Anda di halaman 1dari 36

Bab VI

BENTUK USAHA TETAP ( BUT )


Permanent Establishment

Permanent establishment atau dalam bahasa Indonesia Bentuk Usaha


Tetap [BUT] adalah istilah penting dalam perpajakan internasional karena
berkaitan dengan taxing right atau hak pemajakan. Pengertian BUT dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan terdapat pada BAB II Pasal 2 ayat (5).
William ( dalam Bischel, 1978) dan Patrick (dalam Helawel,1980)
menyatakan bahwa istilah permanent establishment (PE) lebih merupakan
ambang batas (threshold) atau kriteria yang yang memungkinkan suatu negara
sumber untuk secara legal dapat memajaki penghasilan dari bisnis
internasional.

Sebagai ambang batas, maka setiap usaha dan kegiatan internasional


yang belum memenuhi atau berada dibawah kriteria BUT dibebaskan dari
pengenaan pajak di negara sumber.

Hal ini bukan berarti penghasilan tersebut bebas dari pemajakan dengan
alasan bahwa sesuai dengan kelaziman internasional, misalnya ketentuan
Pasal 7 OECD Model, penghasilan tersebut hanya dikenakan pajak oleh negara
domisili pengusaha aktivitas pemberi penghasilan tersebut secara siginifikan
masih dijalankan dinegara dimaksud.
Konsep Dasar PE

Pasal 5 dalam OECD Model menjelaskan kepada kita tentang kegiatan usaha
yang seperti apa yang dapat dikatagorikan sebagai PE dan kegiatan apa yang
tidak dapat dikatagorikan sebagai PE.
Dengan demikian konsep PE merupakan konsep yang sangat penting dalam
menentukan hak pemajakan negara negara sumber terhadap penghasilan dari
kegiatan usaha yang dijalankan oleh subjek pajak luar negeri.

Tanpa adanya PE, negara sumber tidak dapat mengenakan pajak atas laba
usaha yang diperoleh perusahaan yang manjadi subjek pajak luar negeri di
negara sumber.

NO PE NO TAX------ PE TAX

KRITERIA BUT

BADAN tidak dirikan di Indo (WP LN)

OP tidak lebih dari 183 hari ( WP LN)

Jika OP diatas 183 hari WP DALAM NEGERI

PMA ( Penanaman Modal Asing)

 Didirikan di Indonesia

Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada
di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:

1. tempat kedudukan manajemen;


2. cabang perusahaan;
3. kantor perwakilan;
4. gedung kantor;
5. pabrik;
6. bengkel;
7. gudang;
8. ruang untuk promosi dan penjualan;
9. pertambangan dan penggalian sumber alam;
10. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
11. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
12. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
13. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain,
sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan;
14. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya
tidak bebas;
15. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi
asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan
16. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki,
disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik
untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
SKEMA BUT

WAJIB PAJAK

NEGARA DOMISILI

NEGARA SUMBER PENGHASILAN

KEGIATAN USAHA

NEGARA SUMBER DAPAT MENGENAKAN PAJAK JIKA KEGIATAN USAHA INI ( PASAL 7) )

KONSEP PE DIATUR DALAM


PASAL 5 DALAM UU PPh

Alokasi Laba Usaha PE yang dikenakan Pajak di Negara Sumber


Diatur dalam Pasal 5

Objek Pajak Bentuk Usaha Tetap

1. penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut


dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai;
2. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan
barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang
dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;
3. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau
diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara
bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan
penghasilan dimaksud.
Wujud BUT Dapat Di Bedakan Menjadi:
1. BUT Fisik, suatu tempat usaha (Place of Busines) yaitu fasilitas yang
dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin mesin dan
peralatan. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan
dan tidak berkedudukan di Indonesia.
2. BUT Aktivitas: suatu aktivitas bersifat permanen yang dilakukan di
negara lain dan telah melebihi batas waktu tertentu (time test yang
diatur dalam UU PPh dan dalam tax treaty. Aktivitas tersebut bisa
berupa pelaksanaan berbagai macam jasa (seperti jasa konstruksi
atau jasa lainnya). Jangka waktu time test yang digunakan dapat
berbeda-beda antara tax treaty dan tax treaty yang lain. Semuanya
akan disesuaikan dengan kesepakatan dari kedua belah pihak.
3. BUT Keagenan: Orang pribadi atau badan selaku agen yang
berkedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama
orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak
bertempat kedudukan di Indonesia. Sedangkan agen, broker atau
perantara yang mempunyai kedudukan bebas yang dalam
kenyataannya bertindak sepenuhnya menjalankan usaha sendiri tidak
dianggap sebagai BUT.
4. BUT Asuransi: Perusahaan asuransi yang didirikan dan betempat
kedudukan di luar Indonesia yang. Sedangkan agen, broker atau
perantara yang mempunyai kedudukan bebas yang dalam
kenyataannya bertindak sepenuhnya menjalankan perusahaannya
sendiri, tidak sebagai menerima pembayaran premi asuransi di
Indonesia atau menanggung resiko di Indonesia melalui pegawai,
perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di
Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko
tersebut terjadi di Indonesia. Yang terpenting adalah bahwa pihak
tertanggung bertempat tinggal, berada.

Terminasi BUT
Terminasi BUT dapat terjadi, antara lain karena:
1. Pemekaran menjadi badan anak perusahaan.
2. Pengambilalihan, atau.
3. Penutupan Usaha atau Pembubaran (Likuidasi).

PE/BUT Dapat Terpenuhi Dengan Kriteria yang Harus Terpenuhi:


1. Adanya tempat usaha ( Place of Business Test).
2. Tempat Usaha tersebut didirikan di disuatu Lokasi Tertentu ( Location
Test).
3. Subjek Pajak harus mempunyai hak untuk memanfaatkan tempat
usaha tersebut (right use test).
4. Penggunaan tempat usaha tersebut harus bersifat permanen atau
dalam waktu yang melebihi periode waktu tertentu ( Permanence Test).
5. Kegiatan Usaha dilakukan melalui tempat usaha tersebut dan harus
merupakan kegiatan usaha sebagaimana pengertian kegiatan usaha
yang diatur dalam undang-undang domestik maupun perjanjanjian
P3B.
Menurut Undang-undang Pajak Penghasilan, yang dimaksud dengan
bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan manjemen, cabang
perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, dan lain-lain.
Dengan kata lain BUT adalah bentuk kegiatan usaha di Indonesia yang
dimiliki oleh orang atau badan luar negeri.

Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat


usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung
termasuk juga mesin-mesin dan peralatan.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia.

Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan
selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas
nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak
bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia
apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang
mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam
kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan
perusahaannya sendiri.

Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar


Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila
perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi di
Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan
atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti
bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang
perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada
atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Kewajiban Pajak BUT

Walaupun BUT termasuk Wajib Pajak Luar Negeri, namun kewajiban


perpajakan BUT hampir sama dengan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri. Suatu
BUT berkewajiban untuk ber NPWP. Apabila memenuhi ketentuan di Undang-
undang PPN, BUT juga wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak (PKP).

Setelah berNPWP dan/atau dikukuhkan sebagai PKP, BUT berkewajiban


menjalankan hak dan kewajiban perpajakan yang sama dengan Wajib Pajak
Dalam Negeri. BUT Wajib menyampaikan SPT PPh Badan, SPT PPh Pasal
21/26, PPh Pasal 23/26, PPh Pasal 22, PPh Pasal 4 ayat (2) dan/atau PPN
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Perbedaan mendasar dalam perlakuian PPh antara Wajib Pajak Badan


Dalam Negeri dan BUT terletak pada :

1. Sumber penghasilan BUT yang dikenakan PPh adalah penghasilan dari


Indonesia saja karena BUT termasuk Wajib Pajak Luar Negeri.

2. Adanya perlakuan khusus tentang penghasilan yang menjadi objek


pajak BUT dan biaya yang boleh dikurangkan bagi BUT yang diatur
dalam Pasal 5 UU PPh.

UU PPh Pasal 5:

Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia, dikenakan pajak di Indonesia melalui bentuk usaha tetap
tersebut.

Ayat (1) Huruf a Bentuk usaha tetap dikenakan pajak atas penghasilan yang
berasal dari usaha atau kegiatan dan dari harta yang dimiliki atau
dikuasainya. Dengan demikian semua penghasilan tersebut dikenakan
pajak di Indonesia. Huruf b Berdasarkan ketentuan ini penghasilan kantor
pusat yang berasal dari usaha atau kegiatan, penjualan barang dan
pemberian jasa, yang sejenis dengan yang dilakukan oleh bentuk usaha
tetap dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap, karena pada
hakekatnya usaha atau kegiatan tersebut termasuk dalam ruang lingkup
usaha atau kegiatan dan dapat dilakukan oleh bentuk usaha tetap. Usaha
atau kegiatan yang sejenis dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha
tetap, misalnya terjadi apabila sebuah bank di luar Indonesia yang
mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia, memberikan pinjaman secara
langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada perusahaan di
Indonesia. Penjualan barang yang sejenis dengan yang dijual oleh bentuk
usaha tetap, misalnya kantor pusat di luar negeri yang mempunyai bentuk
usaha tetap di Indonesia menjual

produk yang sama dengan produk yang dijual oleh bentuk usaha tetap
tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada
pembeli

Pemberian jasa oleh kantor pusat yang sejenis dengan jasa yang diberikan
oleh bentuk usaha tetap, misalnya kantor pusat perusahaan konsultan di
luar Indonesia memberikan konsultasi yang sama dengan jenis jasa yang
dilakukan bentuk usaha tetap tersebut secara langsung tanpa melalui
bentuk usaha tetapnya kepada klien di Indonesia. Huruf c Penghasilan
seperti dimaksud dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat
dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila
terdapat hubungan efektif antara harta atau kegiatan yang memberikan
penghasilan dengan bentuk usaha tetap tersebut.

Misalnya, X Inc. menutup perjanjian lisensi dengan PT. Y untuk


mempergunakan merk dagang X Inc. Atas penggunaan hak tersebut X Inc.
menerima imbalan berupa royalti dari PT. Y. Sehubungan dengan perjanjian
tersebut X Inc. juga memberikan jasa manajemen kepada PT. Y melalui
suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dalam rangka pemasaran produk
PT. Y yang mempergunakan merk dagang tersebut. Dalam hal demikian,
penggunaan merk dagang oleh PT. Y mempunyai hubungan efektif dengan
bentuk usaha tetap di Indonesia, dan oleh karena itu penghasilan X Inc.
yang berupa royalti tersebut diperlakukan sebagai penghasilan bentuk
usaha tetap.

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Huruf a Biaya-biaya administrasi yang dikeluarkan oleh kantor


pusat sepanjang digunakan untuk menunjang usaha atau kegiatan bentuk
usaha tetap di Indonesia, boleh dikurangkan dari penghasilan bentuk
usaha tetap tersebut. Jenis serta besarnya biaya yang boleh dikurangkan
tersebut ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Huruf b dan huruf c Pada
dasarnya bentuk usaha tetap merupakan satu kesatuan dengan kantor
pusatnya, sehingga pembayaran oleh bentuk usaha tetap kepada kantor
pusatnya, seperti royalti atas penggunaan harta kantor pusat, merupakan
perputaran dana dalam satu perusahaan. Oleh karena itu, berdasarkan
ketentuan ini pembayaran bentuk usaha tetap kepada kantor pusatnya
berupa royalti, imbalan jasa, dan bunga tidak boleh dikurangkan dari
penghasilan bentuk usaha tetap. Namun apabila kantor pusat dan bentuk
usaha tetapnya bergerak dalam bidang usaha perbankan, maka
pembayaran berupa bunga pinjaman dapat dibebankan sebagai biaya.
Sebagai konsekuensi dari perlakuan tersebut, pembayaran-pembayaran
yang sejenis yang diterima oleh bentuk usaha tetap dari kantor pusatnya
tidak dianggap sebagai Obyek Pajak, kecuali bunga yang diterima oleh
bentuk usaha tetap dari kantor pusatnya yang berkenaan dengan usaha
perbali di Indonesia.ta

Pasal 5 ayat 3:

Biaya tak boleh dibiayakan:

b. Pembayaran ke kantor pusat dari BUT yg tidak diperbolehkan:

a. Royalti, hak paten dll


b. Imbalan, jasa manajemen, jasa lainnya.
c. Bunga kecuali dari bunga perbankan
3. Adanya kewajiban khusus pemotongan PPh Pasal 26 atas Penghasilan
Kena Pajak setelah dikurang pajak di Indonesia sebagaimana diatur
dalam Pasal 26 ayat (4) UU PPh.
Contoh:
EBT 10 M
PPh Badan= 22% x 10 M= 2,2 M
EAT 10M-2,2 M= 7,8 M.
PPh 26 Branch Profit Tax 20% x 7,8 M= Rp 1,56 M

Penentuan Laba BUT Ketentuan yang harus diperhatikan :

1. Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan


adalah biaya yang berkaitan dengan BUT dan besarnya ditetapkan oleh
Direktur Jendral Pajak.

2. Pembayaran oleh BUT kepada kantor pusat yang tidak


diperbolehkan dibebankan sebagai biaya :

- Royalti atau imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta, paten,


atau hak-hak lainnya.

-Imbalan yang berkaitan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya.

- Bunga, kecuali bunga berkenaan dengan usaha perbankan. Yang


diterima atau diperoleh oleh BUT dari kantor pusat tidak dianggap sebagai
objek pajak kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.

Jenis-Jenis Bentuk Usaha Tetap (BUT)


1 Tipe Fasilitas Fisik (Lihat Pasal 2 ayat (5) huruf a s/d h Undang-
. Undang Nomor 17 Tahun 2000), terdiri dari :

– Tempat kedudukan manajemen;

– Cabang perusahaan;
– Kantor perwakilan;

– Gedung kantor;

– Pabrik;

– Bengkel;

Pertambangan dan penggalian sumber daya alam, wilayah kerja


– pengeboran untuk eksplorasi pertambangan;

– Perikanan/pertanian/kehutanan/perkebunan.

Keberadaan BUT tipe fasilitas fisik dapat dilihat dari ada atau tidaknya
fasilitas fisik seperti cabang, bengkel, kantor, dsb di negara sumber.

2 Tipe Aktivitas (Lihat Pasal 2 ayat (5) huruf i dan j Undang-Undang


. Nomor 17 Tahun 2000), terdiri dari :

– Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;

Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain
yang dilakukan dalam jangka waktu lebih dari 60 hari (kecuali
ditentukan lain dalam tax treaty dengan negara yang bersangkutan)
– dalam jangka waktu 12 bulan.

Keberadaan BUT tipe aktivitas, baik aktivitas konstruksi maupun


pemberian jasa ditentukan dari lamanya (time test) aktivitas tersebut
dilakukan di negara sumber. Penentuan time test tidak melihat pada
formalitas (kontrak) tetapi pada keadaan yang sebenarnya (Pasal 2 ayat
(6) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000)

Misalnya :

Berdasarkan kontrak pemberian jasa, PT BKYZ yang berkedudukan di


Amerika mengirimkan Mr. Zhinx, penduduk Amerika ke Indonesia dari
tanggal 1April 2000 s/d 10 Juni 2000. Namun, pada kenyataannya, Mr.
Zhinx sudah berada di Indonesia sejak bulan Januari 2000. Dengan
demikian, syarat time test yang digunakan dihitung sejak Mr. Zhinx
berada di Indonesia, yaitu sejak bulan Januari 2000.

3 Tipe Keagenan (Lihat Pasal 2 ayat (5) huruf k Undang-Undang Nomor


. 17 Tahun 2000), terdiri dari :
– Orang atau badan yang bertindak sebagai agen yang kedudukannya
tidak bebas;

Keberadaan BUT tipe keagenan ditentukan oleh ada atau


tidaknya dependent agent di negara sumber.

4 Tipe Asuransi (Lihat Pasal 2 ayat (5) huruf l Undang-Undang Nomor 17


. Tahun 2000), terdiri dari :

Agen atau pegawai perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan


– tidak berkedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia.

Keberadaan BUT tipe asuransi difokuskan pada ada atau tidaknya


pemungutan premi dan penanggungan resiko di negara sumber.

Anak Perusahaan Tidak Serta-Merta Sebagai BUT

Berbeda dengan BUT, anak perusahaan merupakan entitas legal mandiri


terpisah dari induk perusahaan walaupun permodalannya dipenuhi dan atau
transaksi usaha atau kegiatannya dikendalikan oleh induk perusahaan.

Anak perusahaan sebagai entitas terpisah dari induk perusahaan WPLN, anak
perusahaan mempunyai eksistensi sendiri dan pada umumnya bukan
otomatis dengan sendirinya merupakan BUT dan WPLN dimaksud.

Namun, apabila berdasarkan kenyataan anak perusahaan tersebut bertindak


sebagai agen dipenden atau mewakili kepentingan induk perusahaan anak
perusahaan tersebut berpeluang untuk mendapat menjadi BUT.
A. Subjek Pajak BUT

Sesuai dengan pasal 2 ayat 5 UU PPh, subjek pajak BUT adalah bentuk
usaha yang dipergunakan oleh:

1. Orang pribadi subjek pajak luar negeri


Artinya orang pribadi tidak bertempat tinggal di Indonesia dan orang
pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan.

2. Badan subjek pajak luar negeri


Artinya badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia .

Subjek Pajak Luar Negeri dapat memperoleh penghasilan dari Indonesia


dengan dua cara, yaitu
1. Dengan cara menjalankan usaha atau kegiatan melalui BUT di
Indonesia.
2. Tidak dengan cara menjalankan usaha atau kegiatan melalui BUT di
Indonesia, tetapi menerima / memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Undang-undang PPh telah memberikan pengaturan pemajakan atas


penghasilan yang diterima atau diperoleh Subjek Pajak Luar Negeri yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.

Secara umum, pemajakannya menggunakan tarif umum sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2a) Undang-undang PPh,
namun ada juga yang pemajakannya menggunakan tarif khusus bersifat
final yang penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma
Penghitungan Khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Undang-undang
PPh. Dalam perkembangannya, BUT di Indonesia dimungkinkan menerima
atau memperoleh penghasilan yang berasal dari luar negeri yang telah
dibayar, dipotong, atau terutang pajaknya di luar negeri.

B. Bukan Subjek Pajak BUT


Setelah mengetahui subjek pajak BUT, kita juga harus mengetahui yang
bukan subjek pajak BUT, di antaranya sebagai berikut :

1. Badan perwakilan negara asing.


2. Pejabat pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat pejabat
lainnya.
3. Organisasi internasional yang ditetapkan oleh MenKeu dengan syarat
Indonesia menjadi anggotanya dan tidak menjalankan usaha atau
kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain
pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari
iuran para anggota.
4. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang diterapkan dengan
Kepmenkeu dengan syarat bukan WNI dan tidak menjalankan usaha
atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

C. Objek Pajak BUT

Sesuai dengan pasal 5 ayat 1, terdapat objek pajak BUT di antaranya


sebagai berikut :
1. Penghasilan dan usaha atau kegiatan BUT, harta yang dimiliki atau
dikuasai BUT.
2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang-
barang, pemberi jasa di Indonesia, yang sejenis dengan yang dilakukan
BUT di Indonesia.
3. Penghasilan yang tersebut dalam pasal 26 yang diterima atau diperoleh
kantor pusat, sepanjang ada hubungan efektif antara BUT dengan harta
atau kegiatan yang memberikan penghasilan.
Perlakuan Pajak atas Penghasilan Kena Pajak dari Suatu BUT yang
Ditanamkan Kembali di Indonesia Penghasilan kena pajak yang telah
dikurangi pajak penghasilan dari BUT di Indonesia akan dikenakan PPh 26
sebesar 20% ( bersifat final ). Kecuali penghasilan tersebut ditanamkan
kembali di Indonesia dengan syarat-syarat yang ada. BUT yang melakuakn
penanaman kembali wajib melaporkan secara tertulis mengenai bentuk
Ilustrasi BUT atas Pemberian Jasa melalui Karyawan

( berdasarkan UU PPh 2 ayat 5 huruf m)

Contoh

Terdapat beberapa contoh kasus sebagai berikut :


1. Bapak Doni pada tahun 2016,
Bulan Januari – Maret berada di Indonesia
Bulan April – Juni berada di Malaysia
Bulan Juli – Agustus berada di Indonesia
Bulan September – Desember di Malaysia
Tentukan apakah Bapak Doni Subyek Pajak Dalam Negeri atau Subyek Pajak
Luar Negeri ?
 Bapak Doni merupakan subyek pajak luar negeri karena berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari.

2. Everlyn merupakan suatu BUT di Indonesia dengan PKP Rp 10.000.000.000.


Penghitungan pajak penghasilan Everlyn adalah sebagai berikut :
PKP Rp 10.000.000.000
PPh 22% Rp 2.200.000.000
PKP setelah dikurangi pajak Rp 7.800.000.000
Hitunglah PPh terutang Everlyn!

PPh 26 ayat 4 = 20% x Rp 7.800.000.000


= Rp 1.560.000.000
Keterangan :
- Tarif 20% merupakan tarif umum pengenaan PPh 26, namun jika penghasilan
tersebut berdomisili di negara treaty partner, maka tarifnya mengikuti tarif
untuk branch profit tax dalam tax treaty.
- Akan tetapi apabila PKP setelah dikurangi pajak Rp 7.800.000.000,
ditanamkan kembali ke Indonesia, maka atas penghasilan tersebut tidak
terhutang pajak. (no branch profit tax)
- BUT tidak dapat menggunakan penghitungan UU PPh pasal 31E.
Penjualan 30.m
Laba setelah korfis= Rp 1,5 M ( PSl 31 E )
4.8 M/ 30 M x 1,5 M= 240.000.000. x 11%=26.400.000.

(1,5M-240 juta) x 22%= 277.200.000.

Jumlah 303.600.000

3. Sam Ltd, sebuah perusahaan yang termasuk dalam definisi Badan Usaha Tetap
mempunyai bidang usaha konstruksi. Dalam tahun 2015 , menerima pembayaran
atas jasa konstruksi pembangunan hotel dari PT. Anugerah mengingat telah
memenuhi termin penyelesaian pekerjaan kedua sebesar 50% pada tanggal 6
Juni 2018 sebesar Rp 15.000.000.000. Sam Ltd, tidak memiliki sertifikasi Badan
Usaha Jasa Pelaksanaan Konstruksi yang diterbitkan oleh Lembaga
Pengembangan Jasa Konstruksi.
Bagaimana kewajiban pemotongan/ pemungutan pajak penghasilan yang
dilakukan PT. Anugerah terkait dengan transaksi tersebut?

 Penghasilan dari usaha jasa konstruksi dikenai pajak penghasilan bersifat


final.

 Pajak penghasilan yang dikenakan adalah :


4% x Rp 15.000.000.000 = Rp 600.000.000 (PP 9 tahun 2022)
 Kewajiban PT. Anugerah sebagai pengguna jasa adalah :
 Melakukan pemotongan pajak penghasilan yang bersifat final sebesar Rp
600.000.000 dan memberikan bukti pemotongan pajak penghasilan
bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi kepada Sam Ltd.
 Melakukan penyetoran paling lambat 10 Juli 2018
 Melaporkan dalam SPT masa pajak penghasilan pasal 4 ayat 2 masa Juni
2018 paling lambat 20 Juli 2018
Perbedaan Bentuk Usaha Tetap dengan perusahaan PMA (Penanaman Modal
Asing) :
Keterangan Bentuk Usaha Tetap PMA (WPDN Badan)

Status hukum Tidak berbadan Berbadan hukum PT


perusahaan hukum
Penyertaan Tidak ada Setoran pemegang
Modal saham
Objek Pajak Pasal 5 ayat (1) UU Pasal 4 ayat (1) UU
PPh PPh
Pengurang Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (1),
Penghasilan (3) UU PPh Pasal 9 UU PPh
Bruto
Sisa kerugian Dapat diperhitungkan Dapat diperhitungkan
tahun-tahun
sebelumnya
Penghasilan Pasal 16 ayat (3) UU Pasal 16 ayat (1) UU
Kena Pajak PPh PPh
Tarif Pajak Pasal 17 ayat (1) b UU Pasal 17 ayat (1) b UU
PPh PPh
Penghasilan Branch Profit yang Tidak ada terminologi
Kena Pajak terutang PPh Pasal 26 khusus, distribution to
dikurang PPh ayat (4) shareholder
terutang (dividend)yang
terutang PPh Pasal
23/26

Business Profits (Penghasilan Usaha)

Penghasilan dari usaha sebuah perusahaan yang berdomisili di suatu negara hanya
akan dikenai pajak di negara tersebut, kecuali usaha tersebut dilakukan di negara
sumber melalui “Permanent Establisment atau BUT”

Masalahnya: penghasilan mana yang dijadikan dasar pengenaan pajaknya?

Ada 3 prinsip yang dikenal:


1. Attribution Principle ->Yang dianggap laba usaha adalah yang berasal dari
kegiatan yang dilakukan oleh BUT itu saja.

2. Force of Attraction Principle ->Tidak hanya dari kegiatan BUT itu saja, tetapi
juga laba usaha yang berasal dari kegiatan yang dilakukan diluar BUT oleh
kantor pusatnya. Biasanya dalam praktek diambil suatu kompromi, yaitu Force of
Attraction akan diterapkan apabila syarat – syarat tertentu dipenuhi.

3. Effectively Connected Income->


penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima kantor
pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta
atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksu

Contoh Kasus 1

Brown Sugar suatu BUT di Indonesia dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp
10.000.000.000. ,-

Perhitungan Pajak Penghasilan Brown Sugar

Penghasilan Kena Pajak 10.000.000.000.

PPh = 25 % x Rp 10.000.000.000. = Rp 2.500.000.000. (22%)

PKP Setelah Dikurangi Pajak 7.500.000.000.

Branch Profit taxPPh 26 ayat 4= 20% x Rp 7.500.000.000 = Rp


1.500.000.000. ( Bersifat Final)

Tarif 20% adalah tariff umum untuk penggenaan PPh 26, namun jika
penghasilan berdomisili di negara treaty partner, maka tarifnya mengikuti tariff
untuk Branch Profit Tax dalam Tax Treaty.
Jika PKP setelah dikurangi Pajak Rp 7.500.000.000. ditanamkan kembali ke
Indonesia maka atas penghasilan tersebut tidak terutang pajak. Sesuai PMK
14/KMK 03./2011.

Contoh Kasus 2

Baklok, Ltd. sebuah perusahaan yang termasuk dalam definisi Badan Usaha
Tetap (BUT) mempunyai bidang usaha konstruksi. Dalam tahun 2013
menerima pembayaran atas jasa konstruksi pembangunan hotel dari PT Langit
Biru mengingat telah memenuhi termin penyelesaian pekerjaan kedua sebesar
50% pada tanggal 8 Oktober 2016 sebesar Rp10.000.000.000,00.

Baklok, Ltd. tidak memiliki Sertifikasi Badan Usaha Jasa Pelaksanaan


Konstruksi yang diterbitkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi
(LPJK).

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang


dilakukan PT Baklok terkait dengan transaksi tersebut?

Jasa Konstruksi.
Jawab:

Atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final. Dalam hal pengguna jasa merupakan pemotong pajak maka
penghasilan dari usaha jasa konstruksi tersebut dipotong oleh pengguna jasa
pada saat pembayaran bagian nilai kontrak jasa konstruksi.

Mengingat Baklok Ltd tidak memiliki Sertifikasi Badan Usaha Jasa


Pelaksanaan Konstruksi maka besarnya pemotongan Pajak Penghasilan yang
bersifat final atas penghasilan dari jasa konstruksi adalah sebesar:
4% x Rp10.000.000.000,00 = Rp 400.000.000.

Kewajiban PT Langit Biru sebagai pengguna jasa adalah:

1. melakukan pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final atas


penghasilan dari usaha jasa konstruksi sebesar Rp. 400.000.000 dan
memberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final
atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi kepada Baklok, Ltd.;
2. melakukan penyetoran atas pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat
final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi tersebut paling lambat
tanggal 11 November 2016;
3. melaporkan pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final atas
penghasilan dari usaha jasa konstruksi tersebut dalam SPT Masa Pajak
Penghasilan Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak Oktober 2016 paling lambat
tanggal 20 November 2016.

Catatan:

BUT diartikan sebagai bentuk usaha tetap. Mungkin pada bagian soal
terdapat kesalahan tulis, bukan badan usaha tetap tetapi bentuk usaha
tetap seperti lazimnya istilah BUT di perpajakan.

BUT adalah "kendaraan" penghasilan yang diterima oleh subjek pajak luar
negeri. Jika BUT sudah didaftarkan di Badora dan memiliki NPWP maka
kewajiban perpajakannya "seperti" subjek pajak dalam negeri. Inilah alasan
kenapa tidak dipotong PPh Pasal 26.

BUT BAKLOK
PKP 100 M (Laba sebelum pajak)
PPh 4% 4 M (final PPh 4 ayat 2)
EAT 96 M
Branch Profit Tax= 20% x 96 M= 19,2M
Catatan: jika laba (EAT) dibawa ke LN tidak ditanamkan di Indonesia.

Contoh Kasus 3

Penghasilan berupa dividen, bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan


sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, royalti, sewa (imbalan
lainnya sehubungan dengan penggunaan harta), imbalan sehubungan dengan
jasa, pekerjaan (kegiatan), hadiah/penghargaan, pensiunan/pembayaran
berkala lainnya, yang diterima oleh kantor pusat (wajib pajak luar negeri) dari
Indonesia, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT-nya dengan harta
atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut.

- Zacka Inc. yang berkedudukan di Amerika menutup perjanjian lisensi


dengan PT Polax untuk mempergunakan merek dagang Zacka Inc. atas
hak tersebut, Zacka Inc menerima royalti dari PT Polax.

- Sehubungan dengan perjanjian tersebut, Zacka Inc memberikan jasa


manajemen kepada PT Polax melalui BUT di Indonesia, dan dalam
rangka pemasaran produk PT Polax yang menggunakan merek Zacka
Inc tersebut.

- Dalam kasus di atas, penggunaan merek dagang oleh PT Polax memiliki


hubungan efektif dengan BUT di Indonesia, sehingga penghasilan
Zacka Inc yang berupa royalti tersebut diperlakukan sebagai
penghasilan BUT.

SOAL

1. Jacks Sparow suatu BUT di Indonesia dengan Penghasilan Kena Pajak


(PKP) Rp 10.000.000.000. ,-

Memiliki Laporan Keuangan sbb:

 Sales 45.0000.000.000.
 COGS 25.000.000.000.
 Gross Proffit 20.000.000.000.
 Expends 10.000.000.000.
 EBT 10.000.000.000.

Ditanya:

Berapakah PPh yang harus dibayar BUT Jacks Sparow ? Berdasarkan PMK
14/KMK 03./2011 apa yang akan terjadi sehubungan dengan perpajakan BUT
tersebut, terangkan.

Memiliki Laporan Keuangan 2020 sbb:


 Sales 45.0000.000.000.
 COGS 25.000.000.000.
 Gross Proffit 20.000.000.000.
 Expends 10.000.000.000.
 EBT 10.000.000.000.

PPh 22%x 10 M= 2,200.000.000.

EAT 7.800.000.000.

Kalau ditanamkan di Indonesia maka EAT tdk perlu dikenakan Branch


Profit Tax.

Kalau tdak ditanamkan di Indonesia maka dikenakan BPT=

PPh 26= 20% (atau tergatung BPT di Tax Treaty) x 7.800.000.000=


1.560.000.000.

Dalam UU PPh Pasal 5 ayat 2 ada Biaya yg tidak boleh dibebankan oleh
BUT.

a. B Admin kantor pusat (harus ditentukan oleh DJP)


Pembayaran ke kantor pusat yg tidak boleh dibebankan sbg
biaya:
b. B Royalti atau imbalan lainnya sehubungan dgn penggunaan
hak paten atau hak lainnya.
c. Jasa Manajemen ke ktr pusat
d. Bunga Pinjaman ke ktr pusat kecuali pinjaman Perbankan.

Memiliki Laporan Keuangan BUT SS 2020 sbb:

 Sales 45.0000.000.000.
 COGS 25.000.000.000.
 Gross Proffit 20.000.000.000.
 B Royalti ktr pst 1.000.000.000.
 B Bunga ke ktr pst 2.000.000.000.
 B Jasa Mgt ktr pst 2.000.000.000.
 Expends DE 10.000.000.000.
 EBT sblm korfis 5.000.000.000.
 Korfis positif 5.000.000.000. ( Royalti, Bunga dan Jasa Mgt)
 EBT 10.000.000.000.

PPh Badan 22%x 10 M= 2,200.000.000.

EAT 7.800.000.000.

Kalau ditanamkan di Indonesia maka EAT tdk perlu dikenakan


Branch Profit Tax.
Kalau tdak ditanamkan di Indonesia maka dikenakan BPT=
PPh 26= 20% (atau tergatung BPT di Tax Treaty) x 7.800.000.000=
1.560.000.000.

SOAL TEORI:

Berikan penjelasan mengenai Bentuk Usaha Tetap ( BUT), berikan


contoh perhitunggannya dan jelaskan apasaja yang akan terjadi
jika Laba BUT akan di tanamkan kembali ke Indonesia,
berdasarkan PMK 14 tahun 2011

LAMPIRAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 14/PMK.03/2011

TENTANG

PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK


SESUDAH DIKURANGI PAJAK DARI SUATU BENTUK USAHA TETAP

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum mengenai perlakuan perpajakan atas penanaman
kembali Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 257/PMK.03/2008 tentang Perlakuan
Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, perlu
mengatur kembali perlakuan perpajakan atas penanaman kembali Penghasilan Kena Pajak sesudah
dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak
Sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK
SESUDAH DIKURANGI PAJAK DARI SUATU BENTUK USAHA TETAP.

Pasal 1

(1) Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap
di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
(2) Dalam hal Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap
ditanamkan kembali di Indonesia, penghasilan dimaksud dikecualikan dari pengenaan Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pengecualian dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan apabila
seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap
ditanamkan kembali di Indonesia dalam bentuk:
a. penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia
sebagai pendiri atau peserta pendiri;
b. penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia
sebagai pemegang saham;
c. pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha
Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; atau
d. investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha
Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.

Pasal 2

(1) Seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap
yang ditanamkan kembali di Indonesia yang dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada akhir Tahun Pajak
berikutnya, setelah Tahun Pajak diperolehnya penghasilan tersebut bagi Bentuk Usaha Tetap
yang bersangkutan; dan
b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
mengenai bentuk penanaman modal, realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan dan/
atau saat mulai berproduksi komersial bagi perusahaan yang baru didirikan, yang dilakukan
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(2) Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (3) huruf a, selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia secara aktif telah melakukan
kegiatan usaha sesuai akta pendiriannya, paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut
didirikan; dan
b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan
modal paling sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak perusahaan baru dimaksud
berproduksi komersial.
(3) Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (3) huruf b, selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia mempunyai kegiatan usaha
aktif di Indonesia; dan
b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan
modal paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak penyertaan modal.
(4) Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk:
a. pembelian aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf c; atau
b. investasi berupa aktiva tidak berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf d,
selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak
boleh melakukan pengalihan atas pembelian aktiva tetap atau pengalihan atas investasi berupa aktiva
tidak berwujud, paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak perolehan aktiva tetap atau
investasi aktiva tidak berwujud yang bersangkutan.
(5) Dalam hal persyaratan-persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4), tidak lagi dipenuhi, atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu
Bentuk Usaha Tetap yang terkait, dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(1) terhitung sejak diperolehnya Penghasilan Kena Pajak yang bersangkutan, dan dikenai sanksi sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Pasal 3

(1) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh Penghasilan Kena Pajak
sesudah dikurangi pajak penghasilan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3), wajib
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal yang dilakukan
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan melampirkan pada Surat
Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan.
(2) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis mengenai realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan, kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan melampirkan pada Surat
Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak saat dilakukan realisasi penanaman kembali tersebut.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling sedikit meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. jumlah Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari Bentuk Usaha Tetap
dan Tahun Pajak yang bersangkutan; dan
b. bentuk penanaman kembali, jumlah realisasi penanaman kembali, dan Tahun Pajak dilakukan
realisasi penanaman kembali.

Pasal 4

(1) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh Penghasilan Kena Pajak
sesudah dikurangi Pajak Penghasilan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3)
huruf a wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai saat mulai berproduksi komersial.
(2) Saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah saat perusahaan yang baru
didirikan tersebut telah mulai memproduksi barang untuk dijual bagi perusahaan manufaktur atau saat
perusahaan mulai melakukan penjualan barang dan/atau jasa bagi perusahaan selain manufaktur.
(3) Keputusan tentang saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap terdaftar atas nama Direktur
Jenderal Pajak berdasarkan hasil penelitian Kantor Pelayanan Pajak dimaksud, paling lama 6 (enam)
bulan setelah Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap meyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai
saat berproduksi komersial.
(4) Penetapan saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan berdasarkan
keadaan sebenarnya dengan memperhatikan saat mulai berproduksi komersial yang disampaikan oleh
Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak
tidak menerbitkan surat keputusan tentang saat berproduksi komersial, saat berproduksi komersial
adalah berdasarkan pemberitahuan tertulis yang disampaikan oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap
yang bersangkutan.

Pasal 5

Dalam hal induk perusahaan dari Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap adalah Wajib Pajak dalam negeri dari negara
yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan Indonesia, besarnya tarif untuk
menghitung Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) adalah sebagaimana ditentukan
dalam Persetujuan Penghindaran Pajak yang berlaku.

Pasal 6

Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final, dasar pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(1) adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dilakukan koreksi fiskal,
dikurangi dengan jumlah Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Pasal 7

Tata cara pemberitahuan secara tertulis oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 dan Pasal 4 ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 8

Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 257/PMK.03/2008
tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha
Tetap, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 9

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Januari 2011
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan Di Jakarta
pada tanggal 24 Januari 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

ttd.

PATRIALIS AKBAR
Advertisements

Anda mungkin juga menyukai