Pajak internasional merupakan aspek perpajakan yang tidak lahir begitu saja. Hal ini diatur dan
disepakati oleh negara-negara yang mengadakan transaksi. Apa guna dari kesepakatan ini?
Pada umumnya terdapat dua faktor yang mempengaruhi ketentuan pajak internasional suatu
negara, di antaranya:
Faktor penghubung yang mengaitkan hak pajak suatu negara berdasarkan status subjek pajak
negara tersebut. Untuk subjek pajak orang pribadi ketentuannya berdasarkan kriteria tempat
tinggal atau keberadaan.
Mengaitkan hak pajak suatu negara berdasarkan keberadaan aktivitas ekonomi atau objek pajak
terhubung dengan daerah teritorial suatu negara. Pemberlakuannya diatur dalam hukum pajak
internasional.
Berdasarkan kesepakatan negara-negara di Eropa Barat atau negara Anglo Sakson, istilah hukum
pajak internasional sendiri dibagi menjadi:
Hukum pajak nasional yang mengatur hukum pajak luar negeri (National External
Tax Law)
National External Tax Law adalah hukum pajak yang memuat ketentuan mengenai
pengenaan pajak yang mempunyai kekuatan hukum sampai di luar batas negara karena
terdapat unsur-unsur asing, baik mengenai sumber pajak yang ada di luar negeri maupun
subjek pajak yang ada di luar negeri.
Sebagai negara yang menjalin hubungan dengan negara lain, Indonesia tidak terhindar untuk
mengadakan berbagai macam transaksi seperti aktivitas impor, ekspor, serta beragam aktivitas
lainnya yang masuk ke kategori kegiatan perdagangan internasional. Transaksi ini akan
mengakibatkan penduduk dari salah satu negara akan memperoleh penghasilan. Atas transaksi
antar negara ini maka dikenakan pajak internasional.
Indonesia juga merupakan subjek hukum internasional karena telah mengikuti dan
menandatangani Konvensi Wina. Konvensi internasional memiliki kekuatan hukum yang
mengikat antar negara yang ikut menandatangani kesepakatan tesebut. Oleh karena itu, jika
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), hal ini terjadi bukan saja karena keinginan dari
pihak Indonesia sendiri melainkan ada asas timbal balik dan keinginan yang sama dari negara
yang mengadakan perjanjian.
Berbicara tentang pajak internasional di Indonesia secara umum dapat dikatakan berlaku hanya
terbatas pada subjek dan objek pajak yang berada di wilayah Indonesia saja. Dengan kata lain
terhadap orang atau badan yang tidak bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia pada
dasarnya tidak dikenakan pajak berdasarkan dasar hukum yang dimiliki Indonesia. Namun pajak
internasional dapat berkaitan dengan subjek maupun objek yang berada di luar wilayah Indonesia
sepanjang ada hubungan yang erat dalam hal terdapat hubungan ekonomi atau hubungan
kenegaraan dengan Indonesia.
TRANSFER PRICING
Istilah hubungan istimewa dalam pajak biasanya digunakan dalam kasus perpajakan yang
berkaitan dengan transaksi afiliasi atau transaksi para pihak yang berelasi. Hubungan Istimewa
antar Wajib Pajak terjadi apabila terdapat suatu kondisi yang diduga mempengaruhi pengambilan
keputusan tidak secara wajar.
Hubungan Istimewa (Transfer Pricing) adalah hubungan yang terjadi antara dua Wajib Pajak
atau lebih yang menyebabkan Pajak Penghasilan terutang di antara Wajib Pajak tersebut menjadi
lebih kecil daripada yang seharusnya terutang. Hubungan istimewa ini dapat menyebabkan
adanya kemungkinan harga yang ditekan lebih rendah dari harga pasar.
Hubungan istimewa antara Pengusaha Kena Pajak dengan pihak yang menerima penyerahan
Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau
keterkaitan satu dengan yang lain, karena faktor kepemilikan atau penyertaan dan adanya
penguasaan melalui manajemen atau penguasaan teknologi.
Berikut ini adalah penjelasan lanjut mengenai faktor penyebab terjadinya hubungan istimewa:
1. Usaha
Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan usaha antara Wajib Pajak
pemberi dengan Wajib Pajak penerima. Terjadi apabila terdapat transaksi yang bersifat rutin
antara kedua belah pihak berupa pembelian, penjualan, atau pemberian imbalan lain dengan
nama dan dalam bentuk apapun.
2. Pekerjaan
Hubungan antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan pekerjaan antara Wajib
Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima berupa pekerjaan, pemberian jasa, atau pelaksanaan
kegiatan secara langsung atau tidak langsung antara kedua belah pihak tersebut.
Contoh:
Tuan John bekerja sebagai petugas dinas luar pegadaian dari perusahaan pegadaian PT GHI.
Meskipun Tuan John tidak berstatus sebagai pegawai PT GHI. Antara PT GHI dan Tuan John
dianggap memiliki hubungan pekerjaan tidak langsung. Jika Tuan John menerima bantuan dari
PT GHI atau sebaliknya, maka bantuan tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan bagi pihak
penerima karena memiliki hubungan pekerjaan tidak langsung.
Hubungan istimewa dianggap terjadi apabila hubungan kepemilikan berupa penyertaan modal,
baik secara langsung atau tidak langsung sebesar 25% atau lebih.
Contoh:
a. Penyertaan Langsung
Hubungan istimewa antar pengusaha (Wajib Pajak) dapat juga terjadi karena adanya penguasaan
melalui manajemen atau penggunaan teknologi. Hubungan istimewa terjadi apabila satu atau
lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama.
Contoh:
Tuan Harko, Direktur Utama di Perusahaan NG sekaligus menjabat sebagai Direktur Utama di
Perusahaan KL. Dalam hal ini ada hubungan istimewa atara perusahaan NG dan KL karena
adanya penguasaan melalui manajemen Tuan Harko terhadap perusahaan NG dan KL.
Tax avoidance atau penghindaran pajak diartikan sebagai suatu skema transaksi yang ditujukan
untuk meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan peluang kelemahan (loophole)
ketentuan perpajakan suatu negara. Tidak sedikit ahli pajak yang menyatakan bahwa skema ini
legal karena tidak melanggar ketentuan perpajakan yang berlaku. Pada umumnya, tax
avoidance menyangkut perbuatan yang masih dalam koridor hukum, namun bertentangan
dengan maksud dari pembuat Undang-Undang (the intention of parliament).
Akibat meningkatnya perkembangan teknologi informasi dan perekonomian suatu negara yang
semakin inklusif, membuka peluang besar bagi perusahaan untuk semakin mengembangkan
bisnis. Tentu, perusahaan yang berorientasi terhadap keuntungan akan berusaha untuk
mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya, utamanya melalui efisiensi biaya pajak.
Perusahaan berusaha untuk melakukan skema-skema transaksi penghindaran pajak (tax
avoidance) dalam rangka mengurangi beban pajak.
- Wajib Pajak berusaha agar pengenaan pajak bukan atas keuntungan sebenarnya yang
diperoleh.
Negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, membuat aturan dan kebijakan yang mengatur anti
penghindaran pajak.
Ketentuan anti thin capitalization merupakan upaya wajib pajak mengurangi beban pajak dengan
cara memperbesar pinjaman, agar dapat membebankan biaya bunga dan mengecilkan laba.
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 18 ayat 1 UU PPh dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
Nomor 169/PMK.03/2015 yang mengatur Penentuan Besarnya Perbandingan antara Utang dan
Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak penghasilan (Debt to Equity Ratio).
Ketentuan ini tertuang dalam PasaL 18 Ayat 2 UU PPh yang memuat aturan mengenai
kewenangan Menteri Keuangan menetapkan saat diperolehnya dividen oleh wajib pajak dalam
negeri atas penyertaan modal pada Badan Usaha di luar negeri yang tidak menjual saham di
bursa efek paling rendah 50%.
3. Transfer Pricing
Ketentuan mengenai Transfer Pricing diatur dalam Pasal 18 Ayat 3 UU PPh. Dalam pasal ini
mengatur kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk menentukan kembali besaran penghasilan
dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besar Penghasilan
Kena Pajak bagi wajib pajak yang memiliki hubungan istimewa.
4. Anti-treaty Shopping
Ketentuan mengenai anti treaty shopping diatur dalam PER-25/PJ/2010 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
PER-32/PJ/2011 mengatur tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam
Transaksi antara Wajib Pajak dan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa.
Ketentuan anti tax avoidance di atas diatur secara jelas dan rinci dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, baik ketentuan formal terkait dengan sanksi, dan ketentuan
materialnya. Tujuan diberlakukannya ketentuan di atas untuk memberikan kepastian hukum bagi
wajib pajak maupun Pemerintah agar tidak semakin merugikan penerimaan negara.
Pembagian hak tersebut diatur dengan tujuan untuk mencegah seminimal mungkin terjadinya
pengenaan pajak berganda.
Tujuan P3B
Pada prinsipnya, tax treaty ditujukan untuk menentukan alokasi hak pemajakan yang timbul dari
suatu transaksi yang terjadi antara negara sumber (negara tempat sumber penghasilan berasal)
dan negara domisili (negara tempat wajib pajak tinggal atau menetap) (Martin Hearson, 2016).
Perlu Anda ketahui, ada lima tujuan perjanjian penghindaran pajak berganda.
Perjanjian penghindaran pajak berganda diharapkan dapat menarik negara luar untuk
menanamkan modalnya di Indonesia. Sebab jika investasi berupa bunga, dividen atau royalti
dikenakan pajak yang tinggi, hal ini akan menimbulkan keraguan pada negara luar. Tentunya, ini
dapat memperlambat pertumbuhan investasi modal di Indonesia dari luar negeri.
Pembebasan pajak atas mahasiswa dan pelatihan karyawan di negara tempat menempuh
pendidikan maupun pelatihan akan meningkatkan kemampuan mereka, menjadikannya sebagai
sumber daya manusia yang lebih kompeten.
Pertukaran informasi di sini adalah kedua negara yang terlibat dalam perjanjian penghindaran
pajak berganda dapat mengetahui jika ada penduduk yang tidak memenuhi kewajiban perpajakan
sehingga dapat dideteksi sedini mungkin.
Negara yang terkait dengan P3B dapat melaporkan penghasilan penduduk asing di negara
sumber, misalnya dengan mengirimkan bukti penerimaan penghasilan dari negara sumber.
Informasi penghasilan tersebut seharusnya dilaporkan oleh penerima penghasilan di negara
domisili, dan diperhitungkan kembali di akhir tahun pajak.
P3B mengatur adanya pemajakan yang sama dan setara antar kedua negara dengan prinsip saling
menguntungkan serta tidak memberatkan penduduk asing antar kedua negara dalam menjalankan
usaha.
Model P3B
Dalam perpajakan internasional, perjanjian penghindaran pajak berganda ini menjadi salah satu
sumber hukum yang digunakan dalam setiap transaksi. Aspek perpajakannya ditetapkan
berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian penghindaran pajak berganda
yang bersangkutan sesuai jenis transaksinya.
Setiap negara yang terlibat dapat menyusun tax treaty-nya sendiri berdasarkan model perjanjian
yang diakui secara internasional. Ada dua model utama perjanjian penghindaran pajak berganda
yang digunakan sebagai acuan.
1. Model OECD
Model OECD dalam tax treaty ini bertujuan untuk meningkatkan perdagangan antara negara-
negara yang menandatangani P3B dengan cara menghilangan pajak berganda secara
Internasional. Pada model ini, hak pemajakan diusahakan lebih banyak pada negara domisili.
Karena itu, perumusan definisi dalam model ini umumnya lebih sempit ketimbang model tax
treaty lainnya.
2. Model UN
Berlatar belakang pergerakan PBB yang mulai memperbarui masalah kepentingan dalam
perjanjian penghindaran pajak berganda akibat tingginya arus modal dari negara maju ke negara
berkembang, Sekjen PBB menerbitkan The United Nations Model Double Taxation Convention
Between Developed and Developing Countries atau dikenal dengan nama Model UN.
Model UN memiliki tujuan tax treaty yang lebih luas, yaitu meningkatkan investasi asing, serta
sebagai alat untuk pertumbuhan ekonomi dan sosial dari negara-negara berkembang.
Berdasarkan tujuan ini, Model UN menginginkan hak pemajakan lebih banyak di negara
berpenghasilan sehingga pada perumusan pasal-pasal, definisinya lebih luas ketimbang model
OECD.
Kedua model ini menjadi acuan yang digunakan oleh negara-negara yang akan melakukan
perjanjian. Indonesia sendiri membentuk dan mengembangkan modelnya sendiri yang dikenal
dengan nama Model Indonesia. Model ini merupakan penggabungan dan pengembangan dari dua
model utama.
1. Terdapat perbedaan antara ketentuan yang diatur dalam UU PPh dan ketentuan dalam
perjanjian penghindaran pajak berganda.
Pada umumnya, tarif P3B dibuat lebih kecil daripada tarif aturan domestik. Untuk memanfaatkan
tarif ini, subjek pajak luar negeri (SPLN) harus menunjukkan Surat Keterangan Domisili (SKD)
atau Certificate of Residence.
Jika penerima penghasilan merupakan subjek pajak dalam negeri, akan dikenakan pemotongan
PPh Pasal 21, Pasal 23, atau Pasal 4 ayat 2. Sedangkan menurut undang-undang yang berlaku,
pemotongan PPh untuk subjek pajak luar negeri adalah PPh 26 sebesar 20%. Namun, pemberi
penghasilan di Indonesia boleh tidak menggunakan pasal tersebut, tetapi menggunakan
perjanjian penghindaran pajak berganda ini.
Penerima penghasilan merupakan orang pribadi atau badan yang merupakan subjek pajak dalam
negeri dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B. Artinya, hanya negara yang memiliki
perjanjian dapat memanfaatkan tarif khusus ini. Negara lain di luar perjanjian penghindaran
pajak dengan Indonesia tidak dapat memanfaatkannya.
3. Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) menyampaikan SKD WPLN yang telah memenuhi
persyaratan administratif dan persyaratan tertentu lainnya.
Untuk memanfaatkan tarif P3B ini, SPLN perlu memperlihatkan SKD yang telah memenuhi
persyaratan lainnya, seperti menggunakan Form DGT. Ini adalah formulir yang diisi oleh SPLN
yang telah menyelesaikan double taxation convention (DTC) dengan Indonesia. Formulir ini
wajib dilengkapi dengan benar dan ditandatangani, serta disertifikasi oleh pihak berwenang yang
sah atau kantor pajak resmi di negara penerimaan penghasilan sebelum diserahkan ke kustodian
Indonesia. Selengkapnya tentang Form DGT dapat Anda baca di artikel berikut, “Form DGT 1:
Fungsi, Ketetapan Pengisian, dan Dasar Hukumnya“.
Form DGT digunakan sesuai periode yang tercantum pada SKD dan disampaikan bersamaan
dengan penyampaian SPT Masa.
Ada batasan agar pemanfaatan P3B tidak disalahgunakan oleh WPLN, di antaranya:
Masih menurut peraturan yang sama, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar WPLN
dianggap sebagai beneficial owner. Bagi WPLN orang pribadi, tidak bertindak sebagai Agen
atau Nominee.
Sedangkan Bagi WPLN badan, tidak bertindak sebagai Agen, Nominee, atau Conduit.
Persyaratan WPLN badan ini agar dianggap sebagai beneficial owner adalah:
Mempunyai kendali untuk menggunakan atau menikmati dana, aset, atau hak yang
mendatangkan penghasilan dari Indonesia
Penghasilan badan yang digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain tidak
lebih dari 50%. Penghasilan badan yang dimaksud di sini adalah seluruh penghasilan
WPLN dengan nama dan dalam bentuk apapun serta dari sumber manapun, sesuai
dengan laporan keuangan non-konsolidasi WPLN.
Menanggung risiko atas aset, modal, atau kewajiban yang dimiliki dan tidak mempunyai
kewajiban (tertulis maupun tidak tertulis) untuk meneruskan sebagian atau seluruh
penghasilan yang diterima dari Indonesia kepada pihak lain.