Anda di halaman 1dari 10

Badan Usaha Tetap (BUT)

1. Pengertian BUT

Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia untuk menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha ("place of business").
Tempat usaha tersebut haruslah bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha
atau kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan
atau berkedudukan di Indonesia.

2. Tipe Badan Usaha Tetap

a. tempat kedudukan manajemen

    b. cabang perusahaan;

    c. kantor perwakilan;

    d. gedung kantor;

    e. pabrik;

    f. bengkel;

    g. gudang;

    h. ruang untuk promosi dan penjualan;

    i. pertambangan dan penggalian sumber alam;

    j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;

    k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; dan

    l. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan
Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha melalui internet
Dilihat dari bentuknya, bentuk usaha tetap dapat dikelompokan dalam empat tipe yaitu:

1. Bentuk usaha tetap tipe asset

dalam tipe ini bentuk usaha tetap dapat berupa, misalnya gedung kantor, bengkel, pabrik, tanah
pertanian, peternakan, pertambangan dan penggalian sumber alam.

2. Bentuk usaha tetap tipe aktifitas

misalnya dalam bentuk projek konstruksi, proyek instalasi, kawasan bangunan, dan pemberian
jasa (furnishing of services).

3. Bentuk usaha tetap tipe agen,

dalam tipe ini bentuk usaha tetap berupa orang pribadi atau badan yang bertindak sebagai
sebagai agen dari perusahaan luar negeri yang kedudukannya tidak bebas (dependent agent)

4. bentuk usaha tetap tipe asuransi

dalam tipe ini bentuk usaha tetap dapat berupa agen atau pegawai dari perusahaan asuransi
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di suatu negara yang menerima premi
asuransi atau menanggung risiko di negara itu.

3. Syarat- Syarat Adanya Bentuk Usaha Tetap

Untuk adanya suatu keharusan persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

1. Adanya tempat usaha (place of business)

2. Usaha atau yang dilakukan haruslah bersifat permanen (syarat "certain degree of
permanent")

3. Adanya sifat ketergantungan (dependence)

Dengan mengambil salah satu contoh bentuk usaha tetap tersebut di atas, misalnya gedung
kantor, gedung kantor tersebut baru akan merupakan bentuk usaha tetap apabila di gedung
kantor itu dijalankan usaha (business) atau kegiatan suatu perusahaan luar negeri. Sebaliknya,
apabila di gedung kantor tersebut tidak dijalankan usaha, misalnya apabila kegiatan di gedung
kantor tersebut hanya sebatas pengumpulan data atau promosi untuk kepentingan suatu
perusahaan di luar negeri, maka gedung kantor tersebut tidak memenuhi syarat sebagai bentuk
usaha tetap dari perusahaan luar negeri yang bersangkutan.
4. Kewajiban perpajakan bentuk usaha tetap

Per definisi, sebenarnya tidak tepat apabila bentuk usaha tetap dikatagorikan sebagai subjek
pajak. Dilihat dari pengertian subjek pajak yang umum, yang merupakan subjek pajak biasanya
adalah orang, yang dapat berupa orang pribadi atau badan (misalnya PT, CV, Firma, kongsi,
koperasi, dan perkumpulan). Sebaliknya, bentuk usaha tetap pada umumnya berupa aset,
misalnya pabrik, gedung kantor, bengkel, perkebunan, atau kegiatan misalnya pemberian jasa,
atau berupa agen. Dalam kaitan ini, yang merupakan subjek pajak seharusnya orang atau badan
yang memiliki atau yang menjalankan usaha di pabrik, gedung kantor, bengkel, perkebunan dan
sebagainya, atau yang melakukan pemberian jasa tersebut, bukan pabrik, gedung kantor,
bengkel, perkebunan, atau pemberian jasanya.

Seorang guru besar Hukum Pajak Internasional, Prof. Dr. Kees van Raad, mengibaratkan hubungan
antara perusahaan dengan bentuk usaha tetap itu ibarat hubungan antara telur dengan kuning
telur. Bentuk usaha diibaratkan sebagai kuning telur yaitu bagian dari telur, sedangkan
perusahaan adalah telurnya. Kita dapat mengatakan telur kalau semua unsur-unsur dalam telur
itu, yaitu kulit telur, kuning telur dan putih telur ada. Sebaliknya kita tidak dapat mengatakan
telur kalau hanya berupa kuning telur. Dengan mengambil perumpamaan di atas, bentuk usaha
tetap itu tidak dapat dikatakan sebagai subjek pajak karena hanya merupakan bagian dari
perusahaan yang dalam perumpamaan di atas berupa kuning telur bukan telur, sedangkan yang
merupakan subjek pajak adalah perusahaannya, yang menurut perumpamaan di atas merupakan
telurnya.

Alasan menjadikan bentuk usaha tetap sebagai subjek pajak, adalah untuk menggantikan subjek
pajak luar negeri yang mempunyai bentuk usaha tetap tersebut, agar memudahkan pemungutan
pajak terhadap subjek pajak luar negeri yang bersangkutan. Dengan kata lain, dapat dikatakan
bahwa bentuk usaha tetap adalah subjek pajak substitusi atau kadangkala disebut sebagai subjek
pajak palsu ("pseudo tax subject").

Sebenarnya ada alternatif lain untuk memudahkan pemungutan pajak terhadap orang pribadi
atau badan luar negeri yang melakukan kegiatan atau usaha di Indonesia melalui bentuk usaha
tetap, tanpa harus menjadikan bentuk usaha tetap sebagai subjek pajak. Alternatif tersebut,
melalui suatu mekanisme yang mewajibkan orang pribadi atau badan yang merupakan subjek
pajak luar negeri yang melakukan kegiatan atau usaha di Indonesia melalui bentuk usaha tetap
untuk melaksanakan hak hak dan kewajiban perpajakan sebagaimana yang diwajibkan kepada
subjek pajak dalam negeri.

Terdapat perubahan yang fundamental dalam pengelompokkan bentuk usaha tetap sebagai
subjek pajak, yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 dengan yang diatur dalam
Undang-undang perubahnnya Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983, bentuk usaha tetap
dikelompokkan sebagai subjek badan dan sebagai subjek pajak dalam negeri³. Tetapi dalam
Undang-undang perubahnnya, bentuk usaha tetap dikelompokkan sebagai subjek pajak yang
berdiri sendiri dan dianggap sebagai subjek pajak luar negeri. Perubahan ini dimulai sejak 1
Januari 1995, yaitu sejak undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 diberlakukan.

5. Perlakuan perpajakan terhadap bentuk usaha tetap sebagai wajib pajak Pajak Penghasilan

Saat bentuk usaha tetap menjadi subjek pajak dan yang pada saat yang bersamaan sekaligus juga
menjadi wajib pajak, adalah pada saat orang pribadi atau badan luar negeri mempunyai
hubungan ekonomis dengan Indonesia melalui bentuk usaha tetap tersebut dan berakhir pada
saat hubungan ekonomis dengan Indonesia tidak ada lagi. Hubungan ekonomis dengan Indonesia
dianggap ada apabila orang pribadi atau badan luar negeri tersebut menerima atau memperoleh
penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.

6. Perlakuan perpajakan terhadap bentuk usaha tetap sebagai wajib pajak Pajak Penghasilan

Sebagaimana telah diuraikan di atas, bentuk usaha tetap dikatagorikan sebagai subjek pajak luar
negeri, yang sudah barang tentu juga sebagai wajib pajak luar negeri. Perbedaan penting antara
wajib pajak dalam negeri dan wajib pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban
perpajakannya, yaitu antara lain:

a. Wajib pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
dari Indonesia dan dari luar Indonesia (world-wide income), sedangkan wajib pajak pajak luar
negeri dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di
Indonesia saja.

b. Wajib pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan kena pajak, yang diperoleh dari
pengurangan penghasilan bruto dengan pengurangan-pengurangan yang diperkenankan, dengan
mempergunakan tarif umum, sedangkan wajib pajak luar negeri pada dasarnya dikenakan pajak
atas penghasilan bruto dengan mempergunakan tarif sepadan.
c. Wajib pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan,
sedangkan wajib pajak luar negeri tidak diwajibkan, karena kewajiban pembayaran pajaknya
dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final oleh pihak pemberi hasil.

Namun demikian, khusus untuk bentuk usaha tetap, walaupun bentuk usaha tetap mempunyai
status sebagai wajib pajak luar negeri, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan
dengan pemenuhan kewajiban perpajakan bagi wajib pajak badan dalam negeri yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dan dalam
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009.
Dengan demikian, bentuk usaha tetap antara lain berkewajiban mendaftarkan diri untuk
mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)
Tahunan sebagai sarana untuk menetapkan besarnya pajak terutang dalam suatu tahun pajak,
serta pengenaan pajaknya dilaksanakan atas penghasilan kena pajak dengan menggunakan tarif
umum seperti yang berlaku untuk wajib pajak dalam negeri pada umumnya.

Sebenarnya, dengan diwajibkannya bentuk usaha tetap meyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)
Tahunan Pajak Penghasilan, yang tentunya harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa
neraca dan daftar rugi laba, akan terjadi keganjilan, karena pada hakekatnya bentuk usaha tetap
tidak memiliki baik aktiva maupun pasiva. Yang memiliki aktiva dan pasiva tersebut adalah kantor
pusatnya (perusahaan). Sebagai contoh, apabila bentuk usaha tetap mempunyai gedung kantor,
pada hakekatnya yang memiliki gedung kantor tersebut adalah kantor pusat bentuk usaha tetap
tersebut. Apabila bentuk usaha tetap mempunyai utang (pasiva) pada hakekatnya yang berutang
itu adalah kantor pusat bentuk usaha tetap yang bersangkutan.

Dalam praktek, untuk keperluan pengisian SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badan dari bentuk
usaha tetap, semua aktiva maupun pasiva yang ada pada bentuk usaha tetap akan dianggap
seolah-olah milik bentuk usaha tetap. Sehingga sebagai contoh, dalam penghitungan penghasilan
neto bentuk usaha tetap akan muncul biaya penyusutan atas aktiva tetap.

7. Kantor perwakilan (representative office) perusahaan luar negeri


Kantor perwakilan perusahaan luar negeri (representative office), pada hakekatnya tidak
diperkenankan melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Keberadaan kantor perwakilan
perusahaan luar negeri di Indonesia hanyalah mewakili perusahaan untuk melakukan kegiatan-
kegiatan yang sifatnya tidak mencari laba, misalnya kegiatan-kegiatan yang berupa pengumpulan
data, melakukan feasibility study, melakukan kegiatan promosi dan sebagainya, untuk
kepentingan perusahaan luar negeri yang bersangkutan. Dalam hal kegiatan perwakilan
perusahaan tersebut hanya sebatas kegiatan-kegiatan yang tidak mencari laba (bukan kegiatan
usaha), maka kantor perwakilan perusahaan luar negeri tersebut tidak memenuhi kriteria sebagai
bentuk usaha tetap. Dengan demikian, perlakuan perpajakannyapun berbeda dibandingkan
dengan perlakuan perpajakan terhadap bentuk usaha tetap.

Dalam praktek, kantor perwakilan perusahaan luar negeri (representative office) terdaftar
sebagai subjek Pajak Penghasilan Badan dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Namun
demikian, dalam pemenuhan kewajiban penyampaian Surat Pemberitahun (SPT) Pajak
Penghasilan Tahunannya, SPT Tahunan yang disampaikan adalah SPT Tahunan nihil (nilcorporate
annual income tax return) yang tidak dilampiri Laporan Keuangan berupa Neraca maupun
Perhitungan Rugi Laba, tetapi hanya dilampiri dengan Daftar Pengeluaran (List of Expenses).
Daftar Pengeluaran ini, dibutuhkan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan
pemenuhan kewajiban perpajakan kantor perwakilan perusahaan sebagai pemungut atau
pemotong pajak, misalnya kewajiban terhadap pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/Pasal 26
bagi karyawannya, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 untuk jenis-jenis pembayaran yang
dilakukan oleh kantor perwakilan perusahaan tersebut yang merupakan objek pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 23, dan sebagainya.

8. Objek pajak bentuk usaha tetap

Ada 3 kelompok jenis penghasilan yang merupakan objek pajak bentuk usaha tetap, yaitu:

a. Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap sendiri dan dari harta yang
dimilikinya;

b. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa
yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;

c. Penghasilan sebagaimana disebut dalam Pasal 26 Undang royalty, sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta, imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan atau
kegiatan, yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara
bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
Penarikan penghasilan kantor pusat seperti disebutkan dalam Butir b dan c di atas menjadi
penghasilan bentuk usaha tetap, merupakan penerapan suatu konsep yang disebut "force of
attraction rule concept", yang biasanya dianut dalam sistem perpajakan di kebanyakan negara
berkembang untuk mencegah usaha penghindaran pajak oleh perusahaan luar negeri. Konsep ini,
didasarkan kepada suatu asumsi yang menyatakan bahwa pada hakekatnya usaha atau kegiatan
seperti yang digambarkan dalam Butir b dan c termasuk dalam ruang lingkup usaha atau kegiatan
yang dapat dilakukan oleh bentuk usaha tetap, sehingga sudah seharusnya penghasilannya
merupakan penghasilan bentuk usaha tetap.

Contoh dari kegiatan-kegiatan yang disebutkan dalam Butir b adalah sebagai berikut:

Contoh 1

Kantor pusat sebuah bank di luar negeri yang memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia,
memberikan kredit langsung kepada nasabah di Indonesia tanpa melalui bentuk usaha tetapnya.
Dalam kasus ini, bunga atas pinjaman yang diterima kantor pusat bank tersebut akan dianggap
sebagai penghasilan dari bentuk usaha tetap. Biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan bunga
tersebut, dapat dibebankan sebagai biaya oleh bentuk usaha tetap.

Contoh 2

Kantor pusat sebuah perusahaan luar negeri yang memproduksi mobil, menjual langsung mobil
hasil produksinya kepada konsumen yang ada di Indonesia tanpa melalui bentuk usaha tetapnya
yang ada di Indonesia. Kegiatan bentuk usaha tetap yang bersangkutan, juga menjual produk
yang sama dengan produk yang dijual kantor pusatnya di Indonesia.

Dalam kasus di atas, keuntungan yang diterima atau diperoleh kantor pusat dari hasil penjualan
mobil yang langsung kepada konsumen tanpa melalui bentuk usaha tetap tersebut di atas, akan
dianggap sebagai keuntungan bentuk usaha tetap. Sedangkan biaya-biaya yang timbul
sehubungan dengan penjualan mobil langsung oleh kantor pusat tersebut, dapat dibebankan
sebagai biaya oleh bentuk usaha tetap.

Contoh penghasilan bentuk usaha tetap seperti diuraikan dalam Butir c adalah sebagai berikut: JZ
Ltd. menutup perjanjian lisensi (license agreement) dengan dengan PT Alfa untuk penggunaan
merek dagang JZ Ltd. oleh PT Alfa. Atas hak penggunaan merek dagang tersebut JZ Ltd. menerima
imbalan berupa royalty dari PT Alfa. Sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian yang
bersangkutan, JZ Ltd. memberikan jasa teknik (technical assistant) kepada PT Alfa melalui bentuk
usaha tetapnya yang ada di Indonesia. Dalam kejadian tersebut di atas, penggunaan merek
dagang JZ Ltd. oleh PT Alfa mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap JZ Ltd. di
Indonesia. Oleh karena itu, penghasilan JZ Ltd. yang berupa royalty diperlakukan sebagai
penghasilan bentuk usaha tetap.

9. Penghitungan penghasilan kena pajak bentuk usaha tetap

Besarnya penghasilan kena pajak bagi bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan besamya
penghasilan bruto setelah dikurangi dengan pengurangan-pengurangan yang diperkenankan,
yang dapat berupa:

a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara
lain:

1. Biaya pembelian bahan;

2. Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus,
gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang:

3. Bunga, sewa, dan royalti;

4. Biaya perjalanan;

5. Biaya pengolahan limbah;

6. Premi asuransi;

7. Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;

8. Biaya administrasi; dan

9. Pajak kecuali Pajak Penghasilan;

10. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran

untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11 Undang undang Pajak
Penghasilan 1984;
11. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan:

b. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan: c

c. kerugian selisih kurs mata uang asing:

d. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;

e. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;

f. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:

1. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;

2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
Direktorat Jenderal Pajak; dan

3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi


pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai
penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan;
atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari
debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;

4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang
tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k Undang-
undang Pajak Penghasilan 1984; yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

g. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur


dengan Peraturan Pemerintah;

h. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;

i. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan


Pemerintah;

j. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;


dan

k. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Sumber : Buku Perlakuan Perpajakan Terhadap Bentuk Usaha Tetap - Jaja Zakaria, S.H., M.Si dan
https://www.pajak.go.id/id/penentuan-bentuk-usaha-tetap

Anda mungkin juga menyukai