Anda di halaman 1dari 17

Isu bisnis internasional saat ini telah memegang peranan penting.

Dengan demikian perencanaan pajak


secara internasional juga menjadi semakin penting. Transakasi internasional – termasuk di dalamnya
transaksi pajak internasional – akan menjadi bagian bisnis yang tidak efisien apabila tidak direncanakan
dengan baik.

Di satu sisi perencanaan pajak internasional memiliki cakupan yang lebih luas dari pada perencanaan
pajak domestik. Di sisi lain, karena sangat terlibat dengan undang-undang dan peraturan dari dua negara
atau lebih, maka perencanaan pajak internasional menjadi salah satu area yang kompleks.

Sasaran utama dari perusahaan domestik dalam kaitannya dengan pajak adalah mengurangi pajak
nasional/domestik dan pajak asing atas pendapatan yang berasal dari luar negeri. Pajak asing akan
meningkatkan biaya pajak perusahaan domestik secara total dan pajak tersebut tidak seluruhnya dapat
dikreditkan dari pajak domestik.

Pembayar pajak dapat meningkatkan efisiensi biaya pajak asing ini melalui rencana pengurangan pajak
asing atau melalui rencana peningkatan porsi pajak asing yang dapat dikreditkan.

Perpajakan Internasional merupakan alat untuk mengetahui perbedaan pajak dalam negeri dan
memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di masing-masing negara, pemerintah
berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Ada
beberapa prinsip-prinsip yang harus dipahami dalam Perpajakan Internasional menurut Doernberg
(1989) menyebut 3 unsur netralitas yang harus dipenuhi dalam kebijakan perpajakan internasional yaitu
Capital Export Neutrality (Netralitas Pasar Domestik), Capital Import Neutrality (Netralitas Pasar
Internasional) dan National Neutrality.

Rencana Pengurangan Pajak Asing

Ada banyak teknik pengurangan pajak asing yang dapat dipakai oleh pembayar pajak. Secara umum
teknik-teknik ini sama dengan yang digunakan untuk pengurangan pajak domestik. Beberapa di
antaranya termasuk merealisir pendapatan dalam bentuk yang memungkinkan pengenaan tarif pajak
rendah, penundaan pengakuan pendapatan kotor, dan mempercepat pengakuan biaya. Teknik lain
dapat bersifat unik seperti memanfaatkan keuntungan dari insenif pajak lokal, pembiayaan
hutang, transfer pricing, dan pemanfaatan tax treaty.

Insentif Pajak Lokal

Salah satu metode pengurangan beban pajak asing adalah dengan memanfaatkan pengecualian pajak
dan tax holiday dari berbagai negara. Sebagai contoh, Irlandia memberikan pengurangan tarif dalam
memajakai keuntungan perusahaan manufaktur yang didirikan di sana, Singapura menawarkan tax
holiday bagi perusahaan manufaktur yang bergerak dalam bidang teknologi maju, Puerto Rico
memberikan pengecualian pajak untuk perusahaan tertentu yang mendirikan pabrik di sana, Belgia
menawarkan potongan pajak bagi pusat distribusi yang didirikan di sana, dan Swiss menawarkan tarif
pajak rendah untuk kantor pusat perusahaan yang didirikan di sana.

Pembiayaan Hutang

Pembiayaan cabang perusahaan yang pendapatannya menjadi obyek pajak bertarif tinggi dapat
usahakan agar mendorong terciptanya pengurangan biaya bunga dan pembayaran dividen semaksimal
mungkin.

Prinsip-prinsip yang harus dipahami dalam perpajakan internasional

Doernberg (1989) menyebut 3 unsur netralitas yang harus dipenuhi dalam kebijakan perpajakan
internasional:

Capital Export Neutrality (Netralitas Pasar Domestik): Kemanapun kita berinvestasi, beban pajak yang
dibayar haruslah sama. Sehingga tidak ada bedanya bila kita berinvestasi di dalam atau luar negeri.
Maka jangan sampai bila berinvestasi di luar negeri, beban pajaknya lebih besar karena menanggung
pajak dari dua negara. Hal ini akan melandasi UU PPh Psl 24 yang mengatur kredit pajak luar negeri.

Capital Import Neutrality (Netralitas Pasar Internasional): Darimanapun investasi berasal, dikenakan
pajak yang sama. Sehingga baik investor dari dalam negeri atau luar negeri akan dikenakan tarif pajak
yang sama bila berinvestasi di suatu negara. Hal ini melandasi hak pemajakan yang sama denagn Wajib
Pajak Dalam Negeri (WPDN) terhadap permanent establishment (PE) atau Badan Uasah Tetap (BUT)
yang dapat berupa cabang perusahaan ataupun kegiatan jasa yang melewati time-test dari peraturan
yang berlaku.

National Neutrality: Setiap negara, mempunyai bagian pajak atas penghasilan yang sama. Sehingga bila
ada pajak luar negeri yang tidak bisa dikreditkan boleh dikurangkan sebagai biaya pengurang laba.

Masalah-masalah dalam perpajakan internasional

Transfer Pricing: Kegiatan ini adalah mentransfer laba dari dalam negeri ke perusahaan dengan
hubungan istimewa di negara lain yang tarif pajaknya lebih rendah. Hal ini dapat dilakukan dengan
membayar harga penjualan yang lebih rendah dari harga pasar, membiayakan biaya-biaya lebih besar
daripada harga yang wajar, thin capitalization (memperbesar utang dengan beban bunga untuk
mengurangi laba). Misalnya: tarif pajak di Indonesia 28%, di Singapura 25%. PT A punya anak
perusahaan B Ltd di Singapura, maka laba di PT A dapat digeser ke B Ltd yang tarifnya lbh kecil dengan
cara B LTd meminjamkan uang dengan bunga yang besar, sehingga laba PT A berkurang, memang
pendapatan B Ltd bertambah namun tarif pajaknya lebih kecil. Hal bisa juga dilakukan dengan PT A
menjual rugi (mark down) barang dan jasa (harga jual di bawah ongkos produksinya) ke B Ltd. Di
Indonesia, transfer pricing dicegah dalam UU PPh pasal 18 dimana pihak fiskus berhak mengkoreksi
harga transaksi, penghitungan utang sebagai modal dan DER (Debt Equity Ratio).

Treaty Shopping: Fasilitas di tax treaty justru bukannya menghindarkan pajak berganda namun malah
memberi kesempatan bagi subjek pajak untuk tidak dikenakan pajak dimana-mana. Misalnya: Investasi
SBI di bursa singapura dibebaskan pajak. Treaty Shopping diredam dengan ketentuan beneficial owner
(penerima manfaat) dalam tax treaty (P3B) baik yang memakai model OECD maupun PBB sehingga tax
treaty hanya berlaku bila penerima manfaat yang sebenarnya adalah residen di negara yang
menandatangani tax treaty. Tax treaty adalah perjanjian perpajakan antara dua negara yang dibuat
dalam rangka meminimalisir pemajakan berganda dan berbagai usaha penghindaran pajak. Perjanjian ini
digunakan oleh penduduk dua negara untuk menentukan aspek perpajakan yang timbul dari suatu
transaksi di antara mereka. Penentuan aspek perpajakan tersebut dilakukan berdasarkan klausul-klausul
yang terdapat dalam tax treaty yang bersangkutan sesuai jenis transaksi yang sedang dihadapi.

Setiap tax treaty mempunyai prinsip-prinsip dasar yang kurang lebih sama, sebagai bagian dari konvensi
internasional di mana setiap negara yang terlibat dalam suatu tax treaty menyusun treaty-nya masing-
masing berdasarkan model-model perjanjian yang diakui secara internasional. Di dunia ini, ada dua
model treaty yang sering dijadikan acuan dalam menyusun suatu treaty yaitu model OECD dan model
PBB.

Memahami treaty yang berlaku antara suatu negara dengan negara lainnya, bisa dimulai dengan
memahami prinsip-prinsip dasar tersebut. Dalam kenyataannya, memahami suatu tax treaty tidaklah
semudah membalikkan telapak tangan. Bahasa yang digunakan, jumlah klausul yang cukup banyak,
pemahaman seseorang tentang dasar-dasar perpajakan dan berbagai sebab lainnya merupakan hal yang
dapat mempengaruhi kesulitan tersebut. Dengan memahami prinsip-prinsip dasar dan prinsip umum
yang berlaku dalam suatu treaty, seseorang akan menjadi lebih mudah memahami suatu treaty yang
secara spesifik berlaku untuk negara tertentu.

Sebagai suatu perjanjian, sebuah treaty adalah kontrak yang mengikat suatu negara dengan negara lain
dalam hal perlakuan perpajakan. Oleh sebab itu, di dalamnya selalu berisi klausul-klausul, pasal-pasal
dan ayat-ayat yang berkaitan dengan suatu aspek transaksi dan pihak tertentu tertentu. Pasal-pasal atau
ayat-ayat (article atau artikel) yang terdapat dalam sebuah tax treaty pada dasarnya dapat
dikelompokkan menjadi empat bagian besar yaitu bagian yang mengungkapkan cakupan tax treaty,
bagian yang mengatur minimalisasi pengenaan pajak berganda, bagian tentang pencegahan
penghindaran pajak dan bagian yang mencakup hal-hal lainnya.
Semua bagian itu cenderung lebih mudah dipahami dari pada berbagai definisi, istilah dan pengertian
yang sering disebutkan dalam suatu tax treaty. Berbagai definisi, istilah dan pengertian inilah yang
menjadi lebih penting untuk dipahami setiap pihak khususnya berkaitan dengan kepentingan dalam
praktek bisnis sehari-hari.

Cakupan Tax Treaty

Personal Scope

Pasal dan ayat ini mengatur tentang kepada siapa sajakah ketentuan dalam treaty yang bersangkutan
bisa diterapkan. Di sini diatur ketentuan tentang siapa saja yang merupakan orang pribadi, badan usaha
dan entitas lainnya yang berdasarkan treaty tersebut dianggap sebagai penduduk dari salah satu negara
yang terikat perjanjian termasuk di dalamnya orang pribadi, badan atau entitas lainnya yang dianggap
sebagai penduduk dengan status kependudukan ganda (double residence).

Biasanya, di sini tidak diartikan lebih lanjut definisi mengenai penduduk maupun perihal kependudukan
ganda. Kedua hal tersebut diatur dalam klausul lain yaitu dalam klausul tentang general definitions dan
tentang residence. Oleh karena itu, pengertian personal scope berkaitan erat dengan pengertian-
pengertian dalam dua klausul tersebut.

Taxes Covered

Di sini diatur tentang jenis-jenis pajak yang perlakuannya menggunakan ketentuan dalam tax treaty yang
bersangkutan. Jenis pajak yang diatur di sini akan mengikuti ketentuan sesuai tax treaty dan
mengabaikan ketentuan internal yang berlaku di masing-masing negara. Dalam beberapa hal, ketentuan
suatu tax treaty memiliki kekuatan yang berada di atas sistem perundang-undangan yang berlaku secara
internal di dalam suatu negara.

Aturan dalam tax treaty hanya diberlakukan untuk jenis pajak langsung seperti Pajak Penghasilan (PPh).
Atas pajak tidak langsung seperti Pajak Pertambahan Nilai atau pajak yang dipungut oleh pemerintah
daerah tidak diatur dalam tax treaty. Dalam ketentuan umumnya (general definitions), diatur tentang
definisi istilah-istilah umum yang berkaitan dengan definisi persons (orang atau badan), national (negara
atau kearganegaraan), international traffic (lalu lintas internasional), enterprise (badan usaha) dan lain-
lain.

Residence
Di sini diatur tentang dua hal yaitu definisi penduduk (berkaitan dengan personal scope) serta tie
breaker rule yaitu ketentuan yang menentukan tidak berlakunya status residence atas suatu pihak
dengan karakteristik tertentu. Definisi penduduk sebagaimana diatur dalam paragraf pertama klausul ini
adalah setiap orang pribadi atau badan yang berdasarkan ketentuan internal suatu negara – seperti
keberadaan, domisili, tempat kedudukan manajemen atau sebab-sebab lain yang mempunyai
karakteristik yang sama – dapat dikenai pajak di negara tersebut. Dengan kata lain, penduduk adalah
Subjek Pajak dalam negeri suatu negara yang dikenai pajak sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan lokal yang berlaku di negara tersebut.

Klausul ini juga menegaskan bahwa orang pribadi atau badan tidak dapat langsung dianggap sebagai
penduduk suatu negara hanya karena mendapatkan penghasilan yang bersumber dari negara tersebut.
Dalam prakteknya, orang pribadi atau badan dapat dianggap sebagai penduduk dari dua negara
berdasarkan azas world wide income yang dianut. Hal ini bisa terjadi karena setiap negara pada
dasarnya berhak mengatur definisi penduduk sesuai dengan versinya masing-masing.

Diperlakukan sebagai penduduk dari dua negara sekaligus – dalam konteks pemajakan berganda – sama
sekali bukan hal yang menyenangkan. Pasalnya, orang pribadi atau perseroan yang bersangkutan dapat
dikenai pajak sesuai ketentuan pajak yang masing-masing berlaku di kedua negara tersebut. Jika kedua
negara sama-sama menganut prinsip world wide income, dapat dibayangkan betapa berat beban pajak
yang harus ditanggung oleh pihak yang bersangkutan. Apabila kondisi seperti ini tetap dibiarkan,
tentunya akan membawa dampak negatif terhadap kelancaran investasi salah satu negara karena pihak
tersebut cenderung tidak berinvestasi guna menghindari beban pajak yang terlalu besar.

Menyadari efek-efek negatif tersebut, artikel residence selanjutnya mengatur langkah yang dapat
digunakan untuk menghilangkan status kependudukan ganda yang sering disebut dengan tie breaker
rule.

Tie breaker rule dibedakan menjadi dua yaitu yang diterapkan untuk orang pribadi dan yang diterapkan
untuk selain orang pribadi. Tie breaker rule untuk orang pribadi terdiri dari penentuan permanent home
(tempat tinggal tetap), center of economic and social interests (pusat kepentingan ekonomi dan sosial),
habitual abode (tempat kebiasaan untuk tinggal), national (kewarganegaraan) serta mutual agreement
(perjanjian antar otoritas perpajakan).

Langkah-langkah tersebut di atas secra berurutan bersifat prioritas. Artinya, apabila dengan
menggunakan ketentuan pertama masalah kependudukan ganda telah bisa dipecahkan, maka langkah
kedua dan seterusnya tidak perlu digunakan lagi.

Sementara itu tie breaker rule untuk pihak selain orang pribadi hanya ada satu ketentuan yaitu tempat
di mana manajemennya efektif berada.

Permanent Establishment
Klausul ini mengatur tentang seberapa jauh jangkauan suatu negara dalam mengenakan pajak atas
penghasilan yang bersumber dari negara tersebut.

Pada zaman sekarang, suatu usaha tidak hanya dilakukan di negara sendiri. Di negara lain pun suatu
pihak melakukan usaha. Apabila usaha di negara lain itu – sebut saja negara X – ternyata berhasil, adalah
hal yang logis jika otoritas pajak di negara X ingin mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima.

Namun berkaitan dengan keinginan tersebut, tentu harus ada batas-batas atau aturan yang jelas hingga
bisnis yang dilakukan – yang sekaligus merupakan investasi di negara X – tetap dapat berjalan dengan
baik. Cerminan dari batas atau aturan tersebut adalah ketentuan tentan permanent establishment atau
bentuk usaha tetap (BUT).

Contoh-contoh dari BUT dapat dikategorikan menjadi empat macam yaitu:

BUT Fasilitas Fisik

BUT tipe ini merupakan tipe yang paling mudah diketahui keberadaannya. BUT timbul karena adanya
fasilitas fisik seperti gedung, kantor perwakilan, pabrik, bengkel dan lain-lain;

BUT Aktivitas

Timbulnya BUT tipe ini ditandai dengan adanya aktivitas yang melebihi batas waktu tertentu (time test)
yang dilakukan di negara lain. Aktivitas tersebut bisa berupa pelaksanaan berbagai macam jasa (seperti
jasa konstruksi atau jasa-jasa lainnya). Lamanya time test yang digunakan dapat berbeda-beda antara
satu tax treaty dan tax treaty yang lain. Time test ini disesuaikan dengan kesepakatan dari kedua negara;

BUT Asuransi

Timbulnya BUT asuransi ditandai dengan keadaan di mana suatu perusahaan asuransi menerima premi
atau menanggung risiko di negara lain;.

BUT Keagenan

BUT tipe keagenan timbul jika terdapat agen di negara lain yang memiliki wewenang untuk menentukan
kontrak atau mengurus barang-barang dagang di negara lain.
Di dalam klausul ini juga ditentukan kondisi-kondisi di mana BUT dianggap tidak muncul seperti dalam
hal suatu tempat yang hanya berfungsi untuk memajang barang-barang dagangan, tempat yang hanya
digunakan untuk pembelian barang dagangan atau mengumpulkan informasi dan sebagainya.

Entry Into Force

Klausul ini menjelaskan tentang saat berlakunya sebuah tax treaty. Saat berlakunya tax treaty sangat
tergantung dari selesainya tahap-tahap pembentukannya. Pembentukan sebuah tax treaty yang dimulai
dari penandatanganan oleh kedua otoritas yang berwenang dan dilanjutkan dengan ratifikasi di kedua
negara. Setelah kedua negara selesai meratifikasi, selanjutnya dilakukan pertukaran dokumen-dokumen
ratifikasi. Setelah pertukaran dokumen ratifikasi ini selesai dilakukan maka tax treaty pun dapat
diberlakukan.

Termination

Klausul ini menjelaskan tentang saat berakhirnya sebuah tax treaty. Tax treaty dapat berakhir setelah
periode tertentu yang telah disepakati oleh kedua negara. Salah satu negara dapat mengakhiri sebuah
tax treaty dengan cara mengadakan pemberitahuan terlebih dahulu yang harus dilakukan dalam jangka
waktu tertentu sesuai dengan yang telah disepakati.

Tax Heaven Countries: Negara-negara yang memberikan keringanan pajak secara agresif seperti tarif
pajak rendah, pengawasan pajak longgar telah membuat penerimaan pajak dari negara-negara
berkembang merosot tajam. Negara tax heaven yang termasuk dalam KMK No.650/KMK04/1994 antara
lain Argentina, Bahrain, Saudi Arabia, Mauritius, Hongkong, Caymand Island, dll. Saat ini negara tax
heaven sedang dimusuhi dunia internasional, pengawasan tax avoidance (penghindaran pajak) di
negara-negara tersebut sedang gencar-gencarnya. Berinvestasi di negara tax heaven beresiko besar
terkena koreksi UU PPh Pasal 18. Lebih baik berinvestasi pada negara dengan tax treaty.

Alasan terjadi perpajakan berganda internasional

Perpajakan berganda terjadi karena benturan antar klaim perpajakan. Hal ini karena adanya prinsip
perpajakan global untuk wajib pajak dalam negeri (global principle) dimana penghasilan dari dalam luar
negeri dan dalam negeri dikenakan pajak oleh negara residen (negara domisili wajib pajak). Selain itu,
terdapat pemajakan teritorial (source principle) bagi wajib pajak luar negeri (WPLN) oleh negara sumber
penghasilan dimana penghasilan yang bersumber dari negara tersebut dikenakan pajak oleh negara
sumber.
Perusahaan Manufaktur Domestik Pertimbangan Awal

Tuan s.Holmes memulai polycon Lens Company bertahun-tahun yang lalu untuk memproduksilensa
kritik sebagai bahan utama untuk memproduksi kaca pembesar,seiring berkembangnya perusahaan
dengan baik dan penasehat pajak domestik Tuan S. Holmes membantuperusahaan mengurangi jumlah
pajak tahunan dengan bermacam-macam matode.

Persyaratan Untuk Menjadi Perwakilan Luar Negeri

Penjualan sesungguhnya akan akan di mpengaruhi penjualan perwakilan, keuntungan dari adanya
perwakilan perusahaan adalah sbb:

Menyediakan tempat yang tetap untuk memasarkan persediaan lensa dann memberikan contoh
penggunaannya untuk teleskop dengan model yang dikirim dari negara A.

Memutar slide untuk menarik konsumen potensial.

Menghindari informasi lain yang mungkin memengaruhi penjualan.

Perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) berisi ketentuan yang dibentuk saat perusahaan
mendirikan cabang di suatu tempat dan memiliki bentuk usaha tetap (BUT) dan saat peresmian kantor
atau agen untuk tujuan yang digambarkan diatas menimbulkan kewajiban pajak disana.

Formasi Anak Perusahaan Penjualan Luar Negeri

Polycon mencapaikesuksesan melalui penjualan ekspor setelah beberapa tahun sehingga diambil
kesimpulan bahwa perusahaan tidak akan dapat mencapai potensi penuh tanpa memiliki perwakilan
penjualan luar negeri.

Polycon dapat mencoba untuk  melindungi pengurangan ganda atas kerugian awal yang ditimbulkan dari
operasi penjualan di Luna Technic Company seperti mengalami kerugian. Tuan Holmes harus menyadari
bahwa transper dari cabang ke anak perusahaan mungkin akan melibatkan Polycon dalam kewajiban
pajak.

Pendirian Pabrik Manufaktur Luar Negeri

Penjualan lensa optik berkualitas tinggi  mendekati batas kapasitas produktif dan meningkatnyabiaya
peralatan berat yang terlibat dalam peningkatan kapasitas dan pasar penjualan terbatas ,Tuan Holmes
memutuskan lebih berkonsentrasi untuk membangun kaca pembesar berkualitas rendah dan bervolume
tinggi untuk pasar konsumen massal.
Dengan kas yang dihasilkan dari penjualan lensa optik berkualitas tinggi, Tuan Holmes memutuskan
untuk mendirikan pabrik manufaktur luar negeri. Pertama, untuk meningkatkan kemampuan kelompok
dalam membeli bahan plastik khusus dengan harga lebih rendah dari pada pasar dalam negeri. Kedua,
untuk menghemat biaya transportasi bahan mentah . ketiga, untuk mendapatkan biaya tenaga kerja
produksi lebih rendah . keempat, untuk mendapatkan keuntungan atas  kelonggaran pajak yang
memungkinkan.

Mendirikan Anak Perusahaan Penjualan

Ada beberapa faktor pertimbangan dalam menentukan lokasi yang tepat untuk anak perusahaan;

1.      Pertimbangan pajak

2.      Kelonggaran pajak yang memungkinkan perusahaan untuk mengambil keuntungan atas pelabuhan
bebas sehingga beberapa kewajiban pajak atas barang –barang yang di import untuk tujuan ekspor
dapat dihindari.

Walaupun kebijakan penentuan harga antar perusahaan dibawah pengawasan yang cermat, tambahan
laba mungkin saja diperoleh dengan mengenakan bunga atas kontrak penjualan yang terbayar dari anak
perusahaan .

Akuisisi Kelompok Luar Negeri Yang Sudah Ada

 
Akuisisi visitec coeporations membutuhkan beberapa  pertimbangan perencanaan pajak , khususnya
atas pengurangan biaya bunga pinjaman yang muncul untuk melakukan akiuisisi. Ada bebrapa langkah
khusus yang harus dilakukan untuk mengurangi biaya bunga , salah satunya mungkin dengan
mengurangi biaya bunga dengan laba dikenai pajak visiteccorporation, karena perusahaan yang diakui
akuisisi bearti memiliki laba /keuntungan konsolidasi.

      Selama beberapa tahun yang lalu, ketika membangun kualitas yang tinggi untuk lensa optik dan kaca
pembesar untuk pasar dunia, Polycon Lens Company telah mengembangkan penjualan ekspor untuk
lensa kamera ke produsen kamera asing Visitec Corporation yang membeli lensa untuk kamera
instamatic berharga murah. Kondisi ini berkembang dalam porsi yang signifikan utnuk tingkat
perputaran Polycon Lens Company, namun Tuan Holmes menyadari bahwa ada kemungkinan produsen
asing akan mengalami likuidasi, karena tidak cukupnya tingkat pengembalian dan biaya pendanaan yang
tinggi. Oleh karena itu, Tuan Holmes mempertimbangkan untuk mengakuisisi Visitec Corporation pada
waktu yang menguntungkan anak perusahaan penjualannya untuk mencapai tingkat pengembalian
maksimum dan menghasilkan laba potensial yang tinggi untuk menjualan kamera dan pada saat yang
sama dapat mempertahankan Polycon Lens Company untuk mengekspor lensa kamera.

Restrukturisasi Kelompok Dengan Holding Company Luar Negeri

POLYCON (
holding)
Mungkin saja menjadi pusat informasi dari polycon group dan beralokasi dalam yurisdiksi yang
menawarkan kelonggaran pada holding company . ini mungkin aakan membutuhkan biaya manajemen
untuk anak perusahaan yang berbeda dan meningkatkan laba setelah pajak ditetapkan, dimana biaya
manjemen merupakan pengurangan yang diperbolehkan terhadap laba kena pajak anak
perusahaan .untuk mencapai bermacam-macam kelonggaran yang ditawarkan pada holding
company,penting bagi polycon (holding) untuk menunjukkan pelayanan manajemen sesungguhnya
dalam kelompok, jika tidak, ada kemungkinan diperdebatkan bahwa polycon (holding) sudah diatur
sedemikian rupa.

Tujuan pembentukan Polycon (Holding) antara lain:

Ø  Untuk memaksimumkan arus deviden dari anak perusahaan ke Polycon Lens Company

Ø  Mengurangi jumlah kerugian kredit pajak ganda hasil dari pemilikan yang terpisah anak perusahaan
Polycon Lens Company

Ø  Untuk mengkoordinasikan fungsi manajemen dalam unit terpusat

Formasi Perusahaan Pendanaan Luar Negeri

Pertimbangan yang cermat harus diberikan untuk peraturan pajak dan sistem pengendalian nilai tukat
( exchange control ).                         

Penentuan biaya berpengaruh pada besar pajak . jika R dan         D dikapitalisasi maka pajak penghasilan
akan berlangsung selama masa pengakuan nilai sampai habis dalam penghapusannya. Jika diperlakukan
sebagai biaya hanya berpengaruh pada periode tertentu sehingga berdampak pada pajak
lansung .perbedaan penentua umur aset akan menentukan besarnya biaya.
Membangun
Dasar Aktiva dengan Investasi Real Estate

Jika polycon investment meminjam dana untuk membuat investasi real esta,maka adalah penting bahwa
hutang bunga dapat ditutup terhadap piutang sewa di negara dimana real estat berdiri, sehingga pajak
penghasilan di potong luar negeri di pungut dengan dasar sewa bersih ( net basis ) daripada atas
pendapatan sewa kotor. Kebanyakan negara akanmenjadikan keuntungan sfekulatif sebagai subjek
pajak penghasilan daripada pajak keuntungan modal. Keuntungan sfekulatif seperti itu dapat diperoleh
jika real estat dijual dalam waktu tertentu setelah akuisisi, atau jika perhatian investor jelas terorientasi
hanya pada membuat keuntungan daripada holding real  estat untuk tujuan investasi, dan dokumentasi
yang cukup harus ada untuk memberikan  bukti atas tujuan investor semula.
Perlindungan Lini Produk Baru Dan Penyusunan Izin Operasi

Karena  visimatic ( holding ) berada dalam yurisdiksi pajak rendah , maka tidak mungkin negara  M  akan
membentuk perjanjian pajak ganda dengan negara-negara berpajak tinggi, karena penghindaran pajak
ganda tidak lagi relevan dimana salah satu rekan perjanjian memungut pajak  penghasilan dan laba yang
kecil  atau tidak memungut. Dengan cara ini pajak dipotong atas pembayaran piutang royalti oleh
visimatic franchise Company akan dikurangkan dengan jumlah nol atau nominal dan jika tidak ada pajak
penghasilan dipotong yang dipungut atas royalti yang dibayarkan

Visimatic Franchise kepada Visimatic ( holding ), maka piutang setelah pajak Visimatik ( holding ) dapat
meningkat.

Formasi Entitas Tax Haven


Yurisdiksi pajak tinggi  memiliki  perundang- undangan yang membagi  secara adil akumulasi pendapatan
perusahaan tax haven kepada pemegang saham domestik. Beberapa negara mempublikasikan daftar
negara-negara yang mempertimbangkan  tax haven dengan administrasi pajak, dan pengetahuan atas
daftar ini berguna sebagai  peringatan kepada kelompok yang  menggunakan perusahaan tax haven
dalam struktur mereka. 

SPECIAL PURPOSE VEHICLE (SPV) DI DALAM


UU TAX AMNESTY

Oleh REZA ZAKI (Oktober 2016)

Ada frasa penting yang perlu dicermati dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang
Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) yang baru berlaku beberapa waktu lalu. Penjelasan Pasal 20
dari undang-undang ini memasukkan frasa “Pidana Lain.” Frasa ini menciptakan inkonsistensi
terhadap rezim hukum perpajakan kita. Kemudian, Pasal 21 ayat (2), (3), dan (4) juga
menunjukkan upaya tidak kooperatif di dalam membangun transparansi untuk kepentingan
perpajakan maupun perdagangan internasional, mengingat dalam hukum perdagangan
internasional terdapat satu prinsip penting: transparency. Di samping itu, pasal tersebut
bertentangan pula dengan kesepakatan negara-negara OECD bahwa di tahun 2018 akan ada
upaya untuk merevisi prinsip kerahasiaan bank (bank secrecy) yang dianggap menghambat laju
keterbukaan informasi. Pasal 22 kemudian mengesankan imunitas hukum pejabat negara dalam
hal pelaksanaan pengampunan pajak ini yang mencederai semangat equality before the law. Menteri
Keuangan Republik Indonesia telah mengeluarkan aturan tekhnis yakni Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia No 142/PMK.010/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 127/PMK.010/2016 tentang Pengampunan Pajak Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak bagi Wajib Pajak Yang Memiliki
Harta Tidak Langsung Melalui Special Purpose Vehicle (SPV) yang terdiri dari 8 (delapan) pasal
hasil perubahan. PMK tersebut melaksanakan ketentuan Pasal 24 huruf a Undang-undang Nomor
11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak. Mekanisme ini juga diatur di dalam pasal 13 PMK
Nomor 118/PMK.03/2016.
Apa yang dimaksud dengan Special Purpose Vehicle (“SPV”) dan mengapa pengusaha atau grup
perusahaan menggunakan SPV ? Lalu apakah SPV dapat disalahgunakan untuk melakukan
pelanggaran hukum?
Special Purpose Vehicle (SPV) diungkapkan pula oleh Robert L. Symonds, Jr., sebagai berikut: “A
Special Purpose Vehicle (SPV) is a company with a limited purpose or focus. It is created by a corporation to
conduct a specific or temporary activity. It is normally, but not necessarily, owned almost entirely by the
sponsoring corporation. It must be distanced from the sponsor both in terms of management and ownership
(not 100%), because if the SPV were to be owned or controlled by the sponsor, there is no difference between
a subsidiary and an SPV.”
Special Purpose Vehicle (SPV) adalah sebuah perusahaan dengan tujuan atau fokus yang terbatas.
Perusahaan ini dibentuk oleh suatu badan hukum untuk melakukan aktivitas khusus atau bersifat
sementara. Perusahaan ini biasanya, walaupun tidak perlu, dikuasai hampir sepenuhnya oleh
badan hukum yang menjadi sponsornya. Oleh sebab itu SPV ini harus dijauhkan dari sponsor
baik dalam bidang manajemennya maupun pemilikannya (tidak 100%), karena jika SPV sudah
dikuasai atau diatur oleh sponsor, maka tidak akan ada perbedaan antara cabang perusahaan dan
SPV.
SPV bukanlah objek hukum yang sering dikaji secara akademik di Indonesia, walaupun dalam
praktik bisnis, penggunaannya tidaklah asing sama sekali bagi para pengusaha. SPV secara
keuangan dan perdagangan mendapat garansi dari lembaga-lembaga keuangan independen yang
terlibat seperti Finance Consultant, Appraisal, Tax Consultant dan lain-lain. Melalui kesempatan ini,
saya berharap saya dapat memberikan penjelasan yang memadai bagi masyarakat awam
mengenai keberadaan SPV dan bagaimana hukum di Indonesia sebaiknya menghadapi potensi
positif dan negatif dari SPV melalui pendekatan ekonomi terhadap hukum (atau disebut juga
sebagai pendekatan Hukum dan Ekonomi (Law & Economics).
Lalu apa yang membedakan SPV dari Korporasi pada umumnya? SPV diciptakan dengan fungsi
yang sangat khusus/terbatas, terutama untuk membatasi risiko finansial dari pemilik SPV yang
bersangkutan (dan dalam konteks tertentu, kepentingan kreditor SPV tersebut) (Pearce II
& Lipin, 2011-2012: 179).4 Oleh karena itu, SPV memiliki beberapa ciri khusus yang cukup
mudah untuk diidentifikasi, antara lain: tidak memiliki karyawan, tidak memiliki lokasi fisik, dan
tidak mengambil keputusan bisnis/ekonomi yang substantif (tidak menjalankan kegiatan usaha)
(Tylor, 2009). Ciri-ciri di atas membedakan secara tegas peranan SPV dengan Korporasi yang
pada prinsipnya menjalankan kegiatan usaha secara aktif untuk mencari keuntungan (Mueller,
2003).

Dalam praktiknya, SPV dapat digunakan untuk menyamarkan identitas dari pemiliknya melalui
konsep pemisahan pemilik dengan badan hukum Korporasi (OECD, 2001). Penyamaran identitas
ini umumnya dilakukan dengan jalan mendirikan belasan, puluhan atau mungkin lebih banyak
lagi SPV dan menciptakan struktur kepemilikan atas SPV-SPV tersebut yang berlapis-lapis di
berbagai yurisdiksi (yang tentunya melibatkan banyak negara).

Penyamaran identitas melalui SPV ini, ditambah dengan keberadaan konsep tanggung jawab
terbatas, dapat memberikan insentif negatif kepada pihak-pihak tertentu untuk melakukan
pelanggaran hukum termasuk dalam bentuk pencucian uang, korupsi, transaksi orang dalam,
penggelapan pajak, dan sebagainya (OECD, 2001).

Mengapa karakteristik SPV di atas dapat menimbulkan insentif negatif? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, kita harus kembali ke asumsi awal dalam pendekatan hukum dan ekonomi
bahwa manusia adalah makhluk yang rasional. Sebagai makhluk rasional, seseorang akan
melakukan kejahatan apabila keuntungan dari kejahatan tersebut melebihi biaya yang harus
dikeluarkan olehnya sehubungan dengan kejahatan tersebut (Becker, 1974). Formula ini
berlaku umum untuk segala jenis tindak pidana, baik pencurian, pembunuhan, pemerkosaan,
sampai dengan korupsi dan pencucian uang.
Mendirikan puluhan sampai ratusan lapisan kepemilikan yang rumit melalui SPV tidak
membutuhkan modal yang besar. Dalam praktiknya, US$100 sudah cukup untuk mendirikan
suatu korporasi di berbagai negara tertentu yang memang mengkhususkan dirinya untuk
berbisnis di bidang pendirian Korporasi (OECD, 2001). Selain itu, biaya operasional
menjalankan SPV juga tidak besar karena sesuai dengan fungsinya yang terbatas, SPV tidak
memerlukan tenaga kerja, kantor fisik dan kegiatan usaha.

Sekalipun proses pendiriannya mudah, melacak struktur kepemilikan SPV justru merupakan
pekerjaan yang sulit, apalagi kalau sampai harus melibatkan otoritas multi-yurisdiksi. Belum lagi
fakta bahwa negara-negara yang khusus bergerak di bidang pendirian SPV juga memang
umumnya sangat menjaga kerahasiaan identitas pemilik SPV tersebut (OECD, 2001). Kerumitan
yang tidak perlu tersebut menambah biaya penegakan hukum, dan sesuai dengan hukum
ekonomi, biaya penegakan hukum yang mahal akan menyebabkan proses penegakan hukum
menjadi lebih sulit. Sebagai akibatnya, biaya untuk melakukan kejahatan akan menjadi
berkurang. Kemudahan menciptakan struktur kepemilikan yang berlapis ditambah dengan
tingkat kerahasiaan identitas yang tinggi memberikan sarana yang murah dan efektif bagi suatu
pihak untuk menyamarkan keberadaannya. Tentu saja sebagai akibatnya terdapat insentif yang
besar bagi pihak yang bersangkutan untuk melakukan tindak pidana karena ia dapat berlindung
dari tanggung jawab hukum dengan jalan menciptakan lapisan kepemilikan SPV tersebut.

Tidaklah mengherankan kalau hal di atas dapat memicu si pemilik SPV untuk membiarkan saja
SPV-nya digunakan untuk melakukan pelanggaran hukum, atau menggunakan SPV untuk
berinvestasi dalam kegiatan usaha yang berdampak buruk atau berbahaya bagi
lingkungan/masyarakat (Hansmann & Kraakmann, 1991: 1883).

Laporan repatriasi yang terus melonjak jangan hanya dianggap sebagai laporan positif bagi
pendapatan Negara yang tumbuh. Dalam praktik tax avoidance, kita mengenal
istilah Integration atau bisa disebut dengan repatriation and integration atau spin dry. Pada tahap ini,
uang yang telah dicuci dibawa kembali ke dalam sirkulasi dalam bentuk pendapatan yang bersih,
bahkan merupakan objek pajak. Begitu uang tersebut dapat diupayakan sebagai uang halal
melalui cara layering, maka uang yang dianggap halal tersebut dibelanjakan untuk kegiatan
bisnis atau kegiatan operasi kejahatan atau organisasi kejahatan yang akan diualngi lagi oleh
pelaku, dan para pelaku ini dapat memilih penggunaannya dengan cara menginvestasikan dana
tersebut ke dalam real estate (barang-barang maupun perusahaan).
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata perjanjian harus memenuhi 4 syarat agar dapat memiliki
kekuatan hukum dan mengikat para pihak yang membuatnya. Hal tersebut adalah: (1)
Kesepakatan para pihak; (2) Kecakapan untuk membuat perikatan (misal: cukup umur, tidak
dibawah pengampuan dll); (3) menyangkut hal tertentu; (4) adanya kausa yang halal. Hal ini
berlaku juga pada Hukum Perdata Internasional. Dua hal yang pertama disebut sebagai syarat
subjektif dan dua hal yang terakhir disebut syarat objektif. Suatu perjanjian yang mengandung
cacat pada syarat subjektif akan memiliki konsekuensi untuk dapat dibatalkan (vernietigbaar).
Dengan demikian selama, perjanjian yang mengandung cacat subjektif ini belum dibatalkan,
maka ia tetap, mengikat para pihak layaknya, perjanjian yang sah. Sedangkan perjanjian yang
memiliki cacat pada syarat objektif (hal tertentu dan causa yang halal), maka secara tegas
dinyatakan sebagai batal demi hukum. (J.Satrio, 1992). Jadi, dalam kaitannya jual beli rumah,
misalnya, tidak hanya rumah yang dijadikan objek hukum, melainkan juga uangnya. Asal-usul
uang ini juga perlu untuk diketahui apakah berasal dari causa halal atau tidak.
Di samping itu, menurut Konvensi Viena 1980 Covention on Contracts for The International Sales of
Goods (CISG) yang terdiri dari 101 pasal.  Terkait dengan hal keabsahan dari suatu perjanjian,
ada dua hal yang dapat dikemukakan di sini. Hal kedua berkaitan dengan objeknya, yaitu yang
terkait dengan pelaksanaan perjanjian jual beli itu sendiri. Dalam permasalahan kedua ini, perlu
diperhatikan bahwa dalam hal ketentuan hukum materiil mengenai pelaksanaan perjanjian jual
beli yang diatur dalam CISG bertentangan dengan ketentuan hukum domestik yang berlaku di
suatu Negara tertentu yang merupakan Negara salah satu pihak dalam perjanjian jual beli, maka
hal ini dapat dijadikan sebagai alasan untuk menyatakan perjanjian jual beli menjadi tidak sah
dan harus dibatalkan.
Pada tahun 1995 sempat terjadi skandal pencucian uang besar yang dilakukan oleh Barings
Bank, salah satu Bank tertua di Inggris, Bank of Credit & Commerce International (BCCI). Bank
sebagai subjek hukum perdagangan internasional mewakili korporasi atau juga bisa disebut
sebagai intermediary dalam transaksi bisnis internasional dengan pihak swasta lainnya. Kejadian
tersebut mengakibatkan kekacauan sejumlah bisnis di dunia yang berasal dari berbagai Negara
karena BCCI memiliki anak perusahaan di Timur Tengah, Afrika, Asia, dan Amerika Serikat.
Bahkan BCCI juga terlibat dengan Luxemberg sebagai Tax Haven Country. Patut dicermati,
bahwa IMF mencatat jumlah uang haram yang beredar di dunia mencapai 5% dari Gross Domestic
Product (GDP) Dunia. (***)

Anda mungkin juga menyukai