Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

KONSEP DASR PAJAK INTERNASIONAL

Dosen pengampu :

Samuel Soewita SE, SH, MM, MH


Di susun oleh :
Mohammad Syafi'i
Deny Faisal
Nana
Sevi Esa Yugo

PRODI S2 ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JAMBI
2023
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
RUMUSAN MASALAH
TUJUAN

1.1 Konsep Dasar Perpajakan International

1.1.1 Pajak International


Definisi Pajak Internasional dalam Undang-undang Pajak Penghasilan sampai detik ini
belum ada. Penulis bersama dengan Bapak Sriadi Kepala Seksi Perjanjian Perpajakan Eropa,
Kantor Pusat Direktorat Jendral Pajak, memberanikan diri untuk mendefinisikan tentang
pengertian Pajak Internasional berdasarkan uraian sebelumnya.

“Pajak Internasional adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku di antara


negara yang mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan
pelaksanaanya dilakukan dengan niat baik sesuai dengan Konvensi Wina (Pacta
Sunservanda).

Dengan demikian peraturan perpajakan yang berlaku di Negara Indonesia


terhadap badan atau orang asing menjadi tidak berlaku bilamana terdapat perjanjian
bilateral (dua negara) tentang Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan negara
asal atau penduduk asing tersebut.

Secara umum, ketentuan pajak internasional suatu negara meliputi 2 (dua)


dimensi luas yaitu:

a. Pemajakan terhadap wajib pajak dalam negeri (WPDN) atas penghasilan


dari luar negeri, dan

b. Pemajakan terhadap wajib pajak luar negri (WPLN) atas penghasilan dari
dalam negeri (domestik).

Dimensi pertama merujuk pada permajakan atas penghasilan luar negeri atau
transaksi (ke) luar batas negara (outward, outbound transaction) karena umumnya
melibatkan eksportasi modal ke manca negara sedangkan dimensi kedua menunjuk
pada pemajakan ataspenghasilan domestik atau transaksi ke
dalam batas negara (inward, inbound transaction) karena umumnya melibatkan
importasi modal dari manca negara. Dalam aplikasinya pemajakan penghasilan luar
negeri dilakukan oleh negara domisili (residence country), sedangkan pemajakan
penghasilan domestik dilakukan oleh negara sumber (source country).

1.1.2 Tujuan Kebijakan Perpajakan Internasional


Setiap kebijakan tentu mempunyai tujuan khusus yang ingin dicapai, begitu juga
dengan kebijakan perpajakan internasional juga mempunyai tujuan yang ingin dicapai
yaitu memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di masing-masing
negara, pemerintah berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat
perdagangan dan investasi tersebut. Salah upaya untuk meminimalkan beban tersebut
adalah dengan melakukan penghindaraan pajak berganda internasional.

1.1.3 Prinsip-Prinsip yang Harus Dipahami dalam Perpajakan Internasional

Doernberg (1989) menyebut 3 unsur netralitas yang harus dipenuhi dalam


kebijakan pemajakan internasional:

a. Capital Export Neutrality (Netralitas Pasar Domestik): Kemanapun kita


berinvestasi, beban pajak yang dibayar haruslah sama. Sehingga tidak ada
bedanya bila kita berinvestasi di dalam atau luar negeri. Maka jangan sampai
bila berinvestasi di luar negeri, beban pajaknya lebih besar karena
menanggung pajak dari dua negara. Hal ini akan melandasi UU PPh Psl 24
yang mengatur kredit pajak luar negeri.
b. Capital Import Neutrality (Netralitas Pasar Internasional): Darimanapun
investasi berasal, dikenakan pajak yang sama. Sehingga baik investor dari
dalam negeri atau luar negeri akan dikenakan tarif pajak yang sama bila
berinvestasi di suatu negara. Hal ini melandasi hak pemajakan yang sama
dengan Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) terhadap permanent
establishment (PE) atau Badan Usaha Tetap (BUT) yang dapat berupa cabang
perusahaan ataupun kegiatan jasa yang melewati time-test dari peraturan yang
berlaku.
c. National Neutrality: Setiap negara, mempunyai bagian pajak atas penghasilan
yang sama. Sehingga bila ada pajak luar negeri yang tidak bisa dikreditkan
boleh dikurangkan sebagai biaya pengurang laba.

1.2 Pemajakan Transaksi Lintas Negara

Pemajakan berganda terjadi karena benturan antar klaim pemajakan. Hal ini
karena adanya prinsip pemajakan global untuk wajib pajak dalam negeri (global
principle) dimana penghasilan dari dalam luar negeri dan dalam negeri dikenakan pajak
oleh negara residen (negara domisili wajib pajak). Selain itu, terdapat pemajakan
teritorial (source principle) bagi wajib pajak luar negeri (WPLN) oleh negara sumber
penghasilan dimana penghasilan yang bersumber dari negara tersebut dikenakan pajak
oleh negara sumber. Hal ini membuat suatu penghasilan dikenakan pajak dua kali,
pertama oleh negara residen lalu oleh negara sumber Misalnya: PT A punya cabang di
Jepang. Penghasilan cabang di jepang dikenakan pajak oleh fiskus Jepang. Lalu di
Indonesia penghasilan itu digabung dengan penghasilan dalam negeri lalu dikalikan tarif
pajak UU domestik Indonesia.

Bentokran klaim lebih diperparah bila terjadi dual residen, dimana terdapat dua
negara sama-sama mengklaim seorang subjek pajak sebagi wajib pajak dalam negerinya
yang menyebabkan ia terkena pemajakan global dua kali. Misalnya: Mr. A bekerja di
Indonesia lebih dari 183 hari namun setiap sabtu dan minggu ia pulang ke rumahnya di
Singapura. Mr. A dianggap WPDN oleh Indonesia dan juga Singapura sehingga
untuk wajib melapor dan membayar pajak untuk penghasilan globalnya pada Indonesia
maupun Singapura.

Dalam kaitan pembagian hak pemajakan ini, negara-negara yang melakukan


perjanjian perpajakan dibagi menjadi dua jenis. Pertama adalah negara sumber (source
country) yang merupakan negara di mana penghasilan yang merupakan objek pajak
timbul. Kedua adalah negara domisili (resident country)
yaitu negara tempat subjek pajak bertempat tinggal, berkedudukan atau berdomisili
berdasarkan ketentuan perpajakan.

Baik negara sumber maupun negara domisili biasanya berhak untuk mengenakan
pajak berdasarkan undang-undang domestiknya. Pengenaan pajak oleh dua yurisdiksi
perpajakan terhadap satu jenis penghasilan inilah yang biasanya menimbulkan
pengenaan pajak berganda sehingga perlu diatur dalam suatu persetujuan antara negara
sumber dan negara domisili.

1.3 Konsep Juridical Versus Economic Double Taxation

Dalam komentar atau Pasal 23 A dan 23 B model P3B OECD membedakan


antara pajak berganda yuridis (juridical double taxation) dengan pajak ganda ekonomis
(economic double taxation). Pajak berganda yuridis terjadi apabila atas penghasilan
yang sama yang diterima oleh orang yang sama dikenakan pajak oleh lebih dari satu
negara, sedangkan pajak berganda ekonomis terjadi apabila dua orang yang berbeda
(secara hukum) dikenakan pajak atas suatu penghasilan yang sama (atau identik).

Atas perbedaan tersebut Arnold dan McIntyre (2002) menyebutkan sebagai


definisi legal atas Pajak Berganda Internasional (sebutan lain dari PBI yuridis) dan
konsep ekonomis yang luas atas PBI. Berdasar definisi legal,pemajakan badan usaha
(atau perusahaan induk) oleh suatu Negara dan pemajakan atas pemegang saham (atau
perusahaan anak) oleh negara lain bukanlah suatu pajak berganda karena mereka
merupakan dua subjek hukum yang berbeda. Namun demikian, secara ekonomis PBI
terjadi dalam kasus badan dengan pemegang sahamnya karena mereka merupakan satu
kesatuan ekonomis. Pajak bergganda ekonomis dapat terjadi apabila penghasilan
dikenakan pajak pada persekutuan dan kepada sekutu, atau kepada lembaga wali amanat
(trust) dan pemilik manfaat manat (beneficiaries), dan pemajakan penghasilan pada
keluarga dan anggota keluarga.
Dalam komentar atas Pasal 23A dan 23B, model konvensi OECD menjelaskan
tentang PBI yuridis dan ekonomis. Sementara PBI yuridis terjadi apabila suatu
penghasilan (atau modal) yang sama dikenakan pajak di tangan orang (subjek) yang
sama oleh lebih dari satu Negara, PBI ekonomis timbul apabila dua orang yang (secara
yuridis) berbeda dikenakan pajak atas suatu penghasilan (atau modal maupun objek)
yang sama (oleh lebih dari satu negara). Dalam PBI yuridis tampak bahwa pemajakan
oleh lebih dari satu negara tersebut dilakukan terhadap satu subjek legal yang sama
(legal identityof subject). Di pihak lain, PBI ekonomis meliputi pemajakan atas objek
yang sama terhadap legal subjek yang berbeda, namun secara ekonomis identik atau
setidaknya merupakan para wajib pajak yang terdapat hubungan (economic identity of
subject).

1.4 Sumber Hukum Perpajakan Internasional


Ottmar Buhler membagi Hukum Pajak Internasional dalam arti sempit dan
hukum pajak internasional dalam arti luas. Hukum Pajak Internasional dalam arti sempit
adalah (Agus Setiawan, 2006):

“Kaedah-kaedah norma hukum perselisihan yang didasarkan pada hukum antar


bangsa (hukum internasional),”

Sedangkan hukum pajak dalam arti luas ialah:

“Kaedah-kaedah hukum antar bangsa ini ditambah peraturan nasional yang


mempunyai obyek hukum perselisihan, khususnya tentang perpajakan.”

Teicher memberikan kesimpulan bahwa dalam hukum pajak internasional


dalam arti luas termasuk sebagai berikut:

a. Hukum Pajak Internasional dan Nasional

b. Hukum yang mengatur perjanjian pajak untuk mencegah pajak ganda dan lain-
lain perjanjian internasional;
c. Bagian dari hukum antar bangsa, yaitu :

i. Peraturan hukum yang mengandung soal-soal pajak dalam hukum


internasional/antar bangsa yang diakui secara umum;
ii. Keputusan Pengadilan Internasional Den Haag yang memuat soal-
soal perpajakan;
iii. Apa yang telah berkembang sebagai hukum pajak pada masyarakat
internasional (tertentu) seperti supranationales steuerrecht.

Menurut Rosendorff, “Hukum Pajak Internasional sebagai keseluruhan Hukum


Pajak Nasional dari semua negara yang ada di Dunia.”

Menurut PJA Adriani, “Hukum Pajak Internasional ialah keseluruhan peraturan


yang mengatur tata tertib hukum dan yang mengatur soal penyedotan daya beli itu di
masing-masing negara.”

Pengertian Hukum Pajak Internasional itu merupakan suatu pengertian yang


lebih luas dari pada pengertian Pajak Ganda dan Hukum Pajak Nasional itu termasuk di
dalam Hukum Pajak Internasional. Hukum Pajak Internasional merupakan suatu
kesatuan hukum yang mengupas suatu persoalan yang diatur dalam Undang-undang
nasional mengenai :

a. Pengenaan pajak terhadap orang-orang luar negeri;

b. Peraturan-peraturan nasional untuk menghindari pajak ganda;

c. Traktat-traktat.

Menurut Negara-negara Anglo Saxon, hukum Pajak Internasional dibagi sebagai berikut:

1. Hukum Pajak Nasional mengatur Hukum Pajak Luar Negeri (National


External TaxLaw);
National External Tax Law merupakan bagian dari hukum pajak nasional yang
memuat ketentuan-ketentuan mengenai pengenaan pajak yang mempunyai
daya kerja sampai di luar batas-batas negara karena terdapat unsur-unsur
asing, baik mengenai obyeknya (sumber ada di luar negeri) maupun mengenai
subyeknya (subyek ada di Luar Negeri).
2. Hukum Pajak Luar Negeri (Foreign Tax law);

Foreign Tax Law ialah keseluruhan perundang-undangan dan peraturan-


peraturan dari negara-negara yang ada di seluruh dunia.
3. Hukum Pajak Internasional (Internasioanal Tax Law);

Internasional Tax Law dibedakan dalam arti sempit dan arti luas. Hukum
Pajak Internasional dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaedah pajak
yang berdasarkan prinsip-prinsip hukum pajak yang telah lazim diterima baik
oleh Negara-negara di Dunia, mempunyai tujuan mengatur soal perpajakan
antara negara yang saling mempunyai kepentingan.
Sedangkan Hukum Pajak Internasional dalam arti luas adalah keseluruhan
kaedah baik yang berdasarkan traktat-traktat, konvensi-konvensi, dan prinsip
hukum pajak yang diterima baik oleh negara-negara di Dunia,maupun kaedah-
kaedah nasional yang mempunyai sebagai obyeknya pengenaan pajak dalam
mana dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur asing, hal mana mungkin dapat
menimbulkan bentrokan antara dua negara atau lebih.

Sumber-sumber Hukum Pajak Intenasional


Sumber-sumber Hukum Pajak Intenasional terlalu luas jika ingin kita kaji,
sehingga dipersempit hanya terkait dengan Negara Indonesia, sumber-sumber
hukum terebut antara lain :

A. Kaedah Hukum Pajak Nasional/Inilaateral yang mengandung unsur


asing, antara lain:
a. Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur P3B (Pasal 32 A UU PPh)
tentang “Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan
negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan
pengelakan pajak.”;
b. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang : Subjek Pajak
Luar Negeri dan Bentunk Usaha Tetap (BUT);
c. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang: Tidak
Termasuk Subyek Pajak;
d. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 5 ayat (2) UU PPh) tentang:
Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak
Termasuk Subyek Pajak Bentuk Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3
UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subjek Pajak Usaha Tetap;
e. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tentang: Hubungan
Istimewa, Billamana Terdapat Ketidakwajaran dalam Perpajakan;
f. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang: Kredit Pajak
Luar Negeri;
g. Peraturan Perpajakan Nasianal (Pasal 26 UU PPh) tentang: Pemotongan
Pajak atas Subjek Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan dari
Indonesia.

B. Kaedah-kaedah yang berasal dari traktat:

a. Perjanjian bilateral;

b. Perjanjanjian ini diwujudkan dengan adanya Perjanjian Penghindaran


Pajak Berganda (P3B).
c. Perjanjian multirateral

Perjanjian ini seperti Konvensi Wina.

C. Keputusan Hakim Nasional atau Komisi Internasional tentang pajak-


pajak Internasional.
Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya putusan pengadilan pajak yang
menyangkut tentang perpajakan Internasional, atau Keputusan Pengadilan
internasional Den Haag yang memuat soal-soal perpajakan.

Berdasarkan Pasal 32 A Undang-undng Pajak Penghasilan, pemerintah


berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam
rangka penghindaran Pajak Berganda dan pencegahan Pengelakan Pajak. Dalam
penjelasannya, perjanjian ini dimaksudkan dalam rangka peningkatan hubungan
ekonomi dan perdagangan dengan negara lain diperlukan suatu perangkat hukum
yang berlaku khusus (lex-spesialis) yang mengatur hak-hak pengenaan pajak dari
masing-masing negara guna memberikan kepastian hukum dan menghindarkan
pengenaan pajak berganda serta pengelakan pajak. Adapun bentuk dan meterinya
mengacu pada Konvensi Internasional dan ketentuan lainnya serta ketentuan
perpajakan nasional masing-masing negara. Atas dasar tersebut maka Negara
Indonesia mengakui Konvensi Wina tahun 1961 (CD) dan 1963 (CC), dan tax
treaty berbagai negara.

Menurut Rochmat Soemitro, dalam Hukum Pajak Internasional mencakup


juga perjanjian bilateral perpajakan yang disebut dengan istilah “Traktat antar
negara utuk mengatur soal-soal perpajakan dan dalam mana dapat ditunjukan
adanya unsur-unsur asing, baik mengenai subyeknya maupun mengenai
obyeknya.

Kekuasaan Negara itu tidak hanya menciptakan UU Pasal 23 ayat 2 UUD


1945, namun kekuasaan ini juga tercemin dalam mana negara mempertahankan
kedaulatan negara dimana tidak ada Hukum Internasional mana atau oleh siapa
yang dapat membatasi wewenang ini.

Apabila negara kita tidak tunduk dan patuh terhadap hukum internasional,
maka negara kita akan diberikan sanksi secara bersama oleh negara yang
mengikuti konvensi tersebut, dalam hal demikian Indonesia akan dikucilkan
dalam dunia internasional dan berdampak terhadapperekonomian negara
Indonesia secara keseluruhan, sehingga mau tidak mau Indonesia harus turut serta
menjalankan konvensi tersebut.

A. Prinsip Non Diskriminasi

Ketentuan non diskriminasi dimaksudkan untuk memberikan perlindungan


di bidang perpajakan bagi warga negara dari suatu negara treaty partner yang
melakukan kegiatan di negara treaty partner lainnya. perlindungan yang
dimaksud adalah warga negara dari negara treaty partner lainnya dibandingkan
warga negara di negara itu dalam keadaan atau kondisi yang sama (the same
circumstances).
Ketentuan non diskriminasi itu berlaku atas suatu bentuk usaha tetap dari
perusahaan yang adalah penduduk dari suatu negara treaty partner lainnya atau
perusahaan penanaman modal di negara itu yang modalnya sebagian atau
seluruhnya dimiliki atau dikuasai baik langsung maupun tidak langsung oleh
penduduk dari negara yang disebutkan pertama. Namun, ketentuan ini tidak
mewajibkan negara treaty partner lainnya memberikan keringanan (allowances),
potongan (reliefs) ataupun pengurangan (deductions) pengenaan pajak kepada
warga negara atau penduduk dari negara yang disebutkan pertama di atas.

Sebagai perusahaan yang berorientasi laba, sudah tentu suatu perusahaan


domestik maupun perusahaan multinasional berusaha meminimalkan beban pajak
dengan cara memanfaatkan kelemahan sistem ketentuan pajak dari suatu negara.
Di banyak negara, skema penghindaran pajak dapat dibedakan menjadi:

1. Penghindaran pajak yang diperkenankan (acceptable tax avoidance).

2. Penghindaran pajak yang tidak diperkenankan (unacceptable tax avoidance).

Antara suatu negara dengan negara lain bisa jadi saling berbeda
pandangannya tentang skema apa saja yang dapat dikategorikan sebagai
acceptable tax avoidance atau unacceptable tax avoidance. Dengan demikian,
bisa saja suatu skema penghindaran pajak tertentu di suatu negara dikatakan
sebagai penghindaran pajak yang tidak diperkenankan, tetapi di negara lain
dikatakan sebagai penghindaran pajak yang diperkenankan. Istilah lain yang
sering dipergunakan untuk menyatakan penghindaran pajak yang tidak
diperkenankan adalah aggressive tax planning dan istilah untuk penghindaran
pajak yang diperkenankan adalah defensive tax planning.

Dalam buku-buku perpajakan, istilah tax avoidance biasanya diartikan


“sebagai suatu skema transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan beban pajak
dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan perpajakan
suatu negara.” Dengan demikian, banyak ahli pajak menyatakan skema tersebut
sah-sah saja (legal) karena tidak melanggar ketentuan perpajakan. Lebih lanjut,
The Asprey Comittee of Australia,seperti yang dikutip oleh Indrayagus Slamet
menyatakan bahwa tax avoidance umumnya menyangkut perbuatan yang masih
dalam koridor hukum tapi tidak berdasarkan ”bonafide dan adequate
consideration”, atau berlawanan dengan maksud dari pembuat undang-undang(the
intention of parliament).

Tax planning adalah “upaya Wajib Pajak untuk meminimalkan pajak yang
terutang melalui skema yang memang telah jelas diatur dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan dan sifatnya tidak menimbulkan dispute antara
Wajib Pajak dan otoritas pajak.

Sedangkan tax evasion diartikan sebagai suatu skema memperkecil pajak


yang terutang dengan cara melanggar ketentuan perpajakan (illegal) seperti
dengan cara tidak melaporkan sebagian penjualan atau memperbesar biaya dengan
cara fiktif.

Berkaitan dengan tax avoidance, pertanyaan yang layak kita ajukan adalah
apakah suatu skema transaksi yang tujuannya semata-mata untuk penghindaran
pajak (tidak ada tujuan bisnisnya) dengan cara memanfaatkan kelemahan
ketentuan perpajakan yang ada dapat dibenarkan? Dalam konteks perpajakan
internasional, ada berbagai skema yang biasa dilakukan oleh PMA untuk
melakukan penghematan pajak yaitu dengan skema seperti (i)transfer pricing,
(ii)thin capitalization, (iii)treaty shopping, dan (iv) controlled foreign corporation
(CFC).

Pada umumnya dalam melakukan penghematan pajak tersebut, Wajib


Pajak dapat menjalankan dalam bentuk:

1. Substantive tax planning, yang terdiri atas:

a. Memindahkan subjek pajak (transfer of tax subject) ke negara-negara yang


dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan
pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.
b. Memindahkan objek pajak (transfer of tax subject) ke negara-negara yang
dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan
pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.
c. Memindahkan subjek pajak dan objek pajak (transfer of tax subject and of
tax object) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau
negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas
suatu jenis penghasilan.
2. Formal tax planning

Melakukan penghindaran pajak dengan cara tetap mempertahankan


substansi ekonomi dari suatu transaksi dengan cara memilih berbagai bentuk
formal jenis transaksi yang memberikan beban pajak yang paling rendah.

B. Konsep Anti-Tax Avoidance

Dalam menghadapi skema-skema unacceptable tax avoidance atau


aggressive tax planning seperti tersebut di atas, umumnya suatu negara
menerbitkan ketentuan pencegahan penghindaran pajak yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan sebagai berikut ini:

1. Specific Anti Avoidance Rule(SAAR), yaitu ketentuan anti


penghindaran pajak atas transaksi seperti (i) transfer pricing, (ii)thin
capitalization, (iii)treaty shopping, dan (iv) controlled foreign
corporation (CFC).
2. General Anti Avoidance Rule (GAAR), yaitu ketentuan anti
penghindaran pajak untuk mencegah transaksi yang semata-mata
dilakukan oleh Wajib Pajak yang semata-mata untuk tujuan
penghindaran pajak atau transaksi yang tidak mempunyai substansi
bisnis.

Di banyak negara, seperti di Israel dan Kanada, telah membuat suatu


ketentuan untuk menangkal praktik unacceptable tax avoidance atau aggressive
tax planning yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Hal ini disebabkan karena tax
planning yang dilakukan oleh Wajib Pajak tidak bersifat defensive tax
planninglagi tetapi sudah semakin offensive yaitu dengan membuat suatu transaksi
semu yang pada dasarnya tidak ada tujuan bisnisnya atau membuat suatu entitas
usaha di negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven country. Di
Australia, skema-skema yang dapat dikategorikan sebagai aggressive tax
planning oleh Australian Taxation Office (ATO) adalah sebagai berikut:

1. Transaksi yang dibuat semata-mata untuk tujuan menghindari


pajak. Dengan kata lain transaksi tersebut tidak mempunyai tujuan
bisnis, kalaupun ada tujuan bisnisnya tetapi sangat tidak
signifikan.
2. Berusaha untuk mendapatkan fasiltas pajak yang sebenarnya
fasilitas pajak tersebut tidak ditujukan kepadanya.
3. Membuat transaksi yang berputar-putar yang akhirnya transaksi
tersebut akan kembali lagi kepadanya (round-robin flow of funds).
4. Penggelelembungan nilai aset untuk mendapatkan biaya
penyusutan yang besar di masa yang akan datang.
5. Memanfaatkan suatu entitas usaha di mana penghasilan yang
diterima oleh entitas usaha tersebut dikecualikan sebagai objek
pajak.
6. Transaksi bisnis yang melibatkan negara-negara yang
dikategorikan sebagai tax haven countries.

Bagaimana dengan Indonesia?

Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan kita yang berlaku saat


ini, belum ada definisi yang jelas mengenai tax plannning, agresive tax
planning,acceptable tax avoidancedanunacceptable tax avoidance. Dengan
demikian, dalam praktiknya sering menimbulkan penafsiran yang berbeda antara
Wajib Pajak dan aparat pajak. Wajib Pajak dan aparat pajak tentu akan
memberikan penafsiran sendiri-sendiri yang menguntungkan mereka, sehingga
menimbulkan ketidakpastian hukum.

Dari sudut pandang Wajib Pajak, tentu akan berpendapat bahwa


sepanjang skema penghindaran pajak yang mereka lakukan tidak dilarang dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan tentu sah-sah saja (legal). Hal ini
dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Akan tetapi, di
sisi lain, pemerintah tentu juga berkepentingan bahwa jangan sampai suatu
ketentuan perpajakan disalahgunakan oleh Wajib Pajak untuk semata-mata tujuan
penghindaran pajak yang akan merugikan penerimaan negara. Oleh karena itu,
untuk kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak maupun bagi pemerintah, ketentuan
tentang tax planning, tax avoidance, dan anti tax avoidance yang berupa Specific
Anti Avoidance Rule (SAAR) maupun General Anti Avoidance Rule (GAAR)
harus diatur secara jelas dan rinci dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, baik untuk ketentuan formalnya yaitu terkait dengan sanksi, maupun
dalam ketentuan materialnya.

C. Pengertian dan Tujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)

1. Pengertian Pajak Berganda

P3B adalah perjanjian internasional di bidang perpajakan antar kedua


negara yang mengatur pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh penduduk salah satu negara atau penduduk kedua negara dalam
persetujuan itu.

Setiap negara di dunia mempunyai kedaulatan penuh dalam mengenakan


pajak menurut undang-undang domestik di negaranya. Dalam suatu transaksi
internasional, di mana masing-masing negara mempertahankan aturan domestic
negaranya maka tidak dapat dihindari adanya kemungkinan pengenaan pajak
berganda. Sebagai ilustrasi digambarkan sebagai berikut:

Tn Salim seorang penduduk Indonesia sebagai subjek pajak dalam negeri


Indonesia menjadi pemegang saham di SINGAPORE TRADING Pte Ltd sebuah
perusahaan yang berkedudukan di Singapura. Pada suatu waktu SINGAPORE
TRADING Pte Ltd membagikan dividen kepada para pemegang sahamnya.

Berdasarkan ketentuan domestik UU Pajak Singapura atas penghasilan


dividen yang diterima Tn Salim akan dikenakan pajak di Singapura. Sedangkan
berdasarkan ketentuan domestik UU Pajak Indonesia, sebagai subjek pajak dalam
negeri maka penghasilan Tn Salim baik yang diterima/diperoleh di Indonesia
maupun diperoleh di luar negeri akan dikenakan pajak di Indonesia. Akibatnya
penghasilan berupa dividen yang diterima/diperoleh Tn Salim akan dikenakan
pajak dua kali yaitu oleh Singapura maupun oleh Indonesia atas satu jenis
penghasilan.

Setiap negara pada dasarnya tidak menghendaki pengenaan pajak


berganda. Selain menimbulkan ketidakadilan pajak berganda juga akan
menghambat transaksi internasional. Aturan domestik masing-masing Negara
umumnya telah mengatur mekanisme untuk mengurangi pajak berganda ini.

Di dalam UU Pajak domestik Indonesia yaitu di pasal 24 UU PPh sudah


diatur mengenai perlakuan kredit pajak atas pajak yang dibayar di luar negeri.
Namun ketentuan tersebut belum cukup efektif untuk benar-benar menghindarkan
dampak pajak berganda. Selain karena pengkreditan pajak di luar negeri dibatasi
maksimal sebanding dengan penghasilan di luar negeri dibanding dengan
penghasilan kena pajak terhadap PPh terutang juga masalah sudut pandang dalam
melihat sumber penghasilan. Berikut ini adalah ilustrasi yang dapat
menggambarkan ketidakefektifan tersebut.

Tn Kurniawan seorang wajib pajak dalam negeri, adalah pegawai dari PT MAJU
JAYA. Pada suatu waktu sehubungan dengan pekerjaannya dia harus
melaksanakan tugasnya di Amerika selama 100 hari. Untuk itu dia mendapatkan
penghasilan sebesar USD 10,000 dari PT MAJU JAYA.

Ketentuan pajak domestik Amerika mengatur bahwa sumber penghasilan


sehubungan dengan pekerjaan adalah pada negara tempat pekerjaan tersebut
dilakukan. Sementara itu Indonesia menganggap bahwa sumber penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan adalah pada negara tempat pihak yang membayar
atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan.

Jadi pada kasus ini Indonesia dan Amerika sama-sama menganggap


berhak untuk memajaki penghasilan Tn Kurniawan karena dua-duanya
menganggap negaranya adalah negara sumber penghasilan. Indonesia akan
memajaki dengan tarif progresif, sementara Amerika akan memajaki sesuai
dengan tarif pajak yang berlaku di Amerika.

Perlakukan untuk mengkreditkan pajak yang dibayar di Amerika


berdasarkan pasal 24 UU PPh tidak dapat digunakan karena penghasilan Tn
Kurniawan tersebut dianggap bersumber dari Indonesia, bukan dari luar negeri.
Dengan demikian atas penghasilan Tn Kurniawan tersebut terjadi pengenaan
pajak berganda. Untuk supaya dapat lebih efektif mengurangi pajak berganda
yang belum terakomodasi dalam UU PPh, maka perlu dilakukan persetujuan
penghindaran pajak berganda (P3B).

2. Tujuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B/ Tax Treaty)

Persetujuan penghindaran pajak berganda adalah perjanjian pajak antara


dua negara secara bilateral yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan
yang diterima atau diperoleh penduduk dari salah satu atau kedua negara pada
pihak persetujuan.
P3B mempunyai tujuan yaitu :

1. Memfasilitasi perdagangan internasional dan arus investasi antar negara,


antara lain dengan cara :
a. menghindarkan pengenaan pajak berganda

b. memberikan pengurangan tarif pajak di negara sumber atas beberapa


bentuk penghasilan tertentu
2. Merupakan alat bagi kedua negara pihak persetujuan untuk lebih dapat
menerapkan aturan-aturan domestiknya sehingga dapat mengurangi adanya
praktek penghindaran pajak, misalnya dengan memungkinkan masing-masing
negara pihak persetujuan untuk saling tukar informasi, konsultasi bersama
atau mengadakan mutual agreement.
A. Kedudukan P3B Terhadap UU Pajak Domestik

Kedudukan P3B di suatu negara adalah tergantung pada sistem


perundangundangan negara tersebut. Di Indonesia P3B diperlakukan sebagai lex
specialis terhadap undang-undang domestik. Karena itu, apabila ada pertentangan
antara undang-undang domestik Indonesia dengan P3B, aturan-aturan yang ada
dalam P3B akan didahulukan.
Namun perlu diingat bahwa tujuan diadakannya P3B adalah untuk
menghindari adanya pemajakan berganda. Agar tidak terjadi pemajakan berganda
atas penghasilan yang sama yang diterima atau diperoleh oleh subjek yang sama
maka suatu P3B membatasi hak pemajakan suatu negara untuk mengenakan pajak
atas suatu penghasilan tersebut. Ketika masing-masing ketentuan domestik suatu
negara sama-sama mengenakan pajak atas penghasilan yang sama, maka
berdasarkan P3B, hak masing-masing negara tersebut untuk mengenakan pajak
atas suatu penghasilan dapat dihilangkan atau dibatasi. Dengan kata lain, ketika
suatu negara mengadakan P3B maka negara tersebut setuju untuk dibatasi haknya
untuk mengenakan pajak berdasarkan pembatasan yang diatur dalam P3B.
P3B tidak memberikan hak pemajakan baru kepada negara yang
mengadakan P3B. Adapun pengenaan pajak suatu negara atas suatu jenis
penghasilan didasarkan atas ketentuan domestik negara tersebut. Dengan
demikian, apabila dalam P3B suatu negara diberi hak pemajakan atas suatu
penghasilan tertentu, akan tetapi negara tersebut berdasarkan hukum domestiknya
tidak mengenakan pajak atas penghasilan tertentu tersebut maka negara tersebut
tidak dapat mengenakan pajak atas penghasilan tertentu tersebut walaupun P3B
memberikan hak pemajakan kepada negara tersebut. Penerapan ketentuan P3B
dan UU Domestik dapat digambarkan dalam tabel berikut ini:
Ketentuan UU Ketentuan Yang
Ketentuan P3B
Domestik Diberlakukan
Mengatur Mengatur P3B
Mengatur Tidak Mengatur UU Domestik
Tidak Mengatur Mengatur -
Tidak Mengatur Tidak Mengatur -
Tabel Penerapan Ketentuan P3B dan UU Domestik

B. Model P3B

Terdapat dua model P3B yang sering dijadikan acuan negara-negara di


dunia dalam membuat P3B, yaitu Organization for Economic Cooperation
And Development Model (OECD Model) dan United Nations Model (UN Model).
Namun biasanya dalam perundingan masing-masing negara akan mengajukan Model
P3Bnya masing-masing yang merupakan modifikasi dari OECD Model dan UN
Model tergantung dari sudut pandang kepentingan negara tersebut. OECD Model
dibuat berdasarkan perspektif atau kepentingan negara-negara maju, sedangkan UN
Model dibuat perdasarkan perspektif atau kepentingan negara-negara berkembang.
OECD Model lebih mengedepankan pada asas domisili negara yang memberikan jasa
atau menanamkan modal, di mana hak pemajakannya berada di negara domisili.
Sedangkan UN Model lebih mengedepankan asas sumber penghasilan, karena negara
berkembang umumnya yang menggunakan jasa dan yang menerima modal dari luar
negeri, sehingga model ini lebih menerapkan pemajakan yang berasal dari negara
yang memberi penghasilan (negara sumber). Indonesia mempunyai model sendiri
yang disebut P3B Model Indonesia (Indonesian Model) yang merupakan modifikasi
dari UN Model.

C. Pajak-pajak yang Dicakup dalam P3B (tax covered)

Pajak yang lazim dicakup dalam P3B adalah pajak yang dapat menimbulkan
masalah pengenaan pajak berganda internasional, yaitu pajak penghasilan dan pajak
kekayaan. Pajak yang lain misalnya PPN dan PPn BM tidak dicakup dalam P3B
karena tidak menimbulkan masalah pajak berganda Internasional, sebab pada
dasarnya PPN dan PPn BM merupakan pajak atas konsumsi dalam negeri (localtax).

Cakupan P3B tidak hanya untuk pajak pusat saja namun juga meliputi pajak
daerah, selama jenis pajak tersebut termasuk dalam kategori pajak penghasilan atau
pajak kekayaan. Hal ini bisa dilihat dalam Pasal 2 ayat (1) model P3B Indonesia
menunjukkan jenis pajak yang dicakup P3B tanpa memperdulikan siapa yang
memungut pajak tersebut (Surahmat, 2006). Karena kenyataannya di beberapa negara
pajak penghasilan bisa dipungut pemerintah pusat atau bisa pula oleh pemerintah
daerah.

Anda mungkin juga menyukai