Anda di halaman 1dari 16

• Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Badan

Sesuai Pasal 1 UU PPh No. 7 Tahun 1983, pengertian Pajak Penghasilan adalah pajak
yang dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan dan badan berkenaan
dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak.
Dengan demikian, pengertian Pajak Penghasilan Badan adalah pajak penghasilan yang
dikenakan terhadap penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Badan.
Sementara itu, PPh Badan ini terbagi menjadi dua berdasarkan sifatnya, yakni:

• PPh Badan Final

Pajak Penghasilan atau PPh Final adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh WP Badan berdasarkan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 23 tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan dari Usaha yang
Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto tertentu.

• PPh Badan Tidak Final

Pajak Penghasilan atau PPh Tidak Final adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas
penghasilan yang diterima oleh WP Badan berdasarkan Pasal 17 dan Pasal 31E
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

• Hak dan Kewajiban Wajib Pajak Badan

Bicara jenis Pajak Penghasilan yang dikenakan atas pendapatan suatu badan atau
perusahaan sendiri antara satu dengan lainnya berbeda-beda, tergantung bidang dan
kebijakan usahanya. Selain tarif, WP Badan juga perlu mengetahui cara menghitung
jumlah Penghasilan Kena Pajak yang dimilikinya. Sehingga akan diketahui besar PPh
Badan yang harus dibayarkan ke kas negara.

Secara umum, ada dua jenis pajak yang menjadi kewajiban WP Badan, yakni Pajak
Penghasilan (PPh) Badan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (PPnBM).

Hak dan kewajiban wajib pajak badan sebagai berikut:

• Hak mengajukan restitusi kelebihan pembayaran pajak

• Hak mendapat perlindungan kerahasiaan data

• Hak memperoleh pengembalian pendahuluan kebijakan pembayaran pajak

• Hak mendapatkan fasilitas pajak Ditanggung Pemerintah (DTP)


• Hak peroleh insentif perpajakan

• Kewajiban mendaftarkan diri sebagai wajib pajak sesuai ketentuan perundang-


undangan perpajakan

• Wajib membayar kewajiban pajaknya

• Kewajiban melaporkan pajaknya

• Kewajiban berlaku kooperatif apabila dilakukan pemeriksaan pajak

• Jenis-jenis Pajak Penghasilan Badan

Berikut jenis pajak penghasilan dan pajak lainnya yang dibayar / setor dan dilaporkan
oleh WP Badan atau perusahaan:

• Pajak Penghasilan Pasal 21

PPh Pasal 21 mengatur tentang pemotongan dari hasil pekerjaan jasa atau kegiatan
dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
atau karyawan Anda, dan harus dibayarkan setiap bulannya.

Perusahaan melakukan pemotongan langsung atas penghasilan para karyawan untuk


selanjutnya disetorkan ke kas negara melalui bank persepsi.

Pengelolaan untuk pajak karyawan termasuk hitung dan setor maupun lapor SPT
Masa PPh 21 dapat dilakukan melalui fitur e-Filing Klikpajak.

• Pajak Penghasilan Pasal 22

PPh 22 adalah pajak penghasilan yang mengatur atas pemungutan pajak dari Wajib
Pajak yang dibebankan pada badan usaha tertentu karena melakukan aktivitas
perdagangan terkait dengan ekspor, impor, maupun re-impor.

• Pajak Penghasilan Pasal 23

PPh Pasal 23 adalah pajak yang mengatur atas pemotongan pajak yang dilakukan oleh
pemungut pajak dari Wajib Pajak ketika terjadi transaksi yang merujuk pada:

• Transaksi dividen atau pembagian keuntungan saham

• Royalti, bunga, hadiah dan penghargaan

• sewa, dan penghasilan lain yang berkaitan dengan penggunaan aset selain tanah
dan transfer bangunan atau jasa.
• Pajak Penghasilan Pasal 25

PPh Pasal 25 badan adalah pajak yang mengatur atas angsuran pajak yang berasal dari
jumlah pajak penghasilan terutang menurut SPT PPh dikurangi PPh yang telah
dipungut serta PPh yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dan boleh dikreditkan.
Tarif PPh 25 kemudian terbagi menjadi tiga klasifikasi berdasarkan tingkat brutonya.

• Pajak Penghasilan Pasal 26

PPh Pasal 26 mengatur pajak yang dikenakan atas penghasilan yang bersumber dari
Indonesia dan diterima Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) di
Indonesia.

• Pajak Penghasilan Pasal 29

PPh Badan Pasal 29 mengatur atas jumlah pajak terutang suatu perusahaan dalam
satu tahun pajak lebih besar dari jumlah kredit pajak yang telah dipotong oleh pihak
lain, serta telah disetorkan.

Maka nilai lebih pajak terutang tersebut harus dibayarkan sebelum SPT PPh Badan
dilaporkan.

• Pajak Penghasilan Pasal 15

PPh Pasal 15 mengatur atas laporan pajak yang berhubungan dengan Norma
Perhitungan Khusus untuk golongan Wajib Pajak tertentu, termasuk WP Badan yang
bergerak pada:

• Sektor pelayaran atau penerbangan internasional

• Perusahaan asuransi luar negeri

• Pengeboran minyak, gas dan geothermal

• Perusahaan dagang asing

• Perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangunan serah guna.

• Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2)

PPh Pasal 4 ayat (2) berkaitan dengan pajak yang dipungut dari penghasilan yang
dipotong dari:

• Bunga deposito dan tabungan lainnya

• Bunga obligasi dan surat utang negara


• Bunga simpanan yang dibayarkan koperasi

• Hadiah undian

• Transaksi saham dan sekuritas lainnya

• Serta transaksi lain sebagaimana diatur dalam peraturan yang ditetapkan.

Pajak penghasilan pasal 4 ayat 2, 15, 22, 23, dan 26 merupakan PPh Unifikasi yang
harus dikelola melalui aplikasi e-Bupot Unifikasi.

• Pajak Pertambahan Nilai

PPN adalah merupakan pajak yang dibebankan untuk transaksi atas Barang Kena
Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP).

Nilai PPN biasanya ditambahkan pada harga pokok barang atau jasa yang
diperjualbelikan tersebut.

10. Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)

PPnBM merupakan pajak yang dikenakan atas barang atau produk yang dianggap
bukan sebagai barang kebutuhan pokok.

Barang tersebut biasanya dikonsumsi oleh masyarakat kalangan tertentu yang pada
umumnya merupakan masyarakat berpenghasilan tinggi.

• Subjek PPh Badan

Subjek pajak Badan atau subjek PPh Badan adalah setiap Badan Usaha yang diberikan
kewajiban untuk membayar pajak, baik dalam periode bulan maupun tahun dan
disetor ke kas negara.

Jenis subjek badan dibedakan menjadi 2 yakni:

1. Subjek Pajak Dalam Negeri

Subjek pajak dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:

• Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan

• Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara


(APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
• Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat (Pempus) atau
Pemerintah Daerah (Pemda)

• Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara

• Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak

2. Subjek Pajak Luar Negeri

Sedangkan subjek pajak luar negeri adalah badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat
menerima / memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha /
melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia, juga termasuk subjek pajak luar negeri.

Lalu, apa saja yang dimaksud dengan badan?

Berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP),
yang termasuk dalam pengertian Badan adalah sebagai berikut:

1. Perseroan Terbatas (PT)

2. Perseroan Lainnya

3. Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

4. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)

5. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)

6. Firma

7. Kongsi

8. Koperasi

9. Dana Pensiun

10. Persekutuan

11. Perkumpulan

12. Yayasan

13. Organisasi Masyarakat


14. Organisasi Sosial Politik

15. Organisasi lainnya dengan nama dan bentuk apapun

16. Lembaga dan bentuk badan lainnya

17. Kontrak Investasi Kolektif (KIK)

18. Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Pengertian BUT dalam hal Badan Usaha adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Bentuk usaha yang dipergunakan oleh badan ini dapat berupa:

• Tempat kedudukan manajemen

• Cabang perusahaan

• Kantor perwakilan

• Gedung kantor

• Pabrik

• Bengkel

• Gudang

• Ruang untuk promosi dan penjualan

• Pertambangan dan penggalian sumber alam

• Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi

• Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan

• Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan

• Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan

• Badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas

• Agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung
risiko di Indonesia
• Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan
usaha melalui internet.

D. Objek PPh Badan (Objek Pajak Badan)

Objek PPh Badan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh badan.

Bagi Subjek Badan dalam negeri yang menjadi objek PPh badan adalah semua
penghasilan baik dari dalam maupun dari luar negeri.

Penghasilan yang menjadi Objek Pajak Badan sebagaimana tercantum dalam Pasal 4
Ayat (1) UU HPP meliputi:

1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau

diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang

pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya termasuk natura dan/atau kenikmatan,

kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;

2. Hadiah dari undian pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan;

3. Laba usaha;

4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:

a. Keuntungan karena pengalihan harta sebagai pengganti saham

b. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham

c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan dan sejenisnya

d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibahan, bantuan, atau sumbangan

e. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan Hak

5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan

pembayaran tambahan pengembalian pajak;

6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian

utang;
7. Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari

perusahaan asuransi kepada pemegang polis;

8. Royalti atau imbalan atas penggunaan Hak;

9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

10. .Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu

yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;

13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

14. Premi asuransi;

15. Iuran yang diterima/diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari WP

yang menjalankan usaha/pekerjaan bebas;

16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan

pajak;

17. Penghasilan dari usaha berbasis Syariah;

18. Imbalan bunga sesuai UU KUP;

19. Surplus Bank Indonesia.

E. Jenis Penghasilan yang Dikenai Pajak Bersifat Final

1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan
surat utang negara, bunga atau diskonto surat berharga jangka pendek yang
diperdagangkan di pasar uang, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi
kepada anggota koperasi orang pribadi;

2. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;

3. Penghasilan berupa hadiah undian;


4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan,
usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan;
dan

5. Penghasilan tertentu lainnya, termasuk penghasilan dari usaha yang diterima


atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.

Sedangkan sifat penghasilan final yaitu:

• PPh Final (dibayar sendiri atau dipotong pihak lain) tidak dapat dikreditkan.

• Biaya-biaya yang digunakan untuk menghasilkan, menagih, dan memelihara (3M)


penghasilan yang dikenakan PPh final tidak dapat dikurangkan dalam
memperhitungkan PPh terutang pada akhir tahun (dalam SPT Tahunan PPh).

• Penghasilan yang dikenakan PPh Final tidak digabung dalam penghitungan pajak
akhir tahun, tapi cukup dilaporkan saja.

E. Dasar Hukum Pajak Penghasilan Badan

Ada beberapa peraturan yang berlaku mengenai pajak Badan, antara lain:

• UU No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Badan.

• UU No. 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang


Nomor 7 tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.

• Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan Atas


Penghasilan dari Usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki
peredaran Bruto tertentu.

• UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

• UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

• Beberapa peraturan turunan dalam PMK, Perdirjen, dan lainnya sebagai regulasi
pelaksananya.

F. Mekanisme Penghitungan PPh Badan

Wajib pajak badan memiliki kewajiban untuk menghitung pajak, menyetor, atau
membayar pajak serta melaporkan pajak atas segala bentuk penghasilannya sesuai
dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.

Berikut ini mekanisme dalam perhitungan Pajak Penghasilan Badan:


1. Penghasilan Kena Pajak

penghasilan neto fiskal merupakan penghasilan neto yang diterima oleh wajib pajak
dalam negeri, baik dari kegiatan usaha maupun bukan, setelah melewati penyesuaian
fiskal yang berdasarkan ketentuan perpajakan. Sedangkan kompensasi neto fiskal
adalah kerugian yang dialami badan Apabila menggunakan pembukuan, kerugian
tersebut dapat dikompensasi selama lima tahun secara berturut-turut.

2. Penghitungan Pajak Penghasilan Terutang

Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) bagian b UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan, tarif pajak yang dikenakan kepada badan adalah 25%. Besar tarif ini
berlaku sejak tahun pajak 2010. Tarif lebih rendah dapat dikenakan kepada wajib pajak
badan dalam negeri dengan ketentuan sebagai berikut:

• Berbentuk perseroan terbuka.

• Memiliki sedikitnya 40% jumlah keseluruhan saham yang disetor dan


diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia.

• Tarif yang dikenakan sebesar 5% lebih rendah daripada tarif normal.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka cara menghitung pajak penghasilan badan


adalah:

PT AAA memiliki jumlah Penghasilan Kena Pajak badan adalah senilai


Rp2.000.000.000, maka tarif PPh badan yang harus dibayarkan adalah 25% x
Rp2.000.000.000 = Rp500.000.000.

Perlu diketahui, penghasilan yang dipotong dengan Pajak Penghasilan bersifat final,
tidak termasuk dalam ketentuan ini. Tarif pajak final diatur dalam aturan tersendiri
berdasarkan Peraturan Pemerintah.

G. Tarif PPh Badan Berapa Persen yang Terbaru?

Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 2020 tentang Penurunan Tarif
Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbatas,
tarif PPh badan diturunkan.

Beleid ini dikeluarkan untuk melaksanakan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang No.
2/2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
No. 1/2020 tentang:

Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan


Pandemi COVID-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang
Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi
Undang-Undang.
Melalui beleid baru ini, tarif Pajak Penghasilan Badan turun secara bertahap yakni:

• 22% berlaku pada 2020 dan 2021

• 20% mulai berlaku pada 2022

Sedangkan khusus untuk WP Badan berbentuk Perseroan Terbuka (Tbk), akan


mendapatkan tarif PPh Badan 2023 terbaru 3% lebih rendah dari penurunan PPh
Badan secara umum tersebut.

Lebih rendah 3% untuk Perusahaan Terbuka (Tbk) tersebut, maka tarif pajak
penghasilan badan perseroan Tbk menjadi:

• 19% pada 2020 dan 2022

• 17% mulai pada 2023

Tapi penurunan tarif PPh Badan 2023 lebih rendah 3% bagi Perusahaan Tbk ini ada
syaratnya, yaitu:

1. Saham dikuasai setidaknya 300 pihak.

2. Setiap pihak di dalam Perseroan Terbuka (PT) hanya diizinkan menguasai saham
di bawah 5% dari keseluruhan saham yang diperdagangkan dan disetor penuh.

3. Saham yang diperdagangkan dan disetor pada bursa efek wajib dipenuhi dalam
kurun waktu paling sedikit 183 hari kalender selama jangka waktu 1 tahun pajak.

4. Membuat laporan kepada Direktorat Jenderal Pajak.

H. Tarif Pajak Penghasilan Badan Berapa Persen dalam dalam UU HPP?

Seperti diketahui, ketentuan tarif pajak badan kembali direvisi kembali melalui
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU
HPP).

Melalui UU HPP ini, tarif PPh Badan berubah menjadi 22% mulai Tahun Pajak 2022.

Artinya, tarif PPh Badan terbaru ini lebih tinggi 2% dibanding tarif PPh Badan versi
peraturan sebelumnya pada UU No. 2/2020 tersebut yang sebesar 20%.

Jadi, pemerintah membatalkan penurunan tarif PPh Badan dari rencana semula hanya
sebesar 20% pada 2022.

Atau dengan kata lain, pengenaan PPh 22% yang sudah diberlakukan sejak 2020 dan
2021 itu diperpanjang lagi mulai 2022.

I. Tahapan Menghitung Pajak Penghasilan Badan


Bagaimana cara menghitung PPh Badan yang masih harus dibayar?

Apabila PPh Terutang dihitung dari tarif dikali PKP, maka PPh yang masih harus
dibayar adalah jumlah pajak terutang dikurangi kredit pajak.

Kredit pajak adalah pajak-pajak yang sebelumnya telah disetorkan atau yang telah
dipotong/dipungut oleh pihak ketiga.

Berikut ini tahapan atau langkah-langkah menghitung pajak penghasilan badan:

1. Menghitung Penghasilan

Langkah pertama, WP Badan harus menghitung seluruh penghasilan yang diterima


selama satu tahun pajak.

Namun perlu diingat bahwa penghasilan yang bukan merupakan objek pajak tidak
perlu dimasukkan dalam perhitungan pajak penghasilan.

Selengkapnya baca artikel Daftar Subjek dan Objek yang Tidak Dikenakan PPh.

2. Mengurangi Penghasilan dengan Biaya

Langkah kedua, mengurangi penghasilan pada poin 1 di atas dengan biaya-biaya yang
telah dikeluarkan oleh WP Badan.

Biaya-biaya tersebut meliputi seluruh biaya yang secara langsung atau tidak langsung
berkaitan dengan kegiatan usaha.

Jenis biaya-biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto ini diperjelas dalam
Pasal 6 UU HPP, yakni biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara.

3. Mengurangi dengan Penyusutan dan Amortisasi Fiskal

Langkah ketiga, wajib pajak badan dapat mengurangkan penghasilan dengan


penyusutan atas pengeluaran yang diatur dalam Pasal 11 ayat (1) UU HPP.

Sedangkan pengurangan penghasilan dengan amortisasi atas pengeluaran diatur


dalam Pasal 11A UU HPP.

Sudah tahu? Inilah Batasan PKP Terbaru atau Threshold PKP Turun.

4. Melakukan Koreksi atau Rekonsiliasi Fiskal

Langkah keempat, WP Badan harus melakukan koreksi fiskal atau rekonsiliasi fiskal.

Rekonsiliasi fiskal adalah proses pencatatan penyesuaian, dan pembetulan yang


dilakukan karena ada perbedaan perlakuan atas pendapatan atau laba komersial
maupun biaya antara standar akuntansi dan aturan perpajakan.
Sehingga rekonsiliasi fiskal ini terbagi menjadi dua, yaitu:

• Rekonsiliasi beda tetap : karena perbedaan antara laba yang dikenakan pajak
dengan laba akuntansi yang belum terkena pajak. seperti penghasilan final, PPh.

• Rekonsiliasi beda waktu: karena perbedaan waktu pengakuan, baik penghasilan


maupun biaya antara sistem akuntansi dan sistem perpajakan, seperti perbedaan
metode penyusutan.

Sedangkan koreksi fiskal terbagi menjadi dua, yaitu:

• Koreksi fiskal postitif : menambah laba komersial atau laba penghasilan kena
pajak, dengan menambahkan pendapatan dan mengurangi atau mengeluarkan biaya-
iaya yang tidak diakui secara fiskal.

• Koreksi fiskal negatif : mengurangi laba komersial atau laba penghasilan kena
pajak yang disebabkan pendapatan komersial lebih tinggi daripada pendapatan fiskal
dan biaya-biaya komersial yang lebih kecil daripada biaya-biaya fiskal.

Biaya-biaya yang tidak menjadi pengurang pajak yang diatur dalam Pasal 9 UU HPP.

Anda harus mengeluarkan biaya-biaya tersebut dari penghitungan Penghasilan Kena


Pajak.

Apabila didapati penghasilan bruto setelah pengurangan biaya-biaya ternyata


menghasilkan perhitungan yang minus atau rugi, sehingga tidak terdapat
PKP/Penghasilan Kena Pajak.

Maka nilai kerugian tersebut dapat dikompensasikan mulai tahun pajak berikutnya
selama dengan 5 tahun berturut-turut.

Rumus Menghitung PPh Wajib Pajak Badan Berdasarkan Omzet

Selain mekanisme di atas, ada juga hal lain yang harus dipahami, yaitu peredaran
bruto dan kepentingannya dalam cara menghitung Pajak Penghasilan (PPh) badan.

Peredaran bruto adalah seluruh penghasilan yang diterima, baik orang pribadi
maupun badan.

Berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku, penghitungan berdasarkan jumlah


peredaran bruto, yaitu:

1. Wajib Pajak Badan dengan omzet kurang dari Rp4,8 miliar


Wajib pajak badan dengan penghasilan bruto di bawah Rp4,8 miliar setahun, dapat
menggunakan PPh Final PP 23/2018 dalam jangka waktu tertentu.

2. Wajib Pajak dengan omzet Rp4,8 miliar hingga Rp50 miliar

Untuk wajib pajak dengan omzet antara nilai tersebut, maka perhitungan tarif pajak
berbeda.

WP Badan memperoleh pengurangan sebesar 50% dari tarif pajak penghasilan yang
dikalikan dengan penghasilan kena pajak.

Fasilitas pengurangan tarif sendiri merupakan kebijakan yang terdapat pada Pasal 31E
UU PPh.

Kebijakan ini didasarkan pada prinsip keadilan dan peningkatan daya saing pada wajib
pajak badan agar dapat semakin mudah berkembang.

3. Wajib Pajak dengan omzet lebih dari Rp50 miliar


Pajak Penghasilan badan terutang dengan peredaran bruto lebih dari Rp50
miliar akan dihitung berdasarkan ketentuan umum atau tanpa fasilitas
pengurangan tarif, yakni tarif PPh Badan x Penghasilan Kena Pajak.

Untuk lebih memudahkan bagaimana rumus penghitungan PPh wajib pajak


badan lihat tabel berikut:
Penghasilan
Kotor
Tarif Pajak
(Bruto)
(Rp)
Kurang dari
50% x *22% x Penghasilan Kena Pajak
Rp4,8 miliar
[(50%x22%) x Penghasilan Kena Pajak yang
Rp4,8 miliar
Memperoleh Fasilitas] + (22% x
hingga Rp50
Penghasilan Kena Pajak Tidak
miliar
Memperoleh Fasilitas)]
Lebih dari
22% x Penghasilan Kena Pajak
Rp50 miliar
 
*22% tarif PPh Badan yang berlaku pada 2022
Contoh Cara Menghitung Pajak Penghasilan Badan
Berikut beberapa contoh penghitungan pajak penghasilan badan
berdasarkan tarif pajak PPh badan terbaru sesuai UU HPP:
a. Contoh 1;
Pada tahun 2022, dalam laporan keuangan PT AAA memperoleh penghasilan
kena pajak sebesar Rp5 miliar dan dapat memanfaatkan fasilitas pengurang
pajak sesuai Pasal 31E.
Maka, pajak yang harus dibayar sebesar:
50% x 22% x Rp5 miliar = Rp550 juta.
Namun, perlu dibuat catatan bahwa selama periode tahun 2022, PT AAA
telah menyetor pajak penghasilan karyawan ke kas negara sebesar Rp50
juta dan pajak PPh Pasal 23 sebesar Rp100 juta.
Maka, pajak penghasilan terutang PT AAA adalah:
Rp550 juta – Rp50 juta – Rp100 juta = Rp350 juta.
Rp350 juta adalah angka yang bisa dicicil oleh PT AAA ke kas negara atas
penghasilan Badan Usaha di tahun 2022.
Maka, cicilan pembayaran PPh terutang PT AAA sebesar:
= Jumlah PPh Terutang : 12 bulan
= Rp350 juta : 12
= Rp29.166 juta
b. Contoh 2;
Berikut contoh sederhana penghitungan pajak penghasilan badan yang
dikenakan tarif umum PPh Badan dan tidak mendapatkan fasilitas Pasal 31 E
dengan omzet Rp55 miliar:
Jumlah
Penghasilan Rp55.000.000.000
Bruto
Biaya Rp25.000.000.000 (-)
Penghasilan
Neto Rp30.000.000.000
Komersial
Koreksi Fiskal:
Positif Rp5.000.000.000
Negatif Rp3.000.000.000 (+)
Total
Penghasilan Rp38.000.000.000
Neto Fiskal
Kompensasi
Rp1.000.000.000
Kerugian
Penghasilan
Kena Pajak Rp15.000.000.000 (-)
(PKP)
PPh Terutang: Rp22.000.000.000
Kredit Pajak Rp500.000.000
Pajak
dipotong/dipungut Rp200.000.000
pihak ketiga
Pajak telah dibayar
Rp100.000.000(+)
sendiri
Jumlah Kredit Pajak Rp800.000.000 (-)
Pajak Kurang/Lebih
Rp21.200.000.000
Bayar

Anda mungkin juga menyukai