Anda di halaman 1dari 16

PAJAK PENGHASILAN BADAN

Kompetensi Dasar:
3.7 Menerapkan PPh Badan terutang
4.7 Melakukan perhitungan PPh Badan terutang

A. KONSEP DASAR PPh BADAN


Pengusaha tidak bisa dipisahkan dari kewajibannya untuk membayar pajak, terutama pajak
Badan atau pajak perusahaan. Dalam pembahasan ini akan mengulas secara mendalam
tentang Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) mulai dari jenis PPh Badan, tarif PPh
Badan, bagaimana cara menghitung PPh Badan dan contoh perhitungan PPh Badan.
Jenis pajak ini dikenakan atas penghasilan suatu Badan atau perusahaan yang biasanya
sangat berbeda-beda, tergantung bidang dan kebijakan usahanya.
Karena penerapannya yang sangat luas dan tergantung dari sumber usaha yang digeluti,
maka kita wajib memahami bagaimana pengertian dan ketentuan Pajak Penghasilan Badan
atau PPh Badan ini.
Setidaknya hal-hal yang berkaitan dengan PPh Badan seperti berapa tarif PPh Badan,
bagaimana cara menghitung PPh Badan, serta contoh perhitungannya yang akan lebih
mudah dipahami melalui contoh perhitungan PPh Badan.
1. Pengertian PPh Badan
Pajak Penghasilan Badan atau PPh Badan adalah pajak yang dikenakan atas
penghasilan suatu perusahaan.
Sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh),
penghasilan suatu badan atau perusahaan yang dimaksud adalah:
“Setiap penambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh Wajib
Pajak Badan, baik dari dalam maupun luar negeri, dengan keperluan apapun
termasuk misalnya menambah kekayaan, konsumsi, investasi, dan lain sebagainya.”

2. Subjek PPh Badan & Objek PPh Badan


Siapa saja yang menjadi subjek Pajak Penghasilan Badan dan apa saja yang termasuk
dalam objek PPh Badan juga telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan pajak
penghasilan.
Berikut adalah subjek pajak penghasilan badan (subjek PPh Badan) dan objek pajak
penghasilan badan:
a. Subjek Pajak Badan (PPh Badan)
Subjek pajak Badan atau subjek PPh Badan adalah setiap Badan Usaha yang
diberikan kewajiban untuk membayar pajak, baik dalam periode bulan maupun
tahun dan disetor ke kas negara.
Berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU
KUP), yang termasuk dalam pengertian Badan adalah sebagai berikut:
1. Perseroan Terbatas (PT)
2. Perseroan Lainnya
3. Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
4. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
5. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)
6. Firma
7. Kongsi
8. Koperasi

Administrasi Pajak 1
9. Dana Pensiun
10. Persekutuan
11. Perkumpulan
12. Yayasan
13. Organisasi Masyarakat
14. Organisasi Sosial Politik
15. Organisasi lainnya dengan nama dan bentuk apapun
16. Lembaga dan bentuk badan lainnya
17. Kontrak Investasi Kolektif (KIK)
18. Bentuk Usaha Tetap

b. Objek PPh Badan (Objek Pajak Badan)


Objek PPh Badan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh badan.
Bagi Subjek Badan dalam negeri yang menjadi objek PPh adalah semua
penghasilan baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Penghasilan yang sebagai objek Pajak Penghasilan Badan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang PPh ini meliputi:
1. Hadiah dari kegiatan dan penghargaan
2. Laba usaha
3. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta (selain tanah dan
bangunan)
4. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
5. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang
6. Dividen
7. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak
8. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
9. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan
10. Peraturan Pemerintah
11. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing
12. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva tetap
13. Iuran yang diterima perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak
yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
14. Penghasilan dari usaha berbasis syariah
15. Surplus Bank Indonesia

B. Dasar Hukum PPh Badan


a. UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
b. UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
c. UU No. 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang
Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
d. UU No. 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang
Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu

C. Jenis Pajak Badan, Selain Pajak Penghasilan Badan


Secara umum, ada dua jenis pajak yang harus dibayar dan dilaporkan oleh Wajib Pajak
Badan, yakni Pajak Penghasilan Badan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Kedua pajak Badan tersebut terbagi lagi menjadi beberapa jenis.

Administrasi Pajak 2
Apa sajakah jensi Pajak Penghasilan Badan dan PPN yang menjadi kewajiban WP Badan?
1. Jenis Pajak Penghasilan (PPh) yang dikenakan pada Badan atau PPh Badan
Ada beberapa jenis pajak penghasilan badan atau PPh Badan yang harus dibayar dan
dilaporkan oleh perusahaan atau WP Badan, di antaranya:
a. Pajak Penghasilan Pasal 21
PPh Pasal 21 mengatur tentang pemotongan dari hasil pekerjaan jasa atau kegiatan
dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
atau karyawan
Perusahaan melakukan pemotongan langsung atas penghasilan para karyawan untuk
selanjutnya disetorkan ke kas negara melalui bank persepsi.

b. Pajak Penghasilan Pasal 22


PPh 22 mengatur atas pemungutan pajak dari Wajib Pajak yang dibebankan pada
badan usaha tertentu karena melakukan aktivitas perdagangan terkait dengan
ekspor, impor, maupun re-impor.

c. Pajak Penghasilan Pasal 23


PPh Pasal 23 mengatur atas pemotongan pajak yang dilakukan oleh pemungut
pajak dari Wajib Pajak ketika terjadi transaksi yang merujuk pada:
 Transaksi dividen atau pembagian keuntungan saham
 Royalti, bunga, hadiah dan penghargaan
 sewa, dan penghasilan lain yang berkaitan dengan penggunaan aset selain tanah
dan transfer bangunan atau jasa.

d. Pajak Penghasilan Pasal 25


PPh Pasal 25 mengatur atas angsuran pajak yang berasal dari jumlah pajak
penghasilan terutang menurut SPT PPh dikurangi PPh yang telah dipungut serta
PPh yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dan boleh dikreditkan.

e. Pajak Penghasilan Pasal 26


PPh Pasal 26 mengatur pajak yang dikenakan atas penghasilan yang bersumber
dari Indonesia dan diterima Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap
(BUT) di Indonesia.

f. Pajak Penghasilan Pasal 29


PPh Pasal 29 mengatur atas jumlah pajak terutang suatu perusahaan dalam satu
tahun pajak lebih besar dari jumlah kredit pajak yang telah dipotong oleh pihak
lain, serta telah disetorkan.
Maka nilai lebih pajak terutang tersebut harus dibayarkan sebelum SPT PPh Badan
dilaporkan.

g. Pajak Penghasilan Pasal 15


PPh Pasal 15 mengatur atas laporan pajak yang berhubungan dengan Norma
Perhitungan Khusus untuk golongan Wajib Pajak tertentu, termasuk Wajib Pajak
Badan yang bergerak pada:
 Sektor pelayaran atau penerbangan internasional
 Perusahaan asuransi luar negeri
 Pengeboran minyak, gas dan geothermal
 Perusahaan dagang asing
 Perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangunan serah guna.

Administrasi Pajak 3
h. Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2)
PPh Pasal 4 ayat (2) berkaitan dengan pajak yang dipungut dari penghasilan
yang dipotong dari:
 Bunga deposito dan tabungan lainnya
 Bunga obligasi dan surat utang negara
 Bunga simpanan yang dibayarkan koperasi
 Hadiah undian
 Transaksi saham dan sekuritas lainnya
 Serta transaksi lain sebagaimana diatur dalam peraturan yang ditetapkan.

2. Jenis Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


Berikut jenis pajak badan dari PPN:
a. Pajak Pertambahan Nilai
PPN adalah merupakan pajak yang dibebankan untuk transaksi atas Barang
Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP).
Nilai PPN biasanya ditambahkan pada harga pokok barang atau jasa yang
diperjualbelikan tersebut.

b. Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)


Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) merupakan pajak yang dikenakan
atas barang atau produk yang dianggap bukan sebagai barang kebutuhan pokok.
Barang tersebut biasanya dikonsumsi oleh masyarakat kalangan tertentu yang
pada umumnya merupakan masyarakat berpenghasilan tinggi.

D. PERHITUNGAN PPH BADAN


1. Penghasilan Kena Pajak
Perhitungan besarnya penghasilan neto bagi wajib pajak badan dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu menggunakan norma penghitungan penghasilan neto.
1) Menghitung PKP dengan Menggunakan Pembukuan
Untuk wajib pajak badan besarnya PKP sama dengan penghasilan nettonya yaitu
penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya yang diperkenankan oleh Undang-
undang PPh.
PKP WP Badan = Penghasilan Neto
= Penghasilan Bruto – Biaya yang Diperkenankan UU PPh

2) Menghitung PKP dengan Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan


Neto
PKP WP Badan = Penghasilan Neto – Kompensasi Kerugian
atau
= (Penghasilan Bruto – Biaya yang Diperkenankan UU PPh) –
Kompensasi Kerugian

Apabila dalam menghitung PKP-nya wajib pajak yang menggunakan norma


penghitungan penghasilan neto, besarnya penghasilan neto adalah sama
besarnya dengan persentase norma penghitungan penghasilan neto dikali dengan
jumlah peredaran usahanya. Dalam hal rugi tahun sebelumnya yang masih dapat
dikompensasikan.

Administrasi Pajak 4
E. TARIF PPh BADAN
Pemerintah RI dan DPR RI sudah menyetujui Rancangan UU Harmonisasi Peraturan
Perpajakan atau yang disingkat dengan RUU HPP.
RUU HPP tersebut telah resmi disahkan pada tanggal 7 Oktober 2021 lalu.
Karena sudah disahkan menjadi RUU, maka dalam waktu 30 hari, presiden RI akan
mengesahkan RUU HPP tersebut menjadi UU.
Dalam UU HPP terbaru itu, tarif PPh Badan akan menjadi sebesar 22% untuk tahun
pajak 2022.

F. Menghitung PPh yang Harus Dibayar


Untuk mendapatkan nominal PPh terutang atau pajak penghasilan yang dibayarkan, wajib
pajak dapat mengalikan penghasilan kena pajak dengan tarif pajak yang berlaku.
Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) bagian b UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi
Peraturan Perpajakan, tarif pajak yang dikenakan kepada badan adalah 22%. Besar tarif ini
berlaku mulai 1 Januari 2022.
Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2020, pemerintah menurunkan tarif umum PPh Badan menjadi
22% untuk tahun 2020 dan 2021, lalu menjadi 20%. Namun, dengan adanya UU HPP, tarif
PPh Badan kembali 22%.
Sedangkan untuk perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbuka (Go Public) dengan jumlah
keseluruhan saham yang diperdagangkan di bursa efek di Indonesia paling sedikit 40%, dan
memenuhi syarat tertentu, memperoleh tarif 3% lebih rendah dari tarif umum PPh Badan.
Setelah mendapatkan besaran PPh yang terutang, jangan lupa untuk mengkreditkan pajak-
pajak lain, seperti:
1. PPh lain yang sudah dibayarkan melalui mekanisme pemotongan (Withholding Tax)
oleh pihak ketiga (PPh 23 dan PPh 22).
2. Angsuran PPh Badan yang telah dicicil dan dibayarkan sendiri (PPh 25 Badan).
3. PPh yang telah dibayarkan di luar Indonesia (PPh 24 Kredit Pajak Luar Negeri).
Kemudian, akan didapatkan perhitungan akhir PPh Badan, baik kurang bayar atau lebih
bayar

G. Ketentuan dan Contoh Perhitungan PPh Badan


Selain mekanisme di atas. ada juga hal lain yang harus dipahami, yaitu peredaran bruto dan
kepentingannya dalam penghitungan Pajak Penghasilan Badan.
Peredaran bruto adalah seluruh penghasilan yang diterima, baik orang pribadi maupun
badan.
Jika memilih untuk tidak melakukan pembukuan, PKP akan dihitung berdasarkan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN).
Sebaliknya, jika melakukan pembukuan yang benar, penghitungan PKP dilakukan
berdasarkan catatan yang tertulis di pembukuan.
Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau NPPN yang dimaksud dapat dilihat pada pasal
14 UU No. 36 Tahun 2008 tentang PPh.
Berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku, Norma Penghitungan Penghasilan Neto
dibagi dalam 2 jenis berdasarkan jumlah peredaran bruto, yaitu:
1. Perhitungan PPh Badan Peredaran Bruto hingga Rp50 Miliar
Penghasilan Kotor (Bruto)
Tarif Pajak

Kurang dari Rp4,8 miliar 50% x *22% x Penghasilan Kena Pajak


[(50%x22%) x Penghasilan Kena Pajak yang Memperoleh
Lebih dari Rp4.8 miliar s/d
Fasilitas] + (22% x Penghasilan Kena Pajak Tidak Memperoleh
Rp50 Miliar
Fasilitas
*22% tarif PPh Badan yang berlaku di 2022

Administrasi Pajak 5
2. Peredaran Bruto di atas Rp50 miliar
Pajak Penghasilan badan terutang dengan peredaran bruto di atas Rp50 miliar akan dihitung
berdasarkan ketentuan umum atau tanpa fasilitas pengurangan tarif.
Jadi dapat disimpulkan bahwa besar Pajak Penghasilan badan tetap adalah 22% x
penghasilan kena pajak.
*22% tarif Pajak Penghasilan Badan yang berlaku di 2022

H. Penyusutan dan Amortisasi


Biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto yaitu biaya yang tidak
mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan , biaya biaya, dan penyusutan.
Peneluaran untuk mendapatkan,menagih,dan memelihara penghasilan yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 tahun tidak boleh dibebankan sekaligus. Melainkan dibebankan
melalui penyusutan atau amortisasi.
Metode penyusutan atau Amortisasi guna keperluan pajak sbb :
1. Metode Saldo Menurun
Adalah dillakukan dalam bagian yang menurun selama masa manfaat. Metode ini
dihitung dengan menerapkan tarif penyusutan atau nilai sisa buku, serta pada akhir
masa manfaat nilai sisa pada buku disusutkan sekaligus.
Tarif penyusutan jika digunakan saldo menurun sbb :
a. Kelompok 1 untuk masa manfaat sampai dengan 4 tahun, tarif yang digunakan 50%
b. Kelompok 1 untuk masa manfaat antara 4 sampai dengan 8 tahun, tarif yang
digunakan 25%
c. Kelompok 1 untuk masa manfaat antara 8 sampai dengan 16 tahun, tarif yang
digunakan 12,5%
d. Kelompok 1 untuk masa manfaat 20 tahun atau lebih tarif yang digunakan 10%

2. Metode Garis lurus


a. Kelompok 1 untuk masa manfaat sampai dengan 4 tahun, tarif yang digunakan 25%
Kelompok 1 untuk masa manfaat antara 4 sampai dengan 8 tahun, tarif yang digunakan
1,25%
b. Kelompok 1 untuk masa manfaat antara 8 sampai dengan 16 tahun, tarif yang
digunakan 6,25%
c. Kelompok 1 untuk masa manfaat 20 tahun atau lebih tarif yang digunakan 5%
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tarif penyutan untuk metode Saldo
Menurun dua kali lipat dari tarif penyutan metode Garis Lurus. Dalam kaitanya dengan
pajak penyusutan dihitung bulanan. Tarif diatas tidak berlaku untuk bangunan.
Bangunan dihitung dengan metode Garis Lurus dengan ketentuan sbb :
1. Bangunan bukan bangunan permanen tarif yang digunakan sebesar 5%
2. Bangunan permanen tarif yang digunakan 10%.

2. Kredit Pajak PPh Badan


Ketentuan PPh Pasal 25 UU PPh mengatur tentang penghitungan besarnya angsuran
bulanan yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak dalam tahun berjalan.
Pembayaran pajak dalam tahun berjalan dapat dilakukan dengan:
1) Wajib pajak membayar sendiri pajaknya (PPh Pasal 25)
2) Melalui pemotongan atau pemungutan pihak ketiga (PPh Pasal 21, 22, 23, dan 24)
Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh wajib
pajak untuk setiap bulan adakah sebesar pajak penghasilan yang terutang menurut surat
pemberitahuan tahunan pajak penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
a) Pajak penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam PPh Pasal 21 dan
Pasal 23, serta pajak penghasilan yang dipungut sebagaiman dimaksud dalam pasal
22.

Administrasi Pajak 6
b) Pajak penghasilan yang dibayar atau terutag di luar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 24. Dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya
bulan dalam bagian tahun pajak.
Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 ayat (1) bagi Wajib Pajak Badan:
PPh Menurut SPT Tahunan PPh Tahun Lalu xxx
Pengurangan/Kredit Pajak:
– PPh Pasal 22 xxx
– PPh Pasal 23 xxx
– PPh Pasal 24 xxx
Total Kredit Pajak (xxx)
Dasar Penghitungan Angsuran xxx

3. PPh Kurang Bayar


Menurut UU PPh Pasal 29 yang berbunyi: “Apabila pajak yang terutang untuk suatu
tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1) kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.”
Guna memberi kepastian Batasan waktu pembayaran PPh kurang bayar pada SPT
tahunan tahun pajak 2008, maka Dirjen pajak telah menerbitkan Surat Edaran tentang
penegasan batas waktu penyampain dan pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang
terutang berdasarkan SPT tahunan PPh tahun pajak 2008. Dalam surat edaran tersebut
ditegaskan hal-hal sbb :
a. Batas waktu penyampaian SPT tahunan PPh wajib pajak pribadi paling lambat 3
bulan setelah akhir tahun pajak.
b. Batas waktu penyampaian SPT tahunan PPh wajib pajak badan paling lambat 4
(empat ) bulan setelah akhir tahun pajak.
c. Dalam hal pelunasan kekurangan pembayaran PPh terutang berdasarkan SPT
tahunan PPh wajib pajak pribadi atau wajib pajak badan wajib dilakukan sebelum
SPT tahunan PPh disampaikan, paling lambat sesuai batas waktu penyampaian SPT
tahunan PPh.

I. Ketentuan Menghitung PPh Badan bagi Wajib Pajak Badan


Penghasilan sendiri merupakan objek pajak, yakni setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari
luar negeri, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Sebagai Wajib Pajak Badan, harus mengikuti ketentuan perhitungan pajak sesuai dengan
ketentuan perundang-undangkan.
Dalam penghitungan Pajak Penghasilan Badan, Wajib Pajak Badan biasanya tak luput dari
yang namanya pembukuan.
Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) Pasal 28 ayat (1), bahwa Wajib Pajak badan
diwajibkan menyelenggarakan pembukuan.
Sebab untuk menghitung PPh Badan, terlebih dahulu harus mengetahui berapa besar
Penghasilan Kena Pajak tersebut dan hal ini Wajib Pajak Badan perlu menyelenggarakan.

Administrasi Pajak 7
Berikut langkah-langkah untuk mengetahui Penghasilan kena Pajak bagi Wajib Pajak Badan
dalam menghitung PPh Badan:
a. Menghitung penghasilan setahun
Hitung seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam satu Tahun Pajak.
Penghasilan yang bukan merupakan objek pajak dan penghasilan yang dikenakan PPh
Final tidak perlu dimasukkan dalam penghitungan penghasilan setahun.
Jika penghasilan yang tidak dapat dikurangkan itu terlanjur masuk dalam pembukuan,
maka perlu mengeluarkan terlebih dahulu dari laporan rugi/laba terlebih dahulu
melalui koreksi fiskal.

b. Mengurangi dengan biaya-biaya


Berikutnya, untuk mengetahui Penghasilan Kena Pajak, Wajib Pajak Badan harus
mengurangkan biaya-biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan kegiatan usaha, baik itu
pengeluaran langsung maupun tidak langsung.
Biaya-biaya tersebut diantaranya; biaya sewa, pembelian bahan, biaya perjalanan, biaya
berkenaan dengan pekerjaan atau jasa (gaji, tunjangan, honorarium, dan lainnya), biaya
bunga, royalti, premi asuransi, biaya promosi dan penjualan, biaya pengolahan limbah,
biaya administrasi dan lainnya.
Tak ketinggalan juga adalah harus mengurangkan biaya penyusutan atau amortisasi.

c. Biaya yang tidak dapat dikurangkan


Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, Wajib Pajak Badan juga harus
mengeluarkan biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan sesuai ketentuan perundang-
undangan perpajakan.
Biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan itu adalah pembagian laba/dividen, sisah hasil
usaha koperasi atau biaya untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau
anggota maupun biaya lainnya yang diatur dalam peraturan perpajakan.
Jika biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan tersebut terlanjur dimasukkan dalam
pembukuan, maka harus dikeluarkan terlebih dahulu melalui koreksi fiskal.
Catatan:
Jika penghasilan bruto setelah dilakukan pengurangan biaya-biaya ternyata hasilnya
mengalami kerugian, sehingga tidak terdapat Penghasilan Kena Pajak, maka kerugian
tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan mulai Tahun Pajak berikutnya.
Kompensasi dengan penghasilan di Tahun Pajak berikutnya tersebut berlaku secara
berturut-turut hingga 5 tahun.
Sebagai subjek pajak dalam negeri, badan memiliki kewajiban untuk membayar pajak sejak
saat didirikan atau berkedudukan di Indonesia.
Kewajiban tersebut akan berakhir ketika badan dibubarkan atau tidak lagi berkedudukan di
Indonesia.
Untuk menghitung pajak yang dikenakan pada badan atas penghasilan yang didapatkan, berikut
mekanisme yang umum digunakan.
1. Penghitungan Penghasilan Kena Pajak
Untuk mendapatkan nominal penghasilan kena pajak badan, pertama-tama wajib pajak
badan perlu mengetahui besaran jumlah penghasilan bruto yang didapatkan selama 1 tahun
berjalan. Kemudian, kurangi penghasilan bruto tersebut dengan biaya-biaya yang boleh
dikurangkan (deductible expense).
Biaya yang dapat dikurangkan sebagaimana diatur dalam ketentuan fiskal adalah biaya
yang terkait dengan upaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
(3M). Biaya-biaya ini diatur dalam UU PPh Pasal 6, di antaranya:

Administrasi Pajak 8
a. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha,
contohnya biaya pembelian lahan, biaya promosi dan penjualan yang diatur
berdasarkan PMK No. 02/PMK/03/2010
b. Biaya penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud
c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta perusahaan untuk 3M
e. Kerugian selisih kurs mata uang asing
f. Biaya penelitian yang dilakukan di Indonesia
g. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan
h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
i. Sumbangan penanggulangan bencana nasional
j. Sumbangan penelitian yang dilakukan di Indonesia
k. Sumbangan biaya pembangunan infrastruktur sosial
l. Sumbangan fasilitas pendidikan
m. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga

Biaya yang tidak boleh dikurangkan (non-deductible expense). Biaya ini diatur dalam Pasal 9
UU PPh, di antaranya:
a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dividen yang
dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi
b. Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau
anggota
c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan
d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa, yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam
bentuk natura atau kenikmatan
f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau
kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa
g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b UU HPP
h. Pajak penghasilan
i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib pajak orang
pribadi atau orang yang menjadi tanggungannya
j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham
Sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan serta sanksi pidana berupa denda
yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan
k. Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan
sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A UU HPP
Biaya yang termasuk ke dalam deductible expense tidak dapat digunakan sebagai
pengurang untuk menghitung penghasilan kena pajak. Karena itu, ada baiknya untuk
memisahkan terlebih dahulu antara deductible expense dan non-deductible expense dalam
menghitung PPh Badan.
Biaya-biaya yang termasuk ke dalam non-deductible expense ini akan menimbulkan
koreksi fiskal positif, dan biaya-biaya yang termasuk ke dalam deductible expense akan
menimbulkan koreksi fiskal negatif.

Administrasi Pajak 9
Selanjutnya, didapatkan penghasilan neto fiskal, yaitu penghasilan neto yang diterima oleh
wajib pajak dalam negeri, baik dari kegiatan usaha maupun bukan, setelah melewati proses
rekonsiliasi fiskal yang berdasarkan ketentuan perpajakan.
Penghasilan neto fiskal ini kemudian dikurangkan dengan kompensasi kerugian fiskal,
yaitu sisa saldo kerugian badan dari tahun sebelumnya (jika ada). Melalui Pasal 6 ayat (2)
UU PPh, pemerintah memperbolehkan wajib pajak badan untuk memperhitungkan
kompensasi kerugian sehingga didapatkan angka Penghasilan Kena Pajak sebagai Dasar
Pengenaan Pajak (DPP) untuk menghitung PPh Badan terutang.
Sebagai informasi, kerugian fiskal yang akan dikompensasikan wajib dihitung berdasarkan
aturan perpajakan terlebih dahulu dan bukan merupakan kerugian komersial.
Kemudian, hasil dari pengurangan penghasilan neto fiskal dan kompensasi kerugian fiskal
tersebut adalah besaran penghasilan kena pajak yang dimaksud.
Jika penghasilan bruto setelah pengurangan biaya-biaya tersebut didapat kerugian sehingga
tidak terdapat penghasilan kena pajak, kerugian tersebut dikompensasikan dengan
penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun
berikutnya.

2. Penghitungan PPh Terutang


Untuk mendapatkan nominal PPh terutang atau pajak penghasilan yang dibayarkan, wajib
pajak dapat mengalikan penghasilan kena pajak dengan tarif pajak yang berlaku.
Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) bagian b UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi
Peraturan Perpajakan, tarif pajak yang dikenakan kepada badan adalah 22%. Besar tarif ini
berlaku mulai 1 Januari 2022.
Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2020, pemerintah menurunkan tarif umum PPh Badan menjadi
22% untuk tahun 2020 dan 2021, lalu menjadi 20%. Namun, dengan adanya UU HPP, tarif
PPh Badan kembali 22%.
Sedangkan untuk perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbuka (Go Public) dengan
jumlah keseluruhan saham yang diperdagangkan di bursa efek di Indonesia paling sedikit
40%, dan memenuhi syarat tertentu, memperoleh tarif 3% lebih rendah dari tarif umum
PPh Badan.
Setelah mendapatkan besaran PPh yang terutang, jangan lupa untuk mengkreditkan pajak-
pajak lain, seperti:
1. PPh lain yang sudah dibayarkan melalui mekanisme pemotongan (Withholding Tax)
oleh pihak ketiga (PPh 23 dan PPh 22).
2. Angsuran PPh Badan yang telah dicicil dan dibayarkan sendiri (PPh 25 Badan).
3. PPh yang telah dibayarkan di luar Indonesia (PPh 24 Kredit Pajak Luar Negeri).
Kemudian, akan didapatkan perhitungan akhir PPh Badan, baik kurang bayar atau lebih
bayar.

Ketentuan Fasilitas Pengurangan Tarif


Wajib pajak badan dalam negeri mendapatkan fasilitas pengurangan tarif. Fasilitas
pengurangan tarif ini ditentukan berdasarkan besaran peredaran bruto.
Jika peredaran bruto berada di antara Rp4,8 miliar–Rp50 miliar, maka wajib pajak badan
mendapatkan fasilitas pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif yang dikenakan atas
penghasilan kena pajak dari peredaran bruto yang berjumlah Rp4,8 miliar.
Berikut rumusnya:
 Peredaran bruto kurang atau sama dengan Rp4,8 miliar adalah 50% x 22% x
penghasilan kena pajak.

Administrasi Pajak 10
 Peredaran bruto lebih dari Rp4,8 miliar sampai Rp50 miliar adalah [(50% x 22%) x
penghasilan kena pajak yang memperoleh fasilitas] + [22% x penghasilan kena pajak
tidak memperoleh fasilitas].
Tetapi jika peredaran bruto di atas Rp50 miliar, akan dihitung berdasarkan ketentuan umum
atau tanpa fasilitas pengurangan tarif. Hasilnya, besar PPh Badan tetap 22% dikalikan
penghasilan kena pajak.

Contoh Menghitung PPh Badan bagi Wajib Pajak Badan Sesuai Tarif
Berikut contoh-contoh penghitungan PPh Badan dengan tarif yang berlaku dan sesuai pada
kondisi masing-masing Wajib Pajak Badan.

Contoh 1, (penghasilan bruto lebih dari 50 milyar)


PT AAA merupakan Perusahaan Tbk dengan penghasilan bruto pada tahun 2021 sebesar
Rp80.000.000.000 dengan Penghasilan Kena Pajak dari hasil pembukuannya sebesar
Rp5.000.000.000.
Karena Peredaran Bruto PT AAA telah melebihi Rp50 miliar, maka ketentuan penghitungan
PPh sesuai Pasal 17 ayat (2a) yaitu menggunakan tarif sebesar 22%.
Maka, PPh Badan Terutang PT AAA adalah:
Peredaran Bruto = Rp80.000.000.000
Penghasilan Kena Pajak = Rp5.000.000.000
PPh Badan = (22% x Penghasilan Kena Pajak)
= 22% x Rp5.000.000.000
= Rp1.1000.000.000

Contoh 2, (penghasilan bruto sampai dengan 4,8 milyar)


PT BBB pada tahun 2021 memiliki peredaran bruto sebesar Rp4.500.000.000. Penghasilan
Kena Pajak adalah sebesar Rp800.000.000. PT BBB tidak termasuk WP yang dikenakan PPh
Final atas peredaran Bruto Tertentu.
Karena Peredaran Bruto PT BBB tidak melebihi Rp50 miliar, maka penghitungan PPh Badan
PT BBB dilakukan sesuai Pasal 31E.
Untuk ketentuan tarif menggunakan Pasal 31E, perlu diperhatikan bahwa peredaran bruto
sampai dengan Rp4,8 miliar, memperoleh fasilitas pengurangan tarif sebesar Rp50%.
Karena Peredaran Bruto PT BBB tidak melebihi Rp4,8 miliar, maka seluruh bagian peredaran
bruto memperoleh fasilitas pengurangan tarif.
Berikut perhitungan PPh Badan Terutang PT BBB:
Peredaran Bruto = Rp4.500.000.000
Penghasilan Kena Pajak = Rp800.000.000
PPh Badan = (Pengurang Tarif x Tarif PPh x Penghasilan Kena Pajak)
= 50% x 22% x Rp800.000.000
= Rp. 88.000.000

Contoh 3, ( penghasilan bruto lebih dari 4,8 milyar tetapi kurang dari 50 milyar)
PT CCC pada tahun 2021memiliki peredaran bruto sebesar Rp35.000.000.000 dan Penghasilan
Kena Pajak adalah sebesar Rp700.000.000.
Karena peredaran bruto PT CCC tidak melebihi Rp50 miliar, maka penghitungan PPh Badan
PT CCC dilakukan sesuai ketentuan Pasal 31E.
Untuk tarif Pasal 31E perlu diperhatikan kembali bahwa peredaran bruto sampai dengan
Rp4,8 miliar akan memperoleh fasilitas pengurangan tarif sebesar 50%.
PPh Badan Terutang PT CCC adalah:

Administrasi Pajak 11
1. Langkah pertama
Langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan bagian penghasilan kena pajak yang
memperoleh fasilitas pengurangan tarif dan menghitung besar PPh untuk bagian tersebut.
Penghasilan Bruto = Rp35.000.000.000
Penghasilan Kena Pajak = Rp700.000.000
Bagian Penghasilan Kena Pajak dengan Fasilitas:
= ([Batas Peredaran Bruto yang mendapat fasilitas tarif : Peredaran Bruto] x Penghasilan Kena Pajak)
= Rp4.800.000.000/Rp35.000.000.000 x Rp700.000.000
= Rp96.000.000
PPh untuk Bagian dengan Fasilitas:
= (Pengurang Tarif x Tarif PPh x Penghasilan Kena Pajak dengan Fasilitas)
= 50% x 22% x Rp.96.000.000,00
= Rp.10.560.000,00

2. Langkah kedua
Langkah kedua adalah menentukan bagian Penghasilan Kena Pajak yang tidak memperoleh
fasilitas pengurangan tarif dan menghitung PPh atas bagian tersebut.
Bagian Penghasilan Kena Pajak tidak memperoleh fasilitas diperoleh dari pengurangan seluruh
penghasilan kena pajak dengan bagian penghasilan kena pajak yang memperoleh fasilitas.
Penghasilan Bruto = Rp35.000.000.000
Penghasilan Kena Pajak = Rp700.000.000
Bagian Penghasilan Kena Pajak Tanpa Fasilitas:
= (Penghasilan Kena Pajak – Penghasilan Kena Pajak dengan Fasilitas)
= Rp700.000.000 – Rp96.000.000
= Rp604.000.000

PPh untuk Bagian Tanpa Fasilitas:


= (Tarif PPh x Penghasilan Kena Pajak Tanpa Fasilitas)
= 22% x Rp604.000.000
= Rp. 132.880.000,00

Dengan demikian, besarnya PPh Badan Terutang PT CC adalah:


= (PPh Bagian dengan Fasilitas) + (PPh Bagian Tanpa Fasilitas)
= Rp.10.560.000 + Rp. 132.880.000,00
= Rp. 143.440.000,00

Contoh 4 : Penghitungan PPh Badan dengan Fasilitas Pengurangan Tarif Pasal 31E
Pada tahun 2022, PT Abjad XYZ memperoleh penghasilan bruto sebesar Rp 6 Miliar. Selain
itu, diketahui selama tahun berjalan tersebut, PT Abjad XYZ memiliki rincian beban dan
pendapatan sebagai berikut:
 Pengeluaran biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan bruto
sebesar Rp5,4 miliar.
 Mendapatkan penghasilan lainnya sebesar Rp50 juta.
 Pengeluaran biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya
sebesar Rp30 juta.
 Kompensasi kerugian fiskal dari tahun sebelumnya Rp10 juta.
 Kredit PPh Pasal 25 Rp100 juta.
 Kredit PPh Pasal 22 Rp10 juta.

Administrasi Pajak 12
 Kredit PPh Pasal 23 Rp20 juta.
Berapa besaran PPh terutang PT Abjad XYZ untuk dibayar dan dilaporkan pada SPT Tahunan
PPh Badan? Pertama-tama, terlebih dahulu mencari besaran penghasilan kena pajak PT Abjad
XYZ:
Peredaran Bruto – Biaya 3M Peredaran Bruto = Penghasilan Neto
Rp6.000.000.000 – Rp5.400.000.000 = Rp600.000.000
Penghasilan lainnya – Biaya 3M Penghasilan Lainnya = Penghasilan Neto Lainnya
Rp50.000.000 – Rp30.000.000 = Rp20.000.000
Total Penghasilan Neto = Rp600.000.000 + Rp20.000.000
Total Penghasilan Neto = Rp620.000.000
Penghasilan Kena Pajak = Total Penghasilan Neto – Kompensasi Kerugian
Penghasilan Kena Pajak = Rp620.000.000 – Rp10.000.000
Penghasilan Kena Pajak PT Abjad XYZ adalah sebesar Rp610.000.000
Karena omzet peredaran bruto PT Abjad XYZ di atas Rp4,8 miliar, maka memperoleh fasilitas
pengurangan tarif:
Jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas
(Rp4.800.000.000 x Rp610.000.000) / Rp6.000.000.000 = Rp488.000.000
Jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh
fasilitas
Rp610.000.000 – Rp488.000.000 = Rp122.000.000
Maka, besaran PPh terutangnya adalah
(50% x 22%) x Rp488.000.000 = Rp53.680.000
22% x Rp122.000.000 = Rp26.840.000
Total PPh terutang= Rp53.680.000 + Rp26.840.000
PPh terutang PT Abjad XYZ adalah sebesar Rp80.520.000
PT Abjad XYZ memiliki beberapa kredit pajak penghasilan yang sudah dibayar:
PPh Pasal 22 + PPh Pasal 23 + PPh Pasal 25
Rp10.000.000 + Rp20.000.000 + Rp100.000.000
Maka, PPh terutang dikurangi dengan total kredit pajak tersebut.
Rp80.520.000 – Rp130.000.000= (Rp49.480.000)
Dalam hal ini, PT Abjad XYZ memiliki lebih bayar pajak sebesar Rp49.480.000

Contoh 5 : Penghitungan PPh Badan Tanpa Fasilitas Pengurangan Tarif Pasal 31E
Pada tahun 2020, PT Abjad XYZ memperoleh penghasilan bruto sebesar Rp60 Miliar. Selain
itu, diketahui selama tahun berjalan tersebut, PT Abjad XYZ memiliki rincian beban dan
pendapatan sebagai berikut:
 Pengeluaran biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan bruto
sebesar Rp54 miliar.
 Mendapatkan penghasilan lainnya sebesar Rp500 juta.
 Pengeluaran biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya
sebesar Rp300 juta.
 Kompensasi kerugian fiskal dari tahun sebelumnya Rp100 juta.
 Kredit PPh Pasal 25 Rp500 juta.
 Kredit PPh Pasal 22 Rp100 juta.
 Kredit PPh Pasal 23 Rp400 juta.
Berapa besaran PPh terutang PT Abjad XYZ untuk dibayar dan dilaporkan pada SPT Tahunan
PPh Badan? Pertama-tama, terlebih dahulu mencari besaran penghasilan kena pajak PT Abjad
XYZ:
Peredaran Bruto – Biaya 3M Peredaran Bruto = Penghasilan Neto
Rp60.000.000.000 – Rp54.000.000.000 = Rp6.000.000.000

Administrasi Pajak 13
Penghasilan lainnya – Biaya 3M Penghasilan Lainnya = Penghasilan Neto Lainnya
Rp500.000.000 – Rp300.000.000 = Rp200.000.000
Total Penghasilan Neto = Rp6.000.000.000 + Rp200.000.000
Total Penghasilan Neto = Rp6.200.000.000
Penghasilan Kena Pajak = Total Penghasilan Neto – Kompensasi Kerugian
Penghasilan Kena Pajak = Rp6.200.000.000 – Rp100.000.000
Penghasilan Kena Pajak PT Abjad XYZ adalah sebesar Rp6.100.000.000
Karena omzet peredaran bruto PT Abjad XYZ di atas Rp50 miliar, maka tidak memperoleh
fasilitas pengurangan tarif sehingga penghitungannya:
22% x Penghasilan Kena Pajak
22% x Rp6.100.000.000 = Rp1.342.000.000
PPh terutang PT Abjad XYZ adalah sebesar Rp1.342.000.000
PT Abjad XYZ memiliki beberapa kredit pajak penghasilan yang sudah dibayar:
PPh Pasal 22 + PPh Pasal 23 + PPh Pasal 25
Rp100.000.000 + Rp400.000.000 + Rp500.000.000
Maka, PPh terutang dikurangi dengan total kredit pajak tersebut.
Rp1.342.000.000 – Rp1.000.000.000= Rp342.000.000
Dalam hal ini, PT Abjad XYZ masih harus membayar pajak sebesar Rp342.000.000

PPh final untuk Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)

Sebagaimana yang kita ketahui dengan berlakunya UU No. 7 Tahun 2021 mengenai
Harmonisasi Peraturan Perpajakan, bagi Orang Pribadi pengusaha yang menggunakan PP 23
mengenai UMKM terdapat beberapa perubahan ketentuan , sehingga dapat di summarykan
sebagai berikut :
 Tarif tetap sebesar 0,5% dari omzet bulanan.
 Wajib Pajak harus melakukan pelaporan setiap bulannya!!
 Untuk penghasilan dibawah Rp. 500.000.000 pertahun bebas pajak, sehingga baru
dikenakan pajak untuk penghasilan akumulasi diatasnya.
 Dibayar seharusnya sebagaimana PPh yang lain yaitu maksimal tanggal 15 bulan
berikutnya dan dilapor maksimal tanggal 20 Bulan berikutnya.
 Untuk kode Bayarnya PPh Final 411128 dan 420 UMKM Bayar Sendiri.
Cara menghitungnya dapat dilihat dari simulasi perhitungan dibawah :

Administrasi Pajak 14
Contoh Perhitungan PPh Final UMKM
Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa dari bulan januari sampai dengan April 2022 masih
belum dikenakan pajak , karena omzet akumulasi masih dibawah Rp. 500.000.000, barulah
dibulan Mei 2022, dengan tambahan penghasilan sebesar Rp. 107.500.000 maka total
akumulasi omzet di tahun 2022 sudah mencapai Rp. 556.100.000 dan sudah melebihi batas
pendapatan bebas pajak sebesar RP. 500.000.000 sehingga selisihnya yang Rp, 56.100.000
sudah dikenakan pajak dan harus bayar sebesar RP 280.500. Dengan demikian untuk bulan
bulan setelahnya sudah mulai membayar PPh final UMKM karena besaran penghasilannya
sudah melewati yang dibebaskan pajaknya.
Kesimpulan
1. PPh Final wajib dibayarkan bagi wajib pajak individu dan badan yang memiliki omzet
di bawah Rp 4,8 miliar setahun.
2. PPh Final didasarkan atas PP 46/2013 disusun agar pelaku UKM dapat dengan mudah
menghitung pajak tanpa keharusan atas pembukuan yang lengkap.
3. Berdasarkan PP 23/2018 besaran tarif PPh Final adalah 0,5%.
4. Penghitungannya, semua transaksi penjualan per bulan dijumlahkan kemudian
dikalikan 0,5 %.
5. PPh Final UKM dilaporkan hanya sekali setiap tahunnya lewat SPT PPh Tahunan orang
pribadi atau badan.

TUGAS :
Kerjakan dan kumpulkan pada tanggal 1 Februari 2023
1. PT. Anugrah pada tahun 2021 merupakan Perusahaan Tbk yang memiliki
penghasilan bruto sebesar Rp.70.000.000.000 dengan Penghasilan Kena
Pajak sebesar Rp.5000.000.000 dari hasil pembukuan.hitung PPh terutang.
2. PT.Harapan pada tahun 2002 memiliki Peredaran Bruto sebesar Rp.
4.000.000.000 dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp.700.000.000. PT.
DEFG ini tidak termasuk WP yang dikenakan PPh Final atas Peredaran
Bruto Tertentu. hitung PPh terutang
3. PT.Sentosa pada tahun 2022 memiliki peredaran bruto sebesar
Rp.40.000.000.000 dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp.
700.000.000.Hitung PPh terutang.
4. Data yang berhubungan dengan Laporan Rugi-Laba PT SAHABAT untuk tahun
2022 ( dalam rupiah )
1. Pejualan : 7.800.000.000
2. Harga Pokok Penjualan 4.210.000.000
3. Beban Pemasaran :
a. Gaji dan komisi salesman 475.000.000
b. Gaji dan upah bagian penjualan 275.000.000
c. Beban angkut penjualan 200.000.000
d. Beban promosi 180.000.000.
e. Beban cadangan piut tak tertagih 250.000.000
f. Beban kirim pos, telp, dan teleks 120.000.000
g. Depresiasi kendaraan 120.000.000

4. Beban administrasi dan Umum :


a. Gaji dan kesejahteraan pegawai 450.000.000
b. Beban premi asuransi 130.000.000
c. Beban konsultan 150.000.000
d. Beban supplies kantor 170.000.000

Administrasi Pajak 15
e. Depresiasi bangunan kantor 50.000.000
f. Depresiasi mebel dan alat kantor 150.000.000

5. Pendapatan dari luar usaha :


a. Pendapatan sewa tanah ( setelah PPh ) 125.000.000
b. Pendapatan bunga bank / jasa giro ( setelah PPh ) 75.000.000
c. Penghasilan dari sewa kendaraan ( setelah PPh ) 9.700.000

6. Beban dari luar usaha :


a. Beban bunga 50.000.000
b. Rugi selisih kurs 15.000.000
c. Denda PPh 10.000.000
Berdasarkan data diatas diminta :
1. Buat Laporan laba rugi
2. Hitung PPh badan Terutang

Administrasi Pajak 16

Anda mungkin juga menyukai