Anda di halaman 1dari 57

=Bab I

PENGANTAR PERPAJAKAN
INTERNASIONAL
Ilmu pengetahuan terus berkembang demikian pula dengan teknologi
semua bergerak maju. Kemajuan komunikasi juga bersanding lurus dengan
kemajuan teknologi. Perekomian juga bergerak cepat mengikuti laju
perkembangan teknologi, pengetahuaan dan ilmu pengetahuan.

Hampir tak ada lagi batas-batas yang mengkerdilkan peran ekonomi


antar negara, sehingga perdagangan lintas negara menjadi biasa dan dinamis.
Dalam suatu negara yang menganut sistem ekonomi terbuka, kegiatan bisnis
tidak mengenal batas dimarkasi.

Konsekuensi atas kondisi ini adalah rana pemajakan yang menjadi


perhatian bagi negara-negara yang terkait dengan sumber penghasilan
maupun dengan negara domisili dari wajib pajak.

Wajib pajak dalam negeri bisa jadi telah dipotong pajak atas penghasilan
yang berasal dari luar negeri di negara sumber penghasilan. Persoalan timbul
ketika penghasilan luar negeri yang telah dikenai pajak di luar negeri
dikenakan lagi pajak di Indonesia, hal ini menimbulkan pengenaan pajak
berhganda atas objek penghasilan yang sama.

Persoalan lain adalah wajib pajak tidak mengetahui untuk menentukan


perlakuan PPh atas penghasilan yang dibayarkan kepada wajib pajak luar
negeri yang memiliki tax treaty dengan Indonesia dengan yang tidak. Jenis PPh
mana yang harusnya di potong, apakah PPh 26, PPh 23 atas BUT atas PPh
pasal 4 ayat 2.
Selain itu wajib pajak juga kesulitan menentuka persentase tarif pajak
yang hendaknya diterapkan. Besarnya tarif ini di pengaruhi dengan perjanjian
penghindaran pajak berganda antar ke dua negara yang melakukan transaksi
bisnis.

RUANG LINGKUP PERPAJAKAN INTERNASIONAL

Pajak Internasional pada dasarnya berdasarkan pada ketentuan


pemajakan domestik yang berlaku terhadap wajib pajak dalam negeri yang
memperoleh penghasilan dari luar negeri dan terhadap wajib pajak luar negeri
yang memperoleh penghasilan dari Indonesia. Selain pada ketentuan
domestik, pajak internasional juga berdasarkan pada perjanjian perpajakan
dan praktek perpajakan global (Gunadi, 1997). Dengan kata lain pajak
internasional akan berbicara mengenai bagaimana pemajakan atas
penghasilan orang asing atau perusahaan (badan) asing yang diterima dari
Indonesia dan bagaimana pemajakan atas penghasilan orang atau perusahaan
(badan) Indonesia atas penghasilan yang diterima dari luar negeri, dengan
berdasarkan UU domestik dan UU negara lain serta perjanjian perpajakan

Dimensi Perpajakan Internasional luas meliputi:

1. Aturan Perpajakan yang sudah ada. Dalam UU Perpajakan


Indonesia.
2. Aturan Pajak yang sudah ada di negara Lain.
3. Persetujuan P3B ( tax treaty) yang di buat Indonesia dengan
negara Lain.
SKEMA RUANG LINGKUP PERPAJAKAN INTERNASIONAL

I
UU PAJAK
N
NEGARA
T TAX TREATY
LAIN
E
R
(P3B)
N UU PAJAK
A DOMESTIK
S
I
O
N
A
L

Perluasan Pemajakan

Pemajakan atas arus internasional penghasilan pada dasarnya


merupakan perluasan pemajakan penghasilan dalam negeri. Oleh karena itu
beberapa kebijakan pemajakan nasional berlaku juga terhadap pemajakan
internasional.

Arnold (1986) menjelaskan beberapa kebijakan pemajakan seperti, (1)


Keadilan (Equity) (2) Netralitas (3) Penerimaan (4) Pertimbangan Administrasi
dan Kepatuhan..

Penjabaran Pemajakan menurut Arnold sebagai berikut:


Keadilan (Equity)

 Horisontal: kesamaan pemajakan antar orang yang berada dalam


keadaan objek pajak yang sama.
 Vertikal: perbedaan pemajakan antar orang yang berada dalam keadaan
berbeda kemampuan membayarnya.

Netralitas (Neutrality)

Pola kebijakan pemajakan yang tidak mencampuri atau mempengaruhi


apapun maupun mengarahkan pemilihan wajib pajak untuk melakukan
kegiatan ekonomi atau investasi di dalam atau di luar negeri.

Penerimaan ( Revenue)

Setiap kebijakan perpajakan baik pada aspek domestik maupun


internasional, tujuan utamanya yang paling dominan adalah mengumpulkan
penerimaan untuk memenuhi pengeluaran pemerintah.

Indonesia merupakan bagian dari dunia internasional yang sudah pasti


dalam menjalankan roda pemerintahannya melakukan hubungan
internasional. Indonesia sebagai negara berdaulat memiliki hak untuk
membuat ketentuan tentang perpajakan. Fungsi dari pajak yang ditarik oleh
pemerintah ini utamanya adalah untuk membiayai kegiatan pemerintahan
dalam rangka menyediakan barang dan jasa publik yang diperlukan oleh
seluruh rakyat Indonesia.

Di samping itu, pajak juga berfungsi untuk mengatur perilaku warga


negara untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Hubungan
internasional dapat berupa kerjasama di bidang keamanan pertahanan,
kerjasama di bidang sosial, ekonomi, budaya dan lainnya, namun
pembahasan ini terbatas pada kegiatan ekspor maupun impor (Transaksi
Perdagangan Internasional) yang terkait dengan pajak internasional.
Setiap kerjasama yang dilakukan oleh setiap negara tentunya harus
disepakati terlebih dahulu oleh para pihak guna mencapai komitmen bersama
yang termuat dalam suatu perjanjian internasional, tidak terkecuali perjanjian
dalam bidang perpajakan. Transaksi antar ke dua negara atau beberapa
negara dapat menimbulkan aspek perpajakan, hal ini perlu diatur dan
disepakati oleh kedua negara atau seluruh dunia guna meningkatkan
perekonomian dan perdagangan kedua negara, agar tidak menghambat
investasi penanaman modal asing akibat pengenaan pajak yang memberatkan
wajib pajak yang berkedudukan di kedua negara yang mengadakan transaksi
tersebut.

Untuk itu perlu adanya kebijakan perpajakan internasional dalam hal


mengatur hak pengenaan pajak yang berlaku disuatu negara, dengan asumsi
bahwa disetiap negara dapat dipastikan sudah mengatur ketentuan pajak
dalam wilayah yang menjadi kedaulatannya. Namun setiap negara tidak bebas
mengatur pengenaan pajak terhadap badan atau warga negara asing, pajak
internasional merupakan salah satu bentuk hukum internasional, dimana
setiap negara harus tunduk pada kesepakatan dunia internasional yang
dikenal dengan istilah konvensi wina.

Konsep Dasar Perpajakan Internasional

Indonesia merupakan bagian dari dunia internasional yang sudah pasti


dalam menjalankan roda pemerintahannya melakukan hubungan
internasional. Indonesia sebagai negara berdaulat memiliki hak untuk
membuat ketentuan tentang perpajakan. Fungsi dari pajak yang ditarik oleh
pemerintah ini utamanya adalah untuk membiayai kegiatan pemerintahan
dalam rangka menyediakan barang dan jasa publik yang diperlukan oleh
seluruh rakyat Indonesia. Di samping itu, pajak juga berfungsi untuk
mengatur perilaku warga negara untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu.
Hubungan internasional dapat berupa kerjasama di bidang keamanan
pertahanan, kerjasama di bidang sosial, ekonomi, budaya dan lainnya, namun
pembahasan ini terbatas pada kegiatan ekspor maupun impor (Transaksi
Perdagangan Internasional) yang terkait dengan pajak internasional.

Setiap kerjasama yang dilakukan oleh setiap negara tentunya harus


disepakati terlebih dahulu oleh para pihak guna mencapai komitmen bersama
yang termuat dalam suatu perjanjian internasional, tidak terkecuali perjanjian
dalam bidang perpajakan. Transaksi antar ke dua negara atau beberapa
negara dapat menimbulkan aspek perpajakan, hal ini perlu diatur dan
disepakati oleh kedua negara atau seluruh dunia guna meningkatkan
perekonomian dan perdagangan kedua negara, agar tidak menghambat
investasi penanaman modal asing akibat pengenaan pajak yang memberatkan
wajib pajak yang berkedudukan di kedua negara yang mengadakan transaksi
tersebut.

Untuk itu perlu adanya kebijakan perpajakan internasional dalam hal


mengatur hak pengenaan pajak yang berlaku disuatu negara, dengan asumsi
bahwa disetiap negara dapat dipastikan sudah mengatur ketentuan pajak
dalam wilayah yang menjadi kedaulatannya. Namun setiap negara tidak bebas
mengatur pengenaan pajak terhadap badan atau warga negara asing, pajak
internasional merupakan salah satu bentuk hukum internasional, dimana
setiap negara harus tunduk pada kesepakatan dunia internasional yang
dikenal dengan istilah Konvensi Wina.

Latar belakang terjadinya perpajakan internasional dikarenakan


semakin meningkatnya arus investasi, perdagangan, dan mobilitas
sumber daya manusia yang tidak lagi mengenal batas Negara. Hal ini
berdampak adanya permasalahan disisi perpajakan sebab setiap
Negara mempunyai peraturan sendiri untuk aturan perpajakannya
(atas penduduk atau bukan pendduk), prinsip ini berpengaruh terhadap
subjek dan objek pajak luar negeri.

Prof. Dr. Ottmar Buhler

Hukum pajak internasional dalam arti sempit adalah kaedah-kaedah (norma)


hukum perselisihan (kolisi) yang didasarkan pada hukum antar bangsa
(hukum internasional). Sedangkan dalam arti luas hukum pajak internasional
adalah kaedah-kaedah hukum antar bangsa ditambah peraturan nasiomal
yang mempunyai sebagai objek hukum kolisi dalam bidang perpajakan.

Definisi Perpajakan Internasional

Definisi perpajakan Internasional menurut :

Prof. Dr.P.J.A.Adriani

Hukum pajak internasional adalah keseluruhan peraturan yang mengatur


tata tertib hukum dan yang mengatur soal penyedotan daya beli itu di
masyarakat. Hukum pajak internasional merupakan suatu kesatuan hukum
yamh mengupas suatu persoalan yang diatur dalam undang-undang nasional
mengenai :

 Pemajakan terhadap orang-orang luar negeri,


 Peraturan-peraturan nasional untuk menghindarkan pajak berganda
 Traktat-traktat

Anglo Sakson
Di negara-negara Anglo Sakson berlaku pengertian yang terperinci tentang
hukum pajak internasional, yang dibedakan antara :

National External Tax Law (Auszensteuerrecht)


Merupakan bagian dari hukum pajak nasional yang memuat mengenai
peraturan perpajakan yang mempunyai daya kerja sampai di batas luar negara
karena terdapat unsur-unsur asing, baik mengenai objeknya (sumber ada di
luar negeri) maupun terhadap subjeknya (subjek ada di luar negeri)

Foreign Tax Law (Auslandisches Steuerrecht)


Adalah mencakup keseluruhan perundang-undangan dan peraturan-
peraturan pajak dari negara-negara yang ada di seluruh dunia. Foreign tax law
berguna sebagai bahan perbandingan dalam melakukan comparative tax law
study ketika akan melakukan perjanjian perpajakan dengan negara lain.
International Tax Law
Dalam arti sempit diartikan bahwa hukum pajak internasional merupakan
keseluruhan kaedah pajak berdasarkan hukum antar negara seperti traktat-
traktat, konvensi, dll yang semata-mata berdasarkan sumber-sumber asing.
Sedangkan dalam arti luas adalah keseluruhan kaedah baik yang berdasarkan
traktat, konvensi, dan prinsip hukum pajak yang diterima negara-negara
dunia, maupun kaedah-kaedah nasional yang objeknya adalah pengenaan
pajak yang mengandung adanya unsur-unsur asing, yang dapat menimbulkan
bentrokan hukum antara dua negara atau lebih.

Macam-Macam Pajak Berganda (Double Taxation)


Pajak berganda dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
1. Pajak berganda nasional (national double taxation)
Adalah pajak yang dikenakan lebih dari satu kali terhadap objek yang sama
oleh suatu negara.
2. Pajak berganda internasional (international double taxation)
Adalah pajak yang dikenakan lebih dari satu kali terhadap objek yang sama
oleh lebih dari satu negara, dengan kata lain pajak berganda internasional
timbul karena :
a. Ada lebih dari satu negara yang memungut pajak
b. Dikenakan terhadap objek yang sama
Untuk menghindari adanya pajak berganda internasional maka diadakan
perjanjian penghindaran pajak berganda (agreement for the avoidance of
double taxation and the prevention of tax evasion) atau dikenal dengan istilah
tax treaty

Asas Pemajakan Internasional :

1. Asas Domisili

Subjek pajak dikenakan pajak di Negara tempat subjek pajak berdomisili.


Indonesia menganut asas ini.

2. Asas Sumber

Pajak dikenakan berdasarkan tempat sumber penghasilan berasal.

3. Asas Kewarganegaraan

Pengenaan pajak dikenakan atas status kewarganegaraannya walaupun


penghasilan diterima dari Negara lain. Amerika menganut asas ini.

4. Asas Campuran

Campuran dari kedua asas di atas.

5. Asas Teritorial

Pajak dikenakan atas penghasilan yang diperoleh dalam wilayah suatu


Negara sehingga jika atas penghasilan yang diperoleh diluar Negara tersebut
tidak dikenakan pajak.
Prinsip-prinsip pemajakan berbeda yang dianut masing-masing Negara
merpakan penyebab munculnya Pajak Berganda Internasional. Penghindaran
pajak berganda di suatu Negara dapat dilakukan dengan menerapkan metode
kredit pajak dan metode pengecualian.

Pada dasarnya, pajak internasional berlandaskan pada ketentuan


pemajakan domestik yang berlaku terhadap wajib pajak dalam negeri yang
memperoleh penghasilan dari Indonesia. Selain pada ketentuan domestic,
pajak internasional juga berlandaskan pada perjanjian perpajakan dan praktik
perpajakan global (Gunadi, 1997)

Dimensi pajak internasional meliputi aturan pajak internasional yang


ada dalam UU Pajak Indonesia, atran perpajakan yang ada di UU Pajak Negara
lain yang bersinggungan serta persetujuan penghindaran pajak (tax treaty)
yang telah dibuat Indonesia dengan Negara lain.

Dimensi Perpajakan Internasional

Secara umum ketentuan pajak internasional suatu negara meliputi dua


dimensi yaitu:

1. Pemajakan terhadap wajib pajak dalam negeri (WPDN) atas penghasilan


dari luar negeri.
2. Pemajakan terhadap wajin pajak luar negeri (WPLN) atas penghasilan
dalam negeri ( domestik).

Dimensi pertama merujuk pada pemajakan atas penghasilan dari dalam negeri
(domestik). Dimensi pertama merujuk pada pemajakan atas penghasilan luar
negeri atau transaksi keluar batas (outward) karena pada umumnya
melibatkan eksportasi modal ke manca negara sedangkan dimensi kedua
menunjuk pada pemajakan atas penghasilan domestik atau transaksi ke
dalam batas negara (inward). Karena umumnya melibatkan importasi modal
dari manca negara.
Dalam aplikasinya pemajakan penghasilan luar negeri dilakukan oleh negara
domisili (residence country), sedangkan pemajakan penghasilan domestic
dilakukan oleh negara sumber (source country).

Domisili Fiskal

Domisili fiskal adalah status kependudukan yang digunakan untuk tujuan


pemajakan. Pemajakan untuk penduduk umumnya dikenakan dengan prinsip
world wide income (pajak akan dikenakan dinegara domisili, baik penghasilan
yang diterima/diperoleh dari dalam negeri maupn yang diterima/diperoleh
dari luar negeri. Sesuai dengan pasal 4 ayat (1) UU PPh).

Pemajakan bukan penduduk umumnya dikenakan di Negara sumber hanya


atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Negara tersebut.

UU PPh tidak melihat status subjek pajak orang pribadi berdasarkan


kewarganegaraan, namun lebih kepada :

1. Tempat tinggal

2. Berapa lama berada di Indonesia, dan

3. Adanya niat untuk bertempat tinggal di Indonesia

Subjek Pajak Dalam Negeri

Sesuai pasal 2 ayat (3) UU PPh, criteria dari subjek pajak dalam negeri
adalah sebagai berikut:

· Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi wajib pajak apabila telah
menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi PTKP. Orang
pribadi bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu
12 bulan, orang pribadi yang dalam sat tahun pajak berada di Indonesia, dan
mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.
· Subjek pajak dalam negeri menjadi wajib pajak sejak saat didirikan
atau bertempatkedudukan di Indonesia.

Subjek Pajak Luar Negeri

Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, berada di


indonesia tidak lebih dari 183 hari selama jangka waktu 12 bulan, dan
badan yang tidak didirikan di Indonesia yang dapat menerima atau
memeroleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Subjek pajak luar negeri, baik orang pribadi maupun badan sekaligus
merpakan wajib pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan
yang bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh
penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui Bentuk Usaha Tetap di
Indonesia.

Wajib pajak luar negeri hanya akan dikenakan pajak atas penghasilan
yang diterima tau diperoleh bersumber dari Indonesia saja. Pasal 26 UU PPh
mengatur tentang potongan pajak sebesar 20% atas oenghasilan wajib pajak
luar negeri.

Tidak Termasuk Objek Pajak

Orang pribadi ata instansi yang tidak termask objek pajak menurut ketentuan
UU PPh adalah:

1.Kantor perwakilan Negara asing

2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau penjabat-penjabat


yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat
bkan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau
memperoleh penghasilan diluar jabatan atau kerjaannya tersebut serta Negara
bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik .

Organisasi-Organisasi Internasional Dengan Syarat :

1.Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut

2.Tidak menjalankan usaha atau kegiatan untuk memperoleh penghasilan dari


indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya
berasal dari iuran anggota.

Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional dengan syarat bukan WNI


dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Aspek Perpajakan Internasional Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan

Indonesia sebagai Negara berdaulat memiliki hak untuk membuat


ketentuan tentang perpajakan. Fungsi dari pajak yang ditarik oleh pemerintah
ini utamanya adalah untuk membiayai kegiatan pemerintahan dalam rangka
menyediakan barang dan jasa publik yang diperlukan oleh seluruh rakyat
Indonesia. Di samping itu, pajak juga berfungsi untuk mengatur perilaku
warga Negara untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Salah satu jenis pajak yang berlaku di Indonesia dan memiliki peranan
penting dalam penerimaan negara adalah Pajak Penghasilan (PPh) yang
pertama kali diberlakukan pada tahun 1984 berdasarkan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983.
Pajak Penghasilan adalah pajak subjektif di mana jenis pajak ini bisa
dikenakan apabila syarat subjektif dan objektif terpenuhi bagi orang atau
badan. Pada umumnya hampir semua orang atau badan di Indonesia akan
memenihi syarat subjektif dan jika orang atau badan ini memperoleh
penghasilan maka syarat objektif juga terpenuhi.

Jika subjek pajak yang dikenakan PPh adalah WNI yang penghasilannya
berasal dari Indonesia juga, maka tidak ada aspek pajak internasional dalam
kasus ini. Namun demikian, karena definisi subjek pajak tidak dikaitkan
dengan kewarganegaraan maka terdapat kemungkinan ada warga Negara
asing atau badan asing yang dikenakan kewajiban Pajak Penghasilan di
Indonesia. Dalam kasus seperti ini, Pajak Penghasilan sudah menyentuh
aspek pajak internasional.

Aspek pajak internasional juga akan terjadi bila seorang WNI atau badan
Indonesia menerima atau memperoleh penghasilan dari luar negeri. Hal ini
disebabkan karena Pajak Penghasilan Indonesia menerapkan prinsip
worldwide income sehingga penghasilan dari luar negeri di atas juga
merupakan objek Pajak Penghasilan Indonesia.

Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan (UU


Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36
Tahun 2008).
Soal Teori

1. Terangkan dan Jelaskan Definisi Pajak Internasional?


2. Ada berapa azas Perpajakan Internasional Jelaskan menurut
saudara ?
3. Pajak Internasional bertujuan untuk membagi hak pemajakan
secara adil, sebutkan dan jelaskan dampak ekonomi yang akan
terjadi jika adanya pemajakan berganda?
4. Metode apa saja yang digunakan untuk menghindari perpajakan
Internasional? Dan Jelaskan dengan perhitungan?
5. Sebutkan Perbedaaan WP Luar Negeri dan WP Dalam Negeri,
Jabarkan ?

Tasya Salfira

01012180120

Lat Soal Bab 1

1. Tujuan Perpajakan Internasional, jelaskan dengan dampaknya atas penyimpanngannya?


Tujuan:
- Untuk memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di masing-masing
negara, pemerintah berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan dan
investasi tersebut.
- Masing-masing negara berhak untuk menentukan pajak dalam batas kenegaraannya yang
mengakibatkan perbedaan perpajakan di tiap-tiap negara, selain juga disebabkan perbedaan
budaya dan pemaksaan pajak.
- Perbedaan tersebut meliputi perbedaan dalam penentuan pajak dan penentuan biaya.
Permasalahan

- Transfer Pricing
Transfer Pricing: Kegiatan ini adalah mentransfer laba dari dalam negeri ke perusahaan
dengan hubungan istimewa di negara lain yang tarif pajaknya lebih rendah. Hal ini dapat
dilakukan dengan membayar harga penjualan yang lebih rendah dari harga pasar,
membiayakan biaya-biaya lebih besar daripada harga yang wajar

- Treaty Shoping
Treaty Shopping: Fasilitas di tax treaty justru bukannya menghindarkan pajak
berganda namun malah memberi kesempatan bagi subjek pajak untuk tidak dikenakan
pajak dimana-mana. Misalnya: Investasi SBI di bursa singapura dibebaskan pajak.
Treaty Shopping diredam dengan ketentuan beneficial owner (penerima manfaat)
dalam tax treaty (P3B) baik yang memakai model OECD maupun PBB sehingga tax
treaty hanya berlaku bila penerima manfaat yang sebenarnya adalah residen di negara
yang menandatangani tax treaty.
- Tax Heaven Counties
- Negara-negara yang memberikan keringanan pajak secara agresif seperti tarif pajak
rendah, pengawasan pajak longgar telah membuat penerimaan pajak dari negara-
negara berkembang merosot tajam. Negara tax heaven yang termasuk dalam KMK
No.650/KMK04/1994 antara lain Argentina, Bahrain, Saudi Arabia, Mauritius,
Hongkong, Caymand Island

2. Konsep Word Wide Income, berikan contohnya


Merupakan cakupan perpajakan atas seluruh penghasilan baik yang berasal dari dalam negeri
maupun luar negeri yang diperoleh atau diterima penduduknya.
Ketentuan terkait sistem pajak Worldwide Income, diantaranya:
- PPh dikenakan atas penghasilan yang sumbernya baik dari dalam negeri atau dari luar negeri.
Misalnya, Tuan B merupakan WNI yang memiliki penghasilan yang berasal dari Indonesia
dan Malaysia. Karena negara Indonesia menganut sistem pajak Worldwide Income maka PPh
akan dikenakan atas penghasilan yang diperoleh dari negara Indonesia, maupun berasal dari
Malaysia dikenakan PPh oleh negara Indonesia.
Kelebihan sistem pajak Worldwide Income diantaranya:
- Penerimaan negara stabil
- Diperkenankan mengkreditkan pajak penghasilan yang sudah dikenakan di luar negeri untuk
menghindari pajak berganda
Sedangkan kekurangan sistem pajak Worldwide Income diantaranya:
- Sistem perpajakan rumit
- Tidak banyak digunakan dalam ekonomi global
- Tidak ada insentif untuk memulangkan dana di luar negeri
- Umumnya menggunakan tarif pajak yang tinggi
- Biaya kepatuhan sangat besar

3. Subjek Pajak LN dan DN berdasarkan UU PPh pasal 2 ayat 2, kriterianya,buatlah contoh


perhitungannya
- Subjek Pajak Dalam Negeri berdasarkan UU PPh pasal 2 ayat 3:
Merupakan orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan, orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia, dan
mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia. WNI yang menjadi wajib pajak apabila telah
menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi PTKP. Subjek pajak dalam
negeri menjadi wajib pajak sejak saat didirikan atau bertempatkedudukan di Indonesia.
- Subjek Pajak Luar Negeri (UU PPh Pasal 2 ayat 4:
Merupakan orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat tinggal di Indonesia, yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
Jadi, subjek pajak luar negeri dikenakan pajak di Indonesia ada yang melalui BUT, dan tidak.
Pemajakan atas penghasilan dari Indonesia yang tidak melalui BUT, diatur di Pasal 26
Undang-undang PPh.

Contoh Perhitungan

Pada tahun 2017, Tuan Suparjan (laki-laki, menikah, 3 anak) bekerja sebagai konsultan konstruksi di
Singapura selama 3 bulan. Penghasilan neto yang diterimanya dari Singapura sebesar Rp50.000.000 dan
telah dipotong pajaknya sebesar Rp5.000.000. Selain itu, Tuan Suparjan juga bekerja sebagai pegawai
tetap pada PT Wijaya Konstruksi di Indonesia. Penghasilan neto yang diterimanya dari PT Wijaya
Konstruksi selama tahun 2017 sebesar Rp150.000.000 dan telah dipotong pajaknya sebesar Rp6.700.000.

Dalam kasus ini, Tuan Suparjan masih berstatus sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri karena beliau bekerja
di luar negeri kurang dari 183 hari dalam waktu 12 bulan. Berikut adalah perhitungan pajak penghasilan
yang harus dilaporkan dalam SPT Tahunan Tuan Suparjan:

Penghasilan Neto dari Singapura 50.000.000

Penghasilan Neto Dalam Negeri 150.000.000

Penghasilan Neto 200.000.000

PTKP (K/3) (72.000.000)

Penghasilan Kena Pajak 128.000.000

PPh Terutang:

5% x Rp50.000.000 = Rp 2.500.000

15% x Rp78.000.000 = Rp11.700.000

Rp14.200.000

Kredit Pajak:

PPh Pasal 21 = Rp 6.700.000

PPh Pasal 24
Rp 50.000.000 x Rp14.200.000 = Rp 3.550.000 (Rp10.250.000)

Rp200.000.000

PPh Kurang Dibayar Rp 3.950.000

(harus disetor sendiri oleh Tuan Suparjan)

4. Sebutkan WP yg bukan Subjek Pajak?


Orang pribadi maupun lembaga yang tidak termasuk objek pajak menurut UU PPh adalah:
- Kantor perwakilan Negara asing
- Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat yang bekerja pada dan bertempat tinggal
dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau
memperoleh penghasilan diluar jabatan atau kerjaannya tersebut serta Negara bersangkutan
memberikan perlakuan timbal balik.

5. Metode apa saja yang digunakan untuk menghindari perpajakan berganda Internasional? Dan
Jelaskan dengan perhitungan?

- Metode Pemajakan Unilateral

Metode ini mengatur bahwa Negara Republik Indonesia mempunyai kekuatan hukum di
dalamnya yang mengatur masyarakat atau badan internasional, dan ditetapkan sepihak
oleh Negara Indonesia sendiri, dengan kata lain tidak ada yang bisa mengatur negara kita
karena hal itu merupakan kewibawaan dan kedaulatan negara kita.

- Metode Pemajakan Bilateral

Metode ini dalam penghitungan pemajakannya harus mempertimbangkan perjanjian ke


dua negara (tax treaty). Indonesia tidak dapat sesuka hati menerapkan jumlah pajak
terutang penduduk asing atau badan internasional dua negara yang telah mengadakan
perjanjian. Justru peraturan perpajakan Indonesia tidak berlaku bilamana terdapat tax
treaty.

- Metode Pemajakan Multilateral

Metode ini didasarkan pada konvensi internasional yang ketentuan atau ketetapan atau
keputusan yang dihasilkan untuk kepentingan banyak negara yang ditandatangani oleh
berbagai negara, misalnya Konvensi Wina. Penerapan metode ini adalah dengan
diberlakukannya Pasal 3 UU PPh, dimana setiap kedutaan asing, organisasi internasional
dibawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), dan penduduk asing yang bekerja
di tempat tersebut, bukan subjek pajak di Indonesia, artinya pemajakannya tetap berada di
negara mana mereka berdomisili.

Bab 2
Bentuk Usaha Tetap ( BUT )

Permanent establishment atau dalam bahasa Indonesia Bentuk Usaha


Tetap [BUT] adalah istilah penting dalam perpajakan internasional karena
berkaitan dengan taxing right atau hak pemajakan. Pengertian BUT dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan terdapat pada BAB II Pasal 2 ayat (5) adalah sebagai berikut:
William ( dalam Bischel, 1978) dan Patrick (dalam Helawel,1980)
menyatakan bahwa istilah permanent establishment (PE) lebih merupakan
ambang batas (threshold) atau kriteria yang yang memungkinkan suatu
negara sumber untuk secara legal dapat memajaki penghasilan dari bisnis
transnasional.

Sebagai ambang batas, maka setiap usaha dan kegiatan transnasional


yang belum memenuhi atau berada dibawah kriteria BUT dibebaskan dari
pengenaan pajak di negara sumber.

Hal ini bukan berarti penghasilan tersebut bebas dari pemajakan dengan
alas an bahwa sesuai dengan kelaziman internasional, misalnya ketentuan
Pasal 7 OECD Model, penghasilan tersebut hanya dikenakan pajak oleh negara
domisili pengusaha aktivitas pemberi penghasilan tersebut secara siginifikan
masih dijalankan dinegara dimaksud.
Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:

1. tempat kedudukan manajemen;


2. cabang perusahaan;
3. kantor perwakilan;
4. gedung kantor;
5. pabrik;
6. bengkel;
7. gudang;
8. ruang untuk promosi dan penjualan;
9. pertambangan dan penggalian sumber alam;
10. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
11. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
12. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
13. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain,
sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan;
14. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya
tidak bebas;
15. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi
asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan
16. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki,
disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik
untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
Objek Pajak Bentuk Usaha Tetap

1. penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut


dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai;
2. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan
barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang
dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;
3. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau
diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara
bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan
penghasilan dimaksud.

Wujud BUT bisa dibedakan menjadi:


1. BUT Fisik, suatu tempat usaha (Place of Busines) yaitu fasilitas yang
dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin mesin dan
peralatan. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan
dan tidak berkedudukan di Indonesia.
2. BUT Aktivitas: suatu aktivitas bersifat permanen yang dilakukan di
negara lain dan telah melebihi batas waktu tertentu (time test yang
diatur dalam UU PPh dan dalam tax treaty. Aktivitas tersebut bisa
berupa pelaksanaan berbagai macam jasa (seperti jasa konstruksi
atau jasa lainnya). Jangka waktu time test yang digunakan dapat
berbeda-beda antara tax treaty dan tax treaty yang lain. Semuanya
akan disesuaikan dengan kesepakatan dari kedua belah pihak.
3. BUT Keagenan: Orang pribadi atau badan selaku agen yang
berkedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama
orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak
bertempat kedudukan di Indonesia. Sedangkan agen, broker atau
perantara yang mempunyai kedudukan bebas yang dalam
kenyataannya bertindak sepenuhnya menjalankan usaha sendiri tidak
dianggap sebagai BUT.
4. BUT Asuransi: Perusahaan asuransi yang didirikan dan betempat
kedudukan di luar Indonesia yang. Sedangkan agen, broker atau
perantara yang mempunyai kedudukan bebas yang dalam
kenyataannya bertindak sepenuhnya menjalankan perusahaannya
sendiri, tidak sebagmenerima pembayaran premi asuransi di
Indonesia atau menanggung resiko di Indonesia melalui pegawai,
perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di
Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko
tersebut terjadi di Indonesia. Yang terpenting adalah bahwa pihak
tertanggung bertempat tinggal, berada.

Terminasi BUT
Terminasi BUT dapat terjadi, antara lain karena:
1. Pemekaran menjadi badan anak perusahaan.
2. Pengambilalihan, atau.
3. Penutupan Usaha atau Pembubaran (Likuidasi).

Menurut Undang-undang Pajak Penghasilan, yang dimaksud dengan


bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan manjemen, cabang
perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, dan lain-lain.
Dengan kata lain BUT adalah bentuk kegiatan usaha di Indonesia yang
dimiliki oleh orang atau badan luar negeri.
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat
usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung
termasuk juga mesin-mesin dan peralatan.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia.

Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan
selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas
nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak
bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia
apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang
mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam
kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan
perusahaannya sendiri.

Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar


Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila
perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi di
Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan
atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti
bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang
perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada
atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Kewajiban Pajak BUT

Walaupun BUT termasuk Wajib Pajak Luar Negeri, namun kewajiban


perpajakan BUT hampir sama dengan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri. Suatu
BUT berkewajiban untuk ber NPWP. Apabila memenuhi ketentuan di Undang-
undang PPN, BUT juga wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak (PKP).

Setelah berNPWP dan/atau dikukuhkan sebagai PKP, BUT berkewajiban


menjalankan hak dan kewajiban perpajakan yang sama dengan Wajib Pajak
Dalam Negeri. BUT Wajib menyampaikan SPT PPh Badan, SPT PPh Pasal
21/26, PPh Pasal 23/26, PPh Pasal 22, PPh Pasal 4 ayat (2) dan/atau PPN
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Perbedaan mendasar dalam perlakuian PPh antara Wajib Pajak Badan


Dalam Negeri dan BUT terletak pada :

1. Sumber penghasilan BUT yang dikenakan PPh adalah penghasilan dari


Indonesia saja karena BUT termasuk Wajib Pajak Luar Negeri.

2. Adanya perlakuan khusus tentang penghasilan yang menjadi objek


pajak BUT dan biaya yang boleh dikurangkan bagi BUT yang diatur
dalam Pasal 5 UU PPh.

3. 3. Adanya kewajiban khusus pemotongan PPh Pasal 26 atas Penghasilan


Kena Pajak setelah dikurang pajak di Indonesia sebagaimana diatur
dalam Pasal 26 ayat (4) UU PPh.

Jenis-Jenis Bentuk Usaha Tetap (BUT)


Tipe Fasilitas Fisik (Lihat Pasal 2 ayat (5) huruf a s/d h Undang-Undang
1. Nomor 17 Tahun 2000), terdiri dari :

– Tempat kedudukan manajemen;

– Cabang perusahaan;
– Kantor perwakilan;

– Gedung kantor;

– Pabrik;

– Bengkel;

Pertambangan dan penggalian sumber daya alam, wilayah kerja


– pengeboran untuk eksplorasi pertambangan;

– Perikanan/pertanian/kehutanan/perkebunan.

Keberadaan BUT tipe fasilitas fisik dapat dilihat dari ada atau tidaknya
fasilitas fisik seperti cabang, bengkel, kantor, dsb di negara sumber.

Tipe Aktivitas (Lihat Pasal 2 ayat (5) huruf i dan j Undang-Undang


2. Nomor 17 Tahun 2000), terdiri dari :

– Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;

Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain
yang dilakukan dalam jangka waktu lebih dari 60 hari (kecuali
ditentukan lain dalam tax treaty dengan negara yang bersangkutan)
– dalam jangka waktu 12 bulan.

Keberadaan BUT tipe aktivitas, baik aktivitas konstruksi maupun


pemberian jasa ditentukan dari lamanya (time test) aktivitas tersebut
dilakukan di negara sumber. Penentuan time test tidak melihat pada
formalitas (kontrak) tetapi pada keadaan yang sebenarnya (Pasal 2 ayat
(6) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000)

Misalnya :

Berdasarkan kontrak pemberian jasa, PT BKYZ yang berkedudukan di


Amerika mengirimkan Mr. Zhinx, penduduk Amerika ke Indonesia dari
tanggal 1April 2000 s/d 10 Juni 2000. Namun, pada kenyataannya, Mr.
Zhinx sudah berada di Indonesia sejak bulan Januari 2000. Dengan
demikian, syarat time test yang digunakan dihitung sejak Mr. Zhinx
berada di Indonesia, yaitu sejak bulan Januari 2000.

Tipe Keagenan (Lihat Pasal 2 ayat (5) huruf k Undang-Undang Nomor 17


3. Tahun 2000), terdiri dari :
– Orang atau badan yang bertindak sebagai agen yang kedudukannya
tidak bebas;

Keberadaan BUT tipe keagenan ditentukan oleh ada atau


tidaknya dependent agent di negara sumber.

Tipe Asuransi (Lihat Pasal 2 ayat (5) huruf l Undang-Undang Nomor 17


4. Tahun 2000), terdiri dari :

Agen atau pegawai perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan


– tidak berkedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia.

Keberadaan BUT tipe asuransi difokuskan pada ada atau tidaknya


pemungutan premi dan penanggungan resiko di negara sumber.

Anak Perusahaan Tidak Serta-Merta Sebagai BUT

Berbeda dengan BUT, anak perusahaan merupakan entitas legal mandiri


terpisah dari induk perusahaan walaupun permodalannya dipenuhi dan atau
transaksi usaha atau kegiatannya dikendalikan oleh induk perusahaan.

Anak perusahaan sebagai entitas terpisah dari induk perusahaan WPLN, anak
perusahaan mempunyai eksistensi sendiri dan pada umumnya bukan
otomatis dengan sendirinya merupakan BUT dan WPLN dimaksud.

Namun, apabila berdasarkan kenyataan anak perusahaan tersebut bertindak


sebagai agen dipenden atau mewakili kepentingan induk perusahaan anak
perusahaan tersbut berpeluang untuk mendapat menjadi BUT.
Contoh Kasus 1

Brown Sugar suatu BUT di Indonesia dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp
10.000.000.000. ,-

Perhitungan Pajak Penghasilan Brown Sugar

Penghasilan Kena Pajak 10.000.000.000.

PPh = 25 % x Rp 10.000.000.000. = Rp 2.500.000.000.

PKP Setelah Dikurangi Pajak 7.500.000.000.

PPh 26 ayat 4= 20% x Rp 7.500.000.000 = Rp 1.500.000.000. ( Bersifat Final)

Tarif 20% adalah tariff umum untuk penggenaan PPh 26, namun jika
penghasilan berdomisili di negara treaty partner, maka tarifnya mengikuti
tariff untuk Branch Profit Tax dalam Tax Treaty.

Jika PKP setelah dikurangi Pajak Rp 7.500.000.000. ditanamkan kembali ke


Indonesia maka atas penghasilan tersebut tidak terutang pajak. Sesuai PMK
14/KMK 03./2011.

Contoh Kasus 2

Baklok, Ltd. sebuah perusahaan yang termasuk dalam definisi Badan Usaha
Tetap (BUT) mempunyai bidang usaha konstruksi. Dalam tahun 2013
menerima pembayaran atas jasa konstruksi pembangunan hotel dari PT Langit
Biru mengingat telah memenuhi termin penyelesaian pekerjaan kedua sebesar
50% pada tanggal 8 Oktober 2016 sebesar Rp10.000.000.000,00.

Baklok, Ltd. tidak memiliki Sertifikasi Badan Usaha Jasa Pelaksanaan


Konstruksi yang diterbitkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi
(LPJK).

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang


dilakukan PT Baklok terkait dengan transaksi tersebut?
Jawab:

Atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final. Dalam hal pengguna jasa merupakan pemotong pajak maka
penghasilan dari usaha jasa konstruksi tersebut dipotong oleh pengguna jasa
pada saat pembayaran bagian nilai kontrak jasa konstruksi.

Mengingat PT Baklok tidak memiliki Sertifikasi Badan Usaha Jasa


Pelaksanaan Konstruksi maka besarnya pemotongan Pajak Penghasilan yang
bersifat final atas penghasilan dari jasa konstruksi adalah sebesar:
4% x Rp10.000.000.000,00 = Rp 400.000.000.

Kewajiban PT Langit Biru sebagai pengguna jasa adalah:

1. melakukan pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final atas


penghasilan dari usaha jasa konstruksi sebesar Rp. 400.000.000 dan
memberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final
atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi kepada Baklok, Ltd.;
2. melakukan penyetoran atas pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat
final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi tersebut paling lambat
tanggal 11 November 2016;
3. melaporkan pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final atas
penghasilan dari usaha jasa konstruksi tersebut dalam SPT Masa Pajak
Penghasilan Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak Oktober 2016 paling lambat
tanggal 20 November 2016.

Catatan:

BUT diartikan sebagai bentuk usaha tetap. Mungkin pada bagian soal
terdapat kesalahan tulis, bukan badan usaha tetap tetapi bentuk usaha
tetap seperti lazimnya istilah BUT di perpajakan.

BUT adalah "kendaraan" penghasilan yang diterima oleh subjek pajak luar
negeri. Jika BUT sudah didaftarkan di Badora dan memiliki NPWP maka
kewajiban perpajakannya "seperti" subjek pajak dalam negeri. Inilah alasan
kenapa tidak dipotong PPh Pasal 26.

Contoh Kasus 3
Penghasilan berupa dividen, bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan
sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, royalti, sewa (imbalan
lainnya sehubungan dengan penggunaan harta), imbalan sehubungan dengan
jasa, pekerjaan (kegiatan), hadiah/penghargaan, pensiunan/pembayaran
berkala lainnya, yang diterima oleh kantor pusat (wajib pajak luar negeri) dari
Indonesia, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT-nya dengan harta
atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut.

- Zacka Inc. yang berkedudukan di Amerika menutup perjanjian lisensi


dengan PT Polax untuk mempergunakan merek dagang Zacka Inc. atas
hak tersebut, Zacka Inc menerima royalti dari PT Polax.

- Sehubungan dengan perjanjian tersebut, Zacka Inc memberikan jasa


manajemen kepada PT Polax melalui BUT di Indonesia, dan dalam
rangka pemasaran produk PT Polax yang menggunakan merek Zacka
Inc tersebut.

- Dalam kasus di atas, penggunaan merek dagang oleh PT Polax memiliki


hubungan efektif dengan BUT di Indonesia, sehingga penghasilan
Zacka Inc yang berupa royalti tersebut diperlakukan sebagai
penghasilan BUT.
LAMPIRAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 14/PMK.03/2011

TENTANG

PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK


SESUDAH DIKURANGI PAJAK DARI SUATU BENTUK USAHA TETAP

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum mengenai perlakuan perpajakan atas penanaman
kembali Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 257/PMK.03/2008 tentang Perlakuan
Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, perlu
mengatur kembali perlakuan perpajakan atas penanaman kembali Penghasilan Kena Pajak sesudah
dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak
Sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK
SESUDAH DIKURANGI PAJAK DARI SUATU BENTUK USAHA TETAP.

Pasal 1

(1) Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap
di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
(2) Dalam hal Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap
ditanamkan kembali di Indonesia, penghasilan dimaksud dikecualikan dari pengenaan Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pengecualian dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan apabila
seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap
ditanamkan kembali di Indonesia dalam bentuk:
a. penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia
sebagai pendiri atau peserta pendiri;
b. penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia
sebagai pemegang saham;
c. pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha
Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; atau
d. investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha
Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.

Pasal 2

(1) Seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap
yang ditanamkan kembali di Indonesia yang dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada akhir Tahun Pajak
berikutnya, setelah Tahun Pajak diperolehnya penghasilan tersebut bagi Bentuk Usaha Tetap
yang bersangkutan; dan
b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
mengenai bentuk penanaman modal, realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan dan/
atau saat mulai berproduksi komersial bagi perusahaan yang baru didirikan, yang dilakukan
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(2) Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (3) huruf a, selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia secara aktif telah melakukan
kegiatan usaha sesuai akta pendiriannya, paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut
didirikan; dan
b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan
modal paling sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak perusahaan baru dimaksud
berproduksi komersial.
(3) Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (3) huruf b, selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia mempunyai kegiatan usaha
aktif di Indonesia; dan
b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan
modal paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak penyertaan modal.
(4) Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk:
a. pembelian aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf c; atau
b. investasi berupa aktiva tidak berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf d,
selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak
boleh melakukan pengalihan atas pembelian aktiva tetap atau pengalihan atas investasi berupa aktiva
tidak berwujud, paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak perolehan aktiva tetap atau
investasi aktiva tidak berwujud yang bersangkutan.
(5) Dalam hal persyaratan-persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4), tidak lagi dipenuhi, atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu
Bentuk Usaha Tetap yang terkait, dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(1) terhitung sejak diperolehnya Penghasilan Kena Pajak yang bersangkutan, dan dikenai sanksi sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Pasal 3

(1) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh Penghasilan Kena Pajak
sesudah dikurangi pajak penghasilan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3), wajib
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal yang dilakukan
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan melampirkan pada Surat
Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan.
(2) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis mengenai realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan, kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan melampirkan pada Surat
Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak saat dilakukan realisasi penanaman kembali tersebut.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling sedikit meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. jumlah Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari Bentuk Usaha Tetap
dan Tahun Pajak yang bersangkutan; dan
b. bentuk penanaman kembali, jumlah realisasi penanaman kembali, dan Tahun Pajak dilakukan
realisasi penanaman kembali.
Pasal 4

(1) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh Penghasilan Kena Pajak
sesudah dikurangi Pajak Penghasilan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3)
huruf a wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai saat mulai berproduksi komersial.
(2) Saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah saat perusahaan yang baru
didirikan tersebut telah mulai memproduksi barang untuk dijual bagi perusahaan manufaktur atau saat
perusahaan mulai melakukan penjualan barang dan/atau jasa bagi perusahaan selain manufaktur.
(3) Keputusan tentang saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap terdaftar atas nama Direktur
Jenderal Pajak berdasarkan hasil penelitian Kantor Pelayanan Pajak dimaksud, paling lama 6 (enam)
bulan setelah Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap meyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai
saat berproduksi komersial.
(4) Penetapan saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan berdasarkan
keadaan sebenarnya dengan memperhatikan saat mulai berproduksi komersial yang disampaikan oleh
Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak
tidak menerbitkan surat keputusan tentang saat berproduksi komersial, saat berproduksi komersial
adalah berdasarkan pemberitahuan tertulis yang disampaikan oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap
yang bersangkutan.

Pasal 5

Dalam hal induk perusahaan dari Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap adalah Wajib Pajak dalam negeri dari negara
yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan Indonesia, besarnya tarif untuk
menghitung Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) adalah sebagaimana ditentukan
dalam Persetujuan Penghindaran Pajak yang berlaku.

Pasal 6

Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final, dasar pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(1) adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dilakukan koreksi fiskal,
dikurangi dengan jumlah Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Pasal 7

Tata cara pemberitahuan secara tertulis oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 dan Pasal 4 ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 8

Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 257/PMK.03/2008
tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha
Tetap, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 9

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Januari 2011
MENTERI KEUANGAN,

ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan Di Jakarta
pada tanggal 24 Januari 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

ttd.

PATRIALIS AKBAR

Tasya Salfira

01012180120

Lat Soal Bab 2

1. Sebutkan kriteria Bentuk Usaha Tetap


 Adanya suatu tempat usaha di Indonesia
 Tempat usaha bersifat permanen
 Tempat usaha digunakan orang pribadi asing atau badan hukum untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan.
Di samping itu, ada bentuk usaha lain yang dianggap sebagai BUT meskipun tidak memenuhi tiga
kriteria tersebut. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam beleid itu menyebutkan 4 jenis
bentuk usaha yang dianggap sebagai BUT tanpa harus memenuhi 3 kriteria itu, diantaranya:

 Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan.


 Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih
dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan
 Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas.
 Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia yang menenma premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.

2. Perbedaan WP Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap


Menurut Pasal 2 ayat 5 UU Nomor 36 Tahun 2008, Bentuk Usaha Tetap adalah bentuk usaha
yang digunakan subjek pajak luar negeri untuk menjalankan usaha/ melakukan kegiatan di
Indonesia.

Sedangkan menurut UU KUP pasal 1 angka 3, pengertian Badan adalah sekumpulan orang
dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak
melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
BUMN/ BUMD dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi
lainnya, lembaga, dan bentuk hukum lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk
usaha tetap.

Dalam UU Pajak Penghasilan Pasal 2 ayat 1a dan PER 43 tahun 2011, dinyatakan bahwa BUT
merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak
badan. jadi pada dasarnya terdapat perbedaan antara perlakuan perpajakan antara BUT dan subjek
pajak badan dalam negeri. Perbedaan antara BUT dengan subjek pajak badan adalah sebagai
berikut:

Keterangan Subjek Pajak/WP Badan Bentuk Usaha Tetap


Status Subjek Pajak Subjek Pajak Dalam Subjek Pajak Luar Negeri
Negeri
Pendirian Badan Usaha Di Indonesia Di Luar Negeri
Dokumen Pendirian Akte Pendirian Tidak Ada
Perusahaan
Domisili di Indonesia Melebihi Time Test 183 Ditentukan oleh Time Test
hari Dalam Jangka Waktu BUT Sesuai Pasal 5 (2)
12 Bulan P3B
Penghasilan Worldwide Income. Dari Indonesia saja
Penghasilan yang meliputi: Attributable
bersumber dari Indonesia Income, Force of
maupun Luar Negeri Attraction Income &
Effectively Connected
Income.
Tarif Pajak - Pasal 17 - Pasal 17
- Fasilitas Pasal 31E - Tanpa Fasilitas
- Berlaku PP23 Pasal 31E
- Tidak Berlaku
PP23
Deductible Expenses Pasal 6 Ayat 1 Pasal 6 Ayat 1 dan Pasal 4
Ayat 2; biaya-biaya atas
Force of Attraction
Income dan Effectively
Connected Income, dan
biaya administrasi kantor
pusat
Non-Deductible Expense Pasal 9 Pasal 9 dan Pasal 5 Ayat
3; biaya – biaya atas
pembayaran ke kantor
pusat berupa royalti,
imbalan sehubungan
dengan jasa manajemen
dan jasa lainnya, dan
bunga (kecuali bunga yang
berkenan dengan usaha
perbankan)
Dividen - Pasal 4 Ayat 2 - PPh 26 Ayat 4
sebesar 10% untuk sebesar 20% atas
Wajib Pajak Orang laba usaha setelah
Pribadi dikurangi PPh,
- Pasal 15 sebesar atau
15% untuk Wajib - Sebesar tarif P3B
Pajak Badan atas laba usaha
- Pasal 4 Ayat 3, setelah dikurangi
dividen bukan PPh jika kantor
objek pajak jika pusat adalah treaty
penyertaan partner.
sekurang- - Branch profit tax
kurangnya 25% tidak dikenakan
dalam hal laba
usaha setelah pajak
ditanamkan
kembali di
Indonesia
Saat Dimulainya Sejak saat didirikan atau Sejak menerima dan/ atau
Kewajiban Perpajakan bertempat kedudukan di memperoleh penghasilan
Indonesia yang bersumber dari
Indonesia
Saat Berakhirnya Pada saat dibubarkan atau Saat tidak lagi
Kewajiban Perpajakan tidak lagi berkedudukan di menjalankan usaha atau
Indonesia melakukan kegiatan di
Indonesia
Tax Treaty Dapat menikmati tax Tidak dapat menikmati tax
treaty Indonesia dengan treaty Indonesia dengan
negara treaty partner negara treaty partner
lainnya karena BUT bukan
penduduk Indonesia.
Karena statusnya sebagai subjek pajak luar negeri, BUT tidak dapat menerima fasilitas
perpajakan layaknya subjek pajak dalam negeri seperti pasal 31E dan tidak dapat menggunakan
tarif pajak final PP23 atas peredaran bruto tertentu. BUT juga tidak dapat menikmati tax treaty
Indonesia dengan negara treaty partner lainnya karena bukan merupakan residen di Indonesia.
Pajak atas deviden – poin 9 juga sangat berbeda perlakuannya antara subjek pajak dalam negeri
dengan BUT. Prinsip pengakuan penghasilan, biaya yang dapat dikurangkan, biaya yang tidak
dapat dikurangkan juga memiliki perbedaan yang mendasar antara BUT dan subjek pajak badan
dalam negeri.

3. Buat Contoh Perhitungan BUT, bagaimana perlakuannya sesuai dgn PMK 14./2011
PKP BUT di Indonesia Rp. 17.500.000.000
Pajak Penghasilan 22% x Rp 17.500.000.000 (Rp 3.850.000.000)
PKP setelah dikurangi pajak Rp. 13.650.000.000
Pajak Penghasilan yang dipotong
20% x Rp. 13.650.000.000 Rp. 2.730.000.000
Apabila penghasilan kena pajak setelah dikurangi pajak tersebut (sebesar 13.650.000.000)
ditanamkan kembali di Indonesia, atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak. (PMK
14/KMK 03./2011)
Bab V
PPh Pasal 24 dan PPh Pasal 26
PPh 24= WP DN memiliki menghasilkan
Diluar Negeri
Prinsip pemajakan di Indonesia adalah World Wide Income, Penghasilan
dari negara manapun harus dimasukan dalam perhitungan SPT ( digabung
dengan penghasilan dalam negeri).

PENGHASILAN DIBAWAH MASUK KE INDO

PPh Dipotong di Luar Negeri DAPAT DIKREDITKAN ARTINYA BISA JADI


PENGURANG PAJAK DI INDO

Pajak Penghasilan Pasal 24 (PPh Pasal 24) isinya mengatur mengenai


hak wajib pajak untuk memanfaatkan kredit pajak mereka di luar negeri (jika
ada).

Pajak Penghasilan Pasal 24 ini bertujuan agar wajib pajak tidak


dikenakan pajak ganda. Dalam artian, pajak yang telah dibayarkan di luar
negeri oleh wajib pajak dapat menjadi pengurang nilai pajak terutang yang
wajib pajak miliki di Indonesia.

Sumber penghasilan dari luar negeri yang dapat menjadi pengurang pajak di
dalam negeri adalah:

 Penghasilan dari saham dan surat berharga lainnya.


 Pendapatan lain berupa bunga, royalti, dan sewa yang berkaitan
dengan penggunaan harta benda bergerak.
 Jasa imbalan yang berhubungan dengan jasa, pekerjaan dan
kegiatan.
 Keuntungan dari pengalihan saham dan surat berharga lainnya.
 Pendapatan yang berupa sewa terkait dengan penggunaan harta
benda tidak bergerak.
 Keuntungan dari pengalihan harta tetap.

Rumus PPh 24
BESARNYA KREDIT PAJAK YANG DIPERBOLEHKAN

1.Total PPh terutang = Tarif Pasal 17 x PKP (Penghasilan Kena Pajak DN +LN).

2. Kredit Maksimum = Penghasilan dari luar negeri x Total PPh terutang

Total Penghasilan Kena Pajak

3. Pajak Penghasilan yang terutang atau di bayar di Luar Negeri.

*** Total Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan dr LN + DN.

*** Pajak yg dibayar di LN= Tarif Pajak LN x Penghasilan LN.

*** Terkecil antara yang sudah di bayar di LN dgn Kredit Maksimum


( Besarnya Kredit Pajak yg diperbolehkan) .

Contoh:

PT KIKI memperoleh penghasilan sbb:

• Penghasilan di Dalam negeri 500.000.000.


• Penghasilan dr Luar negeri 500.000.000. (tarif pajak 20%)
• Jumlah penghasilan Neto 1.000.000.000

Total PPh terutang = 22 % x Rp 1 M = Rp 220.000.000.

Kredit Maksimum = 500 Juta x 220 Juta = Rp 110 Juta.

1M

• PPh di bayar di LN = 20 % x Rp 500 Juta = Rp 100 Juta.


• Maka Kredit Pajak Luar negeri yg diperbolehkan PPh 24 = Rp 100
Juta

Perbandingan yg terkecil antara Kredit Maksimum dgn PPh dibayar di


LN

• Jika terjadi pengurang atau pengembalian pajak atas penghasilan yg


dibayar di LN sehingga besarnya pajak yg dapat dikreditkan di Indonesia
menjadi lebih kecil dari pada perhitungan semula.

Soal

PT Kagak Mau Rugi memperoleh penghasilan 2017:


Dinegara P, memperoleh penghasilan berupa laba usaha Rp 300.000.000 (tarif
20%)
Dinegara Q, memperoleh penghasilan berupa laba usaha Rp 400.000.000 (tarif
25%)
Dinegara R, memperoleh penghasilan berupa rugi usaha (Rp 100.000.000) (tarif
35%)
Didalam negeri, memperoleh penghasilan berupa laba usaha Rp 500.000.000
Peredaran bruto Rp 24.000.000.000

Diminta:

a. Berapa kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan (PPh pasal 24) PT Kagak
Mau Rugi ?
b. Berapa kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan (PPh pasal 24) jika Pemilik
perusahaan tsb atas nama pribadi Tn Ahmad sudah menikah dan mempunyai 3
anak (K/3) ?

A. Penghasilan: Negara P Rp 300.000.000.


Negara Q 400.000.000.
Negara R 100.000.000 (Diabaikan)
DN 500.000.000.
Total 1.200.000.000.

PPh terutang= 4,8 M/24 M x 1.200.000.000= 240.000.000x 12,5%= 30. Jt.


(1,2 M- 240 jt) x 25% = 240 jt
Jumlah 270 Jt.

Negara P”
Batas Maks= 300jt/1,2 M x 270 juta= Rp 67.500.000.
Sudah di potong di LN 20%x 300jt = 60.000.000.
PPh 24= 60 jt.

Negara Q

Batas Maks= Rp 400/1,2 M x 270 juta= 90 juta.


Sudah dipotong di LN pajak 25% x 400jt= 100 juta.

PPh 24= 90 juta,


Jumlah Pajak 270.000.000.

Kredit Pajak

PPh 23 (20.000.000.)

PPh 25 (10.000.000.)

PPh 24. (60.000.000) P

PPh 24 (90.000.000) Q

Total Kredit Pajak 180.000.000.

PPh Terutang 90.000.000.--> bayar di Indo

B. Tn Ahmad. PKP=1.200.000.000. – 72.000.000. = 1.128.000.000.


PPh terutang= 5% x 50 juta.= 2,5 juta,
15% x 200 juta= 30 juta.
25% x 250 juta= 62.500.000.
30% x 628 jt= 188.400.000.
Jumlah 283.400.000.

Negara P
Batas Maks= 300jt/1,2 M x 283.400.000= Rp 70.850.000.
Sudah dipotong di LN 60.000.000.
PPh 24= 60 juta.

Negara Q
Batas maks= 400/1,2 M x 283.400.000= 94.466.000.
Sudah di potong di LN 100.000.000.
PPh 24= 94.466.000.

Pajak Terutang Kredit Pajak PPh 21= 10 juta, PPh 23= Rp 20 juta. PPh 25= 10
juta,

PPh terutang 283.400.000.

PPh 21 (10.000.000.)

PPh 23 (20.000.000.)
PPh 25 (10.000.000.)

PPh 24. (60.000.000) P

PPh 24 (94.466.000) Q

PPh KB 88.934.000.

PERUBAHAN BESARNYA PENGHASILAN LUAR NEGERI

• Terjadi perubahan besarnya penghasilan dr Luar Negeri, WP Harus


melakukan pembetulan SPT utk Tahun Pajak yang bersangkutan.
• Jika surat pemberitahuan menjadi kan Utang Pajak menjadi lebih besar,
maka dikenakan sangsi 2 (dua) persen per bulan atas jumlah yang
kurang bayar KUP pasal 8

SOAL

Pada tahun 2006 PT A memperoleh penghasilan neto dalam negeri: 1,000 dan dari
luar negeri: 500 (membayar pajak di luar negeri 20%è 100), Pajak di Indonesia:
worldwide income, tarif tunggal 30%.

Hitunglah beban pajak PT A pada tahun 2006.

Pajak Penghasilan Dalam Negeri & Luar Negeri = (1.000+500) x 30 %= Rp 450.

Batas Maksimum PPh LN= 500/1.500 x Rp 450.= Rp 150.

PPh yang sudah dibayar di LN = Rp 100.

PPh 24 yang dapat dikreditkan = Rp 100.

Pajak Penghasilan Dalam Negeri & Luar Negeri = (1.000+500) x 30 %= Rp 450.

PPh 24 - 100.

PPh Terutang 350

PPh Pasal 26
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas
penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak (WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya
dipersamakan dengan subjek pajak badan. Negara domisili dari Wajib Pajak
luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah Negara tempat tinggal atau
tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima
manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).

Pemotong PPh Pasal 26

1. Badan Pemerintah;
2. Subjek Pajak dalam negeri;
3. Penyelenggara Kegiatan;
4. BUT;
5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT di Indonesia.
6. Pada hakekatnya bersifat Final.
7. Penyetoran PPh 26 selambat-lambatnya tgl 10 bulan berikutnya.
8. Pelaporan PPh 26 selambat-lambatnya tgl 20 bulan berikutnya.

SIFAT DAN PEMOTONGAN

• Pada hakekatnya bersifat Final.


• Penyetoran PPh 26 selambat-lambatnya tgl 10 bulan berikutnya.
• Pelaporan PPh 26 selambat-lambatnya tgl 20 bulan berikutnya.
• PPh 26 yaitu orang pribadi dgn status sbg subjek pajak luar negeri
yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam bentuk apapun.

SUBJEK PAJAK PPh 26

 PPh 26 yaitu orang pribadi dgn status sbg subjek pajak luar negeri yang
menerima atau memperoleh penghasilan dalam bentuk apapun.
 Tinggal di Indonesia dibawah 183 hari.

Tarif dan Objek PPh Pasal 26

1. 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak Luar Negeri berupa :
a. dividen;
b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
g. Premi swap dan transaksi lindung lainnya; dan/atau
h. Keuntungan karena pembebasan utang.
2. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa :
a. penghasilan dari penjualan harta di Indonesia;
b. premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung
maupun melalui pialang kepada perusahaan asuransi di luar
negeri.
3. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto atas penjualan atau
pengalihan saham perusahaan antara conduit company atau spesial
purpose company yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara
yang memberikan perlindungan pajak yang mempunyai hubungan
istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia atau BUT di Indonesia;
4. 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari
suatu BUT di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan
kembali di Indonesia.
5. Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara
Indonesia dengan negara pihak pada persetujuan.

1. PPh pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau


akhir bulan terutangnya penghasilan, tergantung yang mana terjadi
lebih dahulu.
2. Pemotong PPh pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh pasal 26
rangkap 3 :
a. lembar pertama untuk Wajib Pajak luar negeri;
b. lembar kedua untuk Kantor Pelayanan Pajak;
c. lembar ketiga untuk arsip Pemotong.
3. PPh pasal 26 wajib disetorkan ke bank Persepsi atau Kantor Pos dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP), paling lambat tanggal 10
bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.
4. SPT Masa PPh Pasal 26, dengan dilampiri SSP lembar kedua, bukti
pemotongan lembar kedua dan daftar bukti pemotongan disampaikan ke
KPP setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.

Contoh: Pemotongan PPh Pasal 26 dilakukan tanggal 24 Mei 2009,


penyetoran paling lambat tanggal 10 Juni 2009 dan dilaporkan ke Kantor
Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 Juni 2009.

Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 26
bertepatan degan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional,
penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Pengecualian
1. BUT dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 apabila Penghasilan
Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari BUT ditanamkan
kembali di Indonesia dengan syarat:
a. Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena
pajak setelah dikurangi PPh dalam bentuk penyertaan modal pada
perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia
sebagai pendiri atau peserta pendiri, dan;
b. dilakukan dalam tahun berjalan atau selambat-lambatnya tahun
pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperoleh
penghasilan tersebut;
c. tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut
sekurangkurangnya dalam waktu 2 (dua) tahun sesudah
perusahaan tempat penanaman dilakukan, mulai berproduksi
komersil.
2. Badan-badan Internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Soal 1

Kasus dan Pertanyaan:

Mike adalah karyawan asing pada perusahaan PT Dira Consulting. Mike


tinggal di Indonesia kurang dari 183 hari. Mike sudah beristri dan mempunyai
seorang anak. Pada bulan april 2016 Mike memperoleh gaji sebesar
US$10.000 sebulan. Kurs yang berlaku adalah Rp10.500,- per US$ 1.
Hitunglah PPh Pasal 26?

Jawaban:

Penghasilan bruto berupa gaji sebulan: US$10.000 x Rp10.500 =


Rp105.000.000 PPh Pasal 26 = 20% x Rp105.000.000 = Rp21.000.000
Jadi, PPh pasal 26 atas gaji Mike bulan April 2016 adalah Rp21.000.000

Soal 2

Seorang atlet dari China yang ikut mengambil bagian dari perlombaan lari
maraton di Indonesia berhasil meraih juara dan memperoleh hadiah uang
tunai sebesar Rp100.000.000. Atas penghasilan dari hadiah tersebut
dikenakan PPh Pasal 26. Hitunglah PPh Pasal 26?

Jawaban:

PPh Pasal 26 = 20% x Rp100.000.000 = Rp 20.000.000

Maka, atas penghasilan yang diterima oleh atlet dari China tersebut akan
dipotong PPh Pasal 26 sebesar Rp20.000.000.
Soal 3

Kasus dan Pertanyaan:

Penghasilan kena pajak bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia pada tahun
2015 sebesar Rp17.500.000.000. Pajak penghasilan yang harus dibayarkan
yaitu sebesar 25% x Rp17.500.000.000 = Rp4.375.000.000. Penghasilan BUT
setelah kena pajak yaitu sebesar Rp13.125.000.000. Hitunglah PPh Pasal 26?

Jawaban:

PPh Pasal 26 yang terutang = 20% x Rp13.125.000.000 =


Rp2.625.000.000.

Apabila penghasilan setalah pajak sebesar Rp13.125.000.000 tersebut


ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan ketentuan yang telah diatur,
maka atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.

Demikian ulasan contoh soal perhitungan PPh Pasal 26. Untuk dapat
mempelajari materi lain tentang PPh Pasal 26 atau pajak penghasilan lainnya,
dapat dipelajari.

Penghitungan PPh Pasal 26 atas Laba Setelah Pajak yang Diperoleh


Bentuk Usaha Tetap (Branch Profit Tax)

Dalam melakukan investasi langsung di Indonesia, investor asing


memiliki banyak pilihan atas bentuk usaha, investor dapat melakukannya
dalam bentuk joint venture dengan perusahaan asing lainnya dan perusahaan
lokal. Umumnya, perusahaan ini berbentuk penanaman modal asing dan
berbadan hukum Indonesia sehingga perusahaan penanaman modal asing
adalah wajib pajak dalam negeri (resident taxpayer).

Selain itu, perusahaan asing dapat menjalankan usahanya melalui


bentuk usaha di Indonesia. Ini yang disebut dengan Bentuk Usaha Tetap
(selanjutnya disingkat BUT). Apabila investor asing menjalankan bisnisnya di
Indonesia melalui BUT ( a permanent establishment) berarti, perusahaan
tersebut tidak berbadan hukum Indonesia sehingga

BUT adalah bukan wajib pajak dalam negeri.


BUT adalah subyek pajak luar negeri yang kewajiban perpajakannya
diperlakukan relatif sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya. Konsep
Bentuk Usaha Tetap merupakan salah satu konsep yang penting karena
merupakan alat bagi negara sumber untuk dapat memajaki Wajib Pajak Luar
Negeri atas laba usaha yang diperolehnya. Salah satu perbedaan perlakuan
perpajakan BUT dibandingkan dengan wajib pajak dalam negeri antara adalah
atas laba bersih setelah pajak yang diterima atau diperoleh suatu BUT
dikenakan branch profit tax. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Pajak Penghasilan Pasal 26, atas Laba Setelah Pajak yang diperoleh BUT
dikenakan tambahan Pajak Penghasilan (PPh) atas laba setelah pajak (net
income after tax) yang diperoleh BUT sebesar 20% atau sesuai tarif yang
berlaku dalam Tax Treaty.

Pengecualian dari Pengenaan Branch Profit Tax

Pengecualian tambahan PPh atas laba setelah pajak yang diperoleh BUT
diberikan apabila atas seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi
Pajak Penghasilan dari suatu BUT ditanamkan kembali di Indonesia dalam
bentuk:

1. Penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan


berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;
2. Penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan
berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham;
3. Pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk
menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan
Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; atau
4. Investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk
menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan
Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.

Seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari


suatu Bentuk Usaha Tetap yang ditanamkan kembali di Indonesia yang
dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan, harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:

1. Penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada


akhir Tahun Pajak berikutnya, setelah Tahun Pajak diperolehnya
penghasilan tersebut bagi BUT yang bersangkutan; dan
2. BUT yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
mengenai bentuk penanaman modal, realisasi penanaman kembali yang
telah dilakukan dan/atau saat mulai berproduksi komersial bagi
perusahaan yang baru didirikan, yang dilakukan kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal pada
perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai
pendiri atau peserta pendiri, harus memenuhi tambahan persyaratan sebagai
berikut:

1. Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia secara


aktif telah melakukan kegiatan usaha sesuai akta pendiriannya, paling
lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut didirikan; dan
2. BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas
penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak
perusahaan baru dimaksud berproduksi komersial.

Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal pada


perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai
pemegang saham, harus memenuhi tambahan persyaratan sebagai berikut:

1. Perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia


mempunyai kegiatan usaha aktif di Indonesia; dan
2. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan
pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 3
(tiga) tahun sejak penyertaan modal.

Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk:

1. pembelian aktiva tetap; atau


2. investasi berupa aktiva tidak berwujud

Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan


atas pembelian aktiva tetap atau pengalihan atas investasi berupa aktiva
tidak berwujud, paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak
perolehan aktiva tetap atau investasi aktiva tidak berwujud yang
bersangkutan. Apabila persyaratan tidak lagi dipenuhi, penghasilan
tersebut ditetapkan sebagai Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi
Pajak Penghasilan atas BUT bersangkutan terhitung sejak diperolehnya
Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan tersebut dan
dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan

BUT yang melakukan penanaman kembali seluruh Penghasilan Kena Pajak


sesudah dikurangi pajak penghasilan di Indonesia, wajib menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal yang
dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar, dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk
Tahun Pajak diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan.
BUT tersebut wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai
realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan, kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, paling sedikit meliputi hal-
hal sebagai berikut:

1. Jumlah Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan


dari BUT dan Tahun Pajak yang bersangkutan; dan
2. Bentuk penanaman kembali, jumlah realisasi penanaman kembali, dan
Tahun Pajak dilakukan realisasi penanaman kembali.

Dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak


saat dilakukan realisasi penanaman kembali tersebut.

BUT yang melakukan penanaman kembali seluruh Penghasilan Kena Pajak


sesudah dikurangi Pajak Penghasilan di Indonesia dalam bentuk penyertaan
modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia
sebagai pendiri atau peserta pendiri, wajib menyampaikan pemberitahuan
secara tertulis mengenai saat mulai berproduksi komersial. Saat berproduksi
komersial adalah saat perusahaan yang baru didirikan tersebut telah mulai
memproduksi barang untuk dijual bagi perusahaan manufaktur atau saat
perusahaan mulai melakukan penjualan barang dan/atau jasa bagi
perusahaan selain manufaktur.

Keputusan tentang saat berproduksi komersial ditetapkan oleh Kepala Kantor


Pelayanan Pajak tempat BUT terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak
berdasarkan hasil penelitian Kantor Pelayanan Pajak dimaksud, paling lama 6
(enam) bulan setelah BUT meyampaikan pemberitahuan secara tertulis
mengenai saat berproduksi komersial. Penetapan saat berproduksi komersial
dilakukan berdasarkan keadaan sebenarnya dengan memperhatikan saat
mulai berproduksi komersial yang disampaikan oleh BUT yang bersangkutan.

Apabila jangka waktu telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak
menerbitkan surat keputusan tentang saat berproduksi komersial, saat
berproduksi komersial adalah berdasarkan pemberitahuan tertulis yang
disampaikan oleh Wajib Pajak BUT yang bersangkutan. Dalam hal penghasilan
dari usaha yang diterima atau diperoleh BUT dikenakan PPh yang bersifat
final, maka dasar pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) adalah Penghasilan Kena
Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dikoreksi fiskal
dikurangi dengan PPh yang bersifat final.

ContohKasus

Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari bentuk usaha tetap
di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen).
Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha tetap Rp20.500.000.000,00
di Indonesia dalam tahun 2013
Pajak Penghasilan: Rp 5.125.000.000,00 (-)
25% x Rp20.500.000.000,00 =
Penghasilan Kena Pajak setelah pajak Rp15.375.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang : Rp 3.075.000.000,00
20% x Rp15.375.000.000 ( BRANCH PROFIT TAX)

Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp15.375.000.000,00 (lima belas


miliar tiga ratus tujuh puluh lima juta rupiah) tersebut ditanamkan kembali di
Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku, atas penghasilan tersebut
tidak dipotong pajak.

Pajak Penghasilan yang terutang dari Penghasilan Kena Pajak sesudah


dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan harus
dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
disampaikan. Penghitungan PPh Pasal 26 Ayat (4), wajib dilampirkan oleh
semua Wajib Pajak BUT (meskipun pajak tidak terutang), sesuai bentuk
formulir Lampiran Khusus 6A/6B.

PPh 26 Premi Asuransi

• Tarif 20 % dari Penghasilan NETO.

• PENGHASILAN NETO = 50 % x Penghasilan bruto.

Contoh Soal

PT ANANTA merupakan perusahaan persewaan gedung kantor. Pada tahun


2002 mengasuransikan bangunan bertingkat kepada perusahaan Asuransi di
LN yaitu Building Life Inc sebesar Rp 1.000.000.000.

PPh pasal 26 yg dipotong PT ANANTA

PPh 26= 20% x ( 50%x 1M)= 100 juta

Tarif PPh 26 Premi Asuransi

• Tarif PPh 26 yg dibayar perusahaan asuransi yg berkedudukan di


Indonesia kepada perusahaan Asuransi di luar negeri baik secara
langsung maupun pialang adalah 10 % dari jumlah premi yg dibayar
( Penghasilan bruto)

• PPh 26 = 20 % x Penghasilan Neto.

• P Neto = 10 % x Penghasilan Bruto.


• Lihat KMK 624/KMK.04/1994 J0 SE 23/PJ 43/1995

Contoh Soal

PT ANANTA mengasuransikan bangunannya ke perusahaan asuransi


dalam negeri yaitu Banteng Merah dgn premi asuransi Rp 1.000.000.000.
Untuk mengurangi risiko, Perusahaan Asuransi Banteng Merah
mengasuransikan ke perusahaan Asuransi Luar Negeri Toefl Insurance
dengan premi Rp 500.000.000. ( Re Insurance)

• Berapa PPh 26 yg harus di potong oleh Banteng Merah?

• PPh 26= 20%( 10%x 500juta)= 10 juta.

Kasus 1

PT Abadi Berkarya memiliki perwakilan di luar negeri dan mengasuransikan


bangunan bertingkat ke PT XYZ yang merupakan perusahaan asuransi di luar
negeri dengan membayar jumlah premi pada tahun 2015 sebesar Rp2 miliar.
Hitunglah PPh Pasal 26 dari PT Abadi Berkarya tahun 2015?

Jawaban:

Penghitungan PPh Pasal 26 adalah sebagai berikut:


Perkiraan penghasilan neto = 50% x Rp2.000.000.000 = Rp1.000.000.000
PPh Pasal 26 = 20% x Rp1.000.000.000 = Rp200.000.000

Sementara, apabila PT Abadi Berkarya mengikuti asuransi melalui perusahaan


yang ada di Indonesia, misal PT Asuransi Raya, dengan membayar jumlah
premi yang sama sebesar Rp2 miliar. PT Asuransi Raya mengikutkan
(reasuransi) perusahaan tersebut ke perusahaan asuransi yang berada di luar
negeri, misalnya PT XYZ, dengan membayar premi sebesar Rp1miliar. Maka
ketentuan PPh Pasal 26 adalah sebagai berikut:
Perkiraan penghasilan neto = 10% x Rp1.000.000.000 = Rp100.000.000
PPh Pasal 26 PT Abadi Berkarya = 20% x Rp100.000.000 = Rp20.000.000

Kasus 2

Aland Addison yang adalah seorang warga negara Inggris yang memiliki 25%
saham atas PT Jayaraya Indonesia. Tahun ini Aland menjual seluruh
sahamnya senilai Rp8 miliar kepada Charles seorang warga negara Argentina.
Asumsikan tidak ada P3B antara Indonesia dan Argentina serta Inggris
sehubungan dengan transaksi tersebut. Hitunglah PPh Pasal 26 dari transaksi
tersebut?

Jawaban:

PPh Pasal 26 = 20% x 25% x Rp8.000.000.000 = Rp400.000.000 (bersifat


final).

Menurut ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 258/PMK.03/2008


tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari
Penjualan atau Pengalihan Saham, maka penghasilan atas penjualan saham
tersebut dikenakan pajak sebesar 20% dari perkiraan Penghasilan Neto,
sedangkan besarnya Penghasilan Neto adalah 25% dari Harga Jual.

Jika ada P3B antara negara yang terkait transaksi tersebut (penjual berstatus
sebagai wajib pajak luar negeri), pemotongan PPh Pasal 26 hanya dilakukan
apabila hak pemajakan berdasarkan P3B berada pada pihak Indonesia.

Penting bagi wajib pajak yang akan memotong pph pasal 26 kepada wajib
pajak luar negeri untuk mengetahui apakah wajib pajak luar negeri tersebut
berasal dari negara yang mempunyai tax treaty atau P3B dengan Indonesia
atau tidak. Sebab ketentuan tarif pajaknya akan berbeda.
Kasus 3

Seorang atlet dari China yang ikut mengambil bagian dari perlombaan lari
maraton di Indonesia berhasil meraih juara dan memperoleh hadiah uang
tunai sebesar Rp100.000.000. Atas penghasilan dari hadiah tersebut
dikenakan PPh Pasal 26. Hitunglah PPh Pasal 26?

Jawaban:

PPh Pasal 26 = 20% x Rp100.000.000 = Rp 20.000.000


Maka, atas penghasilan yang diterima oleh atlet dari China tersebut akan
dipotong PPh Pasal 26 sebesar Rp20.000.000.

Kasus 4

Mike adalah karyawan asing pada perusahaan PT Dira Consulting. Mike


tinggal di Indonesia kurang dari 183 hari. Mike sudah beristri dan mempunyai
seorang anak. Pada bulan april 2016 Mike memperoleh gaji sebesar
US$10.000 sebulan. Kurs yang berlaku adalah Rp10.500,- per US$ 1.
Hitunglah PPh Pasal 26?

Jawaban:

Penghasilan bruto berupa gaji sebulan: US$10.000 x Rp10.500 =


Rp105.000.000
PPh Pasal 26 = 20% x Rp105.000.000 = Rp21.000.000
Jadi, PPh pasal 26 atas gaji Mike bulan April 2016 adalah Rp21.000.000

Kasus 5

Penghasilan kena pajak bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia pada tahun
2015 sebesar Rp17.500.000.000. Pajak penghasilan yang harus dibayarkan
yaitu sebesar 25% x Rp17.500.000.000 = Rp4.375.000.000. Penghasilan BUT
setelah kena pajak yaitu sebesar Rp13.125.000.000. Hitunglah PPh Pasal 26?
Jawaban:

PPh Pasal 26 yang terutang = 20% x Rp13.125.000.000 = Rp2.625.000.000.

Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp13.125.000.000 tersebut


ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan ketentuan yang telah diatur,
maka atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.

Kasus 6

Mr Jakson warga negara Amerika, memperoleh penghasilan jasa konsultan


dari LIPI sebesar Rp. 20.000.000. berapa PPh terutang yang harus dibayar?

Jawaban:

LIPI harus memotong pajak sebesar Rp. 4.000.000 dari Mr.Jakson sebagai
penerima penghasilan

PPh tersebut berasal dari = 20% x Pengahasilan bruto


= 20%x 20.000.0000
= 4.000.000 dan bersifat final.

Keterangan:
Jika Mr.Jakson memiliki tax resident (bukti kepemilikian seperti NPWP di
Negara Amerika), berlaku penerapan tax treaty, dimana telah disepakati
bersama antara Indonesia-Amerika bahwa tarif pajaknya 10% dari penghasilan
bruto, yaitu Rp. 2.000.0000 yang berhak dipotong oleh LIPI.

Kasus 7

Mr. Edward adalah penduduk negara Australia


Telah memiliki P3B
Ditempatkan di kantor konsulat yang berada di Indonesia

Maka Gaji Mr. Edward di Indonesia tidak boleh dipajaki. Sesuai dengan
Perjanjian Penghindaran Pajak (P3B) antara Indonesia dan Australia sesuai
pasal 19 ayat 1 maka: Remuneration, other than a pension or annuity, paid by
one of the Contracting States or a political subdivision or local authority of that
State to anyindividual in respect of services rendered to it shall be taxable only
in that State. However, such remuneration shall be taxable only in the other
Contracting State if the services are rendered in that other State and the
recipient is a resident of that other State who: (a) is a citizen or national of that
State; or (b) did not become a resident of that State solely for the purpose of
performing the service.

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 624/KMK.04/1994

TENTANG

PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN BERUPA PREMI ASURANSI


DAN PREMI REASURANSI YANG DIBAYAR KEPADA PERUSAHAAN ASURANSI DI LUAR NEGERI

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) jo. ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, atas penghasilan
berupa premi asuransi termasuk premi reasuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di
luar negeri dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto;
b. bahwa agar pemotongan pajak tersebut dapat dilaksanakan dengan baik maka dipandang perlu untuk
mengatur pelaksanaan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas penghasilan tersebut, dengan
Keputusan Menteri Keuangan;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262), sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983
Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3459) dan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1991 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
3. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1983 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL
26 ATAS PENGHASILAN BERUPA PREMI ASURANSI DAN PREMI REASURANSI YANG DIBAYAR KEPADA
PERUSAHAAN ASURANSI DI LUAR NEGERI
Pasal 1

(1). Atas pembayaran premi asuransi dan premi reasuransi kepada perusahaan asuransi di luar negeri
dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan
penghasilan neto.

(2). Besarnya perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut :
a. atas premi dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara
langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah premi yang
dibayar;
b. atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada
perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar
10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
c. atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada
perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5%
(lima persen) dari jumlah premi yang dibayar.

Pasal 2

Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh :
a. tertanggung, dalam hal dilakukan pembayaran premi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2)
huruf a;
b. perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia, dalam hal dilakukan pembayaran premi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf b;
c. perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia, dalam hal dilakukan pembayaran premi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf c.

Pasal 3

(1). Pajak Penghasilan Pasal 26 atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 terutang pada
akhir bulan dilakukannya pembayaran premi atau pada akhir bulan terutangnya premi asuransi
tersebut.

(2). Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
pemotong selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah saat terutangnya pajak dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak (SSP).

(3). Pemotong pajak wajib membuat Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26, dalam rangkap 3
(tiga) :
- Lembar 1, untuk pihak yang dipotong penghasilannya;
- Lembar 2, untuk dilampirkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan 26
yang disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong pajak terdaftar;
- Lembar 3, untuk arsip pemotong pajak.

Pasal 4

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Keputusan ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 5

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di JAKARTA
Pada tanggal 27 Desember 1994
MENTERI KEUANGAN,
ttd

MAR'IE MUHAMMAD

Tasya Salfira

01012180120

Soal atas PPh 24

1. Wajib Pajak Orang Pribadi (Menggunakan PPh Pasal 31E)


Tn. Bima sudah menikah dan memiliki 2 anak (K/2), memiliki penghasilan sebagai berikut.
Pengasilan Negara A (20%) Rp. 50.000.000
Penghasilan Negara B (25%) Rp. 500.000.000
Penghasilan Negara C (30%) Rp. 250.000.000
Kerugian atas Penghasilan Negara D (35%) Rp. 100.000.000
Penghasilan Dalam Negeri Rp. 200.000.000
Peredaran Bruto Rp.24.000.000.000
Berapakah Kredit Pajak Luar Negeri yang diperbolehkan?
Jawab:
Pengasilan Negara A (20%) Rp. 50.000.000
Penghasilan Negara B (25%) Rp. 500.000.000
Penghasilan Negara C (30%) Rp. 250.000.000
Penghasilan Dalam Negeri Rp. 200.000.000
Total Rp.1.000.000.000
PKP = Rp. 1.000.000.000 – 67.500.000 = Rp. 932.500.000
PPh Terutang
5% X 50.000.000 = 2.500.000
15% x 200.000.000 = 30.000.000
25% x 250.000.000 = 62.500.000
30% x 432.500.000 = 129.750.000
Jumlah 224.750.000

Negara A
Batas Max = 50.000.000/1.000.000.000 x 932.500.000 = 46.625.000
Sudah dipotong di LN = 50.000.000 x 20% = 10.000.000
PPh 24 = 10.000.000

Negara B
Batas Max = 500.000.000/1.000.000.000 x 932.500.000 = 466.250.000
Sudah dipotong di LN = 500.000.000 x 25% = 125.000.000
PPh 24 = 125.000.000

Negara C
Batas Max = 250.000.000/1.000.000.000 x 932.500.000 = 233.125.000
Sudah dipotong di LN = 250.000.000 x 30% = 75.000.000
PPh 24 = 75.000.000

Pajak Terutang Kredit Pajak PPh 21= 8 juta, PPh 23= Rp 10 juta. PPh 25= 15 juta,

PPh terutang 224.750.000

PPh 21 (4.000.000)

PPh 23 (5.000.000.)

PPh 25 (4.000.000.)

PPh 24. (10.000.000) A

PPh 24 (125.000.000) B

PPh 24 (75.000.000) C

PPh KB 1.750.000

2. Wajib Pajak Badan


PT Sinar Gemilang di Semarang memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2014 sebagai
berikut:
Penghasilan dalam negeri Rp 400.000.000
Penghasilan dari Vietnam (tarif pajak 20%) Rp 200.000.000
Pengasilan dari Malaysia (tarif pajak 25%) Rp. 300.000.000
Kerugian atas penghasilan dari Singapore Rp 100.000.000
Peredaran Bruto Rp24.000.000.000
Hitunglah PPh Pasal 24 atau kredit pajak luar negeri dari PT Sinar Gemilang tahun 2014?
Jawab:
Penghasilan DN Rp. 400.000.000
Penghasilan Negara V Rp. 200.000.000
Penghasilan Negara M Rp. 300.000.000
Total Rp. 900.000.000
PPh Terutang = 4,8M/24M x 900.000.000 = 180.000.000 x 12,5% = 22.500.000
25 % x (900.000.000−22.500 .000)=Rp 219.375.000
Jumlah Rp. 241.875.000

Menghitung PPh Maksimum yang dapat dikreditkan:


(Penghasilan Luar Negeri / Total Penghasilan) x Total PPh Terutang
- Negara V
200.000 .000
Batas Max= x 241.875 .000=Rp . 53.750.000
900.000 .000
PPh Terutang di Luar Negeri = 200.000.000 x 20% = Rp. 40.000.000

PPh 24 Negara V = Rp. 40.000.000

- Negara M
300.000 .000
Batas Max = x 241.875.000=Rp .80.625 .000
900.000 .000
PPh Terutang di Luar Negeri = 300.000.000 x 25% = Rp. 75.000.000
PPh 26 Negara M = Rp. 75.000.000

Jumlah Pajak Rp. 241.875.000

Kredit Pajak

PPh 23 (20.000.000.)

PPh 25 (10.000.000.)

PPh 24. (40.000.000) V

PPh 24 (75.000.000) M

Total Kredit Pajak 145.000.000.

PPh Terutang 96.875.000.--> bayar di Indo

Advertisements

Anda mungkin juga menyukai