Anda di halaman 1dari 125

DAFTAR ISI

Daftar Isi………………………………………………………………………………………… 2

Bab I Subjek Pajak dan Subjek Pajak Orang Pribadi…………………………………


1. Definisi Subjek Pajak……………………………………………………… 4
2. Subjek PPh…………………………………………………………………. 4
3. Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri……………………………... 4
4. Subjek Pajak Orang Pribadi Luar Negeri……………………………….. 5
5. Status Subjek Pajak bagi WNI yang di luar negeri…………………….. 7
6. Timbul & Berakhirnya Kewajiban Pajak Subjektif……………………… 9
7. Non Subjek Pajak Orang Pribadi………………………………………… 11
8. Perbedaan Pemajakan bagi SPDN dan SPLN…………………………. 12
9. Soal Latihan………………………………………………………………... 14
15
Bab II Objek Pajak…………………..…………………………………………………….
1. Objek Pajak (terutang pada akhir tahun) ………………………………. 17
2. Objek Pajak Final………………………………………………………….. 21
3. Bukan Objek Pajak………………………………………………………… 34
4. Soal Latihan………………………………………………………………... 37

Bab III Penghasilan Neto, PTKP, Tarif, dan Kredit Pajak……………………………..


1. Penghasilan Neto…………………………………………………………. 39
2. PTKP………………………………………………………………………... 44
3. Tarif………………………………………………………………………….. 45
4. Kredit Pajak (Selain Kredit Pajak Luar Negeri) ………………………... 46
5. Perhitungan Pajak untuk WP OP secara Umum………………………. 55
6. Status Kewajiban Suami Istri: KK, HB, PH, dan MT…………………… 60
7. Soal Latihan………………………………………………………………... 64

Bab IV Pajak Penghasilan dari Pekerjaan (s.d. Rp 60 juta) ………………………….


1. Jenis Formulir SPT Tahunan PPh OP…………………………………. 66
2. Menghitung PPh Akhir Tahun WP OP Karyawan dengan penghasilan 67
bruto ≤ Rp60 juta…………………………………………………………..
3. WP OP dengan status kewajiban perpajakan suami-istri PH atau MT 68
4. Mengisi SPT Tahunan dengan Formulir 1770 SS…………………….. 68
5. Soal Latihan………………………………………………………………... 71

Bab V Pajak Penghasilan dari Pekerjaan (lebih dari Rp 60 juta) …………………….


1. Menghitung PPh Akhir Tahun WP OP Karyawan dengan penghasilan 74
bruto > Rp60 juta…………………………………………………………..
2. WP OP karyawan dengan penghasilan lainnya………………………… 76
3. WP OP dengan status kewajiban perpajakan suami-istri PH atau MT 77
4. Mengisi SPT Tahunan dengan Formulir 1770 S……………………… 78
5. Soal Latihan dan Kasus…………………………………………………... 86

Bab VI PPh bagi OP yang melakukan Kegiatan Usaha……………………………….


1. Norma Penghitungan Penghasilan Neto……………………………….. 87
2. Menghitung PPh Akhir Tahun WP OP Nonpembukuan yang 88
menjalankan Kegiatan Usaha…………………………………………….

2
3. WP OP dengan Penghasilan Lainnya dan PP 23 tahun 2018……….. 89
4. Menghitung Angsuran PPh Pasal 25 tahun berikutnya……………….. 93
5. WP OP dengan status kewajiban perpajakan suami-istri PH atau MT 95
6. Mengisi SPT Tahunan dengan Formulir 1770………………………….. 95
7. Soal Latihan dan Kasus…………………………………………………... 105

Bab VII PPh bagi OP yang Menjalankan Pekerjaan Bebas (Nonpembukuan)……….


1. Menghitung PPh Akhir Tahun WP OP Nonpembukuan yang 107
Menjalankan Pekerjaan Bebas……………………………………………
2. WP OP dengan Penghasilan Lainnya…………………………………… 108
3. Menghitung Angsuran PPh Pasal 25 Tahun Berikutnya………………. 109
4. WP OP dengan status kewajiban perpajakan suami-istri PH atau MT 110
5. Mengisi SPT Tahunan dengan Formulir 1770…………………………. 111
6. Soal Latihan dan Kasus…………………………………………………... 119

Bab VIII Rangkuman 122

3
BAB I

Subjek Pajak dan Subjek Pajak Orang Pribadi

Tujuan:
Mahasiswa mampu menjelaskan tentang subjek pajak orang pribadi

1. Definisi Subjek Pajak

Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima
atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek Pajak tersebut dikenakan pajak apabila
menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek Pajak yang menerima atau memperoleh
penghasilan, dalam Undang-undang ini disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenakan pajak
atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat
pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak, apabila kewajiban
pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.
Prof. Gunadi mengaitkan Subjek Pajak dan Penghasilan Pajak berikut:
1) Untuk mengenakan Pajak Penghasilan harus ditentukan terlebih dulu subjek pajaknya,
baru ditentukan objek pajaknya.
2) Subjek pajak tersebut baru dikenakan Pajak Penghasilan apabila menerima atau
memperoleh penghasilan.
Dalam hukum pajak, dipenuhinya syarat sebagai subjek pajak dikenal dengan memiliki
kewajiban pajak subjektif, sedangkan jika sudah menerima atau memperoleh
penghasilan (bagi orang pribadi dalam negeri besarnya melebihi Penghasilan Tidak
Kena Pajak/PTKP) disebut memiliki kewajiban pajak objektif. Agar dapat dikenakan
Pajak Penghasilan harus dipenuhi dua syarat, yaitu adanya kewajiban pajak subjektif
dan kewajiban pajak objektif. Subjek pajak yang memiliki kewajiban pajak objektif
disebut wajib pajak.
3) Yang dimaksud dengan tahun pajak adalah tahun kalender, tetapi Wajib Pajak dapat
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender, sepanjang tahun
buku tersebut meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan.

Karakteristik dari Pajak Penghasilan dari beberapa literatur, disebutkan sbb:


1) Pajak Penghasilan sebagai Pajak Subjektif
Sebagai pajak subjektif, pengenaan pajak penghasilan dititikberatkan pada
keadaan dan kondisi subjek pajak. Subjek sendiri berarti pihak yang terhadapnya
dikenakan kewajiban atau kepadanya beroleh hak yang diatur dengan ketentuan
hukum. Dengan demikian subjek pajak adalah pihak-pihak yang secara hukum pajak
mempunyai kewajiban melaksanakan kewajiban perpajakan dan memiliki hak-hak
dibidang perpajakan yang dijamin oleh undang-undang perpajakan. Kondisi subjek
pajak yang menjadi pertimbangan adalah kemampuan dalam menjalankan kewajiban
perpajakan yang dikenakan atas dirinya. Hal ini sesuai konsep teori daya pikul.
2) Pajak Penghasilan sebagai Pajak Langsung
Sebagai Pajak langsung, Pajak Penghasilan dibebankan secara langsung kepada
Subjek Pajak. Pajak langsung berarti pajak tersebut dibayarkan langsung oleh
penanggung pajak kepada Pemerintah dengan tidak menggeser beban pajak tersebut
kepada pihak lain.
Dengan demikian terdapat tiga kriteria yang harus dipenuhi apakah jenis pajak
termasuk jenis pajak langsung atau tidak langsung yaitu :
1. Penanggung pajak secara yuridis formal, yaitu pihak yang ditunjuk untuk
memenuhi kewajiban perpajakan
2. Penanggung pajak secara ekonomis, yaitu pihak yang secara ekonomis
menanggung beban pembayaran pajak
3. Destinataris pajak atau tujuan akhir pengenaan pajak, yaitu pemikul beban pajak
terakhir.

4
Jika ketiga kriteria di atas terletak pada satu pihak yang menanggung, maka dapat
dikatakan bahwa pajak tersebut adalah pajak langsung, akan tetapi jika satu
kriteria saja dapat dilakukan penggeseran kewajiban kepada pihak lain, maka
pajak tersebut termasuk jenis pajak tidak langsung.
3) Penetapan Objek PPh secara luas (broad-based taxation)
Dalam penentuan objek pajak, Undang-undang pajak penghasilan tidak
menetapkan secara definitif objek-objek yang dikenakan pajak, baik dari segi bentuk,
nama, sumber dan asal-usul penghasilan, serta tujuan penggunaan penghasilan
tersebut.
4) Periode pemajakan
Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya
selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam
bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam
tahun pajak.
5) Pajak Penghasilan sebagai Pajak Pusat atau Pajak Negara
Dilihat dari otoritas yang berwenang mengadministrasikan pemungutan pajak,
maka pajak Penghasilan dikategorikan sebagai pajak pusat atau pajak negara karena
Pajak Penghasilan diadministrasikan sebagai penerimaan APBN dan wewenang
pemungutan dan pengelolaan Pajak Penghasilan terletak pada Pemerintah Pusat.

2. Subjek PPh
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur tentang siapa saja
yang menjadi subjek Pajak Penghasilan sebagai berikut:
a. 1. orang pribadi
2. warisan belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
b. badan, dan
c. bentuk usaha tetap
dalam bab ini akan dibahas mengenai Subjek Pajak Orang Pribadi.

3. Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri


Berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan,
orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia
ataupun di luar Indonesia.
Pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, subjek pajak dibedakan
menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Subjek pajak dalam
negeri pada pasal 3 disebutkan sebagai:
 orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia,
 orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau
 orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat
untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Penetuan tempat tinggal sesuai dengan PER-04/PJ/2020 tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Sertifikat Elektronik, dan
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya,
yakni:
a. tempat tinggal tetap orang pribadi beserta keluarganya;
b. tempat pusat kepentingan pribadi dan ekonomi dilakukan, dalam hal orang pribadi
tersebut mempunyai tempat tinggal tetap (dua) tempat atau lebih; atau tidak
mempunyai tempat tinggal tetap; atau
c. tempat orang pribadi lebih lama tinggal dalam kurun waktu 1 (satu) tahun kalender
terakhir, dalam hal tempat pusat kepentingan pribadi dan ekonomi dilakukan
sebagaimana dimaksud pada huruf b tidak dapat ditentukan.
Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia diatur dalam Per-43/PJ/2011
adalah orang pribadi yang:

5
a. mempunyai tempat tinggal (place of residence) di Indonesia yang digunakan oleh
orang pribadi sebagai tempat untuk:
1) berdiam (permanent dwelling place), yang tidak bersifat sementara dan tidak
sebagai tempat persinggahan, Orang pribadi dianggap mempunyai tempat
berdiam (permanent dwelling place) di Indonesia dalam hal orang pribadi
mempunyai tempat di Indonesia yang dipakai untuk kediaman, yang bersifat
tidak sementara dan bukan sebagai persinggahan.
2) melakukan kegiatan sehari-hari atau menjalankan kebiasaanya (ordinary
course of life), Orang pribadi dianggap mempunyai tempat melakukan
kegiatan sehari-hari atau menjalankan kebiasaannya (ordinary course of life)
di Indonesia dalam hal orang pribadi mempunyai tempat di Indonesia yang
digunakan untuk melakukan kegiatan sehari-hari terkait dengan urusan
ekonomi, keuangan atau sosial pribadinya, antara lain turut serta dalam
kegiatan-kegiatan di masyarakat, turut serta dalam kegiatan, keanggotaan,
atau kepengurusan suatu organisasi, kelompok atau perkumpulan di
Indonesia.
3) tempat menjalankan kebiasaan (place of habitual abode), Orang pribadi
dianggap mempunyai tempat menjalankan kebiasaan (place of habitual
abode) di Indonesia dalam hal orang pribadi mempunyai tempat di Indonesia
yang digunakan untuk melakukan kebiasaan atau kegiatan, baik yang bersifat
rutin, sering ataupun tidak, antara lain melakukan aktivitas yang menjadi
kegemaran atau hobi, atau
b. mempunyai tempat domisili (place of domicile) di Indonesia, yaitu orang pribadi yang
dilahirkan di Indonesia yang masih berada di Indonesia.
Tempat tinggal orang pribadi meliputi:
a. dapat ditempati sendiri oleh orang pribadi atau bersama-sama dengan
keluarganya, yang dapat dimiliki, disewa, atau tersedia untuk digunakannya; dan
b. berdasarkan pada keadaan yang sebenarnya.
Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia yang kemudian pergi keluar negeri
tetap dianggap bertempat tinggal di Indonesia, apabila keberadaannya di luar negeri
berpindah-pindah dan berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
Orang pribadi Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri dianggap tidak
bertempat tinggal di Indonesia apabila bertempat tinggal tetap di luar negeri yang
dibuktikan dengan salah satu dokumen tanda pengenal resmi yang masih berlaku sebagai
penduduk di luar negeri, yaitu:
a. Green Card,
b. identity card,
c. student card,
d. pengesahan alamat di luar negeri pada paspor oleh Kantor Perwakilan Republik
Indonesia diluar negeri,
e. surat keterangan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia atau Kantor Perwakilan
Republik Indonesia di luar negeri, atau
f. tertulis resmi di paspor oleh Kantor Imigrasi negara setempat.

Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri adalah orang
pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian
orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat
untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang
menurut keadaan. Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang
tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak
kedatangannya di Indonesia. Jangka waktu 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
ditentukan dengan menghitung lamanya Subjek Pajak orang pribadi berada di Indonesia,

6
yang keberadaannya di Indonesia dapat secara terus menerus atau terputus-putus, dan
bagian dari hari dihitung penuh 1 (satu) hari.
Subjek Pajak orang pribadi dianggap mempunyai niat untuk bertempat tinggal di
Indonesia dalam hal:
a. Subjek Pajak orang pribadi menunjukkan niatnya secara tegas untuk bertempat tinggal
di Indonesia, yang dapat dibuktikan dengan dokumen berupa:
1) Visa bekerja, atau
2) Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS), lebih dari 183 hari (seratus delapan puluh
tiga) hari atau kontrak/perjanjian untuk melakukan pekerjaan, usaha, atau kegiatan
yang dilakukan di Indonesia selama lebih 183 (seratus delapan puluh tiga) hari.
b. Subjek Pajak orang pribadi melakukan tindakan yang menunjukkan bahwa dirinya
akan bertempat tinggal di Indonesia atau bersiap untuk bertempat tinggal di Indonesia,
seperti menyewa atau mengontrak tempat, termasuk menyewa tempat tinggal di
Indonesia, memindahkan anggota keluarga atau memperoleh tempat yang disediakan
oleh pihak lain.

Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima
atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP). Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi yang telah memenuhi
kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan dengan pemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP), Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak
pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang
belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas
penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi subjek pajak dalam
negeri dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri mengikuti status pewaris. Adapun
untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut
menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi,
kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris.
Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi juga wajib mendaftarkan diri pada KPP atau
KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi yang
meninggalkan warisan.
Tempat tinggal ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya, yakni:
a. tempat tinggal tetap Wajib Pajak orang pribadi yang meninggalkan warisan beserta
keluarganya sebelum meningggal dunia; atau
b. tempat pusat kepentingan ekonomi harta warisan berada, dalam hal Wajib Pajak
orang pribadi yang meninggalkan warisan tersebut:
1) mempunyai tempat tinggal tetap sebagaimana dimaksud pada huruf a di 2
(dua) tempat atau lebih; atau
2) tidak mempunyai tempat tinggal tetap sebagaimana dimaksud pada huruf a.

4. Subjek Pajak Orang Pribadi Luar Negeri


Pada Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, subjek pajak luar negeri
disebutkan sebagai:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan, dan
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.

7
Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau bertempat
kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia, baik melalui maupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan maka orang
tersebut adalah subjek pajak luar negeri. Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau
diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap maka pengenaan pajaknya dilakukan
langsung kepada subjek pajak luar negeri tersebut.
Subjek pajak orang pribadi luar negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak karena
menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau
menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia.
Tempat tinggal orang pribadi ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut
keadaan yang sebenarnya. Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat
kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang
mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang
pribadi atau badan tersebut. Dengan demikian penentuan tempat tinggal atau tempat
kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih
didasarkan pada kenyataan.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam
menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut, antara lain
domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok
atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan
pemenuhan kewajiban pajak.
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai subjek pajak
luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk
usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai subjek pajak pengganti karena
pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud
melekat pada objeknya.

Wajib Pajak Orang Pribadi Luar Negeri – Bentuk Usaha Tetap

Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha
(place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga
mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan
otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh
penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi selaku agen yang
kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau
badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia tidak dapat dianggap
mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi dalam menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau
perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut
dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan
perusahaannya sendiri. Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan
di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila
perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di
Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang
mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah
bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di
Indonesia.

8
Bagi orang pribadi yang tidak bertempat tinggal dan berada di Indonesia tidak lebih
dari 183 hari, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia melalui
suatu bentuk usaha tetap, kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat bentuk usaha
tetap tersebut berada di Indonesia dan berakhir pada saat bentuk usaha tetap tersebut
tidak lagi berada di Indonesia.
Pemenuhan kewajiban perpajakan bentuk usaha tetap dipersamakan dengan
pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan dalam negeri.

Subjek Pajak Luar Negeri – Non Bentuk Usaha Tetap

Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau berada di Indonesia tidak lebih dari
183 hari dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
dan tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia, adalah Subjek Pajak luar negeri sepanjang orang pribadi atau badan
tersebut mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia. Hubungan ekonomis
dengan Indonesia dianggap ada apabila orang pribadi atau badan tersebut menerima
atau memperoleh penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.
Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan tersebut dimulai pada saat orang
pribadi atau badan mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia, yaitu menerima
atau memperoleh penghasilan dari sumber-sumber di Indonesia dan berakhir pada saat
orang pribadi atau badan tersebut tidak lagi mempunyai hubungan ekonomis dengan
Indonesia.

Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT)

Selain kewajiban mendaftarkan diri ditempat tinggalnya, Wajib Pajak juga wajib
mendaftarkan diri pada KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat
kegiatan usaha dilakukan untuk memperoleh NPWP Cabang.
Tempat kegiatan usaha terserbut dapat berupa lokasi usaha, kantor cabang
perusahaan, kantor perwakilan, gudang, unit pemasaran, atau tempat kegiatan usaha
sejenis, yang digunakan untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, atau
manajemen.
Wajib Pajak yang memiliki 2 (dua) atau lebih tempat kegiatan usaha yang berada
pada wilayah kerja KPP yang sama, namun tempat kegiatan usaha tersebut berada
pada wilayah kerja KPP yang berbeda dengan tempat tinggal atau tempat
kedudukannya, dapat memilih salah satu tempat kegiatan usaha untuk didaftarkan dan
diberikan 1 (satu) NPWP Cabang.

5. Status Subjek Pajak bagi WNI yang di luar negeri


Banyak WNI yang bekerja di luar negeri dengan berbagai profesi seperti perawat,
asisten rumah tangga, anak buah kapal. Lama tinggal di lua negeri tersebut dapat melebihi
183 hari dalam setahun dan memperoleh penghasilan dari negara tersebut. Perlakuan
pajaknya telah diatur dalam Per-2/PJ/2009.
Pasal 1 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Nomor PER-2/PJ/2009
mendefinisikan Pekerja Indonesia di Luar Negeri adalah orang pribadi Warga Negara
Indonesia yang bekerja di luar negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Pekerja Indonesia di Luar Negeri tersebut adalah
Subjek Pajak Luar Negeri.
Orang pribadi tersebut tetap merupakan subjek pajak dalam negeri apabila tidak
memiliki atau tidak dapat menunjukkan salah satu dokumen tanda pengenal resmi yang
masih berlaku sebagai penduduk di luar negeri yaitu:
a. Green Card,
b. identity card,

9
c. student card,
d. pengesahan alamat di luar negeri pada paspor oleh Kantor Perwakilan Republik
Indonesia diluar negeri,
e. surat keterangan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia atau Kantor Perwakilan
Republik Indonesia di luar negeri, atau
f. tertulis resmi di paspor oleh Kantor Imigrasi negara setempat.
Sedangkan untuk WNI yang bekerja di luar negeri tetapi tidak lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan tidak termasuk dalam definisi Pekerja Indonesia di Luar
Negeri sehingga tidak memenuhi definisi subjek pajak luar negeri tersebut.
Subjek Pajak Dalam Negeri dalam Pasal 2 UU PPh disebutkan sebagai:
 Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, atau
 orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat
untuk bertempat tinggal di Indonesia.

Sedangkan Subjek Pajak Luar Negeri adalah:


 Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia; dan
 Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak
dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi subjek pajak luar negeri
sehubungan dengan pekerjaannya di luar Indonesia dan penghasilannya bersumber dari
luar Indonesia, tidak dikenai Pajak Penghasilan di Indonesia.
Dalam hal orang pribadi tersebut menerima atau memperoleh penghasilan yang
bersumber dari Indonesia, penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan sesuai
ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku yaitu Pasal 26 UU
PPh.

Penghasilan dari TKI dapat dikelompokkan menjadi:


a) Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti
gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan,
pengacara, dan sebagainya
b) penghasilan dari usaha dan kegiatan
c) penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti
bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak
dipergunakan untuk usaha, dan
d) penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah

Contoh kasus:
1) Amir adalah Warga Negara Indonesia. Dia bekerja di Jepang lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu 12 bulan. Penghasilannya hanya bersumber dari
pekerjaannya di Jepang saja. Dari penghasilannya di Jepang, Amir juga sudah
dikenakan dan dipotong pajak di sana.
Dari kasus tersebut, Amir sudah bukan lagi termasuk Subjek Pajak Dalam
Negeri,dengan begitu Amir sudah tidak dikenakan pajak penghasilan lagi di
Indonesia dan tidak lagi perlu melaporkan SPT Tahunannya

10
2) Temon adalah Warga Negara Indonesia. Dia bekerja di Turki lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu 12 bulan. Dari penghasilannya di Turki, Temon juga sudah
dikenakan dan dipotong pajak di sana. Sedangkan di Indonesia Temon juga
memperoleh penghasilan dari ruko yang dia sewakan.
Dari kasus tersebut, Temon dikategorikan sebagai Subjek Pajak Luar Negeri.
Temon tidak memiliki kewajiban melaporkan SPT Tahunan PPh. Namun, atas
penghasilan sewa ruko tersebut, penyewa harus memotong PPh Pasal 26 sebesar
20% dari penghasilan sewa.
3) Budi adalah Warga Negara Indonesia. Dia bekerja di Jerman selama tidak lebih
dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan. Selain penghasilan di Jerman, Budi
juga masih mendapatkan penghasilan di Indonesia.
Dari kasus di atas, Budi harus tetap membayarkan pajaknya di Indonesia, cara
membayarnya sama dengan wajib pajak dalam negeri pada umumnya, namun
perpajakan dia di luar negeri bisa sebagai pengurang bagi pajak Budi di Indonesia
(kredit pajak luar negeri sesuai dengan Pasal 24 UU PPh). Budi harus melaporkan
SPT Tahunannya di Indonesia, dan di dalamnya Budi juga harus melaporkan
penghasilan yang didapatnya di luar negeri.

Skema Pemajakan dapat digambarkan sbb:

(Dikutip dari https://www.pajak.go.id/id/tenaga-kerja-indonesia-di-luar-negeri)

6. Timbul dan Berakhirnya Kewajiban Pajak


Orang pribadi yang merupakan subjek pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak dalam
negeri, apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia dan besarnya penghasilan melebihi Penghasilan Tidak Kena
Pajak.
Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat
pada Subjek Pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan
untuk tidak dilimpahkan kepada Subjek Pajak lainnya. Wajib Pajak adalah orang pribadi
yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Kewajiban pajak subjektif orang
pribadi dalam negeri dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau
berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Subjek pajak orang pribadi dalam negeri
menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang
besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak.

11
Untuk orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu
12 bulan, kewajiban pajak subjektifnya dimulai sejak hari pertama ia berada di Indonesia.
Subjek pajak luar negeri orang pribadi sekaligus menjadi Wajib Pajak karena menerima
dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima
dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia.
Kewajiban pajak subjektif orang pribadi berakhir pada saat ia meninggal dunia atau
meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. Pengertian meninggalkan Indonesia
untuk selama-lamanya harus dikaitkan dengan hal-hal yang nyata pada saat orang pribadi
tersebut meninggalkan Indonesia. Apabila pada saat ia meninggalkan Indonesia terdapat
bukti-bukti yang nyata mengenai niatnya untuk meninggalkan Indonesia untuk selama-
lamanya, maka pada saat itu ia tidak lagi menjadi Subjek Pajak dalam negeri.
Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi dimulai pada saat timbulnya
warisan yang belum terbagi tersebut, yaitu pada saat meninggalnya pewaris. Sejak saat
itu pemenuhan kewajiban perpajakannya melekat pada warisan tersebut. Kewajiban pajak
subjektif warisan berakhir pada saat warisan tersebut dibagi kepada para ahli waris. Sejak
saat itu pemenuhan kewajiban perpajakannya beralih kepada para ahli waris.
Apabila kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempat tinggal atau yang
berada di Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun pajak, maka bagian tahun pajak
tersebut menggantikan tahun pajak. Dapat terjadi orang pribadi menjadi Subjek Pajak
tidak untuk jangka waktu satu tahun pajak penuh, misalnya orang pribadi yang mulai
menjadi Subjek Pajak pada pertengahan tahun pajak, atau yang meninggalkan Indonesia
untuk selama-lamanya pada pertengahan tahun pajak. Jangka waktu yang kurang dari
satu tahun pajak tersebut dinamakan bagian tahun pajak yang menggantikan tahun pajak.

7. Non Subjek Pajak Orang Pribadi


Yang tidak termasuk subjek pajak Orang Pribadi adalah:
 Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari
negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada
dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat
 bukan warga negara Indonesia dan
 di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal
balik;
 Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional organisasi-organisasi
internasional dengan syarat: Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan tidak
menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia
selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para
anggota; dengan syarat
 bukan warga negara Indonesia dan
 tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.
Organisasi-organisasi Internasional dan Pejabat-pejabat Perwakilan Organisasi
Internasional yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.010/2015.

Organisasi Internasional yang tidak termasuk sebagai Subjek Pajak Penghasilan:


1. IBRD (International Bank for Reconstruction and Development)
2. IMF (International Monetary Fund)
3. UNDP (United Nations Development Programme), meliputi:
a. IAEA (International Atomic Energy Agency)
b. ICAO (International Civil Aviation Organization)
c. ITU (International Telecommunication Union)
d. UNIDO (United Nations Industrial Development Organizations)
e. UPU (Universal Postal Union)

12
f. WMO (World Meteorological Organization)
g. UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development)
h. UNEP (United Nations Environment Programme)
i. UNCHS (United Nations Centre for Human Settlement)
j. ESCAP (Economic and Social Commission for Asia and The Pacific)
k. UNFPA (United Nations Funds for Population Activities)
l. WFP (World Food Programme)
m. IMO (International Maritime Organization)
n. WIPO (World Intellectual Property Organization)
o. IFAD (International Fund for Agricultural Development)
p. WTO (World Trade Organization)
q. WTO (World Tourism Organization)
4. FAO (Food and Agricultural Organization)
5. ILO (International Labour Organization)
6. UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees)
7. UNIC (United Nations Information Centre)
8. UNICEF (United Nations Children's Fund)
9. UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization)
10. WHO (World Health Organization)
11. World Bank
12. Asean Secretariat
13. SEAMEO (South East Asian Minister of Education Organization)
14. ACE (The ASEAN Centre for Energy)
15. NORAD (The Norwegian Agency for International Development)
16. Plan International Inc
17. PCI (Project Concern International)
18. IDRC (The International Development Research Centre)
19. NLRA (The Netherlands Leprosy Relief Association)
20. The Commission of The European Communities
21. OISCA INT. (The Organization for Industrial, Spiritual and Cultural Advancement
International)
22. World Relief Cooperation
23. APCU (The Asean Heads of Population Coordination Unit)
24. SIL (The Summer Institute of Linguistics, Inc.)
25. IPC (The International Pepper Community)
26. APCC (Asian Pacific Coconut Community)
27. INTELSAT (International Telecommunication Satellite Organization)
28. People Hope of Japan (PHJ) dan Project Hope
29. CIP (The International Potato Centre)
30. ICRC (The International Committee of Red Cross)
31. Terre Des Hommes Netherlands
32. Wetlands International
33. HKI (Helen Keller International, Inc.)
34. Taipei Economic and Trade Office
35. Vredeseilanden Country Office (VECO) Belgia
36. KAS (Konrad Adenauer Stiftung)
37. Program for Appropriate Technology in Health, USA-PATH
38. Save the Children-US dan Save the Children-UK
39. CIFOR (The Center for International Forestry Research)
40. Kyoto University-Jepang
41. ICRAF (the International Centre for Research in Agroforestry)
42. Swisscontact-Swiss Foundation for Technical Cooperation
43. Winrock International
44. Stichting Tropenbos
45. The Moslem World League (Rabithah)

13
46. NEDO (The New Energy and Industrial Technology Development Organization)
47. HSF (Hans Seidel Foundation)
48. DAAD (Deutscher Achademischer Austauschdienst)
49. WCS (The Wildlife Conservation Society)
50. BORDA (The Bremen Overseas Research and Development Association)
51. ASEAN Foundation
52. SOCSEA (Sub Regional Office of CIRDAP in Southeast Asia)
53. IMC (International Medical Corps)
54. KNCV (Koninklijke Nederlands Centrale Vereniging tot Bestrijding der Tuberculosis)
55. Asia Foundation
56. The British Council
57. CARE (Cooperative for American Relief Everywhere Incorporation)
58. CCF (Christian Children's Fund)
59. CWS (Church World Service)
60. The Ford Foundation
61. FES (Friedrich Ebert Stiftung)
62. FNS (Friedrich Neumann Stiftung)
63. IRRI (International Rice Research Institute)
64. Leprosy Mission
65. OXFAM (Oxford Committee for Famine Relief)
66. WE (World Education, Incorporated, USA)
67. KOICA (Korea International Cooperation Agency)
68. ERIA (Economic Research Institute for ASEAN and East Asia)
69. JETRO (Japan External Trade Organization)
70. IFRC (International Federation of Red Cross and Red Cresent Societies)

Sesuai dengan kelaziman internasional, kantor perwakilan negara asing beserta


pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lainnya,
dikecualikan sebagai subjek pajak di tempat mereka mewakili negaranya.
Pengecualian sebagai subjek pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak berlaku
apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka
adalah Warga Negara Indonesia.
Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing memperoleh
penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, maka ia
termasuk subjek pajak yang dapat dikenai pajak atas penghasilan lain tersebut.

8. Perbedaan Pemajakan bagi SPDN dan SPLN


Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri
terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
a. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau
diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar
negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di
Indonesia;
b. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif
umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan
bruto dengan tarif pajak sepadan; dan
c. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu
tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi
melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

Sehubungan dengan pemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Wajib Pajak orang
pribadi yang menerima penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
tidak wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.

14
9. Soal Latihan Bab I
Jawab soal-soal berikut ini:
1. Mr. John, WNA, selain bekerja sebagai pegawai perwakilan ASEAN di Indonesia, juga
sebagai pengajar kursus bahasa asing di Jakarta. Yang benar mengenai status
perpajakan Mr. John adalah:
a. Subjek pajak b. Bukan subjek pajak
c. Bentuk Usaha Tetap d. Semua salah

2. Ibu Wati, WNI, hanya bekerja sebagai pegawai perwakilan ASEAN di Indonesia
dengan penghasilan setahun Rp 1 M. Yang benar Ibu Wati adalah:
a. Subjek pajak b. Bukan subjek pajak
c. Bentuk Usaha Tetap d. Bukan objek pajak

3. Subjek Pajak Dalam Negeri memenuhi kriteria sebagai berikut, kecuali ....
a. bertempat tinggal di Indonesia
b. berada di Indonesia lebih dari 183 hari berturut-turut dalam setahun
c. berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam 12 bulan
d. berada di Indonesia dan berniat tinggal di Indonesia

4. Warga asing yang berdomisili di Amerika Serikat akan menjadi Subjek Pajak Luar
Negeri di Indonesia jika ….
a. berwisata ke Indonesia
b. merencanakan menikah dengan penduduk Indonesia
c. memberikan kuliah umum dan mendapatkan honor di Indonesia
d. berencana membeli apartemen di Indonesia

5. Mr. Sing Sa Bar adalah seorang konsulat Singapura yang sedang bertugas di Kantor
Konsulat Singapura di Jakarta lebih dari 183 hari, dan tidak melakukan kegiatan usaha
di Indonesia. Mr. Sing Sa Bar merupakan ….
a. subjek pajak dalam negeri
b. subjek pajak luar negeri
c. bukan subjek pajak
d. bentuk usaha tetap

6. Saat berikut ini yang bukan merupakan saat timbulnya kewajiban pajak subjektif ialah
a. saat mendaftarkan diri di KPP untuk memperoleh NPWP
b. saat berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia
c. saat hari pertama berada di Indonesia
d. saat menerima/memperoleh penghasilan dari Indonesia

7. Saat menyanyi di Bintaro, Bruno Mars (asal California) mendapatkan penghasilan dari
pengundangnya (event organizer di Bintaro). Pada saat Bruno Mars kembali ke
California karena kontraknya selesai maka ….
a. kewajiban pajak subjektif Bruno Mars mulai timbul
b. Bruno Mars wajib mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP
c. kewajiban pajak subjektif Bruno Mars berakhir
d. Bruno Mars wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh OP

8. Dari pernyataan berikut yang menggambarkan bahwa pajak penghasilan merupakan


pajak subjektif adalah ….
a. kondisi subjek pajak tidak diperhatikan dalam mengenakan besarnya pajak
b. objek pajak adalah penghasilan yang berasal dari Indonesia dan luar Indonesia
c. pengenaan pajak dimulai dengan menetapkan subjeknya dulu, baru dicari objeknya
d. beban ekonomis pajak penghasilan bisa dialihkan kepada subjek pajak yang lain

15
9. Salah satu karakteristik pajak penghasilan adalah pajak langsung. Pernyataan berikut
yang menggambarkan karakteristik tersebut adalah ….
a. beban pajak tidak dapat dialihkan kepada pihak lain
b. pihak yang dituju Undang-Undang untuk dikenakan pajak adalah pembayar
penghasilan
c. dalam pengenaan pajak penghasilan sangat memperhatikan kondisi subjek
pajaknya
d. pengenaan pajak penghasilan dimulai dari menentukan subjek pajaknya, baru
dicari objeknya

10. Berakhirnya kewajiban pajak subjektif bagi warisan yang belum terbagi adalah ….
a. saat pewaris telah memiliki akte kematian
b. saat masa berkabung telah usai
c. saat warisan selesai dibagikan
d. saat warisan tidak mengalirkan penghasilan lagi

---Q---

16
BAB II

Objek Pajak

Tujuan:
Mahasiswa mampu menjelaskan objek PPh dan membedakan jenis-jenis penghasilan yang
merupakan objek pajak (akhir tahun), objek pajak PPh final dan bukan objek PPh

Dalam UU PPh menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang
luas, yaitu bahwa Pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk
konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.
Pengertian penghasilan tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu,
tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis.
Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan
ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama
memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak,
penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
I. penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji,
honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara,
dan sebagainya;
II. penghasilan dari usaha dan kegiatan;
III. penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti
bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak
dipergunakan untuk usaha; dan
IV. penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula
ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
Karena konsep PPh ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis
penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk
mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak
suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan
penghasilan lainnya (kompensasi horizontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri.
Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenai pajak dengan tarif yang bersifat
final atau dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan
dengan penghasilan lain yang dikenai tarif umum.

1. Objek Pajak (terutang pada akhir tahun)


Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-
undang PPh; Termasuk premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar
oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya, serta imbalan dalam bentuk
natura.
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; Dalam pengertian
hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian
tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya. Yang dimaksud
dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan

17
tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-
benda purbakala.
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta. Apabila Wajib Pajak
menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari
harga atau nilai perolehan, selisih harga tersebut merupakan keuntungan. Keuntungan
antara lain bersumber dari:
1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; Dalam hal terjadi
pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, keuntungan
berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dan nilai bukunya
merupakan penghasilan.
2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau
anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya; Dalam hal
penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dan pemegang sahamnya,
harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari
penjualan tersebut adalah harga pasar. Misalnya, PT S memiliki sebuah mobil
yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp
40.000.000. Mobil tersebut dijual dengan harga Rp 60.000.000. Dengan demikian,
keuntungan PT S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalah Rp
20.000.000. Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang pemegang
sahamnya dengan harga Rp 55.000.000, nilai jual mobil tersebut tetap dihitung
berdasarkan harga pasar sebesar Rp 60.000.000. Selisih sebesar Rp20.000.000
merupakan keuntungan bagi PT S dan bagi pemegang saham yang membeli mobil
tersebut selisih sebesar Rp 5.000.000 merupakan penghasilan.
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa
pun. Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih
antara harga jual berdasarkan harga pasar dan nilai sisa buku harta tersebut,
merupakan objek pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasar dan nilai
sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
dan pengambilalihan usaha merupakan penghasilan.
4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil,
yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan. Keuntungan berupa selisih
antara harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta
berupa hibah, bantuan atau sumbangan merupakan penghasilan bagi pihak yang
mengalihkan kecuali harta tersebut dihibahkan kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat. Demikian juga, keuntungan berupa selisih
antara harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta
berupa bantuan atau sumbangan dan hibah kepada badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri Keuangan bukan merupakan penghasilan, sepanjang tidak ada
hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara
pihak-pihak yang bersangkutan.
5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan; Dalam hal Wajib Pajak pemilik hak penambangan
mengalihkan sebagian atau seluruh hak tersebut kepada Wajib Pajak lain,
keuntungan yang diperoleh merupakan objek pajak.

18
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak. Pengembalian pajak yang telah
dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak merupakan
objek pajak. Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan
dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah
sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan.
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang. Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi
dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli
di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang
menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli
obligasi.
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. Dividen
merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis
asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi.
Termasuk dalam pengertian dividen adalah:
1) pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan
dalam bentuk apapun;
2) pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;
3) pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus
yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
4) pembagian laba dalam bentuk saham;
5) pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
6) jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh
pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang
bersangkutan;
7) pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika
dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran
kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan
secara sah;
8) pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima
sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;
9) bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
10) bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
11) pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
12) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang
dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara
terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh
modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga
yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih
antara bunga yang dibayarkan dan tingkat bunga yang berlaku di pasar,
diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen
tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.
h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak. Royalti adalah suatu jumlah yang
dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan
secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas:
1. penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian
atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia,
merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa
lainnya;
2. penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial,
atau ilmiah;

19
3. pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau
komersial;
4. pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan
atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak
menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian
pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa:
a) penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau
keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat
optik, atau teknologi yang serupa;
b) penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara
atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan
melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
c) penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio
komunikasi;
5. penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film
atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
6. pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan
atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya
sebagaimana tersebut di atas.
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. Dalam pengertian
sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk
apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya
sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala. Penerimaan berupa pembayaran
berkala, misalnya “alimentasi” atau tunjangan seumur hidup yang dibayar secara
berulang-ulang dalam waktu tertentu.
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pembebasan utang oleh pihak yang
berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula berutang,
sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Namun,
dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur
kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani
(KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta
kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai objek pajak.
l. keuntungan selisih kurs mata uang asing. Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi
kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan
dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku
di Indonesia.
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi; Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan baik
yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak serta yang belum dikenakan
pajak. Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi
penghasilan yang telah dikenakan Pajak dan yang bukan Objek Pajak, maka
tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan.
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah; Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki
landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional.
Namun, penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha berbasis
syariah tersebut tetap merupakan objek pajak.
r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s. surplus Bank Indonesia.

20
2. Objek Pajak Final
Objek pajak final diatur dalam Pasal 4 ayat 2 UU PPh, dengan pertimbangan-
pertimbangan antara lain:
- perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan
masyarakat;
- kesederhanaan dalam pemungutan pajak;
- berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal
Pajak;
- pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan
- memerhatikan perkembangan ekonomi dan moneter,
atas penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam
pengenaan pajaknya. Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan
tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan,
atau pemungutan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
a) penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat
utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
koperasi orang pribadi; Obligasi ini termasuk surat utang berjangka waktu lebih dari
12 (dua belas) bulan, seperti Medium Term Note, Floating Rate Note yang berjangka
waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan. Surat Utang Negara yang dimaksud pada ayat
ini meliputi Obligasi Negara dan Surat Perbendaharaan Negara.
b) penghasilan berupa hadiah undian;
c) penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
d) penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha
jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
e) penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
Selain itu ada juga jenis penghasilan yang bersifat final yang dilakukan
pemotongan dan atau pemungutan dengan PPh Pasal 15, 21, 22, dan 23.

Karakteristik PPh final adalah:


 Penghasilan yang dikenakan PPh Final tidak perlu digabungkan dengan penghasilan
lain (yang non final) dalam penghitungan Pajak Penghasilan pada SPT Tahunan.
 Jumlah PPh Final yang telah dibayar sendiri atau dipotong pihak lain sehubungan
dengan penghasilan tersebut tidak dapat dikreditkan.
 Biaya-biaya yang digunakan untuk menghasilkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang pengenaan PPh-nya bersifat final tidak dapat dikurangkan.

Berikut adalah daftar objek penghasilan yang dikenakan PPh Final:


1) Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank
Indonesia, Surat Berharga Negara.
2) Penghasilan Berupa Bunga / Diskonto Obligasi.
3) Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham yang Diperdagangakan di Bursa Efek.
4) Hadiah Undian.
5) Pesangon, Tunjangan Hari Tua dan Tebusan Pensiun yang Dibayar Sekaligus
6) Honorarium atas Beban APBN/APBD
7) Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
8) Bangunan yang Diterima dalam Rangka Bangun Guna Serah
9) Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan.
10) Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.
11) Penyalur/Dealer/Agen Produk BBM

21
12) Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang
Pribadi.
13) Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.
14) Penghasilan istri dari satu pemberi kerja
15) Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu
16) Penghasilan perusahaan modal ventura

Untuk lebih jelasnya, berikut rincian penghasilan tersebut:


1) Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank
Indonesia, Surat Berharga Negara
Pada bagian ini dibahas 3 jenis penghasilan yaitu:
a. Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank
Indonesia
b. Penghasilan atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara, dan
c. Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah
Berikut uraiannya:
a. Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat
Bank Indonesia
Dasar hukum:
 Peraturan Pemerintah Nomor 123 Tahun 2015 Tentang Pajak Penghasilan atas
Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia
 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 212/PMK.03/2018 Tentang Pemotongan
Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat
Bank Indonesia.
Objek Pajak:
 Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat
Bank Indonesia dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final. Termasuk dalam
pengertian bunga di atas adalah bunga yang diterima atau diperoleh dari deposito
dan tabungan yang ditempatkan di luar negeri melalui bank yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.
a) Atas bunga dari deposito dalam mata uang dolar Amerika Serikat yang dananya
bersumber dari Devisa Hasil Ekspor dan ditempatkan di dalam negeri pada bank
yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar
negeri di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif
sebagai berikut:
1. Tarif 10%, untuk deposito dengan jangka waktu 1 (satu) bulan;
2. Tarif 7,5%, untuk deposito dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan;
3. Tarif 2,5%, dengan jangka waktu 6 (enam) bulan; dan
4. Tarif 0% dengan jangka waktu lebih dari 6 (enam) bulan.
b) Atas bunga dari deposito dalam mata uang rupiah yang dananya bersumber dari
Devisa Hasil Ekspor dan ditempatkan di dalam negeri pada bank yang didirikan
atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebagai berikut:
1. Tarif 7,5% untuk deposito dengan jangka waktu 1 (satu) bulan;
2. Tarif 5% untuk jangka waktu 3 (tiga) bulan; dan
3. Tarif 0% dengan jangka waktu 6 bulan atau lebih dari 6 bulan.
c) Atas bunga dari tabungan dan diskonto Sertifikat Bank Indonesia, serta bunga dari
deposito selain dari deposito diatas dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
dengan tarif sebagai berikut:
1. Tarif 20% terhadap Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan
2. Tarif 20% atau dengan tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda yang berlaku, terhadap Wajib Pajak luar negeri.

22
Pengecualian Pajak atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat
Bank Indonesia:
 Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto SBI, untuk jumlah Deposito dan
Tabungan serta SBI yang tidak melebihi Rp7.500.000;
 Bunga dan Diskonto SBI yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di
Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia;
 Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto SBI yang diterima atau diperoleh
Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau telah
mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan yang dananya diperoleh dari sumber
pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1992 tentang Dana Pensiun; atau
 Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka pemilikan
rumah sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun untuk rumah
sederhana dan sangat sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri.
Tidak berlaku terhadap orang pribadi Subjek Pajak Dalam Negeri...
 Tidak berlaku terhadap orang pribadi Subjek Pajak Dalam Negeri yang seluruh
penghasilannya dalam 1 (satu) Tahun Pajak, termasuk bunga dan diskonto, tidak
melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak.
 Orang pribadi tersebut dapat mengajukan permohonan pengembalian pajak yang
tidak seharusnya terutang atas pajak yang telah dipotong.

b. Penghasilan atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara


Dasar Hukum:
 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas
Diskonto Surat Perbendaharaan Negara
Objek Pajak:
 Penghasilan tertentu dari Wajib Pajak berupa Diskonto Surat Perbendaharaan
Negara (SPN) dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
 Diskonto SPN adalah selisih lebih antara :
a) nilai nominal pada saat jatuh tempo dengan harga perolehan di Pasar Perdana
atau di Pasar Sekunder; atau
b) harga jual di Pasar Sekunder dengan harga perolehan di Pasar Perdana atau
di Pasar Sekunder,
tidak termasuk Pajak Penghasilan yang dipotong.
Definisi:
 Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang
baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran
bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa
berlakunya, yang terdiri atas Surat Perbendaharaan Negara dan Obligasi Negara
 Surat Perbendaharaan Negara (SPN) adalah Surat Utang Negara yang berjangka
waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara
diskonto.
 Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan Surat Utang Negara
untuk pertama kali.
 Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan Surat Utang Negara yang telah
dijual di Pasar Perdana.
Besarnya Pajak Penghasilan adalah :
 20% (dua puluh persen), bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap
(BUT); dan
 20% atau tarif sesuai ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
yang berlaku bagi Wajib Pajak penduduk/berkedudukan di luar negeri.
dari Diskonto SPN.
Pemotongan Pajak Penghasilan dilakukan oleh:

23
a. Penerbit SPN (emiten) atau kustodian yang ditunjuk selaku agen pembayar, atas
Diskonto SPN yang diterima pemegang SPN saat jatuh tempo; atau
b. Perusahaan efek (broker) atau bank selaku pedagang perantara maupun selaku
pembeli, atas Diskonto SPN yang diterima di Pasar Sekunder.
Pemotongan Pajak tidak dilakukan atas Diskonto SPN yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak :
1) Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia;
2) Dana Pensiun yang pendirian/ pembentukannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan;
3) Reksadana yang terdaftar pada Badan pengawas Pasar Modal dan Lembaga,
selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin
usaha;

c. Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah


Dasar Hukum:
 Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan
Usaha Berbasis Syariah
 PMK Nomor 136/PMK.03/2011 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan untuk
Kegiatan Usaha Perbankan Syariah
 PMK Nomor 137/PMK.03/2011 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan untuk
Kegiatan Usaha Jasa Keuangan Syariah
Objek Pajak:
 Usaha Berbasis Syariah adalah setiap jenis usaha yang menjalankan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah yang meliputi perbankan syariah, asuransi
syariah, pegadaian syariah, jasa keuangan syariah, dan kegiatan usaha berbasis
syariah lainnya.
Prinsip:
 Ketentuan mengenai penghasilan, biaya,dan pemotongan pajak atau pemungutan
pajak dari kegiatan Usaha Berbasis Syariah berlaku mutatis mutandis ketentuan
dalam UU PPh.
 Pemberlakuan secara mutatis mutandis dimaksudkan bahwa ketentuan
perpajakan yang berlaku umum berlaku pula untuk kegiatan Usaha Berbasis
Syariah. Contoh, perlakuan perpajakan mengenai bunga berlaku pula untuk
imbalan atas penggunaan dana pihak ketiga yang tidak termasuk dalam kategori
modal perusahaan. Imbalan tersebut dapat berupa hak pihak ketiga atas bagi
hasil, margin, atau bonus, sesuai dengan pendekatan transaksi syariah yang
digunakan.
 Pada ketentuan perpajakan secara umum, bunga merupakan penghasilan bagi
pihak penerima dan merupakan pengurang penghasilan bagi pihak pembayar.
 Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perekonomian
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang Syariah.
 Perbedaan dengan sistem konvensioal disebabkan oleh adanya prinsip tertentu
yang harus diperhatikan oleh Usaha Berbasis Syariah dalam melaksanakan
kegiatan usahanya, yaitu : kehalalan produk, kemaslahatan bersama, menghindari
spekulasi, dan riba.
 Kegiatan pemberian pinjaman yang dilakukan oleh jasa keuangan dengan
mengenakan tingkat bunga tertentu tidak dapat dilakukan oleh usaha berbasis
Syariah, melankan melalui beberapa pendekatan antara lain:
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
b. transaksi jual beli dalam bentuk murabahah, salam, dan istisna;
c. transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik;
dan
d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk qardh;

24
Ketentuan usaha pembiayaan yang dilakukan oleh Perusahaan meliputi:
 Sewa Guna Usaha, yang dilakukan berdasarkan Ijarah atau Ijarah Muntahiyah
Bittamlik.
 Anjak Piutang, yang dilakukan berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah.
 Pembiayaan Konsumen, yang dilakukan berdasarkan Murabahah, Salam, atau
Istishna’.
 Usaha Kartu Kredit yang dilakukan sesuai dengan Prinsip Syariah.
 Kegiatan pembiayaan lainnya yang dilakukan sesuai dengan Prinsip Syariah.

2) Penghasilan Berupa Bunga / Diskonto Obligasi


Dasar hukum:
 Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan Berupa Bunga Obligasi.
Objek pajak adalah penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak berupa
Bunga Obligasi dikenai pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Bunga
Obligasi adalah imbalan yang diterima dan/atau diperoleh pemegang Obligasi dalam
bentuk bunga dan/atau diskonto. Obligasi adalah surat utang, surat utang negara, dan
obligasi daerah, yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan.
a. Bunga dari Obligasi dengan kupon sebesar:
1) 15% bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan
2) 20% atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak
berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap,
dari jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan Obligasi;
b. Diskonto dari Obligasi dengan kupon sebesar:
1) 15% bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan
2) 20% atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak
berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap,
dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi,
tidak termasuk bunga berjalan;
c. Diskonto dari Obligasi tanpa bunga sebesar:
1) 15% bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan
2) 20% atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak
berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap,
dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi;
dan
d. bunga dan/atau diskonto dari Obligasi yang diterima dan/atau diperoleh Wajib
Pajak reksa dana dan Wajib Pajak dana investasi infrastruktur berbentuk kontrak
investasi kolektif, dana investasi real estat berbentuk kontrak investasi kolektif, dan
efek beragun aset berbentuk kontrak investasi kolektif yang terdaftar atau tercatat
pada Otoritas Jasa Keuangan sebesar:
1) 5% (lima persen) sampai dengan tahun 2020; dan
2) 10% (sepuluh persen) untuk tahun 2021 dan seterusnya.
Pengecualian:
 Wajib Pajak dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan; dan
 Wajib Pajak bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di
Indonesia.

3) Penghasilan dari transaksi penjualan saham pendiri di bursa efek


Dasar Hukum:
 Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997 Tentang Perubahan atas PP No. 41
Tahun 1994 Tentang pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari
transaksi penjualan saham pendiri di bursa efek.

25
 Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari
transaksi penjualan saham di bursa efek dipungut Pajak Penghasilan yang bersifat
final.
Tarif:
 Untuk semua transaksi penjualan saham sebesar 0,1% dari jumlah bruto nilai
transaksi penjualan;
 Pemilik saham pendiri dikenakan tambahan Pajak Penghasilan sebesar 0,5%
yang ditetapkan sebesar harga saham pada saat penawaran umum perdana.
Pemotong Pajak : Penyelenggara bursa efek wajib memungut Pajak Penghasilan
setiap transaksi penjualan saham di bursa efek.
 Yang dimaksud dengan "pendiri" adalah orang pribadi atau badan yang namanya
tercatat dalam Daftar Pemegang Saham Perseroan Terbatas atau tercantum
dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas sebelum Pernyataan Pendaftaran
yang diajukan kepada Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dalam rangka
penawaran umum perdana ("initial public offering") menjadi efektif.

4) Pajak Penghasilan Atas Penghasilan berupa Hadiah Undian


 Dasar Hukum: Peraturan Pemerintah No. 132 Tahun 2000 tentang Pajak
Penghasilan atas Hadiah Undian.
 Tarif 25% dari jumlah bruto hadiah undian dengan nama dan dalam bentuk apapun
yang diberikan melalui undian.
 Penyelenggara undian wajib memotong atau memungut Pajak Penghasilan.
 Penyelenggara undian adalah orang pribadi, badan, kepanitiaan, organisasi
(termasuk organisasi internasional) atau penyelenggara lainnya termasuk
pengusaha yang menjual barang atau jasa yang memberikan hadiah dengan cara
diundi. Pajak Penghasilan wajib dipotong atau dipungut oleh penyelenggara
undian tersebut.

5) Pesangon, Tunjangan Hari Tua dan Tebusan Pensiun yang Dibayar Sekaligus
Dasar hukum:
 Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal
21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan
Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus
Objek Pajak:
 Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang
Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan
sekaligus dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.
 Penghasilan tersebut dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau
seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun
kalender.
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan
sebagai berikut:

26
a) sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah);
b) sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) sampai dengan Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
c) sebesar 15% (lima belas persen) atas penghasilan bruto di atas Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah);
d) sebesar 25% (dua puluh lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp
500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun,
Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut:
a) sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000.00
(lima puluh juta rupiah);
b) sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah).
Mekanisme pemotongan:
a) Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas Uang Pesangon, Uang Manfaat
Pensiun,Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua.
b) Pemotong Pajak wajib memberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal
21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada
Pegawai yang berhak menerima Uang Pesangon, Uang Manfaat
Pensiun,Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua.
c) Kewajiban menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan dan kewajiban
memberikan bukti pemotongan, tetap dilakukan terhadap Pegawai yang dikenai
tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar 0% (nol persen).

6) Honorarium atas Beban APBN/APBD


Dasar hukum:
 Peraturan Pemerintah No. 80 tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan dan
Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah.
Objek Pajak:
 Penghasilan berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang
menjadi beban APBN atau APBD, dipotong oleh bendahara pemerintah yang
membayarkan honorarium atau imbalan lain tersebut bersifat final.
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21:
a) sebesar 0% (nol persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS
Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat
Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya;
b) sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS
Golongan III, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira
Pertama, dan pensiunannya;
c) sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain
bagi Pejabat Negara, PNS Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota POLRI
Golongan Pangkat Perwira Menengah dan Perwira Tinggi, dan Pensiunannya.

7) Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.


Dasar Hukum:
 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 Tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan perjanjian
pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya;

27
 Keputusan Menteri Keuangan 635/KMK.04/1994 sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 261/PMK.03/2016
tentang Tata Cara Penyetoran, Pelaporan, dan Pengecualian Pengenaan Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan
Beserta Perubahannya
Objek PPh final adalah:
 Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan meliputi
penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak,
penyerahan hak, lelang, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati.
 Perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta
perubahannya.
Besarnya PPh dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan:
 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa
Rumah Sederhana atau Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib
Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan;
 1% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa
Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yg dilakukan oleh Wajib Pajak
yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
 0% (nol persen) atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada
pemerintah, badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari
Pemerintah, atau badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus
dari kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur
mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah:
a. nilai berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang, dalam hal pengalihan hak
kepada pemerintah;
b. nilai menurut risalah lelang, dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan
lelang;
c. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang dipengaruhi hubungan
istimewa, selain pengalihan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b;
d. nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang tidak dipengaruhi
hubungan istimewa, selain pengalihan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan
huruf b;atau
e. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh berdasarkan harga pasar, dalam hal
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui tukar-menukar,
pelepasan hak, penyerahan hak, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati
antara para pihak.
Pembebasan PPh Final dapat diberikan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan kepada:
a. orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena
Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan
jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)
dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
b. orang pribadi yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan
dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang

28
hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
c. badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan
dengan cara hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial
termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro
dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
d. pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan karena waris;
e. badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dalam
rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha yang telah ditetapkan
Menteri Keuangan untuk menggunakan nilai buku;
f. orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan harta berupa bangunan
dalam rangka melaksanakan perjanjian bangun guna serah, bangun serah guna,
atau pemanfaatan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan;atau
g. orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak yang melakukan
pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan.

8) Bangunan yang Diterima dalam Rangka Bangun Guna Serah


Dasar hukum:
 Pasal 15 ayat (1) UU PPh yang menetapkan peraturan tentang norma
penghitungan khusus untuk menghitung penghasilan neto dari Wajib Pajak
tertentu
 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 248/KMK.04/1995 tentang Perlakuan Pajak
Penghasilan terhadap Pihak-Pihak yang Melakukan Kerjasama dalam Bentuk
Perjanjian Bangun Guna Serah (Built, Operate and Transfer).
Objek pajak:
 Penghasilan bagi pemegang hak atas tanah berupa bangunan yang diterima
dalam rangka Bangun Guna Serah yang dibangun di atas tanah yang dimiliki Wajib
Pajak sehubungan dengan berakhirnya masa perjanjian bangun guna serah.
 Bangun Guna Serah ("Built Operate and Transfer") adalah bentuk perjanjian
kerjasama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang
menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor
untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun guna serah (BOT),
dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas
tanah setelah masa guna serah berakhir.
Tarif:
 Atas penghasilan tersebut terutang Pajak Penghasilan sebesar 5% (lima persen)
dari jumlah bruto nilai yang tertinggi antara nilai pasar dengan Nilai Jual Obyek
Pajak (NJOP) bangunan yang bersangkutan.
 Pembayaran Pajak Penghasilan, bagi orang pribadi bersifat final dan bagi Wajib
Pajak badan adalah merupakan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang
dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak
yang bersangkutan.
 Nilai perolehan atas bangunan yang diterima dari investor adalah sebesar nilai
atau NJOP yang merupakan dasar pengenaan Pajak Penghasilan.

9) Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/ Bangunan


 Dasar Hukum: Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 sebagaimana telah
diubah dengan PP Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan Dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan;
 Objek PPh Final adalah sewa tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah,
rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, gedung

29
pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang,
bangunan industri.
 Besarnya PPh Final yang dipotong adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto
nilai persewaan, baik yang menyewakan Wajib Pajak orang pribadi maupun
badan.
 Jumlah bruto nilai persewaan adalah jumlah yang dibayarkan/ terutang oleh
penyewa termasuk biaya perawatan, pemeliharaan, keamanan, fasilitas lainnya,
dan service charge (baik perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun disatukan).
 Pemotong pajak: Penyewa, dalam hal penyewa adalah Badan Pemerintah, subjek
pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,
kerjasama operasi, perwakilan, perusahaan luar negeri lainnya, dan orang pribadi
yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak. (PP No. 5 Tahun 2002 dan No. 227/PJ./2002)
 Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang ditunjuk sebagai pemotong Pajak
Penghasilan atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan, adalah :
1. Akuntan, Arsitek, Dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali
PPATtersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan
pekerjaan bebas;
2. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan
yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri.
 Dalam penyewa adalah orang pribadi atau bukan Subjek Pajak, selain yang
tersebut di atas, PPh disetor sendiri oleh yang menyewakan.

10) Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi


 Dasar Hukum: Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi
 Objek Pajak dari ketentuan ini adalah penghasilan dari usaha jasa konstruksi, yaitu
layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa
pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan
pekerjaan konstruksi.
 Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan
perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup
pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-
masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau
bentuk fisik lain.
 Perencanaan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan
yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi
yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan
bangunan fisik lain.
 Pelaksanaan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan
yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi
yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil
perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di
dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi
layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan
pembangunan (engineering, procurement and construction) serta model
penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build).
 Pengawasan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan
yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi,
yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan
pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.
 Tarif Pajak Penghasilan untuk usaha Jasa Konstruksi adalah sebagai berikut:
a) 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia
Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;

30
b) 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh
Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;
c) 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia
Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
d) 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan
Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha;
dan
e) 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan
Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi
usaha.
 Mekanisme pemotongan dan penyetoran sbb:
 dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal Pengguna
Jasa merupakan pemotong pajak; atau
 disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal pengguna jasa bukan
merupakan pemotong pajak.
 Besarnya Pajak Penghasilan yang dipotong atau disetor sendiri adalah:
 jumlah pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dikalikan tarif
Pajak Penghasilan; atau
 jumlah penerimaan pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai,
dikalikan taril Pajak Penghasilan dalam hal Pajak Penghasilan disetor sendiri
oleh Penyedia Jasa.
 Jumlah pembayaran atau jumlah penerimaan pembayaran merupakan bagian
dari Nilai Kontrak Jasa Konstruksi.

11) Penyalur/Dealer/Agen Produk BBM


Dasar Hukum:
 Peraturan Menteri Keuangan No. 34/PMK.010/2017 tentang Pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran atas Penyerahan
Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain;
Objek Pajak:
 Penghasilan dari penjualan bahan bakar minyak dan bahan bakar gas kepada
penyalur/agen bersifat final.
Mekanisme:
Atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh produsen
atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas dilakukan
pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang terutang dan dipungut pada saat
penerbitan surat perintah pengeluaran barang (delivery order) dengan tarif sebagai
berikut:
1. bahan bakar minyak sebesar:
a) 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar
umum yang menjual bahan bakar rninyak yang dibeli dari Pertamina atau anak
perusahaan Pertamina;
b) 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai untuk penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar umum yang
menjual bahan bakar minyak yang dibeli selain dari Pertamina atau anak
perusahaan Pertamina;
c) 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai untuk penjualan kepada pihak selain sebagaimana dimaksud pada huruf
a) dan huruf b).
2. bahan bakar gas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai;

31
12) Penghasilan atas Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada
Anggota Koperasi Orang Pribadi
Dasar Hukum: Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2009 Tentang Pajak Penghasilan
atas Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi
Orang Pribadi.
Objek Pajak:
 Penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi yang
didirikan di Indonesia kepada anggota koperasi orang pribadi dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
 Penghasilan berupa bunga simpanan adalah imbalan berupa bunga simpanan
yang diterima anggota koperasi orang pribadi dari dana yang disimpan anggota
koperasi orang pribadi pada koperasi tempat orang pribadi tersebut menjadi
anggota.
 Tidak termasuk dalam pengertian ini adalah bunga simpanan yang diterima
anggota koperasi orang pribadi yang merupakan bagian dari sisa hasil usaha.
Tarif PPh Final adalah sbb:
 Dikenakan PPh 0% apabila s.d jumlah Rp. 240.000,00/bulan.
 Dikenakan PPh 10% apabila diatas Rp. 240.000,00/bulan
Contoh perhitungan Pajak Penghasilan atas bunga simpanan:
 Bunga dibayarkan pada bulan Februari Rp 240.000,
untuk masa Januari, maka PPh terutang 0% x Rp 240.000,00 = Rp 0;
 Bunga dibayarkan pada bulan Februari Rp 245.000,
untuk masa Januari, maka PPh terutang 10% x Rp 245.000 = Rp24.500;
 Bunga dibayarkan pada bulan April sebesar Rp 500.000, dengan rincian:
Bulan Januari Rp 250.000,
Bulan Februari Rp 150.000,
Bulan Maret Rp 100.000,
Maka yang dikenakan PPh 10% adalah bunga bulan Januari sebesar 10% x Rp
250.000, = Rp 25.000, dan untuk bulan Februari dan Maret RP 0.

13) Penghasilan atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri
Dasar Hukum:
 Pasal 17 ayat (2 c) UU PPh
 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas
Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Dividen yang
Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.
Objek Pajak:
 Penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri dikenai Pajak Penghasilan sebesar 10% (sepuluh persen)
dan bersifat final.
 Pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan melalui pemotongan oleh pihak yang
membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen.

14) Penghasilan istri dari satu pemberi kerja


Dasar Hukum:
 Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 21 Undang-Undang PPh
Objek Pajak:
 Penghasilan istri dari satu pemberi kerja adalah penghasilan berupa gaji,
tunjangan dan imbalan lainnya yang diterima atau diperoleh istri sebagai karyawati
dari satu pemberi kerja yang telah dipotong PPh Pasal 21
Mekanisme dan syarat:

32
 Istri melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya menggunakan
NPWP suami atau kepala keluarga (status perpajakan suami-istri adalah KK).
 Semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah
dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan
 Pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas
suami atau anggota keluarga lainnya.

15) Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh
Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
Dasar Hukum:
 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Tertentu.
Objek Pajak:
 Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam
negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final dalam jangka waktu tertentu.
 Tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 0,5%.
Tidak termasuk penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final sebagai berikut:
a) penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dari jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas;
b) penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri yang pajaknya terutang
atau telah dibayar di luar negeri;
c) penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
d) penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang dikenai Pajak Penghasilan
final merupakan:
 Wajib Pajak orang pribadi; dan
 Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, atau
perseroan terbatas,
yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak
melebihi Rp 4.800.000.000, dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Tidak termasuk Wajib Pajak ini dalam hal:
a) Wajib Pajak memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17
ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atau Pasal 31E Undang-Undang Pajak
Penghasilan;
b) Wajib Pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk
oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus
menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
c) Wajib Pajak badan memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan:
1) Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau
2) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun
Berjalan beserta perubahan atau penggantinya; dan
d) Wajib Pajak berbentuk Bentuk Usaha Tetap.

16) Penghasilan perusahaan modal ventura berupa keuntungan karena penjualan


saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usahanya
Dasar hukum:
 Pasal 4 ayat (2c) UU PPh: penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya,
transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham

33
atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima
oleh perusahaan modal ventura
 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1995 Tentang Pajak Penghasilan atas
penghasilan perusahaan modal ventura berupa keuntungan karena penjualan
saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usahanya.
Objek pajak:
 Atas penghasilan perusahaan modal ventura dari transaksi penjualan saham atau
pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usahanya dikenakan
Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Perusahaan pasangan usaha adalah perusahaan yang memenuhi syarat sebagai
berikut:
a) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang melakukan kegiatan dalam
sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan
b) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Tarif pajak:
 Besarnya Pajak Penghasilan adalah 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi
penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal.

3. Bukan Objek Pajak


Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
a. 1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima
oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib
bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh
penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
b. warisan;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau
sebagai pengganti penyertaan modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau
Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang
dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma
penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU
PPh. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan
dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima bukan dalam bentuk uang. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura
seperti beras, gula, dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan, seperti
penggunaan mobil, rumah, dan fasilitas pengobatan bukan merupakan objek pajak.
Apabila yang memberi imbalan berupa natura atau kenikmatan tersebut bukan Wajib
Pajak atau Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan Wajib
Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus
(deemed profit), imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan tersebut merupakan
penghasilan bagi yang menerima atau memperolehnya.
Misalnya, seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai pada suatu perwakilan
diplomatik asing di Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan menempati
rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau kenikmatan-kenikmatan

34
lainnya. Kenikmatan-kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai
tersebut sebab perwakilan diplomatik yang bersangkutan bukan merupakan Wajib
Pajak.
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa. Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari
perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi
kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, bukan
merupakan Objek Pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf
d, yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi untuk
kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan Kena
Pajak.
f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik
daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah
yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen
paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
Berdasarkan ketentuan ini, dividen yang dananya berasal dari laba setelah dikurangi
pajak dan diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam
negeri, dan badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah, dari
penyertaannya pada badan usaha lainnya yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia, dengan penyertaan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen),
tidak termasuk objek pajak. Yang dimaksud dengan “badan usaha milik negara” dan
“badan usaha milik daerah” pada ayat ini, antara lain, adalah perusahaan perseroan
(Persero), bank pemerintah, dan bank pembangunan daerah.
Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima dividen atau bagian laba adalah Wajib
Pajak selain badan-badan tersebut di atas, seperti orang pribadi baik dalam negeri
maupun luar negeri, firma, perseroan komanditer, yayasan dan organisasi sejenis dan
sebagainya, penghasilan berupa dividen atau bagian laba tersebut tetap merupakan
objek pajak.
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
Pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi
dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan.
Yang dikecualikan dari Objek Pajak adalah iuran yang diterima dari peserta pensiun,
baik atas beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja. Pada dasarnya iuran
yang diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan dana milik dari peserta pensiun,
yang akan dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya. Pengenaan pajak atas
iuran tersebut berarti mengurangi hak para peserta pensiun, dan oleh karena itu iuran
tersebut dikecualikan sebagai Objek Pajak.
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud
pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan. Penanaman modal oleh dana pensiun dimaksudkan untuk
pengembangan dan merupakan dana untuk pembayaran kembali kepada peserta
pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman modal tersebut perlu diarahkan pada
bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif atau yang berisiko tinggi. Oleh karena itu
penentuan bidang-bidang tertentu dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif. Untuk
kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana disebut dalam ketentuan

35
ini yang merupakan himpunan para anggotanya dikenai pajak sebagai satu kesatuan,
yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu, bagian laba yang diterima oleh
para anggota badan tersebut bukan lagi merupakan objek pajak.
j. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian
laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan
di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan
dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan; dan
2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Yang dimaksud dengan “perusahaan modal ventura” adalah suatu perusahaan yang
kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha) dalam bentuk
penyertaan modal untuk suatu jangka waktu tertentu. Berdasarkan ketentuan ini,
bagian laba yang diterima atau diperoleh dari perusahaan pasangan usaha tidak
termasuk sebagai objek pajak, dengan syarat perusahaan pasangan usaha tersebut
merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, dan saham perusahaan tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia.
Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura memenuhi ketentuan dividen
huruf f diatas, dividen yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura bukan
merupakan objek pajak.
Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan kepada sektor-sektor
kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan, misalnya untuk
meningkatkan ekspor nonmigas, usaha atau kegiatan dari perusahaan pasangan
usaha tersebut diatur oleh Menteri Keuangan.
Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternative pembiayaan dalam
bentuk penyertaan modal, penyertaan modal yang akan dilakukan oleh perusahaan
modal ventura diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang belum mempunyai
akses ke bursa efek.
k. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
l. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah
terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk
sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan,
dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih
tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
Bahwa dalam rangka mendukung usaha peningkatan kualitas sumber daya manusia
melalui pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan diperlukan sarana dan
prasarana yang memadai. Untuk itu dipandang perlu memberikan fasilitas perpajakan
berupa pengecualian pengenaan pajak atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh
sepanjang sisa lebih tersebut ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan dan
pengadaan sarana dan prasarana kegiatan dimaksud. Penanaman kembali sisa lebih
dimaksud harus direalisasikan paling lama dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak
sisa lebih tersebut diterima atau diperoleh.
Untuk menjamin tercapainya tujuan pemberian fasilitas ini, maka lembaga atau badan
yang menyelenggarakan pendidikan harus bersifat nirlaba. Pendidikan serta penelitian
dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada siapa saja dan
telah mendapat pengesahan dari instansi yang membidanginya.
m. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Bantuan atau santunan yang diberikan
oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kepada Wajib Pajak tertentu

36
adalah bantuan sosial yang diberikan khusus kepada Wajib Pajak atau anggota
masyarakat yang tidak mampu atau sedang mendapat bencana alam atau tertimpa
musibah.

Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak
sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan
kepemilikan, atau hubungan penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak serta sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama lainnya yang diakui di Indonesia
yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah
dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak diperlakukan sama seperti
bantuan atau sumbangan. Yang dimaksud dengan “zakat” adalah zakat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai zakat.
Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat terjadi,
misalnya PT A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan baku utamanya
diproduksi oleh PT B. Apabila PT B memberikan sumbangan bahan baku kepada PT A,
sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT A merupakan objek pajak.
Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak apabila
diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh
badan keagamaan, badan pendidikan, atau badan sosial termasuk yayasan atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil termasuk koperasi yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan, sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja,
hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara pihak-
pihak yang bersangkutan.

4. Soal Latihan Bab II

1. Ibu Wati, WNI, hanya bekerja sebagai pegawai perwakilan ASEAN di Indonesia,
penghasilan berupa gaji setahun Rp 1 M dan fasilitas hotel jika dinilai sebesar Rp 200
juta. Yang menjadi objek pajak adalah:
a. Gaji
b. Fasilitas hotel
c. Gaji dan fasilitas hotel
d. Semua salah

Untuk soal No. 2 s.d. 4, Tn Abdi bekerja di sebuah perusahaan konstruksi pada suatu
tahun pajak memperoleh penghasilan sebagai berikut:

2. Penghasilan berupa parsel lebaran berupa sembako, nilai dalam rupiah setara dengan
Rp800.000,00 per karyawan, termasuk:
a. bukan objek pajak
b. objek pajak final
c. objek pajak yang diperhitungkan pada akhir tahun
d. Semua salah

3. Menerima imbalan berupa gaji sejumlah Rp80.000.000, tunjangan transportasi


sejumlah Rp10.000.000, dan beras sejumlah 10 kg. Pernyataan berikut yang benar
adalah….
a. tunjangan transportasi terkena PPh final
b. gaji bukan merupakan objek pajak
c. perusahaan tidak memotong PPh Pasal 21 atas penghasilan ybs
d. beras merupakan objek pajak

37
4. Laptop senilai Rp18.000.000,00 kepada karyawan sebagai hasil undian saat acara
ulang tahun perusahaan termasuk…
a. bukan objek pajak
b. objek pajak final
c. objek pajak yang diperhitungkan pada akhir tahun
d. Semua salah

5. Tn Budi Mendapatkan pembayaran uang pesangon dari tempat kerja yang lama
sebesar Rp300.000.000, termasuk...
a. bukan objek pajak
b. objek pajak final
c. objek pajak yang diperhitungkan pada akhir tahun
d. Semua salah

6. Suntoro mendapatkan bagian laba dari Persekutuan Samson, yang diambil secara
bulanan (tiap akhir bulan), yaitu Rp30.000.000,00 setiap bulan, termasuk…
a. bukan objek pajak
b. objek pajak final
c. objek pajak yang diperhitungkan pada akhir tahun
d. Semua salah

7. Ibu Wati mendapatkan penghargaan sebagai juara III Karate Tingkat dunia di China
dan mendapatkan piala terbuat dari emas senilai Rp50.000.000,00, termasuk…
a. bukan objek pajak
b. objek pajak final
c. objek pajak yang diperhitungkan pada akhir tahun
d. Semua salah

8. Pak Ali menerima pembayaran sewa penggunaan villa di Puncak selama sebulan dari
salah satu kandidat doktor untuk keperluan penyusunan disertasinya, sejumlah
Rp15.000.000,00.
a. bukan objek pajak
b. objek pajak final
c. objek pajak yang diperhitungkan pada akhir tahun
d. Semua salah

9. Risma mendapatkan tanah seluas 500 m2 dari ayahnya yang sedang membagikan aset
tetap kepada anak-anaknya saat ulang tahun ke-70. Nilai pasar tanah tersebut adalah
Rp1,5 miliar, penghasilan berupa tanah tersebut…
a. bukan objek pajak
b. objek pajak final
c. objek pajak yang diperhitungkan pada akhir tahun
d. Semua salah

10. Ida menjual 10.000 lembar saham TLKM di bursa efek, seharga Rp3.830,00 per
lembar. Dulu saat membeli saham tersebut masih berada di harga Rp2.750,00. Atas
hasil penjualan saham tersebut termasuk…
a. bukan objek pajak
b. objek pajak final
c. objek pajak yang diperhitungkan pada akhir tahun
d. Semua salah

---Q---

38
BAB III

Penghasilan Neto, PTKP, Tarif, dan Kredit Pajak

Tujuan:
Mahasiswa mampu memahami penghasilan neto, PTKP, tarif, kredit pajak dan
mengaplikasikannya dalam perhitungan pajak untuk wajib pajak orang pribadi (WP OP)

1. Penghasilan Neto
Penghasilan neto adalah penghasilan yang akan dihitung pajaknya pada akhir tahun,
misalnya penghasilan dari gaji, sewa kendaraan, capital gain saham non bursa, dan bunga
pinjaman pada pihak non bank. Jadi dalam pengertian penghasilan neto ini tidak termasuk
penghasilan final, yang bersifat final, dan bukan objek pajak, misalnya penghasilan dari
pesangon, sewa tanah dan bangunan, saham di bursa, dan warisan.
Penghasilan Neto dapat dihitung dengan dua cara yaitu dengan dasar Norma
Penghitungan (pencatatan) dan pembukuan. Untuk menghitung besarnya penghasilan
neto dari pembukuan harus menggunakan standar akuntansi yang berlaku berupa
penghasilan neto komersial yang nantinya dilakukan penyesuaian berupa koreksi fiskal
positif, lalu dikurangi koreksi fiskal negatif sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.
Mekanisme perhitungan penghasilan neto dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto diatur dalam PER-17/PJ/2015 sbb:
1) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun sebesar Rp4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah) atau lebih wajib menyelenggarakan pembukuan. Ini berarti
penentuan penghasilan neto dihitung berdasarkan pembukuan.
2) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp 4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah) wajib menyelenggarakan pencatatan, kecuali Wajib
Pajak yang bersangkutan memilih menyelenggarakan pembukuan. Ini berarti WPOP
yang menyelenggarakan pencatatan boleh menghitung penghasilan neto dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dengan syarat
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.

Berikut format dalam menghitung penghasilan neto dari pembukuan:


Peredaran Usaha XXX
Harga Pokok Penjualan XXX
Laba/Rugi Bruto Usaha XXX
Biaya Usaha XXX
Penghasilan Neto (komersial) XXX
Penyesuaian Fiskal Positif XXX
Penyesuaian Fiskal Negatif XXX
Penghasilan Neto Dalam Negeri (fiskal) XXX

Dalam pembahasan selanjutnya akan diperdalam perhitungan penghasilan neto


dengan dasar pencatatan (nonpembukuan).
Dalam perhitungan pajak penghasilannya, penghasilan WP Orang Pribadi yang
menjadi objek PPh dapat dibagi menjadi 2 bagian besar yaitu
 Penghasilan yang dikenakan PPh Final. Dalam menghitung pajak penghasilan final
dan/atau yang bersifat final ini dengan menggunakan tarif tertentu pada penghasilan
brutonya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penghasilan final ini telah dibahas
pada Bab II Objek Pajak Final.
 Penghasilan non final.

39
Besarnya penghasilan neto yang nantinya dikenakan pajak ditentukan berdasarkan
pencatatan, baik dengan mengurangkan penghasilan bruto dengan biaya ataupun
dengan menggunakan prosentase penghasilan neto.

Perhitungan penghasilan neto untuk PPh Orang Pribadi ditentukan berdasarkan jenis
pekerjaan, jenis penghasilan, dan metode pencatatan/pembukuannya. Berdasarkan
klasifikasi dalam SPT Tahunan Orang Pribadi, ada 5 jenis penghasilan yang diperoleh
Orang Pribadi yaitu:
a. Penghasilan Neto Dalam Negeri Dari Usaha
b. Penghasilan Neto Dalam Negeri Dari Pekerjaan Bebas
c. Penghasilan Neto Dalam Negeri Sehubungan Dengan Pekerjaan
d. Penghasilan Neto Dalam Negeri Lainnya (non final)
e. Penghasilan Neto Luar Negeri

Berikut penjelasan perhitungan penghasilan neto:

a. Penghasilan Neto Dalam Negeri Dari Usaha


Secara umum ada 3 jenis penghasilan bruto WP OP dari usaha yang meliputi:
 Dagang: Peredaran usaha perdagangan ialah jumlah hasil penjualan bruto setelah
dikurangi dengan pengembalian barang, potongan tunai, dan rabat dalam Tahun
Pajak yang bersangkutan. Contoh perdagangan eceran sembako dan
pedagangan besar pakaian jadi.
 Industri: Peredaran usaha industri ialah jumlah hasil penjualan bruto setelah
dikurangi dengan pengembalian barang, potongan tunai, dan rabat dalam Tahun
Pajak yang bersangkutan. Contoh industri tempe.
 Jasa: Peredaran usaha jasa ialah penerimaan bruto usaha jasa dalam Tahun
Pajak yang bersangkutan. Contoh sewa kendaraan.
Untuk menghitung besarnya penghasilan neto wajib pajak orang pribadi dalam negeri
yang melakukan kegiatan usaha yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun
kurang dari Rp 4.800.000.000, boleh menghitung penghasilan neto dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Materi ini akan lebih dalam
dibahas di Bab VI yaitu PPh bagi OP yang melakukan Kegiatan Usaha. Selain itu WP
tersebut dapat juga menggunakan PPh Final sesuai PP 23 tahun 2018. Jika omset
telah mencapai Rp 4.800.000.000 atau lebih, tidak dapat menggunakan pencatatan,
jadi perhitungan penghasilan neto dihitung dengan pembukuan.

b. Penghasilan Neto Dalam Negeri Dari Pekerjaan Bebas


Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas yang peredaran
brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp 4.800.000.000, boleh menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu
3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
Jenis pekerjaan bebas ini diatur dalam PP 23 tahun 2018 yaitu:
1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, PPAT, penilai, dan aktuaris;
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain
drama, dan penari;
3. olahragawan;
4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. agen iklan;
7. pengawas atau pengelola proyek;
8. perantara;

40
9. petugas penjaja barang dagangan;
10. agen asuransi;
11. distributor perusahaan pemasaran berjenjang atau penjualan langsung dan
kegiatan sejenis lainnya.

Sedangkan jenis pekerjaan bebas ini diatur dalam Per No. 16/PJ/2016 yaitu:
1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain
drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
3. olahragawan;
4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem
aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial serta
pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
7. agen iklan;
8. pengawas atau pengelola proyek;
9. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi
perantara;
10. petugas penjaja barang dagangan;
11. petugas dinas luar asuransi; dan/atau
12. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis
lainnya;
Perbedaannya yaitu pada “pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik,
komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan
sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan”.
Perhitungan bagi wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang memperoleh
penghasilan dari pekerjaan bebas akan dibahas pada Bab VII PPh bagi OP yang
Menjalankan Pekerjaan Bebas (Nonpembukuan).
Norma Penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan
neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan disempurnakan terus-menerus.
Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-
hal:
• tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang
lengkap, atau
• pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata
diselenggarakan secara tidak benar.
Norma Penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau
data lain, dan dengan memperhatikan kewajaran.
Norma Penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu
menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto.
Wajib Pajak yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata
cara perpajakan. Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan
norma dalam menghitung penghasilan neto.
Wajib Pajak yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan,
termasuk Wajib Pajak, yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan
pencatatan atau pembukuan atau tidak memperlihatkan pencatatan atau bukti-bukti
pendukungnya maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan

41
Penghasilan Neto dan peredaran brutonya dihitung dengan cara lain yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. misalnya dokter, pengacara,
notaris, akuntan, konsultan, penilai, aktuaris, arsitek. Pembahasan lebih lengkap akan
dibahas pada Bab VII.

c. Penghasilan Neto Dalam Negeri Sehubungan Dengan Pekerjaan


Adalah penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi
dengan status sebagai Subjek Pajak dalam negeri yang menerima atau memperoleh
penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang tidak dikecualikan
dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau
PPh Pasal 26 sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan,
termasuk penerima pensiun. Penghasilan neto diperoleh dengan mengurangi
penghasilan bruto dari pekerjaan misalnya gaji dan tunjangan dengan pengurang
penghasilan bruto seperti biaya jabatan dan iuran pensiun. Jenis penghasilan sbb:
a. penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap, baik berupa
Penghasilan yang Bersifat Teratur maupun Tidak Teratur;
b. penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa
uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
c. penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua,
atau jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus, yang pembayarannya melewati
jangka waktu 2 (dua) tahun sejak pegawai berhenti bekerja;
d. penghasilan Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, berupa upah harian,
upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara
bulanan;
e. imbalan kepada Bukan Pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan
imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan
sehubungan jasa yang dilakukan;
f. imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang
representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama
dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun;
g. penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang
diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang
tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama;
h. penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain
yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai; atau
i. penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang
masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan.
termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya
dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh:
a) Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
b) Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma
penghitungan khusus (deemed profit).

Untuk penghasilan neto tersebut dapat digambarkan sbb:


Jenis Jumlah
Penghasilan bruto XX
- Gaji, Tunjangan, Honor, Bonus, dll XX
Pengurang Penghasilan Bruto XX
- Biaya Jabatan, Iuran pensiun/THT/JHT XX
Penghasilan Neto XX

Pembahasan lebih lengkap akan dibahas pada Bab IV dan V.

42
d. Penghasilan Neto Dalam Negeri Lainnya (non final)
WP OP dapat memperoleh penghasilan lainnya yang meliputi besarnya
penghasilan neto dalam negeri lainnya yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
sendiri dan anggota keluarganya dalam Tahun Pajak yang bersangkutan, tidak
termasuk penghasilan yang telah dikenakan PPh final dan/atau PPh bersifat final serta
penghasilan yang tidak termasuk objek pajak. Berarti jumlah penghasilan neto untuk
penghasilan ini sama dengan jumlah penghasilan brutonya. Penghasilan ini meliputi:
1. Bunga, dalam pengertian bunga termasuk premium, diskonto, bagi usaha berbasis
syariah dan imbalan lain sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, baik
yang dijanjikan maupun tidak, yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sendiri dan
anggota keluarganya.
2. Royalti, yang dimaksud dengan royalti adalah setiap imbalan dengan nama
apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sendiri dan anggota keluarganya
sehubungan dengan penyerahan penggunaan hak kepada pihak lain, berupa:
 hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang,
formula, atau rahasia perusahaan;
 hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan
ilmu pengetahuan;
 informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun
mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau
bidang usaha lainnya.
3. Sewa, Yang dimaksud dengan sewa adalah setiap imbalan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak sendiri dan anggota keluarganya sehubungan dengan
penggunaan harta selain sewa tanah dan/atau bangunan oleh pihak lain, harta
gerak misalnya sewa pemakaian mobil, sewa alat-alat berat.
4. Penghargaan dan hadiah yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sendiri dan
anggota keluarganya merupakan penghasilan. Jenis hadiah dan penghargaan
untuk tujuan pemajakan dapat dibedakan:
a. Hadiah dan penghargaan perlombaan, yang diberikan melalui suatu
perlombaan atau adu ketangkasan, misalnya dari:
- perlombaan olah raga;
- kontes kecantikan/busana, kontes lainnya;
- kuis di televisi/radio;
- kegiatan perlombaan atau adu ketangkasan lainnya.
b. Penghargaan atas suatu prestasi tertentu, misalnya penghargaan atas
penemuan benda purbakala, penghargaan dalam menjualkan suatu produk.
c. Hadiah sehubungan dengan pekerjaan pemberian jasa dan kegiatan lainnya
yang pemberiannya tidak melalui cara undian atau perlombaan.
Tidak termasuk dalam pengertian hadiah atau penghargaan yang dikenakan
pajak adalah hadiah langsung dalam penjualan barang/jasa, sepanjang:
1. diberikan kepada semua pembeli/konsumen akhir tanpa diundi;
2. diterima langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang/jasa.
5. Keuntungan dari penjualan/pengalihan harta dan penghasilan lainnya, ialah
penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak sendiri dan anggota
keluarganya sehubungan dengan penjualan/pengalihan harta, termasuk:
a) Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
b) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan
kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.

43
c) Keuntungan karena penjualan harta pribadi, misalnya saham yang tidak
diperdagangkan di bursa efek.
6. Penghasilan Lainnya misalnya:
a) penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
b) keuntungan karena pembebasan utang;
c) penerimaan dari piutang yang telah dihapuskan;
d) keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
e) tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak;
f) penghasilan dari anak/anak angkat yang belum dewasa.

e. Penghasilan Neto Luar Negeri


Pada dasarnya Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan,
termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Penghasilan neto
dari luar negeri dapat diperoleh dalam berbagai macam kegiatan, antara lain dari:
 Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti
gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan,
pengacara, dan sebagainya
 penghasilan dari usaha dan kegiatan
 penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti
bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak
dipergunakan untuk usaha, dan
 penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah
WPDN harus melaporkan penghasilan yang didapatnya di luar negeri tersebut dalam
SPT Tahunannya. Untuk menghitung pajak atas keseluruhan penghasilan yang
diperoleh dari luar negeri tersebut, pajak yang dipotong di luar negeri dapat menjadi
pengurang atau kredit pajak dengan penghitungan sesuai dengan ketentuan pada
Pasal 24 UU PPh.

2. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)


Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena
Pajak. Di samping untuk dirinya, kepada Wajib Pajak yang sudah kawin diberikan
tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit sebesar:
a. Rp 54.000.000, untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp 4.500.000, tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp 54.000.000, tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan
penghasilan suami; dan
d. Rp 4.500.000, tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga
semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan
sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
Penerapan ketentuan tersebut ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau
awal bagian tahun pajak.
Bagi Wajib Pajak yang istrinya menerima atau memperoleh penghasilan yang
digabung dengan penghasilannya, Wajib Pajak tersebut mendapat tambahan
Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang istri paling sedikit sebesar Rp 54.000.000.
Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis
keturunan lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua,
anak kandung, atau anak angkat diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak
untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengan “anggota keluarga yang
menjadi tanggungan sepenuhnya” adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai
penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak. Yang dimaksud

44
dengan “anak yang belum dewasa” adalah anak yang belum berumur 18 tahun dan
belum pernah menikah.

Berikut tabel lengkap PTKP:


Status Setahun Sebulan
TK/0 54,000,000 4,500,000
TK/1 58,500,000 4,875,000
TK/2 63,000,000 5,250,000
TK/3 67,500,000 5,625,000
K/0 58,500,000 4,875,000
K/1 63,000,000 5,250,000
K/2 67,500,000 5,625,000
K/3 72,000,000 6,000,000
K/I/0 112,500,000 9,375,000
K/I/1 117,000,000 9,750,000
K/I/2 121,500,000 10,125,000
K/I/3 126,000,000 10,500,000

Contoh:
Wajib Pajak A mempunyai seorang istri dengan tanggungan 4 (empat) orang anak.
Apabila istrinya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja yang sudah dipotong
Pajak Penghasilan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan
usaha suami atau anggota keluarga lainnya, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak
yang diberikan kepada Wajib Pajak A hanya diperkenankan 3 orang tanggungan (K/3)
adalah sebesar Rp 72.000.000, {Rp 54.000.000, + Rp 4.500.000, + (3 x Rp 4.500.000,00)},
sedangkan untuk istrinya, pada saat pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh
pemberi kerja diberikan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagai TK/0 sebesar Rp
54.000.000,00. Apabila penghasilan istri harus digabung dengan penghasilan suami,
besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah
sebesar Rp 126.000.000, (Rp 72.000.000, + Rp 54.000.000,) atau statusnya K/I/3.
Penghitungan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak ditentukan menurut keadaan
Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak.
Misalnya, pada tanggal 1 Januari 2009 Wajib Pajak B berstatus kawin dengan
tanggungan 1 (satu) orang anak. Apabila anak yang kedua lahir setelah tanggal 1 Januari
2009, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak B
untuk tahun pajak 2009 tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak.

3. Tarif
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
sampai dengan Rp 50.000.000 5%
di atas Rp 50.000.000, s.d. Rp 250.000.000 15%
di atas Rp250.000.000, s.d. Rp 500.000.000 25%
di atas Rp 500.000.000 30%

Contoh penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak orang pribadi:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 600.000.600.
untuk penerapan tarif dibulatkan ke bawah menjadi Rp 600.000.000,
Pajak Penghasilan yang terutang:
5% x Rp50.000.000, = Rp 2.500.000,
15% x Rp200.000.000, = Rp 30.000.000,

45
25% x Rp250.000.000, = Rp 62.500.000,
30% x Rp100.000.000, = Rp 30.000.000, (+)
Rp 600.000.000, Rp 125.000.000,

4. Kredit Pajak (Selain Kredit Pajak Luar Negeri)


Agar pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan mendekati jumlah pajak yang akan
terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, maka atas penghasilan terutang diakhir
tahun tersebut akan dikurangi dengan kredit pajak melalui:
a. Pemotongan pajak oleh pihak lain dalam hal diperoleh penghasilan oleh Wajib Pajak
dari
i. Pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Contoh adanya bukti 1721 A1 atas
pemotongan PPh Pasal 21 gaji dan THR yang dapat dikreditkan pada akhir tahun.
ii. pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan
usaha di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22. Contoh pada waktu
melakukan impor, ada pemungutan PPh Pasal 22 Impor yang dapat dikreditkan
pada akhir tahun.
iii. pemotongan pajak atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah
dan penghargaan, dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
Misalnya atas penghasilan sewa kendaraan, telah dilakukan pemotongan PPh
Pasal 23 dari pengguna sehingga dapat dikreditkan pada akhir tahun.

b. Pembayaran oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan
STP PPh Pasal 25 (hanya pokok pajak)
Pasal 25 merupakan jumlah PPh yang telah dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
selama Tahun Pajak yang bersangkutan berupa PPh Pasal 25 Tahun Pajak yang
bersangkutan termasuk jumlah pelunasan PPh yang terutang berdasarkan
penghitungan sementara dalam hal Wajib Pajak menyampaikan pemberitahuan
permohonan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan.
Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri
oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang
menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu
dikurangi dengan:
1) Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan
Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22; dan
2) Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya
bulan dalam bagian tahun pajak.

Kredit pajak ini juga termasuk jumlah PPh yang tercantum dalam Surat Tagihan
Pajak (STP) untuk Tahun Pajak yang bersangkutan termasuk Surat Tagihan Pajak
(STP) PPh Pasal 25 ayat (7) dari Pengusaha Tertentu yang menerima atau
memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenakan PPh yang bersifat final, tidak
termasuk sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
Contoh :
Pada STP tercantum hal-hal sebagai berikut :
Angsuran PPh Pasal 25 yang harus dibayar = Rp 2.000.000
Telah dibayar = Rp 1.500.000 -/-
Kurang dibayar = Rp 500.000
Sanksi administrasi berupa bunga = Rp 20.000
Sanksi administrasi berupa denda = Rp 100.000 +/+
Jumlah yang harus dibayar = Rp 620.000
Yang dimasukkan sebagai kredit pajak adalah Rp 500.000 (hanya pokok pajak).

46
Pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan merupakan angsuran pembayaran pajak
yang nantinya boleh diperhitungkan dengan cara mengkreditkan terhadap Pajak
Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Dengan pertimbangan kemudahan, kesederhanaan, kepastian, pengenaan pajak
yang tepat waktu, dan pertimbangan lainnya, maka dapat diatur pelunasan pajak dalam
tahun berjalan yang bersifat final atas jenis-jenis penghasilan tertentu seperti dimaksud
dalam Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23. Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut
tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang misalnya ada
pemotongan PPh atas penghasilan bunga deposito, sewa tanah dan/ bangunan, atau
sebagai agen BBM. Daftar lengkap PPh final telah dibahas sebelumnya.
Pajak yang telah dilunasi dalam tahun berjalan, baik yang dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak ataupun yang dipotong serta dipungut oleh pihak lain, dapat dikreditkan terhadap
pajak yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan.
Contoh:
Pajak Penghasilan yang terutang Rp 80.000.000,
Kredit pajak:
Pemotongan pajak dari pekerjaan (Pasal 21) Rp 5.000.000,
Pemungutan pajak oleh pihak lain (Pasal 22) Rp 10.000.000,
Pemotongan pajak dari modal (Pasal 23) Rp 20.000.000,
Dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (Pasal 25) Rp 10.000.000, (+)
Jumlah Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan Rp 45.000.000, (-)
Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar Rp 35.000.000,

Berikut penjelasan kredit pajak dari pemotongan pajak oleh pihak lain:

1) PPh Pasal 21
Pemotongan pajak PPh Pasal 21 adalah pemotongan atas penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk
apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib
dilakukan oleh:
a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan
oleh pegawai atau bukan pegawai;
b. bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
c. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran
lain dengan nama apa pun dalam rangka pensiun;
d. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan
bebas; dan
e. penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan
pelaksanaan suatu kegiatan.
PPh Pasal 21 meliputi PPh yang telah dipotong oleh pemotong PPh Pasal 21
dalam Tahun Pajak yang bersangkutan, baik terhadap Wajib Pajak sendiri maupun
terhadap isteri Wajib Pajak yang bekerja pada lebih dari satu pemberi kerja, dan
anak/anak angkat yang belum dewasa dikutip dari Formulir 1721-A1 Angka 21
dan/atau dari Formulir 1721-A2 Angka 18 dan/atau Bukti Pemotongan PPh Pasal 21,
tidak termasuk PPh Pasal 21 yang bersifat final.
Dalam hal isteri melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya
menggunakan NPWP suami atau kepala keluarga (status perpajakan suami-isteri
adalah KK), maka pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang
semata-mata diterima atau diperoleh isteri dari satu pemberi kerja dan pekerjaan
tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau
anggota keluarga lainnya, merupakan pemotongan pajak yang bersifat final sehingga
dilaporkan pada Lampiran – III (Formulir 1770 - III) Bagian A: Penghasilan yang

47
Dikenakan PPh Final dan/atau Bersifat Final, Nomor 15: Penghasilan Isteri dari Satu
Pemberi Kerja, Lampiran – II (Formulir 1770 S - II) Bagian A: Penghasilan yang
Dikenakan PPh Final dan/atau Bersifat Final, Nomor 13: Penghasilan Isteri dari Satu
Pemberi Kerja, atau pada Bagian B: Penghasilan yang dikenakan PPh Final dan Yang
dikecualikan dari Objek Pajak , Nomor 8: Dasar Pengenaan Pajak/ Penghasilan Bruto
Pajak Penghasilan Final (Formulir 1770 SS).

2) PPh Pasal 22
Pemungutan pajak PPh Pasal 22 ini dilakukan oleh pemungut pajak tertentu dan
atas pembayaran tertentu:
a. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas:
1. impor barang; dan
2. ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam
yang dilakukan oleh eksportir, kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang
terikat dalam perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan dan
Kontrak Karya.
b. bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut
pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga
pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran
atas pembelian barang;
c. bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang
yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
d. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar
yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan
pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan
mekanisme pembayaran langsung (LS);
e. badan usaha tertentu meliputi:
1. Badan Usaha Milik Negara, yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian
besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang
berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan;
2. badan usaha dan Badan Usaha Milik Negara yang merupakan hasil dari
restrukturisasi yang dilakukan oleh Pemerintah, dan restrukturisasi tersebut
dilakukan melalui pengalihan saham milik negara kepada Badan Usaha Milik
Negara lainnya; dan
3. badan usaha tertentu yang dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik
Negara, meliputi PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, PT Petrokimia Gresik, PT
Pupuk Kujang, PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Iskandar Muda, PT
Telekomunikasi Selular, PT Indonesia Power, PT Pembangkitan Jawa-Bali, PT
Semen Padang, PT Semen Tonasa, PT Elnusa Tbk, PT Krakatau Wajatama,
PT Rajawali Nusindo, PT Wijaya Karya Beton Tbk, PT Kimia Farma Apotek,
PT Kimia Farma Trading & Distribution, PT Badak Natural Gas Liquefaction,
PT Tambang Timah, PT Terminal Petikemas Surabaya, PT Indonesia Comnets
Plus, PT Bank Syariah Mandiri, PT Bank BRI Syariah, dan PT Bank BNI
Syariah,
berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan
untuk keperluan kegiatan usahanya;
f. badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas,
industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil
produksinya kepada distributor di dalam negeri;
g. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan
importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam
negeri;
h. produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas
penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;

48
i. badan usaha industri atau eksportir yang melakukan pembelian bahan-bahan
berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang
belum melalui proses industri manufaktur, untuk keperluan industrinya atau
ekspornya;
j. badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara, mineral
logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi pemegang izin
usaha pertambangan; atau
k. badan usaha yang melakukan penjualan emas batangan di dalam negeri.

Selain itu, ada Wajib Pajak badan tertentu sebagai pemungut PPh Pasal 22 dari
pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Pemungutan pajak oleh
Wajib Pajak badan tertentu ini akan dikenakan terhadap pembelian barang yang
memenuhi kriteria tertentu sebagai barang yang tergolong sangat mewah baik dilihat
dari jenis barangnya maupun harganya, seperti kapal pesiar, rumah sangat mewah,
apartemen dan kondominium sangat mewah, serta kendaraan sangat mewah
sebagagimana diatur dalam PMK 92/PMK.03/2019.
Barang yang tergolong sangat mewah adalah:
a. pesawat terbang pribadi dan helikopter pribadi;
b. kapal pesiar, yacht, dan sejenisnya;
c. rumah beserta tanahnya, dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari
Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah) atau luas bangunan lebih dari
400m2 (empat ratus meter persegi);
d. apartemen, kondominium, dan sejenisnya, dengan harga jual atau pengalihannya
lebih dari Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah) atau luas bangunan lebih
dari 150m2 (seratus lima puluh meter persegi);
e. kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa
sedan, jeep, sport utility vehicle (SUV), multi purpose vehicle (MPV), minibus, dan
sejenisnya, dengan harga jual lebih dari Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)
atau dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000cc; dan/atau
f. kendaraan bermotor roda dua dan tiga, dengan harga jual lebih dari
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) atau dengan kapasitas silinder lebih dari
250cc.
Pajak Penghasilan ini dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak
Penghasilan dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang melakukan pembelian
barang yang tergolong sangat mewah.

3) PPh Pasal 23
Pemotongan pajak PPh Pasal 23 meliputi PPh yang telah dipotong dalam tahun
pajak yang bersangkutan oleh pemotong PPh Pasal 23 atas penghasilan berupa
dividen, bunga, royalti, hadiah dan penghargaan, sewa, imbalan atas jasa teknik, jasa
manajemen, jasa konsultan, dan jasa lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal
Pajak, dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk
dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek
pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau
bentuk usaha tetap, kecuali pemotongan PPh yang bersifat final.

Tarif yang dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan yaitu sebesar:
a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
1. dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi;
2. bunga bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
3. royalti; dan

49
4. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak
Penghasilan Pasal 21 oleh penyelenggara kegiatan yang melakukan
pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan;
b. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
1. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah
dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
2. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi,
jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

Jenis jasa lain tersebut terdiri dari:


1. Jasa penilai (appraisal);
2. Jasa aktuaris;
3. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
4. Jasa hukum;
5. Jasa arsitektur;
6. Jasa perencanaan kota dan arsitektur landscape;
7. Jasa perancang (design);
8. Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas),
kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap;
9. Jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas
bumi (migas);
10. Jasa penambangan dan jasa penunjang selain di bidang usaha panas bumi dan
penambangan minyak dan gas bumi (migas);
11. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
12. Jasa penebangan hutan;
13. Jasa pengolahan limbah;
14. Jasa penyedia tenaga kerja dan/atau tenaga ahli (outsourcing services);
15. Jasa perantara dan/atau keagenan;
16. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh
Bursa Efek, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan Kliring Penjaminan Efek
Indonesia (KPEI);
17. Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh Kustodian
Sentral Efek Indonesia (KSEI);
18. Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
19. Jasa mixing film;
20. Jasa pembuatan saranan promosi film, iklan, poster, photo, slide, klise, banner,
pamphlet, baliho dan folder;
21. Jasa sehubungan dengan software atau hardware atau sistem komputer,
termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan;
22. Jasa pembuatan dan/atau pengelolaan website;
23. Jasa internet termasuk sambungannya;
24. Jasa penyimpanan, pengolahan, dan/atau penyaluran data, informasi, dan/atau
program;
25. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC,
dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya
di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha
konstruksi;
26. Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air,
gas, AC, TV kabel, dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak
yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau
sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
27. Jasa perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi darat, laut dan udara;
28. Jasa maklon;

50
29. Jasa penyelidikan dan keamanan;
30. Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer;
31. Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang
atau media lain untuk penyampaian informasi, dan/atau jasa periklanan;
32. Jasa pembasmian hama;
33. Jasa kebersihan atau cleaning service;
34. Jasa sedot septic tank;
35. Jasa pemeliharaan kolam;
36. Jasa katering atau tata boga;
37. Jasa freight forwarding;
38. Jasa logistik;
39. Jasa pengurusan dokumen;
40. Jasa pengepakan;
41. Jasa loading dan unloading;
42. Jasa laboratorium dan/atau pengujian kecuali yang dilakukan oleh lembaga atau
insitusi pendidikan dalam rangka penelitian akademis;
43. Jasa pengelolaan parkir;
44. Jasa penyondiran tanah;
45. Jasa penyiapan dan/atau pengolahan lahan;
46. Jasa pembibitan dan/atau penanaman bibit;
47. Jasa pemeliharaan tanaman;
48. Jasa pemanenan;
49. Jasa pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, dan/atau
perhutanan;
50. Jasa dekorasi;
51. Jasa pencetakan/penerbitan;
52. Jasa penerjemahan;
53. Jasa pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15 Undang-
Undang Pajak Penghasilan;
54. Jasa pelayanan kepelabuhanan;
55. Jasa pengangkutan melalui jalur pipa;
56. Jasa pengelolaan penitipan anak;
57. Jasa pelatihan dan/atau kursus;
58. Jasa pengiriman dan pengisian uang ke ATM;
59. Jasa sertifikasi;
60. Jasa survey;
61. Jasa tester, dan
62. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah.

Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan tidak
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi
100% (seratus persen) daripada tarif tsb.
Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan atas:
a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha
dengan hak opsi;
c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang
diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c);
d. dihapus;
e. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i;
f. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
g. dihapus; dan

51
h. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan
yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.

4) PPh Pasal 24
Pemotongan pajak PPh Pasal 24 dikenakan terhadap WPOP yang memperoleh
penghasilan dari luar negeri. Pada dasarnya Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak
atas seluruh penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar
negeri. Untuk meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi karena pengenaan
pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri, perhitungan
besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat
dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam
negeri. Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar
negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan
terhadap pajak yang terutang dalam tahun pajak yang sama. Besarnya kredit pajak
adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak
boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan PPh.
Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, sumber
penghasilan ditentukan sebagai berikut:
a. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan
saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan
saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan;
b. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan
harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga,
royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada;
c. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak
adalah negara tempat harta tersebut terletak;
d. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut
bertempat kedudukan atau berada;
e. penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap
tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan;
f. penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda
turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan
pertambangan adalah negara tempat lokasi penambangan berada;
g. keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap
berada; dan
h. keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk
usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.
Penentuan PPh Luar Negeri yang dapat dikreditkan ditentukan berdasarkan
jumlah yang paling sedikit di antara:
1. Jumlah PPh Luar Negeri dengan memperhatikan ketentuan P3B
2. Jumlah PPh Luar Negeri
3. Jumlah tertentu:

PPh 24 yang dapat dikreditkan= Penghasilan neto Negara A X PPh Terutang


Penghasilan Kena Pajak

Contoh:
WPDN, Tn. Hismail Hunaedi yang bergerak di beberapa bidang usaha menerima
dan memperoleh penghasilan dalam Tahun Pajak 2018 sebagai berikut:
a. penghasilan dari usaha di negara X yang dikenai pajak Rp 1.000.000.000,00
penghasilan dengan tarif 30% atau Rp300.000.000,00
b. penghasilan neto dalam negeri non final Rp 2.000.000.000,00

52
c. penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang Rp 1.500.000.000,00
bersifat final
d. penghasilan istri dari satu pemberi kerja yang telah Rp 500.000.000,00
dipotong Pajak Penghasilan tersendiri

Tidak ada P3B antara Indonesia dengan negara X yang telah berlaku efektif. Tn.
Hismail Hunaedi sudah menikah dan tidak memiliki anak atau tanggungan lain.
Besarnya Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan dihitung sebagai
berikut:
a. Penghasilan dari usaha di negara X Rp 1.000.000.000,00
b. Penghasilan neto dalam negeri Rp 2.000.000.000,00
c. Jumlah penghasilan neto fiskal Rp 3.000.000.000,00
d. Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/0) Rp 58.500.000, 00
e. Penghasilan Kena Pajak Rp 2.941.500.000,00
f. PPh Terutang (Tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh) Rp 827.450.000,00

Besarnya PPh Luar Negeri dari negara X yang dapat dikreditkan ditentukan
berdasarkan jumlah yang paling sedikit di antara:
a. PPh Luar Negeri atas penghasilan usaha dari negara X sebesar Rp300.000.000;
c. jumlah tertentu: = Rp 1.000.000.000,00 x Rp 827.450.000,00
Rp 2.941.500.000,00
= Rp 281.302.057,00
maka jumlah PPh Luar Negeri yang dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan
terutang di dalam negeri hanya sebesar jumlah tertentu tersebut, yaitu sebesar
Rp281.302.057,00. Sementara penghasilan dalam negeri yang telah dikenai Pajak
Penghasilan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh dan penghasilan istri yang dikenai
Pajak Penghasilan tersendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-
Undang PPh tidak dimasukkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak untuk
menghitung besarnya PPh Luar Negeri yang dapat dikreditkan terhadap Pajak
Penghasilan terutang di dalam negeri.

5) PPh Pasal 26
Pemotongan pajak Pasal 26 tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber
di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha
tetap. Pemotongan ini sebenarnya bersifat final, kecuali pemotongan atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status
menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap. Oleh sebab itu pemotongan
pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat dikreditkan dalam
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Jenis-jenis penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan dapat digolongkan dalam:
1. penghasilan yang bersumber dari modal dalam bentuk dividen, bunga termasuk
premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang, royalti, dan
sewa serta penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
2. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, atau kegiatan;
3. hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
4. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
5. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
6. keuntungan karena pembebasan utang.
Contohnya:
Mr. A sebagai tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian kerja dengan PT B
sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk bekerja di Indonesia untuk jangka waktu 5 (lima)
bulan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2009. Pada tanggal 20 April 2009 perjanjian kerja
tersebut diperpanjang menjadi 8 (delapan) bulan sehingga akan berakhir pada tanggal 31
Agustus 2009.

53
Jika perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang, status A adalah tetap sebagai Wajib
Pajak luar negeri. Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja tersebut, status A berubah
dari Wajib Pajak luar negeri menjadi Wajib Pajak dalam negeri terhitung sejak tanggal 1
Januari 2009. Selama bulan Januari sampai dengan Maret 2009 atas penghasilan bruto
A telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh PT B.
Berdasarkan ketentuan ini, maka untuk menghitung Pajak Penghasilan yang terutang
atas penghasilan A untuk masa Januari sampai dengan Agustus 2009, Pajak Penghasilan
Pasal 26 yang telah dipotong dan disetor PT B atas penghasilan A sampai dengan Maret
tersebut, dapat dikreditkan terhadap pajak A sebagai Wajib Pajak dalam negeri.

6) PPh Ditanggung Pemerintah (DTP)


Ada 2 ketentuan PPh Ditanggung Pemerintah (DTP) yang berlaku saat ini yaitu:
A. Penghasilan Tetap dan Teratur yang Menjadi Beban APBN atau APBD
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas penghasilan tetap dan teratur
setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD ditanggung oleh pemerintah
atas beban APBN atau APBD diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun
2010.
Penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau
APBD meliputi penghasilan tetap dan teratur bagi:
a. Pejabat Negara, untuk:
1) gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan; atau
2) imbalan tetap sejenisnyayang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b. PNS, Anggota TNI, dan Anggota POLRI, untuk gaji dan tunjangan lain yang
sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
c. Pensiunan, untuk uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan
teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal
17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah penghasilan
bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun, iuran pensiun,
dan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya
yang tidak memiliki NPWP, atas penghasilan berupa gaji dan tunjangan lain atau
uang pensiun dan tunjangan lain yang bersifat tetap dan teratur setiap bulan atau
imbalan tetap sejenisnya dikenai pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif 20% lebih
tinggi yang dipotong dari penghasilan yang diterima setiap bulan.
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung oleh Pemerintah dan tambahan
Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar 20% dapat dikreditkan dengan Pajak
Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan yang telah dilaporkan dalam
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib pajak orang pribadi.

B. Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona


Pemotongan pajak Pasal 21 Ditanggung Pemerintah terkait dengan insentif
pajak dalam rangka mendukung penanggulangan dampak virus corona diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.03/2020 tentang Insentif
Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona. PPh Pasal 21 DTP
tersebut diberikan atas penghasilan yang diterima pegawai dengan kriteria
sebagai berikut:
a. menerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja yang:
1. memiliki kode Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana tercantum dalam
Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini; dan/atau
2. telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE;

54
b. memiliki NPWP; dan
c. pada masa pajak yang bersangkutan menerima atau memperoleh Penghasilan
Bruto yang bersifat tetap dan teratur yang disetahunkan tidak lebih dari
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah),
PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah harus dibayarkan secara tunai oleh
pemberi kerja pada saat pembayaran penghasilan kepada Pegawai, termasuk
dalam hal pemberi kerja memberikan tunjangan PPh Pasal 21 atau menanggung
PPh Pasal 21 kepada Pegawai. PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah yang
diterima oleh Pegawai dari pemberi kerja tidak diperhitungkan sebagai
penghasilan yang dikenakan pajak. PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah
diberikan sejak Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak September
2020.

Contoh:
Tuan A (K/1) pegawai tetap di PT Z (industri makanan bayi/KLU 10791), pada
bulan April 2020 menerima gaji dan tunjangan sebesar Rp16.500.000,00 dan
membayar iuran pensiun sebesar Rp330.000,00. Penghasilan bruto Tuan A yang
disetahunkan Rp198.000.000,00 (Rp16.500.000,00 x 12). Karena masih dibawah
Rp200.000.000,00 maka Tuan A dapat memperoleh insentif PPh Pasal 21 DTP.

1. Penghitungan PPh Pasal 21 terutang bulan April 2020:


Gaji dan tunjangan Rp 16.500.000,00
Pengurangan:
Biaya Jabatan/bulan Rp 500.000,00
Iuran Pensiun/bulan Rp 330.000,00
(Rp 830.000.00)
Penghasilan Neto Sebulan Rp 15.670.000,00
Penghasilan Neto Setahun 12 x Rp15.670.000, Rp 188.040.000,00
PTKP (K/1) (Rp 63.000.000.00)
Penghasilan Kena Pajak Setahun Rp 125.040.000,00
PPh Pasal 21 Terutang Setahun
5% x Rp50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp75.040.000,00 = Rp 11.256.000,00
Rp 13.756.000,00
PPh Pasal 21 Terutang Sebulan Rp13.756.000,00/12 Rp 1.146.333,00

2. Besarnya penghasilan yang diterima Tuan A bulan April 2020:


Gaji dan tunjangan Rp 16.500.000,00
Dikurangi iuran pensiun/bulan (Rp 330.000,00)
Dikurangi PPh Pasal 21 (Rp 1.146.333.00)
Penghasilan setelah pajak Rp 15.023.667,00
Ditambah PPh Pasal 21 DTP Rp 1.146.333.00
Jumlah yang diterima Rp 16.170.000,00

5. Perhitungan Pajak untuk WP OP secara Umum


Sistem pengenaan pajak orang pribadi menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan
ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan
sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan
oleh kepala keluarga. Sehingga penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan
penghasilan orang tuanya.
Penghasilan anak yang belum dewasa dari mana pun sumber penghasilannya dan
apa pun sifat pekerjaannya digabung dengan penghasilan orang tuanya dalam tahun
pajak yang sama.
Yang dimaksud dengan “anak yang belum dewasa” adalah anak yang belum
berumur 18 tahun dan belum pernah menikah.

55
Apabila seorang anak belum dewasa, yang orang tuanya telah berpisah, menerima
atau memperoleh penghasilan, pengenaan pajaknya digabungkan dengan penghasilan
ayah atau ibunya berdasarkan keadaan sebenarnya.
Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau
pada awal bagian tahun pajak dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya dan
dikenai Pajak sebagai satu kesatuan. Penggabungan tersebut tidak dilakukan dalam hal
penghasilan istri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai yang telah dipotong pajak oleh
pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa:
 penghasilan istri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja, dan
 penghasilan istri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan
usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
Contoh:
Wajib Pajak A yang memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar Rp
100.000.000, mempunyai seorang istri yang menjadi pegawai dengan penghasilan neto
sebesar Rp 70.000.000. Apabila penghasilan istri tersebut diperoleh dari satu pemberi
kerja dan telah dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada
hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, penghasilan neto
sebesar Rp 70.000.000, tidak digabung dengan penghasilan A dan pengenaan pajak atas
penghasilan istri tersebut bersifat final.
Apabila selain menjadi pegawai, istri A juga menjalankan usaha, misalnya salon
kecantikan dengan penghasilan neto sebesar Rp 80.000.000, seluruh penghasilan istri
sebesar Rp 150.000.000, (Rp 70.000.000, + Rp 80.000.000,) digabungkan dengan
penghasilan A.
Dengan penggabungan tersebut, A dikenai pajak atas penghasilan neto sebesar Rp
250.000.000, (Rp100.000.000, + Rp 70.000.000, + Rp 80.000.000,). Potongan pajak atas
penghasilan istri tidak bersifat final, artinya dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang
atas penghasilan sebesar Rp 250.000.000, tersebut yang dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun
pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari
tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan dalam 5 tahun sebelumnya
dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut
semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak
berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan
usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar penghitungan untuk menentukan besarnya
Pajak Penghasilan yang terutang. Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat
dua cara untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak, yaitu penghitungan
dengan cara biasa dan penghitungan dengan menggunakan Norma Penghitungan.

1. Cara Biasa
Bagi Wajib Pajak dalam negeri yang menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan
Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan cara penghitungan biasa dengan contoh
sebagai berikut.
Jenis Jumlah
Peredaran bruto 6,000,000,000
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan 5,400,000,000
Laba usaha (penghasilan neto usaha) 600,000,000
Penghasilan lainnya 50,000,000
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
lainnya 30,000,000
Jumlah seluruh penghasilan neto 620,000,000
Kompensasi kerugian 10,000,000

56
Penghasilan Kena Pajak 610,000,000
PTKP K/2 (Wajib Pajak orang pribadi dengan status menikah dan 2
anak) 72,000,000
Penghasilan Kena Pajak (bagi Wajib Pajak orang pribadi) 538,000,000

2. Norma Penghitungan
Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang berhak untuk tidak menyelenggarakan
pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto dengan contoh sebagai berikut.
Jenis Jumlah
Peredaran bruto 4,000,000,000
Penghasilan neto (menurut Norma Penghitungan) misalnya 20% 800,000,000
Penghasilan neto lainnya 5,000,000
Jumlah seluruh penghasilan neto 805,000,000
PTKP Wajib Pajak orang pribadi (istri + 2 anak) 72,000,000
Penghasilan Kena Pajak (bagi Wajib Pajak orang pribadi) 733,000,000

Mekanisme dan teori penggunaan norma diatur pada bab VII PPh bagi OP yang
Menjalankan Pekerjaan Bebas (Nonpembukuan).

Sesuai Pasal 28 UU PPh, bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap,
pajak yang terutang dikurangi dengan kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan,
berupa:
a. pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21;
b. pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha
di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22;
c. pemotongan pajak atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah dan
penghargaan, dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23;
d. pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri yang boleh
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
e. pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25;
f. pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5).
Terhadap sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di
bidang perpajakan yang berlaku tidak boleh dikreditkan dengan pajak yang terutang.
Pajak yang telah dilunasi dalam tahun berjalan, baik yang dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak ataupun yang dipotong serta dipungut oleh pihak lain, dapat dikreditkan terhadap
pajak yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan.

Contoh 1:
Pajak Penghasilan yang terutang Rp 80.000.000,
Kredit pajak:
Pemotongan pajak dari pekerjaan (Pasal 21) Rp 5.000.000,
Pemungutan pajak oleh pihak lain (Pasal 22) Rp 10.000.000,
Pemotongan pajak dari modal (Pasal 23) Rp 5.000.000,
Kredit pajak luar negeri (Pasal 24) Rp 15.000.000,
Dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (Pasal 25) Rp 10.000.000, (+)
Jumlah Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan Rp 45.000.000, (-)
Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar Rp 35.000.000,

57
Jika hasil dari perhitungan pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih
besar daripada kredit pajak seperti contoh diatas, kekurangan pembayaran pajak yang
terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
disampaikan. Sesuai Pasal 29 UU PPh, jangka waktu untuk melunasi kekurangan
pembayaran pajak yang terutang tersebut harus dibayar sebelum Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan dan paling lambat pada batas akhir
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan. Apabila tahun buku sama dengan tahun
kalender, kekurangan pajak tersebut wajib dilunasi paling lambat tanggal 31 Maret bagi
Wajib Pajak orang pribadi atau 30 April bagi Wajib Pajak badan setelah tahun Pajak
berakhir, sedangkan apabila tahun buku tidak sama dengan tahun kalender, misalnya
dimulai tanggal 1 Juli sampai dengan 30 Juni, kekurangan pajak wajib dilunasi paling
lambat tanggal 30 September bagi Wajib Pajak orang pribadi atau 31 Oktober bagi Wajib
Pajak badan.

Contoh 2:
Pajak Penghasilan yang terutang Rp 80.000.000,
Kredit pajak:
Pemotongan pajak dari pekerjaan (Pasal 21) Rp 20.000.000,
Pemungutan pajak oleh pihak lain (Pasal 22) Rp 20.000.000,
Pemotongan pajak dari modal (Pasal 23) Rp 20.000.000,
Kredit pajak luar negeri (Pasal 24) Rp 20.000.000,
Dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (Pasal 25) Rp 10.000.000, (+)
Jumlah Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan Rp 90.000.000, (-)
Pajak Penghasilan yang lebih dibayar (Rp 10.000.000)

Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah
kredit pajak, maka sesuai Pasal 28A setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan
pembayaran pajak dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikut
sanksi-sanksinya.
Dalam penjelasan Pasal 28A disebutkan bahwa yang harus menjadi pertimbangan
sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak adalah:
a. kebenaran materiil tentang besarnya pajak penghasilan yang terutang;
b. keabsahan bukti-bukti pungutan dan bukti-bukti potongan pajak serta bukti
pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri selama dan untuk tahun pajak yang
bersangkutan.
Oleh karena itu untuk kepentingan pemeriksaan, Direktur Jenderal Pajak atau pejabat
lain yang ditunjuk diberi wewenang untuk mengadakan pemeriksaan atas laporan
keuangan, buku-buku, dan catatan lainnya serta pemeriksaan lain yang berkaitan dengan
penentuan besarnya pajak penghasilan yang terutang, kebenaran jumlah pajak dan
jumlah pajak yang telah dikreditkan dan untuk menentukan besarnya kelebihan
pembayaran pajak yang harus dikembalikan. Maksud pemeriksaan ini untuk memastikan
bahwa uang yang akan dibayar kembali kepada Wajib Pajak sebagai restitusi itu adalah
benar merupakan hak Wajib Pajak.
Terhadap status SPT yang menunjukkan lebih bayar, ada 2 mekanisme pengajuan
pengembalian melalui permohonan namun permohonan ini tidak berlaku apabila
kelebihan pembayaran berasal dari PPh yang ditanggung Pemerintah.

1) Cara biasa
Mekanisme pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan melalui
pemeriksaan terlebih dahulu sesuai dengan Pasal 17 ayat 1 UU KUP. Jika jumlah
kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang maka diterbitkan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB). SKPLB tersebut akan diterbitkan setelah
dilakukan pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak
yang menyatakan kurang bayar, nihil, atau lebih bayar yang tidak disertai dengan

58
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Jangka waktu penerbitan
surat ketetapan pajak atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana diatur pada Pasal 17B adalah paling
lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap. Yang
dimaksud dengan “surat permohonan telah diterima secara lengkap” adalah Surat
Pemberitahuan yang telah diisi lengkap.
Surat ketetapan pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan atas
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat berupa Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil atau Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar.

2) Pengembalian Pendahuluan
Sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 117/PMK.03/2019, pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak yang selanjutnya disebut Pengembalian
Pendahuluan adalah pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang diberikan
kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C atau Pasal 17D
Undang-Undang KUP, atau Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN.
Kelebihan dari pengembalian pendahuluan ini adalah atas kelebihan pembayaran
pajak tersebut dapat diberikan tanpa menunggu pemeriksan tetapi dengan penelitian
dan jangka waktu pengembalian lebih cepat daripada cara biasa. Sedangkan
kelemahannya adalah jika sewaktu-waktu dilakukan pemeriksaan setelah dilakukan
pengembalian pendahuluan tersebut dan jika ternyata tidak sepenuhnya benar maka
akan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar jumlah kekurangan
pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus
persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.
Ada 2 kriteria WP yang memenuhi syarat pengembalian pendahuluan yaitu:

a. WP dengan Kriteria Tertentu (Pasal 17 C UU KUP)


Wajib Pajak yang Memenuhi Kriteria Tertentu harus memenuhi syarat sbb:
1) tepat waktu dalam menyampaikan SPT;
2) tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan
pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran
pajak;
3) laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik atau lembaga pengawasan
keuangan pemerintah dengan pendapat wajar tanpa pengecualian selama 3
(tiga) tahun berturut-turut; dan
4) tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
Untuk dapat ditetapkan sebagai Wajib Pajak Kriteria Tertentu, Wajib Pajak
mengajukan permohonan ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar paling lambat
tanggal 10 Januari.
Jangka waktu pengembalian dalam bentuk penerbitan Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) adalah 3 bulan untuk
PPh dan 1 bulan untuk PPN sejak permohonan diterima yaitu dengan cara mengisi
kolom Pengembalian Pendahuluan dalam SPT.

b. WP yang Memenuhi Persyaratan Tertentu (Pasal 17 D UU KUP)


Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu yang dapat Diberikan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak adalah sbb:
1) Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekejaan bebas
yang menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi;
2) Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekejaan bebas yang
menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi dengan
jumlah lebih bayar paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah);

59
3) Wajib Pajak Badan yang menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan
lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); atau
4) Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan
Nilai lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Jangka waktu pengembaliannya dalam bentuk penerbitan Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) adalah 15 (lima
belas) hari keja, untuk permohonan Pengembalian Pendahuluan Pajak
Penghasilan orang pribadi; 1 (satu) bulan, untuk permohonan Pengembalian
Pendahuluan Pajak Penghasilan Badan; atau 1 (satu) bulan, untuk
permohonan Pengembalian Pendahuluan Pajak Pertambahan Nilai, sejak
permohonan diterima, yaitu dengan cara mengisi kolom Pengembalian
Pendahuluan dalam SPT.

6. Status Kewajiban Suami Istri: KK, HB, PH, dan MT


Status kewajiban suami istri ditentukan sebagai berikut:
 KK yaitu suami-istri yang tidak menghendaki untuk melaksanakan hak dan memenuhi
kewajiban perpajakan secara terpisah. Istri dalam melaksanakan hak dan memenuhi
kewajiban perpajakannya menggunakan NPWP suami atau kepala keluarga.
 HB yaitu penghasilan suami-istri dikenai pajak secara terpisah karena suami-istri telah
hidup berpisah berdasarkan putusan hakim.
 PH yaitu penghasilan suami-istri dikenai pajak secara terpisah karena dikehendaki
secara tertulis oleh suami-istri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan
penghasilan.
 MT yaitu penghasilan suami-istri dikenai pajak secara terpisah karena dikehendaki
oleh istri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.

Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan adalah penghasilan dari seluruh anggota
keluarga Wajib Pajak yang digabungkan sebagai satu kesatuan dan pemenuhan
kewajiban pajaknya dilakukan oleh Wajib Pajak sebagai kepala keluarga. Ini dikenal
dengan isitilah kepala keluarga (KK). NPWP yang digunakan untuk pelaporan dan
pembayaran pajak hanya satu NPWP, termasuk untuk pemotongan pajak istri dan anak.
Penghasilan suami-istri akan dikenai pajak secara terpisah apabila:
l. suami-istri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim (HB);
m. dikehendaki secara tertulis oleh suami-istri berdasarkan perjanjian pemisahan harta
dan penghasilan (PH); atau
n. dikehendaki oleh istri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri (MT).
Atas ketiga keadaan tersebut, pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan masing-
masing oleh suami dan istri secara terpisah. Dalam hal ini, istri memiliki kewajiban
mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP sehingga menjadi Wajib Pajak Orang Pribadi
tersendiri.
Dalam hal suami-istri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim (HB), PTKP
bagi suami dan istri yang telah hidup berpisah diperlakukan seperti Wajib Pajak tidak
kawin (TK), sedangkan tanggungan sesuai dengan kenyataan sebenarnya yang
diperkenankan.
Besarnya Pajak Penghasilan yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-istri
dengan status perpajakan PH atau MT adalah Pajak Penghasilan berdasarkan
penggabungan penghasilan neto suami-istri yang kemudian dihitung secara proporsional
sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka.
Apabila suami-istri mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara
tertulis atau jika istri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya
sendiri, penghitungan pajaknya dilakukan berdasarkan penjumlahan penghasilan neto

60
suami-istri dan masing-masing memikul beban pajak sebanding dengan besarnya
penghasilan neto.
Apabila seorang anak yang belum dewasa, yang orang tuanya telah berpisah,
menerima atau memperoleh penghasilan, pengenaan pajaknya digabungkan dengan
penghasilan ayah atau ibunya berdasarkan keadaan yang sebenarnya.
Khusus untuk penghasilan istri dari satu pemberi kerja sebagaimna diatur dalam Pasal
8 ayat (1) dan Pasal 21 Undang-Undang PPh, yaitu berupa gaji, tunjangan dan imbalan
lainnya yang diterima atau diperoleh istri sebagai karyawati dari satu pemberi kerja yang
telah dipotong PPh Pasal 21 perlakuan perpajakannya bersifat final, sehingga penghasilan
dan kredit pajak ybs tidak digabung dengan suami serta statusnya sebagai tidak kawin
(TK), namun dilaporkan dalam SPT suami dalam lampiran yang final atau bersifat final.
Mekanisme dan syarat sbb:
1. Istri melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya menggunakan
NPWP suami atau kepala keluarga (status perpajakan suami-istri adalah KK).
2. Semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah
dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada
hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga
lainnya.
Jika syarat tersebut tidak terpenuhi maka perlakuan pajaknya digabung dengan suami.

a. Contoh perhitungan Status Perkawinan KK:


Wajib Pajak A (K/3) memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar Rp
150.000.000, mempunyai seorang istri dari pekerjaan bebas dengan penghasilan neto
sebesar Rp 100.000.000. NPWP hanya dimiliki oleh A. Jika status perkawinan adalah
KK, maka perhitungan pajaknya dilakukan sbb:
Penghitungan PPh terutang bagi suami-istri :
Penghasilan Neto suami 150,000,000
Penghasilan Neto istri 100,000,000
Jumlah penghasilan neto 250,000,000
PTKP (K/I/3) 126,000,000
Penghasilan Kena Pajak 124,000,000
PPh terutang:
5 % x Rp 50.000.000 2,500,000
15% x Rp74.000.000 11,100,000
Jumlah 13,600,000

b. Contoh perhitungan Status Perkawinan HB:


Wajib Pajak A memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar Rp 150.000.000,
mempunyai seorang istri dari pekerjaan bebas dengan penghasilan neto sebesar Rp
100.000.000. NPWP dimiliki oleh A yang berbeda dengan istri. Jika status perkawinan
Wajib Pajak berstatus hidup berpisah berdasarkan putusan hakim (HB) dengan 3
orang anak yang semuanya ditanggung suami, maka perhitungan pajaknya dilakukan
sbb:
a. Penghitungan PPh terutang bagi suami :
Penghasilan Neto suami 150,000,000
PTKP (TK/3) 67,500,000
Penghasilan Kena Pajak 82,500,000
PPh terutang suami:
5 % x Rp 28.000.000 4,125,000
15% x Rp 32.500.000 4,875,000
Jumlah 9,000,000

61
b. Penghitungan PPh terutang bagi istri :
Penghasilan Neto istri 100,000,000
PTKP (TK/0) 54,000,000
Penghasilan Kena Pajak 46,000,000
PPh terutang istri :
5% x Rp46.000.000 2,500,000

Jumlah 2,500,000

c. Contoh perhitungan Status Perkawinan PH atau MT:


Wajib Pajak A (K/3) memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar Rp
150.000.000, mempunyai seorang istri dari pekerjaan bebas dengan penghasilan neto
sebesar Rp 100.000.000. NPWP dimiliki oleh A yang berbeda dengan istri. WP A
mengadakan perjanjian pemisahan penghasilan secara tertulis (PH) dengan 3 orang
anak yang semuanya ditanggung suami, maka perhitungan pajaknya dilakukan sbb:

Penghitungan PPh terutang : Suami Istri


Penghasilan Neto suami 150,000,000
Penghasilan Neto istri 100,000,000
Jumlah penghasilan neto 150,000,000 100,000,000

Jumlah penghasilan neto suami+istri 250,000,000


PTKP (K/I/3) 126,000,000
Penghasilan Kena Pajak 124,000,000
PPh terutang:
5 % x Rp 50.000.000 2,500,000
15% x Rp74.000.000 11,100,000
Jumlah 13,600,000

PPh Terutang ditanggung suami 8,160,000


(150.000.000/250.000.000*13.600.000
PPh Terutang ditanggung istri 5,440,000
(100.000.000/250.000.000*13.600.000

Penghasilan Sebagian Tahun Pajak

Apabila kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempat tinggal atau yang
berada di Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun pajak, maka bagian tahun pajak
tersebut menggantikan tahun pajak.
Dapat terjadi orang pribadi menjadi Subjek Pajak tidak untuk jangka waktu satu tahun
pajak penuh, misalnya orang pribadi yang mulai menjadi Subjek Pajak pada pertengahan
tahun pajak, atau yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya pada pertengahan
tahun pajak. Jangka waktu yang kurang dari satu tahun pajak tersebut dinamakan bagian
tahun pajak yang menggantikan tahun pajak.
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang
pajak dalam suatu bagian tahun pajak dihitung berdasarkan penghasilan neto yang diterima
atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang disetahunkan.
Contoh:
Orang pribadi tidak kawin yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai subjek pajak
dalam negeri adalah 3 (tiga) bulan dan dalam jangka waktu tersebut memperoleh

62
penghasilan sebesar Rp 150.000.000, maka penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya
adalah sebagai berikut.
Penghasilan selama 3 (tiga) bulan Rp 150.000.000,00
Penghasilan setahun sebesar:
(360 : (3x30)) x Rp150.000.000,00 = Rp 600.000.000,00
Penghasilan Tidak Kena Pajak Rp 15.840.000,00(-)
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp 584.160.000,00
Pajak Penghasilan setahun:
5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 200.000.000,00 = Rp 30.000.000,00
25% x Rp250.000.000,00 = Rp 62.500.000,00
30%x Rp 84.160.000,00 = Rp 25.248.000,00 (+)
Rp 120.248.000,00
Pajak Penghasilan yang terutang dalam bagian tahun Pajak (3 bulan)
((3 x 30) : 360) x Rp 120.248.000,00 = Rp 30.062.000,00

Zakat dan Sumbangan Keagamaan yang Bersifat Wajib

Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh
penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang
berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah
termasuk yang dikecualikan dari objek pajak PPh.
Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto dengan syarat dibayarkan melalui badan/lembaga penerima zakat atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
Jumlah zakat/ sumbangan keagamaan yang bersifat wajib atas penghasilan yang menjadi
objek pajak yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi pemeluk agama
Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
Pemerintah sesuai dengan bukti setoran yang sah (Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun
2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat
Dikurangkan dari Penghasilan Bruto, Peraturan Menteri Keuangan Nomor
254/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pembebanan Zakat atau Sumbangan Keagamaan
yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto, Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-6/PJ/2011 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pembuatan
Bukti Pembayaran atas Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang
Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto serta Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-33/PJ/2011 tentang Badan/Lembaga yang Dibentuk atau Disahkan oleh Pemerintah
yang Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya
Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-05/PJ/2019).

Contoh:

- Zakat atas penghasilan yang diperoleh dari gaji dan usaha :


Sdr. Ahmad adalah seorang pegawai dengan gaji Rp1.000.000/bulan. Disamping itu
dia mempunyai usaha dengan peredaran bruto setahun sebesar Rp7.000.000 (peredaran
bruto tahun sebelumnya sebesar Rp5.000.000) dengan mempekerjakan dua orang
pegawai, dan digaji masing-masing Rp250.000/bulan dan membayar biaya listrik sebesar
Rp25.000/bulan.
Penghitungan zakat atas penghasilan Sebagai Pegawai Sebagai Pengusaha Jumlah

63
Penghasilan Bruto 12.000.000 7.000.000 19.000.000
Biaya Jabatan/ Biaya Usaha 600.000 6.300.000 *) 6.900.000
Penghasilan Neto 11.400.000 700.000 12.100.000
Zakat atas Penghasilan 285.000 17.500 302.500

Catatan:
1. Zakat yang dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan adalah sebesar Rp285.000.
2. Zakat sebesar Rp17.500 tidak dapat dijadikan pengurang penghasilan karena atas
penghasilan dari usaha dikenai pajak yang bersifat final berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
*) Biaya Usaha sebesar Rp6.300.000 terdiri dari :
Gaji Pegawai Rp6.000.000 (12 x 2 x Rp250.000) dan
Biaya listrik Rp300.000 (12 x Rp25.000)

- Zakat atas penghasilan yang tidak teratur (hadiah, honor, dll).


Sdr. Muhammad menerima hadiah senilai Rp5.000.000 dan tidak ada hubungannya
dengan pekerjaan yang dilakukan.
Perhitungan zakat atas penghasilan :
Penghasilan yang tidak teratur = Rp 5.000.000
Zakat atas penghasilan 2,5 % x Rp5.000.000 = Rp 125.000
Catatan : Penghasilan dari hadiah tersebut tidak termasuk yang dikenakan PPh Final.

7. Soal Latihan Bab III


Jawablah pertanyaan berikut ini:
1. Tn A duda dengan anak 1 menikah lagi pada tanggal 20 Desember 2019. Istrinya tidak
bekerja. Anak kedua lahir tanggal 2 Januari 2020. Pernyataan yang benar tentang
besarnya PTKP tahun pajak 2019 adalah....
a. TK/1
b. TK/2
c. K/1
d. K/2

2. Yang dapat menjadi tanggungan dalam Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah....
a. mertua tidak berpenghasilan
b. adik kandung yang cacat mental
c. anak angkat yang dibiayai sebagian
d. anak yang sudah menikah dan berpenghasilan

3. Yang bisa menjadi kredit pajak bagi orang pribadi adalah...


a. pemotongan PPh atas honorarium yang dibayarkan pemerintah kepada PNS
b. pembayaran pokok STP PPh Pasal 25
c. pemotongan PPh Pasal 22 atas usaha SPBU Pertamina
d. pembayaran PPh sebesar 0,5% dari omset

4. Wanita kawin yang memilih menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya secara
terpisah dari suaminya....
a. dalam menghitung PPh terutang istri, tidak perlu memperhitungkan penghasilan neto
suami
b. kredit pajak suami diperhitungkan untuk menghitung PPh Kurang (Lebih) Bayar istri
c. tidak diperkenankan mengurangkan zakat/sumbangan keagamaan yang bersifat
wajib
d. cara perhitungan pajaknya sama dengan keluarga yang melakukan perjanjian
pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis

64
5. Pak Ahmad adalah seorang aktuaris yang membuka kantor di Tebet. Istrinya merupakan
pegawai pada kantor tersebut dan atas gajinya dipotong PPh Pasal 21 oleh suaminya.
Pernyataan yang benar atas hal tersebut adalah ….
a. Gaji Bu Ahmad bersifat final terhadap penghasilan keluarga Pak Ahmad
b. PPh Pasal 21 Bu Ahmad tidak bisa menjadi kredit pajak keluarga Pak Ahmad
c. Gaji Bu Ahmad digabungkan dengan penghasilan Pak Ahmad dan dikenakan pajak
akhir tahun
d. Gaji Bu Ahmad digabungkan dengan penghasilan Pak Ahmad dan dikenakan pajak
akhir tahun, tetapi PPh Pasal 21 Bu Ahmad tidak bisa menjadi kredit pajak

6. Dalam hal terdapat seorang istri yang bekerja lebih dari satu pemberi kerja maka dalam
SPT Tahunan PPh OP keluarga tersebut, penghasilan tersebut dikelompokkan dalam
bagian ….
a. Penghasilan yang Dikenakan Pajak Final dan/atau Bersifat Final
b. Penghasilan Neto Dalam Negeri Sehubungan dengan Pekerjaan
c. Penghasilan Neto Dalam Negeri dari Usaha dan/atau Pekerjaan Bebas
d. Penghasilan Neto Dalam Negeri Lainnya

7. Mertua dapat menjadi tanggungan dalam penghasilan tidak kena pajak (PTKP),
karena….
a. hubungan sedarah ke samping
b. hubungan sedarah garis lurus
c. hubungan semenda ke samping
d. hubungan semenda garis lurus

8. Jika wajib pajak memiliki penghasilan kena pajak sejumlah Rp600.000.000,00 maka
besarnya PPh terutang menurut tarif pasal 17 UU PPh adalah ….
a. Rp100.000.000,00
b. Rp105.000.000,00
c. Rp125.000.000,00
e. Rp130.000.000,00

9. Tuan Badu adalah seorang karyawan swasta, bekerja pada perusahaan telekomunikasi
di Jakarta. Istrinya adalah karyawati UNICEF di Jakarta. Istri Tuan Badu memperoleh
penghasilan berupa gaji dan tunjangan-tunjangan berwujud kas (benefit-in-cash) dan
berupa kenikmatan/natura (benefit-in-kind). Bila status kewajiban perpajakan suami-istri
tersebut adalah KK, maka pernyataan yang benar adalah ….
a. penghasilan istri tidak digabungkan dengan penghasilan suami, sebab istri
memperoleh penghasilan hanya dari satu pemberi kerja
b. hanya penghasilan istri berupa benefit-in-kind yang digabung dengan penghasilan
suami
c. hanya penghasilan istri berupa benefit-in-cash yang digabung dengan penghasilan
suami
d. seluruh penghasilan istri baik berupa benefit-in-cash maupun benefit-in-kind (yang
dapat dinilai dengan uang), digabung dengan penghasilan suami

10. Status kewajiban perpajakan yang mewajibkan masing-masing suami/istri memiliki


NPWP sendiri-sendiri yang berbeda adalah ….
a. kepala keluarga
b. pisah harta dan penghasilan
c. hidup berpisah karena tugas
d. istri meninggal

---Q---

65
BAB IV

Pajak Penghasilan dari Pekerjaan (s.d. Rp 60 juta)

Tujuan:
Mahasiswa mampu menghitung Pajak Penghasilan Akhir Tahun bagi WP OP dengan
penghasilan dari pekerjaan dengan penghasilan bruto tidak melebihi Rp60 juta dan mengisi
SPT Tahunan PPh OP (Formulir 1770 SS)

1. Jenis Formulir SPT Tahunan PPh OP


Surat Pemberitahuan yang selanjutnya disingkat SPT adalah surat yang oleh Wajib
Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek
pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. SPT Tahunan adalah SPT untuk
suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan yang selanjutnya disebut SPT Tahunan PPh adalah SPT PPh untuk suatu
Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak, yang meliputi SPT Tahunan Orang Pribadi dan
SPT Tahunan Badan.
SPT Tahunan PPh Orang Pribadi berbentuk:
o. dokumen elektronik; atau
p. formulir kertas (hardcopy).
Wajib Pajak orang pribadi wajib menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak orang pribadi paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
Berikut jenis formulir SPT Tahunan Orang Pribadi:

Jenis Persyaratan
1770 a. Dari usaha/pekerjaan bebas;
b. Dari satu atau lebih pemberi kerja;
c. Yang dikenakan PPh Final dan/atau bersifat final; dan/atau
d. Dalam negeri lainnya/luar negeri;
1770 S a. dari satu atau lebih pemberi kerja;
b. dalam negeri lainnya; dan/atau
c. yang dikenakan Pajak Penghasilan final dan/atau bersifat final
1770 SS a. mempunyai penghasilan selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas;
b. jumlah penghasilan bruto tidak lebih dari Rp60.000.000; setahun

Dalam bab ini akan digunakan Formulir 1770 SS untuk pajak penghasilan sehubungan
dengan pekerjaan dengan jumlah penghasilan bruto tidak lebih dari Rp60.000.000 (enam
puluh juta rupiah) setahun, Batasan penghasilan bruto tersebut meliputi keseluruhan
penghasilan selain penghasilan dari usaha dan/atau pekerjaan bebas. Penghasilan dari
pekerjaan dapat bersumber dari satu atau lebih pemberi kerja.
SPT diisi dengan lengkap dan sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen
yang dipersyaratkan sbb:

No. Jenis Lampiran Formulir 1770 SS Keterangan


1 Bukti pembayaran PPh Pasal 29 dan/atau Bukti terdapat kurang bayar
Pemindahbukuan, Surat Setoran Pajak, atau
sarana administrasi lain.
2 Surat Kuasa Khusus (Konsultan Pajak) dilampiri SPT ditandatangani oleh
dengan: kuasa yang merupakan
a. Fotokopi kartu izin praktik konsultan pajak; konsultan pajak
b. Surat pernyataan sebagai konsultan pajak;
c. Fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak
konsultan pajak;

66
d. Fotokopi Tanda terima SPT tahunan
konsultan pajak.
3 Surat Kuasa Khusus (Karyawan WP) dilampiri SPT ditandatangani oleh
dengan: kuasa yang merupakan
a. Sertifikat brevet/ijazah pendidikan formal karyawan Wajib Pajak
perpajakan/sertifikat konsultan pajak;
b. Fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak
Karyawan WP;
c. Fotokopi tanda terima SPT Tahunan
Karyawan WP;
d. Fotokopi daftar karyawan tetap di SPT Masa
PPh Pasal 21.

Kewajiban penyampaian keterangan dan/atau dokumen dikecualikan bagi SPT


Tahunan 1770 S dan SPT Tahunan 1770 SS dengan status Nihil atau Kurang Bayar yang
disampaikan melalui e-Filing.

2. Menghitung PPh Akhir Tahun WP OP Karyawan dengan penghasilan bruto ≤ Rp 60


juta
Dalam menghitung PPh akhir tahun WP OP karyawan, penghasilan dari pekerjaan
dapat bersumber dari satu atau lebih pemberi kerja. Batasan penghasilan bruto tersebut
meliputi keseluruhan penghasilan selain penghasilan dari usaha dan/atau pekerjaan
bebas. Penghasilan neto dalam negeri lainnya di antaranya meliputi royalti, sewa selain
sewa tanah dan/atau bangunan, hadiah perlombaan, keuntungan pengalihan harta dll
karena telah dikenakan PPh Final.
Dalam hal Wajib Pajak telah kawin, penghasilan dimaksud adalah penghasilan dari
seluruh anggota keluarga Wajib Pajak, namun tidak termasuk penghasilan istri yang
semata-mata diterima atau diperoleh dari satu pemberi kerja yang telah dipotong PPh
Pasal 21, apabila pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh Wajib Pajak sebagai
kepala keluarga (KK).
Jumlah penghasilan bruto dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan dapat diisi
dengan jumlah penghasilan bruto yang tercantum pada bukti pemotongan PPh 1721-A1
angka 8 atau 1721-A2 angka 11 atau bukti pemotongan PPh Pasal 21 (tidak final). Apabila
Wajib Pajak memperoleh penghasilan lebih dari satu pemberi kerja maka dilakukan
penjumlahan dari keseluruhan penghasilan bruto yang tercantum pada setiap bukti
pemotongan PPh Pasal 21 yang diterimanya. (1)
Selanjutnya dilakukan pengurangan atas penghasilan bruto dalam negeri sehubungan
dengan pekerjaan yang meliputi biaya jabatan, biaya pensiun serta iuran pensiun dan
iuran THT yang dibayarkannya oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Dapat diisi dengan
jumlah pengurangan yang tercantum pada bukti pemotongan PPh 1721-A1 atau 1721-A2.
(2)
Setelah itu dilakukan pengurangan sesuai PTKP yang tercantum pada bukti
pemotongan PPh 1721-A1 atau 1721-A2. Khusus untuk PTKP bagi masing-masing suami-
istri yang telah hidup berpisah (HB) untuk diri masing-masing Wajib Pajak diperlakukan
seperti Wajib Pajak Tidak Kawin sedangkan tanggungan sesuai dengan kenyataan
sebenarnya yang diperkenankan. (3)
Hasil penghitungan akan menghasilkan penghasilan kena pajak. Untuk keperluan
penghitungan tarif pajak, jumlah penghasilan kena pajak dibulatkan ke bawah dalam
ribuan rupiah penuh. (4)
Selanjutnya adalah menghitung Pajak Penghasilan Terutang (PPh Terutang) dengan
penerapan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas Penghasilan Kena Pajak. (5)
Setelah itu dilakukan penyandingan dengan jumlah Pajak Penghasilan yang sudah
dipotong yang tercantum pada bukti pemotongan PPh 1721-A1 angka 20, 1721-A2 angka
23 dan/atau bukti pemotongan PPh Pasal 21 (yang tidak bersifat final). (6)
Hasilnya adalah:

67
 Nihil jika Pajak Penghasilan Terutang (PPh Terutang) = jumlah Pajak Penghasilan
yang sudah dipotong.
 Kurang Bayar (Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri) jika Pajak Penghasilan
Terutang (PPh Terutang) > jumlah Pajak Penghasilan yang sudah dipotong. (7a)
 Lebih Bayar (Pajak Penghasilan yang lebih dipotong) jika Pajak Penghasilan
Terutang (PPh Terutang) < jumlah Pajak Penghasilan yang sudah dipotong. (7b)

Penghasilan Bruto dalam Negeri Sehubungan dengan Pekerjaan dan Penghasilan (1)
Netto dalam Negeri Lainnya
Pengurangan (Diisi jumlah pengurangan dari Formulir 1721-A1 atau 1721-A2) (2)
Penghasilan Tidak Kena Pajak (3)
Penghasilan Kena Pajak ( 1 - 2 - 3 ) (4)
Pajak Penghasilan Terutang (5)
Pajak Penghasilan yang telah Dipotong oleh Pihak Lain (6)
Pajak Penghasilan yang harus Dibayar Sendiri * (7a)
Pajak Penghasilan yang Lebih Dipotong (7b)

3. WP OP dengan status kewajiban perpajakan suami-istri PH atau MT


Dalam hal Wajib Pajak telah kawin, namun:
a. dikehendaki secara tertulis oleh suami-istri berdasarkan perjanjian pemisahan harta
dan penghasilan (PH); atau
b. dikehendaki oleh istri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri (MT).
pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan masing-masing oleh suami dan istri secara
terpisah. Dalam hal ini, istri memiliki kewajiban mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP
sehingga menjadi Wajib Pajak Orang Pribadi tersendiri.
Suami-istri yang mempunyai penghasilan selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas
dengan jumlah penghasilan bruto tidak lebih dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah) setahun, namun memiliki status perpajakan PH atau MT wajib melaporkan
penghasilan dan penghitungan Pajak Penghasilan dengan menggunakan Fomulir SPT
Tahunan PPh Orang Pribadi 1770 S, bukan menggunakan Formulir SPT Tahunan PPh
Orang Pribadi 1770 SS ini.

4. Mengisi SPT Tahunan dengan Formulir 1770 SS


Berikut contoh pengisian SPT Tahunan dengan Formulir 1770 SS:
Budi bekerja sebagai pegawai tetap di PT. ABC memperoleh penghasilan bruto
sebesar Rp 59.500.000; status TK/0 mulai bekerja sejak awal tahun. Berikut bukti
pemotongan PPh Pasal 21 A1 dari perusahaan. Selain itu Budi juga memiliki sebuah
sepeda motor yang diperoleh secara kredit pada awal tahun 2018 seharga Rp 15.000.000;
saldo kredit pada akhir tahun 2018 adalah sebesar Rp 10.000.000;
Diminta : Isikan dalam formulir SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Fomulir 1770 SS.

Penghasilan Bruto dalam Negeri Sehubungan dengan Pekerjaan dan 58.000.000


Penghasilan Netto dalam Negeri Lainnya
Pengurangan (Diisi jumlah pengurangan dari Formulir 1721-A1 atau 2.900.000
1721-A2)
Penghasilan Tidak Kena Pajak 54.000.000
Penghasilan Kena Pajak ( 1 - 2 - 3 ) 1.100.000
Pajak Penghasilan Terutang 55.000
Pajak Penghasilan yang telah Dipotong oleh Pihak Lain 55.000
Pajak Penghasilan yang harus Dibayar Sendiri * 0
Pajak Penghasilan yang Lebih Dipotong 0

68
69
70
5. Soal Latihan Bab IV
Informasi ini berlaku untuk dua soal di bawah ini (Soal 1 dan 2).
Sebuah pasangan (suami-istri) mendapatkan penghasilan sebagai karyawan/karyawati
dengan penghasilan setahun masing-masing sebesar Rp40.000.000,00.
1. Pernyataan yang benar terkait kasus di atas jika keluarga tersebut berstatus kewajiban
perpajakan KK adalah ….
a. SPT 1770SS boleh digunakan untuk keluarga tersebut
b. Hanya SPT 1770S yang dapat digunakan untuk keluarga tersebut
c. SPT yang tepat adalah 1770
d. SPT 1770S tidak boleh digunakan

2. Jika status kewajiban perpajakan pada kasus di atas adalah PH, pernyataan yang benar
adalah ….
a. SPT 1770S tidak dapat digunakan
b. SPT 1770S atau 1770 SS dapat digunakan
c. SPT 1770SS dan 1770 dapat digunakan
d. SPT 1770SS tidak dapat digunakan

3. Keluarga dengan total penghasilannya setahun sejumlah Rp55.000.000; dengan


status MT maka SPT yang dipakai….
a. tidak boleh menggunakan 1770 SS
b. harus menggunakan 1770 SS
c. harus menggunakan 1770
d. tidak boleh menggunakan 1770 S

4. Tn Abdi bekerja sebagai PNS dengan penghasilan setahun 30.000.000; istri juga PNS
dengan penghasilan 25.000.000; Jika status kewajiban perpajakannya adalah MT dan
memiliki NPWP terpisah, pernyataan yang benar adalah….
a. SPT 1770S tidak dapat digunakan
b. SPT 1770S atau 1770 SS dapat digunakan
c. SPT 1770SS dan 1770 dapat digunakan
d. SPT 1770SS tidak dapat digunakan

5. Yang tidak ada dalam formulir SPT 1770 SS adalah….


a. Penghasilan Bruto
b. Pengurang Penghasilan Bruto
c. Zakat
d. PTKP

Soal Kasus Bab IV

Aisyah bekerja sebagai pegawai tidak tetap di PT. ABC memperoleh penghasilan
bruto sebesar Rp 59.500.000; status TK/0 mulai bekerja sejak awal tahun. Berikut bukti
pemotongan PPh Pasal 21 A1 dari perusahaan. Selain itu Aisyah juga memiliki tanah
warisan yang disewakan. Nilai tanah tersebut sebesar Rp 100.000.000; selama tahun
2018 tanah tersebut disewakan dengan penghasilan bruto sebesar Rp 20.000.000;
dengan pajak final Pasal 4(2) yang telah dipotong sebesar 10%.
Diminta : Isikan dalam formulir SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Fomulir 1770 SS.
Penghasilan Bruto dalam Negeri Sehubungan dengan Pekerjaan dan ……………..
Penghasilan Netto dalam Negeri Lainnya
Pengurangan (Diisi jumlah pengurangan dari Formulir 1721-A1 atau ……………..
1721-A2)
Penghasilan Tidak Kena Pajak ……………..
Penghasilan Kena Pajak ( 1 - 2 - 3 ) ……………..

71
Pajak Penghasilan Terutang ……………..
Pajak Penghasilan yang telah Dipotong oleh Pihak Lain ……………..
Pajak Penghasilan yang harus Dibayar Sendiri * ……………..
Pajak Penghasilan yang Lebih Dipotong ……………..

72
Mekanisme Penyampaian SPT

Penyampaian SPT oleh Wajib Pajak termasuk SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dapat
dilakukan melalui:
• e-Filing, yang meliputi:
a. laman Direktorat Jenderal Pajak;
b. laman penyalur SPT Elektronik;
c. saluran suara digital yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk Wajib
Pajak tertentu;
d. jaringan komunikasi data yang terhubung khusus antara Direktorat Jenderal Pajak
dengan Wajib Pajak; dan
e. saluran lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.;
• cara langsung;
a. TPT tempat Wajib Pajak Terdaftar; atau
b. tempat lain berupa Layanan Pajak di Luar Kantor yang disediakan KPP atau
KP2KP tempat Wajib Pajak terdaftar,
Dikecualikan dari kewajiban, bagi Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Tahunan
1770S atau SPT Tahunan 1770SS yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
 SPT dengan status Nihil atau Kurang Bayar;
 bukan merupakan SPT Pembetulan;
 disampaikan dalam bentuk formulir kertas; dan
 disampaikan sampai dengan batas akhir pelaporan SPT Tahunan,
dapat menyampaikan SPT tersebut ke TPT atau Layanan Pajak di Luar Kantor selain
tempat Wajib Pajak terdaftar.
• pos dengan bukti pengiriman surat; atau
• perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.

Wajib Pajak wajib menggunakan SPT Tahunan dalam bentuk dokumen elektronik,
sepanjang Wajib Pajak dimaksud memenuhi kriteria sebagai berikut:
1) terdaftar di KPP Madya, KPP di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
Jakarta Khusus, dan KPP di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib
Pajak Besar;
2) sudah pernah menyampaikan SPT Tahunan dalam bentuk dokumen elektronik;
3) diwajibkan menyampaikan SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dalam bentuk
dokumen elektronik;
4) diwajibkan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26 dalam
bentuk dokumen elektronik;
5) diwajibkan menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai dalam bentuk dokumen
elektronik;
6) menggunakan jasa konsultan pajak dalam pemenuhan kewajiban pengisian SPT
Tahunan Pajak Penghasilan; dan/atau
7) laporan keuangannya diaudit oleh Akuntan Publik.
Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu dikecualikan dari kewajiban menyampaikan
SPT diatur dalam pasal 18 PMK Nomor 243/PMK.03/2014 adalah WP OP yang dalam satu
Tahun Pajak menerima atau memperoleh penghasilan neto tidak melebihi Penghasilan
Tidak Kena Pajak.

---Q---

73
BAB V

Pajak Penghasilan dari Pekerjaan (lebih dari Rp 60 juta)

Tujuan:
Mahasiswa Mampu Menghitung Pajak Penghasilan Akhir Tahun bagi WP OP dengan
penghasilan dari pekerjaan dengan penghasilan bruto melebihi Rp 60 juta dan mengisi SPT
Tahunan PPh OP (Formulir 1770 S)

1. Menghitung PPh Akhir Tahun WP OP Karyawan dengan penghasilan bruto > Rp60
juta
Pada akhir tahun, WP OP menghitung seluruh penghasilan serta rincian angsuran
PPh atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sendiri dan anggota
keluarganya berupa pemotongan/pemungutan oleh pihak lain dan PPh yang ditanggung
Pemerintah yang diperhitungkan sebagai kredit pajak.
Jenis penghasilan neto yang dihitung pada akhir tahun meliputi:
No. Jenis Pajak Keterangan
1. Penghasilan Neto dalam Jumlah akumulasi jumlah penghasilan neto pada
Negeri Sehubungan setiap Formulir 1721-A1 dan/atau 1721-A2 PPh Pasal
dengan Pekerjaan 21 atau Bukti Potong Lain.
Penghasilan Neto dalam Jumlah akumulasi besarnya penghasilan neto dalam
Negeri Lainnya negeri lainnya seperti bunga, royalti, sewa,
penghargaan dan hadiah, keuntungan dari
penjualan/pengalihan harta dan penghasilan lainnya
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sendiri dan
anggota keluarganya dalam Tahun Pajak yang
bersangkutan (tidak termasuk PPh final dan bukan
objek)
Penghasilan Neto Luar Jumlah yang diterima/diperoleh di luar negeri berasal
Negeri dari beberapa negara.

Jenis penghasilan neto dan bukti pemotongan/pemungutan sbb:


No. Jenis Pajak Jenis Penghasilan
1. PPh Pasal 21 PPh yang telah dipotong oleh pemotong PPh Pasal 21 dalam
Tahun Pajak yang bersangkutan, baik terhadap Wajib Pajak
sendiri maupun terhadap istri Wajib Pajak yang bekerja pada
lebih dari satu pemberi kerja, dan anak/anak angkat yang
belum dewasa dikutip dari Formulir 1721-A1 Angka 21
dan/atau dari Formulir 1721-A2 dan/atau Bukti Pemotongan
PPh Pasal 21, tidak termasuk PPh Pasal 21 yang bersifat final.
2. PPh Pasal 22 Pajak Penghasilan yang telah dipungut dalam Tahun Pajak
yang bersangkutan oleh Bank Devisa dan Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai atas impor barang dan ekspor komoditas
tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam
yang dilakukan oleh eksportir, kecuali yang dilakukan oleh
Wajib Pajak yang terikat dalam perjanjian kerjasama
pengusahaan pertambangan dan Kontrak Karya;
3. PPh Pasal 23 PPh Pasal 23 meliputi Pajak Penghasilan yang telah dipotong
dalam Tahun Pajak yang bersangkutan oleh pemotong PPh
Pasal 23 atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti,
hadiah dan penghargaan, bonus, sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta yang ditentukan oleh
Peraturan Menteri Keuangan, kecuali pemotongan PPh yang
bersifat final.

74
4. PPh Pasal 24 PPh Pasal 24 adalah pajak yang dibayar/dipotong/terutang di
luar negeri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di
luar negeri dalam tahun yang bersangkutan, sebesar PPh yang
dibayar/dipotong/terutang di luar negeri tetapi tidak boleh
melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan
Undang-Undang PPh. Penghitungan “batas maksimum kredit
pajak luar negeri yang dapat dikreditkan” tersebut harus
dilakukan untuk masing-masing negara.
5. PPh Pasal 26 Pemotongan pajak atas Wajib Pajak Luar Negeri adalah
bersifat final namun atas penghasilan Wajib Pajak orang
pribadi luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak
dalam negeri, pemotongan pajaknya tidak bersifat final
sehingga potongan pajak tersebut dapat dikreditkan dalam
SPT Tahunan PPh. Tidak termasuk PPh Pasal 26 yang telah
dikreditkan pada lembar formulir 1721 - A1.

Seluruh penghasilan neto dalam negeri baik yang sehubungan dengan pekerjaan
maupun lainnya, dan penghasilan dari luar negeri dijumlahkan. (1)
Selanjutnya dikurangkan dengan zakat/sumbangan keagamaan yang bersifat wajib
atas penghasilan yang menjadi objek pajak yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak
Orang Pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sesuai dengan bukti setoran yang sah. (2)
Setelah itu dilakukan pengurangan sesuai PTKP yang tercantum pada bukti
pemotongan PPh 1721-A1 atau 1721-A2. Khusus untuk PTKP bagi masing-masing suami-
istri yang telah hidup berpisah (HB) untuk diri masing-masing Wajib Pajak diperlakukan
seperti Wajib Pajak Tidak Kawin sedangkan tanggungan sesuai dengan kenyataan
sebenarnya yang diperkenankan. (3)
Hasil penghitungan akan menghasilkan penghasilan kena pajak. Untuk keperluan
penghitungan tarif pajak, jumlah penghasilan kena pajak dibulatkan ke bawah dalam
ribuan rupiah penuh. (4)
Selanjutnya adalah menghitung Pajak Penghasilan Terutang (PPh Terutang) dengan
penerapan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas Penghasilan Kena Pajak. (5)
Jika ada selisih antara besarnya pajak yang telah dikreditkan dengan besarnya pajak
yang dapat dikreditkan di Indonesia setelah adanya pengembalian/pengurangan Pajak
Penghasilan yang dibayar/dipotong/terutang di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 ayat (5) Undang-Undang PPh, yang diterima dalam Tahun Pajak yang
bersangkutan sepanjang pengembalian/pengurangan bukan disebabkan oleh adanya
perubahan penghasilan. Oleh karena PPh yang dibayar/dipotong/terutang di luar negeri
tersebut semula telah dikreditkan dari Pajak Penghasilan yang terutang dalam SPT
Tahunan PPh, maka dengan pengurangan/restitusi atas Pajak Penghasilan yang
dibayar/dipotong/terutang di luar negeri tersebut menyebabkan pengkreditan tersebut
menjadi lebih besar dari yang seharusnya. Selisih tersebut harus dibayar kembali dengan
menambahkan pada Pajak Penghasilan terutang dalam tahun ini. (6)
Setelah itu dilakukan penyandingan dengan jumlah Pajak Penghasilan yang sudah
dipotong yang tercantum pada bukti pemotongan PPh oleh phak lain/ditanggung
pemerintah dan/atau kredit pajak luar negeri/terutang di luar negeri (yang tidak bersifat
final). (7)
Terakhir adalah menyandingkan dengan jumlah pajak yang telah dibayar sendiri
berupa PPh Pasal 25 Tahun Pajak yang bersangkutan termasuk jumlah pelunasan PPh
yang terutang berdasarkan penghitungan sementara dalam hal Wajib Pajak mengajukan
permohonan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan termasuk juga
dengan jumlah Pajak Penghasilan yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak (STP)
untuk Tahun Pajak yang bersangkutan termasuk STP Pajak Penghasilan Pasal 25 ayat
(7) dari Pengusaha Tertentu yang menerima atau memperoleh penghasilan lain yang tidak

75
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final, tidak termasuk sanksi administrasi
berupa bunga dan/atau denda. (8)
Hasilnya akhir laporan SPT Tahunan tersebut adalah:
• Nihil jika Pajak Penghasilan Terutang (PPh Terutang) = jumlah Pajak Penghasilan
yang sudah dipotong.
• Kurang Bayar (Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri) jika Pajak Penghasilan
Terutang (PPh Terutang) > jumlah Pajak Penghasilan yang sudah dipotong.
• Lebih Bayar (Pajak Penghasilan yang lebih dipotong) jika Pajak Penghasilan Terutang
(PPh Terutang) < jumlah Pajak Penghasilan yang sudah dipotong. (9)

Penghasilan Neto dalam Negeri Sehubungan dengan Pekerjaan


Penghasilan Neto dalam Negeri Lainnya
Penghasilan Neto Luar Negeri
Jumlah Penghasilan Neto (1)
Zakat/sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib (2)
Penghasilan Tidak Kena Pajak (3)
Penghasilan Kena Pajak ( 1 - 2 - 3 ) (4)
Pajak Penghasilan Terutang (5)
Pengembalian/pengurangan PPh Pasal 24 yang Telah Dikreditkan (6)
Pajak Penghasilan yang telah Dipotong oleh Pihak Lain (7)
Pajak Penghasilan yang telah Dibayar Sendiri (8)
Pajak Penghasilan yang Nihil/Kurang/Lebih Dipotong (9)

Pengecualian Penghasilan Istri dari Satu Pemberi Kerja

Dalam hal istri dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya
menggunakan NPWP suami atau kepala keluarga (status perpajakan suami-istri adalah
KK), maka pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang semata-
mata diterima atau diperoleh istri dari satu pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak
ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga
lainnya, merupakan pemotongan pajak yang bersifat final.
Pelaporannya dilakukan terpisah pada Lampiran - II (Formulir 1770 S - II) Bagian
A: Penghasilan yang Dikenakan PPh Final dan/atau Bersifat Final.

2. WP OP karyawan dengan penghasilan lainnya


WP OP dapat memperoleh penghasilan lainnya yang meliputi besarnya penghasilan
neto dalam negeri lainnya yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sendiri dan anggota
keluarganya dalam Tahun Pajak yang bersangkutan, tidak termasuk penghasilan yang
telah dikenakan PPh final dan/atau PPh bersifat final serta penghasilan yang tidak
termasuk objek pajak. Penghasilan ini meliputi:
1) Bunga, dalam pengertian bunga termasuk premium, diskonto, bagi usaha berbasis
syariah dan imbalan lain sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, baik yang
dijanjikan maupun tidak, yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sendiri dan anggota
keluarganya.
2) Royalti, yang dimaksud dengan royalti adalah setiap imbalan dengan nama apapun
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sendiri dan anggota keluarganya
sehubungan dengan penyerahan penggunaan hak kepada pihak lain, berupa:
 hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang,
formula, atau rahasia perusahaan;
 hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan
ilmu pengetahuan;
 informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun
mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau
bidang usaha lainnya.

76
3) Sewa, Yang dimaksud dengan sewa adalah setiap imbalan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak sendiri dan anggota keluarganya sehubungan dengan
penggunaan harta selain sewa tanah dan/atau bangunan oleh pihak lain, harta gerak
misalnya sewa pemakaian mobil, sewa alat-alat berat.
4) Penghargaan dan hadiah yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sendiri dan
anggota keluarganya merupakan penghasilan. Jenis hadiah dan penghargaan untuk
tujuan pemajakan dapat dibedakan:
a. Hadiah dan penghargaan perlombaan, yang diberikan melalui suatu
perlombaan atau adu ketangkasan, misalnya dari:
- perlombaan olah raga;
- kontes kecantikan/busana, kontes lainnya;
- kuis di televisi/radio;
- kegiatan perlombaan atau adu ketangkasan lainnya.
b. Penghargaan atas suatu prestasi tertentu, misalnya penghargaan atas
penemuan benda purbakala, penghargaan dalam menjualkan suatu produk.
c. Hadiah sehubungan dengan pekerjaan pemberian jasa dan kegiatan lainnya
yang pemberiannya tidak melalui cara undian atau perlombaan.
Tidak termasuk dalam pengertian hadiah atau penghargaan yang dikenakan
pajak adalah hadiah langsung dalam penjualan barang/jasa, sepanjang:
3. diberikan kepada semua pembeli/konsumen akhir tanpa diundi;
4. diterima langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang/jasa.
5) Keuntungan dari penjualan/pengalihan harta dan penghasilan lainnya, ialah
penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak sendiri dan anggota
keluarganya sehubungan dengan penjualan/pengalihan harta, termasuk:
a) Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
b) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil,
yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
c) Keuntungan karena penjualan harta pribadi, misalnya saham yang tidak
diperdagangkan di bursa efek.
6) Penghasilan Lainnya misalnya:
a. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
b. keuntungan karena pembebasan utang;
c. penerimaan dari piutang yang telah dihapuskan;
d. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
e. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak;
f. penghasilan dari anak/anak angkat yang belum dewasa.

3. WP OP dengan status kewajiban perpajakan suami-istri PH atau MT


Atas penghasilan dari pekerjaan suami-istri akan dikenai pajak secara terpisah
apabila:
a. dikehendaki secara tertulis oleh suami-istri berdasarkan perjanjian pemisahan harta
dan penghasilan (PH); atau
b. dikehendaki oleh istri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri (MT).
Pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan masing-masing oleh suami dan istri secara
terpisah. Dalam hal ini, istri memiliki kewajiban mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP
sehingga menjadi Wajib Pajak Orang Pribadi tersendiri. Besarnya Pajak Penghasilan yang
harus dilunasi oleh masing-masing suami-istri dengan status perpajakan PH atau MT

77
adalah Pajak Penghasilan berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami-istri yang
kemudian dihitung secara proporsional sesuai dengan perbandingan penghasilan neto
mereka.
Sedangkan untuk penghasilan neto dalam negeri lainnya seperti bunga, royalti, sewa,
penghargaan dan hadiah, keuntungan dari penjualan/pengalihan harta dan penghasilan
lainnya yang diterima atau diperoleh istri, dilaporkan secara terpisah dalam SPT Tahunan
PPh Orang Pribadi istri sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi tersendiri.

4. Mengisi SPT Tahunan dengan Formulir 1770 S


Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang
Pribadi Sederhana (Formulir 1770 S dan Lampiran-Lampirannya) bagi Wajib Pajak yang
mempunyai penghasilan:
a. dari satu atau lebih pemberi kerja;
b. dalam negeri lainnya; dan/atau
c. yang dikenakan Pajak Penghasilan final dan/atau bersifat final
No. Jenis Lampiran Keterangan
1 Bukti pembayaran PPh Pasal 29 dan/atau Bukti terdapat kurang bayar
Pemindahbukuan, Surat Setoran Pajak, atau sarana
administrasi lain.
2 Fotokopi formulir 1721 A1 dan/atau 1721 A2 dan/atau Wajib Pajak
bukti pemotongan PPh Pasal 21 lainnya mencantumkan kredit
pajak PPh Pasal 21.
3 Surat Kuasa Khusus (Konsultan Pajak) dilampiri SPT ditandatangani oleh
dengan: kuasa yang merupakan
e. Fotokopi kartu izin praktik konsultan pajak; konsultan pajak
f. Surat pernyataan sebagai konsultan pajak;
g. Fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak
konsultan pajak;
h. Fotokopi Tanda terima SPT tahunan konsultan
pajak.
4 Surat Keterangan Kematian SPT ditandatangani oleh
ahli waris
5 Penghitungan PPh Terutang bagi Wajib Pajak Status perpajakan Wajib
dengan Status Perpajakan PH atau MT Pajak Pisah Harta atau
Memilih Terpisah
6 Bukti Pemotongan Zakat atau sumbangan SPT memperhitungkan
keagamaan yang sifatnya wajib zakat atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya
wajib

SPT diisi dengan lengkap dan sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen
yang dipersyaratkan. Kewajiban penyampaian keterangan dan/atau dokumen
dikecualikan bagi SPT Tahunan 1770S dan SPT Tahunan 1770SS dengan status Nihil
atau Kurang Bayar yang disampaikan melalui e-Filing.

Contoh Pengisian SPT Tahunan 1770 S:


Nama : Iwan
NPWP : 08.296.172.2-007.000
Pekerjaan : Direktur PT ABC
Status : Kawin (MT)
Tanggungan : 1 orang anak (PTKP K/1)

Data penghasilan selama tahun 2018


1. Gaji bersih sebagai direktur di PT ABC sebesar Rp544.400.000

78
2. Keuntungan dari penjualan perhiasan emas sebesar Rp38.000.000 (Iwan membeli
perhiasan emas seharga Rp40.000.000 dan kemudian dijual seharga Rp78.000.000)

Data tambahan:
Bahwa Iwan memiliki istri bernama Nova dan mempunyai NPWP 07.890.123.4-567.000
(NPWP sendiri yang terpisah dengan suami) dan menerima penghasilan neto selama
tahun 2018 total sebesar Rp141.000.000 yang berasal dari :
1. Penghasilan sebagai karyawan sebesar Rp129.000.000.
2. Penghasilan dari keuntungan selisih kurs sebesar Rp12.000.000.
Dari data di atas perhitungan PPh bagi Iwan dan istrinya Nova yang masing-masing
memiliki NPWP tersendiri dibuatkan lembar perhitungan sendiri di bawah ini.

79
80
81
LEMBAR PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN TERUTANG
BAGI WAJIB PAJAK YANG KAWIN DENGAN STATUS PERPAJAKAN SUAMI-ISTERI PISAH HARTA DAN PENGHASILAN (PH) ATAU
ISTERI YANG MENGHENDAKI UNTUK MENJALANKAN HAK DAN KEWAJIBAN PERPAJAKANNYA SENDIRI (MT)

No. Uraian Penghasilan Neto Suami Penghasilan Neto Isteri


(1) (2) (3) (4)

A PENGHASILAN NETO

1 PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS - -


[Diisi dari Formulir 1770 Bagian A angka 1]
2 PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN
538,400,000 123,000,000
[Diisi dari Formulir 1770 Bagian A angka 2 atau Formulir 1770 S Bagian A angka 1]
3 PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI LAINNYA
38,000,000 12,000,000
[Diisi dari Formulir 1770 Bagian A angka 3 atau Formulir 1770 S Bagian A angka 2]
4 PENGHASILAN NETO LUAR NEGERI
- -
[Diisi dari Formulir 1770 Bagian A angka 4 atau Formulir 1770 S Bagian A angka 3]
5 ZAKAT / SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG BERSIFAT WAJIB
- -
[Diisi dari Formulir 1770 Bagian A angka 6 atau Formulir 1770 S Bagian A angka 5]
6 JUMLAH ( 1 + 2 + 3 + 4 - 5 ) 576,400,000 135,000,000

7 KOMPENSASI KERUGIAN
- -
[Khusus Bagi WP OP yang menyelenggarakan pembukuan. Diisi dari Formulir 1770 Bagian A angka 8]
8 JUMLAH PENGHASILAN NETO ( 6 - 7 ) 576,400,000 135,000,000

No Uraian Nilai
(1) (2) (3)

B JUMLAH PENGHASILAN NETO SUAMI DAN ISTERI [ A.8.(3) + A.8.(4) ] 711,400,000

C PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK [K/I/1] 117,000,000

D PENGHASILAN KENA PAJAK [ B - C ] 594,400,000

E PAJAK PENGHASILAN TERUTANG (GABUNGAN)

1 5% x 50.000.000 2,500,000

2 15% x 200.000.000 30,000,000

3 25% x 250.000.000 62,500,000

4 30% x 110.900.000 28,320,000

JUMLAH PAJAK PENGHASILAN TERUTANG (GABUNGAN) 123,320,000

F PPh TERUTANG YANG DITANGGUNG SUAMI [ (A.8.(3) / B) x E ]


99,917,976
[Pindahkan nilai pada bagian ini ke SPT Suami bagian C angka 12 Formulir 1770 atau ke bagian C angka 9 Formulir 1770 S]
G PPh TERUTANG YANG DITANGGUNG ISTERI [ (A.8.(4) / B) x E ]
23,402,024
[Pindahkan nilai pada bagian ini ke SPT Isteri bagian C angka 12 Formulir 1770 atau ke bagian C angka 9 Formulir 1770 S]

Tangerang, 01 Maret 2019

SUAMI

Nama : Iwan

NPWP : 08.296.172.2-007.000

Tanda Tangan

ISTERI

Nama : Nova

NPWP : 07.890.123.4-567.000

Tanda Tangan

82
SPT TAHUNAN
1770 S 2 0 1 8

TAHUN PAJAK
FORMULIR
PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
BAGI WAJIB PAJAK YANG MEMPUNYAI PENGHASILAN :
KEMENTERIAN KEUANGAN RI • DARI SATU ATAU LEBIH PEMBERI KERJA; SPT PEMBETULAN KE - …
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK • DALAM NEGERI LAINNYA; DAN/ATAU
• YANG DIKENAKAN PPh FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL.
PERHATIAN • SEBELUM MENGISI BACA DAHULU PET UNJUK PENGISIAN • ISI DENGAN HURUF CET AK /DIKET IK DENGAN T INT A HIT AM
• BERI T ANDA "X" PADA (KOT AK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP : 0 8 2 9 6 1 7 2 2 0 0 7 0 0 0

NAMA WAJIB PAJAK : I W A N

PEKERJAAN : P E G A W A I S W A S T A KLU :
IDENTITAS

NO. TELEPON : 0 8 1 2 - 1 0 0 0 0 NO. FAKS : -

STATUS KEWAJIBAN : KK HB X PH MT
PERPAJAKAN SUAMI-ISTERI

NPWP ISTERI / SUAMI : 0 7 8 9 0 1 2 3 4 5 6 7 0 0 0

Permohonan perubahan data disampaikan terpisah dari pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi ini, dengan menggunakan
Formulir Perubahan Data Wajib Pajak dan dilengkapi dokumen yang disyaratkan.
*) Pengisian kolom-kolom yang berisi nilai rupiah harus tanpa nilai desimal (contoh penulisan lihat petunjuk pengisian halaman 3) RUPIAH *)
1 PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN …….……………………………………………..
1 538,400,000
[Diisi akumulasi jumlah penghasilan neto pada setiap Formulir 1721-A1 dan/atau 1721-A2 angka 14 yang dilampirkan atau Bukti Potong Lain]

2 PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI LAINNYA ………………………………………………………………………………………………………………………….


38,000,000
A. PENGHASILAN NETO

2
[Diisi sesuai dengan Formulir 1770 S-I Jumlah Bagian A ]

3 PENGHASILAN NETO LUAR NEGERI ………………………………………………………………………………………………………………………….


3
[Apabila memiliki penghasilan dari luar negeri agar diisi dari Lampiran Tersendiri, lihat petunjuk pengisian]

4 JUMLAH PENGHASILAN NETO (1+2+3) ……………………………………………………………………………………… 4 576,400,000

5 ZAKAT/SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG SIFATNYA WAJIB ……………………………………………………………………………


5

6 JUMLAH PENGHASILAN NETO SETELAH PENGURANGAN ZAKAT /SUMBANGAN KEAGAMAAN ………………………………………………………………………………………


6 576,400,000
YANG SIFATNYA WAJIB (4-5)
B.PENGHASILAN
KENA PAJAK

7 PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK TK / ## K / ## K / I / ## 7 63,000,000

8 PENGHASILAN KENA PAJAK (6-7) ……………………………………………………………………………………………. 8


513,400,000

9 PPh TERUTANG (TARIF PASAL 17 UU PPh x ANGKA 8) ……………………………………………………………………


C. PPh TERUTANG

[Bagi Wajib Pajak dengan status PH atau MT diisi dari Lampiran Perhitungan PPh Terutang sebagaimana dimaksud dalam bagian G: 9 99,917,976
Lampiran huruf d]

10 PENGEMBALIAN / PENGURANGAN PPh PASAL 24 YANG TELAH DIKREDITKAN ………………………………………


10

11 JUMLAH PPh TERUTANG (9+10) …………………………………………………………………………………………… 11 99,917,976

12 PPh YANG DIPOTONG/DIPUNGUT PIHAK LAIN/DITANGGUNG PEMERINTAH DAN/ATAU KREDIT PAJAK LUAR 12 88,850,000
NEGERI DAN/ATAU TERUTANG DI LUAR NEGERI [Diisi dari Formulir 1770 S-I Jumlah Bagian C Kolom (7)]

13 a. PPh YANG HARUS DIBAYAR SENDIRI


D. KREDIT PAJAK

(11-12) …………………………………………………….. 13 11,067,976


b. PPh YANG LEBIH DIPOTONG/DIPUNGUT

14 PPh YANG DIBAYAR SENDIRI a. PPh PASAL 25 ……………………………………………………………………


………………………………………………………………………
14a

b. STP PPh Pasal 25 (Hanya Pokok Pajak) ………………………………………………………


14b

15 JUMLAH KREDIT PAJAK (14a + 14b) …………………………………………………………………………………………


15 -

TGL LUNAS
E. PPh KURANG/LEBIH BAYAR

16 X a. PPh YANG KURANG DIBAYAR (PPh PASAL 29) 3 0 0 3 1 9


(13-15) 16 11,067,976
TGL BLN THN
b. PPh YANG LEBIH DIBAYAR (PPh PASAL 28 A)

17 PERMOHONAN : PPh Lebih Bayar pada 16b mohon :


a. DIRESTITUSIKAN c. DIKEMBALIKAN DENGAN SKPPKP PASAL 17C (WP dengan Kriteria Tertentu)

b. DIPERHITUNGKAN DENGAN d. DIKEMBALIKAN DENGAN SKKPP PASAL 17D (WP yang Memenuhi Persyaratan Tertentu)
UTANG PAJAK
PAJAK BERIKUTNYA
F. ANGSURAN PPh
PASAL 25 TAHUN

18 ANGSURAN PPh PASAL 25 TAHUN PAJAK BERIKUTNYA 18


……………………………………………………………………………………………………………………..
SEBESAR
DIHITUNG BERDASARKAN :
a. 1/12 x JUMLAH PADA ANGKA 13
b. PENGHITUNGAN DALAM LAMPIRAN TERSENDIRI

Fotokopi Formulir 1721-A1 atau 1721-A2 atau Bukti Potong PPh Pasal 21 Perhitungan PPh Terutang bagi Wajib Pajak dengan status perpajakan PH atau MT
G. LAMPIRAN

a. d.

b. Surat Setoran Pajak Lembar Ke-3 PPh Pasal 29 e. …………………………………………………………..

c. Surat Kuasa Khusus (Bila dikuasakan)

PERNYATAAN
Dengan me nyadari sepenuhnya akan se gala akibatnya termasuk sanksi-sanksi se suai dengan kete ntuan pe raturan TANDA TANGAN
pe rundang-undangan yang be rlaku, saya menyatakan bahwa yang telah be ritahukan diatas bese rta lampiran-
lampirannya adalah be nar, le ngkap dan je las.

Iwan
X WAJIB PAJAK KUASA TANGGAL 3 0 0 3 2 0 1 9
TGL BLN THN

NAMA LENGKAP : I W A N

NP WP : 0 8 2 9 6 1 7 2 2 0 0 7 0 0 0

F.1.1.32.18

83
LAMPIRAN - I

TAHUN PAJAK
1770 S - I
FORMULIR
SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI

KEMENTERIAN KEUANGAN RI


PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI LAINNYA
PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK
2 0 1 8
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
• DAFTAR PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PPh OLEH PIHAK LAIN DAN PPh YANG DITANGGUNG PEMERINTAH

NPWP : 0 8 2 9 6 1 7 2 2 0 0 7 0 0 0

NAMA WAJIB PAJAK : I W A N

BAGIAN A : PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI LAINNYA


(TIDAK TERMASUK PENGHASILAN DIKENAKAN PPh FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL)

JUMLAH PENGHASILAN
NO. JENIS PENGHASILAN
(Rupiah)
(1) (2) (3)

1. BUNGA

2. ROYALTI

3. SEWA

4. PENGHARGAAN DAN HADIAH

5. KEUNTUNGAN DARI PENJUALAN/PENGALIHAN HARTA 38,000,000

6. PENGHASILAN LAINNYA

JUMLAH BAGIAN A JBA 38,000,000


Pindahkan Jumlah Bagian A ke Formulir Induk 1770 S Bagian A
angka (2)
BAGIAN B : PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK

JUMLAH PENGHASILAN
NO. JENIS PENGHASILAN
(Rupiah)
(1) (2) (3)

1. BANTUAN/SUMBANGAN/HIBAH

2. WARISAN

3. BAGIAN LABA ANGGOTA PERSEROAN KOMANDITER TIDAK ATAS SAHAM,


PERSEKUTUAN, PERKUMPULAN, FIRMA, KONGSI

4. KLAIM ASURANSI KESEHATAN, KECELAKAAN, JIWA, DWIGUNA, BEASISWA

5. BEASISWA

6. PENGHASILAN LAINNYA YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK

JUMLAH BAGIAN B JBB 0

BAGIAN C : DAFTAR PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PPh OLEH PIHAK LAIN DAN PPh YANG DITANGGUNG PEMERINTAH

NAMA PEMOTONG/ NPWP PEMOTONG/ BUKTI PEMOTONGAN/ JENIS PAJAK : JUMLAH PPh YANG
NO PEMUNGUTAN PPh PASAL 21/
PEMUNGUT PAJAK PEMUNGUT PAJAK DIPOTONG / DIPUNGUT
NOMOR TANGGAL 22/23/24/26/DTP*
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1. PT. ABC 012345678701000 1.1-12-18- 31/01/2019 PPh PASAL 21 76,475,000


0000003

2.

3.

4.

5.
dst

JUMLAH BAGIAN C JBC 76,475,000

Pindahkan Jumlah Bagian C ke Formulir


Catatan : Induk 1770 S Bagian D angka 12
*) - DTP : Ditanggung Pemerintah
- Kolom (6) diisi dengan pilihan PPh Pasal 21/22/23/24/26/DTP (Contoh : ditulis 21, 22, 23, 24, 26, DTP)
- Jika terdapat kredit pajak PPh Pasal 24, maka jumlah yang diisi adalah maksimum yang dapat dikreditkan sesuai lampiran tersendiri
(lihat petunjuk pengisian tentang Lampiran I Bagian C dan Induk SPT angka 3)

JIKA FORMULIR INI TIDAK MENCUKUPI, DAPAT DIBUAT SENDIRI SESUAI DENGAN BENTUK INI Halaman ke- dari halaman Lampiran-I

84
LAMPIRAN - II

TAHUN PAJAK
1770 S - II

FORMULIR
SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI

• PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL


2 0 1 8
KEMENTERIAN KEUANGAN RI • HARTA PADA AKHIR TAHUN
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK • KEWAJIBAN/UTANG PADA AKHIR TAHUN
• DAFTAR SUSUNAN ANGGOTA KELUARGA

NPWP : 0 8 2 9 6 1 7 2 2 0 0 7 0 0 0

NAMA WAJIB PAJAK : I W A N

BAGIAN A : PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL


DASAR PENGENAAN PAJAK/
NO. SUMBER/JENIS PENGHASILAN PPh TERUTANG
PENGHASILAN BRUTO
(Rupiah) (Rupiah)
(1) (2) (3) (4)
BUNGA DEPOSITO, TABUNGAN, DISKONTO SBI, SURAT
1.
BERHARGA NEGARA

2. BUNGA/DISKONTO OBLIGASI

3. PENJUALAN SAHAM DI BURSA EFEK

4. HADIAH UNDIAN

PESANGON, TUNJANGAN HARI TUA DAN TEBUSAN PENSIUN


5.
YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS

6. HONORARIUM ATAS BEBAN APBN/APBD

7. PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

8. SEWA ATAS TANAH DAN/ATAU BANGGUNAN

BANGUNAN YANG DITERIMA DALAM RANGKA BANGUN GUNA


9.
SERAH
BUNGA SIMPANAN YANG DIBAYARKAN OLEH KOPERASI
10.
KEPADA ANGGOTA KOPERASI

11. PENGHASILAN DARI TRANSAKSI DERIVATIF

12. DIVIDEN

13. PENGHASILAN ISTERI DARI SATU PEMBERI KERJA

PENGHASILAN LAIN YANG DIKENAKAN PAJAK FINAL


14.
DAN/ATAU BERSIFAT FINAL
JUMLAH BAGIAN A JBA 0

BAGIAN B : HARTA PADA AKHIR TAHUN


KODE TAHUN
NO. NAMA HARTA HARGA PEROLEHAN KETERANGAN
HARTA PEROLEHAN (Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1. DEPOSITO
014 2000 1,000,000,000 No. 90009 Bank BCA
2. UANG TUNAI
011 2000 900,000,000

3. MOBIL
043 2000 700,000,000 B 1111 STAN
TANAH DAN/ATAU BANGUNAN
4. 061 5,000,000,000
TEMPAT TINGGAL 2000 PONDOK INDAH NO. 1
5.
dst -

JUMLAH BAGIAN B JBB 7,600,000,000

BAGIAN C : KEWAJIBAN/UTANG PADA AKHIR TAHUN


KODE ALAMAT TAHUN
NO. NAMA PEMBERI PINJAMAN JUMLAH
UTANG PEMBERI PINJAMAN PEMINJAMAN
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 -

2 -

3 -

4 -
5
dst -

JUMLAH BAGIAN C JBC 0

BAGIAN D : DAFTAR SUSUNAN ANGGOTA KELUARGA

NO. NAMA NIK HUBUNGAN KELUARGA PEKERJAAN

(1) (2) (3) (4) (5)


1 NOVA PEGAWAI SWASTA
ISTRI
2 DUDUNG ANAK SEKOLAH

JIKA FORMULIR INI TIDAK MENCUKUPI, DAPAT DIBUAT SENDIRI SESUAI DENGAN BENTUK INI Halaman ke- dari halaman Lampiran-II

85
5. Soal Latihan Bab V
1. Lampiran SPT 1770S adalah ….
a. tidak memiliki lampiran
b. lampiran I dan II
c. lampiran I, II, dan III
d. lampiran I, II, III dan IV

Soal No 2 sd 5: Tn Iwan dan istrinya menghendaki melakukan hak dan kewajiban


perpajakannya sendiri. Tn Iwan mempunyai 2 orang anak yang menjadi tanggungannya.
Penghasilan istri yang diperoleh atau diterima semata-mata dari satu pemberi kerja yang
sudah dipotong PPh Pasal 21.

2. PTKP untuk Tn Iwan adalah….


a. K/I/2
b. K/2
c. TK/2
d. Semua salah

3. Pernyataan yang tepat terhadap pelaporan penghasilan istrinya adalah….


a. Dilaporkan di bagian PPh Final SPT Tahunan PPh Tn Iwan
b. Digabungkan penghasilannya dalam SPT Tahunan PPh Tn Iwan
c. Dilaporkan tersendiri dalam SPT Tahunan PPh istri Tn Iwan
d. Semua salah

4. PTKP untuk istri Tn Iwan adalah….


a. K/I/2
b. K/2
c. TK/2
d. Semua salah

5. Profesi yang mungkin dilakukan oleh Tn Iwan bila menggunakan SPT 1770 S adalah….
a. Dokter
b. Pedagang besar sembako
c. PNS Kemenkeu
d. Atlet bulutangkis internasional

Soal Kasus Bab V

Isilah SPT Tahunan PPh Orang Pribadi atas nama Ibu Nova sesuai informasi diatas,
dengan tambahan asset berupa harga berupa 1 unit sepeda motor Honda Scopy No. Pol.
B 4 GUS, beli kredit tahun 2018 seharga Rp 17.000.000, saldo kredit per 31 Desember
2018 sebesar Rp 10.000.000;

---Q---

86
BAB VI

PPh bagi OP yang melakukan Kegiatan Usaha

Tujuan:
Mahasiswa mampu menghitung Pajak Penghasilan Akhir Tahun bagi WP OP (tidak
pembukuan) yang menjalankan kegiatan usaha, serta mengisi SPT Tahunan PPh OP
(Formulir 1770)

1. Norma Penghitungan Penghasilan Neto


Norma Penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto
yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan disempurnakan terus-menerus.
Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal:
a. tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap,
atau
b. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan
secara tidak benar.
Norma Penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data
lain, dan dengan memperhatikan kewajaran. Norma Penghitungan akan sangat
membantu Wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk
menghitung penghasilan neto.
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha yang peredaran brutonya
dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto, dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam
jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
Wajib Pajak yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto wajib menyelenggarakan pencatatan. Pencatatan
tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan norma dalam menghitung
penghasilan neto.
Wajib Pajak yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, wajib menyelenggarakan
pencatatan, atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, tetapi:
a. tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau
pembukuan; atau
b. tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti
pendukungnya pada waktu dilakukan pemeriksaan sehingga mengakibatkan
peredaran bruto dan penghasilan neto yang sebenarnya tidak diketahui maka
peredaran bruto Wajib Pajak yang bersangkutan dihitung dengan cara lain yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dan penghasilan netonya
dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Jadi WP OP yang melakukan kegiatan usaha yang peredaran brutonya dalam 1 tahun
kurang dari Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto, dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu
3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan (Pasal 14 ayat (2) UU PPh).
WP OP yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto,
dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan. (Pasal 14 ayat (4) UU PPh dan Pasal
2 ayat (3) PER-17/PJ/2015)
Besarnya norma yang digunakan tergantung dari jenis usaha dan wilayah
diperolehnya penghasilan. Ada 3 kelompok wilayah yang tertuang dalam Pasal 4 PER-

87
17/PJ/2015 yang berisi Daftar Persentase Norma penghitungan Penghasilan Neto
dikelompokkan menurut wilayah sebagai berikut:
a. 10 (sepuluh) ibukota propinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung,
Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak;
b. ibukota propinsi lainnya;
c. daerah lainnya
Perlu diperhatikan ada 3 lampiran PER-17/PJ/2015 yaitu:
 Lampiran I : Daftar persentase Norma penghitungan Penghasilan Neto untuk
WP OP yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan norma
penghitungan penghasilan neto.
 Lampiran II : Daftar persentase Norma penghitungan Penghasilan Neto untuk
WP OP yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan
pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan
atau bukti-bukti pendukungnya.
 Lampiran III : Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk
Wajib Pajak badan yang tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan
pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau bukti-bukti
pendukungnya.
Untuk menghitung besarnya norma penghasilan neto gunakan presentase dalam
Lampiran I PER-17/PJ/2015 tersebut.
Penghitungan penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis
usaha atau pekerjaan bebas, dilakukan terhadap masing-masing jenis usaha atau
pekerjaan bebas dengan memperhatikan pengelompokan wilayah pengenaan norma.
(Pasal 5 ayat (1) PER-17/PJ/2015)
Penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau
pekerjaan bebas adalah penjumlahan penghasilan neto dari masing-masing jenis
usaha atau pekerjaan bebas yang dihitung. (Pasal 5 ayat (2) PER-17/PJ/2015)
Penghasilan neto bagi tiap jenis usaha dihitung dengan cara mengalikan angka
persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan peredaran bruto atau
penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dalam 1 (satu) Tahun
Pajak. (Pasal 6 ayat (1) PER-17/PJ/2015)
Dalam menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang terutang oleh WP OP,
sebelum dilakukan penerapan tarif umum Pajak Penghasilan, terlebih dahulu dihitung
Penghasilan Kena Pajak dengan mengurangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak dari
penghasilan neto tersebut. (Pasal 6 ayat (2) PER-17/PJ/2015)

WP OP yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk


menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan. (Pasal 14
ayat (4) UU PPh dan Pasal 2 ayat (3) PER-17/PJ/2015)

2. Menghitung PPh Akhir Tahun WP OP Nonpembukuan yang Menjalankan Kegiatan


Usaha
Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang berhak untuk tidak menyelenggarakan
pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto kemudian dikurangi dengan zakat dan penghasilan tidak
kena pajak (PTKP) dengan contoh sebagai berikut.
Jenis Jumlah
Peredaran bruto 4,000,000,000
Penghasilan neto (menurut Norma Penghitungan) misalnya 20% 800,000,000
Penghasilan neto lainnya 5,000,000
Jumlah seluruh penghasilan neto 805,000,000
Zakat 20,125,000

88
Penghasilan neto setelah dikurangi zakat 784,875,000
PTKP Wajib Pajak orang pribadi (isteri + 2 anak) 72,000,000
Penghasilan Kena Pajak (bagi Wajib Pajak orang pribadi) 712,875,000
PPh Pasal 17
5 % x Rp 50.000.000,- 2,500,000
15 % x Rp 200.000.000,- 30,000,000
25 % x Rp 250.000.000,- 62,500,000
30 % x ( Rp 712.875.000 - Rp 500.000.000 ) 63,862,500
Total Pajak Terhutang 158,862,500
Kredit pajak (100,000,000)
PPh Kurang Bayar 58,862,500

3. WP OP dengan Penghasilan Lainnya dan PP 23 tahun 2018


I. Penghasilan Lainnya
WP OP dapat memperoleh penghasilan lainnya yang meliputi besarnya penghasilan
neto dalam negeri lainnya yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sendiri dan anggota
keluarganya dalam Tahun Pajak yang bersangkutan, tidak termasuk penghasilan yang
telah dikenakan PPh final dan/atau PPh bersifat final serta penghasilan yang tidak
termasuk objek pajak. Penghasilan-penghasilan ini meliputi:
1) Bunga, dalam pengertian bunga termasuk premium, diskonto, bagi usaha berbasis
syariah dan imbalan lain sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, baik yang
dijanjikan maupun tidak, yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sendiri dan anggota
keluarganya.
2) Royalti, yang dimaksud dengan royalti adalah setiap imbalan dengan nama apapun
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sendiri dan anggota keluarganya
sehubungan dengan penyerahan penggunaan hak kepada pihak lain, berupa:
 hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang,
formula, atau rahasia perusahaan;
 hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu
pengetahuan;
 informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun
mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau bidang
usaha lainnya.
3) Sewa, Yang dimaksud dengan sewa adalah setiap imbalan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak sendiri dan anggota keluarganya sehubungan dengan
penggunaan harta selain sewa tanah dan/atau bangunan oleh pihak lain, harta gerak
misalnya sewa pemakaian mobil, sewa alat-alat berat.
4) Penghargaan dan hadiah yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sendiri dan
anggota keluarganya merupakan penghasilan. Jenis hadiah dan penghargaan untuk
tujuan pemajakan dapat dibedakan:
a. Hadiah dan penghargaan perlombaan, yang diberikan melalui suatu perlombaan
atau adu ketangkasan, misalnya dari:
- perlombaan olah raga;
- kontes kecantikan/busana, kontes lainnya;
- kuis di televisi/radio;
- kegiatan perlombaan atau adu ketangkasan lainnya.
b. Penghargaan atas suatu prestasi tertentu, misalnya penghargaan atas penemuan
benda purbakala, penghargaan dalam menjualkan suatu produk.
c. Hadiah sehubungan dengan pekerjaan pemberian jasa dan kegiatan lainnya yang
pemberiannya tidak melalui cara undian atau perlombaan.
Tidak termasuk dalam pengertian hadiah atau penghargaan yang dikenakan pajak
adalah hadiah langsung dalam penjualan barang/jasa, sepanjang:

89
5. diberikan kepada semua pembeli/konsumen akhir tanpa diundi;
6. diterima langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang/jasa.
5) Keuntungan dari penjualan/pengalihan harta dan penghasilan lainnya, ialah
penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak sendiri dan anggota
keluarganya sehubungan dengan penjualan/pengalihan harta, termasuk:
a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
b. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil,
yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
c. Keuntungan karena penjualan harta pribadi, misalnya saham yang tidak
diperdagangkan di bursa efek.
6) Penghasilan Lainnya misalnya:
a. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
b. keuntungan karena pembebasan utang;
c. penerimaan dari piutang yang telah dihapuskan;
d. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
e. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak;
f. penghasilan dari anak/anak angkat yang belum dewasa.

II. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib
Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
a. Subjek
Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri
yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
dalam jangka waktu tertentu.
Tidak termasuk penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final sebagai berikut:
a. penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dari jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas;
b. penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri yang pajaknya terutang
atau telah dibayar di luar negeri;
c. penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
d. penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana huruf a meliputi:
 tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, PPAT, penilai, dan aktuaris;
 pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain
drama, dan penari;
 olahragawan;
 penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
 pengarang, peneliti, dan penerjemah;
 agen iklan;
 pengawas atau pengelola proyek;
 perantara;
 petugas penjaja barang dagangan;

90
 agen asuransi;
 distributor perusahaan pemasaran berjenjang atau penjualan langsung dan
kegiatan sejenis lainnya.
Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang dikenai Pajak Penghasilan
final merupakan:
a. Wajib Pajak orang pribadi; dan
b. Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, atau
perseroan terbatas,
yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp
4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Tidak termasuk Wajib Pajak diatas dalam hal:
a. Wajib Pajak memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17
ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atau Pasal 31E Undang-Undang Pajak
Penghasilan;
b. Wajib Pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk
oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus
menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
c. Wajib Pajak badan memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan:
o Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau
o Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun
Berjalan beserta perubahan atau penggantinya; dan
d. Wajib Pajak berbentuk Bentuk Usaha Tetap.
Wajib Pajak memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17,
wajib menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak dan untuk Tahun
Pajak-Tahun Pajak berikutnya tidak dapat dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini.
b. Objek
Besarnya peredaran bruto tertentu merupakan jumlah peredaran bruto dalam 1 (satu)
tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak bersangkutan, yang ditentukan
berdasarkan keseluruhan peredaran bruto dari usaha, termasuk peredaran bruto dari
cabang.
Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi merupakan suami-isteri yang:
 menghendaki perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis; atau
 isterinya menghendaki memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya
sendiri, besarnya peredaran bruto ditentukan berdasarkan penggabungan peredaran
bruto usaha dari suami dan isteri.
Jumlah peredaran bruto atas penghasilan dari usaha setiap bulan merupakan dasar
pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat
final.
Peredaran bruto yang dijadikan dasar pengenaan pajak merupakan imbalan atau nilai
pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum
dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis.
c. Tarif
Tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 0,5% (nol koma lima persen).
d. Mekanisme
Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif dikalikan dengan dasar
pengenaan pajak.
Wajib Pajak yang peredaran brutonya pada Tahun Pajak berjalan telah melebihi Rp
4.800.000.000, atas penghasilan dari usaha tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan sampai
dengan akhir Tahun Pajak bersangkutan.
Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh pada Tahun Pajak-Tahun
Pajak berikutnya oleh Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17
ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atau Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan.

91
Jangka waktu tertentu pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final ini yaitu paling
lama:
a. 7 (tujuh) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi;
b. 4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan
komanditer, atau firma; dan
c. 3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas.
Jangka waktu terhitung sejak:
a. Tahun Pajak Wajib Pajak terdaftar, bagi Wajib Pajak yang terdaftar sejak
berlakunya Peraturan Pemerintah ini, atau
b. Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini, bagi Wajib Pajak yang telah
terdaftar sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Pajak Penghasilan terutang dilunasi dengan cara:
a. disetor sendiri oleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu; atau
b. dipotong atau dipungut oleh Pemotong atau Pemungut Pajak dalam hal Wajib
Pajak bersangkutan melakukan transaksi dengan pihak yang ditunjuk sebagai
Pemotong atau Pemungut Pajak. Penyetoran sendiri Pajak Penghasilan terutang
wajib dilakukan setiap bulan.
Pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan terutang huruf b wajib dilakukan
oleh Pemotong atau Pemungut Pajak untuk setiap transaksi dengan Wajib Pajak yang
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Dalam hal Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan
Pemerintah ini bertransaksi dengan Pemotong atau Pemungut Pajak, Wajib Pajak harus
mengajukan permohonan surat keterangan kepada Direktur Jenderal Pajak.
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keterangan bahwa Wajib Pajak
bersangkutan dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini,
berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
Contoh:
1. Tuan S seorang dokter dan memiliki usaha apotek. Pada Tahun Pajak 2020, Tuan S
memperoleh peredaran bruto dari memberikan jasa dokter atas nama diri sendiri
sebesar Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan dari usaha apotek memperoleh
peredaran bruto sebesar Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dalam 1 (satu)
Tahun Pajak. Meskipun jumlah peredaran bruto Tuan S sebesar Rp 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah), penentuan batasan peredaran bruto hanya berdasarkan
peredaran bruto dari usaha apotek.
Karena batasan peredaran bruto yang diterima oleh Tuan S dari usaha apotek tidak
melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka
penghasilan dari usaha apotek dikenai Pajak Penghasilan final berdasarkan ketentuan
Peraturan Pemerintah ini.
Pajak Penghasilan yang bersifat final yang disetor sendiri atas usaha apotek:
= 0,5% x Rp 3.000.000.000,
= Rp 15.000.000,00
Sedangkan penghasilan dari jasa dokter dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif
Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.

2. Tuan X merupakan pedagang tekstil yang memiliki tempat kegiatan usaha di beberapa
pasar di wilayah yang berbeda. Berdasarkan pencatatan yang dilakukan diketahui
rincian peredaran usaha di tahun 2019 adalah sebagai berikut:
a. Pasar A sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
b. Pasar B sebesar Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);
c. Pasar C sebesar Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);
Dengan demikian, Tuan X pada tahun 2020 tidak dapat dikenai Pajak Penghasilan
final, karena peredaran bruto usaha Tuan X dari seluruh tempat usaha pada tahun
2019 melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

92
3. Tuan G dan Nyonya H adalah sepasang suami isteri yang menghendaki perjanjian
pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis. Pada Tahun Pajak 2019, Tuan G
memiliki usaha toko kelontong dengan peredaran bruto Rp 4.000.000.000,00 (empat
miliar rupiah) dan Nyonya H memiliki usaha salon dengan peredaran bruto Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Meskipun peredaran bruto masing-masing
kurang dari Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), akan tetapi
karena jumlah peredaran bruto dari usaha Tuan G ditambah peredaran bruto dari
usaha Nyonya H pada Tahun Pajak 2019 adalah Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah), maka atas penghasilan dari usaha Tuan G dan Nyonya H tidak dapat dikenai
Pajak Penghasilan final berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.

4. Tuan R memiliki usaha toko elektronik dan memenuhi ketentuan untuk dapat
dikenakan Pajak Penghasilan final berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
Pada bulan September 2019, Tuan R memperoleh penghasilan dari usaha penjualan
alat elektronik dengan peredaran bruto sebesar Rp 80.000.000,00 (delapan puluh juta
rupiah). Dari jumlah tersebut, penjualan dengan peredaran bruto sebesar Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dilakukan pada tanggal 17 September 2019
kepada Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta yang merupakan Pemotong atau
Pemungut Pajak, sisanya sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) diperoleh
dari penjualan kepada pembeli orang pribadi yang langsung datang ke toko miliknya.
Tuan R memiliki surat keterangan Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
Pajak Penghasilan yang bersifat final yang terutang untuk bulan September 2019
dihitung sebagai berikut:
a. Pajak Penghasilan yang bersifat final yang dipotong oleh Dinas Perhubungan DKI
Jakarta:
= 0,5% x Rp 60.000.000,00
= Rp 300.000,00
b. Pajak Penghasilan yang bersifat final yang disetor sendiri:
= 0,5% x Rp 20.000.000,00
= Rp 100.000,00

4. Menghitung Angsuran PPh Pasal 25 tahun berikutnya


Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan dalam
Tahun Pajak berjalan untuk suatu bulan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang PPh. Angsuran ini hanya
diperuntukkan bagi WP Orang Pribadi yang menghitung pajaknya berdasarkan pasal 17
atau pembukuan. Jadi tidak berlaku bagi telah dikenakan PPh Final atau bersifat final.
Menghitung Angsuran PPh Pasal 25 tahun berikutnya dapat dihitung sebagai berikut:
a. Dilakukan dengan jumlah angsuran bulanan PPh Pasal 25 Tahun Pajak berikutnya
yang dihitung 1/12 dari jumlah PPh yang harus dibayar sendiri. Angsuran Pajak
Penghasilan Pasal 25 adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Tahun Pajak yang lalu
dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 Undang-Undang PPh dan Pasal 23 Undang-Undang PPh serta Pajak
Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang
PPh dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian Tahun Pajak.
b. Perhitungan Khusus bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT).
 Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak orang pribadi
yang melakukan kegiatan usaha perdagangan atau jasa, tidak termasuk jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas, pada 1 (satu) atau lebih tempat kegiatan
usaha yang berbeda dengan tempat tinggal Wajib Pajak. Ini diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2018 tentang Penghitungan Besarnya
Angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak Berjalan yang harus Dibayar Sendiri
oleh Wajib Pajak baru, Bank, Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi, Badan Usaha

93
Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa dan Wajib Pajak
lainnya yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan membuat laporan Keuangan
Berkala Termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.
 Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha
Tertentu, ditetapkan sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari jumlah
peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha yang berbeda
dengan tempat tinggal Wajib Pajak. Pembayaran Angsuran Pajak Penghasilan Pasal
25 dari masing-masing tempat usaha merupakan kredit pajak atas Pajak Penghasilan
yang terutang untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.
c. Penghitungan dalam lampiran tersendiri apabila:
1. Terdapat sisa kerugian tahun sebelumnya yang dikompensasikan
Apabila jumlah sisa kerugian habis dikompensasi dengan penghasilan neto
Tahun Pajak yang bersangkutan atau Tahun Pajak yang bersangkutan
merupakan Tahun Pajak terakhir untuk dapat melakukan kompensasi kerugian,
maka angsuran bulanan PPh Pasal 25 Tahun Pajak berikutnya dihitung atas
dasar penghasilan neto Tahun Pajak yang bersangkutan dan tanpa
memperhitungkan kompensasi kerugian.
2. Terdapat penghasilan tidak teratur
Penghasilan tidak teratur (tidak termasuk dalam penghasilan teratur) misalnya
dari keuntungan selisih kurs dari utang/piutang dalam mata uang asing dan
keuntungan dari pengalihan harta sepanjang bukan merupakan penghasilan dari
kegiatan usaha pokok serta penghasilan lainnya yang bersifat insidentil.
3. Terdapat Pembayaran Zakat atas Penghasilan
Dalam hal terdapat zakat atas penghasilan yang nyata-nyata di bayarkan oleh
Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, terdapat hal-
hal tertentu (terdapat sisa kerugian tahun sebelumnya yang dikompensasikan
atau terdapat penghasilan tidak teratur), maka penghitungan angsuran PPh pasal
25 mengikuti pola penghitungan sebagaimana contoh penghitungan angsuran
PPh Pasal 25 sebelumnya dengan memperhitungkan zakat atas penghasilan
yang telah dibayarkan.

Contoh 1:
Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun 2009 Rp 50.000.000,
dikurangi:
a. PPh yang dipotong pemberi Kerja (Pasal 21) Rp 15.000.000,00
b. PPh yang dipungut oleh pihak lain (Pasal 22) Rp 10.000.000,00
c. PPh yang dipotong oleh pihak lain (Pasal 23) Rp 2.500.000,00
d. Kredit PPh luar negeri (Pasal 24) Rp 7.500.000,00 (+)
Jumlah kredit pajak Rp 35.000.000, (-)
Selisih Rp 15.000.000,
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 2010
adalah sebesar Rp 1.250.000,00 (Rp 15.000.000,00 dibagi 12).

Contoh 2:
Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan oleh Wajib
Pajak orang pribadi pada bulan Februari 2010, besarnya angsuran pajak yang harus
dibayar Wajib Pajak tersebut untuk bulan Januari 2010 adalah sebesar angsuran pajak
bulan Desember 2009, misalnya sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Apabila dalam bulan September 2009 diterbitkan keputusan pengurangan angsuran
pajak menjadi nihil sehingga angsuran pajak sejak bulan Oktober sampai dengan
Desember 2009 menjadi nihil, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak
untuk bulan Januari 2010 tetap sama dengan angsuran bulan Desember 2009, yaitu nihil.

94
Contoh 3:
Dalam tahun 2009, penghasilan teratur Wajib Pajak A dari usaha dagang
Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah) dan penghasilan tidak teratur sebesar
Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Penghasilan yang dipakai sebagai dasar
penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 dari Wajib Pajak A pada tahun 2010 adalah
hanya dari penghasilan teratur tersebut.

5. WP OP dengan status kewajiban perpajakan suami-istri PH atau MT


WP OP dengan status kewajiban perpajakan suami istri dalam hal:
a) Suami dan istri melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis
(PH);
b) istri memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri (MT);
penghasilan neto dalam negeri dari usaha dan/atau pekerjaan bebas yang diterima atau
diperoleh istri, dilaporkan secara terpisah dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi istri
sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi tersendiri. Berarti baik penghasilan dan kerugiannya
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan masing-masing pihak.
Suami dan istri wajib membuat dan melampirkan penghitungan Pajak Penghasilan
yang terutang berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami dan istri.
Suami dan istri yang memiliki penghasilan tersebut wajib menggunakan Formulir 1770
atau Formulir 1770 S beserta Lampiran-Lampirannya.

Contoh Pengisian SPT 1770 S:


Wajib Pajak A (K/3) memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar Rp 150.000.000,
mempunyai seorang istri dari pekerjaan bebas dengan penghasilan neto sebesar Rp
100.000.000. NPWP dimiliki oleh A yang berbeda dengan istri. WP A mengadakan
perjanjian pemisahan penghasilan secara tertulis (PH) dengan 3 orang anak yang
semuanya ditanggung suami, Jika keduanya menggunakan perhitungan pajak dengan
menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto, maka perhitungan pajaknya
dilakukan sbb:
Penghitungan PPh terutang : Suami Istri
Penghasilan Neto suami 150,000,000
Penghasilan Neto istri 100,000,000
Jumlah penghasilan neto 150,000,000 100,000,000

Jumlah penghasilan neto suami+istri 250,000,000


PTKP (K/I/3) 126,000,000
Penghasilan Kena Pajak 124,000,000
PPh terutang:
5 % x Rp 50.000.000 2,500,000
15% x Rp74.000.000 11,100,000
Jumlah 13,600,000

PPh Terutang ditanggung suami 8,160,000


(150.000.000/250.000.000*13.600.000
PPh Terutang ditanggung istri 5,440,000
(100.000.000/250.000.000*13.600.000

6. Mengisi SPT Tahunan dengan Formulir 1770


Formulir 1770 SPT Tahunan PPh Orang Pribadi diatur dalam PER-36/PJ/2015. SPT
tersebut diperuntukkan bagi WP OP yang mempunyai penghasilan sbb:
 Dari usaha/pekerjaan bebas;
 Dari satu atau lebih pemberi kerja;

95
 Yang dikenakan PPh Final dan/atau bersifat final; dan/atau
 Dalam negeri lainnya/luar negeri;
Formulir Baku SPT 1770 terdiri dari:
a. 1770 (Induk SPT)
b. 1770-I hal. 1:
 Penghitungan Penghasilan Neto Dalam Negeri Dari Usaha dan/atau
 Pekerjaan Bebas Bagi Wajib Pajak yang Menyelenggarakan Pembukuan
c. 1770-I hal. 2:
 Penghitungan Penghasilan Neto Dalam Negeri Dari Usaha dan/atau Pekerjaan
Bebas Bagi Wajib Pajak yang Menyelenggarakan Pencatatan,
 Penghitungan Penghasilan Neto Dalam Negeri Sehubungan Dengan Pekerjaan,
 Penghitungan Penghasilan Dalam Negeri Lainnya
d. 1770-II:
 Daftar Pemotongan/Pemungutan PPh oleh Pihak Lain,
 PPh yang Dibayar/Dipotong Di Luar Negeri dan PPh Ditanggung Pemerintah
e. 1770-III:
 Penghasilan yang Dikenakan Pajak Final dan/atau Bersifat Final,
 Penghasilan yang Tidak Termasuk Objek Pajak,
 Penghasilan Istri/Suami yang Dikenakan Pajak Secara Terpisah
f. 1770-IV:
 Harta Pada Akhir Tahun,
 Kewajiban/Utang pada Akhir Tahun,
 Daftar Susunan Anggota Keluarga

Keterangan dan atau dokumen lain yang harus dilampirkan pada Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang menggunakan formulir 1770:
No. Jenis Lampiran Keterangan
1 Bukti pembayaran PPh Pasal 29 dan/atau Bukti terdapat kurang bayar
Pemindahbukuan, Surat Setoran Pajak, atau
sarana administrasi lain.
2 Neraca dan Laporan Rugi Laba serta Wajib Pajak menggunakan
keterangan lain. pembukuan
3 Laporan Keuangan yang telah diaudit Ada Laporan Keuangan yang
sudah diaudit oleh KAP
4 Rekapitulasi peredaran bruto dan/atau Wajib Pajak menggunakan
penghasilan lain dan biaya Norma penghitungan
penghasilan neto
5 Perhitungan Peredaran Bruto dan Pembayaran Wajib Pajak merupakan Orang
PPh Pasal 25 OPPT Pribadi Pengusaha Tertentu
6 Fotokopi formulir 1721 A1 dan/atau 1721 A2 Wajib Pajak mencantumkan
dan/atau bukti pemotongan PPh Pasal 21 kredit pajak PPh Pasal 21.
lainnya
7 Surat Kuasa Khusus (Konsultan Pajak) SPT ditandatangani oleh kuasa
dilampiri dengan: yang merupakan konsultan
i. Fotokopi kartu izin praktik konsultan pajak; pajak
j. Surat pernyataan sebagai konsultan pajak;
k. Fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak
konsultan pajak;
l. Fotokopi Tanda terima SPT tahunan
konsultan pajak.
8 Surat Kuasa Khusus (Karyawan WP) dilampiri SPT ditandatangani oleh kuasa
dengan: yang merupakan karyawan
Wajib Pajak

96
e. Sertifikat brevet/ijazah pendidikan formal
perpajakan/sertifikat konsultan pajak;
f. Fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak
Karyawan WP;
g. Fotokopi tanda terima SPT Tahunan
Karyawan WP;
h. Fotokopi daftar karyawan tetap di SPT
Masa PPh Pasal 21.
9 Surat Keterangan Kematian SPT ditandatangani oleh ahli
waris
10 Penghitungan Kompensasi Kerugian SPT memperhitungkan
kompensasi kerugian
11 Penghitungan PPh Terutang bagi Wajib Pajak Status perpajakan Wajib Pajak
dengan Status Perpajakan PH atau MT Pisah Harta atau Memilih
Terpisah
12 Penghitungan Peredaran Bruto & Pembayaran Wajib Pajak menggunakan
Final PP 46 Tahun 2013 & PP 23 Tahun 2018 penghitungan sesuai PP46
tahun 2013 dan/atau PP23
tahun 2018
13 Bukti Pemotongan Zakat atau sumbangan SPT memperhitungkan zakat
keagamaan yang sifatnya wajib atau sumbangan keagamaan
yang sifatnya wajib
14 Penyusutan dan Amortisasi Fiskal Ada biaya penyusutan dan
amortisasi dalam laporan
keuangan Wajib Pajak yang
menggunakan pembukuan

Berikut contoh kasus dan isian Formulir 1770 SPT Tahunan PPh Orang Pribadi
yang menyelenggarakan pencatatan :
Tuan David adalah wajib pajak dalam negeri Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
(OPPT) dengan status PTKP K/2 dan telah memenuhi persyaratan untuk melakukan
pencatatan. Kegiatan usahanya adalah pedagang eceran ikan hias laut (KLU 47215).
Menurut SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun 2019, David melaporkan penghasilan
sebesar Rp 1.000.000.000. PPh Pasal 25 yang dibayar selama tahun 2019 yaitu 0.75%
dari omset.
Dalam SPT Tuan David tahun 2019, terdapat penghasilan berikut ini:
a. Sewa ruko oleh PT Ceger Seger Selaras (PT CSS) sejumlah Rp40.000.000,00. Atas
jumlah tersebut PT CSS memotong PPh sejumlah Rp4.000.000,00.
b. Laba penjualan cincin chrysocolla chalcedony sebesar Rp12.500.000,00. Penghasilan
ini bersifat insidental di tahun 2019.
c. Penghasilan lain berupa sewa alat-alat fotografi sebesar Rp50.000.000,00.
Penghasilan ini merupakan penghasilan tidak teratur. Pihak penyewa, PT ABC, telah
memotong PPh sebesar Rp 1.000.000.
d. Penjualan seluruh saham yang dimiliki di bursa efek sebesar Rp30.000.000,00. Bursa
efek telah memotong PPh sebesar Rp30.000,00.

97
2 0 1 9

FORMULIR
SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
1770

TAHUN PAJAK
BAGI WAJIB PAJAK YANG MEMPUNYAI PENGHASILAN :
0 1 1 9 1 2 1 9

s.d
DARI USAHA/PEKERJAAN BEBAS;
KEMENTERIAN KEUANGAN RI • DARI SATU ATAU LEBIH PEMBERI KERJA; BL TH BL TH
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
• YANG DIKENAKAN PPh FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL; DAN/ATAU PEMBUKUAN X PENCATATAN
• DALAM NEGERI LAINNYA/LUAR NEGERI.
SPT PEMBETULAN KE - …….
PERHATIAN
• SEBELUM MENGISI BACALAH PETUNJUK PENGISIAN
• ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
• BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP : 0 5 5 5 5 5 5 5 5 0 5 5 0 0 0

NAMA WAJIB PAJAK : D A V I D

JENIS USAHA/PEKERJAAN BEBAS : P E D A G A N G E C E R A N KLU : 4 7 2 1 5


IDENTITAS

NO. TELEPON/FAKSIMILI : 0 2 1 1 1 1 / 0 8 0 9 1 0 0 0 0
STATUS KEWAJIBAN PERPAJAKAN : X KK HB PH MT
SUAMI-ISTERI
NPWP ISTERI/SUAMI :

Permohonan perubahan data disampaikan terpisah dari pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi ini, dengan menggunakan Formulir
Perubahan Data Wajib Pajak dan dilengkapi dokumen yang disyaratkan.
*) Pengisian kolom-kolom yang berisi nilai rupiah harus tanpa nilai desimal (contoh penulisan lihat petunjuk pengisian halaman 3) RUPIAH *)
1. PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS
1 225,000,000
[Diisi dari Formulir 1770 - I Halaman 1 Jumlah Bagian A atau Formulir 1770 - I Halaman 2 Jumlah Bagian B Kolom 5]
A. PENGHASILAN NETO

2. PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN


2 -
[Diisi dari Formulir 1770 - I Halaman 2 Jumlah Bagian C Kolom 5]
3. PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI LAINNYA
3 -
[Diisi dari Formulir 1770 - I Halaman 2 Jumlah Bagian D Kolom 3]
4. PENGHASILAN NETO LUAR NEGERI
4 62,500,000
[Apabila memiliki penghasilan dari luar negeri agar diisi dari Lampiran Tersendiri, lihat petunjuk pengisian]
5. JUMLAH PENGHASILAN NETO (1 + 2 + 3 + 4)
5 287,500,000
…………………………………………………………………………………………………………………………..
6. ZAKAT / SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG BERSIFAT WAJIB
6 -

7. JUMLAH PENGHASILAN NETO SETELAH PENGURANGAN ZAKAT /SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG


7 287,500,000
SIFATNYA WAJIB ( 5- 6)

8. KOMPENSASI KERUGIAN
8 -
B. PENGHASILAN
KENA PAJAK

9. JUMLAH PENGHASILAN NETO SETELAH KOMPENSASI KERUGIAN (7 - 8)


9 287,500,000

10. PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK


TK / K/ 2 K /I/ 10 67,500,000

11. PENGHASILAN KENA PAJAK (9 -10)


11 220,000,000

PPh TERUTANG (TARIF PASAL 17 UU PPh X ANGKA 11)


12. [Bagi Wajib Pajak dengan status PH / MT diisi dari Lampiran Perhitungan PPh Terutang sebagaimana dimaksud dalam bagian G: Lampiran huruf i] 12 28,000,000
TERUTANG
C. PPh

13. PENGEMBALIAN/PENGURANGAN PPh PASAL 24 YANG TELAH DIKREDITKAN


13 -

14. JUMLAH PPh TERUTANG ( 12 + 13)


14 28,000,000

15. PPh YANG DIPOTONG / DIPUNGUT OLEH PIHAK LAIN, PPh YANG DIBAYAR / DIPOTONG DI LUAR NEGERI
15 1,000,000
DAN PPh DITANGGUNG PEMERINTAH [Diisi dari formulir 1770 -II Jumlah Bagian A Kolom 7]
D. KREDIT PAJAK

16. X a. PPh YANG HARUS DIBAYAR SENDIRI


(14-15) 16 27,000,000
b. PPh YANG LEBIH DIPOTONG/DIPUNGUT

17. PPh YANG DIBAYAR SENDIRI a. PPh PASAL 25 BULANAN


17a 11,250,000

b. STP PPh PASAL 25 (HANYA POKOK PAJAK)


17b -

18. JUMLAH KREDIT PAJAK (17a+17b)


18 11,250,000
E. PPh KURANG/ LEBIH

19. a. X PPh YANG KURANG DIBAYAR (PPh PASAL 29) TGL 3 0 0 3 2 0


(16-18) LUNAS 19 15,750,000
b. PPh YANG LEBIH DIBAYAR (PPh PASAL 28 A) tgl bln thn
BAYAR

20. PERMOHONAN : PPh Lebih Bayar pada 19.b mohon DIKEMBALIKAN DENGAN SKPPKP PASAL 17C (WP
a. DIRESTITUSIKAN c. dengan Kriteria Tertentu)
DIPERHITUNGKAN DENGAN DIKEMBALIKAN DENGAN SKPPKP PASAL 17D (WP yang
b. UTANG PAJAK
d. Memenuhi Pe rsyaratan Tertentu)
PAJAK BERIKUTNYA

21. ANGSURAN PPh PASAL 25 TAHUN PAJAK BERIKUTNYA DIHITUNG SEBESAR


F. ANGSURAN PPh

21
PASAL 25 TAHUN

-
DIHITUNG BERDASARKAN :

a. 1/12 X JUMLAH PADA ANGKA 16 c. PERHITUNGAN DALAM LAMPIRAN TERSENDIRI

b. X PERHITUNGAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU

SELAIN FORMULIR 1770 - I SAMPAI DENGAN 1770 - IV (BAIK YANG DIISI MAUPUN YANG TIDAK DIISI) HARUS DILAMPIRKAN PULA :

a. SURAT KUASA KHUSUS (BILA DIKUASAKAN) g. PERHITUNGAN ANGSURAN PPh PASAL 25 TAHUN PAJAK BERIKUTNYA
G. LAMPIRAN

b.
SSP LEMBAR KE-3 PPh PASAL 29 h. ............................................................................................................................

NERACA DAN LAP. LABA RUGI / REKAPITULASI BULANAN PEREDARAN BRUTO DAN/ATAU PENGHASILAN PERHITUNGAN PPh TERUTANG BAGI WAJIB PAJAK DENGAN STATUS PERPAJAKAN
c. LAIN DAN BIAYA i. PH ATAU MT
DAFTAR JUMLAH PENGHASILAN DAN PEMBAYARAN PPh PASAL 25 (KHUSUS UNTUK
d.
PERHITUNGAN KOMPENSASI KERUGIAN FISKAL j. X ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU)
BUKTI PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN OLEH PIHAK LAIN/DITANGGUNG PEMERINTAH DAN YANG DAFTAR JUMLAH PENGHASILAN BRUTO DAN PEMBAYARAN PPh FINAL
e. DIBAYAR/DIPOTONG DI LUAR NEGERI k. BERDASARKAN PP 46 TAHUN 2013 PER MASA PAJAK DAN PER TEMPAT USAHA

f.
FOTOKOPI FORMULIR 1721-A1 DAN/ATAU 1721-A2 (............LEMBAR) l. ............................................................................................................................

PERNYATAAN
Dengan menyadari sepenuhnya akan segala akibatnya termasuk sanksi-sanksi sesuai dengan ke tentuan perundang-undangan yang berlaku, saya TANDA TANGAN
menyatakan bahwa apa yang telah saya beritahukan di atas beserta lampiran-lampirannya adalah benar, lengkap dan jelas.

x WAJIB PAJAK KUASA TANGGAL: 3 1 0 3 2 0 2 0

NAMA LENGKAP : D A V I D David


NPWP : 0 5 5 5 5 5 5 5 5 0 5 5 0 0 0

F.1.1.32.16

98
LAMPIRAN - I
HALAMAN 1
2 0 1 9

FORMULIR

TAHUN PAJAK
SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
1770 - I PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA 0 1 1 9 s.d 1 2 1 9
KEMENTERIAN KEUANGAN RI DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS BAGI WAJIB PAJAK YANG
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK MENYELENGGARAKAN PEMBUKUAN PEMBUKUAN x PENCATATAN

PERHATIAN:
• SEBELUM MENGISI BACALAH PETUNJUK PENGISIAN
• ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
• BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP : 0 5 5 5 5 5 5 5 5 0 5 5 0 0 0

NAMA WAJIB PAJAK : D A V I D

BAGIAN A: PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS
(BAGI WAJIB PAJAK YANG MENYELENGGARAKAN PEMBUKUAN)

PEMBUKUAN / LAPORAN KEUANGAN : DIAUDIT OPINI AKUNTAN : TIDAK DIAUDIT

NAMA AKUNTAN PUBLIK :

:
NPWP AKUNTAN PUBLIK

NAMA KANTOR AKUNTAN PUBLIK :

:
NPWP KANTOR AKUNTAN PUBLIK
:
NAMA KONSULTAN PAJAK
:
NPWP KONSULTAN PAJAK
:
NAMA KANTOR KONSULTAN PAJAK
:
NPWP KANTOR KONSULTAN PAJAK

RUPIAH
1. PENGHASILAN DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS BERDASARKAN
LAPORAN KEUANGAN KOMERSIAL :
a. PEREDARAN USAHA 1a

b. HARGA POKOK PENJUALAN 1b

c. LABA/RUGI BRUTO USAHA (1a - 1b) 1c

d. BIAYA USAHA 1d

e. PENGHASILAN NETO (1c - 1d) 1e

2. PENYESUAIAN FISKAL POSITIF


a. BIAYA YANG DIBEBANKAN/DIKELUARKAN UNTUK KEPENTINGAN PRIBADI WAJIB PAJAK ATAU 2a
ORANG YANG MENJADI TANGGUNGANNYA
b. PREMI ASURANSI KESEHATAN, ASURANSI KECELAKAAN, ASURANSI JIWA, ASURANSI DWIGUNA,
DAN ASURANSI BEASISWA YANG DIBAYAR OLEH WAJIB PAJAK 2b

c. PENGGANTIAN ATAU IMBALAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN ATAU JASA YANG 2c


DIBERIKAN DALAM BENTUK NATURA ATAU KENIKMATAN
d. JUMLAH YANG MELEBIHI KEWAJARAN YANG DIBAYARKAN KEPADA PIHAK YANG MEMPUNYAI
HUBUNGAN ISTIMEWA SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN YANG DILAKUKAN 2d

e. HARTA YANG DIHIBAHKAN, BANTUAN ATAU SUMBANGAN 2e

f. PAJAK PENGHASILAN 2f

g. GAJI YANG DIBAYARKAN KEPADA PEMILIK / ORANG YANG MENJADI TANGGUNGANNYA 2g

h. SANKSI ADMINISTRASI 2h

i. SELISIH PENYUSUTAN/AMORTISASI KOMERSIAL DIATAS PENYUSUTAN/ AMORTISASI


2i
FISKAL
j. BIAYA UNTUK MENDAPATKAN, MENAGIH DAN MEMELIHARA PENGHASILAN YANG DIKENAKAN
2j
PPh FINAL DAN PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK

k. PENYESUAIAN FISKAL POSITIF LAINNYA 2k

l. JUMLAH (2a s.d. 2k) 2l

3. PENYESUAIAN FISKAL NEGATIF:


a. PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh FINAL DAN PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK 3a
OBJEK PAJAK TETAPI TERMASUK DALAM PEREDARAN USAHA
b. SELISIH PENYUSUTAN / AMORTISASI KOMERSIAL DI BAWAH PENYUSUTAN AMORTISASI FISKAL
3b

c. PENYESUAIAN FISKAL NEGATIF LAINNYA 3c

d. JUMLAH (3a s.d. 3c) 3d

4 JUMLAH BAGIAN A (1e + 2l - 3d) 4

Pindahkan Jumlah Bagian A (angka 4) ke Formulir 1770 Angka 1

99
HALAMAN 2 LAMPIRAN - I
2 0 1 9

FORMULIR

TAHUN PAJAK
SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
1770 - I • PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN
BEBAS BAGI WAJIB PAJAK YANG MENYELENGGARAKAN PENCATATAN
0 1 1 9 s.d 1 2 1 9

KEMENTERIAN KEUANGAN RI • PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN BL TH BL TH

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK • PENGHITUNGAN PENGHASILAN DALAM NEGERI LAINNYA PEMBUKUAN X PENCATATAN

PERHATIAN :
• SEBELUM MENGISI BACALAH PETUNJUK PENGISIAN
• •
ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP : 0 5 5 5 5 5 5 5 5 0 5 5 0 0 0

NAMA WAJIB PAJAK : D A V I D

BAGIAN B: PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS
(BAGI WAJIB PAJAK YANG MENYELENGGARAKAN PENCATATAN)

PEREDARAN USAHA NORMA PENGHASILAN NETO


NO. JENIS USAHA
(Rupiah) (%) (Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5)

1 DAGANG 1,500,000,000 15% 225,000,000

2 INDUSTRI

3 JASA

4 PEKERJAAN BEBAS

5 USAHA LAINNYA

JUMLAH BAGIAN B 1,500,000,000 JBB 225,000,000

Pindahkan Jumlah Bagian B Kolom (5) ke Formulir 1770 Angka 1

BAGIAN C : PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN


(TIDAK TERMASUK PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh BERSIFAT FINAL)
PENGURANGAN PENGHASILAN
NAMA DAN NPWP PENGHASILAN BRUTO PENGHASILAN NETO
NO. BRUTO/BIAYA
PEMBERI KERJA
(Rupiah) (Rupiah) (Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5)

1 - - -

JUMLAH BAGIAN C JBC -


Pindahkan Jumlah Bagian C Kolom (5) ke Formulir 1770 Angka 2

BAGIAN D : PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI LAINNYA


(TIDAK TERMASUK PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh BERSIFAT FINAL)

JUMLAH PENGHASILAN NETO


NO. JENIS PENGHASILAN
(Rupiah)
(1) (2) (3)

1 BUNGA
-
2 ROYALTI

3 SEWA
50,000,000
4 PENGHARGAAN DAN HADIAH

5 KEUNTUNGAN DARI PENJUALAN/PENGALIHAN HARTA


12,500,000
6 PENGHASILAN LAINNYA

JUMLAH BAGIAN D JBD 62,500,000


Pindahkan Jumlah Bagian D ke Formulir 1770 Angka 3

JIKA FORMULIR INI TIDAK MENCUKUPI, DAPAT DIBUAT SENDIRI SESUAI DENGAN BENTUK INI Halaman ke - dari halaman Lampiran -II

100
LAMPIRAN - II
2 0 1 9

FORMULIR

TAHUN PAJAK
1770 - II SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
DAFTAR PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PPh OLEH PIHAK LAIN, 0 1 1 9 s.d 1 2 1 9
KEMENTERIAN KEUANGAN RI
PPh YANG DIBAYAR/DIPOTONG DI LUAR NEGERI DAN BL TH BL TH

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK


PPh DITANGGUNG PEMERINTAH
PEMBUKUAN X PENCATATAN

PERHATIAN :
• SEBELUM MENGISI BACALAH PETUNJUK PENGISIAN
• ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
• BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP : 0 5 5 5 5 5 5 5 5 0 5 5 0 0 0

NAMA WAJIB PAJAK : D A V I D

BAGIAN A : DAFTAR PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PPh OLEH PIHAK LAIN, PPh YANG DIBAYAR / DIPOTONG DI LUAR NEGERI DAN PPh
DITANGGUNG PEMERINTAH

NAMA NPWP BUKTI JUMLAH PPh YANG DIPOTONG /


PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN JENIS PAJAK : PPh PASAL
NO PEMOTONG/PEMUNGUT PEMOTONG/PEMUNGUT DIPUNGUT
21/ 22/23/24/26/DTP *)
PAJAK PAJAK (Rupiah)
NOMOR TANGGAL
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1 PT. ABC 01.111.111.1-011.000 1 1/4/2019 PPh Pasal 23 1,000,000

10

11

12

13

14

15
dst

JUMLAH BAGIAN A JBA 1,000,000

Pindahkan Jumlah Bagian A Kolom 7 ke Formulir 1770 Angka 15

*) - DTP = PPh Ditanggung Pemerintah


- Kolom (6) diisi dengan pilihan sebagai berikut : 21 / 22 / 23 / 24 /26/ DTP (Contoh : ditulis 21, 22, 23, 24, 26, DTP)
- Jika terdapat kredit pajak PPh Pasal 24, maka jumlah yang diisi adalah maksimum yang dapat dikreditkan sesuai lampiran tersendiri
(lihat petunjuk pengisian tentang Lampiran II Bagian A dan Induk SPT angka 4)

JIKA FORMULIR INI TIDAK MENCUKUPI, DAPAT DIBUAT SENDIRI SESUAI DENGAN BENTUK INI Halaman ke - dari halaman Lampiran-II

101
LAMPIRAN - III
2 0 1 9

FORMULIR
1770 - III

TAHUN PAJAK
SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PAJAK FINAL DAN/ATAU
• BERSIFAT FINAL
0 1 1 9 s.d 1 2 1 9

KEMENTERIAN KEUANGAN RI • PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK BL TH BL TH

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PENGHASILAN ISTERI/SUAMI YANG DIKENAKAN PAJAK SECARA


• TERPISAH
PEMBUKUAN x PENCATATAN

PERHATIAN : • SEBELUM MENGISI BACALAH PETUNJUK PENGISIAN


• ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
• BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP : 0 5 5 5 5 5 5 5 5 0 5 5 0 0 0

NAMA WAJIB PAJAK : D A V I D

BAGIAN A : PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PAJAK FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL

DASAR PENGENAAN PPh TERUTANG


NO JENIS PENGHASILAN
PAJAK/PENGHASILAN BRUTO (Rupiah)
(1) (2) (3) (4)

BUNGA DEPOSITO, TABUNGAN, DISKONTO SBI, SURAT BERHARGA


1.
NEGARA

2. BUNGA/DISKONTO OBLIGASI

30,000,000 30,000
3. PENJUALAN SAHAM DI BURSA EFEK

4. HADIAH UNDIAN

PESANGON, TUNJANGAN HARI TUA DAN TEBUSAN


5.
PENSIUN YANG DIBAYAR SEKALIGUS

6. HONORARIUM ATAS BEBAN APBN / APBD

7. PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

BANGUNAN YANG DITERIMA DALAM RANGKA BANGUNAN GUNA


8.
SERAH

40,000,000 4,000,000
9. SEWA ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

10. USAHA JASA KONSTRUKSI

11. PENYALUR/DEALER/AGEN PRODUK BBM

BUNGA SIMPANAN YANG DIBAYARKAN OLEH KOPERASI KEPADA


12.
ANGGOTA KOPERASI

13. PENGHASILAN DARI TRANSAKSI DERIVATIF

14. DIVIDEN

15. PENGHASILAN ISTERI DARI SATU PEMBERI KERJA

PENGHASILAN LAIN YANG DIKENAKAN PAJAK FINAL


16.
DAN/ATAU BERSIFAT FINAL

17. JUMLAH (1 s.d. 16) 4,030,000

BAGIAN B : PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK


PENGHASILAN BRUTO
NO SUMBER/JENIS PENGHASILAN
(Rupiah)
(1) (2) (3)

1. BANTUAN / SUMBANGAN / HIBAH

2. WARISAN -

BAGIAN LABA ANGGOTA PERSEROAN KOMANDITER TIDAK ATAS SAHAM, PERSEKUTUAN,


3.
PERKUMPULAN, FIRMA, KONGSI

4. KLAIM ASURANSI KESEHATAN, KECELAKAAN, JIWA, DWIGUNA, BEASISWA

5. BEASISWA

6. PENGHASILAN LAIN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK

JUMLAH BAGIAN B JBB -

BAGIAN C : PENGHASILAN ISTERI/SUAMI YANG DIKENAKAN PAJAK SECARA TERPISAH


(Rupiah)

PENGHASILAN NETO ISTERI/SUAMI YANG DIKENAKAN PAJAK SECARA TERPISAH

102
FORMULIR
LAMPIRAN - IV
1770 - IV 2 0 1 9

TAHUN PAJAK
SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI

• HARTA PADA AKHIR TAHUN 0 1 1 9 s.d 1 2 1 9


KEMENTERIAN KEUANGAN RI
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK • KEWAJIBAN/UTANG PADA AKHIR TAHUN BL TH BL TH

• DAFTAR SUSUNAN ANGGOTA KELUARGA PEMBUKUAN x PENCATATAN

PERHATIAN
• SEBELUM MENGISI BACALAH PETUNJUK PENGISIAN
• ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
• BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP : 0 5 5 5 5 5 5 5 5 0 5 5 0 0 0

NAMA WAJIB PAJAK : D A V I D

BAGIAN A : HARTA PADA AKHIR TAHUN

KODE HARGA PEROLEHAN


NO. NAMA HARTA TAHUN PEROLEHAN KETERANGAN
HARTA (Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1 043 Mobil Asemka 2018 200,000,000 B 1234 STA

2 061 Rumah di Pondok Safari 2019 1,000,000,000 NO. SERTIFIKAT 01

3 062 Ruko 2000 1,000,000,000 NO. SERTIFIKAT 02

4 055 Alat Fotografi 2000 1,000,000,000

10 dst

JUMLAH BAGIAN A JBA 3,200,000,000

BAGIAN B : KEWAJIBAN/UTANG PADA AKHIR TAHUN

KODE JUMLAH
NO. NAMA PEMBERI PINJAMAN ALAMAT PEMBERI PINJAMAN TAHUN PEMINJAMAN
UTANG (Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

10 dst

JUMLAH BAGIAN B JBB


-

BAGIAN C : DAFTAR SUSUNAN ANGGOTA KELUARGA

NO. NAMA ANGGOTA KELUARGA NIK HUBUNGAN KELUARGA PEKERJAAN

(1) (2) (3) (4) (5)

1 DWI 01010101 ISTRI -

2 ITA 02020202 ANAK -

3 SRI 03030303 ANAK -

4
5
dst

JIKA FORMULIR INI TIDAK MENCUKUPI, DAPAT DIBUAT SENDIRI SESUAI DENGAN BENTUK INI Halaman ke- dari halaman Lampiran-IV

103
Daftar Jumlah Penghasilan dan Pembayaran PPh Pasal 25
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu

Nama : David
NPWP : 05.555.555.5-055.000
Alamat : Bintaro Tangerang Banten

NPWP Tempat Usaha Peredaran Bruto Pedagang


No. Alamat PPh Pasal 25 Dibayar
KPP Lokasi Pengecer

1 05.555.555.5-055.000 Bintaro 1,000,000,000 7,500,000

2 05.555.555.5-055.001 Bandung 500,000,000 3,750,000

Jumlah 1,500,000,000 11,250,000

Tanda Tangan, Nama dan Cap

David
DAVID

Jika formulir ini tidak mencukupi, dapat dibuat sendiri sesuai dengan bentuk ini

Halaman ke- ……. dari ……. halaman

104
7. Soal Latihan Bab VI
Informasi berikut berlaku untuk soal nomor 1 s.d. 3.
Pak Setya tinggal di Surabaya dan memiliki usaha penjualan buku di Jogjakarta dengan
hasil penjualan sebesar Rp2.860.000.000,00 pada tahun 2019. Pada akhir tahun 2018
Pak Setya telah menyampaikan pemberitahuan kepada KPP bahwa dia memilih
dikenakan tarif umum PPh Pasal 17 untuk tahun 2019. Pak Setya tidak menyelenggarakan
pembukuan dan telah memenuhi persyaratan formal untuk menggunakan pencatatan.

1. Yang benar terkait kewajiban pajak Pak Setya tahun 2019 adalah ....
a. penghasilan neto tahun 2019 dihitung dengan mengunakan norma penghitungan
penghasilan neto
b. tahun pajak 2019 Pak Setya dikenakan PP 23/2018
c. penghasilan neto tahun 2019 adalah nol jika tidak terdapat penghasilan lainnya
d. penghasilan dari penjualan buku dikaterogikan sebagai penghasilan dalam negeri
lainnya

2. Angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun pajak 2020 adalah ....


a. 1/12 dari pajak yang harus dibayar sendiri tahun 2019
b. 0,75% dari omzet per bulan di tahun 2020
c. dihitung dengan mengeluarkan penghasilan neto tidak teratur
d. nol

3. Berdasarkan soal di atas, penghasilan dari usaha tersebut dicantumkan di SPT pada
bagian….
a. Penghasilan yang Dikenakan Pajak Final dan/atau Bersifat Final
b. Penghasilan Neto Dalam Negeri Sehubungan dengan Pekerjaan
c. Penghasilan Neto Dalam Negeri Lainnya
d. Penghasilan Neto Dalam Negeri dari Usaha dan/atau Pekerjaan Bebas

4. Jika Tn Satya tidak memilih untuk dikenakan tarif umum PPh Pasal 17, penghasilan
dari usaha tersebut dicantumkan di SPT pada bagian….
a. Penghasilan yang Dikenakan Pajak Final dan/atau Bersifat Final
b. Penghasilan Neto Dalam Negeri Sehubungan dengan Pekerjaan
c. Penghasilan Neto Dalam Negeri Lainnya
d. Penghasilan Neto Dalam Negeri dari Usaha dan/atau Pekerjaan Bebas

5. Pengenaan pajak 0,5% berdasarkan PP 23/2018 dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh
OP 1770 pada bagian ….
e. Penghasilan yang Dikenakan Pajak Final dan/atau Bersifat Final
f. Penghasilan Neto Dalam Negeri Sehubungan dengan Pekerjaan
g. Penghasilan Neto Dalam Negeri Lainnya
h. Penghasilan Neto Dalam Negeri dari Usaha dan/atau Pekerjaan Bebas

6. Penjualan kebun dengan mendapatkan kerugian, dalam SPT 1770 dilaporkan dalam
bagian ….
a. Penghasilan Neto Dalam Negeri Lainya, bagian “Keuntungan dari
Penjualan/Pengalihan Harta”
b. Penghasilan yang Dikenakan Pajak Final, bagian “Pengalihan Hak atas Tanah dan
Bangunan”
c. Penghasilan yang Tidak Termasuk Objek Pajak, bagian “Penghasilan Lain”
d. tidak dilaporkan

7. Pernyataan berikut yang benar mengenai pemindahan informasi jumlah pengurang


penghasilan bruto dari formulir 1721-A1/A2 ke dalam SPT Tahunan adalah ….

105
a. bisa dipindahkan ke lampiran SPT 1770
b. bisa dipindahkan ke lampiran SPT 1770 S
c. bisa dipindahkan ke induk SPT 1770
d. bisa dipindahkan ke lampiran SPT 1770 SS

8. Yang termasuk pekerjaan bebas adalah ….


a. Firma ABC memberikan jasa audit pada PT DEF
b. Ifa, S. Tr. Ak., C.A., akuntan berstatus PNS Kementerian Keuangan bertugas
mengawasi lembaga profesi akuntansi dan perpajakan
c. Rini, S.H., lulusan spesialisasi penasihat hukum menjadi pegawai tetap di Kantor
Pengacara PQR
d. Heliya, Ak., mantan PNS, menjadi motivator

9. Ibu Suci merupakan pedagang batik. Ia memiliki tiga buah toko batik Solo yang berlokasi
di Pasar Tanah Abang, ITC Mangga Dua, dan Depok. Pada tahun pajak 2018 lalu,
omset keseluruhan tokonya Rp6.750.000.000,00. (tahun 2017 menggunakan
perhitungan sesuai PP 46) Ibu Suci tidak memiliki penghasilan lain selain dari toko
batiknya tersebut. Pada tahun pajak 2019 pelaksanaan kewajiban perpajakan Ibu Suci
adalah ….
a. angsuran PPh Pasal 25 tiap bulan adalah 0,75% x peredaran bruto per bulan,
karena Ibu Suci merupakan WP orang pribadi pengusaha tertentu (OPPT)
b. angsuran PPh Pasal 25 adalah berdasarkan perhitungan pada SPT Tahunan PPh
OP tahun pajak 2017
c. awal tahun 2018 ini Ibu Suci menyampaikan pemberitahuan penggunaan norma
penghitungan penghasilan neto untuk tahun pajak 2018, maka penghitungan
angsuran PPh Pasal 25-nya menggunakan norma
d. tiap bulan Ibu Suci menyetor PPh Pasal 4 ayat (2) Final sebesar 0,5% x
Penghasilan Bruto.

10. Sehubungan dengan nomor diatas, perhitungan PPh selama tahun 2018 tersebut…
a. angsuran PPh Pasal 25 tiap bulan adalah 0,75% x peredaran bruto per bulan, karena
Ibu Suci merupakan WP orang pribadi pengusaha tertentu (OPPT)
b. angsuran PPh Pasal 25 adalah berdasarkan perhitungan pada SPT Tahunan PPh
OP tahun pajak 2017 dibagi 12.
c. Penghitungan angsuran PPh Pasal 25-nya menggunakan norma
d. tiap bulan Ibu Suci menyetor PPh Pasal 4 ayat (2) Final dari jumlah bruto.

Perhitungan Angsuran Bagi WP OPPT

Wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu dengan omzet hingga Rp4,8 miliar
setahun (UMKM) dapat memilih memanfaatkan skema khusus pajak final 0,5 persen
(skema pajak final) atau memilih skema pajak umum (non-final).
UMKM yang memilih skema pajak final, maka cukup membayar PPh final 0,5
persen dari omzet sehingga tidak perlu membayar angsuran PPh pasal 25 sebesar
0,75 persen.
UMKM yang memilih skema umum atau non-final, maka berlaku pembayaran
angsuran PPh pasal 25 sebesar 0,75 persen.
Bagi wajib pajak pengusaha tertentu dengan omzet lebih dari Rp4,8 miliar setahun
(non-UMKM), maka tidak dapat menggunakan skema PPh final sehingga wajib
membayar angsuran PPh pasal 25 sebesar 0,75 persen.
Yang dimaksud dengan wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu adalah wajib
pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan atau jasa, tidak
termasuk jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, pada satu atau lebih tempat
kegiatan usaha yang berbeda dengan tempat tinggal wajib pajak.
---Q---

106
BAB VII

PPh bagi OP yang Menjalankan Pekerjaan Bebas (Nonpembukuan)

Tujuan:
Mahasiswa mampu menghitung Pajak Penghasilan Akhir Tahun bagi WP OP (tidak
pembukuan) yang menjaiankan pekerjaan bebas, serta mengisi SPT Tahunan PPh OP
(Formuiir 1770)

1. Menghitung PPh Akhir Tahun WP OP Nonpembukuan yang Menjalankan Pekerjaan


Bebas
WP Orang Pribadi yang melakukan pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam
1 tahun kurang dari Rp. 4.800.000.000, boleh menghitung penghasilan neto dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dengan syarat memberitahukan
kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun
pajak yang bersangkutan (Pasal 14 ayat (2) UU PPh). WP OP tersebut wajib
menyelenggarakan pencatatan, kecuali Wajib Pajak yang bersangkutan memilih
menyelenggarakan pembukuan.
Pemberitahuan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang
disampaikan dalam jangka waktu tersebut dianggap disetujui kecuali berdasarkan hasil
pemeriksaan ternyata Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Jenis pekerjaan bebas yaitu:
1) tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, PPAT, penilai, dan aktuaris;
2) pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain
drama, dan penari;
3) olahragawan;
4) penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5) pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6) agen iklan;
7) pengawas atau pengelola proyek;
8) perantara;
9) petugas penjaja barang dagangan;
10) agen asuransi;
11) distributor perusahaan pemasaran berjenjang atau penjualan langsung dan
kegiatan sejenis lainnya.
Setelah diketahui jenis pekerjaanya, perhitungan berikutnya dengan melihat
presentase penghasilan neto sesuai dalam PER-17/PJ/2015. Besarnya norma yang
digunakan tergantung dari wilayah diperolehnya penghasilan. Ada 3 kelompok wilayah
yang tertuang dalam Pasal 4 PER-17/PJ/2015 yang berisi Daftar Persentase Norma
penghitungan Penghasilan Neto dikelompokkan menurut wilayah sebagai berikut:
a. 10 (sepuluh) ibukota propinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung,
Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak;
b. ibukota propinsi lainnya;
c. daerah lainnya
Perlu diperhatikan ada 3 lampiran PER-17/PJ/2015 yaitu:
 Lampiran I : Daftar persentase Norma penghitungan Penghasilan Neto untuk
WP OP yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan norma
penghitungan penghasilan neto.
 Lampiran II : Daftar persentase Norma penghitungan Penghasilan Neto untuk
WP OP yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan
pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan
atau bukti-bukti pendukungnya.

107
 Lampiran III : Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk
Wajib Pajak badan yang tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan
pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau bukti-bukti
pendukungnya.
Untuk menghitung besarnya norma penghasilan neto gunakan presentase dalam
Lampiran I PER-17/PJ/2015 tersebut.
Penghitungan penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis
usaha atau pekerjaan bebas, dilakukan terhadap masing-masing jenis usaha atau
pekerjaan bebas dengan memperhatikan pengelompokan wilayah pengenaan norma.
(Pasal 5 ayat (1) PER-17/PJ/2015)
Penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau
pekerjaan bebas adalah penjumlahan penghasilan neto dari masing-masing jenis
usaha atau pekerjaan bebas yang dihitung. (Pasal 5 ayat (2) PER-17/PJ/2015)
Penghasilan neto bagi tiap jenis usaha dihitung dengan cara mengalikan angka
persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan peredaran bruto atau
penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dalam 1 (satu) Tahun
Pajak. (Pasal 6 ayat (1) PER-17/PJ/2015)
Dalam menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang terutang oleh WP OP,
sebelum dilakukan penerapan tarif umum Pajak Penghasilan, terlebih dahulu dihitung
Penghasilan Kena Pajak dengan mengurangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak dari
penghasilan neto tersebut. (Pasal 6 ayat (2) PER-17/PJ/2015)

WP OP yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk


menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan. (Pasal 14
ayat (4) UU PPh dan Pasal 2 ayat (3) PER-17/PJ/2015)

2. WP OP dengan Penghasilan Lainnya


WP OP dapat memperoleh penghasilan lainnya yang meliputi besarnya penghasilan
neto dalam negeri lainnya yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sendiri dan anggota
keluarganya dalam Tahun Pajak yang bersangkutan, tidak termasuk penghasilan yang
telah dikenakan PPh final dan/atau PPh bersifat final serta penghasilan yang tidak
termasuk objek pajak. Penghasilan-penghasilan ini meliputi:
1) Bunga, dalam pengertian bunga termasuk premium, diskonto, bagi usaha berbasis
syariah dan imbalan lain sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, baik yang
dijanjikan maupun tidak, yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sendiri dan anggota
keluarganya.
2) Royalti, yang dimaksud dengan royalti adalah setiap imbalan dengan nama apapun
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sendiri dan anggota keluarganya
sehubungan dengan penyerahan penggunaan hak kepada pihak lain, berupa:
 hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang,
formula, atau rahasia perusahaan;
 hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu
pengetahuan;
 informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun
mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau bidang
usaha lainnya.
3) Sewa, Yang dimaksud dengan sewa adalah setiap imbalan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak sendiri dan anggota keluarganya sehubungan dengan
penggunaan harta selain sewa tanah dan/atau bangunan oleh pihak lain, harta gerak
misalnya sewa pemakaian mobil, sewa alat-alat berat.
4) Penghargaan dan hadiah yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sendiri dan
anggota keluarganya merupakan penghasilan. Jenis hadiah dan penghargaan untuk
tujuan pemajakan dapat dibedakan:

108
d. Hadiah dan penghargaan perlombaan, yang diberikan melalui suatu perlombaan
atau adu ketangkasan, misalnya dari:
- perlombaan olah raga;
- kontes kecantikan/busana, kontes lainnya;
- kuis di televisi/radio;
- kegiatan perlombaan atau adu ketangkasan lainnya.
e. Penghargaan atas suatu prestasi tertentu, misalnya penghargaan atas penemuan
benda purbakala, penghargaan dalam menjualkan suatu produk.
f. Hadiah sehubungan dengan pekerjaan pemberian jasa dan kegiatan lainnya yang
pemberiannya tidak melalui cara undian atau perlombaan.
Tidak termasuk dalam pengertian hadiah atau penghargaan yang dikenakan pajak
adalah hadiah langsung dalam penjualan barang/jasa, sepanjang:
7. diberikan kepada semua pembeli/konsumen akhir tanpa diundi;
8. diterima langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang/jasa.
5) Keuntungan dari penjualan/pengalihan harta dan penghasilan lainnya, ialah
penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak sendiri dan anggota
keluarganya sehubungan dengan penjualan/pengalihan harta, termasuk:
d. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
e. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil,
yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
f. Keuntungan karena penjualan harta pribadi, misalnya saham yang tidak
diperdagangkan di bursa efek.
6) Penghasilan Lainnya misalnya:
g. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
h. keuntungan karena pembebasan utang;
i. penerimaan dari piutang yang telah dihapuskan;
j. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
k. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak;
l. penghasilan dari anak/anak angkat yang belum dewasa.

3. Menghitung Angsuran PPh Pasal 25 tahun berikutnya


Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan dalam
Tahun Pajak berjalan untuk suatu bulan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang PPh. Angsuran ini hanya
diperuntukkan bagi WP Orang Pribadi yang menghitung pajaknya berdasarkan pasal 17.
Jadi tidak berlaku bagi telah dikenakan PPh Final atau bersifat final.
Menghitung Angsuran PPh Pasal 25 tahun berikutnya untuk WPOP yang melakukan
pekerjaan bebas dapat dihitung sebagai berikut:
a. Dilakukan dengan jumlah angsuran bulanan PPh Pasal 25 Tahun Pajak berikutnya
yang dihitung 1/12 dari jumlah PPh yang harus dibayar sendiri. Angsuran Pajak
Penghasilan Pasal 25 adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Tahun Pajak yang lalu
dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 Undang-Undang PPh dan Pasal 23 Undang-Undang PPh serta Pajak
Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang
PPh dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian Tahun Pajak.
b. Penghitungan dalam lampiran tersendiri apabila:
1) Terdapat sisa kerugian tahun sebelumnya yang dikompensasikan

109
Apabila jumlah sisa kerugian habis dikompensasi dengan penghasilan neto Tahun
Pajak yang bersangkutan atau Tahun Pajak yang bersangkutan merupakan Tahun
Pajak terakhir untuk dapat melakukan kompensasi kerugian, maka angsuran
bulanan PPh Pasal 25 Tahun Pajak berikutnya dihitung atas dasar penghasilan
neto Tahun Pajak yang bersangkutan dan tanpa memperhitungkan kompensasi
kerugian.
2) Terdapat penghasilan tidak teratur
Penghasilan tidak teratur (tidak termasuk dalam penghasilan teratur) misalnya dari
keuntungan selisih kurs dari utang/piutang dalam mata uang asing dan
keuntungan dari pengalihan harta sepanjang bukan merupakan penghasilan dari
kegiatan usaha pokok serta penghasilan lainnya yang bersifat insidentil.
3) Terdapat Pembayaran Zakat atas Penghasilan
Dalam hal terdapat zakat atas penghasilan yang nyata-nyata di bayarkan oleh
Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, terdapat hal-
hal tertentu (terdapat sisa kerugian tahun sebelumnya yang dikompensasikan atau
terdapat penghasilan tidak teratur), maka penghitungan angsuran PPh pasal 25
mengikuti pola penghitungan sebagaimana contoh penghitungan angsuran PPh
Pasal 25 sebelumnya dengan memperhitungkan zakat atas penghasilan yang
telah dibayarkan.

4. WP OP dengan status kewajiban perpajakan suami-istri PH atau MT


WP OP dengan status kewajiban perpajakan suami istri dalam hal:
a) Suami dan istri melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis
(PH);
b) Istri memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri (MT);
penghasilan neto dalam negeri dari usaha dan/atau pekerjaan bebas yang diterima atau
diperoleh istri, dilaporkan secara terpisah dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi istri
sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi tersendiri. Berarti baik penghasilan dan kerugiannya
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan masing-masing pihak.
Suami dan istri wajib membuat dan melampirkan penghitungan Pajak Penghasilan
yang terutang berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami dan istri.
Suami dan istri yang memiliki penghasilan tersebut wajib menggunakan Formulir 1770
atau Formulir 1770 S beserta Lampiran-Lampirannya.

Contoh:
Wajib Pajak A (K/3) memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar Rp
150.000.000, mempunyai seorang istri dari pekerjaan bebas dengan penghasilan neto
sebesar Rp 100.000.000. NPWP dimiliki oleh A yang berbeda dengan istri. WP A
mengadakan perjanjian pemisahan penghasilan secara tertulis (PH) dengan 3 orang anak
yang semuanya ditanggung suami, Jika keduanya menggunakan perhitungan pajak
dengan menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto, maka perhitungan pajaknya
dilakukan sbb:
Penghitungan PPh terutang : Suami Istri
Penghasilan Neto suami 150,000,000
Penghasilan Neto istri 100,000,000
Jumlah penghasilan neto 150,000,000 100,000,000

Jumlah penghasilan neto suami+istri 250,000,000


PTKP (K/I/3) 126,000,000
Penghasilan Kena Pajak 124,000,000
PPh terutang:
5 % x Rp 50.000.000 2,500,000

110
15% x Rp74.000.000 11,100,000
Jumlah 13,600,000

PPh Terutang ditanggung suami 8,160,000


(150.000.000/250.000.000*13.600.000
PPh Terutang ditanggung istri 5,440,000
(100.000.000/250.000.000*13.600.000

5. Mengisi SPT Tahunan dengan Formulir 1770


Contoh Penghitungan :
Nona Aurelia menjalankan usaha kantor akuntan publik di Jakarta. Sepanjang tahun
2018, Nona Aurelia memiliki peredaran usaha dari jasa kantor akuntan publik sebesar Rp1
miliar. Nona Aurelia telah menyampaikan pemberitahuan mengenai penggunaan Norma
Penghitungan kepada Direktur Jenderal Pajak 3 bulan sejak awal Tahun Pajak 2018.
Karena penghasilan yang diperoleh Nona Aurelia pada tahun 2018 dari usaha jasa kantor
akuntan publik tidak melebihi Rp4,8 miliar, maka Nona Aurelia boleh menghitung
penghasilan neto atas penghasilan yang diperoleh dari jasa kantor akuntan publik dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Penghitungan Pajak Penghasilan
Nona Aurelia yang terutang pada Tahun Pajak 2018 adalah sebagai berikut:
Persentase penghasilan neto jasa kantor akuntan publik di kota Jakarta adalah sesuai
dengan norma KLU 69200 untuk 10 ibukota provinsi yaitu sebesar 50%.

Penghasilan Neto dari jasa kantor akuntan publik: 50% x 500.000.000


Rp1.000.000.000 =
Penghasilan Tidak Kena Pajak setahun untuk diri Wajib Pajak 54.000.000
sendiri =
Penghasilan Kena Pajak 446,000,000
Pajak Penghasilan terutang:
5% x Rp 50.000.000 2.500.000
15% x Rp200.000.000 30.000.000
25% x Rp196.000.000 49,000,000
Jumlah 81,500,000

Informasi lainnya:
- Tgl 1 Juni menjual tanah sebesar Rp 200.000.000; kepada Tn Budi.
- Memperoleh hadiah undian Rp 1 M dari Bank Mandiri.
- Memperoleh deviden dari saham pada PT. XYZ Rp 10.000.000;
- Data asset sbb:

111
NAMA HARTA TAHUN HARGA PEROLEHAN KETERANGAN
PEROLEHAN (Rupiah)
Mobil Jaguar 2016 700,000,000 B 1009 ELU

Rumah di Pondok Indah 2000 4,000,000,000 No Sertifikat 01

Tabungan 2000 5,000,000,000 No. rek. 110.0000.000

Saham PT. XYZ 2000 1,000,000,000 No. saham 1001

112
2 0 1 8

FORMULIR
SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
1770

TAHUN PAJAK
BAGI WAJIB PAJAK YANG MEMPUNYAI PENGHASILAN :
0 1 1 8 1 2 1 8

s.d
DARI USAHA/PEKERJAAN BEBAS;
KEMENTERIAN KEUANGAN RI • DARI SATU ATAU LEBIH PEMBERI KERJA; BL TH BL TH
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
• YANG DIKENAKAN PPh FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL; DAN/ATAU PEMBUKUAN X PENCATATAN
• DALAM NEGERI LAINNYA/LUAR NEGERI.
SPT PEMBETULAN KE - …….
PERHATIAN
• SEBELUM MENGISI BACALAH PETUNJUK PENGISIAN
• ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
• BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP : 0 7 7 7 7 7 7 7 7 0 7 7 0 0 0

NAMA WAJIB PAJAK : A U R E L I A

JENIS USAHA/PEKERJAAN BEBAS : A K U N T A N KLU : 6 9 2 0 0


IDENTITAS

NO. TELEPON/FAKSIMILI : 0 2 1 1 1 1 / 0 8 0 9 1 0 0 0 0
STATUS KEWAJIBAN PERPAJAKAN : X KK HB PH MT
SUAMI-ISTERI
NPWP ISTERI/SUAMI :

Permohonan perubahan data disampaikan terpisah dari pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi ini, dengan menggunakan Formulir
Perubahan Data Wajib Pajak dan dilengkapi dokumen yang disyaratkan.
*) Pengisian kolom-kolom yang berisi nilai rupiah harus tanpa nilai desimal (contoh penulisan lihat petunjuk pengisian halaman 3) RUPIAH *)
1. PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS
1 500,000,000
[Diisi dari Formulir 1770 - I Halaman 1 Jumlah Bagian A atau Formulir 1770 - I Halaman 2 Jumlah Bagian B Kolom 5]
A. PENGHASILAN NETO

2. PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN


2 -
[Diisi dari Formulir 1770 - I Halaman 2 Jumlah Bagian C Kolom 5]
3. PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI LAINNYA
3 -
[Diisi dari Formulir 1770 - I Halaman 2 Jumlah Bagian D Kolom 3]
4 4. PENGHASILAN NETO LUAR NEGERI
4 -
[Apabila memiliki penghasilan dari luar negeri agar diisi dari Lampiran Tersendiri, lihat petunjuk pengisian]
5. JUMLAH PENGHASILAN NETO (1 + 2 + 3 + 4)
5 500,000,000
…………………………………………………………………………………………………………………………..
6. ZAKAT / SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG BERSIFAT WAJIB
6 -

7. JUMLAH PENGHASILAN NETO SETELAH PENGURANGAN ZAKAT /SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG


7 500,000,000
SIFATNYA WAJIB ( 5- 6)

8. KOMPENSASI KERUGIAN
8 -
B. PENGHASILAN
KENA PAJAK

9. JUMLAH PENGHASILAN NETO SETELAH KOMPENSASI KERUGIAN (7 - 8)


9 500,000,000

10. PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK


TK / 0 K/ K / I/ 10 54,000,000

11. PENGHASILAN KENA PAJAK (9 -10)


11 446,000,000

PPh TERUTANG (TARIF PASAL 17 UU PPh X ANGKA 11)


12. [Bagi Wajib Pajak dengan status PH / MT diisi dari Lampiran Perhitungan PPh Terutang sebagaimana dimaksud dalam bagian G: Lampiran huruf i] 12 81,500,000
TERUTANG
C. PPh

13. PENGEMBALIAN/PENGURANGAN PPh PASAL 24 YANG TELAH DIKREDITKAN


13 -

14. JUMLAH PPh TERUTANG ( 12 + 13)


14 81,500,000

15. PPh YANG DIPOTONG / DIPUNGUT OLEH PIHAK LAIN, PPh YANG DIBAYAR / DIPOTONG DI LUAR NEGERI
DAN PPh DITANGGUNG PEMERINTAH [Diisi dari formulir 1770 -II Jumlah Bagian A Kolom 7]
15 -
D. KREDIT PAJAK

16. X a. PPh YANG HARUS DIBAYAR SENDIRI


(14-15) 16 81,500,000
b. PPh YANG LEBIH DIPOTONG/DIPUNGUT

17. PPh YANG DIBAYAR SENDIRI a. PPh PASAL 25 BULANAN


17a -

b. STP PPh PASAL 25 (HANYA POKOK PAJAK)


17b -

18. JUMLAH KREDIT PAJAK (17a+17b)


18 -
E. PPh KURANG/ LEBIH

19. a. X PPh YANG KURANG DIBAYAR (PPh PASAL 29) TGL 3 0 0 3 1 9


(16-18) LUNAS 19 81,500,000
b. PPh YANG LEBIH DIBAYAR (PPh PASAL 28 A) tgl bln thn
BAYAR

20. PERMOHONAN : PPh Lebih Bayar pada 19.b mohon DIKEMBALIKAN DENGAN SKPPKP PASAL 17C (WP
a. DIRESTITUSIKAN c. dengan Kriteria Terte ntu)
DIPERHITUNGKAN DENGAN DIKEMBALIKAN DENGAN SKPPKP PASAL 17D (WP yang
b. UTANG PAJAK
d. Meme nuhi Persyaratan Tertentu)
PAJAK BERIKUTNYA

21. ANGSURAN PPh PASAL 25 TAHUN PAJAK BERIKUTNYA DIHITUNG SEBESAR


F. ANGSURAN PPh

21
PASAL 25 TAHUN

-
DIHITUNG BERDASARKAN :

a. X 1/12 X JUMLAH PADA ANGKA 16 c. PERHITUNGAN DALAM LAMPIRAN TERSENDIRI

b. PERHITUNGAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU

SELAIN FORMULIR 1770 - I SAMPAI DENGAN 1770 - IV (BAIK YANG DIISI MAUPUN YANG TIDAK DIISI) HARUS DILAMPIRKAN PULA :

a. SURAT KUASA KHUSUS (BILA DIKUASAKAN) g. PERHITUNGAN ANGSURAN PPh PASAL 25 TAHUN PAJAK BERIKUTNYA
G. LAMPIRAN

b.
SSP LEMBAR KE-3 PPh PASAL 29 h. ............................................................................................................................

NERACA DAN LAP. LABA RUGI / REKAPITULASI BULANAN PEREDARAN BRUTO DAN/ATAU PENGHASILAN PERHITUNGAN PPh TERUTANG BAGI WAJIB PAJAK DENGAN STATUS PERPAJAKAN
c. LAIN DAN BIAYA i. PH ATAU MT
DAFTAR JUMLAH PENGHASILAN DAN PEMBAYARAN PPh PASAL 25 (KHUSUS UNTUK
d.
PERHITUNGAN KOMPENSASI KERUGIAN FISKAL j. ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU)
BUKTI PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN OLEH PIHAK LAIN/DITANGGUNG PEMERINTAH DAN YANG DAFTAR JUMLAH PENGHASILAN BRUTO DAN PEMBAYARAN PPh FINAL
e. DIBAYAR/DIPOTONG DI LUAR NEGERI k. BERDASARKAN PP 46 TAHUN 2013 PER MASA PAJAK DAN PER TEMPAT USAHA

f.
FOTOKOPI FORMULIR 1721-A1 DAN/ATAU 1721-A2 (............LEMBAR) l. ............................................................................................................................

PERNYATAAN
Dengan menyadari sepenuhnya akan segala akibatnya te rmasuk sanksi-sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, saya TANDA TANGAN
me nyatakan bahwa apa yang telah saya beritahukan di atas beserta lampiran-lampirannya adalah benar, lengkap dan jelas.

x WAJIB PAJAK KUASA TANGGAL: 3 1 0 3 2 0 1 7

NAMA LENGKAP : A U R E L I A Aurel


NPWP : 0 7 7 7 7 7 7 7 7 0 7 7 0 0 0

F.1.1.32.16

113
LAMPIRAN - I
HALAMAN 1
2 0 1 8

FORMULIR

TAHUN PAJAK
SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
1770 - I PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA 0 1 1 8 s.d 1 2 1 8
KEMENTERIAN KEUANGAN RI DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS BAGI WAJIB PAJAK YANG BL TH BL TH
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK MENYELENGGARAKAN PEMBUKUAN PEMBUKUAN x PENCATATAN

PERHATIAN:
• SEBELUM MENGISI BACALAH PETUNJUK PENGISIAN
• ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
• BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP : 0 7 7 7 7 7 7 7 7 0 7 7 0 0 0

NAMA WAJIB PAJAK : A U R E L I A

BAGIAN A: PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS
(BAGI WAJIB PAJAK YANG MENYELENGGARAKAN PEMBUKUAN)

PEMBUKUAN / LAPORAN KEUANGAN : DIAUDIT OPINI AKUNTAN : TIDAK DIAUDIT

NAMA AKUNTAN PUBLIK :

:
NPWP AKUNTAN PUBLIK

NAMA KANTOR AKUNTAN PUBLIK :

:
NPWP KANTOR AKUNTAN PUBLIK
:
NAMA KONSULTAN PAJAK
:
NPWP KONSULTAN PAJAK
:
NAMA KANTOR KONSULTAN PAJAK
:
NPWP KANTOR KONSULTAN PAJAK

RUPIAH
1. PENGHASILAN DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS BERDASARKAN
LAPORAN KEUANGAN KOMERSIAL :
a. PEREDARAN USAHA 1a

b. HARGA POKOK PENJUALAN 1b

c. LABA/RUGI BRUTO USAHA (1a - 1b) 1c

d. BIAYA USAHA 1d

e. PENGHASILAN NETO (1c - 1d) 1e

2. PENYESUAIAN FISKAL POSITIF


a. BIAYA YANG DIBEBANKAN/DIKELUARKAN UNTUK KEPENTINGAN PRIBADI WAJIB PAJAK ATAU
2a
ORANG YANG MENJADI TANGGUNGANNYA
b. PREMI ASURANSI KESEHATAN, ASURANSI KECELAKAAN, ASURANSI JIWA, ASURANSI DWIGUNA,
DAN ASURANSI BEASISWA YANG DIBAYAR OLEH WAJIB PAJAK 2b

c. PENGGANTIAN ATAU IMBALAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN ATAU JASA YANG


2c
DIBERIKAN DALAM BENTUK NATURA ATAU KENIKMATAN
d. JUMLAH YANG MELEBIHI KEWAJARAN YANG DIBAYARKAN KEPADA PIHAK YANG MEMPUNYAI
HUBUNGAN ISTIMEWA SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN YANG DILAKUKAN 2d

e. HARTA YANG DIHIBAHKAN, BANTUAN ATAU SUMBANGAN 2e

f. PAJAK PENGHASILAN 2f

g. GAJI YANG DIBAYARKAN KEPADA PEMILIK / ORANG YANG MENJADI TANGGUNGANNYA 2g

h. SANKSI ADMINISTRASI 2h

i. SELISIH PENYUSUTAN/AMORTISASI KOMERSIAL DIATAS PENYUSUTAN/ AMORTISASI


2i
FISKAL
j. BIAYA UNTUK MENDAPATKAN, MENAGIH DAN MEMELIHARA PENGHASILAN YANG DIKENAKAN
2j
PPh FINAL DAN PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK

k. PENYESUAIAN FISKAL POSITIF LAINNYA 2k

l. JUMLAH (2a s.d. 2k) 2l

3. PENYESUAIAN FISKAL NEGATIF:


a. PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh FINAL DAN PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK
3a
OBJEK PAJAK TETAPI TERMASUK DALAM PEREDARAN USAHA
b. SELISIH PENYUSUTAN / AMORTISASI KOMERSIAL DI BAWAH PENYUSUTAN AMORTISASI FISKAL
3b

c. PENYESUAIAN FISKAL NEGATIF LAINNYA 3c

d. JUMLAH (3a s.d. 3c) 3d

4 JUMLAH BAGIAN A (1e + 2l - 3d) 4

Pindahkan Jumlah Bagian A (angka 4) ke Formulir 1770 Angka 1

114
HALAMAN 2 LAMPIRAN - I
2 0 1 8

FORMULIR

TAHUN PAJAK
SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
1770 - I • PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN
BEBAS BAGI WAJIB PAJAK YANG MENYELENGGARAKAN PENCATATAN
0 1 1 8 s.d 1 2 1 8

KEMENTERIAN KEUANGAN RI • PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN BL TH BL TH

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK • PENGHITUNGAN PENGHASILAN DALAM NEGERI LAINNYA PEMBUKUAN X PENCATATAN

PERHATIAN :
• SEBELUM MENGISI BACALAH PETUNJUK PENGISIAN
• •
ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP : 0 7 7 7 7 7 7 7 7 0 7 7 0 0 0

NAMA WAJIB PAJAK : A U R E L I A

BAGIAN B: PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS
(BAGI WAJIB PAJAK YANG MENYELENGGARAKAN PENCATATAN)

PEREDARAN USAHA NORMA PENGHASILAN NETO


NO. JENIS USAHA
(Rupiah) (%) (Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5)

1 DAGANG

2 INDUSTRI

3 JASA

4 PEKERJAAN BEBAS 1,000,000,000 50 500,000,000

5 USAHA LAINNYA

JUMLAH BAGIAN B 1,000,000,000 JBB 500,000,000

Pindahkan Jumlah Bagian B Kolom (5) ke Formulir 1770 Angka 1

BAGIAN C : PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN


(TIDAK TERMASUK PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh BERSIFAT FINAL)
PENGURANGAN PENGHASILAN
NAMA DAN NPWP PENGHASILAN BRUTO PENGHASILAN NETO
NO. BRUTO/BIAYA
PEMBERI KERJA
(Rupiah) (Rupiah) (Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5)

1 - - -

JUMLAH BAGIAN C JBC -


Pindahkan Jumlah Bagian C Kolom (5) ke Formulir 1770 Angka 2

BAGIAN D : PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI LAINNYA


(TIDAK TERMASUK PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh BERSIFAT FINAL)

JUMLAH PENGHASILAN NETO


NO. JENIS PENGHASILAN
(Rupiah)
(1) (2) (3)

1 BUNGA

2 ROYALTI

3 SEWA
-
4 PENGHARGAAN DAN HADIAH

5 KEUNTUNGAN DARI PENJUALAN/PENGALIHAN HARTA

6 PENGHASILAN LAINNYA

JUMLAH BAGIAN D JBD -


Pindahkan Jumlah Bagian D ke Formulir 1770 Angka 3

JIKA FORMULIR INI TIDAK MENCUKUPI, DAPAT DIBUAT SENDIRI SESUAI DENGAN BENTUK INI Halaman ke - dari halaman Lampiran -II

115
LAMPIRAN - II
2 0 1 8

FORMULIR

TAHUN PAJAK
1770 - II SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
DAFTAR PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PPh OLEH PIHAK LAIN, 0 1 1 8 s.d 1 2 1 8

KEMENTERIAN KEUANGAN RI
PPh YANG DIBAYAR/DIPOTONG DI LUAR NEGERI DAN BL TH BL TH

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK


PPh DITANGGUNG PEMERINTAH
PEMBUKUAN X PENCATATAN

PERHATIAN :
• SEBELUM MENGISI BACALAH PETUNJUK PENGISIAN
• ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
• BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP : 0 7 7 7 7 7 7 7 7 0 7 7 0 0 0

NAMA WAJIB PAJAK : A U R E L I A

BAGIAN A : DAFTAR PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PPh OLEH PIHAK LAIN, PPh YANG DIBAYAR / DIPOTONG DI LUAR NEGERI DAN PPh
DITANGGUNG PEMERINTAH

NAMA NPWP BUKTI JUMLAH PPh YANG DIPOTONG /


PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN JENIS PAJAK : PPh PASAL
NO PEMOTONG/PEMUNGUT PEMOTONG/PEMUNGUT DIPUNGUT
21/ 22/23/24/26/DTP *)
PAJAK PAJAK (Rupiah)
NOMOR TANGGAL
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

10

11

12

13

14

15
dst

JUMLAH BAGIAN A JBA -

Pindahkan Jumlah Bagian A Kolom 7 ke Formulir 1770 Angka 15

*) - DTP = PPh Ditanggung Pemerintah


- Kolom (6) diisi dengan pilihan sebagai berikut : 21 / 22 / 23 / 24 /26/ DTP (Contoh : ditulis 21, 22, 23, 24, 26, DTP)
- Jika terdapat kredit pajak PPh Pasal 24, maka jumlah yang diisi adalah maksimum yang dapat dikreditkan sesuai lampiran tersendiri
(lihat petunjuk pengisian tentang Lampiran II Bagian A dan Induk SPT angka 4)

JIKA FORMULIR INI TIDAK MENCUKUPI, DAPAT DIBUAT SENDIRI SESUAI DENGAN BENTUK INI Halaman ke - dari halaman Lampiran-II

116
LAMPIRAN - III
2 0 1 8

FORMULIR
1770 - III

TAHUN PAJAK
SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PAJAK FINAL DAN/ATAU
• BERSIFAT FINAL
0 1 1 8 s.d 1 2 1 8

KEMENTERIAN KEUANGAN RI • PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK BL TH BL TH

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PENGHASILAN ISTERI/SUAMI YANG DIKENAKAN PAJAK SECARA


• TERPISAH
PEMBUKUAN
x
PENCATATAN

PERHATIAN : • SEBELUM MENGISI BACALAH PETUNJUK PENGISIAN


• ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
• BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP : 0 7 7 7 7 7 7 7 7 0 7 7 0 0 0
NAMA WAJIB PAJAK : A U R E L I A

BAGIAN A : PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PAJAK FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL

DASAR PENGENAAN PPh TERUTANG


NO JENIS PENGHASILAN
PAJAK/PENGHASILAN BRUTO (Rupiah)
(1) (2) (3) (4)

BUNGA DEPOSITO, TABUNGAN, DISKONTO SBI, SURAT BERHARGA


1.
NEGARA

2. BUNGA/DISKONTO OBLIGASI

3. PENJUALAN SAHAM DI BURSA EFEK

1,000,000,000 250,000,000
4. HADIAH UNDIAN

PESANGON, TUNJANGAN HARI TUA DAN TEBUSAN


5.
PENSIUN YANG DIBAYAR SEKALIGUS

6. HONORARIUM ATAS BEBAN APBN / APBD

200,000,000 5,000,000
7. PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

BANGUNAN YANG DITERIMA DALAM RANGKA BANGUNAN GUNA


8.
SERAH

9. SEWA ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

10. USAHA JASA KONSTRUKSI

11. PENYALUR/DEALER/AGEN PRODUK BBM

BUNGA SIMPANAN YANG DIBAYARKAN OLEH KOPERASI KEPADA


12.
ANGGOTA KOPERASI

13. PENGHASILAN DARI TRANSAKSI DERIVATIF

14. DIVIDEN 10,000,000 1,000,000

15. PENGHASILAN ISTERI DARI SATU PEMBERI KERJA

PENGHASILAN LAIN YANG DIKENAKAN PAJAK FINAL


16.
DAN/ATAU BERSIFAT FINAL

17. JUMLAH (1 s.d. 16) 256,000,000

BAGIAN B : PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK


PENGHASILAN BRUTO
NO SUMBER/JENIS PENGHASILAN
(Rupiah)
(1) (2) (3)

1. BANTUAN / SUMBANGAN / HIBAH

2. WARISAN

BAGIAN LABA ANGGOTA PERSEROAN KOMANDITER TIDAK ATAS SAHAM, PERSEKUTUAN,


3.
PERKUMPULAN, FIRMA, KONGSI

4. KLAIM ASURANSI KESEHATAN, KECELAKAAN, JIWA, DWIGUNA, BEASISWA

5. BEASISWA

6. PENGHASILAN LAIN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK

JUMLAH BAGIAN B JBB

BAGIAN C : PENGHASILAN ISTERI/SUAMI YANG DIKENAKAN PAJAK SECARA TERPISAH


(Rupiah)

PENGHASILAN NETO ISTERI/SUAMI YANG DIKENAKAN PAJAK SECARA TERPISAH

117
FORMULIR
LAMPIRAN - IV
1770 - IV 2 0 1 8

TAHUN PAJAK
SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI

• HARTA PADA AKHIR TAHUN 0 1 1 8 s.d 1 2 1 8


KEMENTERIAN KEUANGAN RI
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK • KEWAJIBAN/UTANG PADA AKHIR TAHUN BL TH BL TH

• DAFTAR SUSUNAN ANGGOTA KELUARGA PEMBUKUAN x PENCATATAN

PERHATIAN
• SEBELUM MENGISI BACALAH PETUNJUK PENGISIAN
• ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
• BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP : 0 7 7 7 7 7 7 7 7 0 7 7 0 0 0
NAMA WAJIB PAJAK : A U R E L I A

BAGIAN A : HARTA PADA AKHIR TAHUN

KODE HARGA PEROLEHAN


NO. NAMA HARTA TAHUN PEROLEHAN KETERANGAN
HARTA (Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1 043 Mobil Jaguar 2016 700,000,000 B 1009 ELU

2 061 Rumah di Pondok Indah 2000 4,000,000,000 No Sertifikat 01

3 012 Tabungan 2000 5,000,000,000 No. rek. 110.0000.000

4 032 Saham PT. XYZ 2000 1,000,000,000 No. saham 1001

10 dst

JUMLAH BAGIAN A JBA 10,700,000,000

BAGIAN B : KEWAJIBAN/UTANG PADA AKHIR TAHUN

KODE JUMLAH
NO. NAMA PEMBERI PINJAMAN ALAMAT PEMBERI PINJAMAN TAHUN PEMINJAMAN
UTANG (Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

10 dst

JUMLAH BAGIAN B JBB


-

BAGIAN C : DAFTAR SUSUNAN ANGGOTA KELUARGA

NO. NAMA ANGGOTA KELUARGA NIK HUBUNGAN KELUARGA PEKERJAAN

(1) (2) (3) (4) (5)

1 - - - -

4
5
dst

JIKA FORMULIR INI TIDAK MENCUKUPI, DAPAT DIBUAT SENDIRI SESUAI DENGAN BENTUK INI Halaman ke- dari halaman Lampiran-IV

118
6. Soal Latihan Bab VII
1. SPT yang sesuai untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang berprofesi sebagai tukang ojek
adalah ….
a. 1770SS
b. 1770S
c. 1770
d. 1770 S atau 1770 SS

2. Orang Pribadi yang menunaikan zakat/sumbangan keagamaan yang bersifat wajib


dapat menjadikan hal tersebut sebagai pengurang jika menggunakan SPT ….
a. 1770 SS
b. 1770 S dan 1770 SS
c. 1770 dan 1770 S
d. 1770 SS dan 1770

3. Jenis penghasilan yang terdapat pada SPT 1770, Bagian Penghasilan Neto Dalam
Negeri Lainnya adalah ….
a. bunga
b. dividen
c. hadiah undian
d. sewa tanah dan bangunan

4. PPh terutang dikurangi dengan PPh yang dipotong/dipungut pihak lain disebut ….
a. angsuran PPh Pasal 25 tahun berikutnya
b. PPh yang harus dibayar sendiri/lebih dipotong
c. PPh yang kurang/lebih dibayar
d. PPh yang dibayar sendiri

5. Anto Hud sangat mungkin terkena PP 23 Tahun 2018 apabila memilih ….


a. menjalankan usaha sewa apartemen dengan total nilai sewa empat milyar setahun
b. menjadi sopir ojek online
c. menjadi stand up comedian
d. menjadi developer perumahan

Untuk soal No 6 s.d. 10: Tn.Iwan bekerja sebagai pembawa acara “Aneka Tik Tok” di
TV 3 di Jakarta dengan penghasilan selama tahun 2019 sebesar Rp 500.000.000; Istri
bekerja sebagai pemain film striping di Tangerang Selatan dengan penghasilan Rp
400.000.000; Status perpajakan adalah PH. WP tidak menyelenggarakan pembukuan
dan telah memenuhi semua ketentuan untuk menggunakan pencatatan dan norma
penghitungan penghasilan neto.
Anak ditanggung sepenuhnya oleh Pak Iwan, selama tahun 2019 memperoleh
penghasilan sbb:
1. Anak pertama, berusia 19 tahun, menerima penghasilan sebagai pemain sinetron
di televisi lokal di Denpasar. Jumlah penghasilan adalah Rp200.000.000.
2. Anak kedua, adalah seorang pemain film yang memperoleh penghasilan dari PT
MD Media sebesar Rp 100.000.000; Semua kegiatan shooting film dan tempat
kedudukan perusahaan adalah di Serang Banten.
Norma Penghitungan Penghasilan Neto
No. Usaha/Profesi Sepuluh Ibukota Provinsi Daerah
Ibukota Provinsi Lainnya Lainnya
a. Pemain film 35% 32% 30%
b. Pembawa acara 46% 44% 42%

6. PTKP Tn Iwan adalah….

119
7. Penghasilan neto Tn Iwan dari pekerjaannya adalah….
8. Penghasilan neto anak Tn Iwan yang akan dilaporkan di SPT Tahunan PPh Tn Iwan
adalah…
9. PPh terutang untuk Tn Iwan adalah…
10. PPh terutang untuk Ibu Siti adalah…

Soal Kasus Bab VII


Tuan Budi (NPWP: 07.777.777.7-077.000) adalah seorang notaris, bertempat tinggal dan
menjalankan kegiatan di Kota Bogor. Istrinya, Wati, adalah seorang dokter anak. Wajib
pajak mempunyai dua orang anak yang tertua usia 7 tahun dan yang lahir tanggal 2
Januari 2019. Tinggal bersama mereka adalah ibu mertua yang sepenuhnya menjadi
tanggungan (tidak punya penghasilan) serta adik kandung Budi yang sedang kuliah di
Kota Bogor. WP tidak menyelenggarakan pembukuan dan telah memenuhi semua
ketentuan untuk menggunakan pencatatan dan norma penghitungan penghasilan neto.
Status perpajakan KK.

A. Penghasilan Tuan Budi selama tahun 2019 adalah sebagai berikut:


1. Penghasilan sebagai notaris (wilayah kerja Kota Bogor) adalah Rp 450.000.000; dan
memiliki bukti potong PPh dari PT. XYZ (NPWP: 01.111.111.1-011.000) sebesar Rp
10.000.000;
2. Penghasilan bunga obligasi dari PT Obligor sebesar Rp10.000.000,00. Atas jumlah
tersebut dipotong PPh oleh PT Obligor sejumlah Rp1.500.000,00. Tahun perolehan
tahun 2000.
3. Penghasilan bunga pinjaman dari PT Peminjam (NPWP: 02.222.222.2-022.000),
setelah dipotong PPh dengan tarif 15%, Tuan Budi menerima sebesar
Rp17.000.000,00. Nilai pinjaman Rp 2.000.000.000. Tahun perolehan tahun 2000.

B. Penghasilan Wati selama tahun 2019 adalah sebagai berikut:


1. Penghasilan dari praktik dokter di Bandung adalah sebesar Rp400.000.000.
2. Memperoleh warisan Rumah di Podok Safari dari kakek buyutnya sebesar
Rp100.000.000.
3. Atas tanah di Depok yang dibeli pada tahun 2012 dengan harga Rp100.000.000,00,
dijual oleh Budini pada Agustus 2019 dengan mendapatkan uang sejumlah
Rp292.500.000,00 (net, setelah pembayaran PPh sebesar 2,5%).

C. Keterangan lain:
1. Total PPh Pasal 25 yang telah disetor adalah:
a. melalui suami = Rp 16.000.000,00.
b. melalui istri = Rp 4.250.000,00.
2. Semua penghasilan telah dipotong, disetor, dan dilaporkan oleh pihak-pihak terkait
sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
3. Daftar Harta: Selain harta diatas, ada kendaraan berupa Mobil Asemka dibeli tahun
2018 sebesar Rp 200.000.000;
4. Norma penghitungan penghasilan neto (NPPN) adalah sebagai berikut: (hanya
ilustrasi untuk menyelesaikan soal ini, bukan keadaan yang sebenarnya)
Norma Penghitungan Penghasilan Neto
No. Usaha/Profesi Sepuluh Ibukota Provinsi Daerah
Ibukota Provinsi Lainnya Lainnya
a. Notaris 50% 48% 45%
b. Dokter 48% 45% 42%
c. Pemain film 35% 32% 30%
d. Pembawa acara 46% 44% 42%
e. Lain-lain 20% 18% 16%

120
Perintah:
1. Isi formulir SPT Tahunan PPh Tn Budi tahun 2019.
2. Isi sesuai tabel penghasilan WP sesuai contoh dibawah ini:
No. Uraian Ph Ph Neto Jenis Ph Pot/Put Psl Ph Ph
Bruto Neto 21/22/23 FINAL BOP
Jenis Nilai
A Pengh Suami
1 Pemain film - 1.000 350 Pekerjaan Psl 21 75 - -
Contoh Bebas
2
3
B Pengh Istri
1 Undian - 2.000 - - - - 2.000 -
Contoh
2
3
Jumlah
*) BOP = Bukan Objek Pajak
**) Kredit pajak bukan merupakan pengurang Ph Bruto.

Perpanjangan Penyampaian SPT Tahunan


Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan untuk
paling lama 2 (dua) bulan sejak batas waktu penyampaian SPT Tahunan dengan cara
menyampaikan pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan. Pemberitahuan perpanjangan
SPT Tahunan disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hardcopy) atau dalam bentuk
dokumen elektronik.
Pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak
sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan berakhir, dengan dilampiri:
 penghitungan sementara pajak terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang batas waktu
penyampaiannya diperpanjang;
 laporan keuangan sementara; dan
 Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan
dengan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak
yang terutang, dalam hal terdapat kekurangan pembayaran pajak.
Pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan disampaikan:
 secara langsung;
 melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
 dengan cara lain melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti
pengiriman surat; atau saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak
sesuai dengan perkembangan teknologi informasi.
Wajib Pajak yang menyampaikan pemberitahuan perpanjangan penyampaian SPT
Tahunan wajib menyampaikan SPT Tahunan dalam batas waktu perpanjangan
sebagaimana tertera dalam pemberitahuan tersebut. Dalam hal SPT Tahunan
menunjukkan nilai PPh kurang bayar yang lebih kecil dari nilai pajak yang telah disetor
dalam Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan
dengan Surat Setoran Pajak, atas kelebihan pembayaran tersebut dapat:
a. diajukan permohonan pemindahbukuan; atau
b. diminta kembali melalui permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang.

---Q---

121
BAB VIII

Rangkuman

Kewajiban pajak subjektif badan dalam negeri dimulai pada saat badan tersebut didirikan
atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi
bertempat kedudukan di Indonesia. Sementara kewajiban pajak subjektif badan luar negeri
dimulai pada saat badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
dan berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.

Subjek Pajak Mulai Berakhir

Pada saat meninggal


Saat dilahirkan, berada,
Subjek Pajak Dalam atau meninggalkan
atau niat untuk bertempat
Negeri (SPDN) Indonesia untuk selama-
tinggal di Indonesia
lamanya.

Warisan yang belum Sejak warisan dibagi


Saat meninggalnya pewaris
terbagi kepada ahli waris

Subjek Pajak Luar Pada saat Orang Pribadi Saat tidak lagi
Negeri (SPLN) menjalankan usaha atau menjalankan usaha atau
melalui Bentuk melakukan kegiatan melakukan kegiatan
Usaha Tetap (BUT) melalui BUT melalui BUT

Subjek Pajak Luar Saat Orang Pribadi


Saat tidak menerima atau
Negeri (SPLN) tidak tersebut menerima atau
memperoleh penghasilan
Melalui Bentuk memperoleh penghasilan
dari Indonesia
Usaha Tetap (BUT) dari Indonesia

Status Subjek
Sumber Penghasilan Sumber Penghasilan dari
Pajak Orang
dari Luar Indonesia Indonesia
Pribadi WNI

Tidak dikenakan pajak


Subjek Pajak Luar Dikenakan pajak penghasilan
penghasilan di
Negeri (SPLN) sesuai Pasal 26
Indonesia

Dikenakan pajak Dikenakan pajak penghasilan


Subjek Pajak
penghasilan sesuai sesuai ketentuan perundang-
Dalam Negeri
Pasal 24 atau Tax undangan di bidang perpajakan
(SPDN)
Treaty yang berlaku

122
Ringkasan PPh Final Pasal 4 ayat (2) yang diperoleh WPOP sbb:

No. Jenis Penghasilan. Tarif Keterangan


1. Penghasilan atas Bunga 20% atau Penghasilan atas Bunga Deposito dan
Deposito dan Tabungan serta tarif P3B. Tabungan serta Diskonto Sertifikat
Diskonto Sertifikat Bank Bank Indonesia
Indonesia, Surat Berharga Penghasilan atas Diskonto Surat
Negara. Perbendaharaan Negara, dan
Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis
Syariah
2. Penghasilan Berupa Bunga / 15%, 20 % Jumlah bruto bunga u WPDN dan BUT
Diskonto Obligasi. atau Treaty Jumlah bruto bunga u WPLN
3. Penghasilan dari Transaksi 0,5% Jumlah bruto transaksi penjualan
Penjualan Saham yang saham
Diperdagangakan di Bursa 0,1% Tambahan bagi pemilik saham pendiri.
Efek.
4. Hadiah Undian 25% Jumlah bruto hadiah (barang atau
uang).
5. Penghasilan dari Pengalihan 0%, 1%, jumlah bruto nilai pengalihan hak atas
Hak atas Tanah dan/atau 2,5% tanah dan/atau bangunan.
Bangunan.
6. Bangunan yang Diterima 5% Nilai pasar atau NJOP mana yang
dalam Rangka Bangun Guna tertinggi.
Serah
7. Penghasilan dari Persewaan 10% Jumlah bruto yang diterima/diperoleh.
Tanah dan/atau Bangunan.
8. Penghasilan dari Usaha Jasa 2% Atas jasa pelaksana yang dilakukan
Konstruksi. oleh penyedia jasa dengan kualifikasi
usaha kecil
4% Pelaksana Konstruksi oleh Penyedia
jasa Konstruksi yang tidak memiliki
kualifikasi.
3% Untuk pelaksana konstruksi selain
penyedia Kontruksi yang disebut
diatas.
4% Untuk perencana Konstruk si atau
pengawasan yang dilakukan oleh yang
memiliki kualifikasi Usaha;
6% Untuk perencana Konstruksi atau
pengawasan Konstruksi yang tidak
memiliki kualifikasi usaha.
9. Bunga Simpanan yang 15% Seluruh bunga diatas Rp 240.000/
Dibayarkan oleh Koperasi sebulan.
kepada Anggota Koperasi
Orang Pribadi.
10. Dividen yang Diterima atau 10% Dividen Bruto
Diperoleh Wajib Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri.
11. Penghasilan dari usaha yang 0,5% Penghasilan Bruto
diterima atau diperoleh Wajib
Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu

123
12. Penghasilan perusahaan 0,1% Jumlah bruto transaksi penjualan
modal ventura saham atau pengalihan saham

Ringkasan PPh bagi WPOP Bersifat Final

No. Jenis Penghasilan. Tarif Keterangan


1. Pesangon, Tunjangan Hari 0%, 5%, Pesangon
Tua dan Tebusan Pensiun 15%, 25%
yang Dibayar Sekaligus. 0%, 5% THT, Pensiun
2. Honorarium atas Beban 0%, 5%, 15% Penghasilan Bruto.
APBN/APBD
3. Penyalur/ Dealer/ Agen 0,25% SPBU Pertamina
Produk BBM 0,30% SPBU selain Pertamina
0,30% BBG
4. Penghasilan istri dari satu Pasal 17 Sesuai Pasal 21
pemberi kerja

Ringkasan Perhitungan Penghasilan Neto


(Tidak termasuk Penghasilan Final atau bersifat Final)

No. Jenis Pekerjaan Jenis Batas Pembukuan/ Perhitungan


Penghasilan Pencatatan Penghasilan
Neto
1. Wajib Pajak Dagang, peredaran Pencatatan Norma
orang pribadi Industri, Jasa,
brutonya Penghitungan
yang melakukan Usaha dalam satu Penghasilan
kegiatan usaha Lainnya tahun kurang Neto
dari Rp
4.800.000.000
2. Wajib Pajak Dagang, peredaran Pembukuan Penghasilan –
orang pribadi Industri, Jasa, brutonya Beban fiskal
yang melakukan Usaha dalam satu
kegiatan usaha Lainnya tahun Rp
4.800.000.000
atau lebih
3. Wajib Pajak peredaran Pencatatan Norma
orang pribadi brutonya Penghitungan
yang melakukan dalam satu Penghasilan
pekerjaan bebas tahun kurang Neto
dari Rp
4.800.000.000
4. Wajib Pajak peredaran Pembukuan Penghasilan –
orang pribadi brutonya Beban fiskal
yang melakukan dalam satu
pekerjaan bebas tahun Rp
4.800.000.000
atau lebih
5. Penghasilan Pencatatan Penghasilan –
Neto Dalam B. Jabatan,
Negeri pensiun, PTKP
Sehubungan
Dengan
Pekerjaan

124
6. Penghasilan Bunga, Penghasilan
Neto Dalam royalty, Sewa, neto
Negeri Lainnya Penghargaan/
(Non Final) hadiah,
capital gain,
Ph lainnya.
7. Penghasilan Penghasilan
Neto Luar Negeri neto

Ringkasan pemberlakuan formulir dan petunjuk pengisian SPT Tahunan

Jenis Formulir Dasar Hukum


Formulir 1770 SS Lampiran V: PER - 36/PJ/2015
Formulir 1770 S Lampiran III: PER - 19/PJ/2014
Petunjuk Pengisian 1770 S Lampiran IV: PER - 36/PJ/2015
Formulir 1770 Lampiran I: PER - 19/PJ/2014
Petunjuk Pengisian 1770 Lampiran II: PER - 36/PJ/2015
Formulir 1771 Rp Lampiran VI: PER - 19/PJ/2014
Formulir 1771 $ Lampiran VII: PER - 19/PJ/2014
Petunjuk Pengisian 1771 Lampiran VIII: PER - 19/PJ/2014

Seluruh ketentuan perpajakan yang digunakan di buku ini dan formulir SPT
Tahunan Orang Pribadi dapat diunduh di:

bit.ly/StanPeraturanPajak

---Q---

125

Anda mungkin juga menyukai