Anda di halaman 1dari 24

PERPAJAKAN

DOSEN : I Putu Wahyu Dwinata JS.,SE., MBA


Oleh :
Ni Made Vera Wahyuni 1902612010943
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR
DENPASAR
2022

1. Definisi Pph 26
BAB 9
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang
bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri selain bentuk
usaha tetap (BUT) di Indonesia. Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan
perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan. Negara domisili dari Wajib Pajak luar
negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia, adalah Negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang
sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).
2. Pemotong Pph 26 Pemotong
PPh Pasal 26 terdiri dari badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan,
bentuk usaha tetap, dan perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang melakukan pembayaran
kepada wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap. Adapun penyelenggara kegiatan bisa
berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan yang melakukan suatu event atau kegiatan. Contoh
penyelenggara kegiatan adalah orang pribadi atau badan yang mengorganisir suatu acara seperti
pertunjukkan, perlombaan, seminar dan lain-lain. Wajib pajak orang pribadi atau badan yang dapat
menjadi pemotong PPh Pasal 26 harus mendaftarkan diri terlebih dahullu untuk menjadi Pemotong
PPh Pasal 26. Pendaftaran sebagai pemotong PPh Pasal 26 dapat dilakukan pada saat pendaftaran
NPWP atau setelah pendaftaran NPWP. Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan dapat mengetahui
apakah menjadi Pemotong PPh Pasal 26 dengan melihat SKT (Surat Keterangan Terdaftar) yang
diterima dari Kantor Pelayanan Pajak pada waktu pendaftarran NPWP. Pemotongan pajak atas
wajib pajak luar negeri bersifat final, namun atas penghasilan sebagaimana di maksud dalam pasal
5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh, dan atas penghasilan wajib pajak orang pribadi atau badan
luar negeri yang berubah status menjadi wajib pajak dalam negeri atau BUT, pemotongan pajaknya
tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat di kreditkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan pajak penghasilan.
Berikut penghasilan tertentu yang dipotong PPh Pasal 26 namun tidak bersifat final, yaitu:
1. Pemotongan atas penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau dilakukan BUT di Indonesia.

2. Pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam PPh Pasal 26 yang diterima atau
diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan
yang memberikan penghasilan dimaksud.
3. Pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri
yang berubah status menjadi wajib pajak dalam negeri atau BUT.
3. Wajib Pajak Pph 26
PPh pasal 26 sebagai pajak yang terkait dengan Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN). Segala badan
usaha yang bertransaksi dan melakukan bayaran seperti gaji, dividen, bunga, dan lain-lain terhadap
WPLN, diharuskan melakukan pembayaran transaksi tersebut. Dengan tarif PPh pasal 26 sebesar 20
persen, dapat berubah ketika wajib pajak ikut serta dalam Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) atau Tax Treaty. Akan tetapi, terdapat pengecualian PPh tersebut, yakni tak berlaku
pada bisnis yang tidak termasuk BUT. Hal tersebut yang menjadi masalah dan diargumenkan oleh
perusahaan digital luar negeri agar tidak membayar perpajakan di Indonesia. Namun ketika melihat
dalam, ternyata Indonesia sudah menentukan subjek PPh 26 atau siapa individu atau perusahaan
yang termasuk WPLN.
4. Subyek Pph 26
Menurut Undang Undang Nomor 36 Tahun 2006 tentang Pajak Penghasilan, maka berikut individu
atau usaha yang termasuk WPLN.
1. Individu yang tak tinggal di Indonesia, individu bertempat tinggal tak lebih dari 183 hari selama
satu tahun atau 12 bulan di Indonesia, serta perusahaan yang tak dibangun atau berada di Indonesia,
yang menjalankan usaha dengan BUT di Indonesia.
2. Individu yang tak tinggal di Indonesia, individu bertempat tinggal tidak lebih dari 183 hari
selama satu tahun atau 12 bulan, serta perusahaan yang tak dibangun atau berada di Indonesia, tidak
mendapat pendapatan dari Indonesia melalui BUT di Indonesia.
5. Tarif Pajak Pph 26
 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri
berupa :
a. Dividen;
b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang;
c. Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta;
d. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;

e. Hadiah dan penghargaan


f. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
g. Premi swap dan transaksi lindung lainnya; dan/atau
h. Keuntungan karena pembebasan utang.
 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa :
i. Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia;
j. Premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun
melalui pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto atas penjualan atau pengalihan saham perusahaan
antara conduit company atau spesial purpose company yang didirikan atau bertempat kedudukan di
negara yang memberikan perlindungan pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan
yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau BUT di Indonesia;
 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia,
kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.
Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara
pihak pada persetujuan.
6. Perhitungan Pph 26 Contoh Kasus
Aland Addison yang adalah seorang warga negara Inggris yang memiliki 25% saham atas PT
Jayaraya Indonesia. Tahun ini Aland menjual seluruh sahamnya senilai Rp8 miliar kepada Charles
seorang warga negara Argentina. Asumsikan tidak ada P3B antara Indonesia dan Argentina serta
Inggris sehubungan dengan transaksi tersebut. Hitunglah PPh Pasal 26 dari transaksi tersebut?
Jawaban:
PPh Pasal 26 = 20% x 25% x Rp8.000.000.000 = Rp400.000.000 (bersifat final).
Menurut ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 258/PMK.03/2008 tentang Pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Saham, maka
penghasilan atas penjualan saham tersebut dikenakan pajak sebesar 20% dari perkiraan Penghasilan
Neto, sedangkan besarnya Penghasilan Neto adalah 25% dari Harga Jual.

Jika ada P3B antara negara yang terkait transaksi tersebut (penjual berstatus sebagai wajib pajak
luar negeri), pemotongan PPh Pasal 26 hanya dilakukan apabila hak pemajakan berdasarkan P3B
berada pada pihak Indonesia. Penting bagi wajib pajak yang akan memotong pph pasal 26 kepada
wajib pajak luar negeri untuk mengetahui apakah wajib pajak luar negeri tersebut berasal dari
negara yang mempunyai tax treaty atau P3B dengan Indonesia atau tidak. Sebab ketentuan tarif
pajaknya akan berbeda.

BAB 10 & 11
1. Definisi dan Dasar Hukum PPN dan PPnBM Definisi dan Dasar Hukum PPN
PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi dalam negeri oleh Wajib Pajak Orang Pribadi,
Badan, dan Pemerintah. Dalam penerapannya, Badan atau Perorangan yang membayar pajak ini
tidak diwajibkan untuk menyetorkan langsung ke kas negara, melainkan lewat pihak yang
memotong/memungut PPN. Pajak Pertambahan Nilai bersifat objektif, tidak kumulatif, dan
merupakan pajak tidak langsung. Subjek pajaknya terdiri dari Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan
non PKP.
Berikut ini adalah sejumlah dasar hukum PPN di Indonesia:
1. UU Nomor 8 Tahun 1983
Undang-undang No. 8 Tahun 1983 mengatur tentang daerah pabean, barang berwujud dan BKP.
Penyerahan BKP dalam peraturan tentang PPN ini adalah penyerahan BKP karena suatu perjanjian,
pengalihan BKP karena suatu perjanjian sewa beli (leasing) dan pengalihan hasil produksi dalam
keadaan bergerak. Sedangkan yang dimaksud penyerahan JKP meliputi pemberian JKP yang
dilakukan dalam lingkungan perusahaan/untuk kepentingansendiri.
TarifPPNditetapkansebesar10%dantarifatasekspor BKP/JKP sebesar 0% dengan ketentuan dapat
diubah serendah-rendahnya menjadi 5% dan setinggi-tingginya 15%. Undang-undang ini mulai
berlaku sejak 1 Januari 1984 bersamaan dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Indonesia serta Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan. Namun dasar hukum PPN ini baru disahkan pada 1 April 1985.
2. UU Nomor 11 Tahun 1994
Sepuluh tahun sejak diberlakukannya UU Nomor 8 Tahun 1983, lahirlah UU Nomor 11 Tahun 1994.
Beberapa poin penting dari kebijakan ini adalah penjelasan PPN sebagai pajak tidak langsung yang
dihitung oleh penjual tetapi dibayar oleh orang lain (pembeli). Selanjutnya, dasar hukum PPN ini
menjelaskan adanya sistem Muli Stage Tax sebagai pajak yang yang dikenakan secara bertingkat,
pada rantai produksi dan distribusi. Setiap penyerahan barang yang menjadi objek PPN sejak dari
pabrik, pedagang besar sampai pengecer dikenakan PPN. Peraturan ini juga mengatur mengenai
indirect subtraction/invoice method yaitu cara menghitung pajak dengan metode tidak langsung
terhadap pajak atas konsumsi dalam negeri sebagai pajak yang yang dikenakan secara definitif
terhadap barang konsumsi di Indonesia.

UU No. 11 Tahun 1994 ini juga membahas mengenai consumption type VAT sebagai pajak yang
dipungut atas nilai tambah, penerapan Non cummulative tax yaitu sistem pengenaan pajak pada
barang/jasa yang telah dikenakan terhadap barang/jasa yang telah dikenakan pajak daerah.
Penerapan tarif tunggal 10% diberlakukan untuk pungutan PPN dan pajak objektif sebagai pajak
yang dikenakan atas barang/jasa tanpa melihat orang/badan yang melakukan transaksi.
3. UU Nomor 42 Tahun 2009
UU No. 42 tahun 2009 adalah perubahan ketiga atas UU PPN. Dengan kata lain, peraturan ini
merupakan dasar hukum terbaru yang mengatur tentang PPN. Undang-undang yang menjadi dasar
hukum PPN ini membahas sejumlah perubahan dari undang-undang sebelumnya seperti mengenai
status PKP sebagai pihak yang wajib menyetor dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terutang,
hingga kewajiban pengusaha kecil yang sudah memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Berdasarkan peraturan ini, PPN dikenakan atas penyerahan BKP di dalam daerah pabean yang
dilakukan oleh pengusaha, impor BKP, penyerahan JKP dalam daerah pabean yang dilakukan oleh
pengusaha, pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean,
ekspor BKP berwujud oleh PKP, ekspor BKP tidak berwujud oleh PKP dan ekspor JKP oleh PKP.
UU No.42 tahun 2009 juga mengatur bahwa PPN atas penyerahan JKP yang dibatalkan
(sebagian/seluruhnya) dapat dikurangkan dari PPN terutang yang terjadi dalam masa pajak
terjadinya pembatalan.
4. Dasar Hukum PPN: Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan
Peraturan mengenai pemungutan, penyetoran dan pelaporan PPN diatur melalui PMK No.
197/PMK.03/2013 yang juga mengatur PKP sebagai pihak yang wajib melaporkan pajaknya karena
jumlah penjualan barang dan jasa yang sudah melebihi Rp 4.800.000.000. Pelaporan dilakukan pada
akhir bulan berikutnya setelah jumlah penjualan berhasil melebihi Rp 4.800.000.000.
Definisi dan Dasar Hukum PPnBM
Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) merupakan Pajak yang dikenakan selain Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) untuk penjualan barang- barang yang tergolong sebagai barang mewah.
PPnBM merupakan jenis pajak yang merupakan satu paket dalam Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai. Pajak ini merupakan pajak yang dikenakan oleh Pemerintah untuk menjalankan
fungsi keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan
konsumen berpenghasilan tinggi, serta pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah. Sederhananya, jika Anda memiliki

penghasilan yang tinggi, otomatis Anda juga harus membayar pajak lebih tinggi.
PMK Nomor 64/PMK.011/2014 sebagai Dasar Hukum PPnBM Kendaraan Bermotor
PMK Nomor 64/PMK.011/2014 merupakan dasar hukum PPnBM kendaraan bermotor yang secara
rinci menjabarkan tarif PPnBM yang dikenakan atas beberapa klasifikasi kendaraan bermotor serta
penghitungan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPnBM BKP yang tergolong mewah. PMK Nomor
64/PMK.011/2014 sebagai dasar hukum PPnBM kendaraan bermotor juga mengatur mengenai
jenis-jenis penyerahan dan impor kendaraan bermotor yang mendapatkan fasilitas tidak dikenakan
PPnBM, serta penyerahan dan impor kendaraan bermotor yang mendapatkan fasilitas pembebasan
dari pungutan PPnBM. Hal ini diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 8 PMK Nomor 64/PMK.011/2014.
Pasal 7 PMK Nomor 64/PMK.011/2014 menyebutkan bahwa, pungutan PPnBM tidak dikenakan
pada barang-barang berikut:
1. Kendaraan CKD
2. Kendaraan sasis
3. Kendaraan pengangkutan barang
4. Kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 250 cc
5. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan 16 orang atau lebih termasuk pengemudi
Sementara, Pasal 8 menyebutkan kendaraan bermotor yang mendapat fasilitas dibebaskan dari
pungutan PPnBM adalah kendaraan bermotor yang memenuhi kriteria berikut ini:
1. Kendaraan bermotor berupa kendaraan ambulance, kendaraan jenazah, kendaraan pemadam
kebakaran, kendaraan tahanan, dan kendaraan pengangkutan umum.
2. Kendaraan protokoler kenegaraan.
3. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 orang sampai dengan 15 orang, termasuk
pengemudi, yang digunakan untuk kendaraan dinas Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
4. Kendaraan patroli TNI atau Polri.
PMK Nomor 64/PMK.011/2014 ini mengalami perubahan kecil menjadi PMK 33/PMK.010/2017.
Namun, perubahan yang terjadi hanya pada rincian kendaraan bermotor yang terkena pungutan
PPnBM.

PMK Nomor 35/PMK.010/2017 sebagai Dasar Hukum PPnBM Non Kendaraan Bermotor
PMK Nomor 35/PMK.010/2017 merupakan dasar hukum PPnBM untuk BKP yang tergolong
mewah yang masuk kelompok non kendaraan bermotor. Untuk kelompok BKP tergolong mewah
yang bukan kendaraan bermotor, yang terutama diatur adalah jenis BKP dan tarif yang dikenakan.
Jenis barang mewah yang terkena pungutan PPnBM ini tertera dalam lampiran PMK Nomor
35/PMK.010/2017, misalnya rumah mewah, town house, apartemen hingga pengenaan PPnBM
pada kapal pesiar dan yacht. Secara rinci, barang mewah selain kendaraan bermotor yang terkena
pungutan PPnBM adalah sebagai berikut:
1. Tarif PPnBM untuk non kendaraan bermotor sebesar 20% diberlakukan pada:
 Rumah dan town house dari jenis nonstrata title dengan harga jual sebesar Rp 20 miliar atau
lebih.
 Apartemen, kondominium, town house dari jenis strata title dan sejenisnya dengan harga jual
sebesar Rp 10 miliar atau lebih.
2. Tarif PPnBM untuk non kendaraan bermotor sebesar 40% diberlakukan pada:
 Kelompok balon udara dan balon udara yang dapat dikemudikan, pesawat udara lainnya tanpa
tenaga penggerak.
 Kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara, yang terdiri
dari peluru dan bagiannya, tidak termasuk peluru senapan angin.
3. Tarif PPnBM untuk non kndaraan bermotor sebesar 50% diberlakukan pada:
 Kelompok pesawat udara, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga yang terdiri
dari helokopter, pesawat udara dan kendaraan udara lainnya, selain helikopter.
 Kelompok senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara yang terdiri dari
senjata artileri, revolver dan pistol, senjata api (selain senjata artileri, revolver dan pistol) dan
peralatan semacam itu yang dioperasikan dengan penembakan bahan peledak.
4. Tarif PPnBM untuk non kendaraan bermotor sebesar 5% diberlakukan pada:
 Kapal pesiar, kapal ekskursi, dan kendaraan air semacam yang dirancang untuk pengangkutan
orang, kapal feri dari semua jenis, kecuali untuk kepentingan negara atau angkutan umum.
 Yacht, kecuali untuk kepentingan negara atau angkutan umum.

Pendahulu PMK Nomor 35/PMK.010/2017 sebagai dasar hukum PPnBM adalah PMK Nomor
106/PMK.010/2015 yang di dalamnya juga hanya mengatur mengenai jenis barang mewah selain
kendaraan bermotor yang dikenai pungutan PPnBM.
2. Karakteristik PPN dan PPnBM Karakteristik PPN
 PPN hanya dikenakan pada konsumsi BKP dan JKP yang dilakukan di dalam negeri.
 PPN tergolong pajak tidak langsung.
 PPN termasuk pajak objektif.
 PPN termasuk multi stage tax, yakni dikenakan pada seluruh rantai produksi
dan distribusi.
 PPN terdiri dari Pajak Masukan yaitu PPN yang dibayar kepada PKP lain.
Dan Pajak Keluaran yaitu PPN yang dipungut dari pembeli.
 Penghitungan PPN bisa menggunakan metode Credit method. Yaitu dilakukan dengan cara
pengkreditan (credit method) pajak masukan
terhadap pajak keluaran.
Karakteristik PPnBM
 PPnBM adalah pungutan tambahan yang dapat dikenakan pada barang mewah disamping PPN.
 PPnBM dimaksudkan untuk menerapkan asas keadilan. Dimana konsumen yang daya belinya
tinggi membayar persentase pajak yang berbeda dengan konsumen dengan daya beli biasa dan
cenderung rendah.
 PPnBM hanya akan dikenakan satu kali, yaitu pada saat impor atau saat penyerahan BKP yang
tergolong mewah. Yang mana dilakukan oleh pabrikan yang menghasilkan BKP yang tergolong
mewah tersebut.
 PPnBM tidak dapat dikreditkan, hal ini untuk dapat mewujudkan tujuan pemberian beban pajak
tambahan.
 Apabila BKP yang tergolong mewah diekspor, maka PPnBM yang dibayar berkaitan dengan
perolehan BKP dapat diminta kembali.
3. Mekanisme PPN
Secara umum, mekanisme pemungutan PPN berlaku atas penyerahan barang atau jasa kena pajak.
Dimana mekanisme pemungutan PPN dilakukan oleh seorang Wajib Pajak (WP) yang telah
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). PKP perlu untuk menerbitkan faktur pajak
sebagai bukti atas pemungutan PPN untuk setiap penyerahan barang dan jasa kena pajak. Untuk
membantu anda mempelajari mengenai ketentuan perpajakan, konsultan pajak BSD memberikan
layanan konsultasi pajak.

Berdasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur tentang pemungutan PPN,
telah dijelaskan bagaimana mekanismenya. Lebih lanjut, mekanisme pemungutan PPN berdasarkan
pada peraturan tersebut yaitu:
 Rekanan wajib untuk membuat faktur pajak dan membuat Surat Setoran Pajak (SSP) untuk setiap
kegiatan penyerahan barang dan jasa kena pajak.
 Faktur pajak dibuat sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
 Mencantumkan NPWP dan identitas dari rekanan.
 Atas penyerahan barang kena pajak selain terutang PPN, yakni terutang pula
PPnBM. Maka, rekanan perlu untuk mencantumkan jumlah PPnBM
terutang pada faktur pajak.
 Faktur pajak dibuat rangkap 3 dan SSP dibuat rangkap 5.
 Wajib menyertakan cap tanggal penyetoran dan menandatangani faktur
pajak.
4. Subyek PPN
Jika ditelaah lebih lanjut, subjek PPN dapat dibagi menjadi dua, yakni:
1. Pengusaha Kena Pajak (PKP), dimana PPN dipungut oleh PKP dalam hal:
 PKP melakukan penyerahan BKP
 PKP melakukan penyerahan JKP
 PKP melakukan ekspor BKP, ekspor BKP Tidak Berwujud, ekspor JKP
2. Non-PKP, dimana PPN akan tetap terutang meski yang melakukan kegiatan bukanlah berstatus
PKP, dalam hal:
 Impor BKP
 Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah
pabean
 Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
 Melakukan kegiatan membangun sendiri
Sementara, orang pribadi yang memanfaatkan BKP/JKP di dalam daerah pabean Indonesia, juga
merupakan subjek PPN. Namun, kewajiban subjek PPN yang memanfaatkan atau mengkonsumsi
BKP/JKP di dalam daerah pabean ini hanya sebatas pada pembayaran PPN, yang umumnya harga
yang dibayarkan oleh konsumen sudah termasuk pungutan PPN. Kewajiban subjek PPN orang
pribadi maupun non-PKP ini diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN) Pasal 4 Ayat (1)
huruf b dan huruf e, serta Pasal 16C. Pengusaha kecil juga merupakan subjek PPN dengan
kewajiban-kewajiban yang mengikat, utamanya apabila pengusaha kecil memilih untuk ditetapkan
sebagai PKP.

5. Obyek PPN
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, objek yang dikenakan atas PPN adalah:
1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh Pengusaha.
2. Impor BKP
3. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dan JKP dari luar daerah pabean
di dalam daerah pabean
4. Ekspor BKP berwujud atau tidak berwujud dan ekspor JKP oleh
Pengusaha Kena Pajak (PKP)
5. Kegiatan Membangun Sendiri bangunan dengan luas lebih dari 200
m2 yang dilakukan di luar lingkungan perusahaan dan/atau pekerjaan oleh Orang Pribadi atau
Badan yang hasilnya digunakan sendiri atau pihak lain
6. Penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang pajak
masukan yang dibayar pada saat perolehan aktiva tersebut boleh dikreditkan
Terdapat jenis barang yang tidak dikenakan PPN, antara lain:
1. Barang hasil pertambangan atau pengeboran bumi.
2. Barang kebutuhan pokok seperti beras, jagung, susu, daging, sayur,
dan lainnya.
3. Makanan dan minuman yang disajikan di restoran atau rumah makan
4. Uang, emas batangan, dan surat berharga
5. Jasa pelayanan medis, pelayanan sosial, jasa keuangan, asuransi,
pendidikan, dan sebagainya.
6. Yang Termasuk dan Tidak Termasuk Dalam Pengertian Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)
Yang termasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah:
1. Penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian;
2. Pengalihan BKP karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian
sewa guna usaha (leasing);
3. Penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
4. Pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas BKP;

5. BKP berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan,
yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
6. Penyerahan BKP dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan BKP antar Cabang.
Dalam hal suatu perusahaan mempunyai lebih dari satu tempat pajakterutang baik sebagai pusat
maupun sebagai cabang perusahaan, pemindahan BKP antar tempat tersebut merupakan
penyerahan BKP
7. Penyerahan BKP secara konsinyasi
8. Penyerahan BKP oleh PKP dalam rangka perjanjian pembiayaan yang
dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari PKP kepada
pihak yang membutuhkan BKP.
Yang Tidak Termasuk Dalam Pengertian Penyerahan BKP
Dalam UU PPN dan PPnBM pada Pasal 1A Ayat (1) disebutkan bahwa yang tidak termasuk dalam
pengertian penyerahan barang kena pajak antara lain:
a) Penyerahan barang kena pajak kepada makelar.
b) Penyerahan barang kena pajak untuk jaminan utang-piutang.
c) Penyerahan barang kena pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya
dan/atau penyerahan barang kena pajak antar cabang dalam hal Pengusaha
Kena Pajak (PKP) melakukan pemusatan tempat pajak terutang.
d) Pengalihan barang kena pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak
yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah PKP.
e) Barang kena pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang
masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan dan
yang pajak masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan.
7. Yang Tidak Termasuk Dalam BKP
Berdasarkan Pasal 4A ayat (2) UU Nomor 42 Tahun 2009 dan memori penjelasannya, jenis barang
yang tidak dikenai PPN adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:
1. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya,
meliputi:
a. Minyak mentah (crude oil);
b. Gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi
langsung oleh masyarakat c. Panas bumi;

d. Asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomit,
felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit,
mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk,
tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan
trakkit;
e. Batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan.
f. Bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak,
serta bijih bauksit.
2. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, meliputi:
a. Beras;
b. Gabah
c. Jagung;
d. Sagu;
e. Kedelai
f. Garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
g. Daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui
proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas,
digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus
h. Telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
i. Susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak
mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
j. Buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci,
disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di- grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
k. Sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu
rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.
3. Makanan dan minuman
Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya,
meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan
dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering. Perlakuan ini berfungsi untuk
menghindarkan dari pengenaan pajak berganda mengingat makanan dan

minuman yang disajikan di hotel atau restoran telah dikenakan Pajak Daerah. Jadi prinsipnya atas
objek tersebut bukan berarti tidak dikenakan pajak sama sekali, hanya saja dikenakan pajak dengan
jenis selain PPN. Dalam prakteknya, tarif banyak daerah atas objek ini pada umumnya sama yaitu
10%. Prinsip yang sama juga ditemui pada perlakuan jasa hiburan yang didefinisikan bukan sebagai
Jasa Kena Pajak sehingga tidak terutang PPN karena telah dikenakan Pajak Daerah.
4. Uang, emas batangan, dan surat berharga.
8. Yang Tidak Termasuk Dalam JKP
1. Jasa pelayanan kesehatan medis
2. Jasa pelayanan social
3. Jasa pengiriman surat dengan perangko
4. Jasa keuangan
5. Jasa asuransi
6. Jasa keagamaan
7. Jasa Pendidikan
8. Jasa kesenian dan hiburan
9. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan
10. Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara
dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa
angkutan udara luar negeri
11. Jasa tenaga kerja
12. Jasa perhotelan
13. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum
14. Jasa penyediaan tempat parker
15. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam
16. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos
17. Jasa boga atau catering
9. Kewajiban Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Menurut Pasal 3A ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
(UU PPN), disebutkan enam hal yang wajib oleh dilakukan oleh PKP, yaitu:
 Melaporkan usahanya untuk dikukuhan sebagai PKP;
 Memungut PPN yang terutang;
 Menerbitkan faktur pajak;
 Membuat pencatatan atau pembukuan atas kegiatan usahanya;

 Menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal pajak keluaran lebih besar daripada pajak
masukan yang dapat dikreditkan serta menyetor pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) yang
terutang; dan
 Melaporkan penghitungan pajak melalui surat pemberitahuan (SPT) pajak, yaitu SPT Masa PPN.
Kewajiban ini bersifat kumulatif. Tanpa melakukan kewajiban yang pertama, PKP tidak mungkin
dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya yang telah disebutkan di atas. Kewajiban
pengusaha kecil yang telah dikukuhkan sebagai PKP adalah sama dengan kewajiban PKP lainnya.
10. Pembuatan Faktur Pajak
Tahap-tahap menerbitkan Faktur Pajak
1. Terdaftar sebagai PKP
2. Memiliki Sertifikat Elektronik Pajak
3. Mendapatkan NSFP Lewat e-Nofa
11. Syarat Pajak Masukan Dapat Di Kreditkan
1. Tercantum dalam faktur pajak lengkap atau dokumen tertentu yang diperlakukan sama dengan
faktur pajak.
2. Berhubungan langsung dengan kegiatan usaha.
12. Pajak Masukan Yang Tidak Dapat Dikreditkan
1. Perolehan BKP/JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP
2. Perolehan BKP/JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung
dengan kegiatan usaha
3. Perolahan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan
station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau
disewakan
4. Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar
Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP
5. Perolehan BKP/JKP yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi
ketentuan seperti mencantumkan keterangan tentang penyerahan BKP/JKP atau tidak
mencantumkan identitas seperti nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP/JKP
6. Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean yang Faktur
Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur DJP terkait penetapan dokumen tertentu
yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak
7. Perolehan BKP/JKP yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak

8. Perolehan BKP/JKP yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT)
Masa PPN, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan
9. Perolehan BKP selain barang modal atau JKP sebelum PKP berproduksi.
13. Tarif Dan Saat Terutang PPn Dan PPnBM
Saat dan Tempat Terutang PPN dan PPNBM sesuai (Pasal 17 PP No. 1 Tahun 2012)
1. Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah terjadi pada saat:
1. Impor Barang Kena Pajak;
2. Penyerahan Jasa Kena Pajak;
3. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean;
4. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;
5. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
6. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atau
7. Ekspor Jasa Kena Pajak
14. Pihak Yang Wajib Membayar/Menyetorkan dan Melapor PPN dan PPn BM
Yang Wajib Membayar/Menyetor Dan Melapor PPN/PPnBM
1. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
2. Pemungut PPN/PPnBM, adalah :
a. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara
b. Bendahara Pemerintah Pusat dan Daerah
c. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Yang Wajib Disetor
1. Oleh PKP adalah :
a. PPN yang dihitung sendiri melalui pengkreditan Pajak Masukan dan
Pajak Keluaran. Yang disetor adalah selisih Pajak Masukan dan
Pajak Keluaran, bila Pajak Masukan lebih kecil dari Pajak Keluaran.
b. PPnBM yang dipungut oleh PKP Pabrikan Barang Kena Pajak
(BKP) yang tergolong mewah.
c. PPN/ PPnBM yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
(SKPKBT), dan Surat Tagihan Pajak (STP).

2. Oleh Pemungut PPN/PPnBM adalah PPN/PPnBM yang dipungut oleh Pemungut PPN/ PPnBM.
Tempat Pembayaran/Penyetoran Pajak
1. Kantor Pos dan Giro
2. Bank Persepsi
Saat Pembayaran/Penyetoran PPN/PPnBM
1. PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetor paling lama akhir bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai disampaikan.
2. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP harus dibayar/disetor
sesuai batas waktu yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP tersebut.
3. PPN/PPnBM atas Impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk, dan
apabila pembayaran Bea Masuk ditunda/ dibebaskan, harus dilunasi pada saat penyelesaian
dokumen Impor.
4. PPN/PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh:
a. Bendahara Pemerintah, harus disetor paling lama tanggal 7 (tujuh)
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang memungut PPN / PPnBM
atas Impor, harus disetor dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja
setelah dilakukan pemungutan PPN pajak.
5. PPN dari penyerahan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistik (BULOG),
harus dilunasi sendiri oleh PKP sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (D.O) ditebus.
Saat Pelaporan PPN/PPnBM
1. PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan
disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lama akhir bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir.
2. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP yang telah dilunasi segera
dilaporkan ke KPP yang menerbitkan.
3. PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan:
a. Bendahara Pemerintah harus dilaporkan paling lama akhir bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas Impor, harus dilaporkan
paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
4. Untuk penyerahan tepung terigu oleh BULOG, maka PPN dan PPnBM dihitung sendiri oleh PKP,
harus dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan kepada KPP setempat paling lama akhir bulan
berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.

Sarana Pembayaran/Penyetoran Pajak


1. Untuk membayar/menyetor PPN dan PPnBM digunakan formulir Surat Setoran Pajak (SSP)
yang tersedia di Kantor-kantor Pelayanan Pajak dan Kantor-kantor Pelayanan Penyuluhan dan
Konsultasi Perpajakan (KP2KP) di seluruh Indonesia.
2. Surat Setoran Pajak (SSP) menjadi lengkap dan sah bila jumlah PPN/ PPn BM yang disetorkan
telah sesuai dengan yang tercantum di dalam Daftar Nominatif Wajib Pajak (DNWP) yang dibuat
oleh: Bank penerima pembayaran, Kantor Pos dan Giro, atau Kantor Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai penerima setoran.
15. Perhitungan PPN dan PPn BM
1. 2.
Cara Menghitung Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
(PPnBM)
PPN dan PPnBM yang terutang dihitung dengan cara mengalikan Tarif Pajak dengan Dasar
Pengenaan Pajak (DPP).
Tarif PPN dan PPnBM
Tarif PPN adalah 10% (sepuluh persen).
Tarif PPN sebesar 0% (sepuluh persen) diterapkan atas:
o ekspor Barang Kena Pajak (BKP) Berwujud;
o ekspor BKP Tidak Berwujud; dan 1. ekspor Jasa Kena Pajak.
3. Tarif PPnBM adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus
persen).
4. Tarif PPnBM atas ekspor BKP yang tergolong mewah adalah 0% (nol persen).
Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
Dasar Pengenaan Pajak adalah dasar yang dipakai untuk menghitung pajak yang terutang, berupa:
Jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
1. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), tidak termasuk PPN yang
dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur
Pajak.
2. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP),ekspor Jasa Kena Pajak, atau
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut menurut
Undang- Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak

atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud.
3. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah
pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan Pabean untuk Impor BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut
Undang-Undang PPN.
4. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh eksportir.
5. Nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak dengan
Keputusan Menteri Keuangan.
Nilai lain yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah
sebagai berikut :
1. untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah
dikurangi laba kotor;
2. untuk pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah
dikurangi laba kotor;
3. untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata;
4. untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film;
5. untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran;
6. untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat
pembubaran perusahaan, adalah harga pasar wajar;
7. untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya
dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang adalah harga pokok
penjualan atau harga perolehan;
8. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang adalah harga
lelang;
9. untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10 % (sepuluh persen) dari
jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih; atau
10. untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10%
(sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
Contoh Cara Menghitung PPN dan PPnBM
1. PKP “A” menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp 25.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x Rp25.000.000,00
= Rp2.500.000,00
PPN sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha
Kena Pajak “A”.

2. PKP “ B ” melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian sebesar
Rp20.000.000,00
PPN yang terutang yang dipungut oleh PKP “B”
= 10% x Rp20.000.000,00
= Rp 2.000.000,00
PPN sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha
Kena Pajak “B”.
3. Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor sebesar
Rp15.000.000,00. PPN yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
= 10% x Rp15.000.000,00
= Rp 1.500.000,00
4. Pengusaha Kena Pajak “ D ” mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah dengan
Nilai Impor sebesar Rp5.000.000,00 Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut selain
dikenai PPN juga dikenai PPnBM misalnya dengan tarif 20%. Penghitungan PPN dan PPnBM yang
terutang atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut adalah:
a. Dasar Pengenaan Pajak = Rp 5.000.000,00
b. PPN = 10% x Rp5.000.000,00 = Rp500.000,00
c. PPn BM = 20% x Rp5.000.000,00 = Rp1.000.000,00
5. Kemudian PKP “D” menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian dari suatu BKP
yang atas penyerahannya dikenakan PPN 10% dan PPnBM dengan tarif misalnya 35%. Oleh karena
PPnBM yang telah dibayar atas BKP yang diimpor tersebut tidak dapat dikreditkan, maka PPnBM
sebesar Rp1.000.000,00 dapat ditambahkan ke dalam harga BKP yang dihasilkan oleh PKP “D”
atau dibebankan sebagai biaya. Misalnya PKP “ D ” menjual BKP yang dihasilkannya, maka
penghitungan PPN dan PPn BM yang terutang adalah :
a. Dasar Pengenaan Pajak = Rp50.000.000,00
b. PPN = 10% x Rp50.000.000,00 = Rp5.000.000,00
c. c. PPn BM = 35% x Rp50.000.000,00 = Rp17.500.000,00
PPN sebesar Rp500.000,00 yang dibayar pada saat impor merupakan pajak masukan bagi PKP “D”
dan PPN sebesar Rp5.000.000,00 merupakan pajak keluaran bagi PKP “ D” . Sedangkan PPnBM
sebesar Rp1.000.000,00 tidak dapat dikreditkan. Begitu pun dengan PPnBM sebesar
Rp17.500.000,00 tidak dapat dikreditkan oleh PKP “X”.

1.
Dasar Hukum BPHTB
BAB 12
4.
Kalau mengacu pada perkembangan terakhir, dasar hukum BPHTB adalah Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009. Terbitnya Undang-Undang tersebut memperjelas penerimaan dari bea ini sebagai
milik Pemerintah Daerah. Selain itu, keberadaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini sekaligus menggantikan UU Nomor 20 Tahun 2000 tentang
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
2. Definisi BPHTB
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau yang disingkat dengan BPHTB, diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu dengan UU No. 21 Tahun 1997 tentang
Bea Pero lehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun
2000 tentang Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangun. Dalam UU No. 21 Tahun 1997 sebagaimana te lah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000
(disebut dengan UU BPHT B), memberikan pengertian mengenai BPHTB, yaitu Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan, yang selanjutnya disebut pajak. Jadi BPHTB adalah sama dengan Pajak Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan. Yang dimaksud dengan Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, UU
BPHTB menyebutkan bahwa Perolehan Hak atas Tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau
peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang
pribadi atau badan. Adapun Hak atas Tanah dan atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk
hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria, UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
3. Subyek BPHTB
Orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan.
Obyek BPHTB
Objek : Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.

Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak
5. Obyek Yang Tidak Dikenakan BPHTB
 Perwakilan diplomatik, konsulat (asas timbal balik).
 Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan atau untuk
pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum.
 Badan perwakilan organisasi internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan
tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut.
 Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan
hukum lain yang tidak menyebabkan perubahan nama.
 Orang pribadi atau badan karena wakaf.
 Orang pribadi atau badan karena kepentingan ibadah.
6. Tarif Dan Dasar Pengenaan BPHTB
Awalnya, BPHTB dipungut oleh pemerintah pusat, namun setelah terbit Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, BPHTB dialihkan menjadi salah satu
jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota. BPTHB dikenakan kepada seorang
individu atau badan karena mereka mendapatkan hak atas tanah atau bangunan secara hukum.
7. Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak, ditetapkan sebagai berikut :
Waris dan Hibah Wasiat Rp. 300.000.000,00
Lainnya Rp. 60.000.000,00
8. Perhitungan BPHTB
Cara menghitung BPHTB adalah dengan mengalikan tarif dengan NJOP
atau NPOP. Tentunya NJOP dan NPOP tersebut harus sudah dikurangi oleh NJOPTKP atau
NPOPTKP yang nilainya telah dijabarkan sebelumnya.
Adapun rumus dan cara perhitungan BPHTB adalah sebagai berikut.
BPHTB = 5% x (NPOP – NPOPTKP)
Agar Anda lebih memahami mekanisme perhitungannya, berikut ini cara menghitung BPHTB
disertai dengan contoh.

1. Cara Menghitung BPHTB Jual Beli


Misalnya, Anda membeli rumah di Bandung dengan harga transaksi Rp900 juta nominal ini lebih
besar dibanding NJOP-nya yang senilai Rp800 juta. Adapun pemerintah Kota Bandung menetapkan
NPOPTKP sebesar Rp80 juta.
Karena NPOP lebih besar dari NJOP, maka yang digunakan dalam perhitungan adalah NPOP.
Dengan demikian, perhitungan BPHTB-nya adalah sebagai berikut.
BPHTB = 5% x (NPOP – NPOPTKP) BPHTB = 5% x (Rp900 juta - Rp80 juta) BPHTB = 5% x
(Rp820)
BPHTB = Rp41 juta
2. Cara Menghitung BPHTB Warisan
Bu Ana mendapat warisan dari suami berupa tanah beserta bangunan di Jogja dengan nilai pasar
sebesar Rp800 juta. Adapun menurut NJOP, harga rumah tersebut adalah Rp1 miliar. Pemerintah
Kota Jogja menetapkan NJOPTKP untuk warisan adalah sebesar Rp300 juta.
Karena NJOP lebih besar dari NPOP, maka nominal tersebut lah yang akan dipakai. Dengan
demikian, cara menghitung BPHTB-nya adalah sebagai berikut.
BPHTB
= 5% x (NJOP - NJOPTKP)
= 5% x (Rp1 miliar - Rp300 juta) = 5% x Rp700 juta
= Rp35 juta
3. Cara Menghitung BPHTB Warisan
Bu Ana mendapat warisan dari suami berupa tanah beserta bangunan di Jogja dengan nilai pasar
sebesar Rp800 juta. Adapun menurut NJOP, harga rumah tersebut adalah Rp1 miliar. Pemerintah
Kota Jogja menetapkan NJOPTKP untuk warisan adalah sebesar Rp300 juta.

Karena NJOP lebih besar dari NPOP, maka nominal tersebut lah yang akan dipakai. Dengan
demikian, cara menghitung BPHTB-nya adalah sebagai berikut.
BPHTB
= 5% x (NJOP - NJOPTKP)
= 5% x (Rp1 miliar - Rp300 juta) = 5% x Rp700 juta
= Rp35 juta
Perhitungan ini tidak terhenti disini saja, dalam PP nomor 111 tahun 2000 tentang Pengenaan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Karena Waris dan Hibah Wasiat, BPHTB terutang pada
warisan hanya sebesar 50% dari hasil perhitungan.
Dengan demikian, BPHTB dalam contoh ini adalah senilai 50% x Rp35 juta, yakni Rp17.5 juta.
4. Cara Menghitung BPHTB Hibah Wasiat
Sama seperti warisan, cara menghitung BPHTB terutang adalah dengan mengalikan 50% dengan
hasil perhitungan. Contohnya, Bu Desi menerima hibah wasiat dari kakeknya berupa sebidang
tanah dengan nilai jual Rp600 juta. Adapun NJOP dalam SPT PBB sebesar Rp400 juta. Pemerintah
daerah mengatur NPOPTKP kawasan tersebut senilai Rp280 juta.
Maka cara menghintung BPHTB hibah wasiatnya adalah sebagai berikut.
BPHTB
= 5% x 50% x (NPOP - NPOPTKP)
= 5% x 50% x (Rp600 juta- Rp280 juta) = Rp8 juta

1.
Dasar Hukum PBB
BAB 12 (2)
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada dasarnya diatur dalam beberapa Undang-Undang di
Indonesia, yaitu:
a.
b.
Undang-Undang (UU) No.12 Tahun 1994 Tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) No. 12
Tahun 1985 terkait Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang mengatur semua tentang pungutan atas
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Undang-Undang (UU) No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah yang menjelaskan:

o Bahwa pemerintah kabupaten atau pemerintah kota memiliki wewenang dalam melakukan
pemungutan atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di sektor pedesaan dan perkotaan (PBB-P2)
o Bahwa pemerintah atau pusat memiliki wewenang terhadap sektor Pertambangan, Perhutanan,
dan Perkebunan (PBB-P3)
Definisi PBB
Pajak bumi dan bangunan (PBB) dikenakan atas objek berupa bumi dan atau bangunan. PBB
adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan
objek yang sebenarnya. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya
pajak.
Subyek PBB
Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang :
Mempunyai hak atas bumi atau Memperoleh manfaat atas bumi atau Memiliki atau menguasai
bangunan dan atau Memperoleh manpaat atas bangunan
Obyek PBB
3.
4.
2.
a. b. c. d.

5.
6.
7.
Yang menjadi objek pajak adalah bumi dan atau bangunan
Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Permukaan bumi meliputi
tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia.
Bangunan
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau
perairan. Termasuk dalam pengertian bangunan adalah :
- Jalan lingkungan
- Jalan tol
- Kolam renang
- Pagar mewah
- Tempat olah raga
- Galangan kapal, dermaga
- Taman mewah
- Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak
- Fasilitas lain yang memberikan manfaat
Tarif Dan Dasar Pengenaan PBB
Apabila seorang wajib pajak telah ditetapkan sebagai subjek PBB, baik itu yang dipungut oleh
pemerintah pusat maupun daerah, ia memiliki kewajiban untuk membayar pajak tersebut sesuai
dengan jumlah tarif dan dasar pengenaan yang ditetapkan. Untuk PBB dalam lingkup pusat
mengacu pada ketentuan Pasal 5 UU PBB. Pasal ini menetapkan besarnya tarif pajak yang
dikenakan atas suatu objek PBB pada lingkup pusat adalah sebesar 0,5%.
SPOP, SPPT, SKP
a) SPOP : Surat Pemberitahuan Objek Pajak
b) SPPT : Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
c) SKP : Surat Ketetapan Pajak
Tata Cara Pembayaran, Penagihan dan Denda

TATA cara pembayaran PBB yang dipungut pemerintah pusat diatur dalam Pasal 11 ayat (5) UU
PBB. Berdasarkan ketentuan tersebut, pembayaran PBB dapat dilakukan di bank, kantor pos, giro,
dan tempat lain yang ditunjuk oleh menteri keuangan. Selanjutnya, mengacu pada Pasal 11 ayat (1)
Peraturan Menteri Keuangan No.242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran
Pajak (PMK 242/2014), pembayaran dan penyetoran pajak termasuk PBB dilakukan dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).
KETENTUAN penagihan PBB yang dipungut oleh pemerintah pusat mengacu pada Pasal 11
Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB). Berdasarkan
ketentuan tersebut, jangka waktu pembayaran pajak terutang ditentukan berdasarkan jenis surat
terutang yang merupakan dasar penagihan pajak tersebut. Selanjutnya, sesuai dengan Pasal 10 ayat
(1) UU PBB, otoritas pajak melakukan penagihan pajak dengan Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang (SPPT) yang diterbitkan atas dasar Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP). Namun,
untuk membantu wajib pajak, SPPT dapat diterbitkan berdasarkan data objek pajak yang telah ada
pada Ditjen Pajak (DJP).
Denda administrasi tersebut harus dilunasi paling lambat dalam jangka waktu satu bulan sejak
diterimanya STP oleh wajib pajak. Selain itu, mengacu pada ketentuan Pasal 14 UU PBB, menteri
keuangan juga dapat melimpahkan kewenangan untuk melakukan penagihan PBB kepada gubernur,
bupati, atau wali kota madya Selanjutnya, ketentuan penagihan PBB yang dipungut oleh
pemerintah daerah (PBB-P2) diatur dalam Pasal 101 UU PDRD. Sesuai dengan pasal tersebut,
kepala daerah memiliki kewenangan untuk menentukan tanggal jatuh temponya pembayaran dan
penyetoran PBB yang terutang.
8.
Keberatan Dan Banding
- Keberatan : Dalam UU KUP Pasal 25, Pasal 26 dan Pasal 26A maupun PMK 9/2013 s.t.d.t.d PMK
202/2015 tidak menjabarkan definisi keberatan secara eksplisit. Namun secara sederhana, keberatan
adalah upaya yang dapat ditempuh wajib pajak yang merasatidak/kurang puas atas suatu ketetapan
pajak yang dikenakan kepadanya atau atas gugatan oleh pihak ketiga. Dalam hal ini, Wajib Pajak
dapat mengajukan. keberatan kepada Dirjen Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak di mana Wajib
Pajak yang bersangkutan terdaftar.
- Banding : upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap
suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding
terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
9. Perhitungan PBB
PT AAA memiliki lahan di daerah Jakarta dengan memiliki area tanah
seluas 1.000 meter persegi dengan luas bangunan 800 meter persegi. Diketahui NJOP tanah per
meter di daerah tersebut adalah Rp5.000.000 dan harga bangunan per meter Rp1.000.000.
Berikut adalah langkah-langkah cara mengitu PBB yang wajib dipahami perusahaan pemilik bumi
dan bangunan:
a. Langkah pertama, hitung NJOP bumi dan bangunan
Bumi = 1.000 x Rp5.000.000 Bangunan = 800 x Rp1.000.000
NJOP Bumi dan Bangunan Rp800.000.000
= Rp5.000.000.000
= Rp5.000.000.000 = Rp800.000.000
+ = Rp5.800.000.000
= Rp2.315.200.000
= Rp11.576.000
b. Langkah kedua, hitung NJKP
NJKP = 40% x (Rp5.800.000.000 – Rp12.000.000)
c. Langkah ketiga, hitung PBB.
PBB = 0.5% x Rp2.315.200.000
Maka setiap tahunnya PT AAA harus membayar PBB sebesar Rp11.576.000.

1. Dasar Hukum Bea Materai


Menurut Undang-Undang 10 Tahun 2020, Bea Materai adalah pajak yang dikenakan atas suatu
dokumen baik itu dokumen kertas maupun dokumen elektronik yang dapat digunakan sebagai bukti
atau keterangan. Adapun asas- asas yang mengatur bea materai yang diantaranya yaitu asas
kesederhanaan, asas efisiensi, asas keadilan, asas kepastian hukum, dan asas kemanfaatan. Adapun
bea materai diberlakukan untuk mengoptimalkan penerimaan negara demi membiayai
pembangunan nasional secara mandiri menuju kesejahteraan, memberikan kepastian hukum yang
adil, menyesuaikan kebutuhan masyarakat dan menyelaraskan ketentuan bea materai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Definisi Bea Materai
Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang bersifat perdata dan dokumen untuk
digunakan di dalam pengadilan. Dokumen yang bisa dikenai bea meterai adalah dokumen
berbentuk surat yang memuat jumlah uang, dokumen yang bersifat perdata, dan dokumen yang
digunakan di muka pengadilan, misalnya dokumen kontrak pengadaan perlengkapan kantor dan
dokumen perjanjian pembangunan gedung kantor. Nilai bea meterai yang berlaku adalah Rp3.000
dan Rp6.000 sesuai jenis dokumen yang dikenai bea dan penggunaan dokumen. Pembayaran bea
meterai dilakukan terlebih dahulu daripada saat terutang.
3. Prinsip Umum Pemungutan Atau Pengenaan Bea Materi
a. Bea Meterai dikenakan atas dokumen (merupakan pajak atas dokumen).
b. Satu dokumen hanya terutang satu Bea Meterai.
c. Rangkap/tindasan (yang ikut ditandatangani) terutang Bea Meterai sama
dengan aslinya.
4. Yang Dikenakan Dan Yang Tidak Dikenakan Bea Materai
Kena Bea Materai
- Surat perjanjian & surat lain yang dibuat dengan tujuan sebagai alat
- pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.
- Akta Notaris dan PPAT termasuk salinannya
- Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp 1.000.000,-
BAB 13

5.
6.
- Surat berharga (wesel, promes, aksep, cek lebih dari satu juta rupiah)
- Efek dengan nominal lebih dari satu juta rupiah.
- Dokumen yang digunakan sebagai alat pembuktian dipengadilan seperti :
1. Surat biasa & surat kerumahtanggaan
2. Surat yang semula tidak dikenakan materai tetapi kemudian
tujuannya diubah
Tidak Kena Bea Materai
• Surat penyimpanan barang.
• Konosemen.
• Surat angkut penumpang dan barang.
• Keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen 1-3.
• Bukti pengiriman dan penerimaan barang.
• Surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim. • Surat lain yang sejenis
• Segala bentuk ijazah.
• Tanda terima gaji, pensiun, uang tunjangan, dll.
• Tanda bukti penerimaan uang negara.
• Kuitansi segala jenis pajak.
• Dokumen yang menyebutkan tabungan, koperasi.
• Surat gadai yang dikeluarkan oleh pegadaian.
• Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek
Saat Terutang Bea Materai
 Dokumen dibuat satu pihak = pada saat dokumen diserahkan.
 Dokumen dibuat lebih dari satu pihak = pada saat selesainya dokumen dibuat.
 Dokumen dibuat di luar negeri = pada saat digunakan di Indonesia (pemateraian kemudian).
Cara Pelunasan Bea Materai
a) Dengan menggunakan benda meterai yaitu meterai tempel dan kertas meterai. Pelunasan dengan
benda meterai ini bisa dilakukan dengan cara biasa yaitu oleh Wajib Pajak sendiri, dan dapat pula
dilakukan melalui pemeteraian kemudian oleh pejabat pos. Dalam menempelkan meterai tempel
dan menggunakan kertas meterai harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut ( pasal 7 ayat (3), (4), (5)
dan (6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 ). Meterai tempel harus direkatkan seluruhnya
dengan utuh dan tidak

rusak di atas dokumen yang dikenakan bea meterai. Meterai tempel direkatkan di tempat dimana
tanda tangan akan dibubuhkan. Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal,
bulan, dan tahun dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian tanda
tangan ada di atas kertas dan sebagian lagi di atas meterai tempel. Jika digunakan lebih dari satu
meterai tempel, tanda tangan harus dibubuhkan sebagian di atas semua meterai tempel dan sebagian
di atas kertas. Bila pelunasan bea meterai dilakukan dengan menggunakan kertas meterai maka
harus memperhatikan hal-hal sebagaimana yang tercantum dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 1985 sebagai berikut : Kertas meterai yang sudah digunakan tidak boleh digunakan lagi
( ayat (7) ), Jika isi dokumen yang dikenakan bea meterai terlalu panjang untuk dimuat seluruhnya
di atas kertas meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat
digunakan kertas tidak bermeterai ( ayat (8) ), Bila ketentuan penggunaan dan cara pelunasan bea
meterai tidak dipenuhi, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai ( ayat (9) ).
b) Cara pelunasan bea meterai dengan cara lain yang ditetapkan menteri keuangan, yaitu :
Membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan menggunakan mesin teraan meterai.
Membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan teknologi percetakan. Membubuhkan tanda Bea
Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi. Membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan alat
lain dan teknologi tertentu (Lihat KMK No. 133b/KMK.04/2000).
7. Pemateraian Kemudian
8.
a. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan;
b. Dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi9 sebagaimana mestinya; dan/atau
c. Dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan di Indonesia
Kedaluarsa dan Sanksi-Sanksi
Setiap Orang yang:
a. Meniru atau memalsu Meterai yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia dengan maksud memakai atau meminta orang lain memakai
tersebut sebagai Meterai asli, tidak dipalsu, atau sah
untuk Meterai
b. Dengan maksud yang sama sebagaimana
dalam huruf a, membuat Meterai dengan menggunakan cap asli secara melawan hukum, termasuk
membuat Meterai elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Meterai dalam bentuk lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, secara melawan hukum, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
dimaksud

9. Perhitungan Bea Materai


Apotik Segar Waras merupakan toko obat yang menjual obat dan perlengkapan medis. Apabila
dalam bulan Januari 2021 terdapat beberapa transaksi di atas Rp1.000.000 yang tercatat dalam
pembukuan Apotik Segar Waras.
1. Penjualan obat Paracetamol kepada dr. Rahadi sebesar Rp15.000.000, diberikan kwitansi sebagai
bukti transaksi lunas;
2. Penjualan obat batuk anak kepada Bidan Lestari sebesar Rp2.500.000, diberikan kwitansi sebagai
bukti transaksi lunas; dan
3. Penjualan masker medis pada dr. Chandra sebesar Rp6.000.000, diberikan kwitansi sebagai bukti
transaksi lunas.
Tentukanlah berapa bea meterai terutang atas transaksi tersebut bila Apotik Segar Waras merupakan
pemungut bea meterai.
Jawab:
Berdasarkan ilustrasi di atas, Apotik Segar Waras merupakan pemungut bea meterai. Adapun
kewajiban dari pemungut bea meterai adalah memungut bea meterai atas transaksi dengan nilai di
atas Rp5.000.000. Nilai dari bea meterai yang berlaku sejak 1 Januari 2021 adalah Rp10.000
sebagaimana diatur dalam Undang- Undang No. 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai. Dengan
demikian transaksi- transaksi yang terutang bea meterai adalah sebagai berikut:
1. Transaksi Apotik Segar Waras dengan dr. Rahadi sebesar Rp15.000.000;
2. Transaksi Apotik Segar Waras dengan dr. Chandra sebesar Rp6.000.000
Adapun pihak yang memungut adalah Apotik Segar Waras yaitu memungut bea meterai pada
lawan transaksi atau dalam hal ini pembeli yaitu dr. Rahadi dan dr. Chandra sebesar masing-masing
Rp10.000.

BAB 14
1. Pembayaran Dan Pelaporan Pajak
- Membayar pajak adalah salah satu tahapan dalam siklus hak dan kewajiban Wajib Pajak (WP).
Dalam systemself assessment, WP wajib melakukan sendiri penghitungan, pembayaran, dan
pelaporan pajak terutang. Mekanisme pembayaran pajak dapat diklasifikasikan menjadi 4 jenis
yaitu: (1) Membayar sendiri pajak yang terutang; (2) Membayar Pajak Penghasilan (PPh) melalui
pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain; (3) Membayar PPN kepada pihak penjual atau
pemberi jasa ataupun oleh pihak yang ditunjuk pemerintah; dan (4) Pembayaran pajak-pajak
lainnya.
2. Definisi Penyetoran Dan Pelaporan Pajak
- Pajak yang terutang harus disetorkan tepat waktu sesuai ketentuan yang berlaku. Jika terlambat
menyetorkannya, bisa- bisa Anda dikenakan sanksi. Batas waktu penyetoran PPh 21 merupakan
tanggal 10 setiap bulannya.
- Setelah menyetor kewajiban pajak Anda, hal yang harus dilakukan berikutnya adalah melapor
pajak. Keterlambatan dalam pelaporan pajak pun dapat membuat Anda terkena sanksi. Batas waktu
pelaporan PPh 21 merupakan tanggal 20 setiap bulannya.
3. Cara Penyetoran Dan Pelaporan Pajak
Pelaksanaan pemungutan dan penyetoran yang telah dilakukan maka kewajiban dari wajib pajak
bendahara sebagai pemungut adalah melakukan pelaporan atas pemungutan yang telah dilakukan.
Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 22 menggunakan SPT masa dan SSP lembar 3. SPT masa
tersebut diisi sesuai dengan pemungutan pajak penghasilan pasal 22 yang telah dilakukan. Batas
waktu pelaporan SPT masa paling lambat 14 hari bulan berikutnya seteah masa pajak berakhir. Bila
jatuh tempo bertepatan pada hari libur maka pelaporan dapat dilaksanakan pada hari kerja
berikutnya.

4. Jenis Surat Setoran Pajak


- Surat Setoran Pajak Standar
- Surat Setoran Pajak Khusus
- Surat Setoran Pajak Pabean, Cukai, dan Pajak (Impor)
- Surat Setoran Cukai Terkait Barang Kena Cukai dan PPN Hasil Tembakau Buatan dalam Negeri
(SSCP)
5. Mekanisme Penyetoran Pajak
Penyetoran oleh bendahara atas pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dilakukan pada hari yang
sama dengan pelaksanaan pembayaran atas pembelian barang. Penyetoran dilakukan ke bank
persepsi atau kantor pos dengan menggunakan SSP rangkap 5 yang telah diisi atas nama rekanan.
Surat Setoran Pajak tersebut yaitu:
a. Lembar 1 : untuk arsip wajib pajak Rekanan;
b. Lembar 2 : untuk KPPN;
c. Lembar 3 : untuk dilaporkan wajib pajak ke KPP Pratama;
d. Lembar 4 : untuk Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro; e. Lembar 5 : untuk arsip wajib
pungut atau pihak lain
6. Jenis Surat Pemberitahuan
SPT Tahunan Pajak Penghasilan, yang terdiri dari:
- SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan
- SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan bagi Wajib
Pajak yang diizinkan menyelenggarakan pembukuan dalam
mata uang Dollar Amerika Serikat
- SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi
- SPT Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21
- SPT Masa Pajak Penghasilan
- SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26
- SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 22
- SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 23 dan Pasal 26
7.Mekanisme Pelapiran Pajak
- Penyampaian Langsung ke Kantor Pajak
- Penyampaian Melalui Pos Atau Ekspedisi
8. Sanski Keterlambatan Setor Dan Lapor Pajak
- Batas akhir lapor Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan pribadi adalah paling lambat 3 bulan
setelah tahun pajak berakhir. Apabila WP

terlambat melaporkan SPT Tahunan Pajak penghasilan (PPh) maka akan dikenai sanksi
administrasi berupa denda senilai Rp 100.000,00 yang dihitung satu kali untuk setiap keterlambatan.
- WP juga akan dikenai sanksi berupa kenaikan pembayaran apabila WP tidak menyampaikan
secara benar dan lengkap atau WP terbukti melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, karena
kealpaan dan baru pertama kali. Karena kesalahan tersebut, WP akan dikenai 200% dari nilai pajak
terutang yang kurang dibayar. Pengenaan tersebut diterapkan melalui penerbitan SKPKB.

Anda mungkin juga menyukai