PENGANTAR PERPAJAKAN
INTERNASIONAL
Ilmu pengetahuan terus berkembang demikian pula dengan teknologi
semua bergerak maju. Kemajuan komunikasi juga bersanding lurus dengan
kemajuan teknologi. Perekomian juga bergerak cepat mengikuti laju
perkembangan teknologi, pengetahuaan dan ilmu pengetahuan.
Wajib pajak dalam negeri bisa jadi telah dipotong pajak atas penghasilan
yang berasal dari luar negeri di negara sumber penghasilan. Persoalan timbul
ketika penghasilan luar negeri yang telah dikenai pajak di luar negeri
dikenakan lagi pajak di Indonesia, hal ini menimbulkan pengenaan pajak
berhganda atas objek penghasilan yang sama.
I
UU PAJAK
N
NEGARA
T TAX TREATY
LAIN
E
R
(P3B)
N UU PAJAK
A DOMESTIK
S
I
O
N
A
L
Perluasan Pemajakan
Netralitas (Neutrality)
Penerimaan ( Revenue)
Prof. Dr.P.J.A.Adriani
Anglo Sakson
Di negara-negara Anglo Sakson berlaku pengertian yang terperinci tentang
hukum pajak internasional, yang dibedakan antara :
1. Asas Domisili
2. Asas Sumber
3. Asas Kewarganegaraan
4. Asas Campuran
5. Asas Teritorial
Dimensi pertama merujuk pada pemajakan atas penghasilan dari dalam negeri
(domestik). Dimensi pertama merujuk pada pemajakan atas penghasilan luar
negeri atau transaksi keluar batas (outward) karena pada umumnya
melibatkan eksportasi modal ke manca negara sedangkan dimensi kedua
menunjuk pada pemajakan atas penghasilan domestik atau transaksi ke
dalam batas negara (inward). Karena umumnya melibatkan importasi modal
dari manca negara.
Dalam aplikasinya pemajakan penghasilan luar negeri dilakukan oleh negara
domisili (residence country), sedangkan pemajakan penghasilan domestic
dilakukan oleh negara sumber (source country).
Domisili Fiskal
1. Tempat tinggal
Sesuai pasal 2 ayat (3) UU PPh, criteria dari subjek pajak dalam negeri
adalah sebagai berikut:
· Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi wajib pajak apabila telah
menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi PTKP. Orang
pribadi bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu
12 bulan, orang pribadi yang dalam sat tahun pajak berada di Indonesia, dan
mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.
· Subjek pajak dalam negeri menjadi wajib pajak sejak saat didirikan
atau bertempatkedudukan di Indonesia.
Subjek pajak luar negeri, baik orang pribadi maupun badan sekaligus
merpakan wajib pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan
yang bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh
penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui Bentuk Usaha Tetap di
Indonesia.
Wajib pajak luar negeri hanya akan dikenakan pajak atas penghasilan
yang diterima tau diperoleh bersumber dari Indonesia saja. Pasal 26 UU PPh
mengatur tentang potongan pajak sebesar 20% atas oenghasilan wajib pajak
luar negeri.
Orang pribadi ata instansi yang tidak termask objek pajak menurut ketentuan
UU PPh adalah:
Salah satu jenis pajak yang berlaku di Indonesia dan memiliki peranan
penting dalam penerimaan negara adalah Pajak Penghasilan (PPh) yang
pertama kali diberlakukan pada tahun 1984 berdasarkan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983.
Pajak Penghasilan adalah pajak subjektif di mana jenis pajak ini bisa
dikenakan apabila syarat subjektif dan objektif terpenuhi bagi orang atau
badan. Pada umumnya hampir semua orang atau badan di Indonesia akan
memenihi syarat subjektif dan jika orang atau badan ini memperoleh
penghasilan maka syarat objektif juga terpenuhi.
Jika subjek pajak yang dikenakan PPh adalah WNI yang penghasilannya
berasal dari Indonesia juga, maka tidak ada aspek pajak internasional dalam
kasus ini. Namun demikian, karena definisi subjek pajak tidak dikaitkan
dengan kewarganegaraan maka terdapat kemungkinan ada warga Negara
asing atau badan asing yang dikenakan kewajiban Pajak Penghasilan di
Indonesia. Dalam kasus seperti ini, Pajak Penghasilan sudah menyentuh
aspek pajak internasional.
Aspek pajak internasional juga akan terjadi bila seorang WNI atau badan
Indonesia menerima atau memperoleh penghasilan dari luar negeri. Hal ini
disebabkan karena Pajak Penghasilan Indonesia menerapkan prinsip
worldwide income sehingga penghasilan dari luar negeri di atas juga
merupakan objek Pajak Penghasilan Indonesia.
Tasya Salfira
01012180120
- Transfer Pricing
Transfer Pricing: Kegiatan ini adalah mentransfer laba dari dalam negeri ke perusahaan
dengan hubungan istimewa di negara lain yang tarif pajaknya lebih rendah. Hal ini dapat
dilakukan dengan membayar harga penjualan yang lebih rendah dari harga pasar,
membiayakan biaya-biaya lebih besar daripada harga yang wajar
- Treaty Shoping
Treaty Shopping: Fasilitas di tax treaty justru bukannya menghindarkan pajak
berganda namun malah memberi kesempatan bagi subjek pajak untuk tidak dikenakan
pajak dimana-mana. Misalnya: Investasi SBI di bursa singapura dibebaskan pajak.
Treaty Shopping diredam dengan ketentuan beneficial owner (penerima manfaat)
dalam tax treaty (P3B) baik yang memakai model OECD maupun PBB sehingga tax
treaty hanya berlaku bila penerima manfaat yang sebenarnya adalah residen di negara
yang menandatangani tax treaty.
- Tax Heaven Counties
- Negara-negara yang memberikan keringanan pajak secara agresif seperti tarif pajak
rendah, pengawasan pajak longgar telah membuat penerimaan pajak dari negara-
negara berkembang merosot tajam. Negara tax heaven yang termasuk dalam KMK
No.650/KMK04/1994 antara lain Argentina, Bahrain, Saudi Arabia, Mauritius,
Hongkong, Caymand Island
Contoh Perhitungan
Pada tahun 2017, Tuan Suparjan (laki-laki, menikah, 3 anak) bekerja sebagai konsultan konstruksi di
Singapura selama 3 bulan. Penghasilan neto yang diterimanya dari Singapura sebesar Rp50.000.000 dan
telah dipotong pajaknya sebesar Rp5.000.000. Selain itu, Tuan Suparjan juga bekerja sebagai pegawai
tetap pada PT Wijaya Konstruksi di Indonesia. Penghasilan neto yang diterimanya dari PT Wijaya
Konstruksi selama tahun 2017 sebesar Rp150.000.000 dan telah dipotong pajaknya sebesar Rp6.700.000.
Dalam kasus ini, Tuan Suparjan masih berstatus sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri karena beliau bekerja
di luar negeri kurang dari 183 hari dalam waktu 12 bulan. Berikut adalah perhitungan pajak penghasilan
yang harus dilaporkan dalam SPT Tahunan Tuan Suparjan:
PPh Terutang:
5% x Rp50.000.000 = Rp 2.500.000
Rp14.200.000
Kredit Pajak:
PPh Pasal 24
Rp 50.000.000 x Rp14.200.000 = Rp 3.550.000 (Rp10.250.000)
Rp200.000.000
5. Metode apa saja yang digunakan untuk menghindari perpajakan berganda Internasional? Dan
Jelaskan dengan perhitungan?
Metode ini mengatur bahwa Negara Republik Indonesia mempunyai kekuatan hukum di
dalamnya yang mengatur masyarakat atau badan internasional, dan ditetapkan sepihak
oleh Negara Indonesia sendiri, dengan kata lain tidak ada yang bisa mengatur negara kita
karena hal itu merupakan kewibawaan dan kedaulatan negara kita.
Metode ini didasarkan pada konvensi internasional yang ketentuan atau ketetapan atau
keputusan yang dihasilkan untuk kepentingan banyak negara yang ditandatangani oleh
berbagai negara, misalnya Konvensi Wina. Penerapan metode ini adalah dengan
diberlakukannya Pasal 3 UU PPh, dimana setiap kedutaan asing, organisasi internasional
dibawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), dan penduduk asing yang bekerja
di tempat tersebut, bukan subjek pajak di Indonesia, artinya pemajakannya tetap berada di
negara mana mereka berdomisili.
Bab 2
Bentuk Usaha Tetap ( BUT )
Hal ini bukan berarti penghasilan tersebut bebas dari pemajakan dengan
alas an bahwa sesuai dengan kelaziman internasional, misalnya ketentuan
Pasal 7 OECD Model, penghasilan tersebut hanya dikenakan pajak oleh negara
domisili pengusaha aktivitas pemberi penghasilan tersebut secara siginifikan
masih dijalankan dinegara dimaksud.
Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
Terminasi BUT
Terminasi BUT dapat terjadi, antara lain karena:
1. Pemekaran menjadi badan anak perusahaan.
2. Pengambilalihan, atau.
3. Penutupan Usaha atau Pembubaran (Likuidasi).
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan
selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas
nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak
bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia
apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang
mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam
kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan
perusahaannya sendiri.
– Cabang perusahaan;
– Kantor perwakilan;
– Gedung kantor;
– Pabrik;
– Bengkel;
– Perikanan/pertanian/kehutanan/perkebunan.
Keberadaan BUT tipe fasilitas fisik dapat dilihat dari ada atau tidaknya
fasilitas fisik seperti cabang, bengkel, kantor, dsb di negara sumber.
Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain
yang dilakukan dalam jangka waktu lebih dari 60 hari (kecuali
ditentukan lain dalam tax treaty dengan negara yang bersangkutan)
– dalam jangka waktu 12 bulan.
Misalnya :
Anak perusahaan sebagai entitas terpisah dari induk perusahaan WPLN, anak
perusahaan mempunyai eksistensi sendiri dan pada umumnya bukan
otomatis dengan sendirinya merupakan BUT dan WPLN dimaksud.
Brown Sugar suatu BUT di Indonesia dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp
10.000.000.000. ,-
Tarif 20% adalah tariff umum untuk penggenaan PPh 26, namun jika
penghasilan berdomisili di negara treaty partner, maka tarifnya mengikuti
tariff untuk Branch Profit Tax dalam Tax Treaty.
Contoh Kasus 2
Baklok, Ltd. sebuah perusahaan yang termasuk dalam definisi Badan Usaha
Tetap (BUT) mempunyai bidang usaha konstruksi. Dalam tahun 2013
menerima pembayaran atas jasa konstruksi pembangunan hotel dari PT Langit
Biru mengingat telah memenuhi termin penyelesaian pekerjaan kedua sebesar
50% pada tanggal 8 Oktober 2016 sebesar Rp10.000.000.000,00.
Atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final. Dalam hal pengguna jasa merupakan pemotong pajak maka
penghasilan dari usaha jasa konstruksi tersebut dipotong oleh pengguna jasa
pada saat pembayaran bagian nilai kontrak jasa konstruksi.
Catatan:
BUT diartikan sebagai bentuk usaha tetap. Mungkin pada bagian soal
terdapat kesalahan tulis, bukan badan usaha tetap tetapi bentuk usaha
tetap seperti lazimnya istilah BUT di perpajakan.
BUT adalah "kendaraan" penghasilan yang diterima oleh subjek pajak luar
negeri. Jika BUT sudah didaftarkan di Badora dan memiliki NPWP maka
kewajiban perpajakannya "seperti" subjek pajak dalam negeri. Inilah alasan
kenapa tidak dipotong PPh Pasal 26.
Contoh Kasus 3
Penghasilan berupa dividen, bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan
sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, royalti, sewa (imbalan
lainnya sehubungan dengan penggunaan harta), imbalan sehubungan dengan
jasa, pekerjaan (kegiatan), hadiah/penghargaan, pensiunan/pembayaran
berkala lainnya, yang diterima oleh kantor pusat (wajib pajak luar negeri) dari
Indonesia, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT-nya dengan harta
atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut.
TENTANG
Menimbang :
a. bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum mengenai perlakuan perpajakan atas penanaman
kembali Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 257/PMK.03/2008 tentang Perlakuan
Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, perlu
mengatur kembali perlakuan perpajakan atas penanaman kembali Penghasilan Kena Pajak sesudah
dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak
Sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK
SESUDAH DIKURANGI PAJAK DARI SUATU BENTUK USAHA TETAP.
Pasal 1
(1) Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap
di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
(2) Dalam hal Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap
ditanamkan kembali di Indonesia, penghasilan dimaksud dikecualikan dari pengenaan Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pengecualian dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan apabila
seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap
ditanamkan kembali di Indonesia dalam bentuk:
a. penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia
sebagai pendiri atau peserta pendiri;
b. penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia
sebagai pemegang saham;
c. pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha
Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; atau
d. investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha
Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
Pasal 2
(1) Seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap
yang ditanamkan kembali di Indonesia yang dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada akhir Tahun Pajak
berikutnya, setelah Tahun Pajak diperolehnya penghasilan tersebut bagi Bentuk Usaha Tetap
yang bersangkutan; dan
b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
mengenai bentuk penanaman modal, realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan dan/
atau saat mulai berproduksi komersial bagi perusahaan yang baru didirikan, yang dilakukan
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(2) Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (3) huruf a, selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia secara aktif telah melakukan
kegiatan usaha sesuai akta pendiriannya, paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut
didirikan; dan
b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan
modal paling sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak perusahaan baru dimaksud
berproduksi komersial.
(3) Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (3) huruf b, selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia mempunyai kegiatan usaha
aktif di Indonesia; dan
b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan
modal paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak penyertaan modal.
(4) Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk:
a. pembelian aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf c; atau
b. investasi berupa aktiva tidak berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf d,
selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak
boleh melakukan pengalihan atas pembelian aktiva tetap atau pengalihan atas investasi berupa aktiva
tidak berwujud, paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak perolehan aktiva tetap atau
investasi aktiva tidak berwujud yang bersangkutan.
(5) Dalam hal persyaratan-persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4), tidak lagi dipenuhi, atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu
Bentuk Usaha Tetap yang terkait, dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(1) terhitung sejak diperolehnya Penghasilan Kena Pajak yang bersangkutan, dan dikenai sanksi sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Pasal 3
(1) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh Penghasilan Kena Pajak
sesudah dikurangi pajak penghasilan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3), wajib
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal yang dilakukan
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan melampirkan pada Surat
Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan.
(2) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis mengenai realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan, kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan melampirkan pada Surat
Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak saat dilakukan realisasi penanaman kembali tersebut.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling sedikit meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. jumlah Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari Bentuk Usaha Tetap
dan Tahun Pajak yang bersangkutan; dan
b. bentuk penanaman kembali, jumlah realisasi penanaman kembali, dan Tahun Pajak dilakukan
realisasi penanaman kembali.
Pasal 4
(1) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh Penghasilan Kena Pajak
sesudah dikurangi Pajak Penghasilan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3)
huruf a wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai saat mulai berproduksi komersial.
(2) Saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah saat perusahaan yang baru
didirikan tersebut telah mulai memproduksi barang untuk dijual bagi perusahaan manufaktur atau saat
perusahaan mulai melakukan penjualan barang dan/atau jasa bagi perusahaan selain manufaktur.
(3) Keputusan tentang saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap terdaftar atas nama Direktur
Jenderal Pajak berdasarkan hasil penelitian Kantor Pelayanan Pajak dimaksud, paling lama 6 (enam)
bulan setelah Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap meyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai
saat berproduksi komersial.
(4) Penetapan saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan berdasarkan
keadaan sebenarnya dengan memperhatikan saat mulai berproduksi komersial yang disampaikan oleh
Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak
tidak menerbitkan surat keputusan tentang saat berproduksi komersial, saat berproduksi komersial
adalah berdasarkan pemberitahuan tertulis yang disampaikan oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap
yang bersangkutan.
Pasal 5
Dalam hal induk perusahaan dari Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap adalah Wajib Pajak dalam negeri dari negara
yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan Indonesia, besarnya tarif untuk
menghitung Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) adalah sebagaimana ditentukan
dalam Persetujuan Penghindaran Pajak yang berlaku.
Pasal 6
Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final, dasar pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(1) adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dilakukan koreksi fiskal,
dikurangi dengan jumlah Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Pasal 7
Tata cara pemberitahuan secara tertulis oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 dan Pasal 4 ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 8
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 257/PMK.03/2008
tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha
Tetap, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 9
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Januari 2011
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan Di Jakarta
pada tanggal 24 Januari 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
ttd.
PATRIALIS AKBAR
Tasya Salfira
01012180120
Sedangkan menurut UU KUP pasal 1 angka 3, pengertian Badan adalah sekumpulan orang
dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak
melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
BUMN/ BUMD dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi
lainnya, lembaga, dan bentuk hukum lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk
usaha tetap.
Dalam UU Pajak Penghasilan Pasal 2 ayat 1a dan PER 43 tahun 2011, dinyatakan bahwa BUT
merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak
badan. jadi pada dasarnya terdapat perbedaan antara perlakuan perpajakan antara BUT dan subjek
pajak badan dalam negeri. Perbedaan antara BUT dengan subjek pajak badan adalah sebagai
berikut:
3. Buat Contoh Perhitungan BUT, bagaimana perlakuannya sesuai dgn PMK 14./2011
PKP BUT di Indonesia Rp. 17.500.000.000
Pajak Penghasilan 22% x Rp 17.500.000.000 (Rp 3.850.000.000)
PKP setelah dikurangi pajak Rp. 13.650.000.000
Pajak Penghasilan yang dipotong
20% x Rp. 13.650.000.000 Rp. 2.730.000.000
Apabila penghasilan kena pajak setelah dikurangi pajak tersebut (sebesar 13.650.000.000)
ditanamkan kembali di Indonesia, atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak. (PMK
14/KMK 03./2011)
Bab V
PPh Pasal 24 dan PPh Pasal 26
PPh 24= WP DN memiliki menghasilkan
Diluar Negeri
Prinsip pemajakan di Indonesia adalah World Wide Income, Penghasilan
dari negara manapun harus dimasukan dalam perhitungan SPT ( digabung
dengan penghasilan dalam negeri).
Sumber penghasilan dari luar negeri yang dapat menjadi pengurang pajak di
dalam negeri adalah:
Rumus PPh 24
BESARNYA KREDIT PAJAK YANG DIPERBOLEHKAN
1.Total PPh terutang = Tarif Pasal 17 x PKP (Penghasilan Kena Pajak DN +LN).
Contoh:
1M
Soal
Diminta:
a. Berapa kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan (PPh pasal 24) PT Kagak
Mau Rugi ?
b. Berapa kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan (PPh pasal 24) jika Pemilik
perusahaan tsb atas nama pribadi Tn Ahmad sudah menikah dan mempunyai 3
anak (K/3) ?
Negara P”
Batas Maks= 300jt/1,2 M x 270 juta= Rp 67.500.000.
Sudah di potong di LN 20%x 300jt = 60.000.000.
PPh 24= 60 jt.
Negara Q
Kredit Pajak
PPh 23 (20.000.000.)
PPh 25 (10.000.000.)
PPh 24 (90.000.000) Q
Negara P
Batas Maks= 300jt/1,2 M x 283.400.000= Rp 70.850.000.
Sudah dipotong di LN 60.000.000.
PPh 24= 60 juta.
Negara Q
Batas maks= 400/1,2 M x 283.400.000= 94.466.000.
Sudah di potong di LN 100.000.000.
PPh 24= 94.466.000.
Pajak Terutang Kredit Pajak PPh 21= 10 juta, PPh 23= Rp 20 juta. PPh 25= 10
juta,
PPh 21 (10.000.000.)
PPh 23 (20.000.000.)
PPh 25 (10.000.000.)
PPh 24 (94.466.000) Q
PPh KB 88.934.000.
SOAL
Pada tahun 2006 PT A memperoleh penghasilan neto dalam negeri: 1,000 dan dari
luar negeri: 500 (membayar pajak di luar negeri 20%è 100), Pajak di Indonesia:
worldwide income, tarif tunggal 30%.
PPh 24 - 100.
PPh Pasal 26
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas
penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak (WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya
dipersamakan dengan subjek pajak badan. Negara domisili dari Wajib Pajak
luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah Negara tempat tinggal atau
tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima
manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).
1. Badan Pemerintah;
2. Subjek Pajak dalam negeri;
3. Penyelenggara Kegiatan;
4. BUT;
5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT di Indonesia.
6. Pada hakekatnya bersifat Final.
7. Penyetoran PPh 26 selambat-lambatnya tgl 10 bulan berikutnya.
8. Pelaporan PPh 26 selambat-lambatnya tgl 20 bulan berikutnya.
PPh 26 yaitu orang pribadi dgn status sbg subjek pajak luar negeri yang
menerima atau memperoleh penghasilan dalam bentuk apapun.
Tinggal di Indonesia dibawah 183 hari.
1. 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak Luar Negeri berupa :
a. dividen;
b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
g. Premi swap dan transaksi lindung lainnya; dan/atau
h. Keuntungan karena pembebasan utang.
2. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa :
a. penghasilan dari penjualan harta di Indonesia;
b. premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung
maupun melalui pialang kepada perusahaan asuransi di luar
negeri.
3. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto atas penjualan atau
pengalihan saham perusahaan antara conduit company atau spesial
purpose company yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara
yang memberikan perlindungan pajak yang mempunyai hubungan
istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia atau BUT di Indonesia;
4. 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari
suatu BUT di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan
kembali di Indonesia.
5. Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara
Indonesia dengan negara pihak pada persetujuan.
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 26
bertepatan degan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional,
penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Pengecualian
1. BUT dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 apabila Penghasilan
Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari BUT ditanamkan
kembali di Indonesia dengan syarat:
a. Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena
pajak setelah dikurangi PPh dalam bentuk penyertaan modal pada
perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia
sebagai pendiri atau peserta pendiri, dan;
b. dilakukan dalam tahun berjalan atau selambat-lambatnya tahun
pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperoleh
penghasilan tersebut;
c. tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut
sekurangkurangnya dalam waktu 2 (dua) tahun sesudah
perusahaan tempat penanaman dilakukan, mulai berproduksi
komersil.
2. Badan-badan Internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Soal 1
Jawaban:
Soal 2
Seorang atlet dari China yang ikut mengambil bagian dari perlombaan lari
maraton di Indonesia berhasil meraih juara dan memperoleh hadiah uang
tunai sebesar Rp100.000.000. Atas penghasilan dari hadiah tersebut
dikenakan PPh Pasal 26. Hitunglah PPh Pasal 26?
Jawaban:
Maka, atas penghasilan yang diterima oleh atlet dari China tersebut akan
dipotong PPh Pasal 26 sebesar Rp20.000.000.
Soal 3
Penghasilan kena pajak bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia pada tahun
2015 sebesar Rp17.500.000.000. Pajak penghasilan yang harus dibayarkan
yaitu sebesar 25% x Rp17.500.000.000 = Rp4.375.000.000. Penghasilan BUT
setelah kena pajak yaitu sebesar Rp13.125.000.000. Hitunglah PPh Pasal 26?
Jawaban:
Demikian ulasan contoh soal perhitungan PPh Pasal 26. Untuk dapat
mempelajari materi lain tentang PPh Pasal 26 atau pajak penghasilan lainnya,
dapat dipelajari.
Pengecualian tambahan PPh atas laba setelah pajak yang diperoleh BUT
diberikan apabila atas seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi
Pajak Penghasilan dari suatu BUT ditanamkan kembali di Indonesia dalam
bentuk:
Apabila jangka waktu telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak
menerbitkan surat keputusan tentang saat berproduksi komersial, saat
berproduksi komersial adalah berdasarkan pemberitahuan tertulis yang
disampaikan oleh Wajib Pajak BUT yang bersangkutan. Dalam hal penghasilan
dari usaha yang diterima atau diperoleh BUT dikenakan PPh yang bersifat
final, maka dasar pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) adalah Penghasilan Kena
Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dikoreksi fiskal
dikurangi dengan PPh yang bersifat final.
ContohKasus
Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari bentuk usaha tetap
di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen).
Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha tetap Rp20.500.000.000,00
di Indonesia dalam tahun 2013
Pajak Penghasilan: Rp 5.125.000.000,00 (-)
25% x Rp20.500.000.000,00 =
Penghasilan Kena Pajak setelah pajak Rp15.375.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang : Rp 3.075.000.000,00
20% x Rp15.375.000.000 ( BRANCH PROFIT TAX)
Contoh Soal
Contoh Soal
Kasus 1
Jawaban:
Kasus 2
Aland Addison yang adalah seorang warga negara Inggris yang memiliki 25%
saham atas PT Jayaraya Indonesia. Tahun ini Aland menjual seluruh
sahamnya senilai Rp8 miliar kepada Charles seorang warga negara Argentina.
Asumsikan tidak ada P3B antara Indonesia dan Argentina serta Inggris
sehubungan dengan transaksi tersebut. Hitunglah PPh Pasal 26 dari transaksi
tersebut?
Jawaban:
Jika ada P3B antara negara yang terkait transaksi tersebut (penjual berstatus
sebagai wajib pajak luar negeri), pemotongan PPh Pasal 26 hanya dilakukan
apabila hak pemajakan berdasarkan P3B berada pada pihak Indonesia.
Penting bagi wajib pajak yang akan memotong pph pasal 26 kepada wajib
pajak luar negeri untuk mengetahui apakah wajib pajak luar negeri tersebut
berasal dari negara yang mempunyai tax treaty atau P3B dengan Indonesia
atau tidak. Sebab ketentuan tarif pajaknya akan berbeda.
Kasus 3
Seorang atlet dari China yang ikut mengambil bagian dari perlombaan lari
maraton di Indonesia berhasil meraih juara dan memperoleh hadiah uang
tunai sebesar Rp100.000.000. Atas penghasilan dari hadiah tersebut
dikenakan PPh Pasal 26. Hitunglah PPh Pasal 26?
Jawaban:
Kasus 4
Jawaban:
Kasus 5
Penghasilan kena pajak bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia pada tahun
2015 sebesar Rp17.500.000.000. Pajak penghasilan yang harus dibayarkan
yaitu sebesar 25% x Rp17.500.000.000 = Rp4.375.000.000. Penghasilan BUT
setelah kena pajak yaitu sebesar Rp13.125.000.000. Hitunglah PPh Pasal 26?
Jawaban:
Kasus 6
Jawaban:
LIPI harus memotong pajak sebesar Rp. 4.000.000 dari Mr.Jakson sebagai
penerima penghasilan
Keterangan:
Jika Mr.Jakson memiliki tax resident (bukti kepemilikian seperti NPWP di
Negara Amerika), berlaku penerapan tax treaty, dimana telah disepakati
bersama antara Indonesia-Amerika bahwa tarif pajaknya 10% dari penghasilan
bruto, yaitu Rp. 2.000.0000 yang berhak dipotong oleh LIPI.
Kasus 7
Maka Gaji Mr. Edward di Indonesia tidak boleh dipajaki. Sesuai dengan
Perjanjian Penghindaran Pajak (P3B) antara Indonesia dan Australia sesuai
pasal 19 ayat 1 maka: Remuneration, other than a pension or annuity, paid by
one of the Contracting States or a political subdivision or local authority of that
State to anyindividual in respect of services rendered to it shall be taxable only
in that State. However, such remuneration shall be taxable only in the other
Contracting State if the services are rendered in that other State and the
recipient is a resident of that other State who: (a) is a citizen or national of that
State; or (b) did not become a resident of that State solely for the purpose of
performing the service.
TENTANG
Menimbang :
a. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) jo. ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, atas penghasilan
berupa premi asuransi termasuk premi reasuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di
luar negeri dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto;
b. bahwa agar pemotongan pajak tersebut dapat dilaksanakan dengan baik maka dipandang perlu untuk
mengatur pelaksanaan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas penghasilan tersebut, dengan
Keputusan Menteri Keuangan;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262), sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983
Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3459) dan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1991 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
3. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1983 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL
26 ATAS PENGHASILAN BERUPA PREMI ASURANSI DAN PREMI REASURANSI YANG DIBAYAR KEPADA
PERUSAHAAN ASURANSI DI LUAR NEGERI
Pasal 1
(1). Atas pembayaran premi asuransi dan premi reasuransi kepada perusahaan asuransi di luar negeri
dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan
penghasilan neto.
(2). Besarnya perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut :
a. atas premi dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara
langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah premi yang
dibayar;
b. atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada
perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar
10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
c. atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada
perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5%
(lima persen) dari jumlah premi yang dibayar.
Pasal 2
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh :
a. tertanggung, dalam hal dilakukan pembayaran premi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2)
huruf a;
b. perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia, dalam hal dilakukan pembayaran premi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf b;
c. perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia, dalam hal dilakukan pembayaran premi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf c.
Pasal 3
(1). Pajak Penghasilan Pasal 26 atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 terutang pada
akhir bulan dilakukannya pembayaran premi atau pada akhir bulan terutangnya premi asuransi
tersebut.
(2). Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
pemotong selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah saat terutangnya pajak dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak (SSP).
(3). Pemotong pajak wajib membuat Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26, dalam rangkap 3
(tiga) :
- Lembar 1, untuk pihak yang dipotong penghasilannya;
- Lembar 2, untuk dilampirkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan 26
yang disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong pajak terdaftar;
- Lembar 3, untuk arsip pemotong pajak.
Pasal 4
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Keputusan ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 5
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di JAKARTA
Pada tanggal 27 Desember 1994
MENTERI KEUANGAN,
ttd
MAR'IE MUHAMMAD
Tasya Salfira
01012180120
Negara A
Batas Max = 50.000.000/1.000.000.000 x 932.500.000 = 46.625.000
Sudah dipotong di LN = 50.000.000 x 20% = 10.000.000
PPh 24 = 10.000.000
Negara B
Batas Max = 500.000.000/1.000.000.000 x 932.500.000 = 466.250.000
Sudah dipotong di LN = 500.000.000 x 25% = 125.000.000
PPh 24 = 125.000.000
Negara C
Batas Max = 250.000.000/1.000.000.000 x 932.500.000 = 233.125.000
Sudah dipotong di LN = 250.000.000 x 30% = 75.000.000
PPh 24 = 75.000.000
Pajak Terutang Kredit Pajak PPh 21= 8 juta, PPh 23= Rp 10 juta. PPh 25= 15 juta,
PPh 21 (4.000.000)
PPh 23 (5.000.000.)
PPh 25 (4.000.000.)
PPh 24 (125.000.000) B
PPh 24 (75.000.000) C
PPh KB 1.750.000
- Negara M
300.000 .000
Batas Max = x 241.875.000=Rp .80.625 .000
900.000 .000
PPh Terutang di Luar Negeri = 300.000.000 x 25% = Rp. 75.000.000
PPh 26 Negara M = Rp. 75.000.000
Kredit Pajak
PPh 23 (20.000.000.)
PPh 25 (10.000.000.)
PPh 24 (75.000.000) M
Advertisements