Anda di halaman 1dari 6

TAX TREATY

Tax treaty memiliki beberapa terminologi maupun pengertian. Namun dalam makalah ini akan digunakan istilah tax treaty yang artinya adalah perjanjian perpajakan bilateral yang mengatur pembagian hak penolakan dari masingmasing begara dengan maksud untuk mencegah timbulnya pengenaan pajak berganda. Dalam praktiknya, penghindaran pajak berganda dapat dilakukan dengan cara membatasi wewenang pemajakan dari negara sumber atas penghasilan yang timbul dari wilayah yuridiksinya. Tax treaty adalah perjanjian perpajakan antara dua negara yang dibuat dalam rangka meminimalisir pemajakan berganda dan berbagai usaha penghindaran pajak. Perjanjian ini digunakan oleh penduduk dua negara untuk menentukan aspek perpajakan yang timbul dari suatu transaksi di antara mereka. Penentuan aspek perpajakan tersebut dilakukan berdasarkan klausul-klausul yang terdapat dalam tax treaty yang bersangkutan sesuai jenis transaksi yang sedang dihadapi. Setiap tax treaty mempunyai prinsip-prinsip dasar yang kurang lebih sama, sebagai bagian dari konvensi internasional di mana setiap negara yang terlibat dalam suatu tax treaty menyusun treaty-nya masing-masing berdasarkan modelmodel perjanjian yang diakui secara internasional. Di dunia ini, ada dua model treaty yang sering dijadikan acuan dalam menyusun suatu treaty yaitu model OECD dan model PBB. Memahami treaty yang berlaku antara suatu negara dengan negara lainnya, bisa dimulai dengan memahami prinsip-prinsip dasar tersebut. Dalam kenyataannya, memahami suatu tax treaty tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Bahasa yang digunakan, jumlah klausul yang cukup banyak, pemahaman seseorang tentang dasar-dasar perpajakan dan berbagai sebab lainnya merupakan hal yang dapat mempengaruhi kesulitan tersebut. Dengan memahami prinsip-prinsip dasar dan prinsip umum yang berlaku dalam suatu treaty, seseorang akan menjadi lebih mudah memahami suatu treaty yang secara spesifik berlaku untuk negara tertentu. Sebagai suatu perjanjian, sebuah treaty adalah kontrak yang mengikat suatu negara dengan negara lain dalam hal perlakuan perpajakan. Oleh sebab itu, di dalamnya selalu berisi klausul-klausul, pasal-pasal dan ayat-ayat yang berkaitan dengan suatu aspek transaksi dan pihak tertentu tertentu. Pasal-pasal atau ayatayat (article atau artikel) yang terdapat dalam sebuah tax treaty pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi empat bagian besar yaitu bagian yang mengungkapkan cakupan tax treaty, bagian yang mengatur minimalisasi pengenaan pajak berganda, bagian tentang pencegahan penghindaran pajak dan bagian yang mencakup hal-hal lainnya.

Semua bagian itu cenderung lebih mudah dipahami dari pada berbagai definisi, istilah dan pengertian yang sering disebutkan dalam suatu tax treaty. Berbagai definisi, istilah dan pengertian inilah yang menjadi lebih penting untuk dipahami setiap pihak khususnya berkaitan dengan kepentingan dalam praktek bisnis sehari-hari. Mengapa Perlu Ada Tax Treaty Sebagian besar negara di dunia ini mengandalkan sumber keuangannya dari pajak. Entah itu negara besar atau negara kecil, negara kaya ataupun negara miskin. Masing-masing negara tentu mengenakan pajak sesuai dengan ketentuan dan aturan yang diatur oleh masing-masing negara. Di Indonesia, dasar hukum tertinggi pengenaan pajak diatur dalam Pasal 23 Ayat (2) Undangundang Dasar 1945 yang kemudian diatur lagi oleh Undang-undang. Jenis pajak yang banyak diterapkan di banyak negara adalah Pajak Penghasilan. Dalam hal pengenaan pajak penghasilan ini, ada tiga asas pengenaan pajak yaitu 1. Asas domisili (asas kependudukan), 2. Asas sumber, dan 3. Asas kewarganegaraan. Aa Apabila suatu negara mengenakan Pajak Penghasilan berdasarkan asas domisili, maka siapapun orang atau badan yang berdomisili di negara tersebut akan dikenakan pajak di negara tersebut. Terlepas dari apakah kewarganegaraan orang tersebut. Indonesia menganut asas ini di mana di Pasal 2 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan subjek pajak dalam negeri adalah : 1. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia 2. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia Dari ketentuan di atas ditegaskan bahwa subjek pajak yang bisa dikenakan pajak tidaklah harus berkewarganegaraan Indonesia tetapi lebih kepada keberadaannya di Indonesia. Begitu juga untuk badan, kriteria subjek pajak bukan hanya masalah legalitas (didirikan) tetapi juga keberadaan fisik (berkedudukan). Apabila suatu negara mengenakan azas sumber, maka negara itu mengenakan Pajak Penghasilan atas semua penghasilan yang berasal dari negara tersebut. Indonesia juga menerapkan azas ini di mana apabila ada penghasilan dari Indonesia akan dikenakan Pajak Penghasilan, baik melalui BUT (Pasal 2 ayat (5) UU PPh) maupun melalui pemotongan pajak PPh Pasal 26.

Apabila suatu negara menerapkan azas kewarganegaraan, maka negara tersebut akan mengenakan Pajak Penghasilan kepada setiap warganegaranya di manapun ia berada dan dari manapun penghasilannya berasal. Indonesia pada umumnya tidak menerapkan azas ini. Namun demikian, dalam Pasal 3 UU PPh, azas kewarganegaraan dipakai khusus ketika memberikan pengecualiasn sebagai subjek pajak. Penerapan masing-masing azas pengenaan pajak oleh negara yang berbeda berpotensi menimbulkan pengenaan pajak yang berbeda pada satu subjek pajak tertentu atas penghasilannya. Hal ini biasanya terjadi bila dua yurisdiksi perpajakan dari dua negara berbeda mengenakan pajak kepada orang atau badan yang sama atas penghasilannya yang disebabkan oleh azas pengenaan pajak yang diterapkannya. Misalnya, cabang perusahaan Amerika Serikat di Indonesia akan dikenakan PPh di indonesia berdasarkan azas sumber. Atas penghasilan inipun fihak otoritas akan mengenakan pajak berdasarkan azas kewarganegaraan atau azas domisili. Kejadian ini menimbulkan dua kali pengenaan pajak atas objek dan subjek yang sama. Jika di Indonesia kena tarif 30% dan di Amerika Serikat kena tarif 40%, maka total atas penghasilan yang sama dikenakan tarif 70%!. Tax treaty muncul karena dua sebab yang mendasar yaitu, keinginan untuk menghindari perpajakan berganda yang bisa berakibat buruk bagi dunia investasi, dan keinginan untuk mencegah usaha-usaha penghindaran pajak yang dapat berpengaruh terhadap penerimaan pajak suatu negara. Setiap tax treaty antara suatu negara dan negara lainnya adalah suatu perjanjian yang bersifat spesifik hanya mengikat negara-negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Namun demikian, secara umum setiap tax treaty mengikuti prinsip-prinsip dasar dari model-model tax treaty yang ada seperti model OCD atau model PBB, yang dijadikan sebagai acuan pada saat pembuatannya. Memahami prinsip-prinsip dasar tersebut akan memudahkan setiap pihak dalam memahami berbagai tax treaty yang ada, antara berbagai negara umumnya dan antara Indonesia dengan negara-negara lain khususnya.

Manfaat dari Perjanjian Perpajakan (Tax Treaty)


Dalam UU Pajak Penghasilan (PPh), istilah perjanjian perpajakan ini lebih dikenal dengan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atau biasa disingkat dengan P3B. Sampai dengan saat ini Indonesia sudah memiliki 58 perjanjian perpajakan (tax treaty) dengan negara lain. Ada juga beberapa P3B yang masih dalam proses sehingga belum berlaku efektif. Payung hukum persetujuan penghindaran pajak berganda atau P3B ini adalah Pasal 32A Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh). Berdasarkan pasal ini Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara

lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak. Dari isi Pasal 32A UU PPh ini jelas bahwa dilakukannya perundingan dengan negara lain untuk membuat perjanjian perpajakan ini memiliki dua tujuan utama yaitu pertama menghindari pengenaan pajak berganda (avoidance of double taxation) dan yang kedua adalah mencegah pengelakan pajak (prevention of fiscal evasion). Di samping dua tujuan utama di atas, terdapat pula tujuan lain yang sebenarnya merupakan akibat bila dua tujuan utama di atas dicapai. Dalam penjelasan Pasal 32A UU PPh juga ditegaskan bahwa perjanjian perpajakan yang dilakukan pemerintah ini adalah dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan dengn negara lain. Suatu perjanjian perpajakan atau tax treaty bertujuan pula untuk mendorong arus modal, teknologi, dan keahlian ke suatu negara. P3B juga akan memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak, memperlancar transaksi ekonomi antar negara dan meningkatkan kerjasama antar negara. 1. Menghindari Pajak Berganda (Double Taxation) Dalam menerapkan ketentuan perpajakan, yusrisdiksi perpajakan suatu negara akan berinteraksi dengan yurisdiksi perpajakan negara lainnya. Interaksi dua yusrisdiksi perpajakan dua negara ini biasanya akan menimbulkan pajak berganda. Pajak berganda ini timbul karena dua yusrisdiksi perpajakan mengenakan pajak kepada penghasilan yang sama yang dimiliki oleh subjek pajak yang sama. Misalkan seseorang bernama Mr. X yang merupakan warga negara A mendapatkan penghasilan yang bersumber dari negara B. Ketentuan pajak negara A akan mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh warganegaranya dari manapun sumber penghasilan tersebut. Di lain pihak, ketentuan pajak negara B juga mengenakan pajak terhadap penghasilan yang bersumber dari negaranya walaupun penerimanya bukan warga negara atau bukan penduduk negara B. Nah dalam kasus ini Mr. X akan dikenakan pajak dua kali oleh negara A dan negara B. Pajak berganda juga bisa timbul jika seseorang atau badan memenuhi definisi sebagai subjek pajak dalam negeri (residence) dua negara. Dengan kondisi ini maka orang atau badan ini akan dikenakan pajak dua kali juga atas seluruh penghasilannya. Masalah ini biasa dikenal dengan istilah masalah dual residence. Untuk memecahkan masalah-masalah seperti di atas akibat penerapan ketentuan perpajakan dua negara, maka kedua negara perlu melakukan perundingan untuk membuat persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B).

Dalam P3B ini nantinya akan diatur tentang hak pemajakan masing-masing negara untuk jenis-jenis penghasilan tertentu. Dalam kasus dual residence, suatu P3B akan membuat ketentuan sedemikian sehingga seseorang atau badan hanya akan menjadi residence (subjek pajak dalam negeri) dari satu negara saja. Ketentuan ini biasa disebut Tie Breaker Rule yang biasanya dimuat dalam Pasal 2 P3B. Dalam P3B juga biasanya akan diatur mengenai corresponding adjutment dalam kasus transfer pricing serta memuat ketentuan tentang metode penghilangan pajak berganda. Corresponding adjutment mengandung makna bahwa jika satu negara melakukan koreksi harga dalam suatu transasksi dengan lawan transaksi di negara lain, maka negara lain juga harus melakukan koreksi sebaliknya agar pengenaan pajak tidak berganda. 2. Mencegah Pengelakan Pajak

Menghindari pajak bisa dilakukan dalam bentuk tax avoidance dan tax evasion. Tax avoidance biasanya dilakukan masih dalam koridor ketentuan perpajakan. Apabila penghindaran ini dilakukan masih sesuai dengan maksud dari pembuat ketentuan, maka penghindaran ini tidak menjadi masalah. Namun demikian, jika penghindaran ini dilakukan dengan mengakali peraturan yang tidak sesuai dengan maksud pembuat undang-undang maka jenis penghindaran ini perlu dipermasalahkan. Contoh dari pengindaran pajak yang mengakali ketentuan ini misalnya dengan membuat modal sebagai pinjaman dengan harapan dividen bisa disebut bunga sehingga bisa dibiayakan. Praktek menggunakan harga transfer (transfer pricing) dalam transaksi internasional dengan menggeser laba ke negara dengan low tax rate juga merupakan salah satu jenis penghindaran pajak seperti ini. Dalam kasus lain, bentuk penghindaran pajak ini bisa berupa membuat transaksi yang semu walaupun legal form nya benar. Transaksi semu ini dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat dari suatu tax treaty dimana jika transaksi dilakukan dengan cara yang seharusnya maka dia tidak akan mendapat manfaat dari suatu tax treaty. Pendirian conduit company, paper box company atau special purpose company biasanya digunakan untuk mendapatkan manfaat suaty tax treaty. Penghindaran pajak dalam bentuk tax evasion bermakna penghindaran pajak dengan melanggar ketentuan pajak seperti tidak melaporkan penghasilan atau membebankan biaya fiktif. Dengan demikian, tax evasion berdimensi illegal dan kriminal. 3. Pertukaran Informasi

Untuk mencegah terjadinya penghindaran dan pengelakan pajak dalam suatu transaksi internasional, suatu perjanjian perpajakan biasanya memuat ketentuan tentang pertukaran informasi. Informasi dari negara lain dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus penghindaran atau pengelakan pajak seperti kasus treaty shopping (memanfaatkan ketentuan tax treaty yang tidak semestinya), kasus transfer pricing ataupun kasus tindak pidana perpajakan. Penutup Menyadari bahwa perkembangan dunia begitu pesat, kebijakan tax treaty Indonesia harus selaras dengan standar perpajakan internasional dengan tetap memperhatikan kepentingan Indonesia sebagaimana dituangkan dalam ketentuan UU domestiknya. Dalam mengantisipasi perkembangan di atas dan mengakomodasi kepentingan Indonesia dalam setiap pembuatan tax treaty dengan negara-negara sahabat maka perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: Berhubungan akan semakin banyak timbul masalah klasik di bidang perpajakan internasional maka Indonesia perlu memperluas jaringan tax treaty, agar Indonesia dapat melakukan kerjasama internasional untuk memerangi dan mencari solusi yang terbaik atas permasalahannya. Perkembangan dunia usaha yang sangat dinamis dan munculnya permasalahan perpajakan internasional yang sebelumnya tidak diperkirakan maka seyogyanya melakukan negosiasi tax treaty sesuai dengan aturan yang berlaku. Dalam menghadapi era globalisasi Indonesia dapat memanfaatkan tax treaty secara intensif untuk memperoleh informasi yang lengkap. Indonesia hendaknya mengantisipasi dampak globalisasi terhadap perkembangan dunia usaha, sehingga Indonesia perlu melakukan penyesuaian atas proposal tax treaty yang akan diajukan ke meja perundingan. Untuk mengamankan kepentingan perpajakan Indonesia dan transaksi internasional, Indonesia seyogyanya melakukan terminasi sepihak tax treaty-nya dengan negara-negara lain yang terbukti tax haven country. Dalam mengantisipasi diberlakukannya WTO Agreement dan penerapan sanksi terhadap negar-negara yang melakukan gainful tax competition, tax treaty merupakan salah satu bentuk fasilitas yang menarik dan tidak bertentangan dengan semangat globalisasi. Indonesia dapat menggunakan tax treaty untuk menarik investor asing.

Anda mungkin juga menyukai