Anda di halaman 1dari 11

Bentuk Usaha Tetap (BUT).

a. Tinjauan Hukum.

Suatu Negara yang memiliki wilayah kekuasaan, yang di dalamnya terdapat orang atau warga
negara yang merupakan penduduk setempat, badan usaha swasta, badan usaha negara,
lembaga lembaga yang bergerak di bidang sosial baik swasta maupun pemerintah, orang atau
badan asing yang berada atau didirikan di suatu negara atau yang keberadaan di luar negara
tetapi melakukan aktifitas di negara yang bersangkutan "harus tunduk" kepada penguasa
negara tersebut. Tidak kecuali negara manapun di dunia ini, termasuk subyek badan yang
didirikan di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berada di luar negara kesatuan Republik
Indonesia.

- ASAS HUKUM
Negara Republik Indonesia salah satu Negara yang menganut asas nasional aktif dan asas
nasional pasif. Asas nasional aktif adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki
kewenangan atau kedaulatan hukum dan peraturan perundang-undangan atas setiap
perbuatan warga negara, baik sebagai sebagai subyek hukum pribadi maupun subyek
hukum legal yang didirikan maupun yang dimiliki di Indonesia. Asas nasional pasif adalah
peraturan perundang-undangan yang dapat diperlakukan Negara Indonesia bagi setiap
perbuatan yang dilakukan warga Negara Indonesia, Perseroan Terbatas, lembaga swasta
Indonesia maupun lembaga Negara Indonesia yang berada di luar teritori Republik
Indonesia.

- SUBYEK HUKUM
Subyek hukum dapat terdiri dari subyek hukum orang pribadi (nature person) dan subyek
hukum badan (legal person), baik badan yg didirikan oleh swasta maupun badan yg
didirikan atau dimiliki Negara. Apabila Subyek hukum yang berada di negara Indonesia
maka semua subyek hukum tersebut harus tunduk kepada peraturan perundang-undangan
yang ada di Indonesia. Di mana negara Indonesia berdaulat atas warganya dan warga
negara lain yang ada dan keberadaannya di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia.
Demikian juga dengan katakan Negara lain misal Negara Inggris juga memiliki kedaulatan
atas subyek hukum orang pribadi dan subyek hukum badan yang berada di Inggris. Dalam
dunia yang semakin berkembang dan modern maka sering terjadi relasi atau hubungan
dagang antar negara atau kerjasama bisnis dan ekonomi oleh setiap subyek hukum yang
berbeda negara. Di mana masing-masing negara berdaulat secara hukum dan ekonomi dan
masing masing negara juga banyak yang menganut asas nasional aktif, asas nasional pasif
dan asas universal. Di dalam penyelesaian ini perlu kerjasama antar bangsa dan perlunya

1
tercipta hubungan hukum dengan menggunakan pendekatan hukum hubungan
internasional dan kerjasama yang saling menguntungkan yang tidak merugikan negara
negara yang berada pada kerjasama dan juga tidak merugikan pelaku dari pelaku subyek
hukum pribadi maupun subyek hukum badan yang berada dalam negara-negara tersebut.

b. Tinjauan Hukum Pajak


- HUKUM PAJAK INDONESIA
Yang dimaksud dengan hukum pajak Indonesia adalah hukum positif yang berlaku di
negara kesatuan Republik Indonesia yaitu semua peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia yang antara lain adalah Undang - Undang perpajakan yaitu Undang -
Undang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan, Undang - Undang Pajak Penghasilan,
Undang - Undang Pajak Pertambahan Nilai, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri
Keuangan, Peraturan Direktorat Jenderal Pajak dan Surat - Surat Edaran yang diterbitkan
oleh Direktorat Jenderal Pajak. Ketentuan hukum positif atau peraturan perundang-
undangan perpajakan ini sebagai aturan untuk bertindak atau rule of conduct dalam
bidang perpajakan baik bagi Fiscus maupun Wajib Pajak.

- GLOBAL INCOME BASIS (WORLD WIDE INCOME)


Negara Republik Indonesia menganut paham global income basis (world wide income).
Yang dimaksud dengan global income basis (world wide income) adalah semua penghasilan
yang diperoleh Wajib Pajak Indonesia yang berasal dari dalam negeri atau yang diperoleh
dari luar Indonesia adalah terhutang pajak di negara Republik Indonesia.
Paham Global Income Basis ini dalam perpajakan adalah akibat konsekuensi hukum yang
dianut oleh Negara Republik Indonesia ketika Negara memandang subyek hukum dengan
menganut asas nasional aktif yaitu setiap subyek hukum yang berasal dari Indonesia yang
keberadaannya di Indonesia dan yang berada di luar Indonesia adalah harus tunduk
kepada peraturan perundang-undangan yang ada di Negara Republik Indonesia. Perihal ini
tercermin di dalam penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak Indonesia yang berasal dari
cabang atau kegiatan di luar negeri apabila dipotong pajak penghasilan oleh Negara lain
diberikan kode Pajak Penghasilan Pasal 24 di dalam Undang Undang Pajak Penghasilan
tersebut. Mekanisme pajak yang ditempuh oleh Pemerintah Republik Indonesia adalah
setiap penghasilan yg diperoleh dari luar negeri tersebut disatukan dengan penghasilan
yang diperoleh dari dalam negeri dikurangi dengan semua biaya biaya yang ada di
Indonesia; di mana hasil bersih setelah pengurang semua biaya yang ada dan setelah
dilakukan koreksi fiskal negatif dan positif, difasilitasi dengan dihitung ulang pajak
penghasilan yang terhutang. Pajak penghasilan yg dipotong di luar negeri yaitu Pajak

2
Penghasilan Pasal 24 tersebut dapat digunakan sebagai unsur pengurang total Pajak
Penghasilan Terhutang dari gabungan penghasilan tersebut di atas.

- HUKUM PAJAK INTERNASIONAL


Di dalam pajak Internasional timbul suatu permasalahan adalah hampir semua negara di
dunia di dalam sistem hukumnya juga menganut sistem atau perlakuan dalam
memandang subyek hukum maupun sistem penghasilannya adalah hampir sama dengan
yang dianut oleh negara Republik Indonesia yaitu asas nasional aktif dan asas global
income basis (world wide income). Jika hal ini dipaksakan atau diterapkan maka akan
terjadi inefisiensi dalam pembayaran pajak bagi kedua Wajib Pajak tersebut yang berbeda
di dua negara yang terjalin dalam hubungan bisnis, baik Wajib Pajak Indonesia maupun
Wajib Luar Negeri yang terlibat relasi penghasilan yang diperoleh di Indonesia. Hampir
setiap negara karena memiliki kedaulatan negara dan kedaulatan ekonomi, budaya, sosial
dan lain sebagainya, maka banyak negara menerapkan pendekatan pajak secara unilateral.
Arti pendekatan secara unilateral adalah pendekatan negara secara mandiri dengan
menggunakan kekuasannya yaitu dengan menerapkan peraturan perundang - undangan
pajak yang ada di negara tsb yaitu Peraturan perundang - undangan baik secara ketentuan
hukum formil (ketentuan umum pajak) maupun ketentuan hukum material yang mengatur
pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai atau pajak penjualan. Jika hal ini terjadi dan
dijalankan secara kaku maka iklim usaha atau iklim investasi yang berasal dari luar negara
baik yang berasal dari Foreign Direct Investment maupun investasi tidak langsung
menganggap negara yang dituju untuk investasi menjadi tidak menarik.

- PEMECAHAN MASALAH DOUBLE TAXATION MELALUI TAX TREATY


Pemecahan pajak untuk mengatasi agar investasi, bisnis dan perdagangan terjadi secara
efisien dan menguntungkan bagi kedua Wajib Pajak atau lebih di dalam dua negara atau
lebih yang terlibat dalam bisnis adalah negara menerapkan pendekatan pajak secara
bilateral dan pendekatan pajak secara multilateral. Pendekatan bilateral adalah
pendekatan pajak yang ditempuh secara G2G atau secara Goverment to Goverment yaitu
suatu pendekatan dari dua negara yg terlibat dalam perjanjian untuk mengurangi atau
penghindaran dari effek pajak berganda yaitu dengan cara mengurangi atau meniadakan
besarnya tarif pajak yang terhutang dari kedua negara yang terlibat dalam hubungan
bilateral tersebut yang dikenal dengan tax treaty atau penghindaran pajak berganda.
Sedangkan pendekatan multilateral adalah pendekatan dengan model penyelesaian pajak
berganda dengan melibatkan Perserikatan Bangsa - Bangsa (PBB).

3
c. Persamaan dan perbedaan BUT dengan PMA

BUT atau Bentuk Usaha Tetap adalah Suatu Bentuk Usaha (selanjutnya disingkat BUT) yang
bukan berbadan hukum Indonesia yang ada atau didirikan oleh Wajib Pajak Luar Negeri atau
badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan usaha melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia yang dapat berupa:

a. Tempat kedudukan manajemen. b. Cabang perusahaan.


c. Kantor perwakilan. d. Gedung kantor.
e. Bengkel. f. Pabrik.
g. Proyek konstruksi. h. Perikanan/pertanian/perkebunan
i. Pemberian jasa dalam bentuk apapun.
j. Orang atau badan yang bertindak sebagai agen yang kedudukannya tidak bebas.
k. Agen atau pegawai perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di
Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.
l. Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan
oleh penyelenggara elektronik untuk menjalankan usaha melalui internet.
m. Ruang untuk promosi dan penjualan.
n. Pertambangan dan penggalian sumber alam.

BUT adalah Wajib Pajak Luar Negeri tetapi diperlakukan seperti Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia, artinya BUT tersebut menikmati tarif pajak badan seperti yang berlaku di negara
Republik Indonesia dan BUT berkewajiban melakukan pemotongan atau pemungutan atas
pembayaran pajak yang menjadi dasar objek pajak potong pungut seperti gaji, sewa, jasa
teknik, jasa manajemen, bunga, dan sebagainya.

Sedangkan Penanam Modal Asing adalah Badan yang didirikan di Indonesia dan berbadan
hukum Indonesia, yang pendiriannya berdasarkan Undang Undang Nomor 25 tahun 2007
tentang Penanam Modal Asing dan Undang - undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas dan terikat kepada setiap peraturan perundang - undangan yang ada di negara
Republik Indonesia.

Berikut ini persamaan dan perbedaan antara BUT dan PMA.

1. Persamaan antara BUT dan PMA adalah:


*. Pada umumnya kedua usaha tersebut terdapat pemilik atau investor dari
perusahaan asing atau warga negara luar negeri.

4
*. Kedua lembaga tsb kegiatan atau aktifitasnya berada dan/atau terdapat di negara
Republik Indonesia.
*. Sama - sama harus memiliki NPWP negara Indonesia.
*. Sama - sama wajib menyampaikan SPT masa dan SPT tahunan.

2. Sedangkan perbedaan antara BUT dan PMA adalah sebagai berikut:


*. BUT adalah Wajib Pajak Luar Negeri sedangkan PMA adalah Wajib Pajak Dalam
Negeri
Negara Indonesia.
*. BUT tidak berbadan hukum Negara Indonesia sedangkan PMA adalah berbadan
hukum negara Republik Indonesia.
*. BUT dikenakan pajak Branch Profit Tax yaitu pajak yang dikenakan atas laba setelah
pajak apabila ada keuntungan sedangkan PMA tidak ada pengenaan pajak jenis
tersebut karena PMA menganut asas satu kesatuan penghasilan badan yang tercantum
di dalam pelaporan rugi laba.
*. BUT tidak berkewajiban dan terikat kepada Undang - Undang nomor 25 dan Undang
- Undang nomor 40 tahun 2007 sedangkan PMA berkewajiban dan terikat kepada
Undang - Undang nomor 25 tahun 2007 dan Undang - Undang nomor 40 tahun 2007.

Perihal BUT.

BUT adalah Wajib Pajak Luar Negeri yang diperlakukan sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri.
Sehubungan dengan BUT diperlakukan sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri maka BUT
berkewajiban menjalankan pembukuan dan membuat laporan keuangan berupa Laporan
Neraca dan Laporan Rugi Laba. BUT wajib menyimpan buku, catatan dan dokumen yang
menjadi dasar pembukuan dan dokumen lain hasil pengolahan data selama 10 (sepuluh)
tahun. Pembukuan BUT harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan
mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya. Pembukuan BUT harus
diselenggarakan secara prinsip taat asas, dengan dasar prinsip akrual atau kas. BUT yang
merubah metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari
Direktur Jenderal Pajak Indonesia. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun
buku BUT harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. Yang dicatat dalam
laporan rugi laba atau laporan kegiatan BUT adalah penghasilan dari usaha atau kegiatan
Bentuk Usaha Tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai oleh BUT.

Anak Perusahaan dan Cabang Perusahaan.

5
Anak Perusahaan adalah entititas usaha yang terpisah dari Induk Perusahaan, artinya Anak
Perusahaan tersebut memiliki subyek hukum yang terpisah dari Induk Perusahaan. Berhubung
Anak Perusahaan adalah subyek hukum terpisah maka Anak Perusahaan memiliki akta
pendirian Perseroan Terpisah, memiliki izin - izin usaha tersendiri, memiliki NPWP secara
mandiri. Hubungan Anak Perusahaan dengan Induk Perusahaan adalah hubungan kepemilikan
atau manfaat ekonomi, di mana Induk Perusahaan memiliki investasi usaha di Anak
Perusahaan. Sedangkan Cabang Perusahaan adalah suatu wadah usaha perpanjangan dari
Kantor Pusat di mana Cabang Perusahaan tersebut bernaung. Cabang Perusahaan bukanlah
suatu entititas usaha yang terpisah dari Kantor Pusat Perusahaan, artinya Cabang Perusahaan
tersebut berkewajiban menjalankan dan melaporkan usaha atau kegiatan usaha baik kegiatan
komersial maupun kegiatan non komersial kepada Kantor Pusat setiap periode baik harian,
mingguan, bulanan maupun tahunan kepada Kantor Pusat untuk dan dalam rangka penyatuan
laporan kinerja Rugi - Laba Kantor Pusatnya. Kegiatan Usaha dan kebijakan usaha Kantor
Cabang tidak lepas dari kebijakan yang telah ditetapkan oleh Kantor Pusat, oleh karena itu
aktifitas Kantor Cabang menjadi Laporan subordinasi dari Kantor Pusatnya ketika pembuatan
penyatuan laporan kinerja. Jika Induk Perusahaan Asing yang berada di Luar Indonesia
melakukan Usaha melalui PMA maka PMA tersebut seperti Anak Perusahaan di dalam
penjelasan tersebut di atas, yaitu PMA tersebut sebagai entitas yang terpisah dari Induk
Perusahaan, memiliki akte pendirian perusahaan terpisah, memiliki izin - izin usaha sendiri
dan memiliki NPWP tersendiri. Sebaliknya apabila Kantor Pusat Perusahaan Asing yang berada
di Luar Indonesia memiliki cabang atau perwakilan usaha di Indonesia maka usaha atau
perwakilan usaha tersebut seperti Cabang atau Perwakilan yang dikenal di hukum Indonesia
sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT).

d. Wajib Pajak Indonesia

Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang meliputi Pembayar Pajak, Pemotong Pajak
dan Pemungut Pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan dengan
Ketentuan Peraturan Perundang - undangan Perpajakan Indonesia. Wajib Pajak adalah Subyek
Pajak yang meliputi antara lain: Subyek Pajak Orang Pribadi, Subyek Pajak Warisan Yang Belum
Terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, Badan dan Bentuk Usaha Tetap
(BUT).

 Subyek Pajak Orang Pribadi


Dimulainya Subyek Pajak Orang Pribadi adalah pada saat dilahirkan, atau Wajib Pajak Luar
Negeri yang berniat tinggal di Indonesia atau Wajib Pajak asing yang berada di Negara
Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
 Subyek Pajak Warisan Yang belum terbagi

6
Dimulainya Subyek Pajak Warisan Yang Belum Terbagi adalah pada saat timbulnya warisan
Yang Belum Terbagi. Sedangkan Subyek Pajak Warisan Yang Belum Terbagi berakhir ketika
Subyek Pajak Orang Pribadi tersebut selesai dibagi kepada ahli warisnya.

 Subyek Pajak Badan


Dimulainya pada saat Subyek Pajak Badan tersebut didirikan di Indonesia. Sedangkan
Subyek Pajak Badan tersebut berakhir ketika Subyek Pajak Badan tersebut dibubarkan.
 Subyek Pajak BUT
Dimulainya pada saat Subyek Pajak BUT tersebut mulai berada di Indonesia. Sedangkan
Subyek Pajak BUT tersebut berakhir ketika Subyek Pajak BUT tersebut tidak lagi berada di
Indonesia.

- ASAS SELF ASSESMENT


Wajib daftar NPWP. Sistem perpajakan negara Indonesia menganut asas Self assesment.
Yang dimaksud dengan asas self assesment adalah suatu asas prinsip di mana Negara
memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan,
membayar dan melaporkan sendiri kewajiban dan hak perpajakannya berdasarkan
peraturan perundang - undangan perpajakan yang berlaku di Negara Indonesia.
Konsekuensi dari adanya asas self assesment ini adalah apabila ada Wajib Pajak Dalam
Negeri maupun Wajib Pajak Luar Negeri misal BUT yang memenuhi kriteria unsur sebagai
Wajib Pajak maka inisiatif untuk mendaftar dan memperoleh NPWP adalah Wajib Pajak
Yang bersangkutan baik Wajib Pajak Dalam Negeri maupun Wajib Pajak Luar Negeri misal
BUT tersebut. Di mana NPWP tersebut sebagai sarana administrasi perpajakan yang
dipergunakan sebagai tanda pengenal diri, sebagai sarana untuk melakukan pembayaran
dan pelaporan hak dan kewajiban perpajakannya di negara Indonesia.

- KEWAJIBAN WAJIB PAJAK.


Setiap Wajib Pajak termasuk Wajib Pajak BUT memiliki kewajiban antara lain:
*. Mengisi dan memasukan surat pemberitahuan.
*. Menandatangani SPT yang dimasukan.
*. Mengisi SPT secara benar, jelas dan lengkap.
*. Menyampaikan SPT kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam jangka waktu yang telah
ditentukan.
*. Memungut, memotong, membayar dan melaporkan pajak yang terhutang.
*. Menyelenggarakan pembukuan.
*. Menyimpan dokumen - dokumen selama 10 (sepuluh) tahun.

7
- PENGUSAHA KENA PAJAK
Pengusaha Kena Pajak adalah Subyek Pajak Orang Pribadi, Badan, BUT atau Badan dalam
bentuk apapun apabila melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa
Kena Pajak (JKP) lebih dari 4.800.000.000 (empat milyar delapan ratus juta rupiah) dalam
satu tahun.
Kewajiban Pengusaha Kena Pajak antara lain:
*. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi PKP.
*. Memungut PPN dan PPn BM atas penyerahan BKP dan JKP yang terhutang.
*. Membuat faktur pajak atas setiap penyerahan kena pajak.
*. Menyetorkan PPN dan PPn BM yang terhutang.
*. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPN.

- KEWAJIBAN MINIMAL WAJIB PAJAK BADAN TERMASUK WAJIB PAJAK BUT .


Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak BUT di Negara Indonesia apabila sudah memiliki NPWP
maka Wajib Pajak tersebut memiliki kewajiban minimal ada dua yaitu berkewajiban
menyampaikan SPM masa pph 21 (dan pembayaran pph 21 jika ada gaji atau upah di atas
PTKP) dan pph 25 ( jika ada pembayaran maka terdapat SSP, Jika Nihil maka harus
dilaporkan). Sedangkan penyampaian jenis pajak lain misal penyampaian witholding tax
apabila ada transaksi yang berkaitan dengan pembayaran obyek potong pungut misal
pembayaran atas pph 23, 26, dan pasal 4 (2).

e. Hak dan kewajiban BUT.


Secara garis besar hak dan kewajiban BUT adalah sama seperti Wajib Pajak Badan yang ada di
Indonesia.
1. Hak BUT adalah sebagai berikut:
*. Membetulkan SPT yang telah dimasukkan.
*. Mengajukan permohonan untuk melakukan penundaan penyampaian SPT.
*. Mengajukan permohonan pengurangan angsuran pembayaran pajak pasal 25 dalam
tahun pajak berjalan.
*. Meminta pengembalian kelebihan pembayaran pajak atas pajak yang telah dilakukan
pembayaran.
*. Memberi kuasa kepada Penerima Kuasa untuk melaksanakan kewajiban pajaknya.
*. Meminta bukti pemotongan pajak atau pemungutan pajak yang dilakukan oleh Wajib
Pajak lainnya.

8
*. Dibebaskan dari pengenaan pajak pasal 26 BUT apabila BUT melakukan penanaman
kembali atas penghasilan BUT dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang
baru didirikan di Indonesia.
2. Kewajiban BUT adalah sebagai berikut:
*. Secara self assesment mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP.
*. Menghitung, memungut, membayar dan melaporkan pajak sendiri secara benar.
*. Menyampaikan SPT ke Direktorat Jenderal Pajak dalam batas waktu yang telah
ditentukan.
*. Wajib Pembukuan yaitu membuat Neraca dan Laporan Rugi Laba.
*. Wajib menyimpan dokumen selama 10 tahun.

- JENIS BUT
BUT yang ada atau yang beroperasi di Indonesia dapat digolongkan ke dua jenis kategori
yaitu:
*BUT yang tidak melakukan kegiatan komersial.
BUT Yang tidak melakukan kegiatan komersial adalah BUT yang tidak melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP). Sehingga jenis BUT ini tidak
perlu mengajukan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

*BUT yang melakukan kegiatan komersial.


BUT yang melakukan kegiatan komersial adalah BUT yang dalam aktifitas usahanya
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP).
Konsekuensi dari BUT jenis ini adalah apabila dalam 1 tahun pajak, BUT ini melakukan
Penyerahan BKP dan JKP sebesar Rp. 4.800.000.000,- (Empat milyar delapan ratus juta
rupiah) atau lebih maka BUT tersebut wajib mendaftarkan diri agar dikukuhkan menjadi
Pengusaha Kena Pajak (PKP).

- BUT Non Komersial tidak perlu melakukan penagihan melalui invoice ke kantorpusat.
Apabila BUT yang ada atau BUT yang didirikan berbentuk BUT Non Komersial maka BUT
jenis ini tidak perlu melakukan penagihan ke kantor pusatnya dengan menggunakan
invoice penagihan. Mengapa (?) Karena apabila hal ini terjadi, dapat diinterpretasikan oleh
fiskus bahwa BUT tersebut melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dan/atau adanya
penyerahan Barang Kena Pajak. Jika hal ini terjadi, maka atas penyerahan tersebut, apabila
terdapat keuntungan bersih usaha, maka keuntungan bersih usaha tersebut akan menjadi
objek pengenaan Pajak Penghasilan Badan.

9
f. Sistem administrasi dan sistem akuntansi.
Apabila usaha yang dijalankan berbentuk Bentuk Usaha Tetap (BUT) maka setiap administrasi
yang dijalankan mencerminkan secara administrasi bahwa secara Subyek Hukum memang
berbentuk BUT dan juga menunjukkan aktivitas usahanya memang BUT. Jika BUT yang
melakukan usaha komersial maka secara administrasi menunjukkan kegiatan - kegiatan
komersial yaitu adanya penghasilan dari kegiatan komersial tersebut, misal dari adanya
penghasilan penyerahan jasa atau penghasilan karena menjual barang; di mana tercermin
dengan adanya pembelian barang yang dapat dilihat lewat faktur yang ada. Mengapa
demikian? Karena peraturan perundang - undangan perpajakan di Indonesia mengatur untuk
jenis BUT komersial, ada suatu aturan yang dapat digunakan oleh Aparatur Pajak untuk
memberlakuan aturan untuk BUT sbb:
*. Attributable rule: yaitu suatu aturan pajak yang diperlakukan Fiscus bahwa hal tsb sebagai
natur dari income BUT tersebut yaitu sesuai dengan bisnis usaha yang dijalankan oleh BUT
tersebut.
*. Attraction rule force: yaitu suatu aturan pajak yang dapat diterapkan oleh Fiscus bahwa
penjualan atau penghasilan untuk usaha sejenis yang diterima Kantor Pusat yang usahanya
sejenis dengan BUT yang ada di Indonesia, maka penjualan tsb dapat diperlakukan sebagai
penghasilan BUT di Indonesia.
*. Effectively connected rule: yaitu suatu aturan pajak yang dapat diterapkan oleh Fiscus,
bahwa pembayaran royalty, bunga, technical fee dan management fee ke Kantor Pusat di Luar
Negeri yang memiliki hubungan effektif dengan kegiatan BUT Indonesia tidak dapat dibiayakan
di BUT Indonesia.

Sedangkan untuk jenis BUT non komersial, karena tidak ada kegiatan komersial maka BUT jenis
tersebut dalam adminstrasinya tidak terdapat penghasilan baik dari dalam negera Indonesia
maupun penghasilan di luar negara Indonesia. Kegiatan administrasi ini benar-benar
mencerminkan dari kegiatan yang dilakukan oleh BUT. Demikianlah juga dengan cerminan
laporan akuntansi atau laporan keuangannya. Sebagaimana kita ketahui, bahwa semua
kegiatan yang telah dilakukan oleh BUT akan dicatat dan terefleksi juga di laporan keuangan
dari BUT tersebut. Perihal ini, bisa kita lihat pada laporan jurnal akuntansi dan buku besar, di
mana pada kolom jurnal dan buku besar terdapat bagian uraian atas perkiraan - perkiraan
rekening dari jurnal-jurnal yang telah dilakukan oleh seorang Akuntan.
- SISTEM ADMINISTRASI (FAKTUR DAN PENGISIAN KAS OPERASIONAL DARI KANTOR PUSAT).
Bila BUT menerbitkan faktur atau invoice ke Kantor pusat, maka seakan-akan ada
penyerahan jasa dari BUT ke Kantor Pusat. Dalam hal ini, pembayaran yang diterima dari
BUT dapat dikategorikan sebagai penghasilan dan BUT tersebut apabila BUT tersebut

10
sudah mendapatkan pengukuhan PKP maka atas penyerahan tersebut juga terhutang PPN
10% x Rp. 0 atau sebesar Rp 0 karena pengguna jasa berada di luar pabean Negara
Indonesia. Sedangkan untuk yang penyerahan jasa dan penyerahan barang yang ada di
pabean negara Indonesia, maka jika BUT sudah PKP harus memungut PPN sebesar 10%
dari total penyerahan atau Dasar Pengenaan Pajak.
Bila BUT hanya mengirim pemberitahuan atau surat agar kas BUT diisi oleh Kantor pusat,
maka atas pemberitahuan tersebut dengan tercermin adanya mutasi kredit penerimaan di
rekening BUT adalah bukan sebagai penghasilan BUT. Ketelitian dalam sistem administrasi
ini sangat penting dan berguna agar tidak terjadi misinterprestasi oleh Petugas Pajak.

- SISTEM PENCATATAN R/K PUSAT, R/K CABANG.


>> Untuk BUT yang non komersial, setiap ada pengiriman uang dari Kantor Pusat dicatat
oleh BUT Indonesia sbb:
*. Bank. xxx.
R/K Pusat xxx.
Biaya biaya yang timbul di BUT Indonesia, dijurnal sbb:
*. Biaya-Biaya xxx.
Kas/Bank xxx.

>> Sebaliknya pada saat Kantor Pusat Luar Negeri mengirim uang ke BUT, dicatat oleh
Kantor Pusat sbb:
*. R/K BUT Indonesia xxx.
Bank Kantor pusat xxx

- LAPORAN KEUANGAN KONSOLIDASI.


Baik Laporan keuangan BUT Komersial maupun BUT non komersial harus dilakukan laporan
keuangan konsolidasi oleh Kantor Pusat. Semua rekening timbal balik, baik rekening
hutang piutang maupun perkiraan R/K Pusat dan R/K BUT Indonesia harus menunjukkan
nilai yang sama supaya dapat dieleminir atas saldo - saldo tersebut. Dengan demikian
rekonsiliasi perkiraan - perkiraan akun Kantor Pusat dan BUT harus dilakukan secara
berkala, misal 1 bulan sekali. Tujuan dari diadakannya rekonsiliasi adalah jika terjadi
perbedaan saldo angka BUT Indonesia dan Kantor Pusat di luar negeri, maka perbedaan
tersebut bisa ditelusuri sedini mungkin.

11

Anda mungkin juga menyukai