Anda di halaman 1dari 3

Menghindari Pajak Berganda (Double Taxation)

Dalam menerapkan ketentuan perpajakan, yusrisdiksi perpajakan suatu negara akan


berinteraksi dengan yurisdiksi perpajakan negara lainnya. Interaksi dua yusrisdiksi
perpajakan dua negara ini biasanya akan menimbulkan pajak berganda. Pajak berganda ini
timbul karena dua yusrisdiksi perpajakan mengenakan pajak kepada penghasilan yang sama
yang dimiliki oleh subjek pajak yang sama.
Misalkan seseorang bernama Mr. X yang merupakan warga negara A mendapatkan
penghasilan yang bersumber dari negara B. Ketentuan pajak negara A akan mengenakan
pajak atas penghasilan yang diterima oleh warganegaranya dari manapun sumber penghasilan
tersebut. Di lain pihak, ketentuan pajak negara B juga mengenakan pajak terhadap
penghasilan yang bersumber dari negaranya walaupun penerimanya bukan warga negara atau
bukan penduduk negara B. Nah dalam kasus ini Mr. X akan dikenakan pajak dua kali oleh
negara A dan negara B.
Pajak berganda juga bisa timbul jika seseorang atau badan memenuhi definisi sebagai subjek
pajak dalam negeri (residence) dua negara. Dengan kondisi ini maka orang atau badan ini
akan dikenakan pajak dua kali juga atas seluruh penghasilannya. Masalah ini biasa dikenal
dengan istilah masalah dual residence.
Untuk memecahkan masalah-masalah seperti di atas akibat penerapan ketentuan perpajakan
dua negara, maka kedua negara perlu melakukan perundingan untuk membuat persetujuan
penghindaran pajak berganda (P3B). Dalam P3B ini nantinya akan diatur tentang hak
pemajakan masing-masing negara untuk jenis-jenis penghasilan tertentu.
Dalam kasus dual residence, suatu P3B akan membuat ketentuan sedemikian sehingga
seseorang atau badan hanya akan menjadi residence (subjek pajak dalam negeri) dari satu
negara saja. Ketentuan ini biasa disebut Tie Breaker Rule yang biasanya dimuat dalam Pasal
2 P3B.
Dalam P3B juga biasanya akan diatur mengenai corresponding adjutment dalam kasus
transfer pricing serta memuat ketentuan tentang metode penghilangan pajak berganda.
Corresponding adjutment mengandung makna bahwa jika satu negara melakukan koreksi
harga dalam suatu transasksi dengan lawan transaksi di negara lain, maka negara lain juga
harus melakukan koreksi sebaliknya agar pengenaan pajak tidak berganda.
Saya ulangi : penentuan tempat tinggal tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang
bersifat formal tetapi lebih didasarkan pada kenyataan. Praktek yang terjadi dilapangan
sangat mungkin seseorang yang secara formal bertempat tinggal di Indonesia tetapi pada
kenyataannya orang tersebut “berada” di luar negeri. Jadi, dimana tempat tinggalnya?

Jawaban saya kembali ke metode 183 hari. Jika seseorang berada di luar negeri 183 hari atau
lebih maka orang tersebut bertempat tinggal di luar negeri. Sebaliknya jika seseorang berada
di dalam negeri 183 hari atau lebih maka orang tersebut bertempat tinggal di dalam negeri.
“Tempat” yang dimaksud bisa rumah milik, rumah sewa, apartemen, atau tempat tinggal
lainnya.

Walaupun demikian, sebenarnya sudah ada semacam “konvensi” diantara administrator pajak
di dunia bahwa jika terjadi dual residence [orang pribadi yang memiliki status penduduk
rangkap untuk tujuan perpajakan] maka penyelesaiannya dilakukan berdasarka a tie breaker
rule yang terdiri dari beberapa kriteria pengujian dan dilakukan secara berurutan (sequency)
artinya apabila kriteria pertama tidak dapat memecahkan masalah dual residence maka
digunakan kriteria kedua dan seterusnya. Kriteria dimaksud adalah

[1]. Tempat tinggal tetap (permanent home) yaitu tempat dimana Wajib Pajak dan keluarga
tinggal dalam jangka waktu yang relatif lama sehingga memenuhi persyaratan degree of
permanence;

[2]. Pusat kepentingan (centre of vital interest) yaitu tempat dimana hubungan keluarga dan
kepentingan ekonomi berada. Untuk mengukur pusat kepentingan seseorang, dapat dipakai
ukuran jumlah harta atau jumlah penghasilan, mana yang lebih besar;

[3]. Kebiasaan berdiam (habitual abode). Pengujian ini berdasarkan “di negara mana”
seseorang lebih banyak berada. Ini berbeda dengan metode 183 hari karena lebih banyak di
sini bisa jadi kurang dari 183 hari. Contoh: 100 hari tentu lebih banyak daripada 95 hari;

[4]. Status kewarganegaraan (nationality) Wajib Pajak;

[5]. Prosedur kesepakatan (mutual agreement procedure atau MAP) yaitu prosedur
kesepakatan antara kedua otoritas pajak dari masing-masing negara.

Nah bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di Luar Negeri silakan mengukur
sendiri, kira-kira penduduk mana. Penduduk maksudnya penduduk untuk kepentingan
perpajakan. Walaupun demikian, pengujian diatas adalah pengujian pada umumnya.
Pengujian yang lebih pasti tentu harus mengacu ke tax treaty karena tidak semua tax treaty
yang ditandatangani oleh Indonesia mengadopsi pengujian diatas. Di tax treaty masalah
“penduduk” biasanya di tempatkan di Pasal 4 tentang Fiscal Residence. Nah cari deh di situh
apakah kita masuk penduduk negara A atau penduduk negara B.

Kedudukan treaty lebih tinggi daripada undang-undang. Treaty adalah perjanjian antar negara
dan yang dimaksud tax treaty biasanya perjanjian bilateral atau perjanjian antara dua negara.
Karena tax treaty mengatur hal-hal yang lebih khusus, maka tax treaty “menganulir”
[mengalahkan] ketentuang-ketentuan di undang-undang. Ketentuan khusus mengalahkan
ketentuan umum.

Untuk dapat menggunakan tax treaty kita harus menggunakan surat keterangan domisili
(SKD) atau Certificate of Residency. Seperti KTP di Indonesia, certificate of residency
(COR) merupakan bukti “kependudukan” seseorang untuk kepentingan perpajakan. Karena
itu, menurut saya, COR lebih kuat sebagai bukti.

Walaupun begitu, kemungkinan untuk penduduk ganda [dual residence] masih mungkin.
Misal si A memiliki COR di Singapura tetapi KPP bilang si A wajib NPWP. Jika sudah
begini, sebaiknya serahkan ke pejabat yang berwenang (Competent Authority) dan meminta
dilakuan pengujian terakhir yaitu (mutual agreement procedure atau MAP)!

Contoh Surat Keterangan Domisili [diteken oleh pejabat yang berwenang] yang dikeluarkan
oleh USA [diambil dari SE-68/PJ/2008]
salaa

Anda mungkin juga menyukai