Anda di halaman 1dari 33

BAB X

PERPAJAKAN

Pajak merupakan iuran rakyat terhadap negara terhadap UU sehingga dapat dipaksakan dengan tidak mendapat
imbalan secara langsung. Pajak diambil berdasarkan penguasa yang mempunyai norma-norma hukum untuk
menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif demi mencapai kesejahteraan umum.

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan: Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah pajak atas penghasilan tertentu di mana mekanisme pemajakannya
telah dianggap selesai pada saat dilakukan pemotongan, pemungutan atau penyetoran sendiri oleh Wajib Pajak yang
bersangkutan. Pertimbangan-pertimbangan yang mendasari diberikannya perlakuan khusus ini adalah demi
kesederhanaan dalam pemungutan pajak, keadilan, serta pemerataan dalam pengenaan pajaknya agar tidak
menambah beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, serta memperhatikan
perkembangan ekonomi dan moneter.
Macam-macam Pajak Penghasilan yang diatur dalam Undang-undang Pajak Penghasilan antara lain:
1. Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (1) adalah pajak penghasilan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak.
2. Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) merupakan pajak yang bersifat final, dikenakan atas penghasilan antara
lain:
o Bunga deposito, tabungan, bunga obligasi, bunga simpanan anggota koperasi
o Hadiah undian
o Penghasilan dari transaksi saham
o Pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa kontruksi, usaha real estate, dan
persewaan tanah dan/ atau bangunan
3. Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan pekerjaan, jasa, atau
kegiatan yang diterima Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
4. Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh:
o Bendahara yang memungut pajak sehubungan dengan Pembayaran atas penyerahan barang
o Badan-badan tertentu yang memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang
impor atau kegiatan usaha di bidang lain
o Wajib Pajak badan tertentu yang memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang
tergolong sangat mewah
5. Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah pemotongan pajak kepada Wajib Pajak dalam negeri atas penghasilan:
o Dividen, bunga, royalty serta
o hadiah, penghargaan bonus, dan sejenisnya
o sewa dan penghasilan lain sehubungan penggunaan harta
o imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan,dan jasa
lain.
6. Pajak Penghasilan Pasal 24 adalah pajak penghasilan yang dibayar di luar negeri boleh dikreditkan
terhadap pajak yang terutang dalam tahun pajak yang sama.
7. Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran pajak dalam tahun berjalan
8. Pajak Penghasilan Pasal 26 adalah pemotongan pajak kepada Wajib Pajak luar negeri atas penghasilan
dividen, bunga, royalty, imbalan sehubungan jasa, pekerjaan dan kegiatan, hadiah dan penghargaan,
pensiun, premi swap, keungtungan karena pembebasan utang, yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar
negeri.
9. Pajak Penghasilan Pasal 29 adalah kekurangan pembayaran pajak yang terutang pada SPT Tahunan Pajak
Penghasilan

PAJAK TERUTANG
Menurut pasal 1 ayat 10 UU No. 28 Tahun 2007, disebutkan bahwa “Pajak yang terutang adalah pajak yang harus
dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”.Tiap-tiap pajak memiliki caranya sendiri dalam menghitung
pajak terhutang. Berikut akan dijelaskan satu per satu.

Pajak Penghasilan (PPh)


Laba yang diperoleh perusahaan merupakan objek pajak penghasilan. Ada perbedaan antara laba komersial
atau laba akuntansi dengan laba Fiskal (laba yang digunakan untuk kepentingan pajak). Perbedaan disebabkan oleh
perbedaan konsep, cara pengukuran serta pengakuan pendapatan dan beban. Laba pajak dihitung dengan
menggunakan konsep dan cara pengukuran dan pengakuan menurut ketentuan perpajakan. Sebaliknya laba
akuntansi dihitung dengan menggunakan prinsip-prinsip akuntansi yang lazim. Diantara keduanya kadang-kadang
terdapat perbedaan.

Konsep Pendapatan
Konsep pendapatan menurut pajak terkadang berbeda dengan akuntansi. Misalnya Deviden yang diterima dari
perusahaan tertentu, dari segi akuntansi deviden ini merupakan penghasilan akan tetapi untuk tujuan pajak mungkin
bukan merupakan penghasilan. Keadaan inilah yang mengakibatkan bedanya laba akuntansi dengan laba pajak.
Sebaliknya suatu pendapatan tidak diakui dari segi akuntansi tetapi oleh pajak dianggap sebagai penghasilan.
Misalnya penjualan kendaraan perusahaan kepada direksi dengan nilai buku dimana dari sudut akuntansi penjualan
tersebut tidak menghasilkan keuntungan, akan tetapi dari sudut pajak tidak diterima karena ternyata harga pasar
kendaraan tersebut lebih besar dari nilai buku.

Pengukuran dan Pengakuan Pendapatan


Pengukuran pendapatan untuk pajak umumnya tidak berbeda dengan pengukuran akuntansi. Pendapatan pada
umumnya diukur sebesar jumlahyang dibebankan kepada pembeli. Namun dalam hal terdapatnya hubungan
istimewa jumlah tersebut mungkin tidak wajar, jika demikian pihak pajak dapat mengkoreksi jumlah yang
dibebankan kepada pembeli agar menjadi wajar.

Konsep Beban
Menurut Prinsip Akuntansi Indonesia, beban diartikan sebagai pengorbanan ekonomis yang dilakukan dalam rangka
memperoleh pendapatan. Akan tetapi untuk tujuan pajak tidak semua pengorbanan ekonomis untuk memperoleh
pendapatan dicatat sebagai beban. Konsep beban untuk tujuan pajak terbatas pada beban untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan. Oleh sebab itu terdapat kemungkinan bahwa suatu jenis beban yang layak
menurut akuntansi menjadi tidak layak untuk tujuan pajak.

Pengukuran dan Pengakuan Beban


Seperti halnya pendapatan, pengukuran biaya untuk pajak pada umumnya tidak berbeda dengan Prinsip Akuntansi
Indonesia yaitu sebesar harga pertukaran. Akan tetapi apabila diantara pihak yang melakukan transaksi terdapat
hubungan istimewa, maka pihak pajak dapat menetapkan kembali harga pertukaran yang terjadi, sebab transaksi
antara pihak yang berhubungan istimewa dapat diatur sehingga dapat merugikan pihak pajak.

Perhitungan Pajak Penghasilan


Pajak penghasilan terutang untuk satu tahun berarti pajak dihitung atas laba yang diperoleh selama satu tahun pajak,
yaitu daro 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Akan tetapi jika tahun buku perusahaan tidak sama dengan tahun
takwim maka pajak dihitung atas dasar laba tahun buku. Secara umum pajak penghasilan untuk satu tahun pajak
dihitung sbb:
Pajak penghasilan = tarif Pajak x Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak untuk perusahaan (badan usaha) yang ditetapkan sbb:
Penghasilan Kena Pajak Tarif
Sampai dengan Rp.50.000.000,- 5%
Rp.50.000.000,- s/d Rp.250.000.000,- 15 %
Rp.250.000.000,- s/d Rp.500.000.000,- 25 %
Diatas Rp.500.000.000- 30 %

Pelunasan Pajak
Pada dasarnya, pelunasan pajak dapat dikategorikan menjadi pelunasan selama tahun pajak dan pelunasan pada
akhir tahun pajak. Pelunasan selama tahun pajak dapat dilakukan secara berkala yaitu setiap bulan atau pada saat-
saat tertentu, misalnya pada saat melakukan pembelian. Pelunasan selama tahun pajak dapat dilakukan sendiri oleh
wajib pajak atau melalui pemotongan oleh pihak lain.
Pelunasan diatur dalam pasal 25 UU Pajak Penghasilan No.17 tahun 2000. Sementara pemotongan dan pemungutan
oleh pihak lain dilakukan berdasarkan pasal 22, pasal 23 dan pasal 24. Pelunasan pajak yang dilakukan sendiri
(pasal 25) serta pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain (pasal 22, pasal 23 dan pasal 24) merupakan
pembayaran dimuka pajak. Jumlah ini dapat dikreditkan terhadap pajak penghasilan yang terutang pada akhir tahun
pajak.
Pelunasan pada akhir tahun pajak merupakan pajak yang terutang untuk seluruh tahun pajak. Perhitungan pajak
yang terutang untuk seluruh tahun pajak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Perhitungan pajak
akhir tahun ini setelah dikurangi dengan kredit pajak dapat menimbulkan kurang atau lebih bayar pajak, dimana
jika lebih bayar maka akan terjadi pengembalian kelebihan pajak atau kompensasi terhadap kekurangan bayar
pajak-pajak lain. Kekurangan pembayaran pajak akan dilakukan pelunasan diakhir tahun pajak.

Potongan PPh Pasal 22


Pajak Penghasilan Pasal 22 merupakan pajak yang dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah, baik Pemerintah Pusat
maupun Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga-lembaga negara lain yang berkenaan dengan pembayaran atas
penyerahan barang, dan badan-badan tertentu baik badan pemerintah maupun swasta, berkenaan dengan kegiatan
dibidang impor atau kegiatan usaha dibidang lainnya.
Pasal 22 ayat (1) UU PPh menyatakan bahwa Mentri Keuangan menetapkan bebarapa hal mengenai PPh Pasal 22
yaitu:
1. Bendaharawan Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara
lainnya untuk memungut pajak berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang.
2. Badan-badan tertentu baik badan pemerintah maupun swasta yang memungut pajak dari wajib pajak
berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
3. Badan-badan atau wajib pajak tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas pembelian barang yang
tergolong sangat mewah.

Pemungut & Objek PPh Pasal 22


1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), atas impor barang; dan komoditas tambang
batubara, mineral logam dan mineral bukan logam yang dilakukan oleh eksportir.
2. Bendaharawan Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara
lainnya atas pembelian barang.
3. Bendahara Pengeluaran atas pembelian barang yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP).
4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat menerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi
oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan
mekanisme pembayaran langsung (LS).
5. Badan usaha tertentu meliputi Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha mIlik Negara yang dilakukan
restrukturisasi oleh Pemerintah setelah berlakunya pengalihan saham milik negara kepadda BUMN
lainnya, Badan usaha tertentu yang dimiliki secara langsung oleh BUMN.
6. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri
otomotif, dan industri farmasi atas penjualan hasil produksi kepada distributor didalam negeri.
7. Agen Tunggal Pemegang Merk (ATPM), Agen Pemegang Merk (APM)dan importir umum kendaraan
bermotor atas penjualan kendaraan bermotor didalam negeri oleh ATPM, APM dan importir umum
kendaraan bermotor.
8. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas dan pelumas atas penjualan hasil
produksinya kepada distributor dalam negeri.
9. Industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, perternaka, dan
perikanan atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspornya.
10. Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara, mineral logam dan
mineral bukan logam dari badan atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan atas pembelian
komoditas tambang batubara, mineral logam dan mineral bukan logam dari badan atau orang pribadi
pemegang izin usaha pertambangan.
11. badan usaha yang memproduksi emas batangan atas penjualan emas batangan oleh produsen emas
batangan.
12. Wajib pajak badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Objek Pajak PPh Pasal 22


Objek (Penghasilan yang dikenakan pajak) PPh pasal 22 adalah suatu kegiatan, meliputi impor barang, ekspor
barang tertentu, penjualan tertentu atau penjualan kepada pembeli tertentu. Kegiatan-kegiatan yang yang dikenakan
PPh Pasal 22 antara lain:
1. Impor barang dan ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam dan mineral bukan logam yang
dilakukan eksportir, kecuali yang dilakukan oleh WP yang terikat dalam perjanjian kerja sama
pengusahaan pertambangan dan Kontrak Karya.
2. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh bendaharawan pemerintah dan Kuasa Pengguna
Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau
lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya.
3. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP) oleh
bendahara pengeluaran.
4. Pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran
langsung (LS) oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar
yang diberikan delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
5. Pembeyaran atas pembelian barang/bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha oleh badan usaha tertentu
meliputi BUMN (Badan Usaha Milik Negara), Badan Usaha mIlik Negara yang dilakukan restrukturisasi
oleh Pemerintah setelah berlakunya pengalihan saham milik negara kepadda BUMN lainnya, Badan usaha
tertentu yang dimiliki secara langsung oleh BUMN.
6. Penjualan hasil produksi kepada distributor didalam negeri oleh badan usaha yang bergerak dalam bidang
usaha industri semen, kertas, baja, otomotif dan farmasi.
7. Penjualan kendaraan bermotor didalam negeri oleh ATPM, ATM dan importir umum kendaraan bermotor
Agen Tunggal Pemegang Merk (ATPM), Agen Pemegang Merk (APM) dan importir umum kendaraan
bermotor.
8. Penjualan hasil produksi kepada distributor dalam negeri oleh produsen atau importir bahan bakar minyak,
gas dan pelumas.
9. Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh industri atau eksportir yang bergerak
dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, perternakan, dan perikanan.
10. Pembelian komoditas tambang batubara, mineral logam dan mineral bukan logam dari badan atau orang
pribadi pemegang izin usaha pertambangan oleh industri atau badan usaha yang melakukan pembelian
komoditas tambang batubara, mineral logam dan bukan logam dari badan usaha atau orang pribadi
pemegang izin usaha pertambangan.
11. Penjualan emas batangan oleh badan usaha yang memproduksi emas batangan.
12. Penjualan barang yang tergolong mewah oleh WP badan yang melakukan penjualan barang yang tegolong
mewah.

Kegiatan yang tidak dikenakan PPh Pasal 22


1. Impor barang atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak
terutang pajak.
2. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
3. Impor Sementara, jika pada waktu impornya ternyata dimaksudkan untuk diekspor kembali.
4. Impor Kembali, meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dengan kualitas
yang sama.
5. Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak yang jumlahnya paling banyak Rp.2.000.000,- dan
bukan merupakan pecah-pecah pemungutnya meliputi Bendahara pemerintah dan KPA pada Pemerintah
Pusat atau Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya, bendahara
pengeluaran, KPA atau pejabat penerbit surat perintah membayar yang diberi kuasa oleh KPA, Jumlahnya
paling banyak Rp.10.000.000,- dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah pemungutnya meliputi
badan usaha tertentu yang terdiri dari BUMN dan badan-badan tertentu yang dimiliki BUMN, pembayaran
untuk pembelian bahan bakar minyak, gas, pelumas dan benda-benda pos termasuk pemakaian air dan
listrik, Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak dan gas bumi yang dihasilkan di Indonesia.
6. Impor emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan
ekspor.
7. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan Dana Bantuan Operasional Sekolah
(BOS).
8. Penjualan emas batangan oleh badan usaha yang memproduksi emas batangan kepada Bank Indonesia.

Tarif PPh Pasal 22


Atas impor :
1. yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API), 2,5% (dua setengah persen) dari nilai impor;
2. yang tidak menggunakan API, 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor;
3. yang tidak dikuasai, 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.
1. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJA, Bendaharawan Pemerintah, BUMN/BUMD (angka II
butir 2,3, dan 4) sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian dan tidak final.
2. Atas penjualan hasil produksi (angka II butir 5) ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak,
yaitu:
o Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
o Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
o Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
o Rokok = 0.15% x Harga Bandrol (Final)
o Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
3. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh Pertamina dan badan usaha lainnya yang
bergerak dalam bidang bahan baker minyak jenis premix, super TT dan gas adalah sebagai berikut:
Jenis Bahan SPBU Swastanisani (% dari SPBU Pertamina (% dari
Bakar penjualan) penjualan)
Premium 0,3 0,25
Solar 0,3 0,25
Premix/ Super TT 0,3 0,25
Minyak Tanah 0,3
Gas LPG 0,3
Pelumas 0,3
Catatan: Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur /dealer/agen, bersifat final. Atas pembelian bahan-bahan untuk
keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul (angka II butir 7) ditetapkan sebesar 0,5 % dari harga
pembelian.
Contoh:
1. PT.Maharani menjual barang kepada badan Pemerintah yang pembayrannya dilakukan melalui dana APBN.
Penjualan berjumlah Rp.10.000.000,-. Untuk transaksi ini perusahaan akan dipotong PPh Pasal 22 dengan tarif 1,5
% sebesar Rp.150.000,- dan Perusahaan akan memperoleh bukti pemotongan Pph Pasal 22 dari Badan Pemerintah
yang bersangkutan. Jumlah uang yang diterima perusahaan menjadi Rp.9.850.000,-. Ayat jurnal atas transaksi ini
sbb:
Bank 9.850.000,-
Angsuran PPh pasal 22 150.000,-
Penjualan Rp.10.000.000,-

2. Seorang Importir yang mempunyai API (Angka Pengenal Impor) mengimpor barang dengan nilai
Rp.50.000.000,-, maka pemungutan PPh Pasal 22 yang dilakukan Bea Cukai dengan tarif 2,5% sebesar
Rp.1.250.000,- dan dari pihak Bea Cukai importir akan memperoleh bukti pemotongan PPh Pasal 22. Ayat jurnal
untuk transaksi tersebut sbb:
Pembelian (persediaan) 50.000.000,-
Angsuran PPh Pasal 22 1.250.000,-
Bank Rp.51.250.000,-
Jumlah angsuran pajak Pasal 22 ini pada akhir tahun akan dikreditkan pada pajak penghasilan terutang.

Potongan PPh Pasal 23


Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal,
penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.

Pemotong dan Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 23


1. Pemotong PPh Pasal 23:
1. badan pemerintah;
2. Wajib Pajak badan dalam negeri;
3. penyelenggaraan kegiatan;
4. bentuk usaha tetap (BUT);
5. perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;
6. Wajib Pajak Orang pribadi dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.
2. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23:
1. WP dalam negeri;
2. BUT
Penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 23
Penghasilan yang dikenakan PPh pasal 23 (objek PPh pasal 23) sesuai dengan Pasal 23 UU No.36 tahun 2008 :
1. Deviden
2. Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang
3. Royalti
4. Hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan.
5. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain
sehubungan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan.
6. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lainnya
selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan.

Perhitungan PPh Pasal 23


PPh pasal 23 dihitung dengan mengalikan tarif dan jumlah bruto penghasilan:
PPh pasal 23 = Tarif x Dasar Pengenaan Pajak
Dasar Pengenaan Pajak = Jumlah bruto Penghasilan

Tarif dan Objek PPh Pasal 23


1. 15 % dari jumlah bruto atas:
a)      dividen, bunga, dan royalti;
b)      hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.
2. 15 % dari jumlah bruto dan final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi, yang jumlahnya
melebihi Rp. 240.000,00 setiap bulan.
3. 2% dari perkiraan penghasilan neto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
Contoh
PT.Maharani menerima pembayaran Royalti dari PT.Candra Lima sebesar Rp.20.000.000,- dari Royalti ini
PT.Maharani akan dipotong 15 % sebesar Rp.3.000.000,- dan untuk pemotongan ini PT.Maharani akan menerima
bukti Pemotongan PPh Pasal 23 dari PT.Candra Lima. Ayat jurnal untuk transaksi tersebut sbb:
Bank Rp.17.000.000,-
Angsuran PPh pasal 23 Rp. 3.000.000,-
Pendapatan Royalti Rp.20.000.000,-
Jumlah angsuran pajak Pasal 23 ini pada akhir tahun akan dikreditkan pada pajak penghasilan terutang.
Kredit PPh Pasal 24

Pajak Penghasilan Pasal 24 adalah Pemotongan Pajak Penghasilan atas seluruh penghasilan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri yang berasal dari Luar Negeri. PPh Pasal 24 ini boleh dikreditkan terhadap
total Pajak Penghasilan terutang dalam suatu tahun pajak.
Pada dasarnya WP dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan, baik penghasilan dalam negeri
maupun luar negeri. Jika negara lain tempat WP dalam negeri tersebut mengenakan pajak penghasilan maka WP
tersebut akan membayar atau terutang pajak atas penghasilannya di negara bersangkutan.
Untuk meringankan beban pajak berganda maka besarnya pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
dari luar negeri dapat dikreditkan terhadap total pajak terutang atas seluruh penghasilan WP dalam negeri, dihitung
berdasarkan tarif pajak yang berlaku di negara bersangkutan dikalikan dengan penghasilan yang diterima di negara
yang bersangkutan.
Pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri akan dapat dikreditkan dengan menyampaikan surat
permohonan kepada Direktur Jendral Pajak dengan melampiri laporan keuangan tentang penghasilan yang berasal
dari luar negeri, fotocopy Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri dan dokumen pembayaran
pajak di luar negeri dan disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan PPh.

Ketentuan Kredit Pajak Luar Negeri


1. Pajak atas penghasilan yang terutang atau dibayar negeri yang dapat dikreditkan terhadap total PPh terutang di
Indonesia hanya pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WP dari luar negeri
tersebut. Pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri adalah pajak atas penghasilan berkenaan dengan usaha
atau pekerjaan di luar negeri sedangkan pajak atas penghasilan yang dibayar di luar negeri adalah pajak atas
penghasilan dari modal dan penghasilan lainnya di luar negeri seperti bunga, deviden, royalti, sewa dsb.
Contoh :
Sebuah perusahaan PT.MP di Indonesia mempunyai cabang di negara X (Indonesia Corp). Indonesia Corp
memperoleh keuntungan sebesar US$ 100.000. Pajak penghasilan yang berlaku di negara tersebut adalah 48 % dan
pajak devidennya sebesar 38 %.

Perhitungan pajak atas deviden tersebut adalah sbb:


Keuntungan Indonesia Corp US$ 100.000
Pajak penghasilan (48 %) 48.000
52.000
Pajak atas deviden (38 %) 19.760
Deviden yang dikirim ke Indonesia 32.240

Pajak penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak Penghasilan yang terutang atas PT.MP adalah
pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri sebesar US$ 19.760
Pajak penghasilan atas Indonesia Corp sebesar US$ 48.000 tidak dapat dikreditkan terhadap pajak penghasilan
yang terutang atas PT.MP karena pajak sebesar US$ 48.000 tersebut tidak dikenakan langsung atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh PT.MP dari luar negeri, tetapi pajak yang dikenakan atas keuntungan Indonesia Corp
di negara X.

2.Besarnya kredit pajak yang diperbolehkan adalah setinggi-tingginya sama dengan jumlah pajak yang dibayar atau
terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi jumlah yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan
dari luar negeri dan penghasilan kena pajak (PKP), atau setinggi-tingginya sama dengan pajak yang terutang atas
PKP jika PKP lebih kecil dari penghasilan luar negeri.
Besarnya kredit pajak luar negeri diperbolehkan (PPh Pasal 24) adalah nilai terendah diantara tiga perhitungan
berikut :
1. Total PPh terutang
2. Penghasilan Netto luar negeri : Total penghasilan dalam dan luar negeri x Total PPh
terutang
3. PPh yang terutang atau dibayar di luar negeri

Jika jumlah PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi jumlah kredit pajak yang diperbolehkan, maka
kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan bersama dengan PPh yang terutang tahun berikutnya, tidak boleh
dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan.
Contoh :
PT.Kenanga yang beralamat di Palembang memperoleh penghasilan netto pada tahun 2016 sbb:
-Penghasilan dari dalam negeri Rp.500.000.000,-
-Penghasilan dari luar negeri Rp.500.000.000,-
(Tarif pajak yang berlaku 20 %)
Perhitungan kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan (PPh Pasal 24) adalah sbb:
1.Menghitung total PKP
Penghasilan dari dalam negeri Rp. 500.000.000,-
Penghasilan dari luar negeri Rp. 500.000.000,-
Jumlah Penghasilan netto PKP Rp.1.000.000.000,-
Peredaran bruto dari kegiatan usaha melebihi Rp.50.000.000.000
Jumlah penghasilan netto sama dengan PKP kerena tidak terdapat kompensasi kerugian atau pengurangan
lainnya.

2.Menghitung total PPh terutang


Tarif PPh pasal 17 ayat (1) b x Penghasilan Kena Pajak
25 % X Rp.1000.000.000,- = Rp.250.000.000,-

3.Menghitung PPh Maksimum dikreditkan sesuai Perbandingan Penghasilan


Penghasilan luar negeri x Total PPh terutang
Total penghasilan dalam dan luar negeri
Rp.500.000.000,- x Rp.250.000.000,- = Rp.125.000.000,-
Rp.1.000.000.000,-

4.Menghitung PPh yang dipotong atau dibayar di Luar Negeri


Tarif pajak di luar negeri x Penghasilan luar negeri
20 % x Rp.500.000.000,- = Rp.100.000.000,-

Kredit pajak luar negeri diperbolehkan (PPh pasal 24) adalah Rp.100.000.000,- atau sebesar PPh yang terutang atau
dibayar di luar negeri. Jumlah ini diperoleh dengan membandingkan perhitungan total PPh terutang, PPh
maksimum dikreditkan sesuai perbandingan penghasilan dan PPh terutang atau dibayar di luar negeri, kemudian
dipilih nilai terendah diantara ketiganya.

Angsuran PPh Pasal 25


Pajak Penghasilan Pasal 25 merupakan angsuran PPh yang harus dibayar sendiri oleh WP untuk setiap bulan dalam
tahun pajak berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 UU No.7 tahun 1983 dan diubah terakhir dengan UU
No.36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Angsuran PPh Pasal 25 dapat dijadikan kredit pajak terhadap pajak
yang terutang atas seluruh penghasilan WP pada akhir tahun pajak yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh).
Cara Menghitung Besarnya PPh pasal 25
Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar oleh WP untuk setiap bulan adalah sebesar
Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang
lalu dikurangi dengan:
  Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 dan pasal 23 serta Pajak Penghasilan
yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam pasal 22
  Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 24
     Setelah dilakukan pengurangan kemudian dibagi 12 (duabelas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun
pajak

Hal-hal Tertentu Untuk Penghitungan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25


a)      Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian
b)      Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur
c)      SPT Tahunan PPh tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan
d)     Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh
e)      Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari
angsuran bulanan sebelum pembetulan
f)       Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak

Perhitungan angsuran PPh pasal 25 bagi WP Orang Pribadi

PPh menurut SPT Tahunan PPh tahun lalu Rp.xxx


Pengurangan/Kredi Pajak tahun lalu:
- PPh Pasal 21 Rp.xxx
- PPh Pasal 22 Rp.xxx
- PPh Pasal 23 Rp.xxx
- PPh Pasal 24 Rp.xxx
Total Kredit Pajak (Rp.xxx)
Dasar Perhitungan Rp.xxx

Angsuran PPh Pasal 25 tahun ini = Dasar perhitungan angsuran : 12 atau banyaknya bulan dalam bagian
tahun pajak tahun lalu.

Perhitungan angsuran PPh pasal 25 bagi WP Badan


PPh menurut SPT Tahunan PPh tahun lalu Rp.xxx
Pengurangan/Kredi Pajak tahun lalu:
- PPh Pasal 22 Rp.xxx
- PPh Pasal 23 Rp.xxx
- PPh Pasal 24 Rp.xxx
Total Kredit Pajak (Rp.xxx)
Dasar Perhitungan Rp.xxx

Angsuran PPh Pasal 25 tahun ini = Dasar perhitungan angsuran : 12 atau jumlah bulan dalam bagian tahun
pajak tahun lalu.

Anggaplah bahwa besarnya angsuran pajak adalah Rp.1.500.000,- perbulan, maka ayat jurnal yang perlu dibuat
untuk pembayran angsuran pajak adalah sbb:
Angsuran PPh Pasal 25 Rp.1.500.000,-
Bank Rp.1.500.000,-
Pemotong Pajak
Adakala perusahaan diberi wewenang memotong/memungut pajak penghasilan pihak lain. Hak yang diberikan
hanya untuk memotong/memungut bukan menarik atau menerima pajak. Jadi pajak yang dipotong/dipungut harus
disetor penuh ke Kas Negara.
Pemotongan/pemungutan atas pajak pihak lain pada umumnya dilakukan pada saat pihak lain melakukan transaksi
dengan pemotong/pemungut. Misalnya pada saat pihak yang melakukan penjualan atau memperoleh pendapatan
tertentu dari pemotong/pemungut. Biasanya pemungutan dilakukan dengan jalan memotong dari nilai transaksi,
sejumlah tertentu yang ditetapkan peraturan perpajakan.

Pemotongan PPh Pasal 21


Pada umumnya suatu perusahaan akan termasuk sebagai pemotong pajak menurut UU Undang-Undang Pajak
Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi
Subjek Pajak dalam negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan
atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pengertian PPh Pasal 21


Adalah pajak yang dipotong oleh pemberi kerja atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan
dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.

Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak dalam
negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang tidak
dikecualikan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dari Pemotong PPh Pasal 21 sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan, termasuk penerima pensiun.

Berikut ini adalah imbalan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima oleh
Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri:
a)            Pegawai tetap, berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur.
b)           Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah
borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan.
c)            Penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan lainnya
d)           Pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengna pensiun yang diterima secara sekaligus
berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain yang
sejenis.
e)            Bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenis dengan nama dan dalam
bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan.
f)            Peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau
penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.
g)           Penghasilan berupa natura dan/atau kenikmatan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan
Pajak Penghasilan yang bersifat final atau Norma Penghitungan Khusus (deemed profit).

Pemotong Pajak PPh Pasal 21


a)      Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi atau badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan
atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk
apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai.
b)      Bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang kas pada pemerintah Pusat
termasuk instansi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga, negara
lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia dil luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan,
jasa, dan kegiatan.
c)      Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang
pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.
d)     Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar
e)      Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan
oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas
dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.
           Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan
oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri.
         Honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan magang.
f)       Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional,
perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium,
hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan
suatu kegiatan.

Yang tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan PPh
Pasal 21 adalah :
a)    Kantor perwakilan Negara asing
b)   Organisasi-organisasi internasional yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan
c)   Pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang semata-mata
mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

Objek Pajak PPh Pasal 21


Penghasilan yang dipotong adalah:
a)      Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur
maupun tidak teratur.
b)      Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teatur berupa uang pensiun atau
penghasilan sejenisnya.
c)      Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun
yang diterima secra sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari
tua, damn pembayaran lain sejenis.
d)     Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan,
upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan.
e)      Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan.

f)       Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium,
hadiah atau penghargaan dengan anma dan dalam bentuk apapun, dan ombalan sejenis dengan nama apapun.
g)      Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
diberikan oleh :
         Bukan Wajib Pajak
         Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final atau
         Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).

Bukan Objek Pemotongan PPh Pasal 21


Berikut ini yang bukan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 21:
a)      Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan asuransi kesehatan,
asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa.
b)      Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apng diberikan apapun yang diberikan
oleh Wajib Pajak atau pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan
Pajak Penghasilan yang bersifat final atau Norma Perhitungan Khusus (deemed profit).
c)      Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau
badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja.
d)     Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di
Indonesia dan diterima oleh orang pribadi yag berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah.
e)      Beasiswa, yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
         penghasilan berupa beasiswa yang diterima atau diperoleh WNI dari Wajib Pajak pemberi beasiswa dalam
rangka mengikuti pendidikan formal dan atau informal di dalam negeri maupun di luar negeri.
         ketentuan beasiswa tersebut tidak berlaku apabila penerima beasiswa mempunyai hubungan istimewa
dengan pemilik, komisaris, direksi atau pengurus dari Wajib Pajak pemberi beasiswa.
         Komponen beasiswa terdiri dari biaya pendidikan yang dibayarkan ke sekolah (tuition fee), biaya ujian,
biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang studi yang diambil, biaya untuk pembelian buku, dan/atau biaya
hidup yang wajar sesuai dengan daerah lokasi tempat belajar.

Pemotongan PPh Pasal 23


Pada saat melakukan transaksi dengan WP dalam negeri perusahaan diwajibkan memotong sejumlah persentase
tertentu dari jumlah bruto yang dibayarkan atau terutang. Transaksi-transaksi yang menjadi objek pemotongan
adalah bunga, deviden, sewa dan royalty serta imbalan jasa lainnya yang sudah dibahas sebelumnya yang dilihat
dari sudut perusahaan sebagai pihak yang dipotong. Pemotongan PPh Pasal 23 yang dimaksud disini adalah
kebalikannya.
Contoh:
PT.A membayar bunga sebesar Rp.3.000.000,- kepada PT.B atas pinjaman yang diterimanya. PT.A harus
memotong dari jumlah yang dibayar tersebut sebesar 15% x Rp.3.000.000,- = Rp.450.000,-
Untuk transaksi diatas PT.A harus membuatkan Bukti Pemotongan Pasal 23 dan ayat jurnal yang dibuat sbb:
Beban Bunga Rp.3.000.000,-
PPh Pasal 23 masih harus disetor Rp. 450.000,-
BANK Rp.2.550.000,-

Potongan PPh Pasal 23 yang dipungut oleh PT.A tersebut harus disetorkan ke Kas Negara paling lambat 10 hari
setelah saat terutangnya pajak. Ayat jurnal yang dibuat atas transaksi tersebut sbb:
PPh pasal 23 masih harus disetor Rp. 450.000,-
BANK Rp. 450.000,-

Pemotongan PPh Pasal 26


Undang-undang No.36 tahun 2008 menganut dua sistem pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh WP luar negeri dari Indonesia. Dua sitem pengenaan pajak tersebut adalah :
1. Pemenuhan sendiri kewajiban perpajakan bagi WP luar negeri yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia
2. Pemotongan oleh pihak yang wajib membayar bagi WP luar negeri lainnya.
Pasal 26 UU No.36 tahun 2008 mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang
diterima atau diperoleh WP luar negeri selain bentuk usaha tetap.
Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi
Subjek Pajak luar negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 26, adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan
atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak luar negeri, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pemotong PPh Pasal 26 adalah Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan, termasuk bentuk usaha tetap,
yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, dan kegiatan orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 26 Undang-Undang Pajak
Penghasilan.

Pemotong PPh Pasal 26


 Badan Pemerintah;
 Subjek Pajak dalam negeri;
 Penyelenggara Kegiatan;
 BUT;
 Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT di Indonesia.
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26
1. Deviden
2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang
3. royalti, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
4. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan
5. hadiah dan penghargaan
6. pensiun dan pembayaran berkala lainnya
7. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya
8. keuntungan karena pembebasan utang
Tarif dan Objek PPh Pasal 26
1. 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri berupa :
a. dividen;
b. bunga, premium, diskonto, premi swap, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian
hutang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
2. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa :
a. penghasilan dari penjualan harta di Indonesia;
b. premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang kepada
perusahaan asuransi di luar negeri.
3. 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia, kecuali
penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.
4. Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara pihak
pada persetujuan.
Saat Terutang, Cara Pemotongan, Penyetoran, dan SPT Masa PPh Pasal 26
1. PPh pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya
penghasilan, tergantung yang mana terjadi lebih
dahulu.
2. Pemotong PPh pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh pasal 26 rangkap 3 :
o lembar pertama untuk Wajib Pajak luar negeri;
o lembar kedua untuk Kantor Pelayanan Pajak;
o lembar ketiga untuk arsip Pemotong.
3. PPh pasal 26 wajib disetorkan ke bank Persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak
(SSP), paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.
4. SPT Masa PPh Pasal 26, dengan dilampiri SSP lembar kedua, bukti pemotongan lembar kedua dan daftar
bukti pemotongan disampaikan
5. ke KPP setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Contoh :
Pemotongan PPh Pasal 26 dilakukan tanggal 24 Mei 2001, penyetoran paling lambat tanggal 10 Juni 2001; dan
dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 Juni 2001.
Contoh:
Pada tanggal 16 Juni 2016, PT.A membayar royalti kepada Amerika Corp sebesar Rp.40.000.000,-.Pajak yang
harus dipotong atas jumlah ini adalah 20% x Rp.40.000.000,- = Rp.8.000.000,- dan jumlah yang harus dibayarkan
sebeasr Rp.32.000.000,-.Ayat jurnal yang harus dibuat sbb:
Beban Royalti Rp.40.000.000,-
PPh Pasal 26 masih harus disetor Rp. 8.000.000,-
Bank Rp.32.000.000,-
Jumlah yang dipotong tersebut harus disetor kekas negara selambat-lambatnya 10 hari setelah terutangnya pajak
yaitu tanggal 26 Juni 2016. Penyetoran ke kas Negara dengan Surat Setoran Pajak dan ayat jurnal yang harus dibuat
saat penyetoran adalah sbb:
PPh Pasal 26 masih harus disetor Rp. 8.000.000,-
Bank Rp. 8.000.000,-

Pelunasan Akhir Tahun


Setiap akhir tahun pajak perusahaan harus melaporkan pajak terutangnya untuk tahun bersangkutan.
Pelaporan ini dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yang dilampiri dengan Neraca dan
Laporan Laba Rugi serta keterangan lainnya untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak kepada Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) dan disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun pajak berakhir.

Contoh :
Anggaplah bahwa dalam SPT jumlah penghasilan kena pajak PT.A untuk tahun 2016 sebesar Rp.270.000.000,-.
Maka pajak penghasilan yang terutang untuk tahun yang bersangkutan dihitung sbb:
Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Penghasilan
Rp. 50.000.000,- 5% Rp. 2.500.000,-
Rp.200.000.000,- 15% Rp.30.000.000,-
Rp. 20.000.000,- 25% Rp. 5.000.000,-
Rp.270.000.000,- Rp.37.500.000,-

Anggaplah juga bahwa dalam SPT terlihat angsuran pajak selama tahun 2016 yang dapat dikreditkan sbb:
PPh yang dipungut/dipotong pihak lain
- PPh Pasal 22 Rp. 1.400.000,-
- PPh Pasal 23 Rp. 3.000.000,-
- Kredit Pajak Luar Negeri (PPh pasal 24) Rp. 3.120.000,-
- Angsuran PPh Pasal 25 Rp.18.000.000,-
Rp.25.520.000,-
Selisih lebih antara pajak terutang dengan angsuran pajak yang dapat dikreditkan sebesar Rp.11.980.000,-
merupakan jumlah pajak kurang bayar pada akhir tahun. Ayat jurnal yang dibuat atas perhitungan tersebut adalah
sbb:
Pajak Penghasilan Rp.37.500.000,-
Angsuran PPh Pasal 22 Rp. 1.400.000,-
Angsuran PPh Pasal 23 Rp. 3.000.000,-
Angsuran PPh Pasal 24 Rp. 3.120.000,-
Angsuran PPh pasal 25 Rp.18.000.000,-
Utang Pajak Penghasilan Rp.11.980.000,-

Dengan ini akun-akun angsuran PPh Pasal 22, 23, 24, dan 25 akan bersaldo Nol dan pada saat utang pajak
penghasilan dibayar maka ayat jurnal yang dibuata sbb:
Utang Pajak Penghasilan Rp.11.980.000,-
Bank Rp.11.980.000,-
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
Perusahaan dapat dikenai pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPn BM).
PPN dan PPn BM dikenakan pada waktu perusahaan melakukan penjualan barang/jasa kena pajak.
PPn dihitung dengan rumus :
PPN = Tarif Pajak (TP) x Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

Tarif umum PPn 10%, sementara tarif PPN untuk barang yang diekspor 0%. Dasar pengenaan pajak
(taxbase) adalah harga jual. Dalam hal-hal tertentu dasar pengenaan pajak dapat berbeda dengan harga jual, jadi jika
harga suatu barang/jasa kena pajak Rp.100.000,- maka pajak pertambahan nilai serta jumlah yang dibebankan
kepada pembeli adalah sbb:
Harga Jual (jumlah penjualan) Rp.100.000,-
Pajak Pertambahan Nilai (10%) Rp. 10.000,-
Jumlah yang dibebankan kepada pembeli Rp.110.000,-

Apabila diberi potongan harga, maka potongan ini dapat dikurangkan dari harga jual. Ada kalanya harga
jual yang tercantum dalam faktur sudah termasuk unsur pajak pertambahan nilai. Misalnya, sebuah perusahaan
menjual barang dengan harga Rp.220.000,-. Dalam harga ini sudah termausk pajak pertambahan nilai. Jadi harga
tersebut sama dengan jumlah yang dibebankan kepada pembeli.
Pajak pertambahan nilai dan jumlah penjualan dihitung sbb:
Jumlah yang dibebankan kepada pembeli Rp.220.000,-
Pajak pertambahan nilai(10/110xRp.220.000,-) Rp. 20.000,-
Jumlah Penjualan Rp.200.000,-

Pajak pertambahan nilai yang dikenakan pada saat penyerahan barang/jasa kena pajak merupakan pajak keluaran.
Pajak masukan yaitu PPN yang dibayar pada waktu pembelian atau impor barang kena pajak serta penerimaan jasa
kena pajak dapat dikreditkan untuk masa pajak yang sama. Dalam hal tertentu pajak masukan tidak dapat
dikreditkan. Apabila pajak keluaran lebih besar dari pada pajak masukan, selisihnya harus dibayar oleh pengusaha
kena pajak yang bersangkutan, sebaliknya jika pajak masukan lebih besar daripada pajak keluaran maka kelebihan
pajak ini dapat dikompensasi pada pajak yang terutang masa berikutnya atau dapat pula diminta kembali.

Pajak Masukan
Masalah yang timbul dalam pencatatan pajak masukan adalah kemungkinan berbedanya saat penyerahan
barang kena pajak dan saat pembuatan faktur pajak. Faktur pajak dapat dibuat pada akhir bulan setelah bulan
penyerahan barang/jasa kena pajak. Akibatnya pada saat penyerahan barang/jasa, pajak pertambahan nilai belum
terutang seingga belum dicatat. Sebaliknya dari segi prinsip akuntansi, saat penyerahan barang merupakan salah
satu saat pengakuan beban atau perolehan aktiva.
Contoh:
Pada tanggal 1 September 200x dibeli barang kena pajak seharga Rp.1.000.000,-. Penyerahan dilakukan pada
tanggal tersebut , akan tetapi pada saat ini belum diterima faktur pajak,ayat jurnalnya dibuat sbb:
Persediaan Rp.1.000.000,-
Pajak masukan yang belum difakturkan Rp. 100.000,-
Utang Dagang Rp.1.100.000,-
Pada saat ini ayat jurnal yang harus dibuat adalah sbb:
Pajak masukan Rp. 100.000,-
Pajak masukan belum difakturkan Rp. 100.000,-

Dengan ini saldo pajak masukan belum difakturkan akan bersaldo nol. Pada akhir bulan saldo akun pajak
masukan dikreditkan pada akun pajak keluaran. Pada saat utang dibayarkan akun utang dagang didebit dan bank
dikredit.
Jika pembelian dilakukan secara tunai maka faktur pajak harus segera dibuat sebagai berikut:
Persediaan Rp.1.000.000,-
Pajak Masukan Rp. 100.000,-
Bank Rp.1.100.000,-

Apabila pajak masukan yang dibayar termasuk dalam kategori tidak dapat dikreditkan, maka pajak
tersebut ditambahkan pada harga perolehan barang/jasa yang bersangkutan.
Contoh:
Tanggal 5 September 200x dibeli mobil seharga Rp.12.000.000,-, maka ayat jurnal yang perlu dibuat saat ini adalah
sbb:
Kendaraan Rp.13.200.000,-
Utang dagang Rp.13.200.000,-

Pajak masukan pembelian mobil ini tidak dapat dikreditkan sehingga pajak pertambahan nilainya
ditambahkan pada harga perolehan kendaraan, dengan demikian dapat dihitung sbb:
Harga beli Rp.12.000.000,-
PPn 10% Rp. 1.200.000,-
Harga Perolehan Rp.13.200.000,-

Pajak Keluaran
Masalah pencatatan pajak keluaran tidak berbeda dengan pajak masukan yaitu, kemungkinan berbeda pada
saat penyerahan barang kena pajak dan saat dibuatnya faktur.
Contoh:
Pada tanggal 4 Juni 200x dijual barang kena pajak seharga Rp.2.000.000,-(setelah dikurangi potongan harga).
Tanggal ini sekaligus tanggal penyerahan. Pada saat penyerahan belum perlu dibuatkan faktur pajak. Ayat jurnal
yang dibuat saat ini adalah:
Piutang dagang Rp.2.200.000,-
Penjualan Rp.2.000.000,-
Pajak keluaran belum difakturkan Rp. 200.000,-
Pada tanggal 31 Juli 200x dibuatkan faktur pajak, maka ayat jurnal yang dibuat adalah sbb:
Pajak keluaran belum difakturkan Rp. 200.000,-
Pajak Keluaran Rp. 200.000,-

Dengan ayat jurnal ini akun pajak keluaran belum difakturkan akan bersaldo nol. Pada akhir bulan saldo
akun pajak keluaran dikurangi dengan pajak masukan yang dapat dikreditkan. Selisihnya merupakan pajak
pertambahan nilai yang masih harus disetor/dikompensasikan. Jika penjualan dlakukan secara tunai, faktur pajak
harus segera dibuat, ayat jurnalnya sbb:
Bank Rp.2.200.000,-
Penjualan Rp.2.000.000,-
Pajak keluaran Rp. 200.000,-

Penjualan Retur
Barang yang dikembalikan karena rusak, perbedaan mutu, jenis atau tipe dan barang yang hilang dalam
perjalanan dapat dikurangkan dari penjualan. Pajak pertambahan nilai tidak terutang karenanya. Penjualan retur
mengurangi jumlah penjualan dan pajak keluaran, sementara itu pembelian retur mengurangi pembelian dan pajak
masukan. Pengurangan pajak pertambahan nilai atas penjualan dan pembelian retur dilakukan dalam masa pajak
dimana terjadi pengembalian. Penjualan/pembelian retur dapat terjadi sebelum faktur pajak dibuat atau sesudahnya.
Penjualan/pembelian retur yang dilakukan setelah dikeluarkan faktur pajak harus dibuatkan nota kredit/debit.
Contoh:
Dari contoh sebelumya, terjadi penjualan retur pada tanggal 10 Juni 200x. Jumlah yang dikembalikan adalah
Rp.500.000,-, ayat jurnal yang dibuatkan sbb:
Penjualan retur Rp.500.000,-
Pajak keluaran belum difakturkan Rp. 50.000,-
Piutang dagang Rp.550.000,-
Setelah ayat jurnal ini maka saldo maisng-masing akun adalah sbb:
D (K)
Penjualan Rp.2.000.000,-
Penjualan retur 500.000,-
Pajak keluaran sebelum difakturkan 150.000,-
Piutang dagang Rp. 1.650.000,-

Pada tanggal 31 Juli 200x saat dibuatkan faktur pajak, jumlah penjualan yang dicantumkan sudah
dikurangi dengan penjualan retur.
Contoh:
Jumlah harga jual/penggantian Rp.2.000.000,-
Dikurangi penjualan retur Rp. 500.000,-

Dasar pengenaan pajak Rp.1.500.000,-


PPN = 10% X DPP Rp. 150.000,-
Jumlah yang dibebankan Rp.1 650.000,-

Jika penjualan retur terjadi setelah faktur pajak dikeluarkan, maka ayat jurnalnya sbb:
Penjualan Rp. 500.000,-
Pajak keluaran Rp. 50.000,-
Piutang dagang Rp. 550.000,-

Pemberian Cuma-Cuma
Penyerahan barang persediaan selain untuk penjualan/ekspor merupakan penyerahan kena pajak. Contoh:
Seorang pengusaha kena pajak memberikan contoh hasil produksi kepada calon pelanggan sebagai bagian dari
kegiatan promosinya. Harga pokok barang yang diberikan secara Cuma-Cuma adalah Rp.5.000.000,-, ayat jurnal
yang dibuat sbb:
Beban Promosi Rp.5.500.000,-
Persediaan Rp.5.000.000,-
Pajak Keluaran Rp. 500.000,-

Penyajian dalam Laporan Keuangan


Saldo akun pajak masukan dan pajak keluaran pada akhir periode akuntansi dinettokan. Apabila saldo akun
pajak masukan lebih besar dari pajak keluaran, maka jumlah yang bersangkutan sebagai bagian aktiva lancar.
Sebaliknya jika pajak keluaran lebih besar maka disajikan sebagai kewajiban lancar. Hal yang sama dilakukan
untuk pajak masukan dan pajak keluaran yang belum difakturkan.

PAJAK PENJUALAN BARANG MEWAH


Pajak penjualan barang mewah dikenakan terhadap penyerahan dan impor barang mewah. Tarif pajak
penjualan barang mewah yang paling rendah 10% dan paling tinggi 75%. Tarif untuk ekspor barang mewah adalah
0%.
Pajak penjualan barang mewah dihitung sebesar tarif yang ditetapkan dikalikan dasar pengenaan pajak.
Dasar pengenaan pajak barang mewah adalah nilai jual atau impor berbeda dengan pajak pertambahan nilai, pajak
penjualan barang mewah yang sudah dibayar pada waktu perolehan atau impor barang tidak dapat dikreditkan
dengan pajak pertambahan nilai yang dipungut. Khusus untuk barang mewah yang diekspor, pajak penjualan barang
mewah yang telah dibayar dapat diminta kembali.

Penjualan
Pengusaha yang melakukan penyerahan barang mewah harus memungut pajak penjualan barnag mewah.
Contoh: Seorang pengusaha kena pajak menjual barang kena pajak yang tergolong mewah dengan tarif pajak 20%.
Nilai penjualan Rp.50.000,-. Pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah dihitung sbb:
Harga jual(jumlah penjualan) Rp.50.000,-
Pajak pertambahan nilai Rp. 5.000,-
Pajak penjualan atas barang mewah Rp.10.000,-
Jumlah yang dibebankan pada pembeli Rp.65.000,-

Ayat jurnal yang dibuat adalah sbb:


Piutang dagang/Bank Rp.65.000,-
Penjualan Rp.50.000,-
Pajak keluaran Rp. 5.000,-
Pajak penjualan atas barang mewah Rp.50.000,-

Pembelian
Pembelian atau impor barang mewah, dikenai pajak penjualan barang mewah. Contoh: seorang pengusaha
kena pajak membeli barang kena pajak yang dikategorikan barang mewah dengan tarif 20%. Nilai pembelian
Rp.200.000,-. Pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah dihitung sbb:
Nilai pembelian Rp.200.000,-
Pajak pertambahan nilai(10%) Rp. 20.000,-
Pajak penjualan atas barang mewah(20%) Rp. 40.000,-
Jumlah yang harus dibayar Rp.260.000,-

Ayat jurnal yang dibuat untuk transaksi ini adalah sbb:


Persediaan Rp.240.000,-
Pajak Masukan Rp. 20.000,-
Utang dagang/bank Rp.260.000,-

Pelaporan
Pajak penjualan barang mewah yang dipungut untuk suatu masa pajak harus disetorkan ke kas negara
selambat-lambatnya 15 hari setelah masa pajak berakhir. Pemungutan pajak harus dilaporkan kekantor pajak paling
lambat 20 hari setelah berakhirnya masa pajak. Pelaporan pajak penjualan barang mewah dilakukan dengan
membuat pemberitahuan penyerahan barang mewah.
Surat Pemberitahuan Masa (SPM) merupakan laporan bulanan yang disampaikan oleh pengusaha kena
pajak tentang perhitungan pajak pertambahan nilai. Penyampaian SPM bersifat wajib dan disampaikan kepada
Kanto Pelayanan Pajak dimana pengusaha kena pajak dikukukhkan. SPM harus disampaikan dalam jangka waktu
20 hari setelah akhir masa pajak. Untuk pajak pertambahan nilai tidak perlu dibuatkan surat pemberitahuan tahunan.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM)
Adalah pajak yang dikenakan pada barang- barang yang dimaksudkan oleh pasal 2 UU No. 18 Tahun 2000.PPN dan
PPnBM yang terutang dihitung dengan cara mengalikan Tarif Pajak dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP).
Tarif PPN & PPnBM adalah sebagai berikut:
1.    Tarif PPN adalah 10% (sepuluh persen)
2.    Tarif PPnBM adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen)
3.    Tarif PPN dan PPnBM atas ekspor BKP adalah 0% (nol persen).

Dasar Pengenaan Pajak adalah dasar yang dipakai untuk menghitung pajak yang terutang, yaitu: Jumlah Harga
Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Dasar Pengenaan Pajak Untuk PPN dan PPn BM adalah:
1.      Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual
karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), tidak termasuk PPN yang dipungut dan potongan harga yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak.
2.      Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), tidak termasuk pajak yang dipungut dan potongan harga
yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
3.      Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk ditambah pungutan
lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk Impor
BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-undang.
4.      Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
eksportir.
5.      Nilai lain adalah suatu jumlah yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak dengan Keputusan Menteri
Keuangan.

Nilai lain yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah sebagai berikut :
a.    Untuk pemakaian sendiri BKP dan atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor
b.    Untuk pemberian cuma-cuma BKP dan atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba
kotor;
c.    Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah  perkiraan Harga Jual rata-rata;
d.    Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film;
e.    Untuk persedian BKP yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, adalah harga pasar yang wajar;
f.    Untuk aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sepanjang PPN atas perolehan aktiva
tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan, adalah harga pasar wajar;
g.    Untuk kendaraan bermotor bekas adalah 10% dari Harga Jual.
h.    Untuk penyerahan jasa biro perjalanan  atau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah
tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
i.    Untuk jasa pengiriman paket adalah adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang
seharusnya ditagih;
j.    Untuk jasa anjak piutang adalah 5% dari jumlah seluruh imbalan yang diterima berupa service charge, provisi,
dan diskon;
k.    Untuk penyerahan BKP dan atau JKP dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP dan atau JKP
antar cabang adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor.
l.    Untuk penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang adalah harga lelang.

Contoh:
PKP “A” dalam bulan Januari 2001 menjual tunai Barang Kena Pajak kepada PKP “B” dengan Harga Jual      Rp.
25.000.000,00
PPN yang terutang yang dipungut oleh PKP ”A”  = 10% x Rp. 25.000.000,00        =   Rp. 2.500.000,00
PPN sebesar Rp. 2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh PengusahaKena Pajak “A”.

Pajak Keluaran dan Pajak Masukan


Pajak keluaran dan pajak masukan merupakan satu jenis pajak, yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Karakteristik Pajak Keluaran


Pajak keluaran ialah pajak yang dikenakan ketika subjek pajak melakukan penjualan terhadap barang kena pajak
(BKP) yang tergolong dalam barang mewah.
Sebagai salah satu jenis pajak, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) seringkali disebut sebagai pajak objektif. Pada PPN,
hal yang pertama kali ditekankan adalah objek pajak yang akan dikenakan. Kemudian, subjek pajak yang terkena.
Misalnya, barang-barang mewah, kendaraan mewah, dan sebagainya.
Yang pertama dikenakan adalah tarif pada tiap-tiap barang tersebut. Kemudian, barulah wajib pajak pengonsumsi
barang tersebut yang dikenai beban pajaknya sehingga wajib pajak tersebut disebut sebagai subjek pajak.
Dalam pengenaan pajak terhadap subjek pajak tersebut, terdapat dua kategori. Yaitu, pajak keluaran dan pajak
masukan.
Dalam hal ini, subjek pajak yang dimaksud adalah pengusaha kena pajak (PKP) yang melakukan transaksi jual beli
barang. Artinya, PKP mengambil atau memungut rupiah yang dihasilkan dari penjualan barang kena pajak (BKP)
miliknya yang dibeli konsumen. Kemudian, nantinya dapat berfungsi menjadi kredit atau pengurang pajak.
Mengapa menjadi kredit atau pengurang pajak? Karena sebelumnya sang PKP telah dikenai tarif pajak yang sama
atas pembelian barang tersebut yang di kemudian hari dijual olehnya. Jadi, PPN dalam hal ini hanya terjadi
pelimpahan beban.
Adapun batas waktu untuk melakukan pengkreditan pajak keluaran tersebut adalah tiga bulan setelah masa pajak
berakhir sehingga PKP memiliki waktu yang cukup leluasa untuk melakukan pengkreditan pajaknya.

Karakteristik Pajak Masukan


Pajak masukan adalah pajak pertambahan nilai (PPn) yang telah dipungut oleh pengusaha kena pajak-pajak
tertentu. Pajak masukan dijadikan kredit pajak oleh pengusaha kena pajak untuk memperhitungkan sisa pajak yang
terutang. pada saat pembelian barang atau jasa kena pajak dalam masa
Pengusaha Kena Pajak, sering disebut PKP adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan
atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU
PPN) 1984 dan perubahannya, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Mekanisme umum Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) mengurangkan atau
mengkreditkan pajak masukan dalam suatu masa dengan pajak keluaran dalam masa pajak yang sama. Apabila
dalam masa pajak tersebut lebih besar pajak keluaran maka kelebihan pajak keluaran tersebut harus disetorkan ke
kas Negara oleh PKP tersebut. Sebaliknya jika dalam masa pajak tersebut ternyata lebih besar pajak masukan, maka
kelebihan pajak masukan tersebut dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya atau dimintakan restitusi.
Dengan mekanisme umum tersebut, maka jumlah yang harus dibayar atau kelebihan bayar oleh PKP bias berubah-
ubah tergantung besarnya pajak masukan yang dibayar dan pajak keluaran yang dipungut dalam suatu masa pajak.
Dengan mekanisme umum tersebut, maka jumlah yang harus dibayar atau kelebihan bayar oleh PKP bisa berubah-
ubah tergantung besarnya pajak masukan yang dibayar dan pajak keluaran yang dipungut dalam suatu masa pajak.
Cara Pengkreditkan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran Atas Pembelian/Perolehan Barang Kena Pajak
dan Atau Jasa Kena Pajak adalah sebagai berikut :
a.  Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.
Contoh :
Pajak Masukan dengan Faktur Pajak tanggal 15 Desember 2012 dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam
SPT Masa PPN Desember 2011.
b.  Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang
sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak
yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
Contoh :
Pajak Masukan dengan Faktur Pajak tanggal 15 Desember 2012 dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam
SPT Masa PPN Januari 2012, Pebruari 2012 dan Maret 2012.
Kasus ini sering terjadi apabila faktur pajak diterima setelah tanggal 31 Januari 2012.
c.  Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang
sama dan Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan
dapat dikreditkan dengan cara pembetulan terhadap SPT Masa Pajak yang sama dan Masa Pajak berikutnya paling
lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan dengan syarat memenuhi ketentuan pasal 8
undang-undang No.28 Tahun 2007 tentang KUP.
Contoh :
Pajak Masukan dengan Faktur Pajak tanggal 15 Desember 2012 yang diterima pada bulan Juli 2012 dapat
dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam SPT Masa PPN Desember 2011, Januari 2012, Pebruari 2012 dan Maret
2012 dengan cara pembetulan sesuai dengan pasal 8 undang-undang No.28 Tahun 2007 tentang KUP.
Kasus ini sering terjadi apabila faktur pajak masa Desember 2011 diterima setelah tanggal 31 Maret 2012.
Dasar hukum :
a.  Pasal 9 UU No.42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM
b.  Pasal 8 UU No.28 Tahun 2007 tentang KUP

c. Pajak Bumi dan Bangunan


Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan/atau bangunan
berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994.
PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu
bumi/tanah dan/atau bangunan. Keadaan subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.

Dasar pengenaan PBB adalah "Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)". NJOP ditentukan per wilayah berdasarkan
keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dengan terlebih dahulu memperhatikan :
a.    harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar;
b.   perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan telah diketahui harga jualnya;
c.   nilai perolehan baru;
d.   penentuan nilai jual objek pengganti.

NJOPTKP adalah batas NJOP atas bumi dan/atau bangunan yang tidak kena pajak. Besarnya NJOPTKP untuk
setiap daerah Kabupaten/Kota setinggi-tingginya Rp 12.000.000,- dengan ketentuan sebagai berikut :
a.Setiap Wajib Pajak memperoleh pengurangan NJOPTKP sebanyak satu kali dalam satu Tahun Pajak.
b.Apabila wajib pajak mempunyai beberapa Objek Pajak, maka yang mendapatkan pengurangan NJOPTKP hanya
satu Objek Pajak yang nilainya terbesar dan tidak bisa digabungkan dengan Objek Pajak lainnya.

Dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP).


Besarnya NJKP adalah sebagai berikut :
Ø      Objek pajak perkebunan adalah 40%
Ø      Objek pajak kehutanan adalah 40%
Ø      Objek pajak pertambangan adalah 20%
Ø      Objek pajak lainnya (pedesaan dan perkotaan)

-        apabila NJOP-nya  > Rp1.000.000.000,00  adalah 40%


-        apabila NJOP-nya < Rp1.000.000.000,00 adalah 20%

Besarnya  tarif PBB adalah 0,5%


Rumus penghitungan PBB = Tarif x NJKP
a.    Jika NJKP = 40% x (NJOP - NJOPTKP) maka besarnya PBB
    = 0,5% x 40% x (NJOP-NJOPTKP)
    = 0,2% x (NJOP-NJOPTKP)
b.    Jika NJKP = 20% x (NJOP - NJOPTKP) maka besarnya PBB
    = 0,5% x 20% x (NJOP-NJOPTKP)
    = 0,1% x (NJOP-NJOPTKP)
Wajib Pajak yang telah menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan
Surat Tagihan Pajak (STP) dari Kantor Pelayanan PBB atau disampaikan lewat Pemerintah Daerah harus
melunasinya tepat waktu pada tempat pembayaran yang  telah ditunjuk dalam SPPT yaitu Bank Persepsi atau
Kantor Pos dan Giro.

Saat yang menentukan pajak terutang menurut Pasal 8 ayat 2 UU PBB adalah keadaan Objek Pajak pada tanggal 1
Januari. Dengan demikian segala mutasi atau perubahan atas Objek Pajak yang terjadi setelah tanggal 1 Januari
akan dikenakan pajak pada tahun berikutnya.
Contoh :
A menjual tanah kepada B pada tanggal 2 Januari 1996.
Kewajiban PBB Tahun 1996 masih menjadi tanggung jawab A. Sejak Tahun Pajak 1997 kewajiban PBB menjadi
tanggung jawab B.Pajak yang terjadi setelah tanggal 1 Januari akan dikenakan pajak pada tahun berikutnya.
Contoh :
A menjual tanah kepada B pada tanggal 2 Januari 1996.
Tahun 1996 masih menjadi tanggung jawab A. Sejak Tahun Pajak 1997 kewajiban PBB menjadi tanggung jawab B

d.    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan  Bangunan (BPHTB)


Bea Perolehan Hak atas Tanah dan  Bangunan (BPHTB): adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak;
Tarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen).

Dasar Pengenaan Pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dalam hal;
a.    jual beli adalah harga transaksi;
b.    tukar-menukar adalah nilai pasar
c.    hibah adalah nilai pasar
d.    hibah wasiat adalah nilai pasar
e.    waris adalah nilai pasar
f.    pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar
g.    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar
h.    peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar
i.    pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar
j.    pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak adalah nilai pasar
k.    penggabungan usaha adalah nilai pasar
l.    peleburan usaha adalah nilai pasar
m.    pemekaran usaha adalah nilai pasar
n.    hadiah adalah nilai pasar
o.    penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ditetapkan secara regional paling banyak;
a.     Rp 60.000.000 (enam puluh juta rupiah);
b.     Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima
orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat keatas atau
satu derajat kebawah dengan pemberi hibah termasuk istri/suami.
 Tempat Pajak Terutang adalah: di wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang meliputi letak tanah dan bangunan.

Cara Pembayaran Pajak adalah: wajib pajak membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada
adanya surat ketetapan pajak. ke kas negara melalui Kantor Pos/Bank BUMN/BUMD dengan Surat Setoran Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (SSB).
PERPAJAKAN

Salah satu bagian penting dalam laporan laba rugi adalah masalah perpajakan. Ada dua macam pajak
utama yaitu pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai. Disamping itu suatu perusahaan dapat juga dikenakan
pajak lainnya seperti, pajak bumi dan bangunan, bea meterai, pajak kendaraan bermotor, pajak pembangunan, pajak
reklame, pajak tontonan, pajak ekspor,dan lain-lain.

Pajak Penghasilan
Laba yang diperoleh perusahaan merupakan objek pajak penghasilan. Istilah yang biasa digunakan untuk
laba yang selama ini digunakan adalah laba komersial (commercial income) atau laba akuntansi (accouting income).
Laba untuk pajak penghasilan disebut laba fiskal (taxable income).
Terdapat perbedaan antara keduanya yang disebabkan oleh perbedaan konsep, cara pengukuran serta
pengakuan pendapatan dan beban. Laba pajak dihitung dengan menggunakan konsep, cara pengukuran dan
pengakuan menurut ketentuan perpajakan sedangkan laba akuntansi dihitung dengan menggunakan prinsip-prinsip
akuntansi yang lazim.

Konsep Pendapatan. Adakala konsep pendapatan menurut pajak berbeda dengan akuntansi. Misalnya, dividen
yang diterima dari perusahaan tertentu, dari segi akuntansi dividen merupakan pendapatan tetapi untuk tujuan pajak
biasanya dianggap bukan merupakan penghasilan. Sebaliknya suatu pendapatan tidak diakui dari segi akuntansi tapi
oleh pajak dianggap sebagai penghasilan, misalnya penjualan kendaraan perusahaan kepada direksi dengan nilai
buku. Dari sudut akuntansi penjualan tersebut tidak menghasilkan keuntungan tetapi dari sudut pajak tidak dapat
diterima jika ternyata harga pasar kendaraan tersebut lebih besar dari nilai buku.

Pengukuran dan Pengakuan Pendapatan. Cara pengukuran pendapatan untuk pajak pada umumnya tidak
berbeda dengan pengukuran untuk akuntansi. Pendapatan pada umumnya diukur sebesar jumlah yang dibebankan
kepada pembeli. Namun terdapatnya hubungan istimewa jumlah tersebut mungkin tidak wajar. Jika demikian pihak
pajak dapat mengkoreksi jumlah yang dibebankan kepada pembeli agar menjadi wajar.

Konsep Beban. Menurut prinsip akuntansi Indonesia, beban diartikan sebagai pengorbanan ekonomis yang
dilakukan dalam rangka memperoleh pendapatan, akan tetapi untuk tujuan pajak tidak semua pengorbanan
ekonomis untuk memperoleh pendapatan dicatat sebagai beban. Konsep beban untuk tujuan pajak terbatas pada
beban untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan. Oleh sebab itu terdapat kemungkinan bahwa
suatu jenis beban yang layak menurut akuntansi menjadi tidak layak untuk tujuan pajak. Contohnya adalah
sumbangan. Bagi perusahaan sumbangan yang diberikan merupakan beban tetapi untuk tujuan pajak tidak boleh
dicatat sebagai beban.

Pengukuran dan Pengakuan Pendapatan. Sepertinya halnya pendapatan, pengukuran biaya untuk pajak,
umumnya tidak berbeda dengan prinsip akuntansi Indonesia yaitu, sebesar harga pertukaran. Akan tetapi jika
terdapat hubungan istimewa maka pihak pajak dapat menetapkan kembali harga pertukaran yang terjadi. Kapan dan
bagaimana suatu biaya dibebankan dalam suatu periode mungkin berbeda antara pajak dan prinsip akuntansi.
Misalnya penyusutan suatu aktiva tetap untuk tujuan akuntansi perusahaan akan menggunakan metode garis lurus
tapi untuk tujuan pajak perusahaan menggunakan metode saldo menurun.

PERHITUNGAN
Pajak penghasilan terutang untuk masa satu tahun artinya pajak dihitung atas laba yang diperoleh selama
satu tahu pajak. Tahun pajak adalah dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Akan tetapi jika tahun buku
perusahaan tidak sama dengan tahun takwim maka pajak dihitung atas dasar laba tahun buku.
Pajak penghasilan untuk suatu tahun pajak dihitung dengan rumus:
Pajak penghasilan = Tarif Pajak(TP) x Penghasilan Kena Pajak(PKP)

Tarif pajak untuk perusahaan (badan usaha) telah ditetapkan undang-undang sbb:
PKP Tarif

1.    S.d. Rp 50.000.000,-    5%


2.    Di atas Rp50.000.000,- s.d. Rp 250.000.000    15%
3.    Di atas Rp250.000.000,- s.d.Rp 500.000.000,-    25%
4.    Di atas Rp500.000.000,-    30%

Jika tidak ada kompensasi kerugian tahun-tahun lalu, penghasilan kena pajak sama dengan laba fiskal.
Contoh, suatu perusahaan dalam tahun 200x memperoleh penghasilan kena pajak sebesar Rp.160.000.000,-. Pajak
penghasilan perusahaan tersebut untuk tahun 200x adalah sebagai berikut:
Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Penghasilan
Rp. 50.000.000,- 5% Rp. 2.500.000,-
Rp.110.000.000,- 15% Rp.16.500.000,-
Rp.160.000.000,- Rp.19.000.000,-

PELUNASAN PAJAK
Pada dasarnya pelunasan pajak dapat dikategorikan menjadi; (a) pelunasan selama tahun pajak; (b)
pelunasan pada akhir tahun pajak. Pelunasan selama tahun pajak dapat dilakukan secara berkala, yaitu setiap bulan
atau pada saat-saat tertentu, misalnya pada saat pembelian. Pelunasan selama tahun pajak dapat dilakukan sendiri
oleh wajib pajak atau melalui potongan oleh pihak lain.
Pelunasan sendiri diatur dalam pasal 25 UU pajak penghasilan No 17 tahun 2000. Pemotongan dan
pemungutan oleh pihak lain dilakukan berdasarkan pasal 22, pasal 23, dan pasal 24. Pelunasan pajak yang
dilakukan sendiri (pasal 25) serta pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain (pasal 22, 23, dan 24)
merupakan pembayaran dimuka pajak. Jumlah ini akan dikreditkan trehadap pajak penghasilan yang terutang pada
akhir tahun pajak.
Pelunasan pada akhir tahun pajak merupakan pajak yang terutang untuk seluruh tahun pajak. Perhitungan
pajak yang terutang untuk seluruh tahun pajak dilaporkan dalam surat pemberitahuan tahunan (SPT). Perhitungan
pajak akhir tahun ini, setelah dikurangi kredit pajak dapat menimbulkan kurang atau lebih bayar pajak. Apabila
terdapat lebih bayar pajak maka akan muncul masalah pengembalian kelebihan pembayaran pajak(restitusi) atau
kompensasi terhadap kekurangan bayar pajak-pajak lain.

Potongan Pasal 22
Perusahaan yang bergerak dibidang impor atau kegiatan usaha lainnya yang memperoleh pembayaran dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah, serta perusahaan-perusahaan tertentu dikenakan pemotongan
pajak pengahasilan menurut pasal 22. Pemungut pajak berdasarkan pasal ini adalah; (a) Bank devisa dan Direktorat
Jendral Bea Cukai; (b) Direktorat Jendral Anggaran; (c) Bendaharawan Pemerintah; (d) Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang melakukan pembelian barang dengan dana dari belanja
negara(APBN) dan atau belanja daerah (APBD); (e) Bank Indonesia, Badan Penyehatan Perbankan Nasional,
Bolog, PT.Telkom, PLN, PT.Garuda Indonesia, PT.Indosat, PT.Krakatau Steel, Pertamina, dan Bank-Bank BUMN
untuk pembayaran dari dana APBN maupun non APBN; (f) Badan usaha lain yang ditunjuk Kantor Pelayanan
Pajak untuk penjualan hasil produksinya didalam negeri.
Tarif pemungutan pasal 22 ditetapkan sebesar 25% dari penghasilan Netto. Norma perhitungan diterapkan
untuk memperoleh penghasilan netto untuk kegiatan impor dan pembayaran dari APBN dan APBD dapat
diikhisarkan sbb:
Jenis Transaksi tarif Dasar Pemungutan
Pembelian barang dan jasa yang 1,5% Harga barang/nilai jasa
dibayar melalui APBN/APBD
Impor barang oleh importir yang 2,5% Nilai dasar Impor (CIF)
mempunyai API
Imbpor barang oleh importir yang 7,5% Nilai dasar impor (CIF)
tidak mempunyai API; serta barang-
barang yang tidak dikuasai

Dikecualikan dari pemotongan/pemungutan pasal ini adalah pembayaran yang meliputi jumlah kurang dari
Rp.1.000.000,-, impor barang tertentu dan pembayaran tertentu misalnya untuk bahan bakar minyak, listrik, gas, air
minum dan benda-benda pos.
Contoh:
1.PT.AAN menjual barang kepada Badan Pemerintahan yang pembayarannya dilakukan melalui dana APBN.
Penjualan berjumlah Rp.10.000.000,-. Untuk transaksi ini perusahaan akan dipotong 1,5% x Rp.10.000.000,- =
Rp.150.000,- dan perusahaan akan menerima bukti pemotongan PPh pasal 22 dari Badan Pemerintah yang
bersangkutan dan jumlah uang yang diterima oleh perusahaan Rp.9.850.000,-. Ayat jurnal untuk transaksi ini adlah
sbb:
Bank Rp.9.850.000,-
Angsuran PPh Pasal 22 Rp. 150.000,-
Penjualan Rp.10.000.000,-

2.Seorang importir yang mempunyai API(Angka Pengenal Impor); mengimpor barang dan akan dipungut 2,5% dari
nilai impor. Jumlah barang yang diimpor senilai Rp.50.000.000,-. Pemungutan menurut pasal 22 yang dilakukan
Bea Cukai adalah berjumlah 2,5% x Rp.50.000.000,- = Rp.1.250.000,- dan dari bea cukai importir akan
memperoleh bukti pemotongan PPh Pasal 22. Jurnal yang dibuat adalah sbb:
Pemebelian (Persediaan) Rp.50.000.000,-
Angsuran PPh Pasal 22 Rp. 1.250.000,-
Bank Rp.51.250.000,-

Jumlah angsuran pajak Pasal 22 ini dapat dikreditkan pada pajak penghasilan yang terutang pada akhir
tahun.
Potongan Pasal 23
Apabila perusahaan melakukan transaksi dengan Badan Pemerintah termasuk BUMN/BUMD, wajib pajak
badan dalam negeri atau wajib pajak tertentu lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang maka akan
kemungkinan perusahaan tersebut dikenai potongan pajak penghasilan Pasal 23. Berdasarkan undang-undang
mereka ditunjuk sebagai pemungut pajak oleh karena itu berkewajiban memotong pajak yang terutang.
Transaksi yang menjadi objek pajak penghasilan Pasal 23 diantaranya adalah; (a)Bunga, (b) Deviden,
(c)sewa, (d) Royalti, (e) imbalan untuk jasa teknik, manajemen, konstruksi, konsultan, (f) Hadiah dan penghargaan.
Tarif pajak yang digunakan pada umumnya adalah 15% dari jumlah bruto yang dibayarkan atau terutang. Khusus
untuk sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan jasa teknik, manajemen, konstruksi, konsultan dan jasa lainnya
tarif 15% tersebut didasarkan atas perkiraan penghaslan netto. Sementara tarif 15% untuk bunga simpanan yang
dibagikan oleh koperasi bersifat final, artinya tidak boleh dikreditkan untuk perhitungan pajak penghasilan akhir
tahun dan bunga yang bersangkutan jadi tida perlu dimasukkan sebagai penghasilan.
Contoh:
PT.AAN menerima pembayaran royalti dari PT.AAG sebesar Rp.20.000.000,-. Jumlah ini akan dipotong 15% x
Rp.20.000.000,- = Rp 3.000.000,- dan jumlah yang diterima oleh PT.AAN tinggal Rp.17.000.000,-. Untuk
pemotongan ini PT.AAN akan memperoleh bukti Pemotongan Pasal 23 dari PT.AAG dan ayat jurnal yang dibuat
adalah sbb:

Bank Rp.17.000.000,-
Angsuran PPh Pasal 23 Rp. 3.000.000,-
Pendapatan Royalti Rp.20.000.000,-

Jumlah angsuran pajak Pasal 23 ini apada akhir tahun akan dikreditkan pada pajak penghasilan terutang.

Kredit Pajak Pasal 24


Pasal ini berhubungan dengan kredit pajak luar negeri. Apabila perusahaan mempunyai cabang diluar
negeri maka pajak penghasilan yang telah dipungut dan dibayar diluar negeri dapat dikreditkan pada pajak
penghasilan yang terutang dalam negeri hanya saja terbatas pada pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak dalam negeri.
Contoh:
Suatu perusahaan di Indonesia (PT.AAN) mempunyai cabang di Amerika Serikat (indonesia Corp). Indonesia Corp
memperoleh laba dan membayar pajaknya sbb:
Laba sebelum pajak US$ 10.000
Pajak Penghasilan (48%) 4.800
Laba Bersih US$ 5.200
Pajak atas deviden (38%) 1.976
Deviden yg dikirim ke Indonesia US$ 3.224

Pajak pengahasilan luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak penghasilan yang terutang didalam negeri
hanya terbatas pada pajak atas deviden. Pajak penghasilan Indonesia Corp yang dibayar diluar negeri tidak boleh
dikreditkan pajak ini dikenakan atas Indonesia Corp (Badan Usaha Amerika). Laba Indonesia Corp bukan
merupakan penghasilan PT.AAN. Pengahasilan yang diterima dan diperoleh PT.AAN dari usahanya di Amerika
hanya sebatas pada deviden yang dihasilkan jadi hanya pajak atas deviden saja yang dapat dikreditkan pada pajak
penghasilan yang terutang oleh PT.AAN.

Pengkreditan pajak luar negeri disertai ketentuan bahwa jumlah maksimal yang dapat dikreditkan adalah sebesar
hasil penerapan tarif pajak Indonesia. Jadi jika tarif pajak efektif PT.AAN 30% maka pajak deviden Indonesia Corp
yang boleh dikreditkan hanya sebesar 30% x US$ 5.200 = US$ 1.560. Jadi walaupun pajak deviden yang dibayar di
Amerika serikat berjumlah US$ 1.976, jumlah yang boleh dikreditkan hanya sebesar US$ 1.560.

Pada waktu PT.AAN menerima deviden, ayat jurnal yang harus dibuat adalah sbb:
Bank Rp.6.448.000,-
Angsuran PPh Pasal 24 Rp.3.120.000,-
Pendapatan deviden Rp.9.568.000,-

Jumlah angsuran pajak Psal 24 pada akhir tahun dikreditkan pada pajak penghasilan terutang.

Angsuran Pasal 25
Pembayaran angsuran pajak menurut pasal 25 harus dilakukan tiap-tiap bulan selambat-lambatnya tanggal
15 bulan berikutnya. Jadi angsuran pajak bulan Juni 200x harus dibayar selambat-lambatnya tanggal 15 Juli 200x.
Angsuran pajak yang dibayar dihitung dengan cara tertentu dan ayat jurnal yang dibuat untuk angsuran pajak adalah
dengan mendebit angsuran PPh Pasal 25 dan mengkredit Bank.
Jumlah angsuran pajak Pasal 25 pada akhir tahun akan dikreditkan pada pajak penghasilan yang terutang,
dan pembayaran angsuran pajak Pasal 25 dilakukan dengan bukti surat setoran pajak.

PEMOTONG PAJAK
Adakalanya perusahaan diberi wewenang memotong/memungut pajak penghasilan pihak lain. Hak yang
diberikan hanya memotong/memungut bukan menarik atau menerima pajak. Jadi pajak yang dipotong/dipungut
harus disetorkan penuh ke kas negara. Pemotongan/pemungutan atas pajak pihak lain pada umumnya dilakukan
pada saat pihak lain tersebut melakukan transaksi dengan pemotong/pemungut. Misalnya pada saat pihak lain
melakukan penjualan kepada atau memperoleh pendapatan tertentu dari pemotong/pemungut. Biasanya pemungutan
dilakukan dengan jalan memotong dari nilai transaksi, sejumlah tertentu yang ditetapkan peraturan perpajakan.

Pemotongan PPh 21
Pemotong pajak sesuai pasal 21 terdiri dari: Pemberi kerja; Dana pensiun; Bendaharawan Pemerintah;
Badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan atas jasa termasuk jasa ahli yang
melakukan pekerjaan bebas, penyelenggaraan kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan
pelaksanaan suatu kegiatan.
Objek pajak yang dikenakan pemotongan dapat diklasifikasikan menjadi: (a) imbalan atas pekerjaan, (b)
Pensiun (untuk badan dana pensiun), (c)imbalan atas jasa. Objek pajak ini dapat diberi nama macam-macam,
misalnya imbalan atas pekerjaan dapat diberi nama gaji, upah, honor, tunjagan, uang lembur, premi, uang sokongan
dll.
Perusahaan harus memotong pajak menurut Pasal 21 yaitu ketika bertindak sebagai pemberi kerja atau
pada saat membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan jasa.

Pemotongan Pasal 23
Pada waktu melakukan transaksi dengan wajib pajak dalam negeri, perusahaan diwajibkan memotong
sejumlah persentase tertentu dari jumlah bruto yang dibayarkan atau terutang. Transaksi-transaksi yang menjadi
objek pemotongan adalah bunga; deviden; sewa dan royalty; imbalan untuk jasa teknik; jasa manajemen; jasa
konstruksi dll.
Contoh:
PT.AAN membayar bunga sebesar Rp.3.000.000,- kepada PT.AAG atas pinjamnan yang diterimanya. PT.AAN
harus memotong dari jumlah yang dibayar tersebut sebesar 15% x Rp.3.000.000,- = Rp.450.000,-. Untuk transaksi
ini PT.AAN harus membuat bukti pemotongan Pasal 23 dan ayat jurnal yang dibuat adalah sbb:
Beban Bunga Rp.3.000.000,-
PPh Pasal 23 masih harus disetor Rp. 450.000,-
Bank Rp.2.550.000,-

Potongan PPh Pasal 23 yang dipungut oleh PT.AAN , harus disetorkan ke Kas Negara selambatnya 10 hari setelah
saat terutangnya pajak. Jadi jika transaksi tersebut terjaditanggal 26 Mei 200x maka potongan pasal 23 harus disetor
paling lambat tanggal 05 Juni 200x dengan surat setoran pajak dan dicatat pada jurnal sbb:
PPh Pasal 23 masih harus disetor Rp. 450.000,-
Bank Rp. 450.000,-
Setelah penyetoran tersebut, akun Pph Pasal 23 yang masih harus disetor akan bersaldo nol.

Pemotongan Pasal 26
Pasal 26 menyebutkan adanya pemotogan pajak sebesar 20% atas pembayaran atau jumlah yang terutang
kepada wajib pajak luar negeri dan pemotongan ini bersifat final artinya wajib pajak luar negeri yang bersangkutan
tidak lagi diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan. Dasar pemotongan adalah jumlah bruto untuk
pembayaran-pembayaran: (a) Deviden, (b)bunga termasuk premium, diskonto, premi dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang, (c) sewa, royalti dan penghasilan lain yang sehubungan dengan penggunaan
harta, (d) imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan, (e) hadiah dan penghargaan, (f) pensiun dan
pembayaran berkala lainnya. Jika transaksi dilakukan dengan negara-negara yang melakukan perjanjian
penghindaran pajak berganda dengan Indonesia tarif pemotongan pada umumnya lebih rendah dari 20%.

Contoh:
Pada tanggal 16 Juni 200x PT.AAN membayar royalti kepada American Corp sebesar Rp.40.000.000,-. Pajak yang
harus dipotong atas jumlah ini adlah 20% x Rp.40.000.000,- = Rp.8.000.000,- sehingga jumlah yang harus
dibayarkan adalah Rp.32.000.000,-. Ayat jurnal yang dibuat sebagai berikut:
Beban Royalti Rp.40.000.000,-
PPh Pasal 26 masih harus disetor Rp. 8.000.000,-
Bank Rp.32.000.000,-

Jumlah yang dipotong tersebut harus disetorkan ke Kas Negara selambat-lambatnya 10 hari setelah terutang pajak
yaitu tanggal 26 Juni 200x. Penyetoran menggunakan surat setoran pajak dan ayat jurnal yang dibuat adalah sbb:
PPh Pasal 26 masih harus disetor Rp. 8.000.000,-
Bank Rp. 8.000.000,-

PELUNASAN AKHIR TAHUN


Setiap akhir tahun pajak perusahaan harus melaporkan pajaknya yang terutang untuk tahun yang
bersangkutan. Pelaporan ini dilakukan dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) kepada kantor
Pelayanan Pajak. SPT harus dilampiri dengan neraca dan laporan laba rugi serta keterangan-keterangan lain yang
diperlukan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak. SPT harus disampaikan selambatnya tiga bulan
setelah tahun pajak berakhir.
Contoh:
SPT jumlah penghasilan kena pajak PT.AAN untuk tahun 200x sebesar Rp.170.000.000,-. Pajak penghasilan yang
terutang untuk tahun yang bersangkutan sebagai berikut:
Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Penghasilan
Rp. 50.000.000,- 10% Rp. 5.000.000,-
Rp. 50.000.000,- 15% Rp. 7.500.000,-
Rp. 70.000.000,- 30% Rp.21.000.000,-
Rp.170.000.000,- Rp.33.500.000,-

Angsuran pajak selama 200x yang dapat dikreditkan sebagai berikut:


PPh yang dipungut/dipotong pihak lain
-PPh Pasal 22 Rp. 1.400.000,-
-PPh Pasal 23 Rp. 3.000.000,-
Kredit Pajak luar negeri (PPh Pasal 24) Rp. 3.120.000,-
Angsuran sendiri (PPh Pasal 25) Rp.18.000.000,-
Rp.25.520.000,-

Selisih antara pajak terutang dengan angsuran pajak yang dapat dikreditkan sebesar Rp.7.980.000,- merupakan
jumlah pajak yang kurang bayar pada akhir tahun. Ayat jurnal yang dibuat akhir tahun adalah sbb:
Pajak Penghasilan Rp.33.500.000,-
Angsuran PPh Pasal 22 Rp. 1.400.000,-
Angsuran PPh Pasal 23 Rp. 3.000.000,-
Angsuran PPh Pasal 24 Rp. 3.120.000,-
Angsuran Pph Pasal 25 Rp.18.000.000,-
Utang pajak penghasilan Rp. 7.980.000,-

Dengan adanya ayat jurnal diatas maka akaun akun PPh Pasal 22, 23, 24, 25 akan bersaldo Nol. Pada saat utang
pajak pengahsilan dibayarkan maka ayat jurnalnya sbb:
Utang pajak penghasilan Rp. 7.980.000,-
Bank Rp. 7.980.000,-

Dineraca utang pajak penghasilan diklasifikasikan sebagai kewajiban lancar dan dalam laporan laba rugi pajak
pengahasilan disajikan sebelum laba bersih.

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI


Perusahaan dapat dikenai pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPn BM).
PPN dan PPn BM dikenakan pada waktu perusahaan melakukan penjualan barang/jasa kena pajak.
PPn dihitung dengan rumus :
PPN = Tarif Pajak (TP) x Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

Tarif umum PPn 10%, sementara tarif PPN untuk barang yang diekspor 0%. Dasar pengenaan pajak
(taxbase) adalah harga jual. Dalam hal-hal tertentu dasar pengenaan pajak dapat berbeda dengan harga jual, jadi jika
harga suatu barang/jasa kena pajak Rp.100.000,- maka pajak pertambahan nilai serta jumlah yang dibebankan
kepada pembeli adalah sbb:
Harga Jual (jumlah penjualan) Rp.100.000,-
Pajak Pertambahan Nilai (10%) Rp. 10.000,-
Jumlah yang dibebankan kepada pembeli Rp.110.000,-

Apabila diberi potongan harga, maka potongan ini dapat dikurangkan dari harga jual. Ada kalanya harga
jual yang tercantum dalam faktur sudah termasuk unsur pajak pertambahan nilai. Misalnya, sebuah perusahaan
menjual barang dengan harga Rp.220.000,-. Dalam harga ini sudah termausk pajak pertambahan nilai. Jadi harga
tersebut sama dengan jumlah yang dibebankan kepada pembeli.
Pajak pertambahan nilai dan jumlah penjualan dihitung sbb:
Jumlah yang dibebankan kepada pembeli Rp.220.000,-
Pajak pertambahan nilai(10/110xRp.220.000,-) Rp. 20.000,-
Jumlah Penjualan Rp.200.000,-

Pajak pertambahan nilai yang dikenakan pada saat penyerahan barang/jasa kena pajak merupakan pajak keluaran.
Pajak masukan yaitu PPN yang dibayar pada waktu pembelian atau impor barang kena pajak serta penerimaan jasa
kena pajak dapat dikreditkan untuk masa pajak yang sama. Dalam hal tertentu pajak masukan tidak dapat
dikreditkan. Apabila pajak keluaran lebih besar dari pada pajak masukan, selisihnya harus dibayar oleh pengusaha
kena pajak yang bersangkutan, sebaliknya jika pajak masukan lebih besar daripada pajak keluaran maka kelebihan
pajak ini dapat dikompensasi pada pajak yang terutang masa berikutnya atau dapat pula diminta kembali.

Pajak Masukan
Masalah yang timbul dalam pencatatan pajak masukan adalah kemungkinan berbedanya saat penyerahan
barang kena pajak dan saat pembuatan faktur pajak. Faktur pajak dapat dibuat pada akhir bulan setelah bulan
penyerahan barang/jasa kena pajak. Akibatnya pada saat penyerahan barang/jasa, pajak pertambahan nilai belum
terutang seingga belum dicatat. Sebaliknya dari segi prinsip akuntansi, saat penyerahan barang merupakan salah
satu saat pengakuan beban atau perolehan aktiva.
Contoh:
Pada tanggal 1 September 200x dibeli barang kena pajak seharga Rp.1.000.000,-. Penyerahan dilakukan pada
tanggal tersebut , akan tetapi pada saat ini belum diterima faktur pajak,ayat jurnalnya dibuat sbb:
Persediaan Rp.1.000.000,-
Pajak masukan yang belum difakturkan Rp. 100.000,-
Utang Dagang Rp.1.100.000,-
Pada saat ini ayat jurnal yang harus dibuat adalah sbb:
Pajak masukan Rp. 100.000,-
Pajak masukan belum difakturkan Rp. 100.000,-

Dengan ini saldo pajak masukan belum difakturkan akan bersaldo nol. Pada akhir bulan saldo akun pajak
masukan dikreditkan pada akun pajak keluaran. Pada saat utang dibayarkan akun utang dagang didebit dan bank
dikredit.
Jika pembelian dilakukan secara tunai maka faktur pajak harus segera dibuat sebagai berikut:
Persediaan Rp.1.000.000,-
Pajak Masukan Rp. 100.000,-
Bank Rp.1.100.000,-

Apabila pajak masukan yang dibayar termasuk dalam kategori tidak dapat dikreditkan, maka pajak
tersebut ditambahkan pada harga perolehan barang/jasa yang bersangkutan.
Contoh:
Tanggal 5 September 200x dibeli mobil seharga Rp.12.000.000,-, maka ayat jurnal yang perlu dibuat saat ini adalah
sbb:
Kendaraan Rp.13.200.000,-
Utang dagang Rp.13.200.000,-

Pajak masukan pembelian mobil ini tidak dapat dikreditkan sehingga pajak pertambahan nilainya
ditambahkan pada harga perolehan kendaraan, dengan demikian dapat dihitung sbb:
Harga beli Rp.12.000.000,-
PPn 10% Rp. 1.200.000,-
Harga Perolehan Rp.13.200.000,-

Pajak Keluaran
Masalah pencatatan pajak keluaran tidak berbeda dengan pajak masukan yaitu, kemungkinan berbeda pada
saat penyerahan barang kena pajak dan saat dibuatnya faktur.
Contoh:
Pada tanggal 4 Juni 200x dijual barang kena pajak seharga Rp.2.000.000,-(setelah dikurangi potongan harga).
Tanggal ini sekaligus tanggal penyerahan. Pada saat penyerahan belum perlu dibuatkan faktur pajak. Ayat jurnal
yang dibuat saat ini adalah:
Piutang dagang Rp.2.200.000,-
Penjualan Rp.2.000.000,-
Pajak keluaran belum difakturkan Rp. 200.000,-
Pada tanggal 31 Juli 200x dibuatkan faktur pajak, maka ayat jurnal yang dibuat adalah sbb:
Pajak keluaran belum difakturkan Rp. 200.000,-
Pajak Keluaran Rp. 200.000,-

Dengan ayat jurnal ini akun pajak keluaran belum difakturkan akan bersaldo nol. Pada akhir bulan saldo
akun pajak keluaran dikurangi dengan pajak masukan yang dapat dikreditkan. Selisihnya merupakan pajak
pertambahan nilai yang masih harus disetor/dikompensasikan. Jika penjualan dlakukan secara tunai, faktur pajak
harus segera dibuat, ayat jurnalnya sbb:
Bank Rp.2.200.000,-
Penjualan Rp.2.000.000,-
Pajak keluaran Rp. 200.000,-
Penjualan Retur
Barang yang dikembalikan karena rusak, perbedaan mutu, jenis atau tipe dan barang yang hilang dalam
perjalanan dapat dikurangkan dari penjualan. Pajak pertambahan nilai tidak terutang karenanya. Penjualan retur
mengurangi jumlah penjualan dan pajak keluaran, sementara itu pembelian retur mengurangi pembelian dan pajak
masukan. Pengurangan pajak pertambahan nilai atas penjualan dan pembelian retur dilakukan dalam masa pajak
dimana terjadi pengembalian. Penjualan/pembelian retur dapat terjadi sebelum faktur pajak dibuat atau sesudahnya.
Penjualan/pembelian retur yang dilakukan setelah dikeluarkan faktur pajak harus dibuatkan nota kredit/debit.
Contoh:
Dari contoh sebelumya, terjadi penjualan retur pada tanggal 10 Juni 200x. Jumlah yang dikembalikan adalah
Rp.500.000,-, ayat jurnal yang dibuatkan sbb:
Penjualan retur Rp.500.000,-
Pajak keluaran belum difakturkan Rp. 50.000,-
Piutang dagang Rp.550.000,-
Setelah ayat jurnal ini maka saldo maisng-masing akun adalah sbb:
D (K)
Penjualan (Rp.2.000.000,-)
Penjualan retur 500.000,-
Pajak keluaran sebelum difakturkan 150.000,-
Piutang dagang Rp. 1.650.000,-

Pada tanggal 31 Juli 200x saat dibuatkan faktur pajak, jumlah penjualan yang dicantumkan sudah
dikurangi dengan penjualan retur.
Contoh:
Jumlah harga jual/penggantian Rp.2.000.000,-
Dikurangi penjualan retur Rp. 500.000,-

Dasar pengenaan pajak Rp.1.500.000,-


PPN = 10% X DPP Rp. 150.000,-
Jumlah yang dibebankan Rp.1 650.000,-

Jika penjualan retur terjadi setelah faktur pajak dikeluarkan, maka ayat jurnalnya sbb:
Penjualan Rp. 500.000,-
Pajak keluaran Rp. 50.000,-
Piutang dagang Rp. 550.000,-

Pemberian Cuma-Cuma
Penyerahan barang persediaan selain untuk penjualan/ekspor merupakan penyerahan kena pajak. Contoh:
Seorang pengusaha kena pajak memberikan contoh hasil produksi kepada calon pelanggan sebagai bagian dari
kegiatan promosinya. Harga pokok barang yang diberikan secara Cuma-Cuma adalah Rp.5.000.000,-, ayat jurnal
yang dibuat sbb:
Beban Promosi Rp.5.500.000,-
Persediaan Rp.5.000.000,-
Pajak Keluaran Rp. 500.000,-

Penyajian dalam Laporan Keuangan


Saldo akun pajak masukan dan pajak keluaran pada akhir periode akuntansi dinettokan. Apabila saldo akun
pajak masukan lebih besar dari pajak keluaran, maka jumlah yang bersangkutan sebagai bagian aktiva lancar.
Sebaliknya jika pajak keluaran lebih besar maka disajikan sebagai kewajiban lancar. Hal yang sama dilakukan
untuk pajak masukan dan pajak keluaran yang belum difakturkan.

PAJAK PENJUALAN BARANG MEWAH


Pajak penjualan barang mewah dikenakan terhadap penyerahan dan impor barang mewah. Tarif pajak
penjualan barang mewah yang paling rendah 10% dan paling tinggi 75%. Tarif untuk ekspor barang mewah adalah
0%.
Pajak penjualan barang mewah dihitung sebesar tarif yang ditetapkan dikalikan dasar pengenaan pajak.
Dasar pengenaan pajak barang mewah adalah nilai jual atau impor berbeda dengan pajak pertambahan nilai, pajak
penjualan barang mewah yang sudah dibayar pada waktu perolehan atau impor barang tidak dapat dikreditkan
dengan pajak pertambahan nilai yang dipungut. Khusus untuk barang mewah yang diekspor, pajak penjualan barang
mewah yang telah dibayar dapat diminta kembali.

Penjualan
Pengusaha yang melakukan penyerahan barang mewah harus memungut pajak penjualan barnag mewah.
Contoh: Seorang pengusaha kena pajak menjual barang kena pajak yang tergolong mewah dengan tarif pajak 20%.
Nilai penjualan Rp.50.000,-. Pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah dihitung sbb:
Harga jual(jumlah penjualan) Rp.50.000,-
Pajak pertambahan nilai Rp. 5.000,-
Pajak penjualan atas barang mewah Rp.10.000,-
Jumlah yang dibebankan pada pembeli Rp.65.000,-

Ayat jurnal yang dibuat adalah sbb:


Piutang dagang/Bank Rp.65.000,-
Penjualan Rp.50.000,-
Pajak keluaran Rp. 5.000,-
Pajak penjualan atas barang mewah Rp.50.000,-

Pembelian
Pembelian atau impor barang mewah, dikenai pajak penjualan barang mewah. Contoh: seorang pengusaha
kena pajak membeli barang kena pajak yang dikategorikan barang mewah dengan tarif 20%. Nilai pembelian
Rp.200.000,-. Pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah dihitung sbb:
Nilai pembelian Rp.200.000,-
Pajak pertambahan nilai(10%) Rp. 20.000,-
Pajak penjualan atas barang mewah(20%) Rp. 40.000,-
Jumlah yang harus dibayar Rp.260.000,-
Ayat jurnal yang dibuat untuk transaksi ini adalah sbb:
Persediaan Rp.240.000,-
Pajak Masukan Rp. 20.000,-
Utang dagang/bank Rp.260.000,-

Pelaporan
Pajak penjualan barang mewah yang dipungut untuk suatu masa pajak harus disetorkan ke kas negara
selambat-lambatnya 15 hari setelah masa pajak berakhir. Pemungutan pajak harus dilaporkan kekantor pajak paling
lambat 20 hari setelah berakhirnya masa pajak. Pelaporan pajak penjualan barang mewah dilakukan dengan
membuat pemberitahuan penyerahan barang mewah.
Surat Pemberitahuan Masa (SPM) merupakan laporan bulanan yang disampaikan oleh pengusaha kena
pajak tentang perhitungan pajak pertambahan nilai. Penyampaian SPM bersifat wajib dan disampaikan kepada
Kanto Pelayanan Pajak dimana pengusaha kena pajak dikukukhkan. SPM harus disampaikan dalam jangka waktu
20 hari setelah akhir masa pajak. Untuk pajak pertambahan nilai tidak perlu dibuatkan surat pemberitahuan tahunan.

Anda mungkin juga menyukai