pasal 22, tetapi tergantung kepada jenis atau bidang
usahannya. Dan biasanya ada surat penunjukan dari Dirjen Pajak.
 PPh Pasal 22 ini terkait dengan transaksi atas barang (non jasa).

2. Subjek Pajak, Objek Pajak dan Pemungut Pajak

Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang perpajakan yang menjadi


subjek pajak atau wajib pajak dan dikenakan pemungutan berdasarkan ketentuan Pajak
Penghasilan Pasal 22 Impor adalah :
1. Rekanan Pemerintah
2. Importir
3. Konsumen semen, kertas, baja dan otomotif
4. Para penyalur dan/atau agen Pertamina dan badan usaha selain pertamina yang
bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas
5. Para penyalur dan/atau agen Badan Urusan Logistik (BULOG)
Didalam pasal 22 UU PPh, diatur bahwa Menteri Keuangan dapat menetapkan
bendaharawan pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas
penyerahan barang, dan badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang
melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.

Pemungut PPh Pasal 22 :

Berdsarkan UU PPh Pasal 22 jo PMK-224/PMK.11/2012 jo PMK-146/PMK.011/2013,


disebutkan bahwa pihak-pihak yang ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 adalah:

a. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang;
b. bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak
pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah dan
lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;
c. bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang
dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
d. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang
diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan pembayaran
atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme
pembayaran langsung (LS);
e. Badan Usaha Milik Negara yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan
negara yang dipisahkan, yang meliputi:

54
1) PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Perusahaan Gas
Negara (Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., PT Garuda
Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya
Karya (Persero) Tbk., PT Adhi Karya (Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero), PT
Krakatau Steel (Persero); dan
2) Bank-bank Badan Usaha Milik Negara,

berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan
kegiatan usahanya.
f. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri
baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada
distributor di dalam negeri;
g. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir
umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri;
h. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas
penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
i. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk
keperluan industrinya atau ekspornya.

3. DITJEN ANGGARAN DAN BENDAHARAWAN PEMERINTAH


PUSAT/DAERAH
Pengenaan pajaknya ditentukan sebagai berikut :

Objek Pajak : Pembelian barang diatas Rp2.000.000,- dalam jumlah yang


tidak terpecah-pecah (PMK-154/PMK.03/2010 jo PMK-
224/PMK.11/2012)
Tarif : PPh Pasal 22 = 1,5% x Nilai Pembelian (excl.PPN)
Sifat : Tidak Final
Saat terutang : Saat pembayaran
Saat penyetoran : Disetor dalam hari yang sama dengan pelaksanaan
pembayaran
Saat pelaporan : Dilaporkan palaing lambat 14 hari setelah masa pajak
berakhir (Ditjen anggaran & Bendaharawan)

Contoh:
Departemen Agama membeli 10 buah AC dari PT Jaya Negeriku dengan harga per unit Rp
3.300.000,- (termasuk PPN).
PPh Pasal 22 yang harus dipungut = 1,5% x (10 x 100/110 x Rp 3.300.000,-)
= 1,5% x Rp 30.000.000,-
= Rp 450.000,-
PPh Pasal 22 ini dipungut oleh Bendaharawan Departemen Agama dan SSP disetor oleh
Bendaharawan atas nama dan NPWP rekanan.

4. BANK DEVISA DAN DITJEN BEA CUKAI


Pengenaan pajaknya ditentukan sebagai berikut:
Objek Pajak : Impor Barang
Tarif : 1. Importir dengan API = 2,5% x nilai impor

55
2. Importir non API = 7,5% x nilai impor
3. Barang tidak dikuasai = 7,5% x nilai lelang
API (Angka Pengenal Impor)
Nilai Impor adalah CIF (Cost, Insurance, Freight)
Ditambah Bea Masuk
Untuk Impor Kedelai, gandum dan tepung terigu mendapat fasilitas
pengurang menjadi 0,5% apabila menggunakan API.
Sifat : Tidak final
Saat terutang : Saat pembayaran Bea Masuk
Penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB)
Saat penyetoran : Disetor dalam jangka waktu sehari sejak pemungutan
dilakukan
Saat pelaporan : Dilaporkan secara mingguan paling lambat 7 hari setelah
batas waktu penyetoran pajak berakhir.

Contoh:
PT Importa mengimpor mesin industri dengan nilai CIF US$ 10.000, Bea masuk 25%, PPN
10% dan PPnBM 25%. Diketahui kurs tengah BI Rp 9.000,- dan kurs KMK Rp 9.200,- per
dolar. PT.Impota juga sudah mempunyai API. PPh Pasal 22 yang harus dipungut
CIF = $ 10.000
Bea Masuk = $ 2.500
Nilai Impor = $ 12.500
= Rp 9.200,- $ 12.500
= Rp 118.750.000,-
PPh Pasal 22 = 2,5% x Rp 118.750.000
= Rp 2.968.750
PPh Pasal 22 ini disetor sendiri oleh PT Importa ke Bank Devisa atau dipungut oleh Dirjen
Bea Cukai pada saat pelunasan Bea Masuk.

5. PERTAMINA DAN BADAN USAHA LAIN DI BIDANG MIGAS


Pengenaan pajaknya ditentukan sebagai berikut:
Objek Pajak : Penjualan hasil produksinya di dalam negeri
Tarif :
SPBU SPBU
(persentase dari Swastanisasi Pertamina
penjualan) - Premium 0,3% 0,25%
- Solar 0,3% 0,25%
- Premix/Super TT 0,3% 0,25%
- Minyak tanah 0,3% 0,3%
- Gas LPG 0,3% 0,3%
- Pelumas 0,3% 0,3%
Sifat : Final untuk penyalur/agen
Tidak final untuk selain penyalur/agen
Saat terutang : Saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (Delivery
Order)
Saat penyetoran : Disetor sendiri oleh WP sebelum penebusan Delivery Order
Saat Pelaporan : Dilaporkan paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir

Contoh:
PT.Sakti, pemilik SPBU swasta, membeli solar ke Pertamina dengan nilai sebesar Rp
100.000.000,-

56
PPh Pasal 22 yang harus dipungut = 0,3% x Rp 100.000.000,-
= Rp 300.000,-
Wajiba pajak menyetor sendiri PPh Psal 22 yang terutang sebelum penebusan DO (Delivery
Order).

6. BADAN USAHA TERTENTU


Pengenaan pajaknya ditentukan sebagai berikut:
Badan usaha :
 industri semen,
 industri kertas,
 industri baja,
 industri otomotif.
Yang dtunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak
Objek Pajak : Penjualan hasil produksinya di dalam negeri
Tarif :
 industri semen 0,25% x DPP PPN Tidak final
 industri kertas 0,10% x DPP PPN Tidak final
 industri baja 0,30% x DPP PPN Tidak final
 industri otomotif 0,45% x DPP PPN Tidak final
 industry Farmasi 0,30% x DPP PPN Tidak final
Saat terutang : saat penjualan
Saat penyetoran : Disetor paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
Saat pelaporan : Dilaporkan paling lambat 20 hari setelah masa pajak terakhir

Contoh:
PT Mulia Sejahtera membeli baja senilai Rp 50.000.000,- (tidak termasuk PPN) ke PT
Krakatau Steel (Persero).
PPh Pasal 22 yang harus dipungut = 0,3% x Rp 50.000.000,-
= Rp 150.000,-
PT Krakatau Steel harus memungut PPh Pasal 22 ini pada saat penjualan

7. INDUSTRI/EKSPORTIR DI BIDANG PERHUTANAN, PERKEBUNAN,


PERTANIAN, PERIKANAN
Pengenaan pajaknya ditentukan sebagai berikut:
Pemungut :
 Industri/Eksportir bidang Perhutanan
 Industri/Eksportir bidang Perkebunan
 Industri/Eksportir bidang Pertanian
 Industri/Eksportir bidang Perikanan
Yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak
Objek Pajak : Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor
dari pedagang pengumpul
Tarif : PPh Pasal 22 = 0,25% x Nilai Pembelian (excl.PPN)
Sifat : Tidak final
Saat terutang : Saat pembelian
Saat penyetoran : disetor paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya
Saat Pelaporan : Dilaporkan paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir

Contoh:

57
PT.Jaya Sejahtera, industri plywood, membeli kayu dari pedagang pengumpul senilai Rp
80.000.000,- (tidak termasuk PPN).
PPh Pasal 22 yang harus dipungut = 0,25% x Rp 80.000.000,-
= Rp 200.000,-
PPh Pasal 22 ini harus dipungut oleh PT Jaya Sejahtera pada saat pembelian kayu dari
pedagang pengumpul.

8. Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang


tergolong sangat mewah
Barang yang tergolong sangat mewah adalah:

1. pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh
milyar rupiah);
2. kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp10.000.000.000,00
(sepuluh milyar rupiah);
3. rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan luas bangunan lebih dari 500 m2 (lima
ratus meter persegi);
4. apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih
dari Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan/atau luas bangunan lebih dari
400 m2 (empat ratur meter persegi)
5. kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa
sedan, jeep, sport utility vehicle (SUV), multi purpose vehicle (MPV), minibus dan
sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan
dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc.

Pemungutan dilakukan oleh pihak yang menjual sebesar 5% dan bersifat tidak final.

NON OBJEK PPH PASAL 22

Dikecualikan dari obyek PPh Pasal 22 di atas, beberapa transaksi impor dan transaksi
lainnya tidak terutang PPh Pasal 22, seperti terlihat pada table berikut ini:

Rincian Non Obyek PPh Pasal 22 Keterangan


1. Impor barang dan atau penyerahan barang yang Perlu SKB PPh Pasal 22
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak
terutang PPh;
2. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan BM dan atau Dilaksanakan oleh Direktorat
PPN seperti : Jenderal Bea dan Cukai
a. Barang perwakilan negara asing beserta para (DJBC) sesuai dengan
Pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas ketentuan yang berlaku
timbal balik :
b. barang untuk keperluan badan internasionalyang diakui
dan terdaftar pada Pemerintah Indonesia beserta
pejabatnya yang bertugas di Indonesia beserta pejabatnya
yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor
Indonesia;
c. barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum,
amal, sosial, atau kebudayaan;
d. barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan
tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum;

58
e. barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan
ilmu pengetahuan;
f. barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan
penyandang cacat lainnya;
g. peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu
jenazah;
h. barang pindahan;
i. barang pribadi penumpang awak sarana pengangkut,
pelintas batas, dan barang kiriman sampai batas jumlah
tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
Pabean;
j. barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah yang ditunjuk untuk kepentingan
umum;
k. persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk
suku cadang yang diperuntukan bagi keperluan pertahanan
dan keamanan negara;
l. barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan
barang bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
m. vaksin polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan
Imunisasi Nasional (PIN);
n. buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku
pelajaran agama;
o. kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau,
dan kapal angkutan penyeberangan, kapal pandu, kapal
tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku
cadang serta alat keselamatan manusia yang diimpor dan
digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau
perusahaan pengkapan ikan nasional;
p. pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan
penerbangan atau alat keselamatan manusia, peralatan
untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diimpor dan
digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga
Nasional;
q. kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk
perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana yang diimpor
dan digunakan oleh PT Kereta Api Indonesia;
r. peralatan yang digunakan untuk penyediaan data batas dan
photo udara wilayah Negara Republik Indonesia yang
dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia
s. barang untuk kegiatan hulu Minyak dan Gas Bumi yang
importasinya dilakukan oleh Kontraktor Kontrak Kerja
Sama.
3. Dalam hal impor sementara jika pada waktu impornya nyata-
nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali;
4. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 2.000.000,00
(satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang
terpecah-pecah oleh bendaharawan
5. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, Tanpa SKB PPh Pasal 22
gas, air minum/PDAM dan benda-benda pos oleh
bendaharawan
6. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan
barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor;

59
7. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan
penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
8. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang
telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang
sama atau barang-barang yang tleah diekspor untuk keperluan
perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi
syarat yang ditentukan oleh DJBC.
9. Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh
BULOG.

60
Bab 5 PPh Pasal 23

1. Pengertian PPh Pasal 23

Ketentuan dalam pasal 23 Undang-Undang No 7 tahun 1983 tentang Pajak


Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 36 tahun 2008, mengatur pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan dengan
cara memotong penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan
Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan
kegiatan selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat(1)
huruf e, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau Subjek Pajak badan dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. PPh pasal 23
biasanya terkait dengan passive income yang diterima subjek pajak dalam negeri, misalnya
deviden, royalty, sewa, dsb. Namun ada juga PPh Pasal 23 dikenakan atas active income yang
diterima oleh subjek pajak dalam negeri, khususnya Wajib Pajak Badan.

2. Subjek yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 23


Subjek Pajak yang ditunjuk menjadi Wajib Pajak dari PPh Pasal 23 adalah Wajib
Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap yang memperoleh penghasilan yang berasal dari
modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong pajak
sebagaimana dimaksud dalam pasal 21

3. Pemotong PPh pasal 23


Wajib Pajak yang dikenai kewajiban memotong PPh pasal 23 adalah sebagai berikut :
a. Badan Pemerintah, Wajib Pajak Badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk
Usaha Tetap (BUT), dan perwakilan perusahaan luar negeri di Indonesia.
b. Wajib Pajak orang Pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 dengan
menggunakan surat keputusan penunjukan sesuai dengan keputusan Direktur Jenderal
Pajak Nomor : KEP-50/PJ./1994 yaitu :
b.1. Akuntan, arsitek, dokter, notaries, PPAT (kecuali camat PPAT), pengacara
dan konsultan yang melakukan pekerjaan bebas.
b.2. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan
Wajib Pajak orang pribadi tersebut wajib memotong PPh pasal 23 atas penghasilan
dari sewa.

4. Objek PPh pasal 23


Objek pemotongan PPh pasal 23 adalah :
a. 15% x penghasilan bruto
Terdiri dari deviden, bunga termasuk Premium, diskonto dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang, royalty, hadiah dan penghargaan sehubungan
dengan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21
b. 2% x Penghasilan bruto
Sewa dan Penghasilan Lain sehubungan dengan penggunaan harta, imbalan
sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan

61
jasa lain sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008, selain
jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.

4.1. Tarif 15% dari Penghasilan Bruto (apabila yang mempunyai penghasilan tidak
mempunyai NPWP, maka pemotongan PPh Pasal 23 dipotong 100% lebih besar)
PPh pasal 23 dihitung langsung dari penghasilan bruto terkait dengan penghasilan
berupa :
a. Dividen
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh oleh pemegang saham atau pemegang
polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh oleh anggota
koperasi. Dividen dapat dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Dividen yang obyek pajak (Pasal 4 ayat (1) huruf g UU PPh) adalah dividen
yang diterima oleh orang pribadi, yayasan, CV, firma dan kongsi
2. Dividen yang bukan obyek pajak (Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh) adalah
Deviden yang diterima oleh PT sebagai WP dalam negeri, Koperasi,
BUMN/BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia bukan Obyek Pajak dengan syarat;
 Deviden berasal dari cadangan laba yang ditahan (Retained Earning)
 Bagi Perseroan Terbatas (PT), BUMN/BUMD yang menerima
deviden, kepemilikan saham pada badan yang memberikan deviden
paling rendah 25% dari jumlah modal disetor dan harus mempunyai
Usaha aktif diluar kepemilikan saham tersebut.

b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan


pengembalian utang.
Premium terjadi apabila obligasi dijual diatas nilai nominalnya, sedangkan diskonto
terjadi apabila obligasi dibeli dibawah nilai nominalnya. Premium merupakan
penghasilan bagi yang menerbbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan
bagi yang membeli obligasi.
Perlakuan PPh Pasal 23 atas bunga dapat dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Bunga antar pinjaman dari badan ke badan atau pinjaman dari badan ke orang
pribadi atau sebaliknya
2. Bunga obligasi yang tidak dijual di bursa efek

c. Royalti
Berdasarkan penjelasan pasal 4 ayat 1 huruf h Undang-Undang PPh, Royalti adalah
 Hak atas harta tidak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang
atau rahasia perusahaan;
 Hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat industri, komersial, dan ilmu
pengetahuan;
 Informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun
mungkin dipatenkan, misalnya pengalaman dibidang industri.

d. Hadiah
Klasifikasi hadiah dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Hadiah yang objek pajak
Hadiah perlombaan, penghargaan dan prestasi tertentu, dan hadiah sehubungan
dengan pekerjaan atau pemberian jasa yang diterima oleh Wajib Pajak badan dan
Bentuk Usaha Tetap.
b. Hadiah yang bukan objek Pajak (Kep Dirjen Pajak Nomor Kep-395/PJ./2001)
 Diberikan kepada semua pembeli/konsumen akhir tanpa diundi
 Hadiah diterima langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang
atau jasa

62
4.2. Tarif 2 % dari Penghasilan bruto
Penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
dan imbalan jasa yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% dari perkiraan
penghasilan neto adalah :
a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang telah
dikenai PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1996
yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 2002
b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan dan jasa lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) huruf c UU
PPh, yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri atau BUT, selain jasa yang telah
dipotong PPh Pasal 21
c. Pemotongan pajak dilakukan oleh pihak yang wajib membayar

Tabel tarif PPh 23 tahun 2009 (apabila yang mempunyai penghasilan tidak mempunyai
NPWP, maka pemotongan PPh Pasal 23 dipotong 100% lebih besar) :

Jenis Penghasilan Tarif PPh 23 - Tarif PPh 23 -

No (bagi WP ber- (bagi WP yang


NPWP) (%) tidak ber-NPWP)
(%)
(1) (2) (3) (4)
1 Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) 15% dari Jumlah 30% dari jumlah
huruf g UU PPh bruto bruto
2 Bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) 15% dari jumlah 30% dari jumlah
huruf f UU PPh; bruto bruto
3 Royalti 15% dari jumlah 30% dari jumlah
bruto bruto
4. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang 15% dari jumlah 30% dari jumlah
telah dipotong PPh 21 bruto bruto
5. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan 2 % dari jumlah 4% dari jumlah
penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain bruto bruto tidak
sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai tidak termasuk termasuk PPN
PPh Final pasal 4 (2) PPN
6. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa 2% dari jumlah 4% dari jumlah
manajemen, jasa konstruksi (*), jasa konsultan bruto tidak bruto tidak
termasuk PPN termasuk PPN
7 Jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak 2% dari Jumlah 4% dari jumlah
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 bruto tidak bruto tidak
yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan termasuk PPN termasuk PPN
berdasarkan PMK-244/PMK.03/2008
a. Jasa penilai (appraisal);
b. Jasa aktuaris;
c. Jasa akuntansi, pembukuan, dan asestasi laporan
keuangan;
d Jasa perancang (design);
e Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan
minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan
oleh bentuk usaha tetap;

63
f Jasa penunjang di bidang penambangan migas :

1) jasa penyemenan dasar (primary cementing) yaitu


penempatan bubur semen secara tepat diantara
pipa selubung dan lubung sumur;

2) jasa penyemenan perbaikan (remedial cementing),


yaitu penempatan bubur semen untuk maksud-
maksud :

a) penyumbatan kembali formasi yang sudah


kosong;

b) penyumbatan kembali zona yang


berproduksi air;

c) perbaikan dari penyemenan dasar yang


gagal;

d) penutupan sumur;

3) jasa pengontrolan pasir (sand control), yaitu jasa


yang menjamin bahwa bagian-bagian formasi
yang tidak terkonsolidasi tidak akan ikut
terproduksi ke dalam rangkaian pipa produksi
dan menghilangkan kemungkinan tersumbatnya
pipa;

4) jasa pengasaman (matrix acidizing), yaitu


pekerjaan untuk memperbesar daya tembus
formasi yang menaikan produktivitas dengan
jalan menghilangkan material penyumbat yang
tidak diinginkan;

5) jasa peretakan hidrolika (hydraulic), yaitu


pekerjaan yang dilakukan dalam hal cara
pengasaman tidak cocok, misalnya perawatan
pada formasi yang mempunyai daya tembus
sangat kecil;

6) jasa nitrogen dan gulungan pipa (nitrogen dan coil


tubing), yaitu jasa yang dikerjakan untuk
menghilangkan cairan buatan yang berada dalam
sumur baru yang telah selesai, sehingga aliran
yang terjadi sesuai dengan tekanan asli formasi
dan kemudian menjadi besar sebagai akibat dari
gas nitrogen yang telah dipompakan ke dalam
cairan buatan dalam sumur;

7) jasa uji kandung lapisan (drill stem testing),


penyelesaian sementara suatu sumur baru agar
dapat mengevaluasi kemampuan berproduksi;

64
8 ) jasa reparasi pompa reda (reda repair);

9) jasa pemasangan instalasi dan perawatan;

10) jasa penggantian peralatan/material;

11) jasa mud logging, yaitu memasukkan lumpur ke


dalam sumur;

12) jasa mud engineering;

13) jasa well logging & perforating;

14) jasa stimulasi dan secondary decovery;

15) jasa well testing & wire line service;

16) jasa alat kontrol navigasi lepas pantai yang


berkaitan dengan drilling;

17) jasa pemeliharaan untuk pekerjaan drilling;

18 ) jasa mobilisasi dan demobilisasi anjungan


drilling;

19) jasa lainnya yang sejenisnya di bidang


pengeboran migas.
g Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang
penambangan selain migas :

1) jasa pengeboran;

2) jasa penebasan;

3) jasa pengupasan dan pengeboran;

4) jasa penambangan;

5) jasa pengangkutan/ sistem transportasi, kecuali jasa


angkutan umum;

6) jasa pengolahan bahan galian;

7) jasa reklamasi tambang;

8 ) jasa pelaksanaan mekanikal, elektrikal,


manufaktur, fabrikasi dan
penggalian/pemindahan tanah;

9) jasa lainnya yang sejenis di bidang pertambangan


umum
h Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar

65
udara:

1) bidang aeronautika, termasuk :

a) jasa pendaratan, penempatan, penyimpanan


pesawat udara dan jasa lain sehubungan
dengan pendaratan pesawat udara;

b) jasa penggunaan jembatan pintu (avio


bridge);

c) jasa pelayanan penerbangan;

d) jasa ground handling, yaitu pengurusan


seluruh atau sebagian dari proses
pelayanan penumpang dan bagasinya serta
kargo, yang diangkut dengan pesawat,
udara baik yang berangkat maupun yang
datang, selama pesawat udara di darat;

e) jasa penunjang lain di bidang aeronautika.

2) bidang non-aeronatika, termasuk :

a) jasa catering di pesawat dan jasa


pembersihan pantry pesawat;

b) jasa penunjang lain di bidang non-


aeronautika
i Jasa penebangan hutan;
j Jasa pengolahan limbah;
k Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services);
l Jasa perantara dan/atau keagenan;
m Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga,
kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI dan
KPEI;
n Jasa custodian/penyimpanan/penitipan, kecuai ayng
dilakukan oleh KSEI;
o Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara
p Jasa mixing film;
q Jasa sehubungan dengan software komputer,
termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan;
r Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik,
telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang
dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di
bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau
sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
s Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin,
perawatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV Kable,
alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan selain
yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang
lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin

66
dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
t Jasa maklon; yaitu jasa pemberian jasa dalam rangka
proses penyelesaian suatu barang tertentu yang
proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi
jasa (disubkontrakkan), yang spesifikasi, bahan baku
dan atau barang setengah jadi dan atau bahan
penolong/pembantu yang akan diproses sebagian
atau seluruhnya disediakan oleh pengguna jasa, dan
kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna
jasa
u Jasa penyelidikan dan keamanan;
v Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer;
yaitu kegiatan usaha yang dilakukan oleh pengusaha
jasa penyelenggara kegiatan meliputi antara lain
penyelenggaraan pameran, konvensi, pagelaran
musik, pesta, seminar, peluncuran produk, konferensi
pers, dan kegiatan lain yang memanfaatkan jasa
penyelenggara kegiatan
w Jasa pengepakan;
x Jasa penyediaan tempat dan / atau waktu dalam media
masa, media luar ruang atau media lain untuk
penyampaian informasi;
y Jasa pembasmian hama;
z Jasa kebersihan atau cleaning service;
aa Jasa catering atau tata boga

Keterangan tabel :
1. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus kendaraan
angkutan darat adalah :
a. Sewa kendaraan angkutan umum berupa bus, minibus, taksi yang disewa atau
dicharter untuk jangka waktu tertentu yaitu secara harian, mingguan maupun
bulanan, berdasarkan suatu perjanjian tertulis atau tidak tertulis antara pemilik
kendaraan angkutan umum denganWajib Pajak badan atau Wajib Pajak orang
pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh pasal 23
b. Sewa kendaraan milik perusahaan persewaan mobil, perusahaan bus wisata
yang bukan merupakan kendaraan angkutan umum yang disewa atau di charter
untuk jangka waktu tertentu yaitu secara harian, mingguan maupun bulanan,
berdasarkan suatu perjanjian tertulis atau tidak tertulis kepada Wajib Pajak
badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh
pasal 23
c. Sewa kendaraan berupa milik perusahaan yang disewa atau di charter untuk
jangka waktu tertentu secara harian, mingguan maupun bulanan, berdasarkan
suatu perjanjian tertulis atau tidak tertulis kepada Wajib Pajak badan atau
Wajib Pajak orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh pasal 23.

2. Jasa teknik adalah pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan
dengan pengalaman dibidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang dapat
meliputi :
a. Pelaksanaan suatu proyek
b. Pembuatan suatu jenis produk
c. Jasa teknik dapat pula berupa pemberian informasi yang berkenaan dengan
pengalaman dibidang manajemen

67
3. Jasa manajemen adalah pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam
pelaksanaan manajemen dengan mendapat balas jasa berupa imbalan manajemen
(management fee)
4. Jasa penunjang dibidang penambanagan migas adalah jasa penunjang dibidang
penambangan migas dan panas bumi berupa :
a. jasa penyemenan dasar (primary cementing) yaitu penempatan bubur semen
secara tepat diantara pipa selubung dan pipa sumur
b. jasa penyemenan perbaikan (remedial cementing) yaitu penempelan bubur
semen untuk maksud penyumbatan kembali, perbaikan dan penutupan sumur
c. jasa pengontrolan pasir (sand control) yaitu jasa yang menjamin bahwa
bagian-bagian formasi yang tidak terkonsolidasi tidak akan ikut terproduksi ke
dalam rangkaian pipa produksi dan menghilangkan kemungkinan
tersumbatnya pipa
d. jasa pengasaman (matrix acidizing) yaitu pekerjaan untuk memperbesar daya
tembus formasi dan menaikkan produktivitas dengan jalan menghilangkan
material penyumbat yang tidak diinginkan
e. jasa peretakan hidrolika (hydraulic) yaitu pekerjaan yang dilakukan dalam hal
cara pengasaman tidak cocok, misalnya perawatan pada formasi yang
mempunyai daya tembus sangat kecil
f. jasa nitrogen dan gulungan pipa (nitrogen dan coil tubing) yaitu jasa yang
dikerjakan untuk menghilangkan cairan buatan yang berada dalam sumur baru
yang telah selesai, sehingga aliran yang terjadi sesuai dengan tekanan asli
formasi dan kemudian menjadi besar sebagai akibat dari gas nitrogen yang
telah dipompakan ke dalam cairan buatan dalam sumur
g. jasa uji kandung lapisan (drill stem testing) yaitu penyelesaian sementara suatu
sumur baru agar dapat mengevaluasi kemampuan berproduksi
h. jasa reparasi pompa reda (reda repair)
i. jasa pemasangan instalasi dan perawatan
j. jasa penggantian peralatan/material
k. jasa mud logging, yaitu memasukkan lumpur ke dalam sumr
l. jasa mud engineering
m. jasa well logging dan performing
n. jasa stimulasi dan secondary decovery
o. jasa well testing dan wire line service
p. jasa alat control navigasi lepas pantai yang berkaitan dengan drilling
q. jasa pemeliharaan untuk pekerjaan drilling
r. jasa mobilisasi dan demobilisasi anjungan drilling
s. jasa lainnya yang sejenisnya di bidang pengeboran migas
5. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas adalah
semua jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang pertambangan umum berupa
a. jasa pengeboran
b. jasa penebasan
c. jasa pengupasan dan pengeboran
d. jasa penambangan
e. jasa pengangkutan/sistem trasnportasi, kecuali jasa angkutan umum
f. jasa pengolahan bahan galian
g. jasa reklamasi tambang
h. jasa pelaksanaan mekanikal, elektrikal, manufaktur, fabrikasi dan
penggalian/pemindahan tanah
i. jasa lainnya yang sejenis di bidang pertambangan umum
6. jasa penunjang dibidang penerbangan dan bandar udara
a. bidang aeronautika, termasuk :

68
1. jasa pendaratan, penempatan, penyimpanan pesawat udara dan jasa lain
sehubungan dengan pendaratan pesawat udara
2. jasa penggunaan jembatan pintu (avio bridge)
3. jasa pelayanan penerbangan
4. jasa ground handling yaitu pengurusan seluruh atau sebagian dari proses
pelayanan penumpang dan bagasinya serta kargo, yang diangkut dengan
pesawat udara, baik yang berangkat maupun yang datang, selama pesawat
udara didarat.
5. jasa penunjang lain dibidang aeronautika
b. bidang non-aeronautika, termasuk :
1. jasa katering di pesawat dan jasa pembersihan pantry pesawat
2. jasa penunjang lain dibidang non-aeronautika
7. jasa maklon adalah pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang
tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa
(disubkontrakkan), yang spesifikasi, bahan baku dan atau barang setengah jadi dan
atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya
disediakan oleh pengguna jasa, dan kepemilikan atas barang jadi berada pada
pengguna jasa.
8. jasa penyelenggara kegiatan (event organizer) adalah kegiatan usaha yang dilakukan
oleh pengusaha jasa penyelenggara kegiatan meliputi antara lain penyelenggaraan
pameran, konvensi, pagelaran musik, pesta, seminar, peluncuran produk, konfrensi
pers, dan kegiatan lain yang memanfaatkan jasa penyelenggara kegiatan.

5. Imbalan Bruto
1. Jumlah imbalan bruto khusus untuk jasa konstruksi dan jasa catering adalah
jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya, termasuk atas pemberian jasa dan
pengadaan material/ barangnya
2. Jumlah imbalan bruto untuk jasa lain selain jasa konstruksi dan jasa catering
adalah jumlah imbalan bruto atas pemberian jasanya saja, kecuali dalam
kontrak/perjanjian tidak dipisahkan antara pemberian jasa dengan
material/barangnya
3. Apabila dalam kontrak/ perjanjian tidak terdapat pemisahan nilai jasa dengan
material barang, maka untuk selain jasa konstruksi dan katering, jumlah imbalan
bruto tersebut adalah seluruh nilai kontrak

6. Pengenaan Pajak apabila dalam kontrak/perjanjian terdapat lebih


dari satu jenis jasa
Apabila dalam satu kontrak/perjanjian terdapat lebih dari satu jenis jasa, maka
perkiraan penghasilan neto adalah sesuai dengan kelompok jasa yang mempunyai nilai
transaksi terbesar.

7. Dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23


a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak
opsi;
c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh dan dividen
yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c) UU
PPh;
d. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i UU PPh;
e. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;

69
f. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang
berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang terdiri dari :
1. Perusahaan pembiayaan yang merupakan badan usaha di luar bank dan lembaga
keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang
termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan dan telah memperoleh ijin
usaha dari Menteri Keuangan
2. BUMN atau BUMD yang khusus didirikan untuk memberikan sarana pembiayaan
bagi usaga mikro, menengah dan koperasi, termasuk PT (Persero) Permodalan
Madani

70
Bab 6 PPh FINAL
Pph final hanya dikenal di dalam Pajak Penghasilan, sebab finalisasi yang dimaksud
adalah tidak memperhitungkan kembali obyek pajak yang terkait dengan PPh Final ini dalam
penghitungan pajak pada akhir tahun.
Perlakuan pajak final terhadap suatu jenis pajak ini didasarkan pada prinsip
kesederhanaan yang ingin dicapai oleh sistem perpajakan. Apabila kita cermati lebih lanjut
ciri-ciri dari suatu penghasilan yang dikenakan PPh Final adalah biasanya karena jumlah
transaksi yang banyak, melibatkan phak yang tidak ber-NPWP, penghasilan passive income,
dan sebagainya.
Pengenaan PPh Final pada dasarnya dijelaskan dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 15 dan
Pasal 19 UU PPh. Serta memungkinkan adanya pengenaan PPh Final selain dari yang
dijelaskan dalam pasal tersebut.

KARAKTERISTIK PPh FINAL

Karakteristik dari PPh Final dapat dijelaskan sebagai berikut:


 Penghasilan yang dikenakan PPh Final tidak perlu digabungkan dengan penhsilan lain
(yang non final) dalam penghitungan Pajak Penghasilan pada SPT Tahunan.
 Jumlah PPh Final yang telah dibayar sendiri atau dipotong pihak lain sehubungan dengan
penghasilan tersebut tidak dapat dikreditkan.
 Biaya-biaya yang digunakan untuk menghasilkan, menagih, dan memelihara penghaisln
yang pengenaan PPh-nya bersifat final tidak dapat dikurangkan.
 Pengenaan PPh Final tidak mengenal adanya laba atau rugi dalam suatu transaksi.

1. OBYEK PPh PASAL 4 AYAT (2)


Berikut dibawah ini dijelaskan secara ringkas aspek PPh final sebagaimana dijelaskan
dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh.

1.1. PERSEWAAN TANAH DAN/ATAU BANGUNAN


(PP Nomor 29 tahun 1996 Jo PP Nomor 5 Tahun 2002)
a. PPh yang terutang atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan adalah 10%
dari jumah bruto nilai persewaan, baik yang menyewakan Wajib Pajak Orang Pribadi
maupun Badan.
b. Jumlah bruto nilai persewaan adalah jumlah yang dibayarkan/terutang oleh penyewa
termasuk biaya perawatan, pemeliharaan, keamanan, fasilitas lainnya, dan service charge
(baik perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun disatukan).
c. Service charge adalah balas jasa yang menyebabkan ruangan yang disewa dapat dihuni
sesuai dengan tujuan yang diinginkan penyewa yang terdiri dari biaya listrik, air,
keamanan, kebersihan, dan biaya administrasi.
d. Tata cara pengenaan PPh final tersebut dilakukan melalui pemotongan oleh pihak
pnyewa, kecuali jika penyewa tersebut bukan merupakan subyek pajak atau Wajib Pajak
Orang Pribadi yang tidak ditunjuk oleh Dirjen Pajak (KEP-50/PJ/1996). Dalam hal
demikian, PPh final yang menyewakan tanah dan/atau bangunan.
e. Wajib Pajak yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Final atas penghasilan dari persewaan
tanah dan bangunan adalah:
 Akuntan, arsitek, dokter, notaris, PPAT (kecuali camat PPAT), pengacara dan
konsultan yang melakukan pekerjaan bebas.
 Orang pribadi yang manjalankan usaha yang menyelenggaraakan pembukuan.
f. Kewajiban penyewa sebagai pemotong pajak:

71
 Memotong PPh pada saat pembayaran atau terutangnya sewa dan memberikan bukti
pemotongan kepada pihak yang menyewakan.
 Menyetorkan PPh selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya.
 Melaporkan ke KPP terkait selambat-lambatnya tanggl 20 bulan berikutnya
(menggunakan formulir laporan pemotongan/penyetoran PPh atas persewaan tanah
dan/atau bangunan dengan dilampiri SSP lembar ke-3 dan bukti pemotongan lembar
ke-2).
g. Wajib pajak yang usaha pokoknya persewaan tanah dan/atau bangunan tetap wajib
menyapaikan SPT Tahunan PPh disertai Laporan Keuangan atas seluruh usahanya.

1.2. HADIAH UNDIAN


(PP 132 tahun 2000)
a. Hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun melalui cara undian yang diterima atau
diperoleh orang pribadi/badan dalam negeri dan orang pribadi atau badan luar negeri
dikenakan PPh Final sebesar 25% dari jumlah bruto nilai undian (berupa nilai uang
atau nilai pasar jika berbentuk barang).
b. Penyetoran Ph tersebut oleh penyelenggara undian dengan SSP secara kolekfif selambat-
lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya.
c. Pelaporan ke KPP setempat dengan SPT Masa PPh atas hadiah undian selambat-
lambatnya tanggl 20 bulan berikutnya setelah dibayarkannya atau diserahkannya hadiah
undian tersebut

1.3. PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN


(PP 71 tahun 2008)

a. Wajib Pajak maupun bukan Wajib Pajak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau
bangunan wajib membayar sendiri PPh Final yaitu Pajak Pengalihan Hak atas Tanah dan
Bangunan (PPHTB)
b. PPh Final diatas harus disetor melalui bank persepsi sebelum Akta Pengalihan
ditandatangani.
c. Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam huruf a adalah sebesar 5%
dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, kecuali atas
pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh
Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan dikenai Pajak Penghasilan sebesar 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai
pengalihan.
d. Nilai pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada huruf c adalah nilai yang tertinggi
antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah
dan/atau bangunan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud Undang-Undang Pajak
Bumi dan Bangunan., kecuali dalam hal pengalihan hak kepada Pemerintah adalah nilai
berdasarkan keputusan pejabat yang bersangkutan dan dalam hal pengalihan hak sesuai
dengan peraturan lelang (Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189 dengan segala perubahannya
adalah nilai menurut risalah lelang tersebut
e. Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d adalah Nilai Jual Objek Pajak
menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan tahun yang
bersangkutan atau dalam hal Surat Pemberitahuan Pajak Terutang dimaksud belum terbit,
adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang tahun pajak
sebelumnya.
f. Dikecualikan dan kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan
1. orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak
Kena Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp60.000.000,00 dan bukan
merupakan jumlah yang dipecah-pecah.

72
2. orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Pemerintah
3. orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan
cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat,
badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan
4. badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara
hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan
kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan
5. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.

1.4. BUNGA DEPOSITO/TABUNGAN/DISKONTO SBI


(PP 131 tahun 2000 jo KMK 51/KMK.04/2001)
a. PPh Final dikenakan atas bunga yang berasal dari deposito/tabungan baik yang
ditempatkan pada bank yang didirikan di dalam negeri maupun bank di luar negeri
melalui cabangnya di Indonesia, temasuk jasa giro serta diskonto Sertifikat Bank
Indonesia, kecuali WP Orang Pribadi yang seluruh penghasilannya dalam 1 tahun
pajak termasuk bunga dan diskonto tidak melebihi PTKP.
b. Pengenaan PPh adalah sebagai berikut:
 PPh yang terutang adalah sebesar 20% dari jumlah bruto Wajib Pajak dadalm
negeri dan BUT.
 PPh yang terutang dalah sebesar 20% dari jumlah bruto atau sesuai tarif P3B yang
berlaku terhadap Wajib Pajak luar negeri.
c. Dikecualikan dari pemotongan PPh:
 Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI sepanjang jumlah deposito dan
tabungan serta sertifikat Bank Indonesia tersebut tidak melebihi Rp 7.500.000,00
dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah.
 Bunga diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia
atau cabang bank luar negeri di Indonesia.
 Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima atau diperoleh
Dana Pensiun yang telah disahkan Menteri Keuangan, sepanjang dananya
diperoleh dari sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 UU
Nomor 11 Tahun 1992.
 Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka pemilikan
rumah sederhana dan sangat sederhana, kapling siap bangun untuk rumah serhana
dan sangat sederhana, atau rumah susun sederhana sepanjang untuk dihuni sendiri.

1.5. TRANSAKSI SAHAM DI BURSA EFEK


(PP 41 tahun 1994 jo PP 14 tahun 1997)
a. Atas transaksi saham PPh yang terutang dan harus dipotong oleh penyelenggara bursa
adalah sbesar 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan.
b. Apabila penjualan saham di bursa termasuk penjualan saham-saham pendiri maka dikenai
tambahan pengenaan PPh sebesar 0,5% dari jumlah bruto nilai saham pasar saat
Penawaran Umum Perdana (IPO) oleh Emiten, Penyetoran PPh sebesar 0,5% tersbut
harus dilakukan selambat-lambatnya 1 bulan setelah saham diperdagangkan di bursa.

73
1.6. BUNGA/DISKONTO OBLIGASI YANG DIPERDAGANGKAN DI BURSA
EFEK
(PP 16 tahun 2009)
a. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak berupa keuntungan modal
(capital gain), bunga dan atau diskonto yang berasal dari obligasi yang diperdagangkan di
bursa efek atau yang dilaporkan di bursa efek, dikenakan pemotongan PPh Final.
b. Pengenaan Pemotongan PPh Final adalah sebagai berikut:
 Atas bunga obligasi dengan kupon (interst bearing bond) dihitung dari jumlah bruto
bunga sesuai dengan masa kepemilikan (holding period) obligasi.
 Atas diskonto obligasi dengan kupon dihitung dari selisih lebih harga jual pada saat
transaksi atau nilai nominal pada saat jatuh tempo obligasi di atas harga perolehan
obligasi, tidak termask bunga berjalan (Accrued Interst).
 Atas diskonto obligasi tanpa bunga (zero coupon bond) dihitung dari selisih lebih
harga jual pada saat transaksi atau nilai nominal pada saat jatuh tempo obligasi di atas
harga perolehan obligasi.
c. Tarif PPh atas bunga atau diskonto obligasi adalah:
 15% dari jumlah bruto bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap.
 20% dari jumlah bruto atau tarif berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) yang berlaku bagi Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.
d. Pemotongan PPh final dilakukan oleh:
 Penerbit obligasi (emiten) atau kustodian yang ditunjuk selaku agen pembayaran, atas
bunga yang diterima atau diperoleh pemegang obligasi dengan kupon pada saat jatuh
tempo bunga/obligasi, dan atas diskonto yang diterima atau diperoleh pemegang
obligasi dengan kupon/obligasi tanpa bunga pada saat jatuh tempo obligasi;
 Perusahaan efek (broker) atau bank selaku pedagang perantara (dealer), atas bunga
dan diskonto obligasi yang diterima atau diperoleh penjual obligasi pada saat
transaksi;
 Perusahaan efek (broker), bank, dana pensiun, dan reksadana, selaku pembeli obligasi
langsung tanpa melalui pedagang perantara, atas bunga dan diskonto obligasi yang
diterima atau diperoleh penjual obligasi pada saat transaksi.
e. bunga dan/atau diskonto dari Obligasi yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak
reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
sebesar:
1. 0% (nol persen) untuk tahun 2009 sampai dengan tahun 2010;
2. 5% (lima persen) untuk tahun 2011 sampai dengan tahun 2013; dan
3. 15% (lima belas persen) untuk tahun 2014 dan seterusnya.

1.7. JASA KONSTRUKSI

a. Jasa konstruksi adalah pemberian jasa perencanaan, pelaksanaan, dan jasa pengawasan
yang produk akhirnya berupa bangunan.
b. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Jasa Konstruksi yang
memenuhi kualifikasi berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh Lembaga yang
berwenang.
c. Tarif Pajak Penghasilan untuk usaha Jasa Konstruksi adalah sebagai berikut:
1. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa
yang memiliki kualifikasi usaha kecil;
2. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia
Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;
3. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia jasa
selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;

74
4. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi
yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
5. 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi
yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
d. Pemotong pajak :
• Pengguna jasa yang merupakan pemotong pajak pada saat pembayaran
• Disetor sendiri oleh penyedia jasa apabila pengguna jasa bukan merupakan
pemotong pajak
• Pemotong pajak adalah badan pemerintah, Subjek badan dalam negeri, Bentuk
Usaha Tetap atau Orang Pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh

1.8. Bunga Simpanan Koperasi


(PP 15 tahun 2009)

Atas penghasilan berupa bunga simpanan koperasi yang dibayarkan oleh koperasi
yang didirikan di Indonesia kepada orang pribadi dikenakan Pajak penghasilan yang bersifat
final.
Besarnya Pajak Penghasilan adalah:
a. 0% (nol persen) untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan
Rp240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) per bulan; atau
b. 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bunga
simpanan lebih dari Rp240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) per bulan.
Koperasi yang melakukan pembayaran bunga simpanan kepada anggota koperasi
orang pribadi, wajib memotong Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 pada saat pembayaran

1.9. Transaksi Derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di


bursa
(PP 17 tahun 2009)

Penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh orang pribadi atau badan dari transaksi
derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final. Tarifnya sebesar 2,5% dari margin awal.
Kewajiban Formal :
1. Lembaga kliring dan penjamin wajib memungut Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 pada saat menerima penyetoran margin awal oleh pialang
berjangka atau anggota bursa.
2 Lembaga kliring dan penjamin wajib menyetor seluruh pajak yang dipungut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan.
3 Lembaga kliring dan penjamin wajib menyampaikan laporan pemungutan dan penyetoran
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Kantor
Pelayanan Pajak

1.10. Dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi
dalam negeri
(PP 19 tahun 2009)
Penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri dikenai Pajak Penghasilan sebesar 10% dan bersifat final.
Pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan melalui pemotongan oleh pihak yang
membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen

75
1.11. PPh Final 1% (PP 46 tahun 2013)

PPh Final Berdasarkan PP 46 Tahun 2013


Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh WP yang memiliki peredaran bruto
tertentu dikenai PPh bersifat Final. WP dimaksud memiliki kriteria sebagai berikut:
a. WP Orang Pribadi atau Badan, tidak termasuk BUT; dan
b. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk dari jasa sehubungan dengan
pekerjaa bebas (bagi WP Orang Pribadi), dengan peredaran bruto tidak melebih
4.800.000.000,- dalam 1 (satu) tahun pajak.
Peredaran bruto yang tidak melebihi 4.800.000.000 pada huruf b diatas ditentukan
berdasarkan peredaran bruto dari usaha seluruhnya, termasuk dari usaha cabang, tidak
termasuk peredaran bruto dari:
a. Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas (WP OP)
b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri
c. Usaha yang atas penghsilannya telah dikenai PPh Final
d. Penghasilan yang dikecualikan sebagai Objek Pajak
Tidak termasuk WP Badan (dalam pengenaan PP 46) adalah:
a. WP badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
b. WP Badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara
komersial memperoleh peredaran bruto melebihi 4,8 milyar
PPh terutang dihitung berdasarkan tarif 1% (satu persen) dikalikan dengan Dasar Pengenaan
Pajak (DPP) berupa jumlah peredaran bruto setiap bulan, untuk setiap tempat kegiatan usaha.
Pengenaan PPh berdasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam setahun dari tahun Pajak
sebelumnya.
Contoh:
PT.Jon Bersaudara, diketahui melalui SPT PPh Badan tahun 2012 memiliki peredaran Bruto
sebesar 3.500.000.000. dan pada bulan Juli, Agustus 2013 peredaran bruto sebesar
200.000.000 dan 300.000.000. maka sejak masa Juli 2013 (mulai berlaku ketentuan PP 46)
PT.Jon Bersaudara dikenai PPh Final 1% sebagai berikut:
Masa Juli 2013 : 1% x 200.000.000 = 2.000.000
Masa Agustus 2013 : 1% x 300.000.000 = 3.000.000

76
Bab 7 Lampiran
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER - 31/PJ/2012

TENTANG

PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN


PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26
SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang:

a. bahwa penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak mulai 1 Januari 2013 telah ditetapkan
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian Besarnya
Penghasilan Tidak Kena Pajak;
b. bahwa bagian penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dari pegawai harian dan mingguan serta
pegawai tidak tetap lainnya yang tidak dikenakan pemotongan pajak penghasilan telah ditetapkan
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206/PMK.011/2012 tentang Penetapan Bagian Penghasilan
Sehubungan dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya
yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan;
c. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b, serta untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 24 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan
Orang Pribadi, dan ketentuan Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206/PMK.011/2012 tentang
Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan
serta
Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan, perlu
menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan
Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan
Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran
Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo
Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara
Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan
Pembayaran Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
80/PMK.03/2010;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008 tentang Besarnya Biaya Jabatan atau Biaya
Pensiun yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan
Tidak Kena Pajak;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206/PMK.011/2012 tentang Penetapan Bagian Penghasilan
Sehubungan dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya
yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan:

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN,
PENYETORAN
DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN
DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI.

77
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:


1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun
2008.
2. Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak
orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah pajak atas
penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam
bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh
orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang
Pajak
Penghasilan.
3. Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak
orang pribadi Subjek Pajak luar negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 26, adalah pajak atas
penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam
bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh
orang pribadi Subjek Pajak luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
4. Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak
badan, termasuk bentuk usaha tetap, yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan
pajak
atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
5. Badan adalah badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
6. Penyelenggara kegiatan adalah orang pribadi atau badan sebagai penyelenggara kegiatan yang
melakukan pembayaran imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun kepada orang pribadi
sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan tersebut.
7. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek
Pajak dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk
apapun, sepanjang tidak dikecualikan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dari Pemotong PPh
Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan,
termasuk penerima pensiun.
8. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek
Pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk
apapun, sepanjang tidak dikecualikan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dari Pemotong PPh
Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan,
termasuk penerima pensiun.
9. Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, berdasarkan perjanjian atau
kesepakatan kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan suatu pekerjaan
dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan
periode tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan pemberi kerja,
termasuk orang pribadi yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri.
10. Pegawai Tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu
secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas, serta pegawai yang
bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu yang menerima atau memperoleh
penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur.
11. Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila
pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan
yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.
12. Penerima penghasilan Bukan Pegawai adalah orang pribadi selain Pegawai Tetap dan Pegawai Tidak
Tetap/Tenaga Kerja Lepas yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun
dari
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan jasa yang dilakukan berdasarkan
perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.
13. Peserta kegiatan adalah orang pribadi yang terlibat dalam suatu kegiatan tertentu, termasuk
mengikuti
rapat, sidang, seminar, lokakarya (workshop), pendidikan, pertunjukan, olahraga, atau kegiatan
lainnya dan menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam
kegiatan tersebut.
14. Penerima pensiun adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan
untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang
menerima tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.
15. Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat Teratur adalah penghasilan bagi Pegawai Tetap berupa gaji
atau upah, segala macam tunjangan, dan imbalan dengan nama apapun yang diberikan secara
periodik berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi kerja, termasuk uang lembur.
16. Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat Tidak Teratur adalah penghasilan bagi Pegawai Tetap selain
penghasilan yang bersifat teratur, yang diterima sekali dalam satu tahun atau periode lainnya, antara
lain berupa bonus, Tunjangan Hari Raya (THR), jasa produksi, tantiem, gratifikasi, atau imbalan
sejenis

78
lainnya dengan nama apapun.
17. Upah harian adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau
dibayarkan secara harian.
18. Upah mingguan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau
dibayarkan secara mingguan.
19. Upah satuan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau
dibayarkan berdasarkan jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan.
20. Upah borongan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau
dibayarkan berdasarkan penyelesaian suatu jenis pekerjaan tertentu.
21. Imbalan kepada Bukan Pegawai adalah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
terutang atau diberikan kepada Bukan Pegawai sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan
yang dilakukan, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan penghasilan sejenis lainnya.
22. Imbalan kepada Bukan Pegawai yang Bersifat Berkesinambungan adalah imbalan kepada Bukan
Pegawai yang dibayar atau terutang lebih dari satu kali dalam satu tahun kalender sehubungan
dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan.
23. Imbalan kepada peserta kegiatan adalah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
terutang atau diberikan kepada peserta kegiatan tertentu, antara lain berupa uang saku, uang
representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan, dan penghasilan sejenis lainnya.
24. Masa Pajak terakhir adalah masa Desember atau masa pajak tertentu di mana Pegawai Tetap berhenti
bekerja.

BAB II
PEMOTONG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26

Pasal 2

(1) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, meliputi:


a. pemberi kerja yang terdiri dari:
1) orang pribadi dan badan;
2) cabang, perwakilan, atau unit, dalam hal yang melakukan sebagian atau seluruh
administrasi yang terkait dengan pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan,
dan
pembayaran lain adalah cabang, perwakilan, atau unit tersebut.
b. bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang kas pada
Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga
pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di
luar
negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan
nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan
kegiatan;
c. dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang
membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua;
d. orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang
membayar:
1. honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan
jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri,
termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk
dan
atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya;
2. honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan
jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri;
3. honorarium, komisi, fee, atau imbalan lain kepada peserta pendidikan dan pelatihan,
serta pegawai magang;
e. penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan
internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan
kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun
kepada Wajib Pajak orang pribadi berkenaan dengan suatu kegiatan.
(2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan
pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah:
a. kantor perwakilan negara asing;
b. organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c
Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
c. pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
yang
semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau
pekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
(3) Dalam hal organisasi internasional tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b, organisasi internasional dimaksud merupakan pemberi kerja yang berkewajiban melakukan
pemotongan pajak.

79
BAB III
PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPh PASAL 21
DAN/ATAU PPh PASAL 26

Pasal 3

Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah orang pribadi yang
merupakan:
a. pegawai;
b. penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari
tua, termasuk ahli warisnya;
c. Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa,
meliputi:
1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek,
dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang
iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari,
pemahat,
pelukis, dan seniman lainnya;
3. olahragawan;
4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya,
telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu
kepanitiaan;
7. agen iklan;
8. pengawas atau pengelola proyek;
9. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
10. petugas penjaja barang dagangan;
11. petugas dinas luar asuransi;
12. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya;
d. anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada
perusahaan yang sama;
e. mantan pegawai;
f. peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya
dalam suatu kegiatan, antara lain:
1. peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga, seni,
ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
2. peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
3. peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu;
4. peserta pendidikan dan pelatihan;
5. peserta kegiatan lainnya.

Pasal 4

Tidak termasuk dalam pengertian penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah:
a. pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang
diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan
syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan
lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan
perlakuan timbal balik;
b. pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c
Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat
bukan
warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia.

BAB IV
PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26

Pasal 5

(1) Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah:
a. penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap, baik berupa Penghasilan yang
Bersifat Teratur maupun Tidak Teratur;
b. penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang
pensiun atau penghasilan sejenisnya;
c. penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan
hari tua yang dibayarkan sekaligus, yang pembayarannya melewati jangka waktu 2 (dua)
tahun sejak pegawai berhenti bekerja;
d. penghasilan Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, berupa upah harian, upah
mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan;
e. imbalan kepada Bukan Pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan

80
sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan jasa yang
dilakukan;
f. imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang
rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan
imbalan sejenis dengan nama apapun;
g. penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang diterima atau
diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai
Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama;
h. penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain yang bersifat
tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai; atau
i. penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih
berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan.
(2) Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan
dalam
bentuk apapun yang diberikan oleh:
a. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus
(deemed profit).

Pasal 6

(1) Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang diterima atau diperoleh orang pribadi Subjek
Pajak dalam negeri merupakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21.
(2) Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang diterima atau diperoleh orang pribadi Subjek
Pajak luar negeri merupakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26.

Pasal 7

(1) Dalam hal penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) diterima atau diperoleh dalam
mata uang asing, penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 didasarkan pada nilai tukar
(kurs)
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran penghasilan tersebut
atau
pada saat dibebankan sebagai biaya.
(2) Penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 atas penghasilan berupa penerimaan dalam bentuk
natura dan/atau kenikmatan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) didasarkan pada
harga pasar atas barang yang diberikan atau nilai wajar atas pemberian natura dan/atau kenikmatan
yang diberikan.

Pasal 8

(1) Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah:
a. pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
beasiswa;
b. penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan
oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2);
c. iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan
penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja
yang
dibayar oleh pemberi kerja;
d. zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib
bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak
dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak
yang
bersangkutan;
e. beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf I Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
(2) Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi kerja, termasuk yang ditanggung oleh Pemerintah,
merupakan penerimaan dalam bentuk kenikmatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.

81
BAB V
DASAR PENGENAAN DAN PEMOTONGAN
PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26

Pasal 9

(1) Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:
a. Penghasilan Kena Pajak, yang berlaku bagi:
1. Pegawai Tetap;
2. penerima pensiun berkala;
3. Pegawai Tidak Tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau jumlah
kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi
Rp 2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah);
4. Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang menerima
imbalan
yang bersifat berkesinambungan.
b. Jumlah penghasilan yang melebihi Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) sehari, yang berlaku
bagi Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang menerima upah harian, upah
mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima
dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu
rupiah);
c. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi Bukan Pegawai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang tidak bersifat
berkesinambungan;
d. Jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi penerima penghasilan selain penerima
penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan huruf c.
(2) Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 26 adalah jumlah penghasilan bruto.

Pasal 10

(1) Jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh penerima penghasilan yang dipotong PPh
Pasal
21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah seluruh jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
yang diterima atau diperoleh dalam suatu periode atau pada saat dibayarkan.
(2) Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a adalah sebagai
berikut:
a. bagi Pegawai Tetap dan penerima pensiun berkala, sebesar penghasilan neto dikurangi
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP);
b. bagi Pegawai Tidak Tetap, sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP;
c. bagi Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, sebesar 50% (lima puluh
persen) dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan.
(3) Besarnya penghasilan neto bagi Pegawai Tetap yang dipotong PPh Pasal 21 adalah jumlah seluruh
penghasilan bruto dikurangi dengan:
a. biaya jabatan, sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya
Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan atau Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah)
setahun;
b. iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan
hari
tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan.
(4) Besarnya penghasilan neto bagi penerima pensiun berkala yang dipotong PPh Pasal 21 adalah seluruh
jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun, sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan
bruto, setinggi-tingginya Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) sebulan atau Rp2.400.000,00 (dua
juta
empat ratus ribu rupiah) setahun.
(5) Dalam hal Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c memberikan jasa kepada
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26:
a. mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya maka besarnya jumlah penghasilan bruto
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi
dengan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila
dalam
kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan bagian gaji atau upah dari pegawai yang
dipekerjakan tersebut maka besarnya penghasilan bruto tersebut adalah sebesar jumlah
yang
dibayarkan;
b. melakukan penyerahan material atau barang maka besarnya jumlah penghasilan bruto
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila
dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material atau
barang maka besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk pemberian jasa dan material
atau
barang.
(6) Dalam hal jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan kepada dokter
yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik maka besarnya jumlah penghasilan bruto
adalah

82
sebesar jasa dokter yang dibayar oleh pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik sebelum dipotong
biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik.

Pasal 11

(1) Besarnya PTKP per tahun adalah sebagai berikut:


a. Rp24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang
pribadi;
b. Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang
kawin;
c. Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota
keluarga
sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi
tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
(2) PTKP per bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf c adalah PTKP per tahun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi 12 (dua belas), sebesar:
a. Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp168.750,00 (seratus enam puluh delapan ribu tujuh ratus lima puluh rupiah) tambahan
untuk
Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp168.750,00 (seratus enam puluh delapan ribu tujuh ratus lima puluh rupiah) tambahan
untuk
setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta
anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk
setiap
keluarga.
(3) Besarnya PTKP bagi karyawati berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. bagi karyawati kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri;
b. bagi karyawati tidak kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk
keluarga
yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
(4) Dalam hal karyawati kawin dapat menunjukkan keterangan tertulis dari Pemerintah Daerah setempat
serendah-rendahnya kecamatan yang menyatakan bahwa suaminya tidak menerima atau
memperoleh
penghasilan, besarnya PTKP adalah PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk status kawin dan
PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
(5) Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun kalender.
(6) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), besarnya PTKP untuk pegawai
yang
baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun kalender ditentukan berdasarkan keadaan
pada awal bulan dari bagian tahun kalender yang bersangkutan.

Pasal 12

(1) Atas penghasilan bagi Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang tidak dibayar secara
bulanan
atau jumlah kumulatifnya dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi Rp 2.025.000,00 (dua juta
dua
puluh lima ribu rupiah), berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata
penghasilan sehari belum melebihi Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah);
b. dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata
penghasilan
sehari melebihi Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah), dan jumlah sebesar Rp200.000,00
(dua
ratus ribu rupiah) tersebut merupakan jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto.
(2) Rata-rata penghasilan sehari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rata-rata upah mingguan,
upah satuan, atau upah borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan.
(3) Dalam hal Pegawai Tidak Tetap telah memperoleh penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan
kalender
melebihi Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) maka jumlah yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto adalah sebesar PTKP yang sebenarnya.
(4) PTKP yang sebenarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah sebesar PTKP untuk jumlah hari
kerja yang sebenarnya.
(5) PTKP sehari sebagai dasar untuk menetapkan PTKP yang sebenarnya adalah sebesar PTKP per tahun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) hari.
(6) Dalam hal berdasarkan ketentuan di bidang ketenagakerjaan diatur kewajiban untuk
mengikutsertakan
Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas dalam program jaminan hari tua atau tunjangan hari
tua, maka iuran jaminan hari tua atau iuran tunjangan hari tua yang dibayar sendiri oleh Pegawai
Tidak
Tetap kepada badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja atau badan penyelenggara tunjangan
hari tua, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

83
Pasal 13

(1) Penerima penghasilan Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4
dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP sepanjang yang bersangkutan telah mempunyai Nomor
Pokok Wajib Pajak dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan satu Pemotong
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 serta tidak memperoleh penghasilan lainnya.
(2) Untuk dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penerima
penghasilan Bukan Pegawai harus menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak, dan bagi
wanita kawin harus menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak suami serta fotokopi surat
nikah dan kartu keluarga.

BAB VI
TARIF PEMOTONGAN PAJAK DAN PENERAPANNYA

Pasal 14

(1) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas
Penghasilan Kena Pajak dari:
a. Pegawai Tetap;
b. penerima Pensiun berkala yang dibayarkan secara bulanan;
c. Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang dibayarkan secara bulanan.
(2) Untuk perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap masa pajak, kecuali masa pajak terakhir,
tarif diterapkan atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun, dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. perkiraan atas penghasilan yang bersifat teratur adalah jumlah penghasilan teratur dalam 1
(satu) bulan dikalikan 12 (dua belas);
b. dalam hal terdapat tambahan penghasilan yang bersifat tidak teratur maka perkiraan
penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun adalah sebesar jumlah pada huruf a
ditambah dengan jumlah penghasilan yang bersifat tidak teratur.
(3) Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk setiap masa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) adalah:
a. atas penghasilan yang bersifat teratur adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang atas
jumlah
penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibagi 12 (dua belas);
b. atas penghasilan yang bersifat tidak teratur adalah sebesar selisih antara Pajak Penghasilan
yang terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dengan
Pajak Penghasilan yang terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2)
huruf a.
(4) Dalam hal kewajiban pajak subjektif Pegawai Tetap terhitung sejak awal tahun kalender dan mulai
bekerja setelah bulan Januari, termasuk pegawai yang sebelumnya bekerja pada pemberi kerja lain,
banyaknya bulan yang menjadi faktor pengali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau faktor
pembagi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah jumlah bulan tersisa dalam tahun kalender
sejak yang bersangkutan mulai bekerja.
(5) Besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk masa pajak terakhir adalah selisih antara Pajak
Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan kena pajak selama 1 (satu) tahun pajak atau
bagian tahun pajak dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada masa-masa sebelumnya dalam
tahun pajak yang bersangkutan.
(6) Dalam hal kewajiban pajak subjektif Pegawai Tetap hanya meliputi bagian tahun pajak maka
perhitungan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bagian tahun pajak tersebut dihitung berdasarkan
penghasilan kena pajak yang disetahunkan, sebanding dengan jumlah bulan dalam bagian tahun
pajak
yang bersangkutan.
(7) Dalam hal Pegawai Tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember dan jumlah PPh Pasal 21 yang
telah dipotong dalam tahun kalender yang bersangkutan lebih besar dari PPh Pasal 21 yang terutang
untuk 1 (satu) tahun pajak maka kelebihan PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dikembalikan
kepada Pegawai Tetap yang bersangkutan bersamaan dengan pemberian bukti pemotongan PPh Pasal
21, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah berhenti bekerja.
(8) Jumlah Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-
Undang
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibulatkan ke bawah hingga ribuan penuh.

Pasal 15

(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas berupa
upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian, sepanjang
penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan, tarif lapisan pertama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas:
a. jumlah penghasilan bruto sehari yang melebihi Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah); atau
b. jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP yang sebenarnya, dalam hal jumlah penghasilan
kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh
lima ribu rupiah).

84
(2) Dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp7.000.000,00
(tujuh juta rupiah), PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan.

Pasal 16

(1) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas jumlah
kumulatif dari:
a. Penghasilan Kena Pajak, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto
dikurangi PTKP per bulan, yang diterima atau diperoleh Bukan Pegawai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1);
b. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan
kepada Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang bersifat
berkesinambungan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (1);
c. jumlah penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang
diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak
merangkap
sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama;
d. jumlah penghasilan bruto berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain
yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai; atau
e. jumlah penghasilan bruto berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang
masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan.
(2) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas:
a. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan
kepada Bukan Pegawai yang tidak bersifat berkesinambungan;
b. jumlah penghasilan bruto untuk setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan tidak dipecah,
yang diterima oleh peserta kegiatan.

Pasal 17

Pengenaan PPh Pasal 21 bagi pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia,
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta para pensiunannya atas penghasilan yang menjadi beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, diatur berdasarkan
ketentuan yang ditetapkan khusus mengenai hal dimaksud.

Pasal 18

Pengenaan PPh Pasal 21 bagi pegawai atas uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari tua yang dibayarkan secara sekaligus, diatur berdasarkan ketentuan yang ditetapkan khusus
mengenai hal dimaksud.

Pasal 19

(1) Tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dan bersifat final diterapkan atas penghasilan
bruto
yang diterima atau diperoleh sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh
orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri dengan memperhatikan ketentuan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku antara Republik Indonesia dengan negara domisili Subjek
Pajak luar negeri tersebut.
(2) PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersifat final dalam hal orang pribadi sebagai
Wajib Pajak luar negeri tersebut berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri.

BAB VII
TARIF PEMOTONGAN PPh PASAL 21 BAGI PENERIMA PENGHASILAN YANG TIDAK
MEMPUNYAI NOMOR POKOK WAJIB PAJAK

Pasal 20

(1) Bagi penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak,
dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif
yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2) Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar 120%
(seratus dua puluh persen) dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang
bersangkutan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(3) Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk pemotongan
PPh
Pasal 21 yang bersifat tidak final.
(4) Dalam hal Pegawai Tetap atau penerima pensiun berkala sebagai penerima penghasilan yang telah

85
dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dalam tahun kalender yang
bersangkutan paling lama sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk masa pajak Desember, PPh Pasal
21 yang telah dipotong atas selisih pengenaan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) lebih tinggi
tersebut diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan-bulan selanjutnya setelah
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

BAB VIII
SAAT TERUTANG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26

Pasal 21

(1) PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi Penerima Penghasilan pada saat dilakukan
pembayaran atau pada saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
(2) PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
untuk
setiap masa pajak.
(3) Saat terutang untuk setiap masa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah akhir bulan
dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan.

BAB IX
HAK DAN KEWAJIBAN PEMOTONG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26
SERTA PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PAJAK

Pasal 22

(1) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21
wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(2) Pegawai, penerima pensiun berkala, serta Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf a angka 4 wajib membuat surat pernyataan yang berisi jumlah tanggungan keluarga pada
awal tahun kalender atau pada saat mulai menjadi Subjek Pajak dalam negeri sebagai dasar
penentuan PTKP dan wajib menyerahkannya kepada pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
pada saat mulai bekerja atau mulai pensiun.
(3) Dalam hal terjadi perubahan tanggungan keluarga, maka pegawai, penerima pensiun berkala, dan
Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 wajib membuat surat
pernyataan baru dan menyerahkannya kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 paling
lama sebelum mulai tahun kalender berikutnya.
(4) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib menghitung, memotong, menyetorkan, dan
melaporkan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang untuk setiap bulan kalender.
(5) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib membuat catatan atau kertas kerja perhitungan
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk masing-masing penerima penghasilan, yang menjadi dasar
pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang untuk setiap masa pajak dan wajib
menyimpan catatan atau kertas kerja perhitungan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(6) Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
untuk setiap bulan kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap berlaku, dalam hal jumlah
pajak yang dipotong pada bulan yang bersangkutan nihil.
(7) Dalam hal dalam suatu bulan terjadi kelebihan penyetoran pajak atas PPh Pasal 21 dan/atau PPh
Pasal
26 yang terutang oleh pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, kelebihan penyetoran tersebut
dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang pada bulan
berikutnya
melalui Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26.

Pasal 23

(1) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21
atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap atau penerima pensiun berkala paling lama 1
(satu) bulan setelah tahun kalender berakhir.
(2) Dalam hal Pegawai Tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember, bukti pemotongan PPh Pasal 21
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan paling lama 1 (satu) bulan setelah yang
bersangkutan berhenti bekerja.
(3) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21
atas
pemotongan PPh Pasal 21 selain Pegawai Tetap dan penerima pensiun berkala sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), serta bukti pemotongan PPh Pasal 26 setiap kali melakukan pemotongan PPh Pasal 26.
(4) Dalam hal dalam 1 (satu) bulan kalender, kepada satu penerima penghasilan dilakukan lebih dari 1
(satu) kali pembayaran penghasilan, bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibuat sekali untuk 1 (satu) bulan kalender.
(5) Bentuk formulir pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 ditetapkan dengan Peraturan
Direktur
Jenderal Pajak tersendiri.

86
Pasal 24

(1) PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
untuk setiap Masa Pajak wajib disetor ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan,
paling lama 10 (sepuluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(2) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib melaporkan pemotongan dan penyetoran PPh
Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk setiap Masa Pajak yang dilakukan melalui penyampaian Surat
Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat
Pemotong
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terdaftar, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak
berakhir.
(3) Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) dan batas waktu pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran
dan pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Pasal 25

(1) Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong merupakan kredit pajak bagi penerima penghasilan yang
dikenakan pemotongan untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat
final.
(2) Jumlah pemotongan PPh Pasal 21 atas selisih penerapan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) lebih
tinggi bagi Pegawai Tetap atau penerima pensiun berkala sebelum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
yang telah diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 terutang untuk bulan-bulan selanjutnya pada tahun
kalender berikutnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4) tidak termasuk kredit pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal Wajib Pajak yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak
maka PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi untuk tahun pajak yang bersangkutan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan yang menyatakan jumlah lebih bayar maka penyampaiannya harus
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak berakhirnya tahun pajak yang
bersangkutan.
(5) Dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang menyatakan jumlah lebih bayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan setelah 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya tahun
pajak yang bersangkutan dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis, tidak dianggap sebagai Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Pasal 26

Petunjuk umum dan contoh penghitungan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah
sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 27

Dengan berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan
Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang
Pribadi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009 dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 28

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2013.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Desember 2012
DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd.

A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001

87
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 154/PMK.03/2010

TENTANG

PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 SEHUBUNGAN DENGAN


PEMBAYARAN ATAS PENYERAHAN BARANG DAN KEGIATAN DI BIDANG
IMPOR
ATAU KEGIATAN USAHA DI BIDANG LAIN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 7


Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Menteri Keuangan dapat
menetapkan bendahara pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan
pembayaran atas penyerahan barang;
b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Menteri Keuangan dapat
menetapkan badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang
melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b
serta dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan
Dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau
Kegiatan Usaha di Bidang Lain;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4893);
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik

88
Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
4. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMUNGUTAN PAJAK


PENGHASILAN PASAL 22 SEHUBUNGAN DENGAN PEMBAYARAN ATAS
PENYERAHAN BARANG DAN KEGIATAN DI BIDANG IMPOR ATAU KEGIATAN
USAHA DI BIDANG LAIN.

Pasal 1

Pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 7 Tahun


1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, adalah:

a. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang;
b. bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak
pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah dan
lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas pembelian
barang;
c. bendahara pengeluaran untuk pembayaran yang dilakukan dengan mekanisme uang
persediaan (UP);
d. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar
yang diberi delegasi oleh KPA, untuk pembayaran kepada pihak ketiga yang
dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS);
e. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas,
industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan
Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri;
f. Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan
bakar minyak, gas, dan pelumas;
g. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,
dan perikanan yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas pembelian
bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.

Pasal 2

(1) Besarnya Pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 ditetapkan sebagai berikut:


a. Atas impor:

1. yang menggunakan Angka Pengenal Impor (APl), sebesar 2,5% (dua setengah
persen) dari nilai impor, kecuali atas impor kedelai, gandum dan tepung terigu
sebesar 0,5% (setengah persen) dari nilai impor;
2. yang tidak menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 7,5% (tujuh

89
setengah persen) dari nilai impor; dan/atau
3. yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual
lelang.

b. Atas pembelian barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b, huruf c, dan
huruf d sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian.
c. Atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas oleh produsen atau importir
bahan bakar minyak, gas dan pelumas adalah sebagai berikut:
1. Bahan Bakar Minyak sebesar:

a. 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari penjualan tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada SPBU Pertamina;
b. 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada SPBU bukan Pertamina dan
Non SPBU;

2. Bahan Bakar Gas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai;
3. Pelumas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai.
d. Atas penjualan hasil produksi di dalam negeri oleh badan usaha yang bergerak dalam
bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif:

1. penjualan kertas di dalam negeri sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dari
dasar pengenaan pajak Pajak Pertambahan Nilai;
2. penjualan semua jenis semen di dalam negeri sebesar 0,25% (nol koma dua
puluh lima persen) dari dasar pengenaan pajak Pajak Pertambahan Nilai;
3. penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih di dalam
negeri sebesar 0,45% (nol koma empat puluh lima persen) dari dasar
pengenaan pajak Pajak Pertambahan Nilai ;
4. penjualan baja di dalam negeri sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari dasar
pengenaan pajak Pajak Pertambahan Nilai.

e. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha
industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,
dan perikanan yang ditunjuk sebagai pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 dari
pedagang pengumpul sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari harga
pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Nilai impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 dan angka 2 adalah
nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk yaitu Cost Insurance and
Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan kepabeanan di bidang impor.
(3) Besarnya tarif pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diterapkan
terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100%
(seratus persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat
menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku untuk pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 22 yang bersifat tidak final.

Pasal 3

(1) Dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22:


a. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan

90
perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan;
b. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak
Pertambahan Nilai:

1. barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di


Indonesia berdasarkan asas timbal balik;
2. barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas
di Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia yang diakui dan terdaftar
dalam peraturan menteri keuangan yang mengatur tentang tata cara pemberian
pembebasan bea masuk dan cukai atas impor barang untuk keperluan badan
internasional beserta para pejabatanya yang bertugas di Indonesia;
3. barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial,
kebudayaan atau untuk kepentingan penanggulangan bencana;
4. barang untuk keperluan museum, kebun binatang, konservasi alam dan tempat
lain semacam itu yang terbuka untuk umum;
5. barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
6. barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat
lainnya;
7. peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
8. barang pindahan;
9. barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan
barang kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan kepabeanan;
10. barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang
ditujukan untuk kepentingan umum;
11. persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang
diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
12. barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi
keperluan pertahanan dan keamanan negara;
13. vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional
(PIN);
14. buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama;
15. kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, kapal angkutan
penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal
tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau alat
keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran
Niaga Nasional atau perusahaan penangkapan ikan nasional;
16. pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat
keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang
diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional;
17. kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan
serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT Kereta Api Indonesia;
18. peralatan yang digunakan untuk penyediaan data batas dan foto udara wilayah
Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia;
dan/atau
19. barang untuk kegiatan hulu Minyak dan Gas Bumi yang importasinya
dilakukan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama.

c. Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor
kembali;
d. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor
kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah
diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi

91
syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
e. Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 huruf b, huruf c dan, huruf d , berkenaan dengan:

1. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah)


dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
2. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, pelumas, air
minum/PDAM dan benda-benda pos.

f. Pembayaran untuk pembelian gabah dan/atau beras oleh Perusahaan Umum Badan
Urusan Logistik (BULOG);
g. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas
untuk tujuan ekspor;
h. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS).
(2) Pengecualian dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas barang impor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tetap berlaku dalam hal barang impor
tersebut dikenakan tarif bea masuk sebesar 0%(nol persen).
(3) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf g dinyatakan
dengan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Pasal 22 yang diterbitkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
(4) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf h
dilakukan tanpa Surat Keterangan Bebas (SKB).
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dan ayat (2)
dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang tata caranya diatur oleh
Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan/atau Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 4

(1) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang, terutang dan dilunasi bersamaan dengan
saat pembayaran Bea Masuk.
(2) Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, maka Pajak Penghasilan
Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor
Barang (PIB).
(3) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang oleh pemungut pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 huruf b, huruf c dan, huruf d terutang dan dipungut pada saat
pembayaran.
(4) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi industri semen, industri kertas,
industri baja, dan industri otomotif terutang dan dipungut pada saat penjualan.
(5) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil bahan bakar minyak, gas dan pelumas
terutang dan dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (delivery
order).
(6) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul
terutang dan dipungut pada saat pembelian.

Pasal 5

(1) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang dilaksanakan dengan cara
penyetoran oleh:

a. importir yang bersangkutan; atau

92
b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,

ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan.
(2) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang oleh pemungut pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b, huruf c dan, huruf d, wajib disetor oleh
pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama
rekanan serta ditandatangani oleh pemungut pajak.
(3) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak, gas dan
pelumas, dan penjualan hasil produksi industri semen, industri kertas, industri baja dan
industri otomotif, wajib disetor oleh pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank
devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak.
(4) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan
industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor
kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan wajib disetor oleh pemungut ke kas
negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.

Pasal 6

(1) Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh importir, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
dan pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b, huruf c dan, huruf d,
menggunakan formulir Surat Setoran Pajak yang berlaku sebagai Bukti Pemungutan
Pajak.
(2) Pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e, huruf f, dan huruf g, wajib
menerbitkan Bukti Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dalam rangkap 3 (tiga), yaitu
:

a. lembar kesatu untuk Wajib Pajak (pembeli/pedagang pengumpul);


b. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak
(dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 22); dan
c. lembar ketiga sebagai arsip pemungut pajak yang bersangkutan.

Pasal 7

Pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib melaporkan hasil


pemungutannya dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa ke Kantor Pelayanan
Pajak.

Pasal 8

Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan pelaporan
pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dilakukan
sesuai jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang
mengatur mengenai penentuan tanggal jatuh tempo pembayaran, penyetoran dan pelaporan
pemungutan pajak.

93
Pasal 9

(1) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang, pembelian barang oleh
pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b, huruf c dan, huruf d,
penjualan hasil produksi industri semen, industri kertas, industri baja dan industri
otomotif dan pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor bersifat tidak
final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun
berjalan bagi Wajib Pajak yang dipungut.
(2) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak, gas dan
pelumas kepada:

a. penyalur/agen bersifat final;


b. selain penyalur/agen bersifat tidak final.

Pasal 10

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pemungutan Pajak Penghasilan Pasal
22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor
atau kegiatan usaha di bidang lain diatur dengan Peraturan Direktur JenderalPajak.

Pasal 11

Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 254/KMK.03/2001 tentang Penunjukkan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat
dan Besarnya Pungutan Serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
210/PMK.03/2008, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 12

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri


Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Agustus 2010
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

AGUS D.W. MARTOWARDOJO

94
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 175/PMK.011/2013

TENTANG

PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 154/PMK.03/2010


TENTANG PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 SEHUBUNGAN DENGAN PEMBAYARAN
ATAS PENYERAHAN BARANG DAN KEGIATAN DI BIDANG IMPOR
ATAU KEGIATAN USAHA DI BIDANG LAIN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa ketentuan mengenai pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sehubungan dengan


pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha
di bidang lain telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
154/PMK.03/2010sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.011/2013;
b. bahwa memperhatikan perkembangan kondisi perekonomian khususnya di bidang impor,
perlu mengatur kembali ketentuan mengenai besarnya pemungutan Pajak Penghasilan
Pasal 22 atas impor barang-barang tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.011/2013;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b,
perlu menetapkan
Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan
dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau
Kegiatan Usaha di Bidang Lain;

Mengingat :

1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak


Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan
Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
146/PMK.011/2013;
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 tentang Penetapan Sistem
Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI


KEUANGAN NOMOR 154/PMK.03/2010 TENTANG PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22
SEHUBUNGAN DENGAN PEMBAYARAN ATAS PENYERAHAN BARANG DAN KEGIATAN DI BIDANG
IMPOR ATAU KEGIATAN USAHA DI BIDANG LAIN.

95
Pasal I

Ketentuan ayat (1) huruf a dan ayat (2) Pasal 2 dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan
Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di
Bidang Lain sebagaimana telahbeberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 146/PMK.011/2013, diubah sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2

(1) Besarnya pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 ditetapkan sebagai berikut:


a. Atas impor:

1. barang-barang tertentu sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan


bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, sebesar 7,5% (tujuh setengah
persen) dari nilai impor;
2. selain barang-barang tertentu sebagaimana dimaksud pada angka 1, yang
menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 2,5% (dua setengah persen)
dari nilai impor, kecuali atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu sebesar
0,5% (setengah persen) dari nilai impor;

3. selain barang-barang tertentu sebagaimana dimaksud pada angka 1, yang tidak


menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 7,5% (tujuh setengah
persen) dari nilai impor; dan/atau
4. yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.

b. Atas pembelian barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b, huruf c,
huruf d, dan pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e, sebesar 1,5% (satu setengah
persen) dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
c. Atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh produsen atau
importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
1. bahan bakar minyak sebesar:

a. 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari penjualan tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada stasiun pengisian bahan
bakar umum Pertamina;
b. 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar
umum bukan Pertamina;
c. 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada pihak selain sebagaimana
dimaksud pada huruf a) dan huruf b);

2. bahan bakar gas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai;
3 pelumas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai.

d. Atas penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam negeri oleh badan usaha yang
bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri
otomotif, dan industri farmasi:

96
1. penjualan semua jenis semen sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen);
2. penjualan kertas sebesar 0,1% (nol koma satu persen);
3. penjualan baja sebesar 0,3% (nol koma tiga persen);
4. penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih sebesar 0,45%
(nol koma empat puluh lima persen);
5. penjualan semua jenis obat sebesar 0,3% (nol koma tiga persen), dari dasar
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

e. Atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh Agen Tunggal Pemegang
Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor
sebesar 0,45% (nol koma empat puluh lima persen) dari dasar pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai.
f. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha
industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan, sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari
harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.

(2) Nilai impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3
adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk yaitu Cost Insurance
and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan kepabeanan di bidang impor.
(3) Besarnya tarif pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diterapkan terhadap
Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100% (seratus
persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan
Nomor Pokok Wajib Pajak.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku untuk pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 22 yang bersifat tidak final.

Pasal II

Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Desember 2013
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK
INDONESIA,

ttd.
MUHAMAD CHATIB BASRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Desember 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK
ASASI MANUSIA REPUBLIK
INDONESIA,

ttd.
AMIR SYAMSUDIN

97
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 80 TAHUN 2010


TENTANG

TARIF PEMOTONGAN DAN PENGENAAN


PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN
YANG MENJADI BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
ATAU ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 36


Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,
perlu mengatur kembali tarif pemotongan dan pengenaan
Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri
Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota
Kepolisian Negara. Republik Indonesia, dan
Pensiunannya atas penghasilan yang menjadi beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994 tentang Pajak
Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil,
Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Para
Pensiunan atas Penghasilan yang Dibebankan kepada
Keuangan Negara atau Keuangan Daerah;

98
b. bahwa berdasarkan perti mbangan sebagai mana
dimaksud dalam huruf a dan sesuai dengan ketentuan
Pasal 21 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak
Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi
Behan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan. Belanja Daerah;

Mengingat 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak


Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TARIF PEMOTONGAN


DAN PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS
PENG H AS ILA N YANG M ENJA D I BEBA N A NG GA RA N
PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA ATAU ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH.
PRES1DEN

REPUBLIK INDONESIA
-100-

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:

1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-


Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

2. Pajak Penghasila n Pasal 21 adalah pajak atas


penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau
kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-
Undang Pajak Penghasilan.

3. Pejabat Negara adalah Pejabat Negara sebagaimana


dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok
Kepegawaian.

4. Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya disingkat PNS,


adalah PNS sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.

5. Anggota Tentara Nasional Indonesia, yang selanjutnya


disebut Anggota TNI adalah anggota TNI sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok
Kepegawaian.

6. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang


selanjutnya disebut anggota POLRI adalah anggota POLRI
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-
Pokok Kepegawaian.
7. Pensiunan adalah orang pribadi yang menerima atau
memperoleh imbalan atas pekerjaan yang dilakukan di
masa lalu sebagai Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau
Anggota POLRI, termasuk janda atau duda dan/atau
anak-anaknya.
8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang
selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat.

9. Anggaran. Pendapatan dan Belanja Daerah, yang


selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 2

(1) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas


penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi
beban APBN atau APBD ditanggung oleh Pemerintah atas
beban APBN atau APBD.

(2) Penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi


beban APBN atau APBD sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi penghasilan tetap dan teratur bagi:

a. Pejabat Negara, untuk:


1) gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan
teratur setiap bulan; atau
2) imbalan tetap sejenisnya
yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b. PNS, Anggota TN', dan Anggota POLRI, untuk gaji
dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur
setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
c. Pensiunan, untuk uang pensiun dan tunjangan lain
yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang
ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
PRESIDEN
REPLIEILM INDONESIA

5-

( 3 ) Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan merterapkan
tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak
Penghasilan atas jumlah penghasilan bruto setelah
dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun,
iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak.

Pasal 3

(1) Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota


POLRI, dan Pensiunannya tidak memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak, atas penghasilan tetap dan teratur setiap
bulan yang dibebankan pada APBN atau APBD dikenai
tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20%
(dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan
terhadap Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota
POLRI, dan Pensiunannya yang memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak.

(2) Tambahan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar 20% (dua


puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipotong dari penghasilan yang diterima Pejabat Negara,
PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya.

(3) Pemotongan atas tambahan Pajak Penghasilan Pasal 21


sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada
saat penghasilan tetap dan teratur setiap bulan
dibayarkan.

Pasal 4

(1) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas


penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) berupa honorarium atau imbalan
lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN
atau APBD, dipotong oleh bendahara pemerintah yang
membayarkan honorarium atau imbalan lain tersebut.
(2) Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bersifat final dengan tarif:
d. sebesar 0% (nol persen) dari jumlah bruto
honorarium atau imbalan lain bagi PNS Golongan I
dan Golongan II, Anggota TNI dan Anggota POLRI
Golongan Pangkat Tamtama dan Bintara, dan
Pensiunannya;
e. sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto
honorarium atau imbalan lain bagi PNS Golongan
III, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan
Pangkat Perwira Pertama, dan Pensiunannya;
f. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto
honorarium atau imbalan lain bagi Pejabat Negara,
PNS Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota POLRI
Golongan Pangkat Perwira Menengah dan Perwira
Tinggi, dan Pensiunannya.

Pasal 5

Dalam hal PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan


Pensiunannya diangkat sebagai pimpinan dan/atau anggota
pada lembaga yang tidak termasuk sebagai Pejabat Negara,
atas penghasilan yang menjadi beban APBN atau APBD terkait
dengan kedudukannya sebagai pimpinan dan/atau anggota
pada lembaga tersebut dikenai pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 21 sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan
dan tidak ditanggung oleh Pemerintah.

Pasal 6

(1) Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota


POLRI, dan Pensiunannya, menerima atau memperoleh
penghasilan lain yang tidak dikenai Pajak Penghasilan
bersifat final di luar penghasilan tetap dan teratur yang
menjadi beban APBN atau APBD, penghasilan lain
tersebut digunggungkan dengan penghasilan tetap dan
teratur setiap bulan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi
yang bersangkutan.
(2) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung oleh
Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
( 1 ) d a n t a m b a h a n P a j a k P e n gh a s i l an P a s a l 2 1
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dapat
dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas
seluruh penghasilan yang telah dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 7

Ketentuan mengenai tata cara pemotongan Pajak Penghasilan


Pasa1 21 bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota
POLRI, dan Pensiunannya atas penghasilan yang menjadi
beban APBN atau APBD diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.

Pasal 8

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan


Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan
bagi Peja bat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan
Bersenjat.a Republik Indonesia, dan Para Pensiunan atas
Penghasilan yang Dibebankan kepada Keuangan Negara atau
Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1994 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3577), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.

Pasal 9

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal


1 Januari 2011.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indo)

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2010

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2010

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,
ttd.

PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NO MOR 140

Salinen sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Kepala Bi turan Perundang-undangan
main dan Industri,

Terhadap .
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 80 TAHUN 2010
TENTANG
TARIF PEMOTONGAN DAN PENGENAAN
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN
YANG MENJADI BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

ATAU ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

I. UMUM

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang


Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan terdapat perubahan materi sehingga perlu dilakukan
penyesuaian ketentuan mengenai tarif pemotongan dan pengenaan pajak
penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota
Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,
dan Pensiunannya atas penghasilan yang menjadi beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah yang sebelturnya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri
Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Para
Pensiunan atas Penghasilan yang Dibebankan kepada Keuangan Negara
atau Keuangan Daerah.

Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (5) Undang-Undang Nomor 36 Tahun


2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif pemotongan atas penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan deng an nama dan
dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan lain
yang berbeda dengan tarif pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat
(1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Terhadap .
Terhadap penghasilan berupa gaji dan tunjangan lain atau uang pensiun
dan tunjangan lain yang bersifat tetap dan teratur setiap bulan yang
dibebankan dalam APBN atau APBD yang besarnya ditetapkan oleh
ketentuan peraturan perudang-undangan, yang diterima oleh Pejabat
Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya, Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang terutang ditanggung oleh pemerintah.

Sedangkan atas penghasilan selain gaji dan tunjangan lain atau uang
pensiun dan tunjangan lain yang bersifat tetap dan teratur setiap bulan
atau imbalan tetap sejenisnya berupa honorarium atau imbalan lain
dengan nama apapun yang menjadi beban APBN atau APBD, dikenai
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.
Pengenaan tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final kepada
golongan kepangkatan tertentu bagi PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI dan
Pensiunannya merupakan insentif.

Pengenaan pajak yang bersifat final dimaksudkan untuk memberikan


kemudahan dan kesederhanaan administrasi bagi fiskus, bendahara
pemerintah sebagai pemotong pajak dan Wajib Pajak orang pribadi yang
dipotong pajak.

Dalam rangka melaksanakan kewajiban untuk memiliki Nomor Pokok


Wajib Pajak maka bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI,
dan Pensiunannya yang tidak memiliki NPWP, atas penghasilan berupa gaji
dan tunjangan lain atau uang pensiun dan tunjangan lain yang bersifat
tetap dan teratur setiap bulan atau imbalan tetap sejenisnya dikenai
pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif 20% lebih tinggi yang dipotong dari
penghasilan yang diterima setiap bulan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Penghasilan yang diberikan dalam mata uang asing yang
ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan termasuk dalam pengertian penghasilan tetap dan
teratur setiap bulan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-3-

Apabila PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya


merangkap juga sebagai Pejabat Negara, maka penghasilan yang
diterima baik berupa gaji atau uang pensiun dan tunjangan lain
sebagai PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya,
maupun penghasilan berupa gaji kehormatan dan tunjangan
Iainnya atau imbalan tetap sejenisnya selaku Pejabat Negara,
pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang juga ditanggung oleh
pemerintah selaku pemberi kerja.

Ayat (2)
Huruf a
Termasuk dalam pengertian "gaji dan tunjangan lain"
adalah gaji dan tunjangan ke-13.
Huruf b
Lihat penjelasan huruf a.
Huruf c
Termasuk dalam pengertian "uang pensiun dan tunjangan
lain" adalah uang pensiun dan tunjangan ke-13.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 3
Ayat (1)
Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak dibuktikan oleh Pejabat
Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya
antara lain dengan menunjukkan kartu Nomor Pokok Wajib
Pajak.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "bendahara pemerintah" adalah
bendahara pengeluaran pada kementerian/lembaga, pemerintah
provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-4-

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Penghasilan Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan
Pensiunannya yang menerima penghasilan lain yang tidak dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final (misalnya penghasilan
berupa laba usaha, royalti, atau keuntungan penjualan aktiva)
digabung dengan penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dalam
perhitungan Pajak Penghasilan yang terutang yang dilaporkan
dalam Surat P e m b e r i t a h u a n T a h u n a n W a j i b P a j a k o r a n g
p r i b a d i y a n g bersangkutan.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBAR
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 262/PMK.03/2010 TANGGAL 31 DESEMBER 2010
TENTANG
TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA,
PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI, DAN PENSIUNANNYA ATAS PENGHASILAN YANG
MENJADI BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA ATAU ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN,

Menimbang :
bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 7 PERATURAN PEMERINTAH nomor 80
TAHUN 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas
Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata
Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI,
Anggota POLRI, dan Pensiunannya atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. PERATURAN PEMERINTAH nomor 80 TAHUN 2010 tentang Tarif Pemotongan dan
Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5174);
4. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK
PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI,
DAN PENSIUNANNYA ATAS PENGHASILAN YANG MENJADI BEBAN ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA ATAU ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA
DAERAH.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
2. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21 adalah pajak atas
penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan
dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3. Pejabat Negara adalah Pejabat Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Pokok-Pokok Kepegawaian.
4. Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya disingkat PNS, adalah PNS sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.
5. Anggota Tentara Nasional Indonesia, yang selanjutnya disebut Anggota TNI adalah
anggota TNI sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok
Kepegawaian.
6. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut Anggota
POLRI adalah anggota POLRI sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-
Pokok Kepegawaian.
7. Pensiunan adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan atas
pekerjaan yang dilakukan di masa lalu sebagai Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau
Anggota POLRI, termasuk janda atau duda dan/atau anak-anaknya.
8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disingkat APBN adalah
rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat.
9. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang selanjutnya disingkat APBD adalah
rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.

BAB II
PENGHASILAN YANG DIKENAI PPh PASAL 21

Pasal 2
(1) PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang
menjadi beban APBN atau APBD ditanggung oleh Pemerintah atas beban APBN atau
APBD.
(2) Penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penghasilan tetap dan teratur bagi:
a. Pejabat Negara, untuk:
1) gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan; atau
2) imbalan tetap sejenisnya,
yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. PNS, Anggota TN!, dan Anggota POLRI, untuk gaji dan tunjangan lain yang
sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
c. Pensiunan, untuk uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan
teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Termasuk dalam pengertian gaji, uang pensiun, dan tunjangan lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah gaji, uang pensiun, dan tunjangan ke-13 (ketiga belas).

Pasal 3
Atas penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) berupa
honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun yang menjadi beban APBN atau APBD,
dipotong PPh Pasal 21 dan bersifat final, tidak termasuk biaya perjalanan dinas.

Pasal 4
Dalam hal penghasilan tetap dan teratur setiap bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) dan honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 diterima dalam mata uang asing, penghitungan PPh Pasal 21 didasarkan pada nilai tukar
(kurs) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran penghasilan
tersebut.

BAB III
DASAR PENGENAAN PPh PASAL 21

Pasal 5
(1) Dasar pengenaan PPh Pasal 21 atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah Penghasilan Kena Pajak.
(2) Besarnya Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan
berdasarkan penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak.
(3) Besarnya Penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bagi Pejabat Negara,
PNS, Anggota TNI, atau Anggota POLRI ditentukan berdasarkan jumlah seluruh
penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dikurangi dengan:
a. biaya jabatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang
mengatur tentang biaya jabatan; dan
b. iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota
TNI, atau Anggota POLRI kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua
atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
(4) Besarnya penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bagi pensiunan
ditentukan berdasarkan seluruh penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dikurangi
dengan biaya pensiun sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang
mengatur tentang biaya pensiun.

Pasal 6
Dasar pengenaan PPh Pasal 21 atas honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah penghasilan bruto.

Pasal 7
(1) Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun adalah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan atau Peraturan Menteri
Keuangan mengenai penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(2) Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak bagi wanita berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. bagi wanita kawin, sebesar Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk dirinya sendiri;
b. bagi wanita tidak kawin, sebesar Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk dirinya
sendiri ditambah Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk keluarga sedarah dan
keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi
tanggungan sepenuhnya paling banyak 3 (tiga) orang.
(3) Dalam hal wanita kawin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat menunjukan
keterangan tertulis dari pemerintah daerah setempat serendah-rendahnya kecamatan
yang menyatakan suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya
Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk dirinya
sendiri ditambah Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk status kawin dan Penghasilan
Tidak Kena Pajak untuk keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan
lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3 (tiga)
orang.
(4) Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak ditentukan berdasarkan keadaan pada awal
tahun kalender.

BAB IV
TARIF PEMOTONGAN PAJAK DAN PENERAPANNYA

Pasal 8
(1) Tarif pajak berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan
diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
(2) Jumlah Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibulatkan ke bawah hingga ribuan rupiah penuh.
(3) Untuk perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap Masa Pajak, selain Masa
Pajak Desember atau Masa Pajak terakhir, tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diterapkan atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun,
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun adalah jumlah
gaji, uang pensiun, dan tunjangan yang dibayarkan setiap bulan dikalikan 12
(dua belas);
b. dalam hal terdapat pembayaran penghasilan seperti gaji, uang pensiun, dan
tunjangan ke-13 (ketiga belas), serta rapel gaji dan/atau tunjangan maka
perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun adalah
sebesar jumlah pada huruf a ditambah dengan jumlah gaji, uang pensiun, dan
tunjangan ke-13 (ketiga belas) serta rapel gaji dan/atau tunjangan.
(4) Masa Pajak terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah Masa Pajak tertentu
dimana Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau Anggota POLRI terakhir bekerja.
(5) Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk setiap Masa Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) adalah:
a. atas penghasilan seperti gaji, uang pensiun, dan tunjangan yang dibayarkan
setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang atas jumlah
penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dibagi 12 (dua belas);
b. atas penghasilan seperti gaji, uang pensiun, dan tunjangan ke-13 (ketiga belas)
serta rapel gaji dan/atau tunjangan adalah sebesar selisih antara Pajak
Penghasilan yang terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf b dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas jumlah
penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a.
(6) Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau Anggota POLRI mulai bekerja
sebagai Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau Anggota POLRI setelah bulan Januari,
banyaknya bulan yang menjadi faktor pengali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau
faktor pembagi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) adalah jumlah bulan tersisa dalam
tahun kalender sejak yang bersangkutan mulai bekerja atau mulai pensiun.
(7) Besarnya PPh Pasal 21 yang dipotong untuk Masa Pajak Desember adalah selisih
antara Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh Penghasilan Kena Pajak selama 1
(satu) tahun takwim dengan akumulasi PPh Pasal 21 yang terutang pada Masa Pajak-
Masa Pajak sebelumnya dalam tahun takwim yang bersangkutan.
(8) Besarnya PPh Pasal 21 yang dipotong untuk Masa Pajak terakhir adalah selisih antara
Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh Penghasilan Kena Pajak yang
disetahunkan dengan akumulasi PPh Pasal 21 yang terutang pada Masa Pajak-Masa
Pajak sebelumnya dalam tahun takwim yang bersangkutan.
(9) Tidak termasuk dalam akumulasi PPh Pasal 21 yang terutang sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) dan ayat (8) adalah tambahan PPh Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20% (dua
puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).
(10) Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau Anggota POLRI menerima tambahan
penghasilan yang bersifat tetap dan teratur setiap bulan yang pembayarannya terpisah
dari pembayaran gaji, maka penghitungan PPh Pasal 21 atas tambahan penghasilan
tersebut harus memperhitungkan jumlah seluruh penghasilan tetap dan teratur setiap
bulan yang diterima oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau Anggota POLRI yang
bersangkutan.

Pasal 9
Tarif PPh Pasal 21 atas honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun yang menjadi
beban APBN atau APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, adalah sebagai berikut:
a. sebesar 0% (nol persen) dari penghasilan bruto bagi PNS Golongan I dan Golongan II,
Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Tamtama dan Bintara, dan
Pensiunannya;
b. sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto bagi PNS Golongan III, Anggota TNI
dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Pertama, dan Pensiunannya;
c. sebesar 15% (lima belas persen) dari penghasilan bruto bagi Pejabat Negara, PNS
Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Menengah
dan Perwira Tinggi, dan Pensiunannya.

Pasal 10
(1) Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya tidak
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang
menjadi beban APBN atau APBD dikenai tarif PPh Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20%
(dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Pejabat Negara, PNS,
Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya yang memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak.
(2) Tambahan PPh Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20% (dua puluh persen) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menjadi beban Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota
POLRI, dan Pensiunannya dan dipotong dari penghasilan yang diterima Pejabat Negara,
PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya.
(3) Pengenaan tambahan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
oleh bendahara pemerintah dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota
POLRI, dan Pensiunannya belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak pada saat
permintaan pembayaran penghasilan tetap dan teratur setiap bulan diajukan.
(4) Pemotongan atas tambahan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan oleh bendahara pemerintah pada saat pembayaran penghasilan tetap dan
teratur yang diterima setiap bulan.
(5) Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak dibuktikan oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota
TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya dengan memberikan fotokopi kartu Nomor
Pokok Wajib Pajak kepada bendahara pemerintah.
(6) Bagi wanita kawin yang tidak memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri, kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) dibuktikan dengan memberikan:
a. fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak suami serta fotokopi surat nikah; atau
b. fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak diri sendiri dengan kode keluarga dari
Nomor Pokok Wajib Pajak suami,
kepada bendahara pemerintah.

BAB V
KEWAJIBAN PEMOTONGAN PAJAK

Pasal 11
(1) Bendahara pemerintah yang melakukan pemotongan PPh Pasal 21 adalah bendahara
pengeluaran pada kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, atau pemerintah
kabupaten/kota.
(2) Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan perpajakan; dan
b. menghitung, memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh Pasal 21 yang
terutang untuk setiap Masa Pajak.
(3) Kewajiban menghitung, memotong, dan melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) tetap dilakukan terhadap penghasilan yang dikenai tarif PPh Pasal 21 sebesar 0%
(nol persen).
(4) Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 untuk
setiap Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap berlaku, dalam hal jumlah
pajak yang dipotong pada Masa Pajak yang bersangkutan nihil.

Pasal 12
(1) Pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 21 bagi Pensiunan dilakukan oleh badan yang
ditunjuk sesuai peraturan perundang-undangan untuk melakukan pembayaran
penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) berlaku bagi badan yang
ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 13
(1) Dalam hal dalam suatu Masa Pajak terjadi kelebihan perhitungan atas PPh Pasal 21
yang Ditanggung Pemerintah, kelebihan PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh pemerintah
tersebut diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh pemerintah pada
bulan berikutnya melalui Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21.
(2) Dalam hal dalam suatu Masa Pajak terjadi kesalahan pemotongan atas PPh Pasal 21
yang bersifat Final dari penghasilan berupa honorarium atau imbalan lain sehingga
terdapat kelebihan penyetoran PPh Pasal 21 yang bersifat final, kelebihan penyetoran
PPh Pasal 21 yang bersifat final tersebut dikembalikan sesuai tata cara pengembalian
kelebihan pembayaran pajak sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri
Keuangan yang mengatur mengenai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran
pajak yang seharusnya tidak terutang.

Pasal 14
(1) Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21
yang Ditanggung Pemerintah kepada Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota
POLRI, dan Pensiunannya paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun kalender berakhir.
(2) Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI dan Anggota POLRI berhenti bekerja
sebelum berakhirnya tahun kalender, bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus diberikan paling lama 1 (satu) bulan setelah yang
bersangkutan berhenti bekerja.
(3) Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21
yang bersifat final atas penghasilan berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama
apapun paling lama pada akhir bulan dilakukannya pembayaran penghasilan tersebut.

Pasal 15
(1) PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 dan badan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, wajib disetor
ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk Menteri Keuangan, dalam jangka waktu sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, wajib melaporkan pemotongan dan penyetoran
PPh Pasal 21 untuk setiap Masa Pajak yang dilakukan melalui penyampaian Surat
Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Bendahara
pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 terdaftar, dalam jangka waktu sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN PENERIMA PENGHASILAN

Pasal 16
(1) Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunan wajib membuat
surat pernyataan yang berisi jumlah tanggungan keluarga pada:
a. awal tahun kalender;
b. saat mulai menjadi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI dan Anggota POLRI;
c. saat mulai pensiun,
sebagai dasar penentuan Penghasilan Tidak Kena Pajak dan wajib menyerahkannya
kepada bendahara pemerintah.
(2) Apabila Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau Anggota POLRI berhenti bekerja,
pindah, atau pensiun pada bagian tahun kalender, maka Bendahara pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 tempat bekerja yang lama wajib menyampaikan Bukti
Pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) kepada Bendahara
pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12:
a. tempat bekerja yang baru dalam hal yang bersangkutan pindah kerja;
b. yang membayar uang pensiun dalam hal yang bersangkutan mulai pensiun;
paling lama 1 (satu) bulan setelah Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau Anggota
POLRI berhenti bekerja, pindah, atau pensiun.

Pasal 17
PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dan PPh Pasal 21 yang dipotong dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1) dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh
penghasilan yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib
Pajak orang pribadi.

Pasal 18
Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya, menerima
atau memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan bersifat final, di luar
penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD, penghasilan
lain tersebut digunggungkan dengan penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang bersangkutan.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Tata cara penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan honorarium atau imbalan lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 yang diterima oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan
Pensiunannya sesuai petunjuk umum dan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri Keuangan ini.
Pasal 20
Dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, atas permintaan pembayaran penghasilan
tetap dan teratur untuk bulan Januari 2011 yang telah dilakukan pemrosesan pada bulan
Desember 2010, pengenaan PPh Pasal 21 dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 45 TAHUN 1994 tentang Pajak Penghasilan Bagi
Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan
Para Pensiunan Atas Penghasilan yang Dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan
Daerah beserta peraturan pelaksanaanya.
Pasal 21
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor
636/KMK.04/1994 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri
Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan para Pensiunan atas Penghasilan
yang Dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 22
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2011.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangannya Peraturan Menteri
Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 31 Desember 2010

MENTERI KEUANGAN
ttd
AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2010

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,


ttd
PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 601


LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
262/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA
PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL
21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA
TNI, ANGGOTA POLRI DAN PENSIUNANNYA
ATAS PENGHASILAN YANG MENJADI BEBAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA
NEGARA ATAU ANGGARAN PENDAPATAN
DAN BELANJA DAERAH

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

PETUNJUK UMUM DAN CONTOH PENGHITUNGAN


PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI
PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI, DAN PENSIUNANNYA
ATAS PENGHASILAN YANG MENJADI BEBAN APBN ATAU APBD

BAGIAN PERTAMA : PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21


I. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 UNTUK PENGHASILAN TETAP
DAN TERATUR SETIAP BULAN
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dibedakan
menjadi 2 (dua), yaitu:
A. Penghitungan masa atau bulanan yang menjadi dasar pemotongan PPh Pasal
21 yang terutang untuk setiap Masa Pajak, yang dilaporkan dalam SPT Masa
PPh Pasal 21, selain Masa Pajak Desember atau Masa Pajak terakhir;
B. Penghitungan kembali sebagai dasar pengisian 1721 A2 dan pemotongan PPh
Pasal 21 yang terutang untuk Masa Pajak Desember atau Masa Pajak terakhir.
Penghitungan pada Masa Pajak Desember dilakukan bagi Pejabat Negara, PNS,
Anggota TNI, atau Anggota POLRI yang bekerja sampai akhir tahun takwim dan
bagi Pensiunan yang menerima penghasilan pensiun sampai akhir tahun takwim.
Penghitungan pada Masa Pajak terakhir dilakukan bagi Pejabat Negara, PNS,
Anggota TNI, atau Anggota POLRI yang berhenti bekerja atau memasuki masa
pensiun.
I.A. Penghitungan Masa atau Bulanan Selain Masa Pajak Desember atau
Masa Pajak Terakhir:
I.A.1 Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota
TNI, dan Anggota POLRI
a. untuk menghitung PPh Pasal 21 atas penghasilan tetap
dan teratur setiap bulan, terlebih dahulu dihitung seluruh
penghasilan bruto yang diterima selama sebulan, yang
meliputi seluruh gaji dan tunjangan;
b. selanjutnya dihitung jumlah penghasilan neto sebulan
yang diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan
bruto sebulan dengan biaya jabatan dan iuran pensiun;
c. selanjutnya dihitung penghasilan neto setahun, yaitu
jumlah penghasilan neto sebulan dikalikan 12 (dua
belas);
d. dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau
Anggota POLRI mulai bekerja setelah bulan Januari,
maka penghasilan neto setahun dihitung dengan
mengalikan penghasilan neto sebulan dengan
banyaknya bulan sejak Pejabat Negara, PNS, Anggota
TNI, atau Anggota POLRI mulai bekerja sampai dengan
bulan Desember;
e. selanjutnya dihitung Penghasilan Kena Pajak yaitu
sebesar Penghasilan neto setahun sebagaimana
dimaksud pada hurut c atau hurut d, dikurangi dengan
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP);
f. PPh Pasal 21 terutang atas perkiraan penghasilan
setahun dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 UU
PPh terhadap Penghasilan Kena Pajak;
g. selanjutnya dihitung PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh
Pemerintah sebulan, yaitu:
1) jumlah PPh Pasal 21 terutang atas penghasilan
sebagaimana dimaksud pada huruf c dibagi
dengan 12 (dua belas);
2) jumlah PPh Pasal 21 terutang atas penghasilan
sebagaimana dimaksud pada huruf d dibagi
banyaknya bulan yang menjadi faktor pengali
sebagaimana dimaksud pada huruf d.
I.A.2 Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Pensiunan
a. Penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan tetap dan
teratur setiap bulan yang diterima penerima pensiun
pada tahun pertama pensiun adalah sebagai berikut:
1) terlebih dahulu dihitung penghasilan neto
sebulan yang diperoleh dengan cara
mengurangi penghasilan bruto dengan biaya
pensiun, kemudian dikalikan banyaknya bulan
sejak pegawai yang bersangkutan menerima
pensiun sampai dengan bulan Desember;
2) selanjutnya penghasilan neto pensiun
sebagaimana tersebut pada angka 1) ditambah
dengan penghasilan neto dalam tahun yang
bersangkutan yang diterima sebelum Pejabat
Negara, PNS, Anggota TNI, atau Anggota
POLRI pensiun sesuai dengan yang tercantum
dalam bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebelum
pensiun;
3) untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak,
jumlah penghasilan pada angka 2) tersebut
dikurangi dengan PTKP, dan selanjutnya
dihitung PPh Pasal 21 dengan menerapkan tarif
Pasal 17 UU PPh terhadap Penghasilan Kena
Pajak tersebut;
4) PPh Pasal 21 atas uang pensiun dalam tahun
yang bersangkutan dihitung dengan cara
mengurangi PPh Pasal 21 dalam angka 3)
dengan PPh Pasal 21 yang terutang dari
Bendahara sebelum Pejabat Negara, PNS,
Anggota TNI, atau Anggota POLRI pensiun
sesuai dengan yang tercantum dalam bukti
pemotongan PPh Pasal 21 sebelum pensiun;
5) PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh Pemerintah
sebulan adalah sebesar PPh Pasal 21 seperti
tersebut dalam angka 4) dibagi dengan
banyaknya bulan sebagaimana dimaksud dalam
angka 1).
b. Penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan tetap dan
teratur setiap bulan yang diterima penerima pensiun
pada tahun kedua dan seterusnya adalah sebagai
berikut:
1) terlebih dahulu dihitung penghasilan neto
sebulan yang diperoleh dengan cara
mengurangi penghasilan bruto dengan biaya
pensiun;
2) selanjutnya dihitung perkiraan penghasilan neto
setahun, yaitu jumlah penghasilan neto sebulan
dikalikan 12 (dua belas);
3) untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak,
jumlah penghasilan pada angka 2) tersebut
dikurangi dengan PTKP, dan selanjutnya
dihitung PPh Pasal 21 dengan menerapkan tarif
Pasal 17 UU PPh terhadap Penghasilan Kena
Pajak tersebut;
4) selanjutnya dihitung PPh Pasal 21 sebulan,
yang ditanggung oleh Pemerintah, yaitu sebesar
jumlah PPh Pasal 21 setahun atas penghasilan
sebagaimana dimaksud pada angka 3) dibagi
dengan 12 (dua belas);
I.A.3 Penghitungan PPh Pasal 21 atas Gaji, Uang Pensiun, dan
Tunjangan Ke-13 (Ketiga belas) atau Rapel Gaji dan/atau
Tunjangan
a. Apabila kepada Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI,
Anggota POLRI dan Pensiunan diberikan Gaji, Uang
Pensiun, dan Tunjangan ke-13 (ketiga belas) atau rapel
gaji dan/atau tunjangan, maka PPh Pasal 21 dihitung
dengan cara sebagai berikut:
1) dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan tetap
dan teratur setiap bulan yang disetahunkan
ditambah dengan penghasilan berupa gaji uang
pensiun dan tunjangan ke-13 (ketiga belas).
2) dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan tetap
dan teratur setiap bulan yang disetahunkan
tanpa gaji dan tunjangan ke-13 (ketiga belas)
atau uang pensiun dan tunjangan ke-13 (ketiga
belas).
3) selisih antara PPh Pasal 21 menurut
penghitungan angka 1) dan angka 2) adalah
PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa gaji dan
tunjangan ke-13 (ketiga belas) atau uang
pensiun dan tunjangan ke-13 (ketiga belas).
b. Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota
POLRI dan Pensiunan baru mulai bekerja/Pensiun
setelah bulan Januari, maka PPh Pasal 21 atas Gaji dan
Tunjangan ke-13 (ketiga belas) atau Uang Pensiun dan
Tunjangan ke-13 (Ketiga Belas) tersebut dihitung
dengan cara sebagaimana pada huruf a dengan
memperhatikan ketentuan mengenai Penghitungan PPh
Pasal 21 Bulanan atas penghasilan tetap dan teratur
setiap bulan pada butir I.A.1 huruf b angka 2), 4) dan 5)
di atas.
c. Apabila kepada Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI,
Anggota POLRI dan Pensiunan dibayar (rapel gaji),
maka PPh Pasal 21 dihitung dan dipotong dengan cara
sebagaimana dimaksud pada huruf a.
I.A.4 Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota
TNI, dan Anggota POLRI yang menerima tambahan penghasilan
yang bersifat tetap dan teratur setiap bulan yang
pembayarannya terpisah dari pembayaran gaji.
Dalam hal terdapat tambahan penghasilan yang bersifat tetap
dan teratur setiap bulan yang pembayarannya terpisah dari
pembayaran gaji kepada seorang Pejabat Negara, PNS,
Anggota TNI, atau Anggota POLRI, baik karena ditugaskan pada
Satuan Kerja lain atau adanya tambahan tunjangan tertentu,
maka PPh Pasal 21 dihitung dengan cara sebagai berikut:
a. Bendahara yang membayarkan gaji pokok melakukan
perhitungan PPh Pasal 21 sesuai dengan petunjuk
sebagaimana dimaksud dalam butir I.A.1 dan/atau I.A.3.
b. Bendahara yang membayarkan tambahan penghasilan
tetap dan teratur setiap bulan melakukan perhitungan
PPh Pasal 21 sebagai berikut:
1) dihitung PPh Pasal 21 atas keseluruhan
penghasilan tetap dan teratur yang diterima
setiap bulan yang disetahunkan, baik atas gaji
sebagaimana dimaksud pada huruf a maupun
atas tambahan penghasilan.
2) PPh Pasal 21 yang terutang atas tambahan
penghasilan yang bersifat tetap dan teratur
setiap bulan adalah sebesar selisih antara PPh
Pasal 21 yang dihitung sebagaimana dimaksud
pada butir 1) dengan PPh Pasal 21 yang
dihitung sebagaimana dimaksud pada huruf a.
I.B. Penghitungan PPh Pasal 21 Terutang Pada Masa Pajak Desember
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang pada Masa Pajak Desember
adalah sebagai berikut:
a. Dihitung PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan tetap
dan teratur setiap bulan yang diterima dalam tahun kalender
yang bersangkutan.
b. PPh Pasal 21 terutang untuk Masa Pajak Desember adalah
sebesar selisih antara PPh Pasal 21 terutang atas seluruh
penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang diterima dalam
tahun kalender yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, dengan PPh Pasal 21 yang telah dihitung tiap
Masa Pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan sampai
dengan Masa Pajak November.
c. apabila dalam PPh Pasal 21 yang telah dihitung tiap Masa Pajak
dalam tahun kalender yang bersangkutan sampai dengan Masa
Pajak November terdapat tambahan PPh Pasal 21 sebesar 20%
lebih tinggi daripada tarif PPh umum karena belum memiliki
NPWP maka besarnya PPh Pasal 21 yang telah dihitung tiap
Masa Pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan sampai
dengan Masa Pajak November sebagaimana dimaksud pada
huruf b tidak termasuk tambahan PPh Pasal 21 sebesar 20%
tersebut.
I.C. Penghitungan PPh Pasal 21 Terutang Pada Masa Pajak Terakhir
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang pada Masa Pajak terakhir adalah
sebagai berikut:
a. Dihitung PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan tetap
dan teratur setiap bulan yang diterima dalam tahun kalender
yang bersangkutan yang disetahunkan.
b. PPh Pasal 21 terutang untuk Masa Pajak terakhir adalah
sebesar selisih antara PPh Pasal 21 terutang atas seluruh
penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang diterima dalam
tahun kalender yang bersangkutan yang disetahunkan,
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dengan PPh Pasal 21
yang telah dihitung tiap Masa Pajak dalam tahun kalender yang
bersangkutan sampai dengan bulan sebelumnya.
II. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 SELAIN PENGHASILAN PADA
BUTIR I BERUPA HONORARIUM ATAU IMBALAN LAIN DENGAN NAMA APAPUN
a. PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif PPh Final atas jumlah
penghasilan bruto untuk setiap kali pembayaran.
b. Tarif PPh Final diterapkan dengan memperhatikan golongan dari PNS dan
golongan pangkat bagi Anggota TNI dan Anggota POLRI.
c. Dalam hal jumlah penghasilan bruto atas honorarium atau imbalan lain
sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak dapat dipisahkan dari jumlah
pembayaran lainnya sehubungan dengan pembayaran yang bersifat lump sum
maka besarnya penghasilan bruto yang menjadi dasar penerapan tarif PPh Final
adalah sebesar jumlah seluruh pembayaran lump sum tersebut.
BAGIAN KEDUA : CONTOH PENGHITUNGAN PPh PASAL 21
I. CONTOH PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 UNTUK PENGHASILAN TETAP DAN
TERATUR SETIAP BULAN
I.A. Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI,
dan Anggota POLRI, Selain Masa Pajak Desember dan Masa Pajak Terakhir:
I.A.1 Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota
TNI, dan Anggota POLRI yang Bekerja dari Januari sampai dengan
Desember.
Aprinta, Pegawai Negeri Sipil Golongan III/c, menduduki eselon IV.a
status kawin, mempunyai 3 orang tanggungan, telah memiliki NPWP,
bekerja di Kantor Pelayanan Pemerintahan A (KPP A), menerima
penghasilan tetap dan teratur setiap bulan sebagai berikut:
Gaji Pokok Rp 2.244.500,00
Tunjangan Istri Rp 224.450,00
Tunjangan Anak Rp 89.780,00
Tunjangan Jabatan Rp 540.000,00
Tunjangan Beras Rp 198.000,00
Pembulatan Rp 43,00 +
-------------------------
Jumlah penghasilan bruto Rp 3.296.773,00

Penghitungan PPh Pasal 21 bulanan untuk bulan Januari s.d November:


Gaji Pokok Rp 2.244.500,00
Tunjangan Istri Rp 224.450,00
Tunjangan Anak Rp 89.780,00
Tunjangan Jabatan Rp 540.000,00
Tunjangan Beras Rp 198.000,00
Pembulatan Rp 43,00 +
-----------------------
Jumlah penghasilan bruto Rp 3.296.773,00
Pengurangan:
1. Biaya Jabatan
5% X Rp 3.296.773,00 = Rp 164.839,00
2. Iuran pensiun
4,75% X Rp 2.558.730,00 = Rp 121.540,00 +
----------------------
Rp 286.379,00 -
---------------------
Penghasilan neto Rp 3.010.394,00
Penghasilan neto disetahunkan:
12 x Rp 3.010.394,00 Rp 36.124.728,00
PTKP (K/3)
- untuk Wajib Pajak Rp 15.840.000,00
- status WP Kawin Rp 1.320.000,00
- tambahan 3 orang tanggungan
(3 x Rp1.320.000,00) Rp 3.960.000,00 +
------------------------
Rp 21.120.000,00 -
------------------------
Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp 15.004.728,00
Pembulatan Rp 15.004.000,00

PPh Pasal 21 atas gaji setahun


5% x Rp 15.004.000,00 = Rp 750.200,00
PPh Pasal 21 atas gaji sebulan
Rp 750.200,00 : 12 = Rp 62.516,00
Catatan:
1. PPh Pasal 21 yang terutang setiap bulan sebesar
Rp62.516,00 Ditanggung Pemerintah.
2. Apabila Aprinta belum memiliki NPWP maka besarnya
PPh Pasal 21 yang terutang setiap bulan adalah:
120% x Rp62.516,00 = Rp75.019,00
Atas tambahan PPh 21 terutang yaitu sebesar Rp12.503
(Rp75.019,00-Rp62.516,00) tidak Ditanggung
Pemerintah sehingga Bendahara Pemerintah wajib
memotong dari gaji dan tunjangan Aprinta dan
menyetorkannya ke Kas Negara.
I.A.2 Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS,
Anggota TNI, dan Anggota POLRI yang mulai bekerja dalam
tahun berjalan
Hapid Abdul Goffar merupakan pejabat negara pada sebuah
lembaga negara yang baru diangkat pada bulan Juli 2010, telah
menikah dengan 4 orang tanggungan anak dan telah memiliki
NPWP. Penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan
statusnya sebagai pejabat negara:
Gaji Kehormatan Rp 10.000.000,00
Tunjangan Istri Rp 1.000.000,00
Tunjangan Anak Rp 400.000,00
Tunjangan Jabatan Rp 10.000.000,00

Perhitungan PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Juli sampai


dengan Masa Pajak November 2010 dihitung sebagai berikut:
Gaji Kehormatan Rp 10.000.000,00
Tunjangan Istri Rp 1.000.000,00
Tunjangan Anak Rp 400.000,00
Tunjangan Jabatan Rp 10.000.000,00 +
-------------------------
Jumlah penghasilan bruto Rp 21.400.000,00
Pengurangan:
1. Biaya Jabatan
5% X Rp 21.400.000,00 atau maksimum
Rp500.000 per bulan = Rp 500.000,00
2. Iuran pensiun
4,75% X Rp11.400.000,00 = Rp 541.500,00 +
----------------------
Rp1.041.500,00 -
------------------------
Penghasilan neto Rp 20.358.500,00
Penghasilan neto setahun:
6 x Rp 20.358.500,00 Rp122.151.000,00
PTKP (K/3)
- untuk Wajib Pajak Rp 15.840.000,00
- status WP Kawin Rp 1.320.000,00
- tambahan 3 orang tanggungan
(3 x Rp1.320.000,00) Rp 3.960.000,00
---------------------- +
Rp 21.120.000,00 -
-------------------------
Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp 101.031.000,00
PPh Pasal 21 atas gaji setahun
5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 51.031.000,00 = Rp 7.654.650,00
-----------------------
Rp 10.154.650,00
PPh Pasal 21 atas gaji sebulan
Rp 10.154.650,00 : 6 = Rp 1.692.442,00
I.A.3 Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 atas Gaji dan Tunjangan
Ke-13 atau Uang Pensiun dan Tunjangan Ke-13
Apabila Aprinta sebagaimana contoh I.A.1 pada bulan Juli 2010
menerima gaji dan tunjangan ke-13, maka perhitungan PPh
Pasal 21 atas gaji dan tunjangan ke-13 adalah sebagai berikut:
Gaji dan tunjangan bulan Juli 2010:
Gaji Pokok Rp 2.244.500,00
Tunjangan lstri Rp 224.450,00
Tunjangan Anak Rp 89.780,00
Tunjangan Jabatan Rp 540.000,00
Tujangan beras Rp 198.000,00
Pembulatan Rp 43,00 +
------------------------
Jumlah Gaji dan tunjangan Juli 2010 Rp 3.296.773,00

Penghasilan disetahunkan:
12 x Rp 3.296.773,00 Rp 39.561.276,00
Gaji dan tunjangan Ke-13:
Gaji Pokok Rp 2.244.500,00
Tunjangan Istri Rp 224.450,00
Tunjangan Anak Rp 89.780,00
Tunjangan Jabatan Rp 540.000,00
Pembulatan Rp 40,00 +
------------------------
Jumlah Gaji dan tunjangan Ke-13 Rp 3.098.770,00
----------------------
Jumlah Penghasilan bruto setahun Rp 42.660.046,00

Pengurangan
Biaya Jabatan
5% X Rp 42.660.046,00 = Rp 2.133.002,00
Iuran pensiun
12 x 4,75% X Rp 2.558.730,00 = Rp 1.458.476,00 +
----------------------
Rp 3.591.478,00 -
-----------------------
Penghasilan neto setahun Rp 39.068.568,00
PTKP (K/3)
untuk Wajib Pajak Rp 15.840.000,00
status WP Kawin Rp 1.320.000,00
tambahan 3 orang tanggungan
(3 x Rp1.320.000,00) Rp 3.960.000,00 +
-------------------------
Rp 21.120.000,00 -
------------------------
Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp 17.948.568,00
Pembulatan Rp 17.948.000,00

PPh Pasal 21 setahun atas seluruh penghasilan:


5% x Rp 17.948.000,00 = Rp 897.400,00
PPh Pasal 21 atas gaji dan tunjangan ke-13:
Rp 897.400,00 – Rp 750.200,00 = Rp 147.200,00
Catatan:
1. PPh Pasal 21 yang terutang atas gaji dan tunjangan ke-
13 sebesar Rp147.200,00 Ditanggung Pemerintah.
2. Apabila Aprinta belum memiliki NPWP maka besarnya
PPh yang terutang atas gaji dan tunjangan ke-13
adalah:
120% x Rp147.200,00 = Rp176.640,00
Atas tambahan PPh 21 terutang yaitu sebesar
Rp29.440,00 (Rp176.640,00-Rp147.200,00) tidak
Ditanggung Pemerintah sehingga Bendahara
Pemerintah wajib memotong dari gaji dan tunjangan
Aprinta dan menyetorkannya ke Kas Negara.
3. Apabila terdapat pembayaran rapel atas kenaikan gaji
atau pembayaran atas kekurangan gaji dan tunjangan
maka tata cara perhitungan atas rapel tersebut
disamakan dengan perhitungan PPh Pasal 21 atas gaji
dan tunjangan ke-13.
I.A.4 Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota
TNI, dan Anggota POLRI yang menerima tambahan penghasilan
yang bersifat tetap dan teratur setiap bulan yang
pembayarannya terpisah dari pembayaran gaji.
Apabila Aprinta sebagaimana contoh I.A.1, ditugaskan pada
Kantor Inspeksi Pemerintahan B (KIP B) sehingga tunjangan
jabatan tidak lagi dibayarkan oleh KPP A dan di KIP B
dibayarkan tunjangan jabatan sebesar Rp540.000,00 per bulan
oleh Bendahara Pengeluaran KIP B, maka perhitungan PPh
Pasal 21 di KPP A dan KIP B adalah:
PPh Pasal 21 di KPP A:
Gaji Pokok Rp 2.244.500,00
Tunjangan Istri Rp 224.450,00
Tunjangan Anak Rp 89.780,00
Tunjangan Beras Rp 198.000,00
Pembulatan Rp 43,00 +
------------------------
Jumlah penghasilan bruto Rp 2.756.773,00
Pengurangan:
1. Biaya Jabatan
5% X Rp 2.756.773,00 = Rp 137.839,00
2. Iuran pensiun
4,75% X Rp 2.558.730,00 = Rp 121.540,00 +
---------------------
Rp 259.379,00 -
---------------------
Penghasilan neto Rp 2.497.394,00
Penghasilan neto disetahunkan:
12 x Rp 2.497.394,00 Rp 29.968.728,00
PTKP (K/3)
- untuk Wajib Pajak Rp 15.840.000,00
- status WP Kawin Rp 1.320.000,00
- tambahan 3 orang tanggungan
(3 x Rp1.320.000,00) Rp 3.960.000,00 +
-------------------------
Rp 21.120.000,00 -
------------------------
Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp 8.848.728,00
Pembulatan Rp 8.848.000,00
PPh Pasal 21 setahun
5% x Rp 8.848.000,00 = Rp 442.400,00
PPh Pasal 21 atas gaji sebulan
Rp 442.400,00 : 12 = Rp 36.866,00
PPh Pasal 21 di KIP B:
Penghasilan dari KPP A:
Gaji Pokok Rp 2.244.500,00
Tunjangan Istri Rp 224.450,00
Tunjangan Anak Rp 89.780,00
Tunjangan Beras Rp 198.000,00
Pembulatan Rp 43,00 +
------------------------
Jumlah penghasilan Rp 2.756.773,00
Penghasilan dari KIP B
Tunjangan Jabatan Rp 540.000,00 +
-----------------------
Jumlah Penghasilan Rp 3.296.773,00
Pengurangan:
1. Biaya Jabatan
5% X Rp 3.296.773,00 = Rp 164.839,00
2. Iuran pensiun
4,75% X Rp 2.558.730,00= Rp 121.540,00+
-----------------------
Rp 286.379,00 -
-----------------------
Penghasilan neto Rp 3.010.394,00
Penghasilan neto disetahunkan:
12 x Rp 3.010.394,00 Rp 36.124.728,00
PTKP (K/3)
- untuk Wajib Pajak Rp 15.840.000,00
- status WP Kawin Rp 1.320.000,00
tambahan 3 orang tanggungan
(3 x Rp1.320.000,00) Rp 3.960.000,00 +
-------------------------
Rp 21.120.000,00 -
Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp 15.004.728,00
Pembulatan Rp 15.004.000,00
PPh Pasal 21 atas gaji dan tunjangan setahun
5% x Rp 15.004.000,00 Rp 750.200,00
PPh Pasal 21 setahun yang terutang di
KPP A Rp 442.400,00 -
------------------------
PPh Pasal 21 terutang di KIP B setahun Rp 307.800,00
PPh Pasal 21 terutang di KIP B sebulan:
Rp307.800 : 12 = Rp25.650

Catatan:
1. PPh Pasal 21 per bulan yang terutang atas gaji dan
tunjangan di KPP A adalah sebesar Rp36.866,00
2. PPh Pasal 21 per bulan yang terutang atas tunjangan
jabatan yang dibayarkan di KIP B adalah sebesar
Rp25.650,00
3. Contoh perhitungan I.A.4 ini juga diberlakukan apabila
pembayaran tunjangan tambahan yang bersifat tetap
dan teratur setiap bulan dan pembayaran gaji dilakukan
oleh bendahara yang sama tetapi pengajuan
pembayarannya terpisah.
I.B. Penghitungan PPh Pasal 21 Terutang Pada Masa Pajak Desember
Penghitungan PPh Pasal 21 Masa Desember untuk Aprinta
sebagaimana contoh I.A.1, yang menerima gaji dan tunjangan ke-13
pada bulan Juli sebagaimana contoh I.A.3, adalah sebagai berikut:
Penghasilan dari Januari sampai dengan Desember:
Gaji Pokok Rp 26.934.000,00
Tunjangan Istri Rp 2.693.400,00
Tunjangan Anak Rp 1.077.360,00
Tunjangan Jabatan Rp 6.480.000,00
Tunjangan Beras Rp 2.376.000,00
Pembulatan Rp 516,00
Gaji dan tunjangan ke-13 Rp 3.098.770,00 +
-------------------------
Jumlah penghasilan bruto setahun Rp 42.660.046,00
Pengurangan:
Biaya Jabatan
5% X Rp 42.660.046,00 = Rp2.133.002,00
Iuran pensiun
12 x 4,75% X Rp 2.558.730,00 = Rp1.458.476,00 +
--------------------
Rp 3.591.478,00 -
-----------------------
Penghasilan neto setahun Rp 39.068.568,00
PTKP (K/3)
- untuk Wajib Pajak Rp 15.840.000,00
- status WP Kawin Rp 1.320.000,00
tambahan 3 orang tanggungan
(3 x Rp1.320.000,00) Rp 3.960.000,00 +
-----------------------
Rp 21.120.000,00
----------------------
Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp 17.948.568,00
Pembulatan Rp 17.948.000,00
PPh Pasal 21 terutang setahun (Januari s.d. Desember):
5% x Rp17.948.000,00 = Rp 897.400,00
PPh Pasal 21 atas gaji dan tunjangan terutang
Januari s.d. November :
11 x Rp 62.516,00 = Rp 687.676,00
PPh Pasal 21 atas gaji dan tunjangan ke-13:
Rp 147.200,00+
-------------------------
Jumlah PPh Pasal 21 terutang Januari s.d. November
Rp 834.876,00
PPh Pasal 21 terutang Masa Desember:
Rp 897.400,00 - Rp 834.876,00 = Rp 62.524
Catatan:
1. Apabila PPh Pasal 21 yang terutang untuk Masa Januari s.d.
November terdapat tambahan PPh Pasal 21 sebesar 20%
karena belum memiliki NPWP, maka tambahan PPh Pasal 21
tersebut tidak boleh menjadi pengurang atas PPh Pasal 21 yang
terutang pada bulan Desember.
2. Bendahara pengeluaran harus membuat Bukti Pemotongan PPh
Pasal 21 (1721-A2) untuk setiap tahun Pajak paling lama akhir
bulan Januari Tahun berikutnya.
I.C. Penghitungan PPh Pasal 21 Terutang Pada Masa PajakTerakhir
Apabila Aprinta sebagaimana contoh I.A.1, akan memasuki usia
pensiun pada bulan Juni, maka perhitungan PPh Pasal 21 pada bulan
Mei adalah sebagai berikut:
Penghasilan dari bulan Januari sampai dengan bulan Mei:
Gaji Pokok Rp 11.222.500,00
Tunjangan Istri Rp 1.122.250,00
Tunjangan Anak Rp 448.900,00
Tunjangan Jabatan Rp 2.700.000,00
Tunjangan Beras Rp 990.000,00
Pembulatan Rp 215,00 +
-------------------------
Jumlah penghasilan bruto Rp 16.483.865,00
Pengurangan:
1. Biaya Jabatan
5% X Rp 16.483.865,00 = Rp 824.193,00
2. Iuran pensiun
4,75% X Rp 12.793.650,00 = Rp 607.698,00 +
----------------------
Rp1.431.891,00 -
-------------------------
Penghasilan neto Rp 15.051.974,00
Penghasilan neto disetahunkan:
12/5 x Rp 15.051.974,00 Rp 36.124.737,00
PTKP (K/3)
- untuk Wajib Pajak Rp 15.840.000,00
- status WP Kawin Rp 1.320.000,00
- tambahan 3 orang tanggungan
(3 x Rp1.320.000,00) Rp 3.960.000,00 +
Rp 21.120.000,00 -
------------------------
Penghasilan Kena Pajak (PKP) disetahunkan Rp 15.004.737,00
Pembulatan Rp 15.004.000,00
PPh Pasal 21 disetahunkan
5% x Rp 15.004.000,00 = Rp 750.200,00

PPh Pasal 21 terutang:


Rp 750.200,00 x 5/12 = Rp 312.583,00
PPh Pasal 21 terutang Masa Pajak Mei = PPh Pasal 21 terutang
- jumlah PPh Pasal 21 yang terutang Masa Pajak Januari sampai
dengan Masa Pajak April
= Rp 312. 583,00 - (Rp 62.516,00 x 4)
= Rp 62.519,00
Catatan:
a. Bendahara harus menerbitkan bukti pemotongan PPh Pasal 21
(1721-A2) paling lama akhir bulan Juni.
b. Aprinta harus menyerahkan bukti pemotongan PPh Pasal 21
(1721-A2) kepada PT Taspen untuk diperhitungkan dalam
penentuan PPh Pasal 21 atas Uang Pensiun.
I.D. Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Pensiunan yang menerima
uang pensiun mulai Masa Pajak Januari
Raisita Agus seorang Pensiunan PNS status menikah dengan
tanggungan 1 orang anak, telah memiliki NPWP. Setiap bulan Toto
Subroto menerima Uang Pensiun sebesar Rp 2.500.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:
Uang Pensiun Rp 2.500.000,00
Pengurangan:
Biaya Pensiun 5% X Rp 2.500.000,00 Rp 125.000,00
---------------------
Penghasilan neto Rp 2.375.000,00
Penghasilan Neto Setahun:
12 x Rp 2.375.000,00 Rp 28.500.000,00
PTKP (K/1)
- untuk Wajib Pajak Rp 15.840.000,00
- status WP Kawin Rp 1.320.000,00
- tambahan 1 orang tanggungan
(1 x Rp 1.320.000,00) Rp 1.320.000,00 +
-------------------------
Rp 18.480.000,00 -
------------------------
Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp 10.020.000,00
PPh Pasal 21
5% x Rp 10.020.000,00 = Rp 501.000,00
PPh Pasal 21 atas Uang Pensiun sebulan
Rp 501.000,00 : 12 = Rp 41.750,00

I.E. Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Pensiunan yang


menerima uang pensiun dalam tahun berjalan
Aprinta sebagaimana contoh I.C, yang memasuki usia pensiun
pada bulan Juni, mulai bulan Juni menerima Uang Pensiun sebesar Rp
2.500.000,00. Perhitungan PPh Pasal 21 atas Uang Pensiun tersebut
adalah sebagai berikut:
Uang Pensiun Rp 2.500.000,00
Pengurangan:
Biaya Pensiun
5% X Rp 2.500.000,00 = Rp 125.000,00 -
------------------------
Penghasilan neto Rp 2.375.000,00
Perkiraan Penghasilan neto 7 bulan Rp 16.625.000,00
Penghasilan neto sebelumnya (1721-A2) Rp 15.051.973,00 +
-------------------------
Jumlah Penghasilan neto Rp 31.676.973,00
PTKP (K/3)
- untuk Wajib Pajak Rp 15.840.000,00
- status WP Kawin Rp 1.320.000,00
- tambahan 3 orang tanggungan
(3 x Rp1.320.000,00) Rp 3.960.000,00 +
--------------------------
Rp 21.120.000,00 -
------------------------
Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp 10.556.973,00
Pembulatan Rp 10.556.000,00
PPh Pasal 21
5% x Rp 10.556.000,00 = Rp 527.800,00
PPh Pasal 21 terutang sebelumnya (1721-A2) Rp 312.583,00 -
-----------------------
PPh Pasal 21 terutang atas Uang Pensiun Rp 215.217,00
PPh Pasal 21 terutang atas Uang Pensiun setiap bulan adalah:
Rp 215.217,00 : 7 = Rp 30.745,00

II. CONTOH PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 UNTUK HONORARIUM ATAU


IMBALAN LAIN
II.A. Fitria Ratna Wardika adalah PNS golongan III/d, pada bulan
Maret 2011 menerima honorarium sebagai nara sumber sebuah seminar
yang sumber dananya berasal dari APBN sebesar Rp 5.000.000,00.
PPh Pasal 21 Final yang terutang:
5% x Rp 5.000.000,00 = Rp 250.000
Catatan:
a. PPh Pasal 21 atas honorarium sebagai nara sumber
sebagaimana dimaksud pada butir II.A tidak ditanggung
pemerintah dan dipotong PPh Pasal 21 bersifat final.
b. Bendahara pemerintah yang membayarkan honorarium wajib:
1) memotong PPh Pasal 21 Final dan menyetorkannya ke
bank persepsi atau Kantor Pos;
2) membuat bukti pemotongan PPh Pasal 21 Final paling
lama akhir bulan dilakukan pembayaran;
3) melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 Final melalui
penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21.
II.B. Yayuk, PNS Golongan II/d, pada tanggal 21 Maret 2011 menerima
honorarium sebagai salah satu anggota Tim Kerja sebesar Rp
1.500.000,00, selama 6 bulan.
PPh Pasal 21 Final yang terutang:
0% x Rp1.500.000,00 = Rp 0,00

Catatan:
Walaupun PPh Pasal 21 Final yang dipotong Rp 0,00,
Bendahara pemerintah wajib membuat bukti pemotongan PPh Pasal 21
Final paling lama akhir bulan Maret 2011.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Salinan sesuai dengan aslinya MENTERI KEUANGAN


KEPALA BIRO UMUM ttd
u.b. AGUS D.W. MARTOWARDOJO
KEPALA BAGIAN T.U. DEPARTEMEN
ttd
GIARTO
NIP 195904201984021001

Anda mungkin juga menyukai