Anda di halaman 1dari 4

Nama : Syarifah Elvani Apriliani Alkadrie

Nim : A1012201089
Makul : Hukum Pajak
Kelas : F (PPAPK)

Materi Tentang : Pajak Internasional

Pajak internasional dapat didefinisikan sebagai kesepakatan antar negara


yang memiliki Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atau yang sering
disebut dengan P3B. Ketentuan dasar pajak internasional ini mengacu pada
Konvensi Wina. Diberlakukannya persetujuan ini dapat menyebabkan ketentuan
perpajakan yang berlaku di negara tertentu tidak lagi berlaku bagi penduduk
atau organisasi asing, jika telah disetujui dalam kesepakatan bilateral antar
negara yang bersangkutan.

Hukum Pajak Internasional didefinisikan oleh Prof. Dr. Adriani sebagai suatu
kesatuan hukum yang mengupas suatu persoalan yang diatur dalam undang-
undang nasional mengenai:

1. Pemajakan terhadap orang-orang luar negeri


2. peraturan-peraturan nasional untuk menghindari pajak berganda
3. traktat-traktat (traktat adalah perjanjian yang dibuat antara dua negara
atau lebih dalam bidang perdata).

Perjanjian Internasional di bidang perpajakan adalah suatu perjanjian dalam


bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional, yang antara lain
mengatur pertukaran informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan perpajakan,
yang meliputi:

• Persetujuan pajak berganda


• Persetujuaan untuk pertukaran informasi berkenaan dengan keperluan
perpajakan
• Konvensi tentang bantuan administratif bersama dibidang perpajakan
• Persetujuan Multilateral antar pejabat yang berwenang untuk
pertukaran informasi rekening keuangan secara otomatis
• Persetujuan Bilateral antar pejabat yang berwenang untuk pertukaran
informasi rekening keuangan secara otomatis
• Persetujuan pemerintah untuk mengimplementasikan undang-undang
kepatuhan perpajakan rekening keuangan asing
• Perjanjian Bilateral dan Multilateral lainnya

Kebijakan perpajakan internasional bertujuan untuk memajukan perdagangan


antara negara, serta mendorong laju investasi di tiap-tiap negara. Pemerintah
berupaya meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan dan invesatasi.
Salah satu usaha pemerintah untuk meminimalkan pajak yang dapat menghambat
perdagangan dan invesatasi yaitu dengan melakukan penghindaran pajak berganda
internasional.
Pajak internasional ini juga bertujuan guna untuk meningkatkan taraf
perekonomian serta perdagangan untuk kedua negara yang berhubungan, dan
bertujuan untuk meminimalisir hambatan pada investasi atas penanaman modal
asing yang diakibatkan oleh perlakuan pengenaan pajak yang diberlakukan
untuk kedua negara yang bersangkutan.

Perjanjian ini diberlakukan untuk menghindari terjadinya pajak berganda


karena perbedaan ketentuan pajak antar negara, sehingga pajak internasional
lah yang menjadi penengah saat terjadinya hal tersebut.

Penghindaran pajak berganda memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Tidak terjadi pemajakan ganda yang dapat memberatkan iklim usaha


dunia
2. Meningkatkan investasi modal dari luar negeri ke dalam negeri
3. Meningkatkan sumber daya manusia
4. Pertukaran informasi untuk mencegah penghindaran pajak
5. Keadilan dalam perpajakan penduduk dari negara yang terlibat dalam
perjanjian

Prinsip-Prinsip Dalam Pemajakan Internasional adalah:

1. Netralitas Pasar Domestik, adalah kemanapun kita berinvestasi, beban


pajak yang dibayar adalah sama.
2. Netralitas Pasar Internasional, adalah darimanapun asal investasi,
beban pajak yang dibayar adalah sama.
3. National Neutrality, Setiap negara mempunyai bagian pajak atas
penghasilan yang sama. Apabila terdapat pajak luar negeri yang tidak
dapat dikreditkan dapat dikurangkan sebagai biaya pengurang laba.

Secara garis besar, pajak internasional mengatur dua hal, yakni


pemajakan subjek pajak dalam negeri yang mendapatkan penghasilan dari
sumber di luar negeri, dan pemajakan subjek pajak luar negeri yang menerima
yang mendapatkan penghasilan dari sumber di dalam negeri.

Setidaknya terdapat 2 faktor yang sangat mempengaruhi terjadinya


kesepakatan ini, antara lain:
1. Personal Connecting Factor, yaitu faktor yang menghubungkan hak
perpajakan suatu negara berdasarkan status pada suatu subjek pajak negara
yang berkaitan, namun untuk WP pribadi ketentuannya dilihat dari tempat
tinggal dan keberadaannya.
2. Objective Connecting Factor, yaitu faktor yang menghubungkan hak
perpajakan suatu negara berdasarkan dengan aktivitas ekonomi atau objek
pajak yang berkaitan dengan daerah teritorial suatu negara.

Lantas bagaimana dengan kebijakan pajak internasional ini di Indonesia ?

Indonesia sendiri sebagai negara yang memang sering menjalin hubungan


dengan negara lainnya seperti dalam aktivitas impor, ekspor serta aktivitas
lainnya juga sebenarnya termasuk dalam kategori perdagangan internasional
karena dari aktivitas tersebut akan mengakibatkan wajib pajak dalam negeri
memperoleh suatu penghasilan. Selain itu pada dasarnya Indonesia memang
sudah menandatangani konvensi wina dimana dalam konvensi tersebut
tercantum kekuatan hukum yang mengikat diantara negara-negara yang juga
menandatangani konvensi tersebut.

Dalam hal perlakuan pajaknya pengenaannya hanya dibatasi pada subjek


serta objek pajak yang berada pada wilayah Indonesia saja, atau bisa diartikan
bahwa suatu badan yang tidak berkedudukan di Indonesia umumnya tidak akan
dikenakan pajak dengan ketentuan yang dimiliki Indonesia. Namun dalam hal ini,
pajak yang dikenakan akan berkaitan dengan subjek dan objek yang berada di
luar wilayah Indonesia yang memiliki hubungan yang cukup dekat terkait dengan
perekonomian dan hubungan kenegaraan dengan Indonesia sendiri.

Hal ini sudah tercantum dalam Peraturan Perpajakan Nasional yang


mengatur tentang P3B dalam Undang Undang PPh pada Pasal yang ke 32A yang
membahas tentang adanya kewenangan pemerintah untuk melakukan segenap
perjanjian dengan pemerintahan negara lain guna untuk menghindari pajak
berganda dan pencegahan pengelakan pajak, dan diatur dalam Peraturan
Perpajakan Nasional UU PPh pada Pasal yang ke 3 yang membahas tentang
apa saja yang tidak termasuk dalam subjek pajak, serta ketentuan-ketentuan
lainnya.

Sebagai negara yang menjalin hubungan dengan negara lain, Indonesia tidak
terhindar untuk mengadakan berbagai macam transaksi seperti aktivitas impor,
ekspor, serta beragam aktivitas lainnya yang masuk ke kategori kegiatan
perdagangan internasional. Transaksi ini akan mengakibatkan penduduk dari
salah satu negara akan memperoleh penghasilan. Atas transaksi antar negara ini
maka dikenakan pajak internasional.

Indonesia juga merupakan subjek hukum internasional karena telah mengikuti


dan menandatangani Konvensi Wina. Konvensi internasional memiliki kekuatan
hukum yang mengikat antar negara yang ikut menandatangani kesepakatan
tesebut. Oleh karena itu, jika Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), hal
ini terjadi bukan saja karena keinginan dari pihak Indonesia sendiri melainkan ada
asas timbal balik dan keinginan yang sama dari negara yang mengadakan
perjanjian.

Berbicara tentang pajak internasional di Indonesia secara umum dapat


dikatakan berlaku hanya terbatas pada subjek dan objek pajak yang berada di
wilayah Indonesia saja. Dengan kata lain terhadap orang atau badan yang tidak
bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia pada dasarnya tidak dikenakan
pajak berdasarkan dasar hukum yang dimiliki Indonesia. Namun pajak
internasional dapat berkaitan dengan subjek maupun objek yang berada di luar
wilayah Indonesia sepanjang ada hubungan yang erat dalam hal terdapat
hubungan ekonomi atau hubungan kenegaraan dengan Indonesia.
➢ Dasar Hukum Pajak Internasional di Indonesia :

Pajak internasional yang diberlakukan di Indonesia diatur sepenuhnya dalam


beberapa peraturan perpajakan nasional, di antaranya:

• Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur Perjanjian Penghindaran


Pajak Berganda (Pasal 32 A Undang Undang PPh) mengenai pemerintah
berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam
rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
• Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak termasuk
Subjek Pajak.
• Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang Subjek Pajak Luar
Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT).
• Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tentang: Hubungan
Istimewa, Bilamana terdapat Ketidakwajaran dalam Perpajakan.
• Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang: Kredit Pajak Luar
Negeri.

Anda mungkin juga menyukai