Dosen pengampu :
LATAR BELAKANG
RUMUSAN MASALAH
TUJUAN
b. Pemajakan terhadap wajib pajak luar negri (WPLN) atas penghasilan dari
dalam negeri (domestik).
Dimensi pertama merujuk pada permajakan atas penghasilan luar negeri atau
transaksi (ke) luar batas negara (outward, outbound transaction) karena umumnya
melibatkan eksportasi modal ke manca negara sedangkan dimensi kedua menunjuk
pada pemajakan ataspenghasilan domestik atau transaksi ke
dalam batas negara (inward, inbound transaction) karena umumnya melibatkan
importasi modal dari manca negara. Dalam aplikasinya pemajakan penghasilan luar
negeri dilakukan oleh negara domisili (residence country), sedangkan pemajakan
penghasilan domestik dilakukan oleh negara sumber (source country).
Pemajakan berganda terjadi karena benturan antar klaim pemajakan. Hal ini
karena adanya prinsip pemajakan global untuk wajib pajak dalam negeri (global
principle) dimana penghasilan dari dalam luar negeri dan dalam negeri dikenakan pajak
oleh negara residen (negara domisili wajib pajak). Selain itu, terdapat pemajakan
teritorial (source principle) bagi wajib pajak luar negeri (WPLN) oleh negara sumber
penghasilan dimana penghasilan yang bersumber dari negara tersebut dikenakan pajak
oleh negara sumber. Hal ini membuat suatu penghasilan dikenakan pajak dua kali,
pertama oleh negara residen lalu oleh negara sumber Misalnya: PT A punya cabang di
Jepang. Penghasilan cabang di jepang dikenakan pajak oleh fiskus Jepang. Lalu di
Indonesia penghasilan itu digabung dengan penghasilan dalam negeri lalu dikalikan tarif
pajak UU domestik Indonesia.
Bentokran klaim lebih diperparah bila terjadi dual residen, dimana terdapat dua
negara sama-sama mengklaim seorang subjek pajak sebagi wajib pajak dalam negerinya
yang menyebabkan ia terkena pemajakan global dua kali. Misalnya: Mr. A bekerja di
Indonesia lebih dari 183 hari namun setiap sabtu dan minggu ia pulang ke rumahnya di
Singapura. Mr. A dianggap WPDN oleh Indonesia dan juga Singapura sehingga
untuk wajib melapor dan membayar pajak untuk penghasilan globalnya pada Indonesia
maupun Singapura.
Baik negara sumber maupun negara domisili biasanya berhak untuk mengenakan
pajak berdasarkan undang-undang domestiknya. Pengenaan pajak oleh dua yurisdiksi
perpajakan terhadap satu jenis penghasilan inilah yang biasanya menimbulkan
pengenaan pajak berganda sehingga perlu diatur dalam suatu persetujuan antara negara
sumber dan negara domisili.
b. Hukum yang mengatur perjanjian pajak untuk mencegah pajak ganda dan lain-
lain perjanjian internasional;
c. Bagian dari hukum antar bangsa, yaitu :
c. Traktat-traktat.
Menurut Negara-negara Anglo Saxon, hukum Pajak Internasional dibagi sebagai berikut:
Internasional Tax Law dibedakan dalam arti sempit dan arti luas. Hukum
Pajak Internasional dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaedah pajak
yang berdasarkan prinsip-prinsip hukum pajak yang telah lazim diterima baik
oleh Negara-negara di Dunia, mempunyai tujuan mengatur soal perpajakan
antara negara yang saling mempunyai kepentingan.
Sedangkan Hukum Pajak Internasional dalam arti luas adalah keseluruhan
kaedah baik yang berdasarkan traktat-traktat, konvensi-konvensi, dan prinsip
hukum pajak yang diterima baik oleh negara-negara di Dunia,maupun kaedah-
kaedah nasional yang mempunyai sebagai obyeknya pengenaan pajak dalam
mana dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur asing, hal mana mungkin dapat
menimbulkan bentrokan antara dua negara atau lebih.
a. Perjanjian bilateral;
Apabila negara kita tidak tunduk dan patuh terhadap hukum internasional,
maka negara kita akan diberikan sanksi secara bersama oleh negara yang
mengikuti konvensi tersebut, dalam hal demikian Indonesia akan dikucilkan
dalam dunia internasional dan berdampak terhadapperekonomian negara
Indonesia secara keseluruhan, sehingga mau tidak mau Indonesia harus turut serta
menjalankan konvensi tersebut.
Antara suatu negara dengan negara lain bisa jadi saling berbeda
pandangannya tentang skema apa saja yang dapat dikategorikan sebagai
acceptable tax avoidance atau unacceptable tax avoidance. Dengan demikian,
bisa saja suatu skema penghindaran pajak tertentu di suatu negara dikatakan
sebagai penghindaran pajak yang tidak diperkenankan, tetapi di negara lain
dikatakan sebagai penghindaran pajak yang diperkenankan. Istilah lain yang
sering dipergunakan untuk menyatakan penghindaran pajak yang tidak
diperkenankan adalah aggressive tax planning dan istilah untuk penghindaran
pajak yang diperkenankan adalah defensive tax planning.
Tax planning adalah “upaya Wajib Pajak untuk meminimalkan pajak yang
terutang melalui skema yang memang telah jelas diatur dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan dan sifatnya tidak menimbulkan dispute antara
Wajib Pajak dan otoritas pajak.
Berkaitan dengan tax avoidance, pertanyaan yang layak kita ajukan adalah
apakah suatu skema transaksi yang tujuannya semata-mata untuk penghindaran
pajak (tidak ada tujuan bisnisnya) dengan cara memanfaatkan kelemahan
ketentuan perpajakan yang ada dapat dibenarkan? Dalam konteks perpajakan
internasional, ada berbagai skema yang biasa dilakukan oleh PMA untuk
melakukan penghematan pajak yaitu dengan skema seperti (i)transfer pricing,
(ii)thin capitalization, (iii)treaty shopping, dan (iv) controlled foreign corporation
(CFC).
Tn Kurniawan seorang wajib pajak dalam negeri, adalah pegawai dari PT MAJU
JAYA. Pada suatu waktu sehubungan dengan pekerjaannya dia harus
melaksanakan tugasnya di Amerika selama 100 hari. Untuk itu dia mendapatkan
penghasilan sebesar USD 10,000 dari PT MAJU JAYA.
B. Model P3B
Pajak yang lazim dicakup dalam P3B adalah pajak yang dapat menimbulkan
masalah pengenaan pajak berganda internasional, yaitu pajak penghasilan dan pajak
kekayaan. Pajak yang lain misalnya PPN dan PPn BM tidak dicakup dalam P3B
karena tidak menimbulkan masalah pajak berganda Internasional, sebab pada
dasarnya PPN dan PPn BM merupakan pajak atas konsumsi dalam negeri (localtax).
Cakupan P3B tidak hanya untuk pajak pusat saja namun juga meliputi pajak
daerah, selama jenis pajak tersebut termasuk dalam kategori pajak penghasilan atau
pajak kekayaan. Hal ini bisa dilihat dalam Pasal 2 ayat (1) model P3B Indonesia
menunjukkan jenis pajak yang dicakup P3B tanpa memperdulikan siapa yang
memungut pajak tersebut (Surahmat, 2006). Karena kenyataannya di beberapa negara
pajak penghasilan bisa dipungut pemerintah pusat atau bisa pula oleh pemerintah
daerah.