1
Bab 1 Pengertian PPh Pemotongan dan Pemungutan
Sistem pemungutan pajak di Indonesia mengenal adanya Withholding System
dimana pajak yang dibayar seseorang atau badan, dipotong atau dipungut oleh pihak
ketiga. Pihak ketiga mempunyai kewajiban untuk memungut pajak penghasilan dari
pembelian atau penjualan barang atau memotong pajak penghasilan dari penerima
penghasilan, menyetorkan pajak tersebut ke kas negara dan melaporkannya pada
Kantor Pelayanan Pajak dimana pihak ketiga tersebut terdaftar.
2
Untuk PPh final tidak termasuk kategori prepaid tax karena pajak telah berakhir tanpa
ada lagi pengkreditan pajak atau penghitungan ulang.
PPh yang atas penyetoran dan pelaporannya yang dilakukan oleh pihak lain
diklasifikasikan menjadi tujuh jenis pajak yaitu sebagai berikut :
1. PPh Pasal 21
Merupakan PPh yang terkait dengan penghasilan dari pekerjaan, jasa, kegiatan
(active income) yang dilakukan oleh orang pribadi dalam negeri baik yang bersifat
sebagai karyawan tetap atau bukan karyawan tetap.
2. PPh Pasal 22
Penerapan dari PPh Pasal 22 adalah tergantung kepada pemungut pajak, karena
tidak setiap Wajib Pajak dapat memungut PPh Pasal 22. Pemungut PPh Pasal 22
ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan atau Keputusan Direktur
Jenderal pajak.
3. PPh Pasal 23
Merupakan pajak yang terkait dengan penghasilan dari pemanfaatan modal/aktiva
(passive income) dan pemanfaatan jasa (active income) yang diterima/diperoleh
subyek pajak dalam negeri.
4. PPh Pasal 26
Merupakan pajak yang terkait dengan penerima pengasilan yang berasal dari
subyek pajak luar negeri baik berasal dari active maupun passive income.
5. PPh Pasal 4 ayat (2)
Merupakan pajak yang bersifat Final (khusus) atas obyek-obyek pajak tertentu,
jenis penghasilan yang dikenakan PPh ini ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Untuk PPh pasal 22, pada aturan pelaksanaannya, Wajib Pajak dapat melakukan
penyetoran sendiri saat pembayaran bea masuk dan penyelesaian dokumen impor
atau sebelum delivery order (Surat Perintah Pengiriman Barang) untuk pembelian
bahan bakar dan gas ke Pertamina
Untuk PPh final mekanisme penyetoran dan pelaporannya diatur tersendiri sesuai
dengan aturan pelaksanaannya. Contoh PPh atas sewa tanah dan bangunan, jika
penyewa ádalah badan usaha atau orang pribadi yang melakukan pembukuan atau
ditunjuk sebagai pemotong pajak, penyewa tersebut sebelum membayar jumlah sewa,
terlebih dahulu harus memotong PPh Pasal 4 ayat 2 UU PPh. Tetapi apabila penyewa
ádalah orang pribadi yang tidak ditunjuksebagai pemotong PPh final atau tidak dapat
melakukan pemotongan PPh final, pemilik tanah dan bangunan berkewajiban untuk
menyetor sendiri PPh final tersebut dan melaporkannya ke KPP.
Pada dasarnya saat yang menentukan terutang PPh pemotongan pemungutan adalah
saat dibayarkan secara tunai atau saat dibebankan, mana yang terlebih dahulu.
Pemotong pajak harus memotong pada saat tersebut, kecuali ditentukan lain.
Sedangkan tempat terutang PPh pemotongan dan pemungutan pada dasarnya
adalah tempat di mana pekerjaan, jasa, atau kegiatan usaha dilakukan. PPh
pemotongan pemungutan menganut sistem desentralisasi atau tidak mengenal adanya
pemusatan, kecuali ditentukan lain.
3
Bab 2 PPh Pasal 21
PPh Pasal 21, adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan,
dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan
pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek
Pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
PPh pasal 21 adalah Pajak penghasilan yang dipotong atas penghasilan yang bersifat
active income yang diterima oleh orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan sebagai karyawan tetap maupun karyawan tidak tetap
dengan nama dan dalam bentuk apapun, wajib dilakukan pemotongan, penyetoran,
dan pelaporannya. Active income adalah penghasilan yang berasal dari pekerjaan,
jasa, dan kegiatan. Sedangkan passive income seperti bunga, dividen, royalti yang
diterima orang pribadi dalam negeri bukanlah merupakan objek PPh pasal 21.
4
Penghasilan sebagaimana dimaksud diatas yang diterima atau diperoleh orang pribadi
Subjek Pajak luar negeri merupakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26.
Dalam hal penghasilan diterima atau diperoleh dalam mata uang asing, penghitungan
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 didasarkan pada nilai tukar (kurs) yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran penghasilan
tersebut atau pada saat dibebankan sebagai biaya.
Terkait dengan penghasilan-penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 21,
perlu kiranya bagi kita untuk mengetahui juga penghasilan-penghasilan yang diterima
karyawan tetapi tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 21.
5
Sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) huruf a nomor 1 UU PPh, di mana zakat yang
dikeluarkan oleh orang pribadi pemeluk agama Islam atau badan yang
dimiliki oleh orang pribadi pemeluk agama Islam boleh dikurangkan dari
penghsilan bruto, tetapi atas zakat yang diterima bukan merupakan obyek
pajak bagi yang penerima.
f. Beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf l Undang-
Undang Pajak Penghasilan.
Secara sederhana yang bertindak sebagai pemotong PPh Pasal 21 adalah pemberi
kerja. Siapa pun itu asal membayarkan gaji, upah, honorariun kepada orang pribadi
dalam lingkup pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan, maka wajib memotong
PPh Pasal 21. Pemotongan PPh Pasal 21 tersebut bisa badan, orang pribadi,
kepanitiaan, organisasi, dan sebagainya. Apabila penerima penghasilan ádalah subyek
pajak dalam negeri maka atas pembayaran tersebut wajib dipotong PPh Psal 21,
sedangkan apabila subyek pajak luar negeri maka wajib dipotong PPh Pasal 26.
6
4. Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang mempunyai kewajiban
untuk melakukan pemotongan pajak
7
g. Pemotong pajak wajib menyetor kekurangan PPh pasal 21 yang terutang
selambat-lambatnya pada tanggal 25 Maret setelah tahun takwim berikutnya.
8
c. Pensiunan, untuk uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan
teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Termasuk dalam pengertian gaji, uang pensiun, dan tunjangan lain adalah
gaji, uang pensiun, dan tunjangan ke-13.
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak secara umum adalah sebagai berikut:
PPh pasal 21 = Tarif Pasal 17 x (Penghasilan Bruto-Biaya Jabatan/Pensiun-
PTKP
Penghitugan PPh Pasal 21 untuk karyawan tetap dan penerima pensiun berkala
adalah sebagai berikut:
Dengan menerapkan Tarif Umum Pasal 17 UU PPh dikalikan Penghasilan
Bruto yang telah dikurangi dengan:
Biaya jabatan/biaya pensiun
Iuran Pensiun/THT/JHT yang dibayar karyawan.
Penghasilan Tidak Kena pajak (PTKP)
Untuk pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang diperlakukan sebagai
pegawai tetap, penghitungan PPh pasal 21 sama dengan pegawai tetap
b. Pegawai tidak tetap yang penghasilannya di bayar secara bulanan atau jumlah
kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah
melebihi Rp 2.025.000,00 dan bukan pegawai selain tenaga ahli, yang
menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan
Penghitugan PPh Pasal 21-nya adalah sebagai berikut:
PPh Pasal 21 = Tarif PPh Pasal 17 x (Penghasilan Bruto – PTKP)
c. Pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan
atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1
(satu) bulan kalender belum melebihi Rp 2.025.000,00
Penghitungan PPh Pasal 21-nya adalah sebagai berikut:
PPh Pasal 21 = Tarif PPh Pasal 17 x (Penghasilan Bruto – PTKP)
Pegawai harian lepas terdiri dari karyawan tidak tetap dengan upah harian,
mingguan, satuan, borongan dengan batasan tidak kena pajak sebesar
Rp200.000/hari
d. Penerima honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan
dalam bentuk apapun sebagai imbalan atas jasa atau kegiatan yang jumlahnya
tidak dapat dihitung atas dasar banyaknya hari yang digunakan untuk
menyelesaikan jasa atau kegiatan tersebut, terdiri dari:
1. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, sutradara,
crew film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat,
pelukis, dan seniman lanilla.
2. Olahragawan
3. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, moderator
4. Pengarang, peneliti, dan penerjemah
5. Pemberi jasa di bidang teknik, komputer dan aplikasinya, telekomunikasi,
elektronika, fotografi, dan pemasaran.
6. Agen iklan
7. Pengawas, pengelola proyek, anggota dan pemberi kerja pada suatu
kepanitiaan, peserta sidang atau rapat, dan tenaga lepas lainnya dalam segala
bidang kegiatan.
8. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan.
9. Petugas penjaja barang dagangan
10. Petugas dinas luar asuransi
9
11. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan
sejenis lainnya
12. Honorarium yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau
dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada
perusahaan yang sama.
13. Jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus yang diterima atau diperoleh mantan
pegawai.
14. Penarikan dana pada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan oleh peserta program pensiun.
Penghasilan Bruto x Tarif Pasal 17 ayat 1(a)
Penghasilan bruto bersifat akumulatif dan apabila tidak berNPWP dikalikan
dengan 120%
10
c. peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara
kegiatan tertentu;
d. peserta pendidikan, pelatihan, dan magang;
e. peserta kegiatan lainnya.
Penghasilan Bruto x Tarif Pasal 17 ayat 1(a)
Setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan tidak di pecah, yang diterima
oleh peserta kegiatan
Catatan:
Pengecualian dari pengenaan PPh Pasal 21 terhadap penghasilansebagaimana
dijelaskan di atas adalah:
Dalam hal bukan pegawai selain tenaga ahlii mempekerjakan orang lain sebagai
pegawainya maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jumlah
pembayaran setelah dikurangi dengan bagian gaji atau upah dari pegawai yang
dipekerjakan tersebut, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat
dipisahkan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut maka
besarnya penghasilan bruto tersebut adalah sebesar jumlah yang dibayarkan.
Dalam hal bukan pegawai melakukan penyerahan material atau barang maka
besarnya jumlah penghasilan bruto hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali
apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa
dengan material atau barang maka besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk
pemberian jasa dan material atau barang
2. Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua
Penghasilan Bruto Tarif
Sampai dengan Rp 50.000.000,- 0%
Diatas Rp50.000.000,- 5%
Sumber : PP 68 tahun 2009 tanggal 16 November 2009
11
Sumber PP Nomor 80 tahun 2010 tanggal 20 Desember 2010 jo PMK-
262/PMK.03/2010 tanggal 31 Desember 2010.
Jumlah Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf
a Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk penghitungan PPh Pasal 21 atas pegawai
tetap, peneriman pensiun berkala yang dibayarkan secara bulanan, dan pegawai tidak
tetap serta tenaga kerja lepas yang dibayarkan secara bulanan dibulatkan ke bawah hingga
ribuan penuh
12
Untuk Penghitungan PPh pasal 21 apabila yang diberi penghasilan tidak mempunyai
NPWP, maka akan dipotong 20% dari tarif umum pasal 17 UU PPh. Dengan demikian
tarinya menjadi :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif PPh
Sampai dengan Rp50.000.000 6%
Diatas Rp50.000.000 sampai dengan 18%
Rp250.000.000
Diatas Rp250.000.000 sampai dengan 30%
Rp500.000.000
Diatas Rp500.000.000 36%
13
Bab 3 Penghitungan PPh Pasal 21
Cara menghitung Pajak Penghasilan Pasal 21 seperti yang dicontohkan dalam Per-
31/PJ/2012. Disamping itu ada beberapa peraturan Menteri Keuangan yaitu :
1. Peraturan Pemerintah nomor 80 tahun 2010 tanggal 20 desember 2010 tentang
tarif pemotongan dan pengenaan pajak penghasilan pasal 21 atas penghasilan yang
menjadi beban anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan
dan belanja daerah
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.11/2012 tentang penyesuaian
besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak tanggal 22 Oktober 2012 yang mulai
berlaku 1 Januari 2013.
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206/PMK.03/2012 tentang penerapan bagian
penghasilan sehubungan dengan pekerjaan pegawai harian dan mingguan serta
pegawai tidak tetap lainnya yang tidak dikenakan pemotongan pajak penghasilan,
tanggal 17 Desember 2012, mulai berlaku 1 Januari 2013.
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008 tentang besarnya biaya
jabatan dan biaya pensiun yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pegawai
tetap pensiunan.
a. Biaya Jabatan
Setiap pegawai tetap yang masih aktif bekerja diberikan pengurang penghasilan
bruto berupa biaya jabatan. Biaya ini merupakan biaya yang fiktif dan merupakan
kebijaksanaan dari pemerintah terhadap setiap orang yang menjadi pegawai tetap
atau mempunyai penghasilan dapat dipastikan ada biaya untuk penghasilan yang
akan diterima atau diperolehnya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 250/PMK.03/2008, biaya jabatan
ditentukan sebesar :
Apabila perhitungan biaya jabatan jumlahnya lebih kecil dari perhitungan diatas,
maka pilih yang terkecil berdasarkan masa kerja/lamanya bekerja pada tahun
takwim yang bersangkutan. Selain itu biaya jabatan melekat pada persahaan
tempat pegawai bekerja.
Contoh Perhitungan biaya jabatan :
14
1. Tn. Aziz bekerja pada PT. Adil dengan gaji Rp4.000.000 perbulan. Tn. Aziz
bekerja sejak tanggal 1 Februari 2009. Berapa biaya jabatan untuk tahun pajak
2009
Jawab :
Biaya jabatan yang dapat dijadikan pengurang adalah sebesar 5% x
Rp4.000.000 = Rp200.000/bulan
11 bulan =Rp200.000 x 11 =Rp2.200.000
2. Tn. Azizan bekerja pada PT. Tentram dengan gaji sebesar Rp20.000.000/bulan
dan pada PT. Berkah dengan gaji Rp5.000.000/bulan. Tn. Azizan bekerja pada
kedua perusahaan tersebut selama 12 bulan pada tahun pajak 2006. Berapa
biaya jabatan.
Untuk PT. Tentram :
5% x Rp20.000.000 =Rp500.000/bulan =Rp6.000.000/tahun
Untuk PT. Berkah
5% x Rp5.000.000 =Rp250.000/bulan =Rp.3.000.000/tahun
b. Biaya Pensiun
Setiap pegawai yang sudah pensiun dan menerima uang pensiun secara bulanan
mendapatkan pengurangan penghasilan bruto yaitu biaya pensiun. Biaya ini pada
dasarnya sama dengan biaya jabatan, namun diberikan kepada mantan karyawan
yang sudah pensiun.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 250/PMK.03/2008, biaya pensiun
ditentukan sebesar :
Apabila perhitungan biaya pensiun jumlahnya lebih kecil dari perhitungan diatas,
maka pilih yang terkecil.
Contoh perhitungan biaya pensiun :
Tn. Ibad adalah mantan karyawan dari PT. Ikhlas yang menerima uang pensiun
yang dibayar secara bulanan sebesar Rp1.200.000/bulan.
Jawab :
Biaya pensiun yang diperkenankan adalah Rp1.200.000 x 5% = Rp60.000
15
Tabel dibawah ini adalah PTKP dari tahun 1995 (Pasal 7 UU Nomor 10 tahun
1994) sampai dengan perubahan tahun 2009. Dengan demikian PTKP yang
berlaku Sejak 1 Januari 2009 dapat dilihat pada kolom tahun tersebut.
Setelah diketahui berapa jumlah pengurang penghasilan bruto diatas (dalam hal ini
disebut dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP)), maka hasilnya akan di kalikan
dengan tarif pasal 17 ayat 1 huruf a UU PPh.
Untuk menghitung PPh pasal 21 atas penghasilan pegawai tetap, terlebih dahulu
dicari penghasilan neto sebulan sebulan dengan rumus :
PPh pasal 21 = Tarif Pasal 17 x (Penghasilan Bruto-Biaya
Jabatan/Pensiun-PTKP
Sebagian dari jenis penghasilan yang menjadi objek PPh pasal 21 sudah
dijelaskan dalam bab sebelumnya. Selain penghasilan yang bersifat Benefit in
cash, yang menjadi objek PPh pasal 21 adalah premi asuransi yang dibayarkan
pemberi kerja. Sebagian besar perusahaan/pemberi kerja mengikutkan pegawainya
dalam program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 1993 Jo SE.02/PJ.31/1996 jo
S-160/PJ.42/2003, program tersebut adalah sebagai berikut :
16
- Kelompok II 0.54% x gaji sebulan
- Kelompok III 0.89% x gaji sebulan
- Kelompok IV 1.27% x gaji sebulan
- Kelompok V 1.74% x gaji sebulan
2 Jaminan Kematian (JKM) 0.30% x gaji sebulan
3 Jaminan Pelayanan Kesehatan (JPK)
- Pegawai berkeluarga 6% x gaji sebulan (maks 1 juta)
- Pegawai bujangan 3% x gaji sebulan (maks 1 juta)
4 Jaminan Hari Tua (JHT)
- Dibayar pemberi kerja 3.7% x gaji sebulan
- Dibayar sendiri oleh karyawan 2% x gaji sebulan
Untuk perlakuan perpajakan atas program jamsostek diatas dapat dilihat pada
tabel berikut :
Uraian Pemberi kerja Karyawan
JKK, JKM, JPK Biaya bagi perusahaan Penghasilan (digabung
apabila dibayar dg ph bruto gaji)
perusahaan
JKK, JKM, JPK Bukan pengurang bagi
apabila bibyar karyawan
karyawan
Iuran JHT dibayar Biaya bagi perusahaan Tidak menambah
perusahaan penghasilan bruto
Iuran JHT dibayar oleh Biaya bagi karyawan
karyawan (pengurang ph bruto)
17
Gaji Rp 4.000.000
Tunjangan transport Rp 400.000
Tunjangan makan Rp 400.000
Premi JKK Rp 9.600
Premi JKM Rp 12.000
Penghasilan Bruto Rp 4.821.600
Pengurang
Biaya Jabatan
(5% x Rp4.821.600) Rp241.080
Iuran JHT Rp 80.000
Iuran Pensiun Rp 50.000
Jumlah pengurang Rp. 371.080
Penghasilan neto sebulan Rp. 4.450.520
Penghasilan neto setahun Rp. 53.406.240
PTKP (TK/-) Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 29.106.240
5% x Rp. 29.106.240 =Rp 1.455.312
PPh pasal 21 terutang setahun Rp. 1.455.312
PPh pasal 21 terutang sebulan Rp. 121.276
PPh pasal 21 yang harus dipotong oleh PT Pow-Pow adalah sebesar Rp. 121.276
* Apabila ada pegawai tetap menerima penghasilan setiap minggu maka untuk
menghitung penghasilan satu bulan dikalikan dengan 4 (empat) dan apabila ada
pegawai tetap menerima penghasilan setiap hari maka untuk menghitung
penghasilan satu bulan dikalikan dengan jumlah hari kerjai dalam 1 bulan.
18
1.2. PPh atas penghasilan tidak teratur
1.2.1. PPh Pasal 21 atas Bonus atau THR
PPh pasal 21 atas bonus, THR, jasa produksi, tantiem, dan penghasilan tidak
teratur lainnya dihitung dengan cara mengurangkan PPh Pasal 21 atas seluruh
penghasilan (termasuk penghasilan tidak teratur lainnya misal bonus) dengan PPh
pasal 21 atas penghasilan teratur (tidak termasuk bonus).
Contoh soal :
Diambil dari contoh diatas, apabila Tn. Ibadurrahman, pada bulan April 2009
mendapat bonus sebesar Rp6.000.000. Berapa PPh pasal 21 yang harus dihitung
atas pembayaran bonus tersebut
Gaji Rp 48.000.000
Tunjangan transport Rp 4.800.000
Tunjangan makan Rp 4.800.000
Premi JKK Rp 115.200
Premi JKM Rp 144.000
Bonus Rp 6.000.000
Penghasilan Bruto Rp 63.859.200
Pengurang
Biaya Jabatan (5% x Rp63.859.200) Rp3.192.960
Iuran JHT Rp 960.000
Iuran Pensiun Rp 600.000
Jumlah pengurang Rp. 4.752.960
Penghasilan neto setahun Rp. 59.106.240
PTKP (TK/-) Rp. 15.840.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 43.266.240
5% x Rp43.266.240 =Rp 2.163.300
19
1.2.2. PPh pasal 21 atas rapel
Ada kalanya pegawai mendapatkan kenaikan pangkat atau jabatan disuatu bulan
atau masa, namun baru menerima kenaikan penghasilan pada bulan-bulan
berikutnya, sehingga pegawai tersebut mendapatkan uang rapel.PPh pasal 21 atas
rapel dapat dihitung dengan mengurangkan PPh pasal 21 setelah kenaikan gaji
dengan PPh pasal 21 sebelum kenaikan gaji.
Contoh soal :
Diambil dari contoh diatas, apabila Tn. Ibadurrahman, pada bulan 1 Mei 2009
mendapatkan kenaikan pangkat sehingga atas gajinya juga ada kenaikan menjadi
Rp5.000.000 per bulan, tetapi keputusan kenaikan pangkat tersebut baru
dikeluarkan pada bulan Oktober 2009. Pada bulan Oktober 2009 Tn.
Ibadurrahman menerima uang rapel sebesar Rp. 5.000.000 (kenaikan gaji untuk
bulan mei s/d September). Berapa PPh Pasal 21 atas rapel ?
Penghitungan PPh Pasal 21 setelah kenaikan gaji dengan PTKP baru 2013
Gaji Rp 5.000.000
Tunjangan transport Rp 400.000
Tunjangan makan Rp 400.000
Premi JKK Rp 12.000
Premi JKM Rp 15.000
Penghasilan Bruto Rp 5.827.000
Pengurang
Biaya Jabatan (5% x Rp5.827.000) Rp291.350
Iuran JHT Rp100.000
Iuran Pensiun Rp 50.000
Jumlah pengurang Rp. 441.350
Penghasilan neto sebulan Rp. 5.385.650
20
Penghasilan neto setahun Rp. 64.627.800
PTKP (TK/-) Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 40.327.800
5% x Rp 40.327.800 =Rp 2.016.390
PPh pasal 21 terutang setahun Rp. 2.016.390
PPh pasal 21 terutang sebulan Rp. 168.032
21
Penghasilan Kena Pajak Rp. 7.424.000
PPh pasal 21 terutang setahun (4 bulan) Rp. 371.200
PPh pasal 21 terutang sebulan Rp. 92.800
Apabila Orang Pribadi sejak awal tahun sudah menjadi subjek pajak dalam negeri,
maka penghitungan PPh pasal 21 pada saat pembuatan 1721-A1 di bulan
Desember akhir tahun pajak, penghasilan netonya tidak disetahunkan.
Kasus 2
Mr. Ecut, Warga Negara Vietnam dengan status TK/0 adalah pegawai yang baru
bekerja pada PT. Susila Bakti sejak tanggal 1 September 2013 dengan penghasilan
sebagai berikut :
Penghitungan PPh pasal 21 setiap bulan
Gaji Rp 7.000.000
Tunjangan transport Rp 250.000
Tunjangan makan Rp 1.250.000
Premi JKK Rp 50.000
Premi JKM Rp 30.000
Penghasilan Bruto Rp 8.580.000
Pengurang
Biaya Jabatan (5% x Rp8.580.000) Rp429.000
Iuran JHT Rp100.000
Iuran Pensiun Rp120.000
Jumlah pengurang Rp. 649.000
Penghasilan neto sebulan Rp. 7.931.000
Penghasilan neto setahun(12 bulan) Rp. 95.172.000
PTKP (TK/-) Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 70.872.000
5% x Rp50.000.000 =Rp2.500.000
15% x Rp20.872.000 =Rp3.130.800
PPh pasal 21 terutang setahun (12 bulan) Rp. 5.630.800
PPh pasal 21 terutang sebulan Rp. 469.233
22
Penghitungan PPh pasal 21 pada saat pembuatan 1721-A1 di bulan Desember
akhir tahun pajak.
Gaji Rp 28.000.000
Tunjangan transport Rp 1.000.000
Tunjangan makan Rp 5.000.000
Premi JKK Rp 200.000
Premi JKM Rp 120.000
Penghasilan Bruto Rp 34.320.000
Pengurang
Biaya Jabatan (5% x Rp34.320.000) Rp1.716.000
Iuran JHT Rp400.000
Iuran Pensiun Rp480.000
Jumlah pengurang Rp. 2.596.000
Penghasilan neto 4 bulan Rp. 31.724.000
Penghasilan neto disetahunkan (x 12/4) Rp 95.172.000
PTKP (TK/-) Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 70.872.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 70.872.000
5% x Rp50.000.000 =Rp2.500.000
15% x Rp20.872.000 =Rp3.130.800
PPh pasal 21 terutang setahun (12 bulan) Rp. 5.630.800
PPh pasal 21 terutang 4 bulan (x 4/12) Rp 1.876.933
PPh pasal 21 yang telah dipotong dan dilunasi
(bulan September sampai dengan November) Rp. 1.407.699
PPh pasal 21 yang kurang (lebih) dipotong Rp. 469.233
Apabila Orang Pribadi sejak awal tahun belum menjadi subjek pajak dalam negeri
(masih menjadi Subjek Pajak Luar Negeri), maka penghitungan PPh pasal 21,
penghasilan netonya disetahunkan.
Untuk Orang Pribadi dari luar negeri apabila sebagai pegawai dan belum
menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri, penghitungan atas penghasilannya akan di
potong PPh pasal 26 bersifat final dengan tarif 20% kecuali apabila ada Tax
Treaty antara negara Indonesia dengan negara asal dari pegawai yang
bersangkutan.
Apabila dalam satu tahun pajak, ada perubahan Subjek Pajak dari Luar Negeri
menjadi Dalam Negeri, maka atas penghitungan PPh pasal 21 pada saat
pembuatan 1721-A1 di bulan Desember akhir tahun pajak, maka sesuai dengan
Pasal 26 ayat 5 UU PPh, pemotongan PPh pasal 26 untuk tahun pajak yang sama
dapat dijadikan sebagai kredit pajak.
Apabila penghasilan atas pegawai luar negeri tersebut diberikan dalam bentuk
mata uang asing, maka penghitungan PPh Pasal 21 dilakukan dengan melakukan
penghitungan terlebih dahulu atas jumlah penghasilannya dengan mata uang
rupiah dengan nilai tukar atas kurs yang berlaku pada saat pembayaran atau
pembebanan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang berlaku pada saat
itu.
23
Penghitungan PPh pasal 21 setiap bulan (Januari-Juni)
Gaji Rp 2.500.000
Tunjangan transport Rp 300.000
Tunjangan makan Rp 300.000
Premi JKK Rp 20.000
Premi JKM Rp 12.000
Penghasilan Bruto Rp 3.132.000
Pengurang
Biaya Jabatan (5% x Rp3.132.000) Rp156.600
Iuran JHT Rp 50.000
Iuran Pensiun Rp 40.000
Jumlah pengurang Rp. 246.600
Penghasilan neto sebulan Rp. 2.885.400
Penghasilan neto setahun(12 bulan) Rp. 34.624.800
PTKP (TK/-) Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 10.324.800
5% x Rp. 10.324.800 =Rp 516.240
PPh pasal 21 terutang setahun Rp. 516.240
PPh pasal 21 terutang sebulan Rp. 43.020
Kelebihan ini akan di kembalikan oleh PT. Mandiri kepada Susanti pada saat
pemberian bukti pemotongan PPh pasal 21. Dengan demikian penghitungan PPh
pasal 21 atas pegawai yang berhenti bekerja dapat mengakibatkan PPh pasal 21
yang telah dipotong setiap bulannya akan menjadi lebih besar apabila
dibandingkan dengan PPh pasal 21 terutang pada akhir tahun sehingga
mengakibatkan PPh pasal 21 lebih dipotong.
24
NPWP pada bulan Juni 2013 dan menyerahkan fotokopi kartu NPWP kepada PT
Fajar Sejahtera untuk digunakan sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 21 bulan
Juni.
Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan untuk bulan Januari-
Mei 2013 adalah sebagai berikut:
Gaji dan tunjangan sebulan Rp 5.500.000,00
Pengurangan:
1. Biaya Jabatan
5% x Rp 5.500.000,00= Rp 275.000,00
2. Iuran pensiun: = Rp 200.000,00
------------------
Rp 475.000,00
----------------------
Penghasilan Neto atas gaji dan tunjangan sebulan Rp 5.025.000,00
Pengh Neto setahun:12 x Rp 5.025.000,00 Rp 60.300.000,00
PTKP (TK/0)
- untuk Wajib Pajak Rp 24.300.000,00
----------------------
Penghasilan Kena Pajak Rp 36.000.000,00
PPh Pasal 21 atas penghasilan setahun:
5% x Rp 36.000.000,00 Rp 1.800.000,00
PPh Pasal 21 atas gaji sebulan
Rp 1.800.000,00: 12 = Rp 150.000,00
PPh Pasal 21 yang harus dipotong karena yang bersangkutan belum memiliki
NPWP : 120% x Rp 150.000,00 = Rp 180.000,00
Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong
dari Januari-Mei 2013 = 5 x Rp 150.000,00= Rp 750.000,00
Jumlah PPh Pasal 21 terutang apabilayang bersangkutan memiliki NPWP
5 x Rp 150.000,00 = Rp 750.000,00
---------------------
Selisih (20% x 5 x Rp 150.000,00) = Rp 150.000,00
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang dan yang harus dipotong untuk bulan Juni
2013, setelah yang bersangkutan memiliki NPWP dan menyerahkan fotokopi
kartu NPWP kepada pemberi kerja, dengan catatan gaji dan tunjangan untuk
bulan Juni 2013 tidak berubah, adalah sebagai berikut:
PPh Pasal 21 terutang sebulan (sama dengan perhitungan sebelumnya) Rp
150.000,00
Diperhitungkan dengan pemotongan atas tambahan
20% sebelum memiliki NPWP (Januari-Mei 2013)
20% x 5 x Rp 150,000 (Rp 150.000,00)
--------------------
PPh Pasal 21 yang harus dipotong bulan Juni 2013 Nihil
Apabila Wahyu Santosa baru memiliki NPWP pada akhir November 2013 dan
menyerahkan fotokopi kartu NPWP sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk
bulan Desember 2013, dengan asumsi penghasilan setiap bulan besarnya sama
dan tidak ada penghasilan lain selain penghasilan tetap dan teratur setiap bulan
tersebut, maka perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan
Desember 2013 adalah sebagai berikut:
PPh Pasal 21 terutang sebulan (sama dengan Perhitungan sebelumnya)
Rp 150.000,00
25
Diperhitungkan dengan pemotongan atas tambahan
20% sebelum memiliki NPWP (Januari-November 2013)
20% x 11 x Rp 150.000,00 (Rp 330.000,00)
--------------------
PPh Pasal 21 yang harus dipotong bulan Desember 2013 (Rp 180.000,00)
Karena jumlah yang diperhitungkan lebih besar daripada jumlah PPh Pasal 21
terutang untuk bulan Desember 2013, maka jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong
untuk bulan tersebut adalah Nihil. Jumlah sebesar Rp 180.000,00 dapat
diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 untuk bulan-bulan selanjutnya dalam tahun
kalender berikutnya. Karena jumlah tersebut sudah diperhitungkan dengan PPh Pasal
21 terutang untuk bulan-bulan berikutnya, jumlah tersebut tidak termasuk dalam
kredit pajak yang dapat diperhitungkan oleh pegawai tetap dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang
bersangkutan.
Perhitungan PPh Pasal 21 terutang untuk tahun 2013, dimana Wahyu Santosa sudah
memiliki NPWP pada akhir bulan November 2013 sebelum pemotongan PPh Pasal 21
bulan Desember 2013 adalah sebagai berikut:
26
1.3.2. Penghitungan PPh pasal 21 disetahunkan
1.3.2.1. Pegawai yang berhenti bekerja karena meninggal dunia
Pegawai yang meninggal dunia karena kecelekaan kerja atau sebab yang lain,
penghitungan PPh pasal 21 untuk SPT tahunannya, penghasilan netonya
disetahunkan. Disamping itu apabila pegawai yang bersangkutan menerima
asuransi atau tunjangan pensiuan/hari tua, maka perlu diperhatikan apakah
penerimaan penghasilan tersebut merupakan objek PPh pasal 21 atau tidak.
Contoh :
Mustari dengan status belum menikah, bekerja di PT. Tawakal sejak tahun 2003,
dengan gaji dan penerimaan tunjangan sesuai dengan data dibawah ini. Pada
tanggal 1 Juli 2013 meninggal dunia karena kecelekaan kerja. Mustari mendapat
pembayaran dari pihak Jamsostek atas kejadian tersebut. Jumlah pembayarannya
terdiri dari :
1. Asuransi jiwa Rp 65.000.000
2. Asuransi hari tua Rp 60.000.000
Total asuransi Rp125.000.000
Asuransi ini diterima pada tanggal 15 Juli 2013
27
Jumlah pengurang Rp. 1.629.600
Penghasilan neto setahun (6 bulan) Rp. 20.162.400
Penghasilan neto disetahunkan Rp 40.324.800
PTKP (TK/-) Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 16.024.800
5% x Rp. 16.024.800 =Rp 801.240
PPh pasal 21 terutang setahun Rp 801.240
PPh pasal 21 terutang (6 bulan) Rp 400.620
PPh pasal 21 yang telah dipotong 6 x Rp66.770 Rp. 400.620
PPh pasal 21 yang kurang (lebih) dipotong Nihil
Penghitungan PPh pasal 21 atas asuransi yang diterima pada tanggal 15 Juli 2013
adalah sebagai berikut :
1. Untuk asuransi jiwa yang diterima Mustari, bukan merupakan objek pajak
sesuai dengan pasal 4 ayat 3 huruf e UU PPh .
2. Sedangkan Asuransi hari tua merupakan objek pajak, sesuai dengan PP No. 68
Tahun 2009. Asuransi Hari Tua yang diterima secara sekaligus akan
dikenakan PPh pasal 21 final dan dipotong oleh Jamsostek dengan
penghitungan sebagai berikut.
28
Pengurang
Biaya Jabatan (5% x Rp4.580.000) Rp229.000
Iuran JHT Rp100.000
Iuran Pensiun Rp120.000
Jumlah pengurang Rp. 449.000
Penghasilan neto sebulan Rp. 4.131.000
Penghasilan neto setahun Rp. 49.572.000
PTKP (TK/-) Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 25.272.000
PPh Terutang
5% x Rp. 25.272.000 =Rp1.263.600
PPh pasal 21 terutang setahun Rp. 1.263.600
PPh pasal 21 terutang sebulan Rp. 105.300
PPh pasal 21 sebesar Rp105.300 perbulan dipotong selama bulan Januari – Juni
2013
29
Jumlah pengurang Rp. 449.000
Penghasilan neto sebulan Rp. 4.131.000
Penghasilan neto setahun Rp. 49.572.000
PTKP (TK/-) Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 25.272.000
PPh Terutang
5% x Rp. 25.272.000 =Rp1.263.600
PPh pasal 21 terutang setahun Rp. 1.263.600
PPh pasal 21 terutang sebulan Rp. 105.300
PPh pasal 21 sebesar Rp105.300 perbulan dipotong selama bulan Juli – November
2013
Dengan demikian apabila pegawai dimutasi pada tahun berjalan maka PPh pasal
21 dihitung di tempat lama dan tempat baru. Pada saat pindah PPh pasal 21 di
tempat asal dihitung dengan menyetahunkan penghasilan neto untuk
mengantisipasi terjadinya lebih bayar. Ditempat yang baru PPh pasal 21 pada
akhir tahun dihitung dengan menjumlahkan penghasilan ditempat asal dan baru
serta tidak menyetahunkan. PPh pasal 21 yag telah dipotong di tempat asal
diperhitungkan sehingga PPh Pasal 21 akhir tahun menjadi nihil.
30
sehingga tidak perlu dikalikan dengan 12. Setelah pensiun Rahman mendapat
uang pensiun dari dana pensiun sebesar Rp3.000.000 yang dibayarkan setiap
bulan.
31
Penghasilan neto sebulan Rp 2.850.000
Penghasilan neto 6 bulan (Juli – Desember) Rp17.100.000
Penghasilan neto dari PT. Ikhlas Rp31.562.400
Jumlah penghasilan neto Rp48.662.400
PTKP (K/2) Rp30.375.000
Penghasilan Kena Pajak Rp18.287.400
PPh Terutang
5% x Rp18.287.400
PPh terutang setahun Rp 914.370
PPh pasal 21 yang telah dipotong PT Ikhlas Rp 59.370
PPh pasal 21 terutang atas pensiun (6 bulan) Rp 855.000
PPh pasal 21 terutang atas pensiun sebulan Rp 142.500
2.1. Pegawai lepas yang dibayar secara harian, mingguan, satuan dan
borongan
PER-DJP No.31/PJ./2012 jo yaitu :
1. Pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas adalah pegawai yang hanya menerima
penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah
hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan, yang dihasilkan atau suatu
penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja
2. Penerima penghasilan bukan pegawai adalah orang pribadi selain pegawai
tetap dan pegawai tidak tetap (tenaga kerja lepas) yang memperoleh
penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari pemotong PPh pasal
21 dan/atau PPh pasal 26 sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa atau kegiatan
32
tertentu yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi
penghasilan
Penghitungan PPh bagi pegawai tidak tetap yang berhak mendapatkan PTKP
dan dibayar secara harian PER-DJP No 31/PJ./2012
1. Upah harian, upah mingguan, satuan, borongan, uang saku harian yang lebih
dari Rp200.000/hari maka diberikan pengurangan berupa PTKP sebesar
Rp200.000 (sejak 1 Januari 2013).
2. Apabila upah tidak melebihi dari Rp200.000/hari maka tidak dipotong PPh
pasal 21
3. Apabila dalam satu bulan penghasilan bruto telah melampui Rp1.320.000
dalam 1 bulan, maka dikurangi dengan PTKP harian sebenarnya
4. Dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam satu bulan kalender telah
melebihi Rp7.000.000,00 (Tujuh juta rupiah), PPh Pasal 21 dihitung dengan
menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan
atas jumlah Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan
5. Tarif yang dikenakan adalah sebesar 5% (lapisan pertama)
Contoh 1:
Karana (TK/-) adalah pegawai harian lepas pada PT. Balikpapan Permai, bekerja
selam 6 hari kerja dan menerima upah sebesar Rp200.000/hari. Upah minimum
Provinsi DKI Jakarta Rp1.600.000 sebulan.
Penghitungan PPh Pasal 21
Upah sehari Rp200.000
Dikurangi batas penghasilan sehari tidak kena pajak Rp2000.000
Penghasilan Kena Pajak sehari Nihil
PPh pasal 21 terutang sehari : Nihil
Jumlah upah yang diterima oleh Karana belum melebihi jumlah penghasilan bruto
sebesar Rp200.000, maka tidak ada PPh pasal 21 terutang.
Contoh 2:
Hari (TK/-) dalam bulan Januari 2013 bekerja pada PT. Cirebon Sejuk selama 15
hari kerja dengan menerima upah yang dibayar secara harian sebesar Rp250.000
untuk selama 15 hari kerja
33
Penghasilan Kena Pajak sehari Rp132.500
PPh pasal 21 terutang sehari
Rp132.500 x 5% Rp 6.625
Untuk mendapatkan jumlah upah harian atau uang saku harian sebagaimana
dimaksud pada pegawai harian lepas berlaku ketentuan sebagai berikut :
1. Dalam hal berupa upah mingguan/uang saku mingguan, akan dibagi dengan 6
(1 minggu = 6 hari)
2. Upah satuan, merupakan upah atas banyaknya satuan yang dihasilkan dalam
satu hari
3. upah borongan, yaitu jumlah upah borongan dibagi dengan banyaknya hari
yang dipakai untuk menyelesaikan pekerjaan yang dimaksud.
Contoh 4.
Indra (K/3) mengerjakan dekorasi sebuah bangunan dengan upah borongan
sebesar Rp350.000, pekerjaan diselesaikan dalam waktu 2 hari.
Upah borongan sehari Rp700.000 : 2 Rp350.000
Upah sehari tidak kena pajak Rp200.000
Upah sehari kena pajak Rp150.000
Upah borongan yang dikenakan pajak
Rp150.000 x 2 Rp 300.000
PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp300.000 Rp 15.000
34
2. Untuk pegawai lepas yang dibayar secara bulanan, pengurangan PTKP adalah
PTKP sebenarnya
3. Untuk pegawai yang menerima bea siswa, pengurangan PTKP adalah PTKP
sebenarnya. Bea siswa adalah pembayaran kepada pegawai tetap, tidak tetap
dan calon pegawai, yang ditugaskan oleh pemberi kerja untuk mengikuti
program pendidikan yang ditetapkan oleh pemberi kerja yang terikat dengan
kontrak atau perjanjian kerja atau pembayaran dilakukan oleh suatu institusi
kepada orang pribadi yang tidak mempunyai ikatan kontrak atau perjanjian
kerja untuk mengikuti suatu program pendidikan.
Contoh 1
Kinclong (TK/-) mempunyai penghasilan berupa honor dari PT. Thoriq
sehubungan dengan kegiatan multilevel marketing dari produk peralatan rumah
tangga sebesar Rp21.320.000 pada bulan Februari 2013.
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk bulan Februari 2013 adalah sebagai berikut:
Penghasilan bruto bulan Februari 2013 Rp20.000.000
PTKP (TK/0)/bulan Rp 2.025.000
Penghasilan Kena Pajak Rp17.975.000
PPh pasal 21
5% x Rp17.975.000 Rp 898.750
Apabila pada bulan September 2013 diterima honor sebesar Rp42.000.000,
Penghitungan PPh pasal 21 untuk bulan September 2013 adalah sebagai berikut :
Penghasilan bruto bulan September 2013 Rp42.000.000
PTKP (TK/0)/bulan Rp 2.025.000
Penghasilan kena pajak Rp39.975.000
PPh pasal 21
5% x 32.025.000 =Rp1.601.250
15% x 7.950.000 =Rp1.192.500
Jumlah Rp2.793.750
Penjelasan :
Penghitungan atas honor yang diterima oleh orang pribadi sebagai distributor
multi level marketing yang bukan sebagai pegawai dan menerima penghasilan
bersifat berkesinambungan, penghitungan PPh pasal 21nya :
1. Menggunakan tarif PPh pasal 17 ayat 1 huruf a yang bersifat berkelanjutan
dalam 1 tahun pajak
2. Penghitungan PPh pasal 21 didasarkan atas penghasilan diterima per bulan
dikurangi dengan PTKP per bulan
3. Apabila orang pribadi tersebut tidak dapat menunjukan kepemilikan NPWP
atas nama sendiri atau suami maka akan dikenakan tarif 20% lebih besar
4. Apabila tidak menyampaikan pernyataan yang menyatakan hanya memperoleh
penghasilannya dari kegiatannya tersebut (tidak mempunyai penghasilan lain),
maka tidak berhak mendapat pengurang PTKP.
Contoh 2
Ecut (K/1) bekerja pada perusahaan elektronik dengan dasar upah harian yang
dibayar bulanan. Dalam bulan November 2013, Ecut hanya bekerja selama 20 hari
kerja dengan upah sehari sebesar Rp150.000.
Penghitungan PPh pasal 21
Upah per hari Rp 100.000
Upah selama bulan November
20 hari x Rp150.000 Rp 3.000.000
Penghasilan neto setahun
12 x Rp3.000.000 Rp36.000.000
35
PTKP (K/1) Rp26.325.000
Penghasilan Kena Pajak Rp 9.675.000
PPh Pasal 21 setahun 483.750
PPh Pasal 21 sebulan 40.312
3. Orang Pribadi yang tidak berhak atas biaya jabatan dan PTKP
Orang Pribadi yang dimaksud adalah penerima honorarium, uang saku, hadiah
atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan atas
jasa atau kegiatan yang jumlahnya tidak dapat dihitung atas dasar banyaknya hari
yang digunakan untuk menyelesaikan jasa atau kegiatan tersebut. (lihat bab 2
angka 7 huruf d).
Atas penghasilan bruto dari Orang Pribadi yang bersangkutan dikalikan dengan
50%. Apabila bersifat berkesinambungan maka dihitung secara akumulasi jumlah
dari penghasilan brutonya selama 1 tahun pajak. Apabila tidak mempunyai
penghasilan lain maka dikurangi dengan PTKP untuk 1 bulan, sesuai dengan
statusnya
3.1. Orang Pribadi menerima penghasilan bersifat berkesinambungan,
mempunyai NPWP dan Tidak mempunyai penghasilan lain
Orang Pribadi yang menerima penghasilan dari pemberi kerja apabila bersifat
berkesinambungan (diberi penghasilan oleh pemberi kerja dalam 1 tahun tidak
lebih dari 1 kali), mempunyai NPWP dan menyatakan tidak punya penghasilan
lain.Untuk menghitung PPh pasal 21 atas penghasilan Orang Pribadi tersebut,
penghitungan adalah sebagai berikut :
(Penghasilan Bruto x 50%) – PTKP(perbulan) = PKP
PKP x Tarif Pasal 17 ayat 1(a).
PKP bersifat akumulatif untuk satu tahun pajak melihat dari lapisan tarif Pasal 17
ayat 1(a)
Contoh :
Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas jasa dokter yang praktik di rumah
sakit dan/atau klinik
dr. Abdul Gopar, Sp.JP merupakan dokter spesialis jantung yang
melakukan praktik di Rumah Sakit Harapan Jantung Sehat dengan perjanjian
bahwa atas setiap jasa dokter yang dibayarkan oleh pasien akan dipotong 20%
oleh pihak rumah sakit sebagai bagian penghasilan rumah sakit dan sisanya
sebesar 80% dari jasa dokter tersebut akan dibayarkan kepada dr. Abdul Gopar,
Sp.JP pada setiap akhir bulan. Selain praktik di Rumah Sakit Harapan Jantung
Sehat dr. Abdul Gopar, Sp.JP juga melakukan praktik sendiri di klinik pribadinya.
dr. Abdul Gopar, Sp.JP telah memiliki NPWP dan pada tahun 2013, jasa dokter
yang dibayarkan pasien dari praktik dr. Abdul Gopar, SP.JP di Rumah Sakit
Harapan Jantung Sehat adalah sebagai berikut :
36
September 45.000.000,00
Oktober 44.000.000,00
November 43.000.000,00
Desember 40.000.000,00
Jumlah 524.000.000,00
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk bulan Januari sampai dengan Desember 2013:
Bulan Jasa Dokter Dasar Dasar Pemotongan Tarif Pasal PPh Pasal 21
yang dibayar Pemotongan PPh PPh Pasal 21 17 ayat (1) terutang
Pasien Pasal 21 Kumulatif huruf a UU (Rupiah)
(Rupiah) (Rupiah) (Rupiah) PPh
(1) (2) (3)=50%X(2) (4) (5) (6)=(3) x (5)
Januari 45.000.000,00 22.500.000,00 22.500.000,00 5% 1.125.000,00
Februari 49.000.000,00 24.500.000,00 47.000.000,00 5% 1.225.000,00
Maret 47.000.000,00 3.000.000,00 50.000.000,00 5% 150.000,00
------------ ------------- ------ ----------
20.500.000,00 70.500.000,00 15% 3.075.000,00
April 40.000.000,00 20.000.000,00 90.500.000,00 15% 3.000.000,00
Mei 44.000.000,00 22.000.000,00 112.500.000,00 15% 3.300.000,00
Juni 52.000.000,00 26.000.000,00 138.500.000,00 15% 3.900.000,00
Juli 40.000.000,00 20.000.000,00 158.500.000,00 15% 3.000.000,00
Agustus 35.000.000,00 17.500.000,00 176.000.000,00 15% 2.625.000,00
September 45.000.000,00 22.500.000,00 198.500.000,00 15% 3.375.000,00
Oktober 44.000.000,00 22.000.000,00 220.500.000,00 15% 3.300.000,00
November 43.000.000,00 21.500.000,00 242.000.000,00 15% 3.225.000,00
Desember 40.000.000,00 8.000.000,00 250.000.000,00 15% 1.200.000,00
------------ ------------- ------ -------------
12.000.000,00 262.000.000,00 25% 3.000.000,00
Jumlah 524.000.000,00 262.000.000,00 35.500.000,00
Apabila dr. Abdul Gopar Sp.JP tidak memiliki NPWP, maka PPh Pasal 21 terutang
adalah sebesar 120% dari PPh Pasal 21 terutang sebagaimana contoh di atas.
Contoh :
Tn. Ian (K/0) adalah seorang konsultan manajemen yang bekerja secara mandiri
atau perorangan pada PT. Sunda Kelapa. Setiap bulannya pada tahun 2013
menerima penghasilan sebesar Rp15.000.000/bulan.
Apabila Orang Pribadi yang bersangkutan menyatakan memiliki penghasilan lain,
maka penghitungan PPh pasal 21nya tidak berhak mendapat pengurang
Penghasilan Tidak Kena Pajak.
37
Penghitungan PPh pasal 21
Bln Honor Dasar Dasar Tarif PPh pasal 21
Yang pemotongan pemotongan pasal terutang
diterima PPh ps 21 PPh ps 21 17
kumulatif ayat
1(a)
UU
PPh
(1) (2) (3) = 50% x (4) (5) (7) = (3) x(5)x
(2) (6)
Jan 15.000.000 7.500.000 7.500.000 5% 375.000
Feb 15.000.000 7.500.000 15.000.000 5% 375.000
Mar 15.000.000 7.500.000 22.500.000 5% 375.000
Apr 15.000.000 7.500.000 30.000.000 5% 375.000
Mei 15.000.000 7.500.000 37.500.000 5% 375.000
Jun 15.000.000 7.500.000 45.000.000 5% 375.000
Jul 10.000.000 5.000.000 50.000.000 5% 250.000
5.000.000 2.500.000 52.500.000 15% 375.000
Ags 15.000.000 7.500.000 60.000.000 15% 1.125.000
Sep 15.000.000 7.500.000 67.500.000 15% 1.125.000
Okt 15.000.000 7.500.000 75.000.000 15% 1.125.000
Nov 15.000.000 7.500.000 82.500.000 15% 1.125.000
Des 15.000.000 7.500.000 90.000.000 15% 1.125.000
38
52.500.000 120%
Ags 15.000.000 7.500.000 60.000.000 15% 120% 1.350.000
Sep 15.000.000 7.500.000 67.500.000 15% 120% 1.350.000
Okt 15.000.000 7.500.000 75.000.000 15% 120% 1.350.000
Nov 15.000.000 7.500.000 82.500.000 15% 120% 1.350.000
Des 15.000.000 7.500.000 90.000.000 15% 120% 1.350.000
39
Contoh :
Susi (TK/0) adalah pegawai dari PT. Padang Bai, mengikuti kegiatan konfrensi
selama 3 hari dan mendapat honor sebesar Rp500.000 perhari
Penghitungan PPh pasal 21 :
1.500.000 x 5% = Rp75.000
Contoh 1
Hari Abrianto telah bekerja pada PT Krian selama 8 tahun. Pada bulan Januari
2013 dia berhenti bekerja karena pengurangan pegawai dan menerima pesangon
sebesar Rp 25.000.000.
Penghitungan PPh pasal 21 terutang adalah 0% x Rp 25.000.000 = NIHIL
Apabila Hari Abrianto adalah seorang Wajib Pajak Orang Pribadi maka tidak
perlu menghitung kembali PPh terutangnya pada akhir tahun atas penghasilan
yang diterimanya berupa pesangon karena bersifat final
Contoh 2
Parijono Direktur PT Angin Surga. Pada bulan Januari 2013 diberhentikan karena
perusahaan mengalami kesulitan keuangan. Dia menerima pesangon sebesar
Rp500.000.000.
Penghitungan PPh pasal 21 terutang adalah
Pesangon Rp500.000.000
Dikenakan tarif 0% Rp50.000.000
DPP Pesangon Rp450.000.000
PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp 50.000.000 Rp2.500.000
15% x Rp 400.000.000 Rp60.000.000
PPh Pasal 21 Rp62.500.000
40
6.3. Honor yang diterima oleh Pejabat Negara, PNS dan Anggota
ABRI/Kepolisian
Dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 21 bersifat final dengan tarif (PP nomor 80 tahun 2010
jo PMK-262/PMK.03/2010):
a. sebesar 0% (nol persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain
bagi PNS Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI dan Anggota POLRI
Golongan Pangkat Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya;
b. sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi
PNS Golongan III, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat
Perwira Pertama, dan Pensiunannya;
c. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi
Pejabat Negara, PNS Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan
Pangkat Perwira Menengah dan Perwira Tinggi, dan Pensiunannya.
Surat Pemberitahuan PPh Pasal 21 tahun pajak 2014 (SPT 1721) menggunakan Formulir baru
sebagaimana diatur dalam PER-14/PJ/2013 terdiri dari:
a. Induk SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 - (Formulir 1721);
b. Daftar Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap dan Penerima
Pensiun atau Tunjangan Hari Tua/Jaminan Hari Tua Berkala serta bagi Pegawai
Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Polisi Republik
Indonesia, Pejabat Negara dan Pensiunannya (Formulir 1721-I);
c. Daftar Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal
26 - (Formulir 1721-II);
d. Daftar Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Final) - (Formulir 1721-
III);
e. Daftar Surat Setoran Pajak (SSP) dan/atau Bukti Pemindahbukuan (Pbk) untuk
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 - (Formulir 1721-IV);
f. Daftar Biaya - (Formulir 1721-V);
SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 baik dalam bentuk formulir kertas (hard copy)
maupun e-SPT dapat digunakan oleh Pemotong yang:
a. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tetap dan penerima
pensiun atau tunjangan hari tua/jaminan hari tua berkala dan/atau terhadap
pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik
Indonesia, pejabat negara dan pensiunannya yang jumlahnya tidak lebih dari 20
(dua puluh) orang dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
b. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal 26 selain
pemotongan PPh sebagaimana dimaksud pada huruf a dengan bukti pemotongan
41
yang jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa
pajak; dan/atau
c. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Final) dengan bukti pemotongan yang
jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak;
dan/atau
d. melakukan penyetoran pajak dengan SSP dan/atau bukti Pbk yang jumlahnya
tidak lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak.
SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk e-SPT wajib digunakan oleh
Pemotong yang:
a. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tetap dan penerima pensiun
atau tunjangan hari tua/jaminan hari tua berkala dan/atau terhadap pegawai negeri
sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia, pejabat negara
dan pensiunannya yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) orang dalam 1 (satu)
masa pajak; dan/atau
b. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal 26 selain
pemotongan PPh sebagaimana dimaksud pada huruf a dengan bukti pemotongan yang
jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
c. melakukan pemotongan PPh Pasal 21(Final) dengan bukti pemotongan yang
jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
d. melakukan penyetoran pajak dengan SSP dan/atau bukti Pbk yang jumlahnya lebih
dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak.
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
Bab 4 PPh Pasal 22
1. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 22
Pajak Penghasilan yang dibayakan dalam tahun berjalan yang dipungut sehubungan
dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan dibidang impor atau kegiatan usaha
dibidang lainnya.
PPh Pasal 22 mempunyai karektiristik yang berbeda dengan PPh Potong Pungut yang
lain. Beberapa karakteristik yang membedakan antara lain sebagai berikut:
Istilah PPh Pungut yang sering kita dengar tersebut hanya ada dalam lingkup PPh Pasal
22 ini.
PPh Pasal 22 ini tergantung kepada pemungutnya. Dalam artian tidak semua perusahan
bisa menjadi pemungut PPh Pasal 22, tetapi tergantung kepada jenis atau bidang
usahannya. Dan biasanya ada surat penunjukan dari Dirjen Pajak.
PPh Pasal 22 ini terkait dengan transaksi atas barang (non jasa).
a. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang;
b. bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak
pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah dan
lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;
c. bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang
dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
d. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang
diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan pembayaran
atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme
pembayaran langsung (LS);
e. Badan Usaha Milik Negara yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan
negara yang dipisahkan, yang meliputi:
54
1) PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Perusahaan Gas
Negara (Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., PT Garuda
Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya
Karya (Persero) Tbk., PT Adhi Karya (Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero), PT
Krakatau Steel (Persero); dan
2) Bank-bank Badan Usaha Milik Negara,
berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan
kegiatan usahanya.
f. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri
baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada
distributor di dalam negeri;
g. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir
umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri;
h. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas
penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
i. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk
keperluan industrinya atau ekspornya.
Contoh:
Departemen Agama membeli 10 buah AC dari PT Jaya Negeriku dengan harga per unit Rp
3.300.000,- (termasuk PPN).
PPh Pasal 22 yang harus dipungut = 1,5% x (10 x 100/110 x Rp 3.300.000,-)
= 1,5% x Rp 30.000.000,-
= Rp 450.000,-
PPh Pasal 22 ini dipungut oleh Bendaharawan Departemen Agama dan SSP disetor oleh
Bendaharawan atas nama dan NPWP rekanan.
55
2. Importir non API = 7,5% x nilai impor
3. Barang tidak dikuasai = 7,5% x nilai lelang
API (Angka Pengenal Impor)
Nilai Impor adalah CIF (Cost, Insurance, Freight)
Ditambah Bea Masuk
Untuk Impor Kedelai, gandum dan tepung terigu mendapat fasilitas
pengurang menjadi 0,5% apabila menggunakan API.
Sifat : Tidak final
Saat terutang : Saat pembayaran Bea Masuk
Penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB)
Saat penyetoran : Disetor dalam jangka waktu sehari sejak pemungutan
dilakukan
Saat pelaporan : Dilaporkan secara mingguan paling lambat 7 hari setelah
batas waktu penyetoran pajak berakhir.
Contoh:
PT Importa mengimpor mesin industri dengan nilai CIF US$ 10.000, Bea masuk 25%, PPN
10% dan PPnBM 25%. Diketahui kurs tengah BI Rp 9.000,- dan kurs KMK Rp 9.200,- per
dolar. PT.Impota juga sudah mempunyai API. PPh Pasal 22 yang harus dipungut
CIF = $ 10.000
Bea Masuk = $ 2.500
Nilai Impor = $ 12.500
= Rp 9.200,- $ 12.500
= Rp 118.750.000,-
PPh Pasal 22 = 2,5% x Rp 118.750.000
= Rp 2.968.750
PPh Pasal 22 ini disetor sendiri oleh PT Importa ke Bank Devisa atau dipungut oleh Dirjen
Bea Cukai pada saat pelunasan Bea Masuk.
Contoh:
PT.Sakti, pemilik SPBU swasta, membeli solar ke Pertamina dengan nilai sebesar Rp
100.000.000,-
56
PPh Pasal 22 yang harus dipungut = 0,3% x Rp 100.000.000,-
= Rp 300.000,-
Wajiba pajak menyetor sendiri PPh Psal 22 yang terutang sebelum penebusan DO (Delivery
Order).
Contoh:
PT Mulia Sejahtera membeli baja senilai Rp 50.000.000,- (tidak termasuk PPN) ke PT
Krakatau Steel (Persero).
PPh Pasal 22 yang harus dipungut = 0,3% x Rp 50.000.000,-
= Rp 150.000,-
PT Krakatau Steel harus memungut PPh Pasal 22 ini pada saat penjualan
Contoh:
57
PT.Jaya Sejahtera, industri plywood, membeli kayu dari pedagang pengumpul senilai Rp
80.000.000,- (tidak termasuk PPN).
PPh Pasal 22 yang harus dipungut = 0,25% x Rp 80.000.000,-
= Rp 200.000,-
PPh Pasal 22 ini harus dipungut oleh PT Jaya Sejahtera pada saat pembelian kayu dari
pedagang pengumpul.
1. pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh
milyar rupiah);
2. kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp10.000.000.000,00
(sepuluh milyar rupiah);
3. rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan luas bangunan lebih dari 500 m2 (lima
ratus meter persegi);
4. apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih
dari Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan/atau luas bangunan lebih dari
400 m2 (empat ratur meter persegi)
5. kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa
sedan, jeep, sport utility vehicle (SUV), multi purpose vehicle (MPV), minibus dan
sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan
dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc.
Pemungutan dilakukan oleh pihak yang menjual sebesar 5% dan bersifat tidak final.
Dikecualikan dari obyek PPh Pasal 22 di atas, beberapa transaksi impor dan transaksi
lainnya tidak terutang PPh Pasal 22, seperti terlihat pada table berikut ini:
58
e. barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan
ilmu pengetahuan;
f. barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan
penyandang cacat lainnya;
g. peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu
jenazah;
h. barang pindahan;
i. barang pribadi penumpang awak sarana pengangkut,
pelintas batas, dan barang kiriman sampai batas jumlah
tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
Pabean;
j. barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah yang ditunjuk untuk kepentingan
umum;
k. persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk
suku cadang yang diperuntukan bagi keperluan pertahanan
dan keamanan negara;
l. barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan
barang bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
m. vaksin polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan
Imunisasi Nasional (PIN);
n. buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku
pelajaran agama;
o. kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau,
dan kapal angkutan penyeberangan, kapal pandu, kapal
tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku
cadang serta alat keselamatan manusia yang diimpor dan
digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau
perusahaan pengkapan ikan nasional;
p. pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan
penerbangan atau alat keselamatan manusia, peralatan
untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diimpor dan
digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga
Nasional;
q. kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk
perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana yang diimpor
dan digunakan oleh PT Kereta Api Indonesia;
r. peralatan yang digunakan untuk penyediaan data batas dan
photo udara wilayah Negara Republik Indonesia yang
dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia
s. barang untuk kegiatan hulu Minyak dan Gas Bumi yang
importasinya dilakukan oleh Kontraktor Kontrak Kerja
Sama.
3. Dalam hal impor sementara jika pada waktu impornya nyata-
nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali;
4. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 2.000.000,00
(satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang
terpecah-pecah oleh bendaharawan
5. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, Tanpa SKB PPh Pasal 22
gas, air minum/PDAM dan benda-benda pos oleh
bendaharawan
6. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan
barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor;
59
7. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan
penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
8. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang
telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang
sama atau barang-barang yang tleah diekspor untuk keperluan
perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi
syarat yang ditentukan oleh DJBC.
9. Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh
BULOG.
60
Bab 5 PPh Pasal 23
61
jasa lain sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008, selain
jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.
4.1. Tarif 15% dari Penghasilan Bruto (apabila yang mempunyai penghasilan tidak
mempunyai NPWP, maka pemotongan PPh Pasal 23 dipotong 100% lebih besar)
PPh pasal 23 dihitung langsung dari penghasilan bruto terkait dengan penghasilan
berupa :
a. Dividen
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh oleh pemegang saham atau pemegang
polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh oleh anggota
koperasi. Dividen dapat dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Dividen yang obyek pajak (Pasal 4 ayat (1) huruf g UU PPh) adalah dividen
yang diterima oleh orang pribadi, yayasan, CV, firma dan kongsi
2. Dividen yang bukan obyek pajak (Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh) adalah
Deviden yang diterima oleh PT sebagai WP dalam negeri, Koperasi,
BUMN/BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia bukan Obyek Pajak dengan syarat;
Deviden berasal dari cadangan laba yang ditahan (Retained Earning)
Bagi Perseroan Terbatas (PT), BUMN/BUMD yang menerima
deviden, kepemilikan saham pada badan yang memberikan deviden
paling rendah 25% dari jumlah modal disetor dan harus mempunyai
Usaha aktif diluar kepemilikan saham tersebut.
c. Royalti
Berdasarkan penjelasan pasal 4 ayat 1 huruf h Undang-Undang PPh, Royalti adalah
Hak atas harta tidak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang
atau rahasia perusahaan;
Hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat industri, komersial, dan ilmu
pengetahuan;
Informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun
mungkin dipatenkan, misalnya pengalaman dibidang industri.
d. Hadiah
Klasifikasi hadiah dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Hadiah yang objek pajak
Hadiah perlombaan, penghargaan dan prestasi tertentu, dan hadiah sehubungan
dengan pekerjaan atau pemberian jasa yang diterima oleh Wajib Pajak badan dan
Bentuk Usaha Tetap.
b. Hadiah yang bukan objek Pajak (Kep Dirjen Pajak Nomor Kep-395/PJ./2001)
Diberikan kepada semua pembeli/konsumen akhir tanpa diundi
Hadiah diterima langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang
atau jasa
62
4.2. Tarif 2 % dari Penghasilan bruto
Penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
dan imbalan jasa yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% dari perkiraan
penghasilan neto adalah :
a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang telah
dikenai PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1996
yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 2002
b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan dan jasa lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) huruf c UU
PPh, yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri atau BUT, selain jasa yang telah
dipotong PPh Pasal 21
c. Pemotongan pajak dilakukan oleh pihak yang wajib membayar
Tabel tarif PPh 23 tahun 2009 (apabila yang mempunyai penghasilan tidak mempunyai
NPWP, maka pemotongan PPh Pasal 23 dipotong 100% lebih besar) :
63
f Jasa penunjang di bidang penambangan migas :
d) penutupan sumur;
64
8 ) jasa reparasi pompa reda (reda repair);
1) jasa pengeboran;
2) jasa penebasan;
4) jasa penambangan;
65
udara:
66
dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
t Jasa maklon; yaitu jasa pemberian jasa dalam rangka
proses penyelesaian suatu barang tertentu yang
proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi
jasa (disubkontrakkan), yang spesifikasi, bahan baku
dan atau barang setengah jadi dan atau bahan
penolong/pembantu yang akan diproses sebagian
atau seluruhnya disediakan oleh pengguna jasa, dan
kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna
jasa
u Jasa penyelidikan dan keamanan;
v Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer;
yaitu kegiatan usaha yang dilakukan oleh pengusaha
jasa penyelenggara kegiatan meliputi antara lain
penyelenggaraan pameran, konvensi, pagelaran
musik, pesta, seminar, peluncuran produk, konferensi
pers, dan kegiatan lain yang memanfaatkan jasa
penyelenggara kegiatan
w Jasa pengepakan;
x Jasa penyediaan tempat dan / atau waktu dalam media
masa, media luar ruang atau media lain untuk
penyampaian informasi;
y Jasa pembasmian hama;
z Jasa kebersihan atau cleaning service;
aa Jasa catering atau tata boga
Keterangan tabel :
1. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus kendaraan
angkutan darat adalah :
a. Sewa kendaraan angkutan umum berupa bus, minibus, taksi yang disewa atau
dicharter untuk jangka waktu tertentu yaitu secara harian, mingguan maupun
bulanan, berdasarkan suatu perjanjian tertulis atau tidak tertulis antara pemilik
kendaraan angkutan umum denganWajib Pajak badan atau Wajib Pajak orang
pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh pasal 23
b. Sewa kendaraan milik perusahaan persewaan mobil, perusahaan bus wisata
yang bukan merupakan kendaraan angkutan umum yang disewa atau di charter
untuk jangka waktu tertentu yaitu secara harian, mingguan maupun bulanan,
berdasarkan suatu perjanjian tertulis atau tidak tertulis kepada Wajib Pajak
badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh
pasal 23
c. Sewa kendaraan berupa milik perusahaan yang disewa atau di charter untuk
jangka waktu tertentu secara harian, mingguan maupun bulanan, berdasarkan
suatu perjanjian tertulis atau tidak tertulis kepada Wajib Pajak badan atau
Wajib Pajak orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh pasal 23.
2. Jasa teknik adalah pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan
dengan pengalaman dibidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang dapat
meliputi :
a. Pelaksanaan suatu proyek
b. Pembuatan suatu jenis produk
c. Jasa teknik dapat pula berupa pemberian informasi yang berkenaan dengan
pengalaman dibidang manajemen
67
3. Jasa manajemen adalah pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam
pelaksanaan manajemen dengan mendapat balas jasa berupa imbalan manajemen
(management fee)
4. Jasa penunjang dibidang penambanagan migas adalah jasa penunjang dibidang
penambangan migas dan panas bumi berupa :
a. jasa penyemenan dasar (primary cementing) yaitu penempatan bubur semen
secara tepat diantara pipa selubung dan pipa sumur
b. jasa penyemenan perbaikan (remedial cementing) yaitu penempelan bubur
semen untuk maksud penyumbatan kembali, perbaikan dan penutupan sumur
c. jasa pengontrolan pasir (sand control) yaitu jasa yang menjamin bahwa
bagian-bagian formasi yang tidak terkonsolidasi tidak akan ikut terproduksi ke
dalam rangkaian pipa produksi dan menghilangkan kemungkinan
tersumbatnya pipa
d. jasa pengasaman (matrix acidizing) yaitu pekerjaan untuk memperbesar daya
tembus formasi dan menaikkan produktivitas dengan jalan menghilangkan
material penyumbat yang tidak diinginkan
e. jasa peretakan hidrolika (hydraulic) yaitu pekerjaan yang dilakukan dalam hal
cara pengasaman tidak cocok, misalnya perawatan pada formasi yang
mempunyai daya tembus sangat kecil
f. jasa nitrogen dan gulungan pipa (nitrogen dan coil tubing) yaitu jasa yang
dikerjakan untuk menghilangkan cairan buatan yang berada dalam sumur baru
yang telah selesai, sehingga aliran yang terjadi sesuai dengan tekanan asli
formasi dan kemudian menjadi besar sebagai akibat dari gas nitrogen yang
telah dipompakan ke dalam cairan buatan dalam sumur
g. jasa uji kandung lapisan (drill stem testing) yaitu penyelesaian sementara suatu
sumur baru agar dapat mengevaluasi kemampuan berproduksi
h. jasa reparasi pompa reda (reda repair)
i. jasa pemasangan instalasi dan perawatan
j. jasa penggantian peralatan/material
k. jasa mud logging, yaitu memasukkan lumpur ke dalam sumr
l. jasa mud engineering
m. jasa well logging dan performing
n. jasa stimulasi dan secondary decovery
o. jasa well testing dan wire line service
p. jasa alat control navigasi lepas pantai yang berkaitan dengan drilling
q. jasa pemeliharaan untuk pekerjaan drilling
r. jasa mobilisasi dan demobilisasi anjungan drilling
s. jasa lainnya yang sejenisnya di bidang pengeboran migas
5. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas adalah
semua jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang pertambangan umum berupa
a. jasa pengeboran
b. jasa penebasan
c. jasa pengupasan dan pengeboran
d. jasa penambangan
e. jasa pengangkutan/sistem trasnportasi, kecuali jasa angkutan umum
f. jasa pengolahan bahan galian
g. jasa reklamasi tambang
h. jasa pelaksanaan mekanikal, elektrikal, manufaktur, fabrikasi dan
penggalian/pemindahan tanah
i. jasa lainnya yang sejenis di bidang pertambangan umum
6. jasa penunjang dibidang penerbangan dan bandar udara
a. bidang aeronautika, termasuk :
68
1. jasa pendaratan, penempatan, penyimpanan pesawat udara dan jasa lain
sehubungan dengan pendaratan pesawat udara
2. jasa penggunaan jembatan pintu (avio bridge)
3. jasa pelayanan penerbangan
4. jasa ground handling yaitu pengurusan seluruh atau sebagian dari proses
pelayanan penumpang dan bagasinya serta kargo, yang diangkut dengan
pesawat udara, baik yang berangkat maupun yang datang, selama pesawat
udara didarat.
5. jasa penunjang lain dibidang aeronautika
b. bidang non-aeronautika, termasuk :
1. jasa katering di pesawat dan jasa pembersihan pantry pesawat
2. jasa penunjang lain dibidang non-aeronautika
7. jasa maklon adalah pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang
tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa
(disubkontrakkan), yang spesifikasi, bahan baku dan atau barang setengah jadi dan
atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya
disediakan oleh pengguna jasa, dan kepemilikan atas barang jadi berada pada
pengguna jasa.
8. jasa penyelenggara kegiatan (event organizer) adalah kegiatan usaha yang dilakukan
oleh pengusaha jasa penyelenggara kegiatan meliputi antara lain penyelenggaraan
pameran, konvensi, pagelaran musik, pesta, seminar, peluncuran produk, konfrensi
pers, dan kegiatan lain yang memanfaatkan jasa penyelenggara kegiatan.
5. Imbalan Bruto
1. Jumlah imbalan bruto khusus untuk jasa konstruksi dan jasa catering adalah
jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya, termasuk atas pemberian jasa dan
pengadaan material/ barangnya
2. Jumlah imbalan bruto untuk jasa lain selain jasa konstruksi dan jasa catering
adalah jumlah imbalan bruto atas pemberian jasanya saja, kecuali dalam
kontrak/perjanjian tidak dipisahkan antara pemberian jasa dengan
material/barangnya
3. Apabila dalam kontrak/ perjanjian tidak terdapat pemisahan nilai jasa dengan
material barang, maka untuk selain jasa konstruksi dan katering, jumlah imbalan
bruto tersebut adalah seluruh nilai kontrak
69
f. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang
berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang terdiri dari :
1. Perusahaan pembiayaan yang merupakan badan usaha di luar bank dan lembaga
keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang
termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan dan telah memperoleh ijin
usaha dari Menteri Keuangan
2. BUMN atau BUMD yang khusus didirikan untuk memberikan sarana pembiayaan
bagi usaga mikro, menengah dan koperasi, termasuk PT (Persero) Permodalan
Madani
70
Bab 6 PPh FINAL
Pph final hanya dikenal di dalam Pajak Penghasilan, sebab finalisasi yang dimaksud
adalah tidak memperhitungkan kembali obyek pajak yang terkait dengan PPh Final ini dalam
penghitungan pajak pada akhir tahun.
Perlakuan pajak final terhadap suatu jenis pajak ini didasarkan pada prinsip
kesederhanaan yang ingin dicapai oleh sistem perpajakan. Apabila kita cermati lebih lanjut
ciri-ciri dari suatu penghasilan yang dikenakan PPh Final adalah biasanya karena jumlah
transaksi yang banyak, melibatkan phak yang tidak ber-NPWP, penghasilan passive income,
dan sebagainya.
Pengenaan PPh Final pada dasarnya dijelaskan dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 15 dan
Pasal 19 UU PPh. Serta memungkinkan adanya pengenaan PPh Final selain dari yang
dijelaskan dalam pasal tersebut.
71
Memotong PPh pada saat pembayaran atau terutangnya sewa dan memberikan bukti
pemotongan kepada pihak yang menyewakan.
Menyetorkan PPh selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya.
Melaporkan ke KPP terkait selambat-lambatnya tanggl 20 bulan berikutnya
(menggunakan formulir laporan pemotongan/penyetoran PPh atas persewaan tanah
dan/atau bangunan dengan dilampiri SSP lembar ke-3 dan bukti pemotongan lembar
ke-2).
g. Wajib pajak yang usaha pokoknya persewaan tanah dan/atau bangunan tetap wajib
menyapaikan SPT Tahunan PPh disertai Laporan Keuangan atas seluruh usahanya.
a. Wajib Pajak maupun bukan Wajib Pajak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau
bangunan wajib membayar sendiri PPh Final yaitu Pajak Pengalihan Hak atas Tanah dan
Bangunan (PPHTB)
b. PPh Final diatas harus disetor melalui bank persepsi sebelum Akta Pengalihan
ditandatangani.
c. Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam huruf a adalah sebesar 5%
dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, kecuali atas
pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh
Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan dikenai Pajak Penghasilan sebesar 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai
pengalihan.
d. Nilai pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada huruf c adalah nilai yang tertinggi
antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah
dan/atau bangunan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud Undang-Undang Pajak
Bumi dan Bangunan., kecuali dalam hal pengalihan hak kepada Pemerintah adalah nilai
berdasarkan keputusan pejabat yang bersangkutan dan dalam hal pengalihan hak sesuai
dengan peraturan lelang (Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189 dengan segala perubahannya
adalah nilai menurut risalah lelang tersebut
e. Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d adalah Nilai Jual Objek Pajak
menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan tahun yang
bersangkutan atau dalam hal Surat Pemberitahuan Pajak Terutang dimaksud belum terbit,
adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang tahun pajak
sebelumnya.
f. Dikecualikan dan kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan
1. orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak
Kena Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp60.000.000,00 dan bukan
merupakan jumlah yang dipecah-pecah.
72
2. orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Pemerintah
3. orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan
cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat,
badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan
4. badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara
hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan
kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan
5. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.
73
1.6. BUNGA/DISKONTO OBLIGASI YANG DIPERDAGANGKAN DI BURSA
EFEK
(PP 16 tahun 2009)
a. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak berupa keuntungan modal
(capital gain), bunga dan atau diskonto yang berasal dari obligasi yang diperdagangkan di
bursa efek atau yang dilaporkan di bursa efek, dikenakan pemotongan PPh Final.
b. Pengenaan Pemotongan PPh Final adalah sebagai berikut:
Atas bunga obligasi dengan kupon (interst bearing bond) dihitung dari jumlah bruto
bunga sesuai dengan masa kepemilikan (holding period) obligasi.
Atas diskonto obligasi dengan kupon dihitung dari selisih lebih harga jual pada saat
transaksi atau nilai nominal pada saat jatuh tempo obligasi di atas harga perolehan
obligasi, tidak termask bunga berjalan (Accrued Interst).
Atas diskonto obligasi tanpa bunga (zero coupon bond) dihitung dari selisih lebih
harga jual pada saat transaksi atau nilai nominal pada saat jatuh tempo obligasi di atas
harga perolehan obligasi.
c. Tarif PPh atas bunga atau diskonto obligasi adalah:
15% dari jumlah bruto bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap.
20% dari jumlah bruto atau tarif berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) yang berlaku bagi Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.
d. Pemotongan PPh final dilakukan oleh:
Penerbit obligasi (emiten) atau kustodian yang ditunjuk selaku agen pembayaran, atas
bunga yang diterima atau diperoleh pemegang obligasi dengan kupon pada saat jatuh
tempo bunga/obligasi, dan atas diskonto yang diterima atau diperoleh pemegang
obligasi dengan kupon/obligasi tanpa bunga pada saat jatuh tempo obligasi;
Perusahaan efek (broker) atau bank selaku pedagang perantara (dealer), atas bunga
dan diskonto obligasi yang diterima atau diperoleh penjual obligasi pada saat
transaksi;
Perusahaan efek (broker), bank, dana pensiun, dan reksadana, selaku pembeli obligasi
langsung tanpa melalui pedagang perantara, atas bunga dan diskonto obligasi yang
diterima atau diperoleh penjual obligasi pada saat transaksi.
e. bunga dan/atau diskonto dari Obligasi yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak
reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
sebesar:
1. 0% (nol persen) untuk tahun 2009 sampai dengan tahun 2010;
2. 5% (lima persen) untuk tahun 2011 sampai dengan tahun 2013; dan
3. 15% (lima belas persen) untuk tahun 2014 dan seterusnya.
a. Jasa konstruksi adalah pemberian jasa perencanaan, pelaksanaan, dan jasa pengawasan
yang produk akhirnya berupa bangunan.
b. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Jasa Konstruksi yang
memenuhi kualifikasi berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh Lembaga yang
berwenang.
c. Tarif Pajak Penghasilan untuk usaha Jasa Konstruksi adalah sebagai berikut:
1. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa
yang memiliki kualifikasi usaha kecil;
2. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia
Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;
3. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia jasa
selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
74
4. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi
yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
5. 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi
yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
d. Pemotong pajak :
• Pengguna jasa yang merupakan pemotong pajak pada saat pembayaran
• Disetor sendiri oleh penyedia jasa apabila pengguna jasa bukan merupakan
pemotong pajak
• Pemotong pajak adalah badan pemerintah, Subjek badan dalam negeri, Bentuk
Usaha Tetap atau Orang Pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh
Atas penghasilan berupa bunga simpanan koperasi yang dibayarkan oleh koperasi
yang didirikan di Indonesia kepada orang pribadi dikenakan Pajak penghasilan yang bersifat
final.
Besarnya Pajak Penghasilan adalah:
a. 0% (nol persen) untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan
Rp240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) per bulan; atau
b. 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bunga
simpanan lebih dari Rp240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) per bulan.
Koperasi yang melakukan pembayaran bunga simpanan kepada anggota koperasi
orang pribadi, wajib memotong Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 pada saat pembayaran
Penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh orang pribadi atau badan dari transaksi
derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final. Tarifnya sebesar 2,5% dari margin awal.
Kewajiban Formal :
1. Lembaga kliring dan penjamin wajib memungut Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 pada saat menerima penyetoran margin awal oleh pialang
berjangka atau anggota bursa.
2 Lembaga kliring dan penjamin wajib menyetor seluruh pajak yang dipungut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan.
3 Lembaga kliring dan penjamin wajib menyampaikan laporan pemungutan dan penyetoran
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Kantor
Pelayanan Pajak
1.10. Dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi
dalam negeri
(PP 19 tahun 2009)
Penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri dikenai Pajak Penghasilan sebesar 10% dan bersifat final.
Pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan melalui pemotongan oleh pihak yang
membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen
75
1.11. PPh Final 1% (PP 46 tahun 2013)
76
Bab 7 Lampiran
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER - 31/PJ/2012
TENTANG
Menimbang:
a. bahwa penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak mulai 1 Januari 2013 telah ditetapkan
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian Besarnya
Penghasilan Tidak Kena Pajak;
b. bahwa bagian penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dari pegawai harian dan mingguan serta
pegawai tidak tetap lainnya yang tidak dikenakan pemotongan pajak penghasilan telah ditetapkan
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206/PMK.011/2012 tentang Penetapan Bagian Penghasilan
Sehubungan dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya
yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan;
c. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b, serta untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 24 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan
Orang Pribadi, dan ketentuan Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206/PMK.011/2012 tentang
Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan
serta
Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan, perlu
menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan
Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan
Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran
Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo
Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara
Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan
Pembayaran Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
80/PMK.03/2010;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008 tentang Besarnya Biaya Jabatan atau Biaya
Pensiun yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan
Tidak Kena Pajak;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206/PMK.011/2012 tentang Penetapan Bagian Penghasilan
Sehubungan dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya
yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN,
PENYETORAN
DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN
DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI.
77
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
78
lainnya dengan nama apapun.
17. Upah harian adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau
dibayarkan secara harian.
18. Upah mingguan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau
dibayarkan secara mingguan.
19. Upah satuan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau
dibayarkan berdasarkan jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan.
20. Upah borongan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau
dibayarkan berdasarkan penyelesaian suatu jenis pekerjaan tertentu.
21. Imbalan kepada Bukan Pegawai adalah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
terutang atau diberikan kepada Bukan Pegawai sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan
yang dilakukan, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan penghasilan sejenis lainnya.
22. Imbalan kepada Bukan Pegawai yang Bersifat Berkesinambungan adalah imbalan kepada Bukan
Pegawai yang dibayar atau terutang lebih dari satu kali dalam satu tahun kalender sehubungan
dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan.
23. Imbalan kepada peserta kegiatan adalah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
terutang atau diberikan kepada peserta kegiatan tertentu, antara lain berupa uang saku, uang
representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan, dan penghasilan sejenis lainnya.
24. Masa Pajak terakhir adalah masa Desember atau masa pajak tertentu di mana Pegawai Tetap berhenti
bekerja.
BAB II
PEMOTONG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal 2
79
BAB III
PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPh PASAL 21
DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal 3
Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah orang pribadi yang
merupakan:
a. pegawai;
b. penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari
tua, termasuk ahli warisnya;
c. Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa,
meliputi:
1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek,
dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang
iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari,
pemahat,
pelukis, dan seniman lainnya;
3. olahragawan;
4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya,
telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu
kepanitiaan;
7. agen iklan;
8. pengawas atau pengelola proyek;
9. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
10. petugas penjaja barang dagangan;
11. petugas dinas luar asuransi;
12. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya;
d. anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada
perusahaan yang sama;
e. mantan pegawai;
f. peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya
dalam suatu kegiatan, antara lain:
1. peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga, seni,
ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
2. peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
3. peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu;
4. peserta pendidikan dan pelatihan;
5. peserta kegiatan lainnya.
Pasal 4
Tidak termasuk dalam pengertian penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah:
a. pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang
diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan
syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan
lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan
perlakuan timbal balik;
b. pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c
Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat
bukan
warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia.
BAB IV
PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal 5
(1) Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah:
a. penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap, baik berupa Penghasilan yang
Bersifat Teratur maupun Tidak Teratur;
b. penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang
pensiun atau penghasilan sejenisnya;
c. penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan
hari tua yang dibayarkan sekaligus, yang pembayarannya melewati jangka waktu 2 (dua)
tahun sejak pegawai berhenti bekerja;
d. penghasilan Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, berupa upah harian, upah
mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan;
e. imbalan kepada Bukan Pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan
80
sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan jasa yang
dilakukan;
f. imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang
rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan
imbalan sejenis dengan nama apapun;
g. penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang diterima atau
diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai
Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama;
h. penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain yang bersifat
tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai; atau
i. penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih
berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan.
(2) Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan
dalam
bentuk apapun yang diberikan oleh:
a. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus
(deemed profit).
Pasal 6
(1) Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang diterima atau diperoleh orang pribadi Subjek
Pajak dalam negeri merupakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21.
(2) Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang diterima atau diperoleh orang pribadi Subjek
Pajak luar negeri merupakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26.
Pasal 7
(1) Dalam hal penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) diterima atau diperoleh dalam
mata uang asing, penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 didasarkan pada nilai tukar
(kurs)
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran penghasilan tersebut
atau
pada saat dibebankan sebagai biaya.
(2) Penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 atas penghasilan berupa penerimaan dalam bentuk
natura dan/atau kenikmatan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) didasarkan pada
harga pasar atas barang yang diberikan atau nilai wajar atas pemberian natura dan/atau kenikmatan
yang diberikan.
Pasal 8
(1) Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah:
a. pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
beasiswa;
b. penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan
oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2);
c. iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan
penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja
yang
dibayar oleh pemberi kerja;
d. zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib
bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak
dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak
yang
bersangkutan;
e. beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf I Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
(2) Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi kerja, termasuk yang ditanggung oleh Pemerintah,
merupakan penerimaan dalam bentuk kenikmatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
81
BAB V
DASAR PENGENAAN DAN PEMOTONGAN
PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal 9
(1) Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:
a. Penghasilan Kena Pajak, yang berlaku bagi:
1. Pegawai Tetap;
2. penerima pensiun berkala;
3. Pegawai Tidak Tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau jumlah
kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi
Rp 2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah);
4. Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang menerima
imbalan
yang bersifat berkesinambungan.
b. Jumlah penghasilan yang melebihi Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) sehari, yang berlaku
bagi Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang menerima upah harian, upah
mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima
dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu
rupiah);
c. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi Bukan Pegawai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang tidak bersifat
berkesinambungan;
d. Jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi penerima penghasilan selain penerima
penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan huruf c.
(2) Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 26 adalah jumlah penghasilan bruto.
Pasal 10
(1) Jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh penerima penghasilan yang dipotong PPh
Pasal
21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah seluruh jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
yang diterima atau diperoleh dalam suatu periode atau pada saat dibayarkan.
(2) Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a adalah sebagai
berikut:
a. bagi Pegawai Tetap dan penerima pensiun berkala, sebesar penghasilan neto dikurangi
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP);
b. bagi Pegawai Tidak Tetap, sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP;
c. bagi Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, sebesar 50% (lima puluh
persen) dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan.
(3) Besarnya penghasilan neto bagi Pegawai Tetap yang dipotong PPh Pasal 21 adalah jumlah seluruh
penghasilan bruto dikurangi dengan:
a. biaya jabatan, sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya
Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan atau Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah)
setahun;
b. iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan
hari
tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan.
(4) Besarnya penghasilan neto bagi penerima pensiun berkala yang dipotong PPh Pasal 21 adalah seluruh
jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun, sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan
bruto, setinggi-tingginya Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) sebulan atau Rp2.400.000,00 (dua
juta
empat ratus ribu rupiah) setahun.
(5) Dalam hal Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c memberikan jasa kepada
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26:
a. mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya maka besarnya jumlah penghasilan bruto
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi
dengan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila
dalam
kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan bagian gaji atau upah dari pegawai yang
dipekerjakan tersebut maka besarnya penghasilan bruto tersebut adalah sebesar jumlah
yang
dibayarkan;
b. melakukan penyerahan material atau barang maka besarnya jumlah penghasilan bruto
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila
dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material atau
barang maka besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk pemberian jasa dan material
atau
barang.
(6) Dalam hal jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan kepada dokter
yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik maka besarnya jumlah penghasilan bruto
adalah
82
sebesar jasa dokter yang dibayar oleh pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik sebelum dipotong
biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik.
Pasal 11
Pasal 12
(1) Atas penghasilan bagi Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang tidak dibayar secara
bulanan
atau jumlah kumulatifnya dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi Rp 2.025.000,00 (dua juta
dua
puluh lima ribu rupiah), berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata
penghasilan sehari belum melebihi Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah);
b. dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata
penghasilan
sehari melebihi Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah), dan jumlah sebesar Rp200.000,00
(dua
ratus ribu rupiah) tersebut merupakan jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto.
(2) Rata-rata penghasilan sehari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rata-rata upah mingguan,
upah satuan, atau upah borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan.
(3) Dalam hal Pegawai Tidak Tetap telah memperoleh penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan
kalender
melebihi Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) maka jumlah yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto adalah sebesar PTKP yang sebenarnya.
(4) PTKP yang sebenarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah sebesar PTKP untuk jumlah hari
kerja yang sebenarnya.
(5) PTKP sehari sebagai dasar untuk menetapkan PTKP yang sebenarnya adalah sebesar PTKP per tahun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) hari.
(6) Dalam hal berdasarkan ketentuan di bidang ketenagakerjaan diatur kewajiban untuk
mengikutsertakan
Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas dalam program jaminan hari tua atau tunjangan hari
tua, maka iuran jaminan hari tua atau iuran tunjangan hari tua yang dibayar sendiri oleh Pegawai
Tidak
Tetap kepada badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja atau badan penyelenggara tunjangan
hari tua, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
83
Pasal 13
(1) Penerima penghasilan Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4
dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP sepanjang yang bersangkutan telah mempunyai Nomor
Pokok Wajib Pajak dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan satu Pemotong
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 serta tidak memperoleh penghasilan lainnya.
(2) Untuk dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penerima
penghasilan Bukan Pegawai harus menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak, dan bagi
wanita kawin harus menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak suami serta fotokopi surat
nikah dan kartu keluarga.
BAB VI
TARIF PEMOTONGAN PAJAK DAN PENERAPANNYA
Pasal 14
(1) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas
Penghasilan Kena Pajak dari:
a. Pegawai Tetap;
b. penerima Pensiun berkala yang dibayarkan secara bulanan;
c. Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang dibayarkan secara bulanan.
(2) Untuk perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap masa pajak, kecuali masa pajak terakhir,
tarif diterapkan atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun, dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. perkiraan atas penghasilan yang bersifat teratur adalah jumlah penghasilan teratur dalam 1
(satu) bulan dikalikan 12 (dua belas);
b. dalam hal terdapat tambahan penghasilan yang bersifat tidak teratur maka perkiraan
penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun adalah sebesar jumlah pada huruf a
ditambah dengan jumlah penghasilan yang bersifat tidak teratur.
(3) Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk setiap masa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) adalah:
a. atas penghasilan yang bersifat teratur adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang atas
jumlah
penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibagi 12 (dua belas);
b. atas penghasilan yang bersifat tidak teratur adalah sebesar selisih antara Pajak Penghasilan
yang terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dengan
Pajak Penghasilan yang terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2)
huruf a.
(4) Dalam hal kewajiban pajak subjektif Pegawai Tetap terhitung sejak awal tahun kalender dan mulai
bekerja setelah bulan Januari, termasuk pegawai yang sebelumnya bekerja pada pemberi kerja lain,
banyaknya bulan yang menjadi faktor pengali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau faktor
pembagi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah jumlah bulan tersisa dalam tahun kalender
sejak yang bersangkutan mulai bekerja.
(5) Besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk masa pajak terakhir adalah selisih antara Pajak
Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan kena pajak selama 1 (satu) tahun pajak atau
bagian tahun pajak dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada masa-masa sebelumnya dalam
tahun pajak yang bersangkutan.
(6) Dalam hal kewajiban pajak subjektif Pegawai Tetap hanya meliputi bagian tahun pajak maka
perhitungan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bagian tahun pajak tersebut dihitung berdasarkan
penghasilan kena pajak yang disetahunkan, sebanding dengan jumlah bulan dalam bagian tahun
pajak
yang bersangkutan.
(7) Dalam hal Pegawai Tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember dan jumlah PPh Pasal 21 yang
telah dipotong dalam tahun kalender yang bersangkutan lebih besar dari PPh Pasal 21 yang terutang
untuk 1 (satu) tahun pajak maka kelebihan PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dikembalikan
kepada Pegawai Tetap yang bersangkutan bersamaan dengan pemberian bukti pemotongan PPh Pasal
21, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah berhenti bekerja.
(8) Jumlah Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-
Undang
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibulatkan ke bawah hingga ribuan penuh.
Pasal 15
(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas berupa
upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian, sepanjang
penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan, tarif lapisan pertama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas:
a. jumlah penghasilan bruto sehari yang melebihi Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah); atau
b. jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP yang sebenarnya, dalam hal jumlah penghasilan
kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh
lima ribu rupiah).
84
(2) Dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp7.000.000,00
(tujuh juta rupiah), PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan.
Pasal 16
(1) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas jumlah
kumulatif dari:
a. Penghasilan Kena Pajak, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto
dikurangi PTKP per bulan, yang diterima atau diperoleh Bukan Pegawai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1);
b. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan
kepada Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang bersifat
berkesinambungan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (1);
c. jumlah penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang
diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak
merangkap
sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama;
d. jumlah penghasilan bruto berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain
yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai; atau
e. jumlah penghasilan bruto berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang
masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan.
(2) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas:
a. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan
kepada Bukan Pegawai yang tidak bersifat berkesinambungan;
b. jumlah penghasilan bruto untuk setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan tidak dipecah,
yang diterima oleh peserta kegiatan.
Pasal 17
Pengenaan PPh Pasal 21 bagi pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia,
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta para pensiunannya atas penghasilan yang menjadi beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, diatur berdasarkan
ketentuan yang ditetapkan khusus mengenai hal dimaksud.
Pasal 18
Pengenaan PPh Pasal 21 bagi pegawai atas uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari tua yang dibayarkan secara sekaligus, diatur berdasarkan ketentuan yang ditetapkan khusus
mengenai hal dimaksud.
Pasal 19
(1) Tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dan bersifat final diterapkan atas penghasilan
bruto
yang diterima atau diperoleh sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh
orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri dengan memperhatikan ketentuan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku antara Republik Indonesia dengan negara domisili Subjek
Pajak luar negeri tersebut.
(2) PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersifat final dalam hal orang pribadi sebagai
Wajib Pajak luar negeri tersebut berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri.
BAB VII
TARIF PEMOTONGAN PPh PASAL 21 BAGI PENERIMA PENGHASILAN YANG TIDAK
MEMPUNYAI NOMOR POKOK WAJIB PAJAK
Pasal 20
(1) Bagi penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak,
dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif
yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2) Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar 120%
(seratus dua puluh persen) dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang
bersangkutan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(3) Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk pemotongan
PPh
Pasal 21 yang bersifat tidak final.
(4) Dalam hal Pegawai Tetap atau penerima pensiun berkala sebagai penerima penghasilan yang telah
85
dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dalam tahun kalender yang
bersangkutan paling lama sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk masa pajak Desember, PPh Pasal
21 yang telah dipotong atas selisih pengenaan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) lebih tinggi
tersebut diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan-bulan selanjutnya setelah
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
BAB VIII
SAAT TERUTANG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal 21
(1) PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi Penerima Penghasilan pada saat dilakukan
pembayaran atau pada saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
(2) PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
untuk
setiap masa pajak.
(3) Saat terutang untuk setiap masa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah akhir bulan
dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
BAB IX
HAK DAN KEWAJIBAN PEMOTONG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26
SERTA PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PAJAK
Pasal 22
(1) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21
wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(2) Pegawai, penerima pensiun berkala, serta Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf a angka 4 wajib membuat surat pernyataan yang berisi jumlah tanggungan keluarga pada
awal tahun kalender atau pada saat mulai menjadi Subjek Pajak dalam negeri sebagai dasar
penentuan PTKP dan wajib menyerahkannya kepada pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
pada saat mulai bekerja atau mulai pensiun.
(3) Dalam hal terjadi perubahan tanggungan keluarga, maka pegawai, penerima pensiun berkala, dan
Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 wajib membuat surat
pernyataan baru dan menyerahkannya kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 paling
lama sebelum mulai tahun kalender berikutnya.
(4) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib menghitung, memotong, menyetorkan, dan
melaporkan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang untuk setiap bulan kalender.
(5) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib membuat catatan atau kertas kerja perhitungan
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk masing-masing penerima penghasilan, yang menjadi dasar
pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang untuk setiap masa pajak dan wajib
menyimpan catatan atau kertas kerja perhitungan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(6) Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
untuk setiap bulan kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap berlaku, dalam hal jumlah
pajak yang dipotong pada bulan yang bersangkutan nihil.
(7) Dalam hal dalam suatu bulan terjadi kelebihan penyetoran pajak atas PPh Pasal 21 dan/atau PPh
Pasal
26 yang terutang oleh pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, kelebihan penyetoran tersebut
dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang pada bulan
berikutnya
melalui Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26.
Pasal 23
(1) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21
atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap atau penerima pensiun berkala paling lama 1
(satu) bulan setelah tahun kalender berakhir.
(2) Dalam hal Pegawai Tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember, bukti pemotongan PPh Pasal 21
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan paling lama 1 (satu) bulan setelah yang
bersangkutan berhenti bekerja.
(3) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21
atas
pemotongan PPh Pasal 21 selain Pegawai Tetap dan penerima pensiun berkala sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), serta bukti pemotongan PPh Pasal 26 setiap kali melakukan pemotongan PPh Pasal 26.
(4) Dalam hal dalam 1 (satu) bulan kalender, kepada satu penerima penghasilan dilakukan lebih dari 1
(satu) kali pembayaran penghasilan, bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibuat sekali untuk 1 (satu) bulan kalender.
(5) Bentuk formulir pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 ditetapkan dengan Peraturan
Direktur
Jenderal Pajak tersendiri.
86
Pasal 24
(1) PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
untuk setiap Masa Pajak wajib disetor ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan,
paling lama 10 (sepuluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(2) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib melaporkan pemotongan dan penyetoran PPh
Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk setiap Masa Pajak yang dilakukan melalui penyampaian Surat
Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat
Pemotong
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terdaftar, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak
berakhir.
(3) Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) dan batas waktu pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran
dan pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Pasal 25
(1) Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong merupakan kredit pajak bagi penerima penghasilan yang
dikenakan pemotongan untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat
final.
(2) Jumlah pemotongan PPh Pasal 21 atas selisih penerapan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) lebih
tinggi bagi Pegawai Tetap atau penerima pensiun berkala sebelum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
yang telah diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 terutang untuk bulan-bulan selanjutnya pada tahun
kalender berikutnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4) tidak termasuk kredit pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal Wajib Pajak yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak
maka PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi untuk tahun pajak yang bersangkutan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan yang menyatakan jumlah lebih bayar maka penyampaiannya harus
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak berakhirnya tahun pajak yang
bersangkutan.
(5) Dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang menyatakan jumlah lebih bayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan setelah 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya tahun
pajak yang bersangkutan dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis, tidak dianggap sebagai Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Pasal 26
Petunjuk umum dan contoh penghitungan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah
sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
Dengan berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan
Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang
Pribadi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009 dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 28
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2013.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Desember 2012
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
ttd.
A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001
87
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 154/PMK.03/2010
TENTANG
Menimbang :
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4893);
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik
88
Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
4. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
Pasal 1
a. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang;
b. bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak
pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah dan
lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas pembelian
barang;
c. bendahara pengeluaran untuk pembayaran yang dilakukan dengan mekanisme uang
persediaan (UP);
d. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar
yang diberi delegasi oleh KPA, untuk pembayaran kepada pihak ketiga yang
dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS);
e. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas,
industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan
Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri;
f. Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan
bakar minyak, gas, dan pelumas;
g. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,
dan perikanan yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas pembelian
bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.
Pasal 2
1. yang menggunakan Angka Pengenal Impor (APl), sebesar 2,5% (dua setengah
persen) dari nilai impor, kecuali atas impor kedelai, gandum dan tepung terigu
sebesar 0,5% (setengah persen) dari nilai impor;
2. yang tidak menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 7,5% (tujuh
89
setengah persen) dari nilai impor; dan/atau
3. yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual
lelang.
b. Atas pembelian barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b, huruf c, dan
huruf d sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian.
c. Atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas oleh produsen atau importir
bahan bakar minyak, gas dan pelumas adalah sebagai berikut:
1. Bahan Bakar Minyak sebesar:
a. 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari penjualan tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada SPBU Pertamina;
b. 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada SPBU bukan Pertamina dan
Non SPBU;
2. Bahan Bakar Gas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai;
3. Pelumas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai.
d. Atas penjualan hasil produksi di dalam negeri oleh badan usaha yang bergerak dalam
bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif:
1. penjualan kertas di dalam negeri sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dari
dasar pengenaan pajak Pajak Pertambahan Nilai;
2. penjualan semua jenis semen di dalam negeri sebesar 0,25% (nol koma dua
puluh lima persen) dari dasar pengenaan pajak Pajak Pertambahan Nilai;
3. penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih di dalam
negeri sebesar 0,45% (nol koma empat puluh lima persen) dari dasar
pengenaan pajak Pajak Pertambahan Nilai ;
4. penjualan baja di dalam negeri sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari dasar
pengenaan pajak Pajak Pertambahan Nilai.
e. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha
industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,
dan perikanan yang ditunjuk sebagai pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 dari
pedagang pengumpul sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari harga
pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Nilai impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 dan angka 2 adalah
nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk yaitu Cost Insurance and
Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan kepabeanan di bidang impor.
(3) Besarnya tarif pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diterapkan
terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100%
(seratus persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat
menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku untuk pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 22 yang bersifat tidak final.
Pasal 3
90
perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan;
b. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak
Pertambahan Nilai:
c. Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor
kembali;
d. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor
kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah
diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi
91
syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
e. Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 huruf b, huruf c dan, huruf d , berkenaan dengan:
f. Pembayaran untuk pembelian gabah dan/atau beras oleh Perusahaan Umum Badan
Urusan Logistik (BULOG);
g. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas
untuk tujuan ekspor;
h. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS).
(2) Pengecualian dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas barang impor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tetap berlaku dalam hal barang impor
tersebut dikenakan tarif bea masuk sebesar 0%(nol persen).
(3) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf g dinyatakan
dengan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Pasal 22 yang diterbitkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
(4) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf h
dilakukan tanpa Surat Keterangan Bebas (SKB).
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dan ayat (2)
dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang tata caranya diatur oleh
Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan/atau Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 4
(1) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang, terutang dan dilunasi bersamaan dengan
saat pembayaran Bea Masuk.
(2) Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, maka Pajak Penghasilan
Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor
Barang (PIB).
(3) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang oleh pemungut pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 huruf b, huruf c dan, huruf d terutang dan dipungut pada saat
pembayaran.
(4) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi industri semen, industri kertas,
industri baja, dan industri otomotif terutang dan dipungut pada saat penjualan.
(5) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil bahan bakar minyak, gas dan pelumas
terutang dan dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (delivery
order).
(6) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul
terutang dan dipungut pada saat pembelian.
Pasal 5
(1) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang dilaksanakan dengan cara
penyetoran oleh:
92
b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,
ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan.
(2) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang oleh pemungut pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b, huruf c dan, huruf d, wajib disetor oleh
pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama
rekanan serta ditandatangani oleh pemungut pajak.
(3) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak, gas dan
pelumas, dan penjualan hasil produksi industri semen, industri kertas, industri baja dan
industri otomotif, wajib disetor oleh pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank
devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak.
(4) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan
industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor
kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan wajib disetor oleh pemungut ke kas
negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.
Pasal 6
(1) Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh importir, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
dan pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b, huruf c dan, huruf d,
menggunakan formulir Surat Setoran Pajak yang berlaku sebagai Bukti Pemungutan
Pajak.
(2) Pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e, huruf f, dan huruf g, wajib
menerbitkan Bukti Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dalam rangkap 3 (tiga), yaitu
:
Pasal 7
Pasal 8
Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan pelaporan
pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dilakukan
sesuai jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang
mengatur mengenai penentuan tanggal jatuh tempo pembayaran, penyetoran dan pelaporan
pemungutan pajak.
93
Pasal 9
(1) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang, pembelian barang oleh
pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b, huruf c dan, huruf d,
penjualan hasil produksi industri semen, industri kertas, industri baja dan industri
otomotif dan pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor bersifat tidak
final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun
berjalan bagi Wajib Pajak yang dipungut.
(2) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak, gas dan
pelumas kepada:
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pemungutan Pajak Penghasilan Pasal
22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor
atau kegiatan usaha di bidang lain diatur dengan Peraturan Direktur JenderalPajak.
Pasal 11
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 254/KMK.03/2001 tentang Penunjukkan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat
dan Besarnya Pungutan Serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
210/PMK.03/2008, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 12
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Agustus 2010
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
94
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 175/PMK.011/2013
TENTANG
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
95
Pasal I
Ketentuan ayat (1) huruf a dan ayat (2) Pasal 2 dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan
Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di
Bidang Lain sebagaimana telahbeberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 146/PMK.011/2013, diubah sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
b. Atas pembelian barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b, huruf c,
huruf d, dan pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e, sebesar 1,5% (satu setengah
persen) dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
c. Atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh produsen atau
importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
1. bahan bakar minyak sebesar:
a. 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari penjualan tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada stasiun pengisian bahan
bakar umum Pertamina;
b. 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar
umum bukan Pertamina;
c. 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada pihak selain sebagaimana
dimaksud pada huruf a) dan huruf b);
2. bahan bakar gas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai;
3 pelumas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai.
d. Atas penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam negeri oleh badan usaha yang
bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri
otomotif, dan industri farmasi:
96
1. penjualan semua jenis semen sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen);
2. penjualan kertas sebesar 0,1% (nol koma satu persen);
3. penjualan baja sebesar 0,3% (nol koma tiga persen);
4. penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih sebesar 0,45%
(nol koma empat puluh lima persen);
5. penjualan semua jenis obat sebesar 0,3% (nol koma tiga persen), dari dasar
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
e. Atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh Agen Tunggal Pemegang
Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor
sebesar 0,45% (nol koma empat puluh lima persen) dari dasar pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai.
f. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha
industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan, sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari
harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Nilai impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3
adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk yaitu Cost Insurance
and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan kepabeanan di bidang impor.
(3) Besarnya tarif pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diterapkan terhadap
Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100% (seratus
persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan
Nomor Pokok Wajib Pajak.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku untuk pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 22 yang bersifat tidak final.
Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Desember 2013
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
MUHAMAD CHATIB BASRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Desember 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK
ASASI MANUSIA REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
97
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
98
b. bahwa berdasarkan perti mbangan sebagai mana
dimaksud dalam huruf a dan sesuai dengan ketentuan
Pasal 21 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak
Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi
Behan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan. Belanja Daerah;
MEMUTUSKAN:
REPUBLIK INDONESIA
-100-
Pasal 1
Pasal 2
5-
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2010
ttd.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2010
PATRIALIS AKBAR
Terhadap .
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 80 TAHUN 2010
TENTANG
TARIF PEMOTONGAN DAN PENGENAAN
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN
YANG MENJADI BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
I. UMUM
Terhadap .
Terhadap penghasilan berupa gaji dan tunjangan lain atau uang pensiun
dan tunjangan lain yang bersifat tetap dan teratur setiap bulan yang
dibebankan dalam APBN atau APBD yang besarnya ditetapkan oleh
ketentuan peraturan perudang-undangan, yang diterima oleh Pejabat
Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya, Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang terutang ditanggung oleh pemerintah.
Sedangkan atas penghasilan selain gaji dan tunjangan lain atau uang
pensiun dan tunjangan lain yang bersifat tetap dan teratur setiap bulan
atau imbalan tetap sejenisnya berupa honorarium atau imbalan lain
dengan nama apapun yang menjadi beban APBN atau APBD, dikenai
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.
Pengenaan tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final kepada
golongan kepangkatan tertentu bagi PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI dan
Pensiunannya merupakan insentif.
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Penghasilan yang diberikan dalam mata uang asing yang
ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan termasuk dalam pengertian penghasilan tetap dan
teratur setiap bulan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-3-
Ayat (2)
Huruf a
Termasuk dalam pengertian "gaji dan tunjangan lain"
adalah gaji dan tunjangan ke-13.
Huruf b
Lihat penjelasan huruf a.
Huruf c
Termasuk dalam pengertian "uang pensiun dan tunjangan
lain" adalah uang pensiun dan tunjangan ke-13.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak dibuktikan oleh Pejabat
Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya
antara lain dengan menunjukkan kartu Nomor Pokok Wajib
Pajak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "bendahara pemerintah" adalah
bendahara pengeluaran pada kementerian/lembaga, pemerintah
provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-4-
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Penghasilan Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan
Pensiunannya yang menerima penghasilan lain yang tidak dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final (misalnya penghasilan
berupa laba usaha, royalti, atau keuntungan penjualan aktiva)
digabung dengan penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dalam
perhitungan Pajak Penghasilan yang terutang yang dilaporkan
dalam Surat P e m b e r i t a h u a n T a h u n a n W a j i b P a j a k o r a n g
p r i b a d i y a n g bersangkutan.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBAR
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 262/PMK.03/2010 TANGGAL 31 DESEMBER 2010
TENTANG
TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA,
PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI, DAN PENSIUNANNYA ATAS PENGHASILAN YANG
MENJADI BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA ATAU ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 7 PERATURAN PEMERINTAH nomor 80
TAHUN 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas
Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata
Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI,
Anggota POLRI, dan Pensiunannya atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. PERATURAN PEMERINTAH nomor 80 TAHUN 2010 tentang Tarif Pemotongan dan
Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5174);
4. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK
PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI,
DAN PENSIUNANNYA ATAS PENGHASILAN YANG MENJADI BEBAN ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA ATAU ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA
DAERAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
2. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21 adalah pajak atas
penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan
dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3. Pejabat Negara adalah Pejabat Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Pokok-Pokok Kepegawaian.
4. Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya disingkat PNS, adalah PNS sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.
5. Anggota Tentara Nasional Indonesia, yang selanjutnya disebut Anggota TNI adalah
anggota TNI sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok
Kepegawaian.
6. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut Anggota
POLRI adalah anggota POLRI sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-
Pokok Kepegawaian.
7. Pensiunan adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan atas
pekerjaan yang dilakukan di masa lalu sebagai Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau
Anggota POLRI, termasuk janda atau duda dan/atau anak-anaknya.
8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disingkat APBN adalah
rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat.
9. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang selanjutnya disingkat APBD adalah
rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
BAB II
PENGHASILAN YANG DIKENAI PPh PASAL 21
Pasal 2
(1) PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang
menjadi beban APBN atau APBD ditanggung oleh Pemerintah atas beban APBN atau
APBD.
(2) Penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penghasilan tetap dan teratur bagi:
a. Pejabat Negara, untuk:
1) gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan; atau
2) imbalan tetap sejenisnya,
yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. PNS, Anggota TN!, dan Anggota POLRI, untuk gaji dan tunjangan lain yang
sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
c. Pensiunan, untuk uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan
teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Termasuk dalam pengertian gaji, uang pensiun, dan tunjangan lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah gaji, uang pensiun, dan tunjangan ke-13 (ketiga belas).
Pasal 3
Atas penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) berupa
honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun yang menjadi beban APBN atau APBD,
dipotong PPh Pasal 21 dan bersifat final, tidak termasuk biaya perjalanan dinas.
Pasal 4
Dalam hal penghasilan tetap dan teratur setiap bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) dan honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 diterima dalam mata uang asing, penghitungan PPh Pasal 21 didasarkan pada nilai tukar
(kurs) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran penghasilan
tersebut.
BAB III
DASAR PENGENAAN PPh PASAL 21
Pasal 5
(1) Dasar pengenaan PPh Pasal 21 atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah Penghasilan Kena Pajak.
(2) Besarnya Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan
berdasarkan penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak.
(3) Besarnya Penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bagi Pejabat Negara,
PNS, Anggota TNI, atau Anggota POLRI ditentukan berdasarkan jumlah seluruh
penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dikurangi dengan:
a. biaya jabatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang
mengatur tentang biaya jabatan; dan
b. iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota
TNI, atau Anggota POLRI kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua
atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
(4) Besarnya penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bagi pensiunan
ditentukan berdasarkan seluruh penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dikurangi
dengan biaya pensiun sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang
mengatur tentang biaya pensiun.
Pasal 6
Dasar pengenaan PPh Pasal 21 atas honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah penghasilan bruto.
Pasal 7
(1) Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun adalah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan atau Peraturan Menteri
Keuangan mengenai penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(2) Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak bagi wanita berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. bagi wanita kawin, sebesar Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk dirinya sendiri;
b. bagi wanita tidak kawin, sebesar Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk dirinya
sendiri ditambah Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk keluarga sedarah dan
keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi
tanggungan sepenuhnya paling banyak 3 (tiga) orang.
(3) Dalam hal wanita kawin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat menunjukan
keterangan tertulis dari pemerintah daerah setempat serendah-rendahnya kecamatan
yang menyatakan suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya
Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk dirinya
sendiri ditambah Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk status kawin dan Penghasilan
Tidak Kena Pajak untuk keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan
lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3 (tiga)
orang.
(4) Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak ditentukan berdasarkan keadaan pada awal
tahun kalender.
BAB IV
TARIF PEMOTONGAN PAJAK DAN PENERAPANNYA
Pasal 8
(1) Tarif pajak berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan
diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
(2) Jumlah Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibulatkan ke bawah hingga ribuan rupiah penuh.
(3) Untuk perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap Masa Pajak, selain Masa
Pajak Desember atau Masa Pajak terakhir, tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diterapkan atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun,
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun adalah jumlah
gaji, uang pensiun, dan tunjangan yang dibayarkan setiap bulan dikalikan 12
(dua belas);
b. dalam hal terdapat pembayaran penghasilan seperti gaji, uang pensiun, dan
tunjangan ke-13 (ketiga belas), serta rapel gaji dan/atau tunjangan maka
perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun adalah
sebesar jumlah pada huruf a ditambah dengan jumlah gaji, uang pensiun, dan
tunjangan ke-13 (ketiga belas) serta rapel gaji dan/atau tunjangan.
(4) Masa Pajak terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah Masa Pajak tertentu
dimana Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau Anggota POLRI terakhir bekerja.
(5) Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk setiap Masa Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) adalah:
a. atas penghasilan seperti gaji, uang pensiun, dan tunjangan yang dibayarkan
setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang atas jumlah
penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dibagi 12 (dua belas);
b. atas penghasilan seperti gaji, uang pensiun, dan tunjangan ke-13 (ketiga belas)
serta rapel gaji dan/atau tunjangan adalah sebesar selisih antara Pajak
Penghasilan yang terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf b dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas jumlah
penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a.
(6) Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau Anggota POLRI mulai bekerja
sebagai Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau Anggota POLRI setelah bulan Januari,
banyaknya bulan yang menjadi faktor pengali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau
faktor pembagi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) adalah jumlah bulan tersisa dalam
tahun kalender sejak yang bersangkutan mulai bekerja atau mulai pensiun.
(7) Besarnya PPh Pasal 21 yang dipotong untuk Masa Pajak Desember adalah selisih
antara Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh Penghasilan Kena Pajak selama 1
(satu) tahun takwim dengan akumulasi PPh Pasal 21 yang terutang pada Masa Pajak-
Masa Pajak sebelumnya dalam tahun takwim yang bersangkutan.
(8) Besarnya PPh Pasal 21 yang dipotong untuk Masa Pajak terakhir adalah selisih antara
Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh Penghasilan Kena Pajak yang
disetahunkan dengan akumulasi PPh Pasal 21 yang terutang pada Masa Pajak-Masa
Pajak sebelumnya dalam tahun takwim yang bersangkutan.
(9) Tidak termasuk dalam akumulasi PPh Pasal 21 yang terutang sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) dan ayat (8) adalah tambahan PPh Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20% (dua
puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).
(10) Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau Anggota POLRI menerima tambahan
penghasilan yang bersifat tetap dan teratur setiap bulan yang pembayarannya terpisah
dari pembayaran gaji, maka penghitungan PPh Pasal 21 atas tambahan penghasilan
tersebut harus memperhitungkan jumlah seluruh penghasilan tetap dan teratur setiap
bulan yang diterima oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau Anggota POLRI yang
bersangkutan.
Pasal 9
Tarif PPh Pasal 21 atas honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun yang menjadi
beban APBN atau APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, adalah sebagai berikut:
a. sebesar 0% (nol persen) dari penghasilan bruto bagi PNS Golongan I dan Golongan II,
Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Tamtama dan Bintara, dan
Pensiunannya;
b. sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto bagi PNS Golongan III, Anggota TNI
dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Pertama, dan Pensiunannya;
c. sebesar 15% (lima belas persen) dari penghasilan bruto bagi Pejabat Negara, PNS
Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Menengah
dan Perwira Tinggi, dan Pensiunannya.
Pasal 10
(1) Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya tidak
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang
menjadi beban APBN atau APBD dikenai tarif PPh Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20%
(dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Pejabat Negara, PNS,
Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya yang memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak.
(2) Tambahan PPh Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20% (dua puluh persen) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menjadi beban Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota
POLRI, dan Pensiunannya dan dipotong dari penghasilan yang diterima Pejabat Negara,
PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya.
(3) Pengenaan tambahan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
oleh bendahara pemerintah dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota
POLRI, dan Pensiunannya belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak pada saat
permintaan pembayaran penghasilan tetap dan teratur setiap bulan diajukan.
(4) Pemotongan atas tambahan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan oleh bendahara pemerintah pada saat pembayaran penghasilan tetap dan
teratur yang diterima setiap bulan.
(5) Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak dibuktikan oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota
TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya dengan memberikan fotokopi kartu Nomor
Pokok Wajib Pajak kepada bendahara pemerintah.
(6) Bagi wanita kawin yang tidak memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri, kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) dibuktikan dengan memberikan:
a. fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak suami serta fotokopi surat nikah; atau
b. fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak diri sendiri dengan kode keluarga dari
Nomor Pokok Wajib Pajak suami,
kepada bendahara pemerintah.
BAB V
KEWAJIBAN PEMOTONGAN PAJAK
Pasal 11
(1) Bendahara pemerintah yang melakukan pemotongan PPh Pasal 21 adalah bendahara
pengeluaran pada kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, atau pemerintah
kabupaten/kota.
(2) Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan perpajakan; dan
b. menghitung, memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh Pasal 21 yang
terutang untuk setiap Masa Pajak.
(3) Kewajiban menghitung, memotong, dan melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) tetap dilakukan terhadap penghasilan yang dikenai tarif PPh Pasal 21 sebesar 0%
(nol persen).
(4) Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 untuk
setiap Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap berlaku, dalam hal jumlah
pajak yang dipotong pada Masa Pajak yang bersangkutan nihil.
Pasal 12
(1) Pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 21 bagi Pensiunan dilakukan oleh badan yang
ditunjuk sesuai peraturan perundang-undangan untuk melakukan pembayaran
penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) berlaku bagi badan yang
ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 13
(1) Dalam hal dalam suatu Masa Pajak terjadi kelebihan perhitungan atas PPh Pasal 21
yang Ditanggung Pemerintah, kelebihan PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh pemerintah
tersebut diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh pemerintah pada
bulan berikutnya melalui Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21.
(2) Dalam hal dalam suatu Masa Pajak terjadi kesalahan pemotongan atas PPh Pasal 21
yang bersifat Final dari penghasilan berupa honorarium atau imbalan lain sehingga
terdapat kelebihan penyetoran PPh Pasal 21 yang bersifat final, kelebihan penyetoran
PPh Pasal 21 yang bersifat final tersebut dikembalikan sesuai tata cara pengembalian
kelebihan pembayaran pajak sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri
Keuangan yang mengatur mengenai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran
pajak yang seharusnya tidak terutang.
Pasal 14
(1) Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21
yang Ditanggung Pemerintah kepada Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota
POLRI, dan Pensiunannya paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun kalender berakhir.
(2) Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI dan Anggota POLRI berhenti bekerja
sebelum berakhirnya tahun kalender, bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus diberikan paling lama 1 (satu) bulan setelah yang
bersangkutan berhenti bekerja.
(3) Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21
yang bersifat final atas penghasilan berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama
apapun paling lama pada akhir bulan dilakukannya pembayaran penghasilan tersebut.
Pasal 15
(1) PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 dan badan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, wajib disetor
ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk Menteri Keuangan, dalam jangka waktu sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, wajib melaporkan pemotongan dan penyetoran
PPh Pasal 21 untuk setiap Masa Pajak yang dilakukan melalui penyampaian Surat
Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Bendahara
pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 terdaftar, dalam jangka waktu sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN PENERIMA PENGHASILAN
Pasal 16
(1) Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunan wajib membuat
surat pernyataan yang berisi jumlah tanggungan keluarga pada:
a. awal tahun kalender;
b. saat mulai menjadi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI dan Anggota POLRI;
c. saat mulai pensiun,
sebagai dasar penentuan Penghasilan Tidak Kena Pajak dan wajib menyerahkannya
kepada bendahara pemerintah.
(2) Apabila Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau Anggota POLRI berhenti bekerja,
pindah, atau pensiun pada bagian tahun kalender, maka Bendahara pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 tempat bekerja yang lama wajib menyampaikan Bukti
Pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) kepada Bendahara
pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12:
a. tempat bekerja yang baru dalam hal yang bersangkutan pindah kerja;
b. yang membayar uang pensiun dalam hal yang bersangkutan mulai pensiun;
paling lama 1 (satu) bulan setelah Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau Anggota
POLRI berhenti bekerja, pindah, atau pensiun.
Pasal 17
PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dan PPh Pasal 21 yang dipotong dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1) dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh
penghasilan yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib
Pajak orang pribadi.
Pasal 18
Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya, menerima
atau memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan bersifat final, di luar
penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD, penghasilan
lain tersebut digunggungkan dengan penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang bersangkutan.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Tata cara penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan honorarium atau imbalan lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 yang diterima oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan
Pensiunannya sesuai petunjuk umum dan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri Keuangan ini.
Pasal 20
Dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, atas permintaan pembayaran penghasilan
tetap dan teratur untuk bulan Januari 2011 yang telah dilakukan pemrosesan pada bulan
Desember 2010, pengenaan PPh Pasal 21 dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 45 TAHUN 1994 tentang Pajak Penghasilan Bagi
Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan
Para Pensiunan Atas Penghasilan yang Dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan
Daerah beserta peraturan pelaksanaanya.
Pasal 21
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor
636/KMK.04/1994 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri
Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan para Pensiunan atas Penghasilan
yang Dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 22
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2011.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangannya Peraturan Menteri
Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 31 Desember 2010
MENTERI KEUANGAN
ttd
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2010
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Penghasilan disetahunkan:
12 x Rp 3.296.773,00 Rp 39.561.276,00
Gaji dan tunjangan Ke-13:
Gaji Pokok Rp 2.244.500,00
Tunjangan Istri Rp 224.450,00
Tunjangan Anak Rp 89.780,00
Tunjangan Jabatan Rp 540.000,00
Pembulatan Rp 40,00 +
------------------------
Jumlah Gaji dan tunjangan Ke-13 Rp 3.098.770,00
----------------------
Jumlah Penghasilan bruto setahun Rp 42.660.046,00
Pengurangan
Biaya Jabatan
5% X Rp 42.660.046,00 = Rp 2.133.002,00
Iuran pensiun
12 x 4,75% X Rp 2.558.730,00 = Rp 1.458.476,00 +
----------------------
Rp 3.591.478,00 -
-----------------------
Penghasilan neto setahun Rp 39.068.568,00
PTKP (K/3)
untuk Wajib Pajak Rp 15.840.000,00
status WP Kawin Rp 1.320.000,00
tambahan 3 orang tanggungan
(3 x Rp1.320.000,00) Rp 3.960.000,00 +
-------------------------
Rp 21.120.000,00 -
------------------------
Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp 17.948.568,00
Pembulatan Rp 17.948.000,00
Catatan:
1. PPh Pasal 21 per bulan yang terutang atas gaji dan
tunjangan di KPP A adalah sebesar Rp36.866,00
2. PPh Pasal 21 per bulan yang terutang atas tunjangan
jabatan yang dibayarkan di KIP B adalah sebesar
Rp25.650,00
3. Contoh perhitungan I.A.4 ini juga diberlakukan apabila
pembayaran tunjangan tambahan yang bersifat tetap
dan teratur setiap bulan dan pembayaran gaji dilakukan
oleh bendahara yang sama tetapi pengajuan
pembayarannya terpisah.
I.B. Penghitungan PPh Pasal 21 Terutang Pada Masa Pajak Desember
Penghitungan PPh Pasal 21 Masa Desember untuk Aprinta
sebagaimana contoh I.A.1, yang menerima gaji dan tunjangan ke-13
pada bulan Juli sebagaimana contoh I.A.3, adalah sebagai berikut:
Penghasilan dari Januari sampai dengan Desember:
Gaji Pokok Rp 26.934.000,00
Tunjangan Istri Rp 2.693.400,00
Tunjangan Anak Rp 1.077.360,00
Tunjangan Jabatan Rp 6.480.000,00
Tunjangan Beras Rp 2.376.000,00
Pembulatan Rp 516,00
Gaji dan tunjangan ke-13 Rp 3.098.770,00 +
-------------------------
Jumlah penghasilan bruto setahun Rp 42.660.046,00
Pengurangan:
Biaya Jabatan
5% X Rp 42.660.046,00 = Rp2.133.002,00
Iuran pensiun
12 x 4,75% X Rp 2.558.730,00 = Rp1.458.476,00 +
--------------------
Rp 3.591.478,00 -
-----------------------
Penghasilan neto setahun Rp 39.068.568,00
PTKP (K/3)
- untuk Wajib Pajak Rp 15.840.000,00
- status WP Kawin Rp 1.320.000,00
tambahan 3 orang tanggungan
(3 x Rp1.320.000,00) Rp 3.960.000,00 +
-----------------------
Rp 21.120.000,00
----------------------
Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp 17.948.568,00
Pembulatan Rp 17.948.000,00
PPh Pasal 21 terutang setahun (Januari s.d. Desember):
5% x Rp17.948.000,00 = Rp 897.400,00
PPh Pasal 21 atas gaji dan tunjangan terutang
Januari s.d. November :
11 x Rp 62.516,00 = Rp 687.676,00
PPh Pasal 21 atas gaji dan tunjangan ke-13:
Rp 147.200,00+
-------------------------
Jumlah PPh Pasal 21 terutang Januari s.d. November
Rp 834.876,00
PPh Pasal 21 terutang Masa Desember:
Rp 897.400,00 - Rp 834.876,00 = Rp 62.524
Catatan:
1. Apabila PPh Pasal 21 yang terutang untuk Masa Januari s.d.
November terdapat tambahan PPh Pasal 21 sebesar 20%
karena belum memiliki NPWP, maka tambahan PPh Pasal 21
tersebut tidak boleh menjadi pengurang atas PPh Pasal 21 yang
terutang pada bulan Desember.
2. Bendahara pengeluaran harus membuat Bukti Pemotongan PPh
Pasal 21 (1721-A2) untuk setiap tahun Pajak paling lama akhir
bulan Januari Tahun berikutnya.
I.C. Penghitungan PPh Pasal 21 Terutang Pada Masa PajakTerakhir
Apabila Aprinta sebagaimana contoh I.A.1, akan memasuki usia
pensiun pada bulan Juni, maka perhitungan PPh Pasal 21 pada bulan
Mei adalah sebagai berikut:
Penghasilan dari bulan Januari sampai dengan bulan Mei:
Gaji Pokok Rp 11.222.500,00
Tunjangan Istri Rp 1.122.250,00
Tunjangan Anak Rp 448.900,00
Tunjangan Jabatan Rp 2.700.000,00
Tunjangan Beras Rp 990.000,00
Pembulatan Rp 215,00 +
-------------------------
Jumlah penghasilan bruto Rp 16.483.865,00
Pengurangan:
1. Biaya Jabatan
5% X Rp 16.483.865,00 = Rp 824.193,00
2. Iuran pensiun
4,75% X Rp 12.793.650,00 = Rp 607.698,00 +
----------------------
Rp1.431.891,00 -
-------------------------
Penghasilan neto Rp 15.051.974,00
Penghasilan neto disetahunkan:
12/5 x Rp 15.051.974,00 Rp 36.124.737,00
PTKP (K/3)
- untuk Wajib Pajak Rp 15.840.000,00
- status WP Kawin Rp 1.320.000,00
- tambahan 3 orang tanggungan
(3 x Rp1.320.000,00) Rp 3.960.000,00 +
Rp 21.120.000,00 -
------------------------
Penghasilan Kena Pajak (PKP) disetahunkan Rp 15.004.737,00
Pembulatan Rp 15.004.000,00
PPh Pasal 21 disetahunkan
5% x Rp 15.004.000,00 = Rp 750.200,00
Catatan:
Walaupun PPh Pasal 21 Final yang dipotong Rp 0,00,
Bendahara pemerintah wajib membuat bukti pemotongan PPh Pasal 21
Final paling lama akhir bulan Maret 2011.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------