Anda di halaman 1dari 12

PAJAK INTERNASIONAL

Maria Emelia Retno. K


 Pengertian Hukum Pajak Internasional
Menurut Rochmat Soemitro : Hukum pajak internasional adalah hukum pajak nasional yang terdiri
dari kaidah, baik berupa kaidah-kaidah nasinal maupun kaidah yang berasal dari traktat antar negara
dan dari prinsip atau kebiasaan yang telah diterima baik oleh negara-negara di dunia, untuk mengatur
soal-soal perpajakan dan yang mengandung unsur-unsur asing, baik mengenai subjeknya maupun
objeknya.

 Sumber Hukum Pajak Internasional Indonesia


a. Kaidah Hukum pajak Nasional yang mengandung unsur asing.
b. Kaidah-kaidah yang berasal dari traktat : perjanjian bilateral dan perjanjian multilateral.
c. Keputusan hakim nasional atau komisi internasional tentang pajak-pajak internasional.

 Sumber-sumber tsb adalah sumber yang berkaitan dengan tempat hukum pajak internasional itu
didapati. Selain itu ada sumber materiil hukum pajak internasional, yaitu :
a. Prinsip-prinsip hukum (pajak internasional) yang telah diterima oleh negara-negara di dunia.
b. Kebiasaan internasional yang menjadi hukum kebiasaan internasional, seperti pembebasan pajak
untuk wakil diplomatik.
c. Dasar keadilan.
d. Ajaran para cendikiawan yang mempunyai nama dan pengaruh dalam bidang hukum pajak
internasional.

 Yurisdiksi Hukum Pajak Internasional (Indonesia) :


 Indonesia sebagai negara berdaulat mempunyai yurisdiksi (kewenangan mengatur), termasuk
yurisdiksi perpajakan berkenaan dengan orang, barang atau objek yang berada di dalam wilayah
kekuasaannya.

 Menurut Owen & Ongwamuhana :


 yurisdiksi pemajakan merupakan kewenangan suatu negara untuk merumuskan dan memberlaku-
kan ketentuan perpajakan.

 Yurisdiksi pemajakan Indonesia tersurat dalam Pasal 23A UUD 1945 dan berdasarkan ketentuan
tersebut undang-undang perpajakan diberlakukan.
 Berdasarkan Pasal 2 UU PPh Indonesia membangun yurisdiksi pemajakannya
berdasarkan dua kaitan (pertalian) fiskal, yaitu :
a. Subjektif (personal)  memperhatikan status subjek pajak (tempat tinggal/domisili, keberadaan
atau niat – dalam hal wajib pajak orang pribadi, tempat pendirian atau kedudukan – dalam hal
badan hukum  disebut yurisdiksi domisili.
b. Objektif  mendasarkan pada letak geografis dari sumber penghasilan  disebut yurisdiksi
sumber.

 Dalam sistem perpajakan internasional, terdapat suatu norma yang diterima dan diikuti secara
global (termasuk Indonesia), untuk menyerahkan hak pemajakan utama (primary taxing rights)
kepada negara yang mempunyai pertalian teritorial (sumber) dan mempertahankan wewenang
pemajakan residual (residual tax claim) kepada negara dengan pertalian personal.

 Pasal 2 ayat (3) UU PPh menegaskan ketentuan tentang yurisdiksi domisili terhadap orang pribadi
dan badan :
a. Orang Pribadi
 Pasal 2 ayat (3) a UU PPh menyebutkan 3 kriteria penentu untuk menentukan seseorang adalah
WPDN, yaitu :
1. Tempat tinggal (domisili).
2. Keberadaan (kehadiran).
3. Niat utk bertempat tinggal di Indonesia.

 Beberapa penentu tempat tinggal (domisili) seseorang adalah :


1. Rumah tetap sebagaimana tercantum dalam KTP.
2. Tempat kepentingan pribadi dan ekonomi dilakukan.
3. Tempat ia lebih lama tinggal.
4. Tempat tinggal menurut keadaan sebenarnya.

 Di Amerika Serikat, niat seseorang untuk tinggal di AS dapat dilihat dari status keimigrasiannya,
sedangkan di Belanda penentu niat seseorang tersebut ditentukan dari, antara lain :
1. Tersedianya rumah/tempat tinggal.
2. Keluarga.
3. Hubungan sosial  status kekaryaan (employment), pembukaan rekening di bank.
 Dalam keadaan tertentu, tes subjektif (niat) dapat menjadi pelengkap terhadap tes kehadiran.

b. Badan
Pasal 2 ayat (3) b UU PPh menyebutkan 2 kriteria penentu yurisdiksi domisili atas badan, yaitu :
1. Tempat pendirian.
2. Tempat kedudukan

 Penerapan dua standar tersebut dapat menyebabkan terjadinya residensi ganda dari suatu badan,
contoh : suatu badan didirikan berdasarkan hukum negara Philipina dan bertempat kedudukan di
Indonesia, maka badan tersebut akan dianggap sebagai WPDN oleh Philipina maupun Indonesia.

 Pasal 2 ayat (4) UU PPh menegaskan yurisdiksi sumber yang berlaku di Indonesia didasarkan
pada dua unsur, yaitu :
1. Menjalankan suatu aktivitas ekonomi secara signifikan  ditentukan dengan keberadaan BUT
(Bentuk Usaha Tetap).
2. Menerima/memperoleh penghasilan yang bersumber di Indonesia.

 Implikasi dari yurisdiksi sumber adalah Indonesia secara sah dapat memungut pajak dari orang atau
badan yang bukan WPDN yang menerima/memperoleh penghasilan dari kegiatan atau sumber
yang terletak di Indonesia.

c. Bentuk Usaha Tetap


Istilah “bentuk usaha tetap” dalam UU PPh kiranya dapat disetarakan dengan “permanent
establishment” yang terdapat dalam P3B  ini untuk menentukan hak pemajakan negara sumber atas
penghasilan dari bisnis (dan profesi) yang dijalankan oleh bukan WPDN.

 Dampak kaitan fiskal pada kewenangan negara utk memungut pajak :


a. Kaitan fiskal personal (subjektif) memberikan kewajiban pajak penuh (unlimited tax liability) 
memberikan hak kepada negara pemungut pajak untuk mengenakan pajak dari seluruh
kemampuan ekonomis wajib pajak dimanapun berada melampaui batas kedaulatan wilayah
teritorialnya – worldwide.
b. Kaitan fiskal ekonomis (objektif) menimbulkan kewajiban pajak terbatas (limited tax liability).

 Sehubungan dengan mobilitas modal, orang, jasa dan barang secara internasional dan selaras
dengan fenomena perpajakan internasional  dapat menimbulkan pajak berganda internasional.

 Pengertian pajak berganda  dibagi dua yaitu :


1. Pengertian pajak berganda secara luas  pajak berganda meliputi setiap bentuk pembebanan
pajak dan pungutan lainnya lebih dari satu kali atau lebih atas suatu fakta fiskal (subjek dan/atau
objek pajak). Dalam pengertian ini tidak dipertimbangkan penyebab pajak berganda tsb apakah
berasal dari kombinasi antara pajak dengan pungutan lainnya atau karena kombinasi dari
beberapa jenis pajak, atau disebabkan oleh pembebanan pajak secara bersamaan oleh
administrasi pajak yang sama atau berbeda.
2. Pengertian pajak berganda secara sempit  pajak berganda dapat terjadi pada semua kasus
pemajakan beberapa kali terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dlm satu administrasi pajak
yg sama. Pajak berganda ini dapat disebabkan oleh pemajakan oleh penguasa tunggal atau oleh
berbagai (lapisan) administrasi pemerintah.
 Pajak berganda dalam arti luas sesuai dengann yurisdiksi negara pemungut pajak dapat
dikelompokkan menjadi :
1. Pajak berganda internal (domestik)
2. Pajak berganda internasional.

 Dalam Pasal 23A dan 23B model P3B OECD membedakan pajak berganda menjadi :
1. Pajak berganda yuridis  terjadi apabila atas penghasilan yang sama yang diterima oleh orang
yang sama dikenakan oleh lebih dari satu negara.
2. Pajak berganda ekonomis  terjadi apabila dua orang yang berbeda (secara hukum) dikenakan
pajak atas suatu penghasilan yang sama (atau identik).

 Konvensi OECD maupun UN memberi pengertian tentang pajak berganda internasional sbg
pengenaan beberapa pajak yang sama oleh dua atau lebih negara terhadap wajib pajak yang
sama atau suatu objek yang sama dan untuk masa yang identik  menunjukkan bahwa pajak
berganda meliputi beberapa unsur yaitu :
1. Pengenaan oleh beberapa otoritas pemajakan.
2. Subjek pajak (wajib pajak) yang sama.
3. Objek pajak yang sama.
4. Masa pajak yang sama.
5. Kesamaan jenis pajaknya.

 Pajak berganda internasional (PBI) timbul karena adanya benturan (over lapping) klaim pemajakan
oleh beberapa administrasi pajak sesuai dengan yurisdiksi pemajakan yang mereka miliki.

 Apabila klaim pemajakan tsb benar-benar dilaksanakan oleh beberapa negara pemegang
yurisdiksi, maka akan terjadi PBI faktual  menyebabkan membesarnya beban pajak yang harus
ditanggung oleh seorang wajib pajak.

 Apabila dari dua atau lebih negara pemegang klaim pajak, hanya satu negara saja yang
melaksanakan klaim pemajakan tsb, maka akan terjadi PBI potensial  tidak menimbulkan
membesarnya beban pajak.
 Penghindaran Pajak Berganda :
Dalam Hukum Perdata Internasional apabila terhadap suatu subjek atau objek hukum terjadi benturan
yurisdiksi, maka dapat saling mengeleminasi berlakunya salah satu hukum dari suatu negara. Hal ini
berbeda dgn Hukum Pajak Internasional. Apabila terjadi benturan yurisdiksi, maka tidak bisa saling
mengeliminasi hak pemajakan dari suatu negara. Kedua yurisdiksi pemajakan tetap berlaku dan
berakibat terjadinya tambahan jumlah pajak yang harus dipikul oleh investor.

Pendekatan (metode) yang dapat dilakukan untuk memperingan atau mengeliminasi PBI :
1. Unilateral (sepihak) : Pendekatan ini dilakukan sepihak dengan mencantumkan ketentuan
penghindaran PBI dalam undang-undang (ketentuan) domestiknya, misalnya dengan
mengecualikan dari pajak atas penghasilan luar negeri.
2. Bilateral : dalam pendekatan ini kedua negara terkait memberikan keringanan PBI berdasarkan
kesepakatan/persetujuan kedua negara.

 Pemegang yurisdiksi pemajakan  dituangkan dalam suatu perjanjian penghindaran pajak


berganda (P3B).
 Pada umumnya mode keringanan yang diberikan dalam P3B paling tidak sama dengan yang ada
pada ketentuan domestik. Apabila keringanan yang diberikan dalam P3B lebih longgar dari
ketentuan domestik, maka yang berlaku adalah ketentuan pada P3B, misalnya keringanan kredit
pajak.

3. Multilateral : pendekatan ini melibatkan lebih dari dua negara secara regional, misalnya negara-
negara Skandinavia. Negara yang berada dalam satu kawasan dapat menutup P3B secara
bersama-sama. Pemberian keringanan secara multilateral dapat merupakan pemberian
keringanan yang bersifat harmonisasi (atau bahkan unifikasi) ketentuan perpajakan dari masing-
masing negara terkait.

Anda mungkin juga menyukai