Anda di halaman 1dari 8

HUKUM PAJAK INTERNASIONAL

PAJAK INTERNASIONAL
Pengertian Pajak Internasional
Pajak internasional merupakan kesepakatan perpajakan antarnegara yang mempunyai Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi Wina
(perjanjian internasional yang berisi tentang hukum perjanjian antar negara. Ditetapkan pada 23 Mei 1969.
Mulai berlaku pada 27 Januari 1980. Negara anggota 116 pada januari 2018). Persetujuan ini mengakibatkan
peraturan pajak yang berlaku di suatu negara tidak berlaku atas penduduk atau organisasi asing, apabila
sudah disepakati perjanjian bilateral khusus antar kedua negara yang memiliki kesepakatan tersebut.
Pajak internasional merupakan aspek perpajakan yang tidak lahir begitu saja. Hal ini diatur dan
disepakati oleh negara-negara yang mengadakan transaksi. Apa guna dari kesepakatan ini?
1. Untuk meningkatkan perekonomian dan perdagangan kedua negara.
2. Menghilangkan hambatan dalam investasi penanaman modal asing akibat pengenaan pajak yang
memberatkan wajib pajak dari kedua negara.

Pada umumnya terdapat dua faktor yang mempengaruhi ketentuan pajak internasional suatu negara, di
antaranya:
1. Personal Connecting Factor
Faktor penghubung yang mengaitkan hak pajak suatu negara berdasarkan status subjek pajak negara
tersebut. Untuk subjek pajak orang pribadi ketentuannya berdasarkan kriteria tempat tinggal atau
keberadaan.
2. Objective Connecting Factor
Mengaitkan hak pajak suatu negara berdasarkan keberadaan aktivitas ekonomi atau objek pajak
terhubung dengan daerah teritorial suatu negara. Pemberlakuannya diatur dalam hukum pajak
internasional.

Keterhubungan tersebut biasanya ditentukan berdasarkan kriteria sebagai berikut: tempat suatu harta,
tempat aktivitas pemberian jasa, tempat di mana suatu kontrak ditandatangani, tempat pembayar penghasilan
berdomisili, atau tempat di mana suatu biaya dibebankan. Oleh karena penekanannya adalah keterhubungan
antara negara dan letak objek pajaknya maka konsep ini juga sering disebut dengan
konsep source atau objective attachment.

Penerapan berbagai jenis faktor penghubung oleh ketentuan pajak domestik dari berbagai negara
dapat berdampak dua atau lebih negara saling klaim hak pemajakan atas subjek pajak atau objek pajak yang
sama. Dalam konteks ini, peran pajak internasional adalah mengatur batasan penerapan aspek internasional
dari ketentuan pajak domestik masing-masing negara berdasarkan hukum kebiasaan internasional dan
perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B).

Ketentuan pajak internasional dari suatu negara pada dasarnya mengatur dua hal: yaitu :
1. Mengatur tentang pemajakan atas subjek pajak dalam negeri suatu negara yang menerima penghasilan
dari sumber di luar negaranya, dan
2. Mengatur pemajakan atas subjek pajak luar negeri yang menerima penghasilan dari sumber di dalam
daerah teritorial suatu negara.

Prinsip-prinsip dalam Pemajakan Internasional


a. Netralis pasar domestic, kemampuan kita berinvestasi, beban pajak yang dibayar adalah sama
b. Netralis pasar internasional, darimanapun asal investasi, beban pajak yang dibayar adalah sama
c. National Neutrality, setiap negara mempunyai bagian pajak atas penghasilan yang sama. Apabila
terdapat pajak luar negeri yang tidak dapat dikreditkan dapat dikurangkan sebagai biaya pengurang
laba.
HUKUM PAJAK INTERNASIONAL
Sekalipun hubungan kerjasama antar negara demikian luasnya, perlu dipahami bahwa setiap negara
memiliki kedaulatan terhadap teritorialnya dan sekaligus kebebasan dalam menentukan segala sesuatu yang
berkaitan dengan negara yang bersangkutan, sehingga batas-batas tertentu dalam bekerjasama harus diatur
dalam wujud kesepakatan, traktat, maupun konvensi.
Indonesia sebagai Negara berdaulat memiliki hak untuk membuat sendiri ketentuan mengenai
masalah perpajakannya, namun Indonesia juga tidak mungkin lepas dari pergaulan internasional yang juga
bersinggungan dengan masalah pajak. Indonesia merupakan subjek hukum internasional karena telah
menandatangani Konvensi Wina, dan sebagai subjek hukum internasional, Indonesia tidak bisa menghindari
pelaksanaan tax treaty, manakala masyarakat Indonesia telah berhubungan dan memperoleh penghasilan di
negara lain tersebut.
Pengertian Hukum Pajak Internasional
Pengertian hukum pajak ini terdapat tiga pendapat dari ahli hukum pajak, yaitu:
a. Menurut pendapat Prof. Dr. Rochmat Soemitro, bahwa hukum pajak internasional adalah hukum
pajak nasional yang terdiri atas kaedah, baik berupa kaedah-kaedah nasional maupun kaedah yang
berasal dari traktat antar negara dan dari prinsif atau kebiasaan yang telah diterima baik oleh negera-
negara di dunia, untuk mengatur soal-soal perpajakan dan di mana dapat ditunjukkan adanya unsur-
unsur asing.
b. Menurut pendapat Prof. Dr. P.J.A. Adriani, hukum pajak internasional adalah suatu kesatuan hukum
yang mengupas suatu persoalan yang diatur dalam UU Nasional mengenai pemajakan terhadap orang-
orang luar negeri, peraturan-peraturan nasional untuk menghindarkan pajak ganda dan traktat-traktat.
c. Menurut pendapat Prof. Mr. H.J. Hofstra, hukum pajak internasional sebenarnya merupakan hukum
pajak nasional yang di dalamnya mengacu pengenaan terhadap orang asing. Maka hukum pajak
internasional juga merupakan norma-norma yang mengatur perpajakan karena adanya unsur asing,
baik mengenai objeknya maupun subjeknya.

Hukum pajak internasional dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaidah pajak berdasarkan
hukum antar negara seperti traktat-traktat konvensi dan lain sebagainya, dan berdasarkan prinsip-prinsip
hukum pajak yang telah lazim diterima baik oleh negara-negara di dunia, yang mempunyai tujuan mengatur
soal perpajakan antar negara yang saling mempunyai kepentingan sebagiamana sumber hukum hindu .

Hukum pajak internasional dalam arti luas adalah keseluruhan kaidah yang berdasarkan traktat,
konvensi-konvensi, dan prinsip hukum pajak yang diterima baik oleh negara-negara di dunia maupun kaidah-
kaidah nasional yang objeknya adalah pengenaan pajak yang mengandung adanya unsur-unsur asing, yang
dapat menimbulkan bentrokan hukum antara dua negara atau lebih.

Dari beberapa pengertian diatas, maka hukum pajak internasional merupakan suatu aturan-aturan
yang berlaku bagi negara-negara yang saling berkepentingan, yang berkaitan dengan subyek pajak asing
(seorang WNI atau badan Indonesia menerima/memperoleh penghasilan dari luar negeri) atau obyek pajak
asing (objek yang dimiliki WP dalan negeri yang berada diluar negeri, atau objek pajak berada diwilayah RI,
tetapi dimiliki oleh orang yang berada diluar negeri), berkaitan dengan hak perolehan pajak yang mengikat
subjek atau objek tersebut.

Berdasarkan kesepakatan negara-negara di Eropa Barat atau negara Anglo Sakson, istilah hukum pajak
internasional sendiri dibagi menjadi:
1. Hukum pajak nasional yang mengatur hukum pajak luar negeri (National External Tax Law)
National External Tax Law adalah hukum pajak yang memuat ketentuan mengenai pengenaan pajak
yang mempunyai kekuatan hukum sampai di luar batas negara karena terdapat unsur-unsur asing, baik
mengenai sumber pajak yang ada di luar negeri maupun subjek pajak yang ada di luar negeri.
2. Hukum pajak luar negeri (Foreign Tax Law)
Keseluruhan perundang-undangan dan peraturan pajak dari negara yang ada di seluruh dunia.
3. Hukum pajak internasional (International Tax Law)
International tax law merupakan kaidah pajak yang didasarkan pada hukum antar negara dan diterima
baik oleh negara-negara di dunia untuk mengatur perpajakan antar negara yang memiliki kepentingan.

Sumber-Sumber Hukum Pajak Internasional


Sumber hukum pajak internasional di Indonesia
Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro dalam bukunya Hukum Pajak Internasional Indonesia
a. Hukum Pajak Nasional/Unilateral yang mengandung unsur asing (UU PPh dan UU PPN)
b. Traktat, yaitu kaedah hokum yang dibuat menurut perjanjian antar negara baik secara bilateral
maupun multilateral. Perjanjian yang sifatnya multilateral yaitu Indonesia terkait dalam Perjanjian
Perpajakan dengan model Organization for Economic Cooperation abd Development (OECN),
maupun model United Nations (UN) yang merupakan acuan dalam rangka perundingan perjanjian
penghindaran pajak berganda.
c. Keputusan Hakim Nasional atau Komisi Internasional tentang pajak internasional. Keputusan hakim
maupun komisi internasional yang memberikan putusan yang menyangkut adanya unsur internasional
merupakan sumber hokum yang sifatnya mengikat juga bagi hokum pajak Indonesia.

Menurut Santoso Brotodihardjo, S.H. dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak menyatakan bahwa
sumber hukum formal dari hukum pajak internasional, adalah :
1. Asas-asas yang terdapat dalam hukum antarnegara.
Asas-asas ini dapat disimpulkan dari peraturan-peraturan dari hukum antarnegara, baik yang tertulis
maupun yang tidak.
Dalam pelaksanaan hukum Internasional sebagai bagian dari hubungan internasional sebagimana juga
dalam tujuan hukum pidana , dikenal ada beberapa asas hukum, antara lain:

Pacta Sun Servanda, yaitu setiap perjanjian yang telah dibuat harus ditaati oleh pihak-pihak
yang mengadakannya.
Equality Rights, yaitu negara yang saling mengadakan hubungan itu berkedudukan sama.
Reciprositas (Asas timbal-balik), yaitu tindakan suatu negara terhadap negara lain dapat
dibalas setimpal, baik tindakan yang bersifat negatif atau pun posistif.
Caurtesy, yaitu asas saling menghormati dan saling menjaga kehormatan masing-masing
negera.
Rebus Six Statibus, yaitu asas yang dapat digunakan untuk memutuskan perjanjian secara
sepihak apabila terdapat perubahan yang mendasar/fundamental dalam keadaan yang bertalian
dengan perjanjian internasional yang telah disepakati.

2. Peraturan-peraturan unilateral (sepihak) dari setiap negara yang maksudnya tidak ditujukan pada
negara lain, seperti pencegahan pengenaan pajak berganda.
3. Traktat-traktat (perjanjian) dengan negara lain seperti :
a. Traktat Bilateral / Traktat Binasional (Twee Zijdig)
Yaitu perjanjian yang dilakukan oleh dua negara. Traktat ini dapat meliputi perjanjian
mengenai hubungan kerjasama baik itu dalam hubungan politik, sosial-budaya, maupun
hankam.
b. Traktat Multilateral
Yaitu perjanjian yang dilakukan lebih dari dua negara. Perjanjian ini lebih bersifat resmi
(official) karena ditandatangani dan melibatkan pihak-pihak negara yang tergabung dalam
suatu organisasi tertentu.
c. Traktat Kolektif atau Traktat Terbuka
Yaitu perjanjian yang dilakukan oleh beberapa negara atau multilateral yang kemudian
terbuka untuk negara lain yang terikat pada perjanjian tersebut.
Tujuan dari traktat ini :
 Untuk meniadakan/menghindarkan pajak berganda
 Untuk mengatur pelakuan fiskal terhadap orang – orang asing
 Untuk mengatur soal pemecahan laba (winstsplitsing), di dalam hal suatu
perusahaan/seseorang mempunyai cabang-cabang/sumber-sumber pendapatan di negara asing.
 Untuk saling memberi bantuan dalam pengenaan pajak lengkap dengan pemungutannya,
termasuk usaha untuk memberantas evasion fiscale, yang dapat terjelma dengan saling
memberikan keterangan-keterangan tentang adanya Tatbestand dengan segala detailnya yang
diperlukan untuk penetapan pajaknya.
 Untuk menetapkan tarif-tarif douane.

PAJAK BERGANDA INTERNASIONAL

Pajak ganda (internasional) diartikan sebagai pengenaan jenis pajak yang sama oleh dua negara (atau
lebih) terhadap subjek pajak dan atas objek pajak yang sama, serta dalam periode yang identik. Dapat pula
diartikan sebagai pengenaan jenis pajak yang sama oleh dua negara (atau lebih) terhadap subjek pajak yang
berlainan atas objek pajak yang sama. Jenis pajak ganda menurut pengertian yang pertama merupakan pajak
ganda internasional yuridis (juridical international double taxation), sementara jenis pajak ganda menurut
pengertian yang kedua merupakan pajak ganda internasional ekonomis (economic international double
taxation).

Terjadinya Pajak Berganda Internasional

Pajak berganda internasional umumnya terjadi karena pada dasarnya tidak ada hukum internasional
yang mengatur hal tersebut sehingga terjadi bentrokan hukum antar dua negara atau lebih. Velkenbond
memberikan pengertian bahwa pajak berganda internasional terjadi apabila pengenaan pajak dari dua negara
atau lebih saling menindih sedemikian rupa, sehingga orang-orang yang dikenakan pajak di negara-negara
yang lebih dari satu memikul beban pajak yang lebih besar daripada jika mereka dikenakan pajak di satu
negara saja. Beban tambahan yang terjadi tidak semata-mata disebabkan karena perbedaan tarif dari negara-
negara yang bersangkutan, melainkan karena dua negara atau lebih secara bersamaan memungut pajak atas
objek dan subjek yang sama.

Dari pengertian di atas jelas bahwa pajak berganda internasional akan timbul karena atas suatu objek
pajak dan subjek pajak yang sama dikenakan pajak lebih dari satu kali sehingga menimbulkan beban yang
berat bagi subjek pajak yang dikenakan pajak tersebut. Selanjutnya Prof. Rochmat Soemitro menjelaskan
bahwa ada beberapa sebab terjadinya pajak berganda internasional, yaitu:

1. Subjek pajak yang sama dikenakan pajak yang sama di beberapa negera, yang dapat terjadi karena:
 Domisili rangkap
 Kewarganegaraan rangkap
 Bentrokan atas domisili dan asas kewarganegaraan.
2. Objek pajak yang sama dikenakan pajak yang sama di beberapa negara.
3. Subjek pajak yang sama dikenakan pajak di negara tempat tinggal berdasarkan atas wold wide income,
sedangkan di negera domisili dikenakan pajak berdasarkan asas sumber.

P3B (Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Tax Treaty)


Persetujuan penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah perjanjian antara 2 negara yang mengatur
mengenai pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk dari salah
satu atau kedua negara yang melakukan perjanjian.
Pembagian hak pemajakan tersebut diatur dengan tujuan mencegah seminimal mungkin terjadinya
pengenaan pajak berganda. Pencegahan pajak berganda tersebut dengan membatasi hak pemajakan dari
neraga sumber atas penghasilan yang timbul dari wilayah juriidiksinya.
Tujuan diadakan P3B
 Mencegah terjadinya pemajakan berganda, serta mencegah terjadinya penghindaran pajak (tax
avoidance) dan pengelakan pajak (tax evasion);
 Memberikan kedudukan yang setara dalam hal pemajakan antar kedua Negara;
 Peningkatan investasi dan Sumber Daya Manusia;
 Pertukaran informasi melalui Exchange Of Information (EOI) guna mencegah penghindaran pajak;
dan
 Penyelesaian sengketa melalui Mutual Agreement Procedure (MAP), dan bantuan dalam penagihan
pajak.

Ada dua cara untuk menghindari pajak berganda internasional, yaitu dengan cara sebagai berikut:
1.   Cara Unilateral (Sepihak)
Cara ini dilakukan dengan memasukkan ketentuan-ketentuan untuk menghindarkan  pajak berganda
dalam undang-undang suatu negara dengan suatu prosedur yang jelas. Biasanya yang dimasukkan dalam
undang-undang suatu negara adalah prinsip-prinsip yang sudah menjadi kelaziman internasional, seperti
ketentuan tentang pembebesan pajak para wakil diplomatik, wakil-wakil organisasi internasional.
Pembebesan pajak ini biasanya disyaratkan adanya asas resiprositas atau timbal balik yang artinya bahwa
negara yang bersangkutan baru akan memberikan pembebasan apabila sebaliknya negara lainnya juga
memberikan pembebesan atas dasar syarat yang sama.
Penggunaan cara ini merupakan wujud kedaulatan suatu negara untuk mengatur sendiri masalah
pemungutan pajak dalam suatu undang-undang. Hal ini yang tentunya mempunyai maksud untuk melindungi
wajib pajak dalam negerinya sendiri yang melakukan usaha atau mempunyai kekayaan di wilayah negara
lain, megikuti kebiasaan internasional, menarik modal asing, dan lain sebagainya.
Undang-undang PPh indonesia menganut cara penghindaran pajak berganda  dengan suatu metode
yang disebut dengan metode kredit pajak. Pasal 24 undang-undang PPh menyebutkan bahwa, pajak yang
dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh wijib pajak
dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan undang-undang ini dalam tahun
pajak yang sama (ayat 1). Besarnya kredit pajak adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayarkan atau
terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi perhitungan pajak yang terutang berdasarkan undang-
undang (ayat 2).
Menghilangkan pajak berganda secara unilateral melalui UU pajak dan aturan pelaksanaannya yaitu
dengan cara :
·         Mengecualikan seseorang/badan sebagai subjek pajak ;
·         Mengecualikan suatu penghasilan sebagai objek pajak ;
·         Menerapkan metode penghilangan pajak berganda (deduksi, pembebasan, kredit) ;
·         Membetulkan ketetapan pajak yang menimbulkan pajak berganda ;
·         Mengembalikan pajak yang seharusnya tidak terutang.
 
2.   Cara Bilateral atau Multilateral
Cara bilateral atau multilateral dilakukan melalui suaru perundingan antar-negara yang
berkepentingan untuk menghindarkan terjadinya pajak berganda. Perjanjian yang dilakukan secara bilateral
oleh dua negara, sedangkan multilateral dilakukan oleh lebih dari dua negera, yang lebih dikenal dengan
sebutan traktat atau tax treaty. Proses terjadinya perjanjian secara bilateral maupun multilateral tentu akan
membutuhkan waktu yang cukup lama karena masing-masing negara mempunyai prinsip pemajakannya
masing-masing sesuai dengan kedaulatan negaranya sendiri. Penghindaran pajak cara bilateral umumnya
yang paling banyak dilakukan oleh suatu negara. Indonesia misalnya telah melakukan Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan negara-negara lain yang sampai saat ini telah mencapai 49
negara. Sedangkan perjanjian penghindaran pajak yang dilakukan dengan cara  multilateral jarang sekali
terjadi yang umumnya disebabkan sulitnya melakukan pembicaraan secara intensif dengan beberapa negara
sekaligus. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa pada tahun 1922 pernah dicoba diadakan perjanjian
multinasional di bidang pajak langsung yaitu antar-negara Italia, Yugoslavia, Austria, Polandia, Rumania,
Chekoslovakia, dan Hungaria, tetapi gagal.
Pertanyaan sekarang adalah bagaimana kedudukan hukum atastax treaty dalam sistem hukum
nasional indonesia. Tax treaty dalam sistem hukum nasional indonesia tidak perlu diratifikasi oleh DPR
tetapi cukup dengan suatu keputusan presiden dan baru merupakan bagian dari perundang-undangan yang
kedudukannya berada di atas undang-undang pajak.Tax treaty diperlukan sebagai lex specialis terhadap
undang-undang pajak yang ada.
Berdasarkan Pasal 32A Undang-Undang PPh diatur bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan
perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan
pengelakan pajak. Untuk memberi kepastian hukum dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda (P3B atau Tax Treaty), maka pada tanggal 30 April 2010, Dirjen Pajak mengeluarkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ./2009 Tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda.
Secara bilateral/multilateral melalui Tax Treaty caranya :
·         Menyelesaikan dual residence dengan menyediakan Tie Break Rule ;
tie breaker rule merupakan panduan untuk memecahkan permasalahan dual resident.  Penerapan tie breaker
rule ini dilakukan untuk mencegah terjadinya pajak berganda, sehingga subjek pajak hanya boleh menjadi
subjek pajak di satu negara saja. Dengan menentukan subjek pajak hanya akan menjadi subjek pajak dalam
negeri dari satu negara, Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) akan menghilangkan kemungkinan terjadinya pajak
berganda. Untuk memahami konsep tie breaker rule, berikut ilustrasinya sesuai dengan OECD Model dan
UN Model.

·         Membagi hak pemajakan atas penghasilan ;


·         Koresponding adjustment dalam kasus transfer pricing.

Pasal 32A Undang-Undang Pajak Penghasilan menjelaskan bahwa:


“Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka
penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.”

Kedudukan P3B adalah lex specialist terhadap Undang-Undang domestik (aturan hukum khusus akan
mengesampingkan aturan hukum umum). Artinya jika ada ketentuan dalam undang-undang domestik yang
bertentangan dengan ketentuan dalam P3B maka yang dimenangkan adalah ketentuan P3B. Dalam
menentukan hak pemajakan, azas yang digunakan adalah sumber penghasilan, status kewarganegaraan, dan
status kependudukan.Pada awalnya tax treaty bertujuan mengurangi double taxation sehingga aturan yang
ada dalam tax treaty mengurangi hak pemajakan both contracting states. Kelemahan ini kemudian
dimanfaatkan tax planner untuk menghindari pajak sehingga wajib pajak bebas pajak. Negara-negara
kemudian sadar adanya double non-taxation.

Hal-hal yang diatur dalam perjanjian P3B diantaranya adalah:

o Subjek pajak yaitu pengaturan terhadap Subjek Pajak Dalam Negeri, Luar Negeri dan Bentuk Usaha
Tetap (BUT);
o Objek pajak yaitu antara lain penghasilan atas kegiatan usaha, penghasilan atas penjualan saham dan
aset, dividen, bunga, royalti, dan penghasilan atas jasa tertentu;
o Jenis pajak, tarif, dan kondisi khusus lainnya yang secara umum menjadi sengketa atau rentan terjadi
pemajakan berganda; serta
o Prosedur dalam melaksanakan MAP, EOI, dan bantuan penagihan pajak.
Model perjanjian P3B adalah:

 Model OECD (Organization for Economic Cooperation and Development). Merupakan model P3B
untuk negara-negara maju. Model ini mengedepankan asas domisili Negara yang memberikan jasa
atau menanamkan modal.
 Model UN (United Nation). Merupakan model P3B untuk negara-negara berkembang. Model ini
lebih mengedepankan asas sumber penghasilan, dimana hak pemajakan berada pada Negara yang
memberi penghasilan.
Kedua model perjanjian diatas adalah dasar dari pembuatan P3B Indonesia dengan negara mitra, namun pada
pelaksanaannya, bentuk P3B yang digunakan dibuat berdasarkan kondisi dan kepentingan Indonesia pada
saat perjanjian berlangsung. sehingga bentuk P3B Indonesia tidak baku dan merupakan gabungan dari kedua
model perjanjian diatas.

Sistem Pajak Internasional di Indonesia 

Sebagai negara yang menjalin hubungan dengan negara lain, Indonesia tidak terhindar untuk
mengadakan berbagai macam transaksi seperti aktivitas impor, ekspor, serta beragam aktivitas lainnya yang
masuk ke kategori kegiatan perdagangan internasional. Transaksi ini akan mengakibatkan penduduk dari
salah satu negara akan memperoleh penghasilan. Atas transaksi antar negara ini maka dikenakan pajak
internasional.

Indonesia juga merupakan subjek hukum internasional karena telah mengikuti dan menandatangani
Konvensi Wina. Konvensi internasional memiliki kekuatan hukum yang mengikat antar negara yang ikut
menandatangani kesepakatan tesebut. Oleh karena itu, jika Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B),
hal ini terjadi bukan saja karena keinginan dari pihak Indonesia sendiri melainkan ada asas timbal balik dan
keinginan yang sama dari negara yang mengadakan perjanjian.

Berbicara tentang pajak internasional di Indonesia secara umum dapat dikatakan berlaku hanya
terbatas pada subjek dan objek pajak yang berada di wilayah Indonesia saja. Dengan kata lain terhadap orang
atau badan yang tidak bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia pada dasarnya tidak dikenakan
pajak berdasarkan dasar hukum yang dimiliki Indonesia. Namun pajak internasional dapat berkaitan dengan
subjek maupun objek yang berada di luar wilayah Indonesia sepanjang ada hubungan yang erat dalam hal
terdapat hubungan ekonomi atau hubungan kenegaraan dengan Indonesia.  

Dasar Hukum Pajak Internasional di Indonesia 


Pajak internasional yang diberlakukan di Indonesia diatur sepenuhnya dalam beberapa peraturan perpajakan
nasional, di antaranya:
 Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda  (Pasal 32 A
Undang Undang PPh) mengenai pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan
pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan
pajak.
 Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang Subjek Pajak Luar Negeri dan Bentuk
Usaha Tetap (BUT).
 Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tentang: Hubungan Istimewa, Bilamana terdapat
Ketidakwajaran dalam Perpajakan.
 Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang: Kredit Pajak Luar Negeri.

KESIMPULAN

Hukum Pajak Internasional merupakan suatu aturan-aturan yang berlaku bagi negara-negara yang
saling berkepentingan, yang berkaitan dengan subyek pajak asing (seorang WNI atau badan Indonesia
menerima/memperoleh penghasilan dari luar negeri) atau obyek pajak asing (objek yang dimiliki WP dalan
negeri yang berada diluar negeri, atau objek pajak berada diwilayah RI, tetapi dimiliki oleh orang yang
berada diluar negeri), berkaitan dengan hak perolehan pajak yang mengikat subjek atau objek tersebut.

Penerapan pajak internasional tidak lepas dari hokum pajak internasional. Sedangkan untuk
penerapan pajak internasional secara spesifik untuk wilayah Indonesia diatur dalam beberapa Peraturan
Perpajakan Internasional.

Anda mungkin juga menyukai