Anda di halaman 1dari 16

1) PPh Pasal 26 (Pajak Penghasilan Pasal 26)

Pajak penghasilan pasal 26 (PPh pasal 26) adalah pajak penghasilan yang
dikenakan atas penghasilan yang diterima wajib pajak luar negeri dari
Indonesia, selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.

Pajak Penghasilan pasal 26 (PPh Pasal 26) ini mengatur kebijakan mengenai
pajak yang berhubungan dengan wajib pajak luar negeri.

Badan usaha apapun di Indonesia yang melakukan transaksi pembayaran (gaji,


bunga, dividen, royalti dan lain sejenisnya) kepada wajib pajak luar negeri
diwajibkan untuk membayar PPh Pasal 26 atas transaksi tersebut

Yang menentukan seorang individu atau perusahaan sebagai wajib pajak luar
negeri adalah:

 Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu


yang tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun, dan
perusahaan yang tidak didirikan atau berada di Indonesia yang
mengoperasikan usahanya melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
 Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu
yang tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun, dan
perusahaan yang tidak didirikan atau berada di Indonesia yang dapat
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, tidak melalui
menjalankan usaha melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.

Ketentuan Mengenai Individu atau Perusahaan Yang Dikategorikan Wajib


Pajak Luar Negeri
Dari UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, bisa disimpulkan
bahwa yang menentukan seorang individu atau perusahaan sebagai Wajib
Pajak Luar Negeri, yaitu:

Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang


tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan
perusahaan yang tidak didirikan atau berada di Indonesia, yang
mengoperasikan usahanya melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang
tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan
perusahaan yang tidak didirikan atau berada di Indonesia, yang dapat
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak melalui
menjalankan usaha melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.
Melihat ketentuan di atas khususnya perusahaan yang tidak didirikan atau
berada di Indonesia ataupun yang mengoperasikan usahanya melalui BUT di
Indonesia bisa dikenakan PPh Pasal 26. Dan tentu saja Google dan Facebook
masuk kategori di dalamnya.

Tarif Pajak Penghasilan Pasal 26

1. Tarif 20% (final) atas jumlah bruto dari:


o Dividen;
o Bunga;
o Royalti, sewa dan pendapatan lain yang terkait dengan
penggunaan aset;
o Insentif yang berkaitan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan;
o Hadiah dan penghargaan;
o Pensiun dan pembayaran berkala;
o Perolehan keuntungan dari penghapusan utang.

2. Tarif 20% (final) dari laba bersih yang diharapkan:


o Pendapatan dari penjualan aset di Indonesia;
o Premi asuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang
kepada perusahaan asuransi di luar negeri.

Tarif 20% (final) dari laba bersih yang diharapkan selama penjualan atau
pengalihan saham perusahaan antara perusahaan media atau
perusahaan tujuan khusus, yang didirikan atau bertempat di negara yang
memberikan perlindungan pajak, yang memiliki hubungan khusus untuk
suatu entitas atau Bentuk Usaha Tetap (BUT) didirikan di Indonesia.

Tarif 20% yang dipungut dari penghasilan kena pajak setelah dikurangi
dengan pajak, suatu bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia, kecuali
penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.

Pemotongan PPh Pasal 26

Pemotong PPh pasal 26 terdiri dari badan pemerintah, subjek pajak dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, dan perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya, yang melakukan pembayaran kepada wajib
pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.

Wajib pajak orang pribadi atau badan yang menjadi pemotong PPh Pasal 26
harus mendaftarkan diri terlebih dahulu untuk menjadi pemotong PPh Pasal
26.

Pendaftaran sebagai pemotong PPh Pasal 26 dapat dilakukan pada saat


pendaftaran NPWP atau setelah pendaftaran NPWP.

Wajib pajak Orang Pribadi atau Badan dapat mengetahui apakah menjadi
Pemotong PPh Pasal 26 dengan melihat SKT (Surat Keterangan Terdaftar) yang
diterima dari Kantor Pelayanan Pajak pada waktu pendaftaran NPWP (Nomor
Pokok Wajib Pajak).

PPh Pasal 26 dipotong oleh pihak yang wajib membayar penghasilan tersebut,
yaitu:

 Badan Pemerintah;
 Subjek Pajak Dalam Negeri;
 Penyelenggara Kegiatan;
 Bentuk Usaha Tetap.

Yang melakukan pembayaran adalah Wajib Pajak Luar Negeri, selain Bentuk
Usaha Tetap di Indonesia.

Dikecualikan dalam pemotong pajak PPh Pasal 26 atas imbalan dengan nama
dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan
yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Luar Negeri dan organisasi
internasional

Kasus 1

Stanley adalah warga negara asing yang berada di Indonesia kurang dari 183
hari, dia berstatus menikah dan mempunyai 3 orang anak, Stanley
mendapatkan gaji dari PT “XXX” pada bulan januari sebesar US$1.500. Kurs
pada saat itu US$1 sama dengan Rp13.100. Berapa jumlah pajak yang harus
dipotong?

Penghasilan bruto gaji sebulan = US$1.500 x Rp13.100 = Rp19.650.000


PPh Pasal 26 terutang = 20% x Rp19.650.000 = Rp3.930.000

Kasus 2

Suatu perusahaan penyewaan gedung kantor PT “ZOZ” mengasuransikan


bangunan bertingkat ke perusahaan asuransi di luar negeri dengan membayar
jumlah premi selama tahun 2015 sebesar Rp1 miliar.

Perkiraan penghasilan = 50% x Rp1.000.000.000 = Rp500.000.000


PPh Pasal 26 yang harus dibayar = 20% x Rp500.000.000 = Rp100.000.000

Kasus 3

PT ABC memiliki perwakilan di luar negeri dan mengasuransikan bangunan


bertingkat ke perusahaan asuransi di luar negeri dengan membayar jumlah
premi pada tahun 1995 sebesar Rp1 miliar. Dengan demikian, penghitungan
PPh Pasal 26-nya adalah sebagai berikut.

Perkiraan penghasilan = 50% x Rp1.000.000.000 = Rp500.000.000,-


PPh Pasal 26 = 20% x Rp500.000.000 = Rp100.000.000 (10% x
Rp1.000.000.000)
Sering kali untuk memudahkan proses, PT ABC bisa saja ikut asuransi melalui
perusahaan yang ada di Indonesia, misal PT XYZ, dengan membayar jumlah
premi yang sama sebesar Rp1 miliar. PT XYZ mengikutkan (reasuransi)
perusahaan tersebut ke perusahaan asuransi di luar negeri, misalnya PT KLM,
dengan membayar premi sebesar Rp500 juta. Maka ketentuan PPh Pasal 26-
nya adalah:

Perkiraan penghasilan neto = 10% x Rp500.000.000 = Rp50.000.000


PPh Pasal 26 PT ABC = 20% x Rp50.000.000 = Rp10.000.000 (2% x
Rp500.000.000)
Kasus 4

David Beckham yang adalah Warga Negara Inggris memiliki 25% saham PT
Persipura Indonesia. Tahun ini Beckham menjual seluruh sahamnya senilai Rp5
miliar kepada Kaka, seorang Warga Negara Argentina. Asumsikan tidak ada P3B
antara Indonesia dan Argentina serta Inggris sehubungan dengan transaksi
tersebut maka besarnya:

PPh Pasal 26 = 20% x 25% x Rp5.000.000.000 = Rp250.000.000 (dan bersifat


final).

2) Pajak Penghasilan PPh Pasal 4 Ayat 2


Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2 adalah salah satu jenis pajak atas penghasilan
dengan beberapa ketentuan spesifik, mulai dari objek pajak, pemotong pajak
sampai dengan subjek pajak yang bisa dikenakan pajak tersebut.

Pemotongan Pajak PPh pasal 4 ayat 2 bersifat final, artinya pajak harus dilunasi
dan diselesaikan dalam masa pajak yang sama. Dikarenakan PPh pasal 4 ayat 2
bersifat final, maka ada ketentuan khusus yang mengaturnya.

Bagi pengusaha omzet yang terkait dengan PPh pasal 4 ayat 2, tidak boleh
dimasukan ke dalam peredaran usaha, tetapi dimasukan ke dalam penghasilan
yang telah dipotong PPh final.

Berikut ini adalah penghasilan yang merupakan Objek Pajak PPh Pasal 4 ayat 2,
yaitu:

1. Penghasilan dalam bentuk bunga deposito atau bunga lainnya, bunga


obligasi serta surat utang negara.
2. Penghasilan berupa hadiah undian.
3. Penghasilan yang diperoleh dari transaksi saham serta sekuritas lainnya,
transaksi derivatif yang diperdagangkan pada bursa, dan juga transaksi
penjualan saham ataupun pengalihan penyertaan modal di perusahaan
pasangannya yang telah diterima oleh perusahaan modal ventura.
4. Penghasilan yang diperoleh dari transaksi pengalihan harta, yakni dalam
bentuk tanah dan atau bangunan, usaha real estate, usaha jasa
konstruksi, dan juga penyewaan tanah dan atau bangunan.
5. Penghasilan tertentu lainnya, yang telah diatur dengan atau pun
berdasarkan peraturan pemerintah.

Ketentuan PPh Pasal 4 Ayat 2


Pengenaan PPh yang bersifat final berarti penghasilan yang diterima ataupun
diperoleh akan dikenakan PPh dalam tarif tertentu.

PPh yang dikenakan, baik itu yang dipotong pihak lain maupun yang sudah
disetor sendiri, bukanlah pembayaran dimuka atas PPh terutang, melainkan
sudah langsung melunasi PPh terutang untuk penghasilan itu.

Sesuai namanya, tarif pajak untuk UKM, wiraswasta dan bisnis online ini
menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2013
adalah 1 persen yang dipotong dari total omzet penjualan (peredaran bruto)
per bulan dan dibayarkan pada tanggal 10 setiap bulannya.

Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2

Ada berbagai macam jenis penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 4 ayat 2 dan
setiap penghasilan memiliki tarif yang berbeda beda yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah (PP).

 Bunga deposito, jenis-jenis tabungan, SBI, dan diskon jasa giro dikenakan
tarif 20% (PP No 131 Tahun 2000).
 Bunga simpanan yang dibayarkan koperasi pada anggotanya dikenakan
tarif 10% ( PP No 15 Tahun 2009).
 Bunga dari kewajiban dengan berbagai jenis tarif dari 0-20% (PP No 15
Tahun 2009).
 Dividen yang diterima Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri dikenakan
tarif 10% sebagaimana telah diatur dalam Pasal 17 ayat 2C.
 Hadiah atau undian dikenakan tarif 25% (PP No 132 Tahun 2000).
 Transaksi derivatif berjangka panjang yang telah diperdagangkan di
bursa dikenakan tarif 2,5% (PP No 17 Tahun 2009).
 Transaksi penjualan saham pendiri dan saham bukan pendiri, tarifnya
masing-masing 0,5% dan 0,1% (PP No 14 Tahun 1997).
 Jasa Konstruksi dikenakan tarif 2-6% (PP No 40 Tahun 2009).
 Sewa atas dan atau bangunan, tarifnya adalah 10% (PP No 5 Tahun
2002).
 Pengalihan hak atas tanah dan dalam hal ini termasuk usaha real
estate tarifnya adalah 5% (PP No 71 Tahun 2008).
 Transaksi dari penjualan saham atau pengalihan ibu kota mitra
perusahaan (PP No 4 Tahun 1995).
JADWAL PENYETORAN & PELAPORAN PPH PASAL 4 AYAT 2

Batas Waktu
Penghasilan Batas Waktu Pelaporan
Penyetoran
Jika sudah validasi NTPN, WP
tidak perlu lapor lagi. Cukup
Omzet penjualan Tanggal 15 bulan
menyertakan lampiran
(peredaran bruto) berikutnya setelah
laporan PPh Final 1% pada
usaha masa pajak berakhir
pelaporan SPT Tahunan Badan
/ Pribadi (SPT 1770)
Bunga,
Tanggal 10 bulan
deposito/tabungan, 20 hari setelah masa
berikutnya setelah
diskonto SBI, pajak berakhir
masa pajak berakhir
bunga/diskonto
Tanggal 20 bulan
Tanggal 25 bulan berikutnya
berikutnya setelah
Transaksi penjualan setelah bulan
bulan
saham terjadinya transaksi penjualan
terjadinya transaksi
saham
penjualan saham
Tanggal 10 bulan
berikutnya setelah 20 hari setelah masa pajak
Hadiah undian
bulan saat berakhir
terutangnya pajak
Tanggal 10 (bagi
Pemotong Pajak)
atau tanggal 15 (bagi
Persewaan tanah WP pengusaha 20 hari setelah masa pajak
dan/atau bangunan persewaan) dari berakhir
bulan berikutnya
setelah masa pajak
berakhir.
Tanggal 10 (bagi
Pemotong Pajak) dan
tanggal
20 hari setelah masa pajak
Jasa konstruksi 15 (bagi WP jasa
berakhir
konstruksi) bulan
berikutnya setelah
masa pajak berakhir

Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 Final Untuk UMKM


Tarif pajak untuk UMKM, wiraswasta dan bisnis online ini menurut Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2013 adalah 1 (satu) persen
yang dipotong dari total omzet penjualan (peredaran bruto) per bulan.

Contohnya:

Dalam 1 bulan jumlah total penghasilan (omzet) yang didapat salah satu
UMKM ini adalah sebesar Rp55.000.000.

PPh pasal 4 ayat 2 final atas penghasilan tersebut adalah sebesar:


Rp55.000.000 x 1% = Rp550.000

Contoh Perhitungan lain

1. Aditya menyimpan uang di Bank ABC dalam bentuk deposito sebesar


Rp100.000.000 dengan tingkat bunga 12% per tahun. Atas deposito
tersebut, Aditya menerima bunga setiap bulan sebesar Rp1.000.000.
Berapa besaran pajak yang harus dibayarkan atas bunga deposito
Aditya?

Jawab:

PPh Pasal 4 ayat 2 yang dipotong Bank ABC adalah 20% x Rp1.000.000 =
Rp200.000
Pajak deposito per tahun = Rp200.000 x 12 bulan = Rp2.400.000
2. Alice Key memiliki tabungan di Bank Moneytalk Indonesia dengan saldo
rata-rata bulan Juni 2017 adalah Rp450.000.000. Bunga yang diberikan
oleh Bank Moneytalk Indonesia adalah 9% per tahun. Bunga yang
diterima Alice Key pada bulan Juni 2017 adalah Rp3.375.000. Bagaimana
kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi
tersebut?

Jawab:

PPh Pasal 4 ayat 2 yang dipotong oleh Bank Moneytalk Indonesia pada Juni
2017 adalah 20% x Rp3.375.000 = Rp675.000. Pajak tabungan per tahun =
Rp675.000 x 12 bulan = Rp8.100.000.

3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2013

Tentang
Pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh
wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.

Dalam ketentuan pajak penghasilan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah


(PP) Nomor 46 Tahun 2013, merupakan kebijkan pemerintah yang mengatur
mengenai Pajak Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib
pajak yang dimili peredaran Bruto tertentu.

Kebijakan Pemerintah dengan pemberlakuan PP ini didasari dengan:

Maksud:

Untuk memberikan kemudahan dan penyederhanaan aturan perpajakan,

Mengedukasi masyarakat untuk tertib administrasi,

Mengedukasi masyarakat untuk transparansi,


Memberikan kesempatan masyarakat untuk berkontribusi dalam
penyelenggaraan negara.

Tujuan:

Kemudahan bagi masyrakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakan,

Meningkatnya pengetahuan tentang manfaat perpajakan bagi masyarakat,

Terciptanya kondisi kontrol sosial dalam memenuhi kewajiban perpajakan.

Objek pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan PP Nomor


46 Tahun 2013 ini adalah penghasilan dari USAHA yang diterima atau diperoleh
wajib pajak dengan peredaran bruto (omzet) yang tidak melebihi Rp.
4.800.000.000,- dalam 1 tahun pajak. Peredaran bruto (omzet) merupakan
jumlah peredaran bruto semua gerai/counter/outlet atau sejenisnya baik pusat
maupun cabangnya.

Pajak yang terhutang dan harus dibayar adalah:

1% dari jumlah peredaran bruto (omzet)

Objek pajak yang tidak dikenai pajak penghasilan sesuai ketentuan PP Nomor
46 Tahun 2013 ini harus memenuhi kriteria sebagai berikut

Pekerjaan dari jassa sehubungan dengan pekerjaan bebas, seperti misalnya:


dokter, advokat/pengacara, akuntan, notaris, PPAT, arsitek, pemain musik,
pembawa acara, dan sebagaimana diuraikan dalam penjelasan PP tersebut,

Penghasilan dari usaha yang dikenai PPh Final (Pasal 4 ayat (2)), seperti
misalnya sewa kamar kos, sewa rumah, jasa kontruksi (perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan), PPh usaha migas dan lain sebagainya yang
diatur berdasarkan Peraturan Pmerintah tersendiri.

Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri.

Yang dikenai Pajak Penghasilan sesuai PP No. 46 Tahun 2013 adalah:

1. Orang Pribadi,
2. Badan, tidak termasuk Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Yang menerima penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto (omzet) yang
tidak melebihi Rp.4.800.000.000,- dalam 1 tahun pajak.

Yang tidak dikenai Pajak Penghasilan sesuai PP No. 46 Tahun 2013 adalah:

1. Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau


jasa yang menggunakan sarana yang dapat dibongkar pasang dan
menggunakan sebagaian atau seluruh tempat kepentingan umum.
Misalnya pedagang keliling, pedagang asongan, warung tenda di area
kaki lima dan sejenisnya.
2. Badan yang belum beroperasi secara komersial atau yang dalam jangka
waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh
peredaran bruto (omzet) melebihi Rp.4.800.000.000,-

Pajak Penghasilan yang diatur oleh PP No. 46 Tahun 2013 termasuk dalam:

PPh Pasal 4 Ayat (2), bersifat FINAL

Setoran bulanan dimaksud merupakan PPh Pasal 4 ayat (2), bukan PPh pasal
25. Jika penghasilan semata-mata dikenai PPh final, tidak wajib PPh Pasal 25.

Penyetoran dan Pelaporan PPh sesuai ketentuan PP No. 46 Tahun 2013 adalah
paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak (SSP). Jika SSP sudah validasi NTPN, wajib pajak tidak perlu melaporkan
SPT masa PPh Pasal 4 ayat (2) karena dianggap telah menyampaikan SPT masa
PPh Pasal 4 ayat (2) sesuai tanggal validasi NTPN.
Contoh penentuan peredaran bruto sebagai dasar dikenainya Pajak
Penghasilan dengan Peraturan Pemerintah ini, dalam hal:

a. Tahun Pajak sebelumnya kurang dari 12 (dua belas) bulan;


b. Wajib Pajak baru terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan
tahun berlakunya Peraturan Pemerintah ini pada bulan sebelum
bulan berlakunya Peraturan Pemerintah ini; dan
c. Wajib Pajak baru terdaftar setelah berlakunya Peraturan
Pemerintah ini, untuk Tahun Pajak pertama,

adalah sebagai berikut:

1) PT Maju Jaya menggunakan tahun kalender sebagai Tahun Pajak. Terdaftar sebagai
Wajib Pajak sejak bulan Agustus 2013. Peredaran bruto selama bulan Agustus 2013
sampai dengan Desember 2013 adalah Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah).

Peredaran bruto tahun 2013 disetahunkan adalah:

Rp150.000.000,00 x 12/5 = Rp360.000.000,00

Karena peredaran bruto disetahunkan di tahun 2013 tidak melebihi


Rp4.800.000.00,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka penghasilan
yang diperoleh di tahun 2014 dikenai pajak yang bersifat final sesuai ketentuan
dalam Peraturan Pemerintah ini.
2) PT Daya Tangkap terdaftar 3 (tiga) bulan sebelum berlakunya Peraturan
Pemerintah ini pada Tahun Pajak yang sama dengan tahun berlakunya Peraturan
Pemerintah ini.
Jumlah peredaran bruto selama 3 (tiga) bulan tersebut adalah
Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Peredaran bruto selama 3 (tiga) bulan yang disetahunkan


adalah: Rp150.000.000,00 x 12/3 = Rp600.000.000,00

Karena peredaran bruto disetahunkan untuk 3 (tiga) bulan tersebut tidak


melebihi Rp 4.800.000.00,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka
penghasilan yang diperoleh mulai pada bulan berlakunya Peraturan Pemerintah ini
sampai dengan akhir tahun pajak bersangkutan, dikenai pajak yang bersifat final
sesuai ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini
(3) Gatot Kaca terdaftar sebagai Wajib Pajak baru pada bulan November 2014. Pada
bulan November 2014 tersebut, memperoleh peredaran bruto sebesar Rp
15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Penghasilan bruto bulan November
2014 disetahunkan adalah: 12/1 x Rp15.000.000,00 = Rp180.000.000,00

Karena penghasilan bulan November 2014 (bulan pertama mulai terdaftar


sebagai Wajib Pajak) yang disetahunkan tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka penghasilan yang diperoleh di tahun
2014 dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sesuai dengan Peraturan
Pemerintah ini.

4) PP 23 Tahun 2018 tentang tarif khusus bagi UMKM

Mulai diberlakukannya PP 23 tahun 2018 pada 1 Juli 2018 sebagai


pengganti PP 46 Tahun 2013 adalah sebuah respon positif dari pemerintah
atas keluhan para pelaku UMKM. Tarif UMKM yang sejak tahun 2013
dibanderol sebesar 1% dari omset bruto sekarang dipangkas tarif pajaknya
menjadi sebesar 0,5%. Kini para pelaku UMKM bisa bernafas lega dengan
penurunan tarif pajak ini.

Bagaimanakah mekanisme PP No. 23 tahun 2018? Berikut penjelasannya

PP 23 merupakan pajak penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh


wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yaitu tidak melebihi 4,8
Miliar dalam satu tahun pajak. Penghasilan yang diterima tersebut dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif pajak sebesar 0,5%.
Sedangkan penghasilan yang dikecualikan dari objek PP 23 Tahun 2018
adalah :
1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh WP OP dari jasa sehubungan
dengan pekerjaan bebas.
2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri yang pajaknya
terutang atau telah dibayar di luar negeri.
3. Penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri.
4. Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.

Wajib Pajak yang dikenai pajak ini adalah WP Orang Pribadi dan WP Badan
berbentuk koperasi, Persekutuan Komanditer, Firma atau Perseroan Terbatas
yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak
melebihi 4,8 miliar dalam satu tahun pajak.

Tidak termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam PP 23 Tahun


2018 adalah :
1. Wajib Pajak memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif
Pasal 17 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atau Pasal 31E Undang-Undang
Pajak Penghasilan;
2. Wajib Pajak Badan berbentuk Persekutuan Komanditer atau Firma yang
dibentuk oleh beberapa wajib pajak orang pribadi yang memiliki keahlian
khusus menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan
bebas;
3. Wajib Pajak badan memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan
Undang – Undang Pajak Penghasilan Pasal 31A atau PP Nomor 94 Tahun
2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak
Penghasilan dalam Tahun Berjalan beserta perubahannya;
4. Wajib Pajak berbentuk Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Berbeda dengan PP 46 Tahun 2013 sebelumnya, peraturan penggantinya


yaitu PP No. 23 tahun 2018 mengatur mengenai jangka waktu dalam
melaksanakan Pajak Penghasilan yang bersifat final ini. Berdasarkan Pasal 5
disebutkan jangka waktunya adalah sebagai berikut :
1. 7 (tujuh) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
2. 4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi,
persekutuan komanditer, atau firma; dan
3. 3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas.

Jangka waktu tersebut dihitung sejak :


1. Tahun Pajak Wajib Pajak terdaftar, bagi wajib pajak yang terdaftar sejak
berlakunya Peraturan Pemerintah ini, atau
2. Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini, bagi Wajib Pajak yang
telah terdaftar sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini.

Pajak Penghasilan yang terutang dapat dilunasi dengan cara disetor sendiri
oleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu paling lambat
tanggal 15 bulan berikutnya atau dengan cara dipotong oleh Pemotong atau
Pemungut pajak dalam hal Wajib Pajak bersangkutan melakukan transaksi
dengan pihak yang ditunjuk sebagai Pemotong atau Pemungut Pajak.

Penurunan tarif pajak UMKM oleh pemerintah memang patut untuk


diapresiasi. Dengan diturunkannya tarif pajak menjadi 0,5% diharapkan para
pelaku usaha UMKM dapat mengembangkan usahanya dan memberikan
kontribusi lebih kepada negara tanpa menghilangkan nilai kujujuran
didalamnya mengingat pentingnya pajak bagi penerimaan negara.

Anda mungkin juga menyukai