Anda di halaman 1dari 10

Bab 3

Tax Treaty (P3B)


Tax treaty adalah perjanjian perpajakan antara dua negara yang
dibuat dalam rangka meminimalisir pemajakan berganda dan berbagai
usaha penghindaran pajak. Perjanjian ini digunakan oleh penduduk dua
negara untuk menentukan aspek perpajakan yang timbul dari suatu
transaksi di antara mereka. Penentuan aspek perpajakan tersebut
dilakukan berdasarkan klausul-klausul yang terdapat dalam tax treaty
yang bersangkutan sesuai jenis transaksi yang sedang dihadapi. Tax
treaty dalam bahasa Indonesianya P3B atau Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda.
Setiap tax treaty mempunyai prinsip-prinsip dasar yang kurang lebih
sama, sebagai bagian dari konvensi internasional di mana setiap negara yang
terlibat dalam suatu tax treaty menyusun treaty-nya masing-masing
berdasarkan model-model perjanjian yang diakui secara internasional. Di
dunia ini, ada dua model treaty yang sering dijadikan acuan dalam menyusun
suatu treaty yaitu model OECD dan model PBB.
Memahami treaty yang berlaku antara suatu negara dengan negara
lainnya, bisa dimulai dengan memahami prinsip-prinsip dasar tersebut. Dalam
kenyataannya, memahami suatu tax treaty tidaklah semudah membalikkan
telapak tangan. Bahasa yang digunakan, jumlah klausul yang cukup banyak,
pemahaman seseorang tentang dasar-dasar perpajakan dan berbagai sebab
lainnya merupakan hal yang dapat mempengaruhi kesulitan tersebut. Dengan
memahami prinsip-prinsip dasar dan prinsip umum yang berlaku dalam suatu
treaty, seseorang akan menjadi lebih mudah memahami suatu treaty yang
secara spesifik berlaku untuk negara tertentu.
Sebagai suatu perjanjian, sebuah treaty adalah kontrak yang mengikat
suatu negara dengan negara lain dalam hal perlakuan perpajakan. Oleh sebab
itu, di dalamnya selalu berisi klausul-klausul, pasal-pasal dan ayat-ayat yang
berkaitan dengan suatu aspek transaksi dan pihak tertentu tertentu. Pasal-
pasal atau ayat-ayat yang terdapat dalam sebuah tax treaty pada dasarnya
dapat dikelompokkan menjadi empat bagian besar yaitu bagian yang
mengungkapkan cakupan tax treaty, bagian yang mengatur minimalisasi
pengenaan pajak berganda, bagian tentang pencegahan penghindaran pajak
dan bagian yang mencakup hal-hal lainnya.

Semua bagian itu cenderung lebih mudah dipahami dari pada berbagai
definisi, istilah dan pengertian yang sering disebutkan dalam suatu tax treaty.
Berbagai definisi, istilah dan pengertian inilah yang menjadi lebih penting
untuk dipahami setiap pihak khususnya berkaitan dengan kepentingan dalam
praktek bisnis sehari-hari.
Ruang Lingkup Tax Treaty

Personal Scope

Pasal dan ayat ini mengatur tentang kepada siapa sajakah ketentuan dalam
treaty yang bersangkutan bisa diterapkan. Di sini diatur ketentuan tentang
siapa saja yang merupakan orang pribadi, badan usaha dan entitas lainnya
yang berdasarkan treaty tersebut dianggap sebagai penduduk dari salah satu
negara yang terikat perjanjian termasuk di dalamnya orang pribadi, badan
atau entitas lainnya yang dianggap sebagai penduduk dengan status
kependudukan ganda (double residence).
Biasanya, di sini tidak diartikan lebih lanjut definisi mengenai penduduk
maupun perihal kependudukan ganda. Kedua hal tersebut diatur dalam
klausul lain yaitu dalam klausul tentang general definitions dan tentang
residence. Oleh karena itu, pengertian personal scope berkaitan erat dengan
pengertian-pengertian dalam dua klausul tersebut.

Taxes Covered

Di sini diatur tentang jenis-jenis pajak yang perlakuannya menggunakan


ketentuan dalam tax treaty yang bersangkutan. Jenis pajak yang diatur di sini
akan mengikuti ketentuan sesuai tax treaty dan mengabaikan ketentuan
internal yang berlaku di masing-masing negara. Dalam beberapa hal,
ketentuan suatu tax treaty memiliki kekuatan yang berada di atas sistem
perundang-undangan yang berlaku secara internal di dalam suatu negara.

Aturan dalam tax treaty hanya diberlakukan untuk jenis pajak langsung
seperti Pajak Penghasilan (PPh). Atas pajak tidak langsung seperti Pajak
Pertambahan Nilai atau pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah tidak
diatur dalam tax treaty. Dalam ketentuan umumnya (general definitions),
diatur tentang definisi istilah-istilah umum yang berkaitan dengan definisi
persons (orang atau badan), national (negara atau kewarganegaraan),
international traffic (lalu lintas internasional), enterprise (badan usaha) dan
lain-lain.

Residence

Di sini diatur tentang dua hal yaitu definisi penduduk (personal scope) serta tie
breaker rule yaitu ketentuan yang menentukan tidak berlakunya status
residence atas suatu pihak dengan karakteristik tertentu. Definisi penduduk
sebagaimana diatur dalam paragraf pertama klausul ini adalah setiap orang
pribadi atau badan yang berdasarkan ketentuan internal suatu negara –
seperti keberadaan, domisili, tempat kedudukan manajemen atau sebab-sebab
lain yang mempunyai karakteristik yang sama – dapat dikenai pajak di negara
tersebut. Dengan kata lain, penduduk adalah Subjek Pajak dalam negeri suatu
negara yang dikenai pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
lokal yang berlaku di negara tersebut.

Klausul ini juga menegaskan bahwa orang pribadi atau badan tidak dapat
langsung dianggap sebagai penduduk suatu negara hanya karena
mendapatkan penghasilan yang bersumber dari negara tersebut. Dalam
prakteknya, orang pribadi atau badan dapat dianggap sebagai penduduk dari
dua negara berdasarkan azas world wide income yang dianut. Hal ini bisa
terjadi karena setiap negara pada dasarnya berhak mengatur definisi
penduduk sesuai dengan versinya masing-masing.

Diperlakukan sebagai penduduk dari dua negara sekaligus – dalam konteks


pemajakan berganda – sama sekali bukan hal yang menyenangkan. Pasalnya,
orang pribadi atau perseroan yang bersangkutan dapat dikenai pajak sesuai
ketentuan pajak yang masing-masing berlaku di kedua negara tersebut. Jika
kedua negara sama-sama menganut prinsip world wide income, dapat
dibayangkan betapa berat beban pajak yang harus ditanggung oleh pihak yang
bersangkutan. Apabila kondisi seperti ini tetap dibiarkan, tentunya akan
membawa dampak negatif terhadap kelancaran investasi salah satu negara
karena pihak tersebut cenderung tidak berinvestasi guna menghindari beban
pajak yang terlalu besar.

Menyadari efek-efek negatif tersebut, artikel residence selanjutnya mengatur


langkah yang dapat digunakan untuk menghilangkan status kependudukan
ganda yang sering disebut
dengan tie breaker rule.

Tie breaker rule dibedakan menjadi dua yaitu yang diterapkan untuk orang
pribadi dan yang diterapkan untuk selain orang pribadi. Tie breaker rule untuk
orang pribadi terdiri dari penentuan permanent home (tempat tinggal tetap),
center of economic and social interests (pusat kepentingan ekonomi dan sosial),
habitual abode (tempat kebiasaan untuk tinggal), national (kewarganegaraan)
serta mutual agreement (perjanjian antar otoritas perpajakan).
Langkah-langkah tersebut di atas secra berurutan bersifat prioritas. Artinya,
apabila dengan menggunakan ketentuan pertama masalah kependudukan
ganda telah bisa dipecahkan, maka langkah kedua dan seterusnya tidak perlu
digunakan lagi.
Sementara itu tie breaker rule untuk pihak selain orang pribadi hanya ada
satu ketentuan yaitu tempat di mana manajemennya efektif berada.
Cara Membaca Tax Treaty
Treaty merupakan perjanjian Internasional antara dua negara yang
menggunakan bahasa hukum. Bagian awal ini akan menginformasikan
bagaimana kita membaca tax treaty agar mudah dipahami.
Jika adanya bagian dari tax treaty dalam bahasa Inggrisnya:
“The profit of an enterprise of a contracting state shall be taxable only in
the Contracting State unless the enterprise carries on bussines in the other
contracting state throught a permanent establishment situated therein.
If the enterprise carries on business as aforesaid, the profits of the
enterprise may be taxed in that other contracting state, but only so much
of them as is attributable to that permanent establishment.”
Dalam bahasa Indonesianya di artikan:
“Laba perusahaan di suatu negara hanya akan dikenakan pajak di negara
keberadaan perusahaan tersebut. Kecuali perusahaan menjalankan
usaha di negara lain melalui suatu pendirian tetap. Jika begitu, laba
perusahaan tersebut dapat dikenakan pajak, tetapi hanya mengenai
bagian laba yang dianggap berasal dari pendirian tetap tersebut.”
Contohh tax treaty Indonesia dengan Jepang pada Pasal 7 ayat 1. Dalam hal
memudahkan membaca gunakan cara membaca nya dengan: Mengganti
istilah “ of Contracting State” atau “that Contracting State” (lawan
transaksi) menjadi Jepang. Gantilah “ the Other Contracting State Menjadi
Indonesia”
The profits of an enterprise of a Contracting State shall be taxable only in that
Contracting State unless the enterprise carries on business in the other
Contracting State through a permanent establishment situated therein. If the
enterprise carries on business as aforesaid, the profits of the enterprise may be
taxed in that other Contracting State but only so much of them as is attributable
to that permanent establishment

Diterjemahkan:
Laba perusahaan disuatu Negara hanya akan dikenakan pajak di Negara
itu kecuali perusahaan itu menjalankan usahannya di Negara lainnya,
melalui suatu pendirian tetap yang berkedudukan disitu. Jika
perusahaan menjalankan usahannya seperti yang dikatakan sebelumnya,
laba dari perusahaan itu bisa dikenakan pajak di Negara lain itu, tetapi
hanya mengenai bagian laba yang dianggap berasal dari pendirian tetap
tersebut.

Dengan merubah kata tersebut mungkin akan memudahkan wajib pajak


dalam membaca tax treaty.
Shall be Taxable Only=Hak Pemajakan Dinegara Domisili
Maybe Tax In= Hak Pemajakan di negara sumber
Praktik-Praktik dalam Tax Treaty
THIN CAPITALIZION
Suatu perusahaan disebut thinly capitalized apabila terdapat
perbandingan yang tinggi antara: modal hutang (debt capital) dan modal
ekuitas (equity capital). Kriteria yang umumnya diterapkan untuk menyebut
suatu perusahaan sebagai thinly capitalized adalah rasio capital gear, leverage,
atau DER. (Diterjemahkan dari IBFD International Tax Glossary, 2005)
Suatu perusahaan disebut thinly capitalized apabila terdapat
perbandingan yang tinggi antara :modal hutang (debt capital) dan modal
ekuitas (equity capital). Kriteria yang umumnya diterapkan untuk menyebut
suatu perusahaan sebagai thinly capitalized adalah rasio capital gear, leverage,
atau DER. (Diterjemahkan dari IBFD International Tax Glossary, 2005)
INVESTOR PERUSAHAAN

DEPOSIT BANK PINJAMAN


Opsi I: Investasi dalam bentuk ekuitas $1 juta
Opsi II: Investasi dalam bentuk ekuitas $100 ribu dan dalam bentuk pinjaman
$900 ribu
Opsi III: Investasi dalam bentuk ekuitas $100 ribu, menjamin pinjaman bank
$900 ribu

PT ABC
US –Parent Co.
di Indonesia

Skenario 1:
Pembiayaan Ekuitas $ 1 juta
Skenario 2:
Pembiayaan Hutang $ 1 juta
@ 10% interest
Diminta:
Hitung beban pajak dan Return on investment masing skenario
Asumsi:
Withholding tax atas bunga dan dividen : 20% Tarif PPh di Indonesia: 25%
Laba sebelum bunga dan pajak: $ 150.000. Dividen payout ratio: 100%

Debt Financing Equity Financing Back-to-back

Pinjaman Pemegang Shm $ 1 juta 0


atau pinjaman bank

Laba sebelum bunga & $ 150.000 $ 150.000 $ 150.000


pajak

Bunga Pinjaman (10%) $100.000 0 $100.000

Penghasilan kena pajak $50.000 $ 150.000 $50.000


Pajak (tarif 25%) $12.500 $ 37.500 $12.500

Laba bersih $37.500 $112.500 $37.500


Dividen (payout ratio $37.500 $112.500 $37.500
100%)

Beban Pajak: $20.000 0 $20.000


Bunga (tarif 20%) $7.500 22.500 $7.500
Dividen (tarif 20%) $12.500 $ 37.500 $12.500
PPh Perseroan 0 0 $15.000
Fee Bank

Total beban $40.000 $ 60.000 $55.000


pajak/investasi

Hasil Investasi Bersih $110.000 $ 90.000 $95.000


Penghasilan Bersih (ROI) 11% 9% 9.5%

Dasar Undang –Undang PPh untuk Perbandingan Utang dan Modal


Pasal 18 ayat (1) UU PPh:
Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya
perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan
penghitungan pajak berdasarkan Undang‐undang ini.
Pasal 18 ayat (3) UU PPh:
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya
penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan
kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan
istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang
independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya‐plus, atau metode
lainnya.
CONTROLLED FOREIGN COMPANY
CFC Rules adalah ketentuan pencegahan atas penghindaran pajak yang
dilakukan oleh WP dalam negeri yang melakukan pengalihan penghasilan ke
perusahaan terkendali yang berada di negara-negara yang mengenakan pajak
rendah atau tidak mengenakan pajak.
(Diterjemahkan dari IBFD International Tax Glossary, 2005)
Ketentuan perpajajakan yang di tuangkan dalam PMK-256/PMK.03/2008
sehubungan dengan pengaturan CFC adalah:
Jika:
1. WPDN mempunyai perusahaan di LN yang tidak terdaftar pada bursa
efek di LN,
2. WPDN memiliki penyertaan modal minimal 50%, sendiri atau bersama-
sama dengan WPDN lain, dan
3. Penghasilan dividen dari CFC < [laba bersih CFC X % penyertaan pada
CFC],
Maka:
 Saat pengakuan dividen ditetapkan pada bulan ke-4 setelah batas waktu
penyampaian SPT perusahaan di Luar Negeri berakhir atau pada bulan
ke-7 setelah tahun pajak perusahan di Luar Negeri berakhir.
 Besarnya dividen adalah laba bersih CFC dikalikan besarnya
kepemilikan pada CFC.
Contoh Kasus CFC:
Perusahaan Q yang merupakan subjek pajak dalam negeri negara A,
mendirikan perusahaan anak Perusahaan R di negara B.
Maka atas penghasilan dari perusahaan R dinegara B akan dikenakan di
negara A, maka atas penghasilan dari perusahaan R tersebut dikenakan pajak
di negara A pada saat negara Perusahaan R mendistribusikan penghasilannya
dalam bentuk dividen kepada perusahaan Q sebagai pemegang sahamnya. Hal
ini dikarenakan antara perusahaan Q dan perusahaan R merupakan dua
entitas yang berbeda.
Anti Stepping
Ketentuan Anti Stepping dalam UU PPh
Pasal 18 ayat (3b):
WP yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui
pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (special purpose
company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan
pembelian tersebut sepanjang WP yang bersangkutan mempunyai hubungan
istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran
penetapan harga.

Penjelasan Pasal 18 ayat (3b):


Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penghindaran pajak oleh
WP yang melakukan pembelian saham/penyertaan pada suatu perusahaan
WP dalam negeri melalui perusahaan luar negeri yang didirikan khusus untuk
tujuan tersebut (special purpose company).
Pasal 18 ayat (3c):
Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company
atau special purpose company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di
negara yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country) yang
mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia atau BUT di Indonesia dapat ditetapkan sebagai
penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia atau BUT di Indonesia.
Contoh:
Apabila A Co. menjual kepemilikan (saham) di X Ltd. kepada PT B (WPDN),
secara legal formal transaksi di atas merupakan pengalihan saham
perusahaan luar negeri oleh WPLN. Namun, pada hakikatnya transaksi ini
merupakan pengalihan kepemilikan (saham) perseroan WPDN oleh WPLN
sehingga atas penghasilan dari pengalihan ini terutang PPh.
TREATY ABUSE/TREATY SHOPPING
Situasi dimana seseorang yang tidak berhak atas manfaat tax treaty, namun
menggunakan individu lain atau badan hukum lain sehingga dapat
memperoleh manfaat tax treaty yang tidak tersedia secara langsung.
(Diterjemahkan dari IBFD International Tax Glossary, 2005)1
Dasar Hukum:
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan P3B sebagaimana telah diubah dengan PER-
24/PJ/2010.
Pengertian Penyalahgunaan P3B (Treaty Abuse) menurut DJP:
1. Transaksi yang tidak mempunyai substansi ekonomi dilakukan dengan
menggunakan skema/struktur sedemikian rupa dengan maksud
semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B;
2. Transaksi dengan struktur/skema yang format hukumnya (legal form)
berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic substance)
sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh
manfaat P3B; atau
3. Penerima penghasilan bukan merupakan pemilik manfaat yang
sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan (beneficial owner).
4. perusahaan yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Bagi perusahaan yang menerima atau memperoleh penghasilan
yang di dalam pasal P3B terkait tidak mengatur persyaratan
beneficial owner, yaitu pendirian perusahaan atau pengaturan
struktur/skema transaksi tidak semata-mata ditujukan untuk
pemanfaatan P3B;
2. Bagi perusahaan yang menerima atau memperoleh penghasilan
yang di dalam pasal P3B terkait mengatur persyaratan beneficial
owner, yaitu:
1. pendirian perusahaan atau pengaturan struktur/skema
transaksi tidak semata-mata ditujukan untuk pemanfaatan
P3B; dan
2. Kegiatan usaha dikelola manajemen sendiri yang
mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan
transaksi; dan
3. Perusahaan mempunyai pegawai; dan
4. Mempunyai kegiatan atau usaha aktif; dan
5. Penghasilan yang bersumber dari Indonesia terutang pajak
di negara penerimanya; dan
6. Tidak menggunakan lebih dari 50% dari total
penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak
lain dalam bentuk, seperti: bunga, royalti, atau imbalan
lainnya.

Associated Enterprises - beberapa negara


Germany:
– Sunstantial participation (holding of at least 25%)
– Controlling influence
– Influence caused by non-business relationship
– Interest in income of other person
Japan:
– Direct or indirect ownership of at least 50% of shares
– Special reltionship enabling to substantially determine
business policies of other enterprises
USA:
– Parties owned or controlled directly or indirectly by same
Interests
Special Purpose Company

Advertisements

Anda mungkin juga menyukai