Anda di halaman 1dari 30

SGLAWFIRM & REKAN

“Advokat ,Kuasa Hukum Pajak ,Mediator, dan


Konsultan Hukum”
PENGANTAR
PERPAJAKAN
Asas Pemungutan Pajak

Adam Smith
1. Asas Equality, pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan
kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap
wajib pajak.
2. Asas Certainty, semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar
akan dapat dikenai sanksi hukum.
3. Asas Convinience of Payment, pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak
(saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau
disaat wajib pajak menerima hadiah.
4. Asas Efficiency, biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi
biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.
Asas Pemungutan Pajak

W.J. Langen
1. Asas Daya Pikul, besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar kecilnya
penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang
dibebankan.
2. Asas Manfaat, pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatan-kegiatan
yang bermanfaat untuk kepentingan umum.
3. Asas Kesejahteraan, pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat.
4. Asas Kesamaan, dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan yang lain
harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama).
5. Asas Beban Yang Sekecil-kecilnya, pemungutan pajak diusahakan sekecil-kecilnya (serendah-
rendahnya) jika dibandingkan dengan nilai obyek pajak sehingga tidak memberatkan para
wajib pajak
Asas Pemungutan Pajak

Adolf Wagner
1. Asas Politik Finansial, pajak yang dipungut negara jumlahnya memadai sehingga dapat
membiayai atau mendorong semua kegiatan negara.
2. Asas Ekonomi, penentuan obyek pajak harus tepat, misalnya: pajak pendapatan, pajak untuk
barang-barang mewah
3. Asas Keadilan, pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi, untuk kondisi yang sama
diperlakukan sama pula.
4. Asas Administrasi, menyangkut masalah kepastian perpajakan (kapan, dimana harus membayar
pajak), keluwesan penagihan (bagaimana cara membayarnya) dan besarnya biaya pajak.
5. Asas Yuridis, segala pungutan pajak harus berdasarkan undang-undang.
Azas Pemungutan
Azas Menurut Falsafah Hukum
Azas yuridis
Teori Asuransi (melindungi)
Hukum pajak harus
Teori Kepentingan
memberikan jaminan hukum
Teori daya pikul  UU
Teori Bakti
Teori azas daya beli
Azas untuk memungut
Azas ekonomi  Azas tempat tinggal
Negara  perekonomian  Azas kebangsaan
meningkat. Pajak tidak  Azas sumber
menghambat ekonomi

13
ASAS PENGENAAN PAJAK
Dalam mengenakan pajak terhadap wajib pajak, institusi pemungut pajak harus memerhatikan berbagai faktor terkait sumber penghasilan atau
manfaat (objek pajak) dan penerima penghasilan atau manfaat (subjek pajak) yang selanjutnya dikenal sebagai asas pengenaan pajak.

Asas Domisili (Domicile, Residence Principle)


Berdasarkan asas ini, negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk
kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk atau berdomisili di negara itu atau badan yang berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan
ini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem
pengenaan pajak terhadap penduduknya akan menggabungkan asas domisili (kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang
diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri (world wide income).

Asas Sumber (Source Principle)


Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila
penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari suatu negara. Dalam asas ini, tidak
menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan pengenaan
pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari negara itu. Contoh: Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang didapat di
Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.

Asas Kebangsaan, Nasionalitas, Kewarganegaraan (Nationality, Citizenship Principle)


Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan
asas ini, tidaklah menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak
berdasarkan asas kebangsaan ini dilakukan dengan cara menggabungkan asas kebangsaan dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan yang diperoleh
di luar negeri.

Asas Pengenaan Pajak di Indonesia


Pemerintah Indonesia pada dasarnya menganut asas pengenaan pajak atas seluruh penghasilan, termasuk penghasilan dari luar negeri. Untuk wajib pajak dalam
negeri, pengenaan pajak didasarkan atas asas domisili. Sedangkan bagi warga negara asing yang tinggal dan memperoleh penghasilan di Indonesia, dilakukan
pengecekan batas waktu untuk menentukan apakah orang pribadi atau badan termasuk wajib pajak dalam negeri (tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam
12 bulan), atau termasuk wajib pajak luar negeri (tinggal di Indonesia maksimal 183 hari dalam 12 bulan). Nah, bagi wajib pajak luar negeri, hanya dikenakan
terhadap penghasilan yang diperoleh di Indonesia saja. Selanjutnya, sebagaimana lazimnya praktik perpajakan di berbagai negara, diatur perjanjian perpajakan
antar negara untuk menghindari pemajakan berganda.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008
TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PENGHASILAN

Pasal 2

1. Yang menjadi subjek pajak adalah:

a.1. orang pribadi;


2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
b. badan; dan
c. bentuk usaha tetap.
(1a) Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan
subjekpajak badan.
2. Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalamnegeri dan subjek pajak luar negeri.
3. Subjek pajak dalam negeri adalah:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam
suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah
yang memenuhi kriteria:
1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah;
3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
Subjek Pajak Badan
SP Badan dibedakan menjadi ( PER-43/PJ/2011) :
1. SP Badan DN, yaitu badan yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia kecuali unit tertentu
dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria :
 Pembentukannya melalui ketentuan peraturan perundangan
 Pembiayaan dari APBN/APBD
 Penerimaan masuk APBN/APBD
 Diperiksa aparat pengawasan fungsional pemerintah

2. SP badan LN, yaitu badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia :
a. yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia
b. yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Badan = Sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik melakukan
kegiatan usaha maupun tidak yang meliputi PT, CV, BUMN/BUMD, Firma, Kongsi, Koperasi,
yayasan, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, ormas, orsospol, lembaga, dan bentuk
badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Bentuk Usaha Tetap


Bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi
yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
 tempat kedudukan manajemen;  orang atau badan yang bertindak
 cabang perusahaan; selaku agen yang kedudukannya tidak
 kantor perwakilan; bebas;
 gedung kantor;  agen atau pegawai dari perusahan
 Pabrik; asuransi yang tidak didirikan dan tidak
 Bengkel; bertempat kedudukan di Indonesia
 gudang; yang menerima premi asuransi atau
 ruang untuk promosi dan penjualan; menanggung risiko di Indonesia; dan
 pertambangan dan penggalian sumber alam;  komputer, agen elektronik, atau
 wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi; peralatan otomatis yang dimiliki,
 perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan; disewa, atau digunakan oleh
 proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; penyelenggara transaksi elektronik
 pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau untuk menjalankan kegiatan usaha
 orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) melalui internet.
 hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
4. Subjek pajak luar negeri adalah:

a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan

b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
(5) Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:

a. tempat kedudukan manajemen;


b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor
e. pabrik;
f. bengkel;
g. gudang;
h. ruang untuk promosi dan penjualan;
i. pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam
puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan
p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara
transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

(6) Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut
keadaan yang sebenarnya.
Pasal 3

(1) Yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
a. kantor perwakilan negara asing;
b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara
asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia
dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
c. organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari
iuran para anggota;
d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c,
dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau
pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

(2) Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Pasal 4

(1) Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun,
atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota
yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badanlainnya;
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali
yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan
badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau
orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak- pihak yang bersangkutan; dan
5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan,
tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi
kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak
yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s. surplus Bank Indonesia.
(2) Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang
pribadi;
b. penghasilan berupa hadiah undian;
c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan
di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan
pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
e. penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
(3) Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
a. 1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima
oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima
sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan
keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan;

b. warisan;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam
bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan
Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma
penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan,
asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri,
koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan
usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima
dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima
persen) dari jumlah modal yang disetor;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri
Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada
huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk
pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
j. dihapus;
k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari
badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia,
dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
g. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
h. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam
bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar
pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan
prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu
paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
i. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada
Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
KEWAJIBAN PAJAK SUBJEKTIF
Pasal 2A ayat (1),(2),(3),(4) dan (5)

Subjek Pajak Menjadi Wajib Pajak

SUBJEK PAJAK SUBJEK PAJAK


DALAM NEGERI LUAR NEGERI

BADAN BUT

MULAI : MULAI :
SAAT DIDIRIKAN/ SAAT MELAKUKAN
BERKEDUDUKAN USAHA/KEGIATAN
DI INDONESIA MELALUI BUT DI
INDONESIA

BERAKHIR : BERAKHIR :
SAAT DIBUBARKAN SAAT TDK LAGI
ATAU TIDAK LAGI MENJALANKAN
BERKEDUDUKAN USAHA/KEGIATAN MELALUI
DI INDONESIA. BUT
DI INDONESIA.

26
Kewajiban WP Badan

1. Mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, syarat :


- FC Akta pendirian perusahaan
- FC SIUP/TDP/Ijin Gangguan
- Keterangan Domisili
- FC KTP Penanggung Jawab
- Mengisi surat Permohonan
2. Membayar PPh sesuai ketentuan yang berlaku
3. Melaporkan SPT (Masa, tahunan)
PAJAK PENGHASILAN 28
(PPh)

A D A LA H

PAJAK YANG DIKENAKAN


TERHADAP SUBJEK PAJAK
ATAS PENGHASILAN YANG
DITERIMA ATAU DIPEROLEHNYA
DALAM TAHUN PAJAK
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

PPN merupakan pajak yang dikenakan terhadap transaksi jual beli yang dilakukan orang
pribadi/badan. PPN ada yang dikenakan atas orang pribadi/badan yang memiliki usaha, tetapi ada
juga PPN yang dikenakan atas transaksi jual beli properti.
PPN yang dikenakan dalam bidang usaha, merupakan pajak yang dikenakan pada proses produksi
dan distribusi. Jumlah pajak yang terutang, dibebankan kepada konsumen akhir yang memakai
produk tersebut.
Dasar hukum PPN adalah Undang-Undang Dasar No.42 tahun 2009. Dasar hukum ini mengatur
beberapa hal dalam PPN seperti :

Objek Pertambahan Nilai


1. Penyerahan BKP dan JKP dalam daerah pabean yang dilakukan pengusaha
2. Impor BKP
3. Penggunaan BKP Tidak Berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
4. Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
5. Ekspor BKP Berwujud/ BKP Tidak Berwujud & Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

Tarif PPN
Tarif PPN juga menjadi hal yang penting untuk Anda ketahui sebagai Pengusaha Kena Pajak, aga
dapat menentukan tarif PPN kepada konsumen dengan jumlah yang tepat. Berdasarkan UUD No.42
tahun 2009, berikut ini adalah pengenaan tarif PPN:
Tarif PPN 10%
Tarif PPN 0% untuk ekspor BKP, ekspor BKP Tidak Berwujud dan ekspor Jasa Kena Pajak. Tarif PPN 0% ini
dapat berubah menjadi 5% dan paling tinggi sebesar 15% sebagaimana diatur oleh Peraturan
Pemerintah
Peraturan Tentang Perpajakan Terkait Pajak Digital
Pengenaan pajak digital berupa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) resmi berlaku sejak Agustus 2020.

Dasar hukum pemungutan PPN untuk jenis produk digital diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.48 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut,
Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean
melalui Perdagangan melalui Sistem Elektronik (Pajak Digital).
Tarif Pajak
Perorangan
Pajak Peorangan Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Rp 0 sampai dengan Rp. 50.000.000 5%
>Rp 50.000.000 sampai dengan Rp
15%
250.000.000
>Rp 250.000.000 sampai dengan Rp
25%
500.000.000
>Rp 500.000.000 30%

Tarif PPN = 10%


Tarif Khusus
Pajak Penghasilan
UMKM Indonesia bagi UMKM
1. PP Nomor 23 Tahun 2018
ttg Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib
Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
2. PMK-99/PMK.03/2018
ttg Pelaksanaan PP Nomor 23 Tahun 2018
tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib
Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu

Tarif PPN = 10%


Tarif Pajak Badan

Pajak Badan

Perppu 1 Tahun 2020

Tarif PPN = 10%


Pokok Pengaturan PP 23/2018
Subjek Pajak Objek Pajak Pemberitahuan ke DJP
• WP OP Penghasilan dari usaha tidak
• WP Badan tertentu (Koperasi, CV, melebihi Rp4,8M dalam 1 (satu)
Bila WP memilih untuk dikenai PPh
Firma) Tahun Pajak.
Kecuali: sesuai ketentuan umum.
• PT a) Jasa sehubungan Pekerjaan
dgn peredaran bruto s/d Rp 4,8 Bebas
Milyar / Tahun Pajak. b) Penghasilan di LN Pelunasan Pajak
Kecuali: c) Penghasilan yg dikenai PPh
Disetor sendiri oleh WP; atau
a. Yang memilih untuk dikenai PPh Final tersendiri
berdasarkan ketentuan umum; d) Penghasilan yang bukan Obj ek Dipotong atau dipungut oleh pihak
b. WP Badan yang memperoleh Pajak lain.
fasilitas Tax Holiday dan Tax PPh Terutang
Allowance; Surat Keterangan
c. BUT; atau PPh Final =0,5% X Peredaran Bruto
d. CV, Firma yang dibentuk:
Bila WP menerima penghasilan dari
• beberapa WPOP dengan
Jangka Waktu pemotong atau pemungut PPh
keahlian khusus dan
• menyerahkan jasa sejenis PT 3 Tahun Pajak
dengan pekerjaan bebas. CV, Firma, Koperasi4 Tahun Pajak
Amanat
WP OP 7 Tahun Pajak pengaturan
dalam PMK
35
Dipotong
PPh 23 atas
penghasilan jasa Badan
Memotong
PPh 21
atas gaji
PPN atas
PBB penyerahan
Penghasilan Meterai barang/jasa
Beban yang dapat dikurangkan BPHTB
Pajak Daerah
Penghasilan kena pajak
X tarif pajak
Pajak terutang 1thn fiskal
Kredit pajak Lapor
• Angsuran pajak (PPh25) KPP
• Dipotong pihak lain (22,23)
• Pajak luar negeri (24) Setor
Pajak kurang/lebih bayar (29/28 Kas negara
"Sebagai wajib pajak, YouTuber atau artis wajib melaksanakan kewajiban perpajakannya,“

Metode penghitungan PPh sendiri bisa dilakukan sesuai dengan mekanisme Norma Penghitungan
Penghasilan Neto. Di mana penghitungan pajaknya dilakukan 50% dari total peredaran brutonya dalam
satu tahun Bagi para YouTuber. Untuk mekanisme penghitungan sendiri ini, penghasilan per tahun
maksimal Rp 4,8 miliar atau Rp 400 juta per bulan.
Mari kita simulasikan, jika penghasilan seorang YouTuber selama setahun mencapai Rp 4,8 miliar, maka
yang dihitung pajaknya adalah 50% nya yakni Rp 2,4 miliar.
Dari Rp 2,4 miliar tersebut dikurangi Rp 54 juta (Penghasilan Tidak Kena Pajak/PTKP) yakni Rp 2,446 miliar
yang akan dibayarkan pajaknya dengan tarif progresif.

5%x Rp 50 juta =Rp 2,5 juta


15% x Rp 200 juta =Rp 30 juta
25% x Rp 250 juta =Rp 62,5 juta
30% x Rp 1,946 miliar =Rp 583,8 juta

Total pembayaran pajak YouTuber jika penghasilan mencapai Rp 4,8 miliar selama setahun adalah
sebesar Rp 678,8 juta.
"Dan kalau ada bukti potong dari pihak lain yg sudah memotong pajak, bisa dipakai sebagai kredit
pajak (sebagai pengurang)," tegasnya.

Anda mungkin juga menyukai