Anda di halaman 1dari 9

Dasar hukum pengenaan pajak di Indonesia adalah Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Dasar Tahun 1945, yang

berbunyi, Segala pajak untuk kegunaan kas negara berdasarkan undang-undang. Setelah amandemen UUD
1945, ketentuan tentang pajak ada di Pasal 23A, yang berbunyi "Pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksauntuk keperluan negara diatur dengan undang-undang." Ketentuan ini sesuai dengan suatu dalil yang
berkembang di Inggris yaitu No Taxation without representation. Semua jenis pungutan yang membebani rakyat
harus didasarkan pada undang-undang. Khusus untuk Pajak Penghasilan, yang berlaku saat ini, Indonesia
memiliki Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (selanjutnya disebut UU PPh 1984).

Berdasarkan Pasal 2 UU PPh 1984, Indonesia membangun yurisdiksi pemajakan berdasarkan dua kaitan fiskal
(fiscal allegiance) yaitu: subjektif dan objektif. Pasal 2 ayat (3) huruf a UU PPh 1984 yang mengatur subjek pajak
dalam negeri, berbunyi, Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang
pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di
Indonesia. Menurut ketentuan ini, orang pribadi dapat disebut Wajib Pajak dalam negeri jika memenuhi salah
satu syarat berikut: tempat tinggal atau domisili, keberadaan, atau niat bertempat tinggal di Indonesia. Ketiga
syarat ini merupakan cara pengujian, dimanakah seseorang berdomisili.

Sedangkan untuk subjek pajak badan, ketentuan tentang domisili diatur dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b UU PPh
1984. Suatu badan dapat disebut Wajib Pajak dalam negeri jika memenuhi syarat sebagai berikut: badan
tersebut didirikan di Indonesia, atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Kepastian domisili ini sangat penting karena berkaitan dengan hak pemajakan berdasarkan asas domisili. Asas
domisili yaitu asas mengenai pengenaan pajak yang menentukan bahwa negara tempat Wajib Pajak bertempat
tinggal atau berkedudukan lebih berhak mengenakan pajak atas hasil-hasil yang diperoleh Wajib Pajak dalam
negeri yang berasal dari sumber di mana saja sumber itu ada, baik sumber itu berada di dalam negeri maupun di
luar negeri.

Selain asas domilisi, terdapat satu asas lagi yang berlaku dalam UU PPh 1984 dan diterima secara global, yaitu
asal sumber. Yurisdiksi sumber Indonesia mendasarkan kepada dua unsur, yaitu: menjalankan suatu aktivitas
ekonomi secara signifikan, dan menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari negara tersebut.

Menurut asas sumber, negara tempat sumber itu terletak, lebih berhak mengenakan pajak atas hasil yang keluar
dari sumber itu, tak pandang dimana orang yang memiliki sumber itu berada (di luar negeri yang mengenakan
pajak). Siapapun, orang pribadi atau badan, yang menerima atau memperoleh penghasilan, baik penghasilan
dari usaha (active income) atau penghasilan dari modal (passive income), dari Indonesia dapat dikenakan Pajak
Penghasilan. Dasar hukum asas ini adalah Pasal 2 ayat (4) UU PPh 1984.











PENGERTIAN PAJAK BERGANDA

Kneclitle dalam bukunya Basic Problems in International Fiscal Law (1979) membagi pengertian pajak
berganda secara luas dan sempit.

Pengertian secara luas :
pajak berganda meliputi setiap bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih dari satu kali, yang dapat
benganda (double taxation) atau lebih (multiple taxation) atas suatu fakta fiscal (subyek dan / atau obyek pajak).
Pengertian secara sempit :
pajak berganda dianggap dapat terjadi pada semua kasus pemajakan beberapa kali terhadap suatu subyek
dan/atau obyek pajak dalam satu administrasi pajak yang sama.

Pajak berganda dalam arti luas, sesuai dengan Negara (yuridiksi) pemungut pajaknya, dapat dikelompokkan
menjadi pajak berganda :
1. Internal (domestic)
2. Internasional

Pajak berganda yuridis terjadi apabila atas penghasilan yang sama yang diterima oleh orang yang sama
dikenakan pajak oleh lebih dari satu Negara, sedangkan pajak berganda ekonomis terjadi apabila dua orang
yang berbeda (secara hukum) dikenakan pajak atas suatu penghasilan yang sama (atau identik)

Beberapa Unsur Pajak Berganda Internasional
Apabila pemajakan berganda (double atau multiple taxation) dilakukan oleh beberapa administrasi pajak
(berdasarkan ketentuan pemajakan domestic dari tiap Negara) maka terdapat pajakberganda internasional.

Secara teoritis dan normative, istilah pajak berganda internasional (PBI) meliputi beberapa unsur :
1. Pengenaan pajak oleh beberapa otoritas pemajakan atas beberapa criteria identitas
2. Identitas subyek pajak (wajib pajak yang sama)
3. Identitas obyek pajak (obyek yang sama )
4. Identitas masa pajak
5. Identitas (atau kesamaan ) pajak

Selaras dengan unsure-unsur tersebut, maka pajakberganda internasional dapat terjadi apabila beberapa
Negara mengenakan pajak yang sama (sejens atau setara) terhadap satu wajib pajak atas obyek pajak yang saa
untuk masa pajak yang sama pula.

Beberapa Tipe Pajak Berganda Internasional
Menurut Knechtle, ada beberapa tipe PBI :
1. Faktual dan potensial
2. Yurisis dan ekonomis
3. Langsung dan tak langsung

Sebagaimana diketahui bahwa PBI timbul karena adanya benturan (over lapping) klaim pemajakan oleh
beberapa administrasi pajaksesuai dengan yurisdiksi pemajakan yang mereka miliki. Apabila klaim pemajakan
tersebut benar-benar dilaksanakan oleh beberapa Negara pemegang yurisdiksi maka akan terjadi PBI factual.
PBI tersebut menyebabkan membesarnya beban pajak yang ditanggung oleh WP apabila dibandingkan dengan
beban yang harus ditanggung seandainya pemajakan hanya dilaksanakan oleh satu Negara saja. Namun
apabila dari kedua atau lebih Negara pemegang klaim pajak, hanya satu Negara saja yang melaksanakan klaim
pemajakan tersebut maka akan terjadi apa yang disebut PBI potensial. Berbeda dengan PBI factual, PBI ini tidak
akan menimbulkan membesarnya beban pajak karena pemajakan hanya dilaksanakan oleh satu Negara saja.


Sementara PBI yuridis terjadi apabila suatu penghasilan/modal yang sama dikenakan pajak di tangan orang
(subyek) yang sama olehlebih dari satu negara, PBI ekonomis timbul apabila dua orang yang (secara yuridis)
berbeda dikanakan pajak atas suatu penghasilan (atau modal maupun obyek) yang sama (oleh lebih dari satu
Negara).

Apabila dua tau lebih ketentuan pajak dengan struktur yang sama atau berbeda atas satu fenomena pajak yang
sama pada satu wajib pajak yang sama menimbulkan PBI langsung. Sedangkan PBI langsung terjadi dari
pemajakan atas satu hal yang sama (setara dengan PBI ekonomis)

Dampak Pajak Berganda

Secara ekonomis pajak merupakan pengorbanan sumberdaya (kemampuan ekonomis) yang harus ditanggung
oleh pengusaha (dan masyarakat). Pajak berganda sebagai akibat dari pemajakan oleh dua ketentuan
pemajakan (dari dua Negara) memberikan tambahan beban ekonomi terhadap pengusaha. Oleh karena itu
tampak bahwa sudah merupakan kebutuhan internasional antanegara untuk mengupayakan agar kebijakan
perpajakannya bersifat netral terhadap kompetisi internasional. Netralitas tersebut dicapai dengan penyediaan
keringanan atau eliminasi atas PBI.





PENYEBAB PAJAK BERGANDA INTERNASIONAL

PBI muncul apabila terdapat benturan yusdiksi pemajakan, baik yang melekat pada pemerintah pusat (Negara)
maupun pemerintah daerah (propinsi, kota, kabupaten). Degan demikian, benturan yuridiksi pamajakan dalam
format internasional (overlaaping of tax jurisdiction in the international sphere) menyebabkan PBI.

Beberapa Bentuk Pajak Berganda Internasional

a. Pajak Penjualan

Eliminasi PBI dalam prinsip Negara tujuan dilakukan dengan penerapan tariff pajak 0% (dengan pengembalian)
pada Negara pengekspor dan pengenaan pajak dengan tariff normal oleh Negara pengimpor. Dengan demikian
tampak seolah-olah Negara pengekspor mengeliminasi hak pemajakannya (dengan memberlakukan tariff o%
dan restitusi atas pajak yang telah dibayar) dan mempersilahkan Negara pengimpor untuk mengenakan
pajaksesuai dengan ketentuan domestiknya. Mekanisme ini sering disebut pendekatan penyesuaian lintas batas.

b. Pajak Penghasilan

Sehubungan dengan pajak penghasilan, PBI dapat terjadi karena benturan antarklaim :
1. Sesama pemajakan tak terbatas
2. Pemajakan tak terbatas dengan pemajakan terbatas
3. Sesame pemajakan terbatas.

PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA INTERNASIONAL

a. Beberapa Pendekatan

Menyadari bahwa tambahan beban pajak yang dapat menjurus ke over taxation berpotensi menghambat
mobilitas dan laju bisnis, perdagangan, investasi, sumberdaya, barang dan jasa serta ekonomi global, maka
dunia perpajakan internasional mencoba melakukan beberapa pendekatan untuk memperingan atau
mengeliminasi PIB. Beberapa pendekatan, al. :
1. Unilateral (sepihak)
2. Bilateral (anta dua Negara)
3. Multilateral (beberapa Negara secara serempak)

Unilateral : setiap Negara yang mengenakan pajak atas penghasilan luar negeri yang diperoleh atau diterima
WPDNnya ialah dengan mencantumkan ketentuan penghindaran PBI dalam undang-undang domestiknya.
Contoh : dengan memberlakukan pemajakan territorial (membebaskan pemajakan atas penghasilan luar negeri),
atau memajaki penghasilan luar negeri dari WPDN pada umumnya memberikan keringanan atas pajak
dimaksud.

Bilateral : kedua Negara terkait memberikan keringanan PBI berdasarkan kesepakatan (persetujuan) antara
kedua Negara pemegang yurisdiksi pemajakan. Kesepakatan tersebut pada umumnya dirumuskan dalam bentuk
perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) yang ditandatangani oleh pemerintah kedua Negara.

Multilateral : melibatkan lebih dari dua Negara.
Secara regional, Negara yang berada dalam satu kawasan dapat menutup P3B secara bersama-sama.

Metode Penghitungan Penghindaan Pajak Berganda

Secara tradisional terdapat beberapa metode penghindaran PBI :
1. Pembebasan/pengecualian (exemtion)
2. Kredit (tax credit)
3. Metode lainnya

Contoh Ad.1.
Wajib pajak A yang berkedudukan di Negara P yang mengenakan pajak penghasilan dengan tarif 25%
mendapat penghasilan dari Negara Q sebesar 100 yang telah dikenakan pajak sebesar 30%, sedangkan
penghasilan domestic adalah 200, berapakah pajak terutangnya ?
Penghasilan domestic 200
Penghasilan 100
Penghasilan global 300
Pajak terutang (300x25%) 75
Eksemsi pajak
100 x 75 = 25
300
Pajak kurang bayar 50

Kalau, misalnya, dari operasi di Negara Q tersebut diperoleh kerugian sebesar %), maka penghitungan pajaknya
adalah sbb. :
Penghasilan domestic 200
Kerugian luar negeri ( 50)
Penghasilan global 150
Pajak terutang/kurang bayar :
25% x 150 = 37,50

Dengan demikian, apabila kegiatan diluar negeri mendapat kerugian sebagai konsekuansi dari system
pemajakan global, kerugian tersebut sepertinya dapat mengurangi penghasilan kena pajak domestic. Namun
secara berkesinambungan pengurangan tersebt harus dipulihkan/diganti kembali (recaptured) pada periode
berikutnya apabila memperoleh laba. Kalau misalnya, dalam contoh tersebut, pada tahun berikutnya dari operasi
di Negara Q didapat laba 150, di samping laba domestic 250, maka penghitungan pajak terutangnya, sbb :
Penghasilan domestic 250
Penghasilan 150
Penghasilan global 400
Pajak terutang (400x25%) 100
Eksemsi pajak
Penghasilan luar negeri 150
Perhitungan rugi laba th lalu 50
Basis penghitungan eksemsi 100
Eksemsi pajak
100 x 100 = 25
400




Yuridiksi adalah hak pemajakan suatu negara terhadap yang diterima atau diperoleh oleh warga
negaranya baik yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri maupun oleh warga negara asing yang
bersumber dari dalam negeri.

Yuridiksi Pemajakan ada 2 yaitu :

1.Yuridiksi Domisili : yaitu hak pemajakan yang didasarkan kepada siapa yang memperoleh penghasilan
( berorientasi hanya pada subjek pajak ).

2.Yuridiksi Sumber : yaitu hak pemajakan yang didasarkan kepada objek penghasilan tersebut berada
atau diperoleh ( sumber penghasilan berada/ terletak di Indonesia, berorientasi kepada objek pajak ).

Contoh:

1. Tuan Amin seorang WNI memperoleh bunga dari Tuan Soleh di Jakarta sebesar Rp.15 juta.
Jawab : Indonesia berhak memajaki Tuan Amin menggunakan yuridiksi domisili dan juga yuridiksi sumber.

2. Tuan Steven warga negara Singapore memperoleh bunga dari Tuan Soleh di Jakarta sebesar Rp. 30
juta.
Jawab : Indonesia berhak memajaki Tn. Steven berdasarkan yuridiksi sumber dan Singapore juga berhak
memajaki berdasarkan yuridiksi domisili.

3.Mr. Steven warga Wn. Singapore adalah seorang pegawai sebuah konsultan keuangan di Singapore
melakukan pemberian jasa konsultasi bidang investasi keuangan pada beberapa pengusaha UKM di
Indonesia. Selama tahun 2009 kegiatan dilakukan sebanyak 15 kali selama 5 hari setiap satu kali kegiatan.
Fee yang diterima Mr. Steven selama tahun 2009 sebesar Rp. 500 juta. Berdasarkan yuridiksi pemajakan,
negara mana yang berhak memajaki dan berapa PPh terutang bila diasumsikan tidak ada tax treaty antara
Indonesia dan Singapore.
Jawab :
* Tn. Steven merupakan WPLN (Wajib Pajak Luar Negeri) karena berada di Indonesia < 183 hari ( 15 kali x
5 hari = 75 hari ).
* Indonesia berhak memajaki Tn. Steven berdasarkan yuridiksi sumber dan Singapore berhak memjaki
berdasarkan yuridiksi domisili.
* PPh terutang tahun 2009 = 20% x Rp. 500 juta ( tarif pajak pasal 26)
= Rp. 100 juta











Makalah Pajak - Teori Dan Yurisdiksi Pemungutan Pajak

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Istilah pajak dalam sejarah dunia ini telah dikenal masyarakat sejak zaman dahulu. Bebagai jenis sistem pemerintahan
yang ada seperti kerajann, monarki, dll memliki istilah dan peraturan tentang pajak walaupun dalam bahasa yang berbeda-
beda. Sejalan dengan perkembangan zaman, pajak pun terus berkembang, temasuk pengertian, fungsi, tujuan, teknis ,dan
teori tentang pajak serta pemungutan pajak.
Dalam makalah ini kami jelaskan dan paparkan tentang teori-teori pemungutan pajak. Teori pemungutan pajak, seperti
yang telah dipaparkan di atas, bukanlah barang baru di dunia perpajakan. Adam Smith, yang disebut-sebut sebagai bapak
ekonomi, pun telah memaparkan teori pemungutan pajak dalam bukunya An Inquiry into the nature and causes of Th Wealth
of Nations dalam The Four Maxim pada abad ke-18. Selain itu, yurisdiksi pemungutan pajak juga akan diterangkan dalam
makalah ini.
Mengingat pentingnya pemungutan pajak ini, patut kiranya penduduk Indonesia mengetahui teori teori pemungutan pajak
dan yurisdiksi pemungutan pajak agar potensi pajak dapat tercapai dan tertanam kesadaran wajib pajak.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Teori-Teori Pemungutan Pajak
Dari abad ke abad, selalu timbul pertanyaan di dalam hati sanubari orang-orang yang berpikir panjang apa dasar
hukum pemungutan pajak, maka ada kewajiban membayar pajak, dengan perkataan lain : atas dasar apakah Negara seakan-
akan memberikan hak kepada diri sendiri untuk membebani rakyat dengan yang disebut pajak itu. Dan apakah pemungutan
pajak oleh suatu Negara berdasar pula atas dasar keadilan? Oleh sebab itu, semenjak abad ke-18 timbulah pelbagai teori
guna memberikan dasar menyatakan keadilan (justification) kepada hak Negara untuk memungut pajak dari rakyatnya.
Teori-teori didengung-dengupara ngkan selalu oleh pencipta beserta penganutnya kepada khalayak ramai dengan
maksud agar segala peraturan yang brhubungan dengan pajak dipahami dan ditaati. Semua teori tadi agar dapat dipahami
oleh masyarakatnya, sudah tentu harus sesuai dengan pandangan hidup pada zaman-zaman itu. Sehingga masing-masing
teori itu bersifat relatif yang dibela mati-matian.
Untuk memberi uraian yang lebih jelas, berikut ini kami paparkan teori-teori pemungutan pajak.

1. Teori asuransi
Menurut teori ini, negara mempunyai tugas untuk melindungi warganya dari segala kepentingannya baik keselamatan
jiwanya maupun keselamatan harta bendanya. Untuk perlindungan tersebut diperlukan biaya seperti layaknya dalam
perjanjian asuransi deiperlukan adanya pembayaran premi. Pembayaran pajak ini dianggap sebagai pembayaran premi
kepada negara. Teori ini banyak ditentang karena negara tidak boleh disamakan dengan perusahaan asuransi.
Ada beberapa kekurangan dalam teori ini.
a. Dalam hal timbul kerugian, tidak ada suatu penggantian dari Negara.
b. Antara pembayaran jumlah pajak dengan jasa yang diberikan oleh Negara tidak terdapat hubungan yang langsung.
c. Negara bisa menjadi otoriter sehingga mengabaikan aspek keadilan dalam pemungutan pajak.
Meskipun seperti itu, teori ini dipertahankan oleh para penganutnya sekadar untuk memberikan dasar hukum kepada
pemungutan pajak saja. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan. Sehinga makin lama makin berkuranglah jumlah penganut teori
ini.

2. Teori Kepentingan
Menurut teori ini, dasar pemungutan pajak adalah adanya kepentingan dari masing-masing warga negara. Termasuk
kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat kepentingan perlindungan, maka semakin tinggi pula
pajak yang harus dibayarkan. Teori ini banyak ditentang, karena pada kenyataannya bahwa tingkat kepentingan
perlindungan orang miskin lebih tinggi daripada orang kaya. Ada perlindungan jaminan sosial, kesehatan, dan lain-lain. Bahkan
orang yang miskin justru dibebaskan dari beban pajak.

Meskipun teori ini masih berlaku pada retribusi,sukar pula dipertahanakan sebab seorang miskin dan penganggur yang
memperoleh bantuan dari pemerintah menikmati banyak sekali jasa dari pekerjaan Negara, tapi justru mereka tidak membayar
pajak.

3. Teori Gaya Pikul
Teori ini pada hakikatnya mengandung kesimpulan bahwa dasar keadilan pemungutan pajak terletak dalam jasa-jasa
yang diberikan oleh Negara kepada warganya, yaitu perlindungan atas jiwa dan harta bendanya. Untuk kebutuhan ini
diperlukan biaya-biaya yang dipikul oleh segena orang yang menikmati perlindungan itu, yaitu dalam bentuk pajak. Yang
menjadi pokok pangkal teori ini yaitu tekanan pajak itu haruslah sama beratnya untuk setiap orang (asas keadilan). Pajak
harus dibayar menurut gaya pikul seseorang, dan sekadar untuk mengukur gaya pikul ini, dapatlah dipergunakan, selain
besarnya penghasilan dan kekayaan, juga pengeluaran atau pembelanjaan seseorang. Hingga kini teori ini masih
dipertahankan oleh kebanyakan sarjana hukum terkemuka dalam lapangan hukum pajak.
Menurut Profesor W. J de langen, asas gaya pikul menjelmakan cita-cita untuk mendapatkan tekanan yang sama atas individu,
seimbang dengan pemuasan kebutuhan yang dapat dicapai oleh seseorang. Oleh karena itu pemuasan kebutuhan yang
diperlukan untuk kehidupan yang mutlak harus diabaikan dan sisanya inilah yang disamakan dengan gaya pikul seseorang.
Kelemahan teori ini adalah sulitnya menentukan secara tepat daya pikul seseorang, karena akan selalu berbeda dan
berubah-ubah.

4. Teori Kewajiban Pajak atau teori bakti
Berlawanan dengan ketiga teori lainnya, yang tidak mengutamakan kepentingan-kepentinagn Negara di atas kepentingan
warganya, maka teori ini berdasarkan atas paham Organische Staatsleer, sehingga diajarkanlah olehnya bahwa justru karena
sifat Negara inilah maka timbul hak mutlak untuk memngut pajak. Teori ini didasari paham organisasi yang mengajarkan
bahwa Negara sebagai organisasi mempunyai tugas untuk menyelenggarakan kepentingan umum. Dasar keadilan
pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dapat negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu
menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban Negara harus mengambil tindakan atau keputusan yang
diperlukan termasuk keputusan dibidang pajak. Dengan sifat seperti itu maka Negara mempunyai hak mutlak untuk memungut
pajak dan rakyat harus membayar pajak sebagai tanda baktinya. Menurut teori ini, dasar hukum pajak terletak pada hubungan
antara rakyat dengan Negara, dimana Negara berhak memungut pajak dan rakyat berkewajiban membayar pajak.
Kelemahan dari teori ini adalah Negara bisa menjadi otoriter sehinggga mengabaikan aspek keadilan dalam pemungutan
pajak.
.
5. Teori Asas Gaya Beli
Teori ini modern; ia tidak mempersoalkan asal-mulanya Negara memungut pajak, melainkan hanya melihat kepada
efeknya, dan dapat memandang efek yang baik itu sebagai dasar keadilannya. Menurut teori ini maka fungsi pemungutan
pajak jika dipandangnya sebagai gejala dalam masyarakat, dapat disamakan dengan pompa, yaitu mengambil gaya beli dari
rumah tangga-rumah tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga Negara, dan kemudian menyalurkan kembali ke
masyarakat dengan maksud untuk memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya ke arah hidup tertentu teori ini
menitikberatkan ajarannnya pada fungsi kedua dari pemungutan pajak yaitu fungsi mengatur. Menurut para penganutnya,
termasuk juga professor Adriani, teori ini berlaku sepanjang masa, baik dalam masa ekonomi bebas maup ekonomi terpimpin.
Tidak demikian dengan teori sebelumnya yang hanya berlaku selama masa tertentu saja.
Pada zaman modern ini, banyak terdapat aliran yang tidak menyetujui adanya teori-teori untuk memberi dasar keadilan
kepada hak Negara untuk memungut pajak. Mereka menyandarkannya atas dasar pertimbangan praktis, seperti kita lihat pada
asas teori gaya beli dan seharusnya tidak menyimpang dari asas keadilan. Hanya apabila sangat diperlukan, barulah mereka
menunjuk kepada sejarah atau mencarikan dasar keadilan untuk pemungutan suatu pajak
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah
tangga masyarakat untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akam menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam
bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan
6. Teori pembangunan
Untuk Indonesia justifikasi pemungutan pajak yang paling tepat adalah pembangunan dalam arti masyarakat yang adil
dan makmur.

2. Yurisdiksi Pemungutan Pajak
1. Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence principle), berdasarkan asas ini negara akan
mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan
perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang
bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan
pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan pajak terhadap penduduk-
nya akan menggabungkan asas domisili (kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang
diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri (world-wide income concept).
2. Asas sumber, Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh
orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi
persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi
landasan pengenaan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari negara itu. Contoh: Tenaga kerja asing bekerja
di Indonesia maka dari penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak olehpemerintah Indonesia.
3. Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan (nationality/citizenship principle).Dalam
asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh
penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal.
Seperti halnya dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan dengan cara
menggabungkan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak atas world wide income.

Terdapat beberapa perbedaan prinsipil antara asas domisili atau kependudukan dan asas nasionalitas atau
kewarganegaraan di satu pihak, dengan asas sumber di pihak lainnya.Pertama, pada kedua asas yang disebut pertama,
kriteria yang dijadikan landasan kewenangan negara untuk mengenakan pajak adalah status subjek yang akan dikenakan
pajak, yaitu apakah yang bersangkutan berstatus sebagai penduduk atau berdomisili (dalam asas domisili) atau berstatus
sebagai warga negara (dalam asas nasionalitas). Di sini, asal muasal penghasilan yang menjadi objek pajak tidaklah begitu
penting. Sementara itu, pada asas sumber, yang menjadi landasannya adalah status objeknya, yaitu apakah objek yang akan
dikenakan pajak bersumber dari negara itu atau tidak. Status dari orang atau badan yang memperoleh atau menerima
penghasilan tidak begitu penting. Kedua, pada kedua asas yang disebut pertama, pajak akan dikenakan terhadap penghasilan
yang diperoleh di mana saja (world-wide income), sedangkan pada asas sumber, penghasilan yang dapat dikenakan pajak
hanya terbatas pada penghasilan-penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber yang ada di negara yang bersangkutan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah kami jelaskan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa
macam teori teori pemungutan pajak, antara lain adalah teori asuransi, teori kepentingan, teori gaya pikul, teori kewajiban
pajak mutlak atau teori bakti, teori asas gaya beli, dan teori pembangunan . Sementara itu, yurisdiksi pemungutan pajak
meliputi asas domisili atau disebut juga asas kependudukan, asas sumber, dan asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau
disebut juga asas kewarganegaraan.

B. Saran
Makalah ini masih mempunyai banyak kekurangan baik dalam hal isi
maupun bahasa, sehingga membutuhkan peran serta pembaca untuk memberikan kritik dan masukan.

DAFTAR PUSTAKA

Brotodihardjo, Santoso. 2004. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung : Refika Aditama
Edhi, Djaka saranita S. 2003. Dasar Dasar Perpajakan di Indonesia. Jakarta : BPPK
Nainngolan, Pahala. 2004. Perpajakan untuk Yayasan dan Lembaga Nirlaba Sejenis. Jakarta : CV. Teruna Grafica
http://mahardhikazifana.com/social-history-sosial-sejarah/fungsi-fungsi-hukum.html
http://studihukum.wordpress.com/2008/11/11/hukum-pajak-2/

Anda mungkin juga menyukai