Anda di halaman 1dari 19

TOPIK 9

PERPAJAKAN INTERNASIONAL

Pengertian Perpajakkan Internasional

Perpajakan Internasional merupakan alat untuk mengetahui perbedaan pajak dalam


negeri dan memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di masing-masing
negara, pemerintah berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan dan
investasi tersebut. Adalah merupakan suatu tujuan ekonomi dalam negara untuk memajukan
perdagangan di tiap dan antar negara serta mendorong laju investasi. Dan setiap pemerintah
suatu negara berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan investasi
dimana salah satunya adalah dengan melakukan penghindaran pajak berganda. Sehingga yang
melatar belakangi suatu pajak internasional dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Indonesia adalah bagian dari dunia Internasional; dalam era globalisasi Indonesia perlu
menjalin hubungan dengan negara lain, mengadakan transaksi-transaksi lintas batas yang
saling menguntungkan dan mengizinkan entitas asing untuk melakukan kegiatan ekonomi dan
memperoleh penghasilan di Indonesia.
2. Penghasilan entitas asing di dalam negeri bisa menjadi sumber pendapatan pajak bagi
Indonesia; Menurut benefit theory of taxation, pemajakan ini bisa dilakukan karena terdapat
hubungan (economic attachment) antara Indonesia sebagai negara sumber (Source State)
dengan aktivitas yang memberikan penghasilan tersebut.
3. Penghasilan entitas asing di Indonesia bisa menjadi sumber pendapatan perpajakan bagi
negara domisili entitas asing tersebut; negara yang menjadi domisili entitas asing (residence
state) juga berhak atas pajak penghasilan yang bersumber dari luar negaranya karena terdapat
keterkaitan antara negara negara dengan subjek pajak dalam negerinya (personal attachment).

4. Maka diperlukan adanya perjanjian perpajakan internasional yang mengatur pemajakan


penghasilan entitas asing didalam negeri dan penghasilan entitas dalam negeri dari luar
negeri; Yang bertujuan adalah untuk menghindari terjadinya pemajakan berganda yang
memberatkan wajib pajak masing-masing negara.
Sehingga berbicara perpajakan internasional adalah berbicara suatu permasalahan yang rumit
dan complicated karena mencakup hak pemajakan (taxing right) suatu negara. Karena
masing-masing negara sangat berkepentingan terhadap kebijakan perpajakan internasional
yang baik yang dipilih oleh PBB maupun OECD (Organisation for Economic Co-operation
and Development). Hal ini disebabkan karena dalam menyusun Perjanjian Penghindaraan
Pajak Berganda (Tax Treaty), maupun kebijakan Perpajakan Internasional dalam UU
Domestik, ada 2 (dua) ‘kiblat’ yaitu :

1. United Nations (UN) Model

2. OECD Model

Pajak Internasional adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku di antara negara yang
mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan pelaksanaanya dilakukan
dengan niat baik sesuai dengan Konvensi Wina (Pacta Sunservanda).”

Dengan demikian peraturan perpajakan yang berlaku di Negara Indonesia terhadap badan
atau orang asing menjadi tidak berlaku bilamana terdapat perjanjian bilateral (dua negara)
tentang Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan negara asal atau penduduk asing
tersebut.

Secara umum, ketentuan pajak internasional suatu negara meliputi 2 (dua) dimensi luas
yaitu:

1. Pemajakan terhadap wajib pajak dalam negeri (WPDN) atas penghasilan dari luar negri,

2. Pemajakan terhadap wajib pajak luar negri (WPLN) atas penghasilan dari dalam negeri
(domestik).

Dimensi pertama merujuk pada permajakan atas penghasilan luar negeri atau transaksi
(ke) luar batas negara (outward, outbound transaction) karena umumnya melibatkan
eksportasi modal ke manca negara sedangkan dimensi kedua menunjuk pada pemajakan
ataspenghasilan domestik atau transaksi (ke) dalam batas negara (inward, inbound
transaction) karena umumnya melibatkan importasi modal dari manca negara.
Dalam aplikasinya pemajakan penghasilan luar negeri dilakukan oleh negara domisili
(residence country), sedangkan pemajakan penghasilan domestik dilakukan oleh negara
sumber (source country).

Pajak internasional adalah hukum pajak nasional yang terdiri atas kaedah, baik berupa
kaedah-kaedah nasioal maupun kaedah yang berasal dari traktat antar negara dan dari prinsip
yang telah diterima baik oleh Negara-negara di dunia, untuk mengatur soal-soal perpajakan
dan dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur asing, baik mengenai subjek maupun mengenai
objeknya.

Setiap Negara memiliki peraturan perundang-undangan perpajakan nasional sendiri-


sendiri atau yang disebut dengan yurisdiksi nasional, yang masing-masing peraturan
perundang-undangan dimaksud memiliki landasan dan filosofi hukum yang berbeda dengan
Negara-negara lainnya.

Dalam rangka melakukan investasi di Negara lain maupun dalam rangka suatu Negara
menerima investasi dari Negara lain pasti akan terjadi beberapa konflik kepentingan. Sebagai
contoh, Indonesia menganut konsep pengakuan penghasilan, yaitu konsep tambahan
kemampuan ekonomis atau juga disebut world wide income. Artinya peraturan perundang-
undangan pajak penghasilan tidak mempermasalahkan darimana datangnya penghasilan,
bagaimana penghasilan tersebut diterima atau diperoleh, dan dalam bentuk apa penghasilan
tersebut.

Tujuan umum pajak internasional

Adalah untuk mengeliminsai gejala pajak ganda, hal ini dapat dilakukan dengan 3 cara :

1. Dengan cara unilateral, dimana negara yang bersangkuatan memasukkan dalam perundang-
undangan pajaknya ketentuan untuk menghindari pajak berganda seperti :

Exemption yang didasarkan pada pure territorial principle atau restricted terrirorial principle
Tax credit yang dapat dibedakan menjadi direct tax credit, indirect tax credit, dan fictious tax
credit/tax sparing.
2. Dengan cara bilateral, dilakukan denga melakukan perjanjian pajak antar negara yang dikenal
dengan isilah tax treaty atau perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Untuk negara
Indonesia telah memiliki Tax Treaty denagn 57 negara.

3. Perjanjian multilateral, misalnya Igeneral Agreement Tariffs and Trade (GATT) yang
mengatut tarif douane secara multilateral.

Prinsip-Prinsip yang Harus Dipahami dalam Perpajakan Internasional

Doernberg (1989) menyebut 3 unsur netralitas yang harus dipenuhi dalam kebijakan
pemajakan internasional:

1. Capital Export Neutrality (Netralitas Pasar Domestik): Kemanapun kita berinvestasi, beban
pajak yang dibayar haruslah sama. Sehingga tidak ada bedanya bila kita berinvestasi di dalam
atau luar negeri. Maka jangan sampai bila berinvestasi di luar negeri, beban pajaknya lebih
besar karena menanggung pajak dari dua negara. Hal ini akan melandasi UU PPh Psl 24 yang
mengatur kredit pajak luar negeri.

2. Capital Import Neutrality (Netralitas Pasar Internasional): Darimanapun investasi berasal,


dikenakan pajak yang sama. Sehingga baik investor dari dalam negeri atau luar negeri akan
dikenakan tarif pajak yang sama bila berinvestasi di suatu negara. Hal ini melandasi hak
pemajakan yang sama dengan Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) terhadap permanent
establishment (PE) atau Badan Usaha Tetap (BUT) yang dapat berupa cabang perusahaan
ataupun kegiatan jasa yang melewati time-test dari peraturan yang berlaku.

3. National Neutrality: Setiap negara, mempunyai bagian pajak atas penghasilan yang sama.
Sehingga bila ada pajak luar negeri yang tidak bisa dikreditkan boleh dikurangkan sebagai
biaya pengurang laba.

Sistem perpajakan

Sistem pajak penghasilan dapat mengenakan pajak atas penghasilan lokal saja pendapatan
diseluruh dunia. Umumnya, dimana pendapatan di seluruh dunia dikenakan pajak,
pengurangan pajak atau kredit luar negeri yang disediakan untuk pajak yang dibayarkan
kepada yurisdiksi lain. Batasan ini hampir secara universal dikenakan pada kredit tersebut.
Perusahaan multi nasional biasanya mempekerjakan ahli perpajakan internasional, khusus di
antara kedua pengacara dan akuntan, untuk mengurangi kewajiban pajak mereka di seluruh
dunia.

Dengan sistem perpajakan, mungkin untuk menggeser atau kembali mengkarakterisasi


pendapatan dengan cara yang mengurangi pajak. Yurisdiksi sering memaksakan aturan yang
berkaitan dengan pergeseran pendapatan di antara partai-partai umumnya dikendalikan, sering
disebut sebagai aturan mentransfer harga. Sistem residensi berbasis tunduk pada upaya wajib
pajak untuk menunda pengakuan pendapatan melalui penggunaan pihak terkait.

Pemerintah biasanya membatasi ruang lingkup pajak pendapatan mereka dalam beberapa
cara teritorial atau menyediakan untuk offset dengan perpajakan yang berkaitan dengan
pendapatan ekstrateritorial.

Pengertian Hukum Pajak Internasional

Pengertian hukum pajak ini dapat dibagi menjadi tiga bagian dari pendapat ahli hukum
pajak, yaitu:

 Menurut pendapat Prof. Dr. Rochmat Soemitro,

bahwa hukum pajak internasional adalah hukum pajak nasional yang terdiri atas kaedah,
baik berupa kaedah-kaedah nasional maupun kaedah yang berasal dari traktat antar
negara dan dari prinsif atau kebiasaan yang telah diterima baik oleh negera-negara di
dunia, untuk mengatur soal-soal perpajakan dan di mana dapat ditunjukkan adanya unsur-
unsur asing.

 Menurut pendapat Prof. Dr. P.J.A. Adriani,

hukum pajak internasional adalah suatu kesatuan hukum yang mengupas suatu persoalan
yang diatur dalam UU Nasional mengenai pemajakan terhadap orang-orang luar negeri,
peraturan-peraturan nasional untuk menghindarkan pajak ganda dan traktat-traktat.

 Menurut pendapat Prof. Mr. H.J. Hofstra,

hukum pajak internasional sebenarnya merupakan hukum pajak nasional yang di


dalamnya mengacu pengenaan terhadap orang asing.
Kedaulatan Hukum Pajak Internasional

Berbicara masalah Hukum Pajak Internasional, khususnya Hukum Pajak Internasional


Indonesia secara umum dapat dikatakan barlaku terbatas hanya pada subjeknya dan objeknya
yang berada di wilayah Indonesia saja. Dengan kata lain terhadap orang atau badan yang tidak
bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia pada dasarnya tidak akan dikenakan pajak
berdasarkan UU Indonesia. Namun demikian, Hukum Pajak Internasional dapat berkaitan
dengan subjek maupun objek yang berada di luar wilayah Indonesia sepanjang ada hubungan
yang erat dalam hal terdapat hubungan ekonomis atau hubungan kenegaraan dengan
Indonesia.
UU No. 7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah dengan UU No. 17 Tahun
2000 (UU PPh) khususnya dalam pasal 26 diatur bahwa terhadap WP luar negeri yang
memperoleh penghasilan dari Indonesia antara lain berupa bunga, royalti, sewa, hadiah dan
penghargaan, akan dikenakan PPh sebesar 20% dari jumlah bruto. Pasal ini menunjukkan
bahwa contoh adanya hubungan ekonomis antara orang asing dengan penghasilan yang
diperoleh di Indonesia.
Dalam hukum antar negara terdapat suatu asas mengenai kedaulatan negara yang
dinyatakan sebagai kedaulatan setiap negara untuk dengan bebas mengatur kepentingan-
kepentingan rumah tangganya sendiri, dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum antar
negara dan bebas dari pengaruh kekuasaan negara lain. Sesuai dengan asas yang dimaksud di
muak, maka kedaulatan pemajakan sebagai spesial dari gengsi kedaulatan negera dapat
dinyatakan sebagai kedaulatan suatu negara untuk bertindak merdeka dalam lapangan pajak.

Sumber-sumber Hukum Pajak Internasional

Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro beberapa sumber hukum pajak internasional yaitu :

Hukum Pajak Nasional / Unilateral yang mengandung unsur asing misalnya :

 Pasal 5 UU PPh mengenai Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Yang dimaksud dengan bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak
berkedudukan di Indonesia namun menjalankan usaha atau melakukan kegiatannya di
Indonesia;
 Pasal 26 UU PPh mengenai pembayaran antara lain berupa dividen, royalti, kepada
Wajib Pajak luar negeri yang dikenakan pajak sebesar 20% (dua puluh perse);

 Pasal 4 UU PPh (Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000) mengenai pemanfaatan Jasa


Kena Pajak dari luar Daerah Pabean akan dikenakan PPN sebesar 10% (sepuluh
persen).

1. Traktat, yaitu kaedah hukum yang dibuat menurut perjamjian antarnegara baik secara
bilateral maupun multilateral. Perjanjian secara bilateral yang telah dilakukan Indonesia
dengan negara-negara lain sampai saat ini telah mencapai 49 Negara dalam bentuk Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty). Sedangkan perjanjian yang sifatnya multilateral,
Indonesia terikat dalam perjanjian perpajakan model Organization for Economic
Coorporation and Development (OEC), maupun model United Nation (UN) yang merupakan
acuan dalam rangka perundingan perjanjian penghindaran pajak berganda.

2. Keputusan Hakim Nasional atau Komisi Internasional tentang pajak-pajak internasional.


Keputusan hakim nasional maupun komisi internasional yang memberikan putusan yang
menyangkut adanya unsur internasional merupakan sumber hukum yang sifatnya mengikat
juga bagi hukum pajak Indonesia.

3. Prinsip Non Diskriminasi.

Untuk tujuan perpajakan pada prinsipnya dikenal non diskriminasi (tidak


membedakan) pengenaan pajak antara WP dalam negeri (WPDN) dan WP luar negeri
(WPLN). Berdasarkan UU PPh Indonesia dikenal istilah subjek pajak dalam negeri (resident)
dan istilah subjek pajak luar negeri untuk bukan luar penduduk (non resident). Pada
umumnya, domisili fiskal tidak selalu dikaitkan dengan status kewarganegaraan seseorang
atau penduduk menurut UU kependudukan. Indonesia termasuk negara yang menentukan
domisili fiskal tanpa melihat apakah seseorang tersebut berkewarganegaraan atau tidak.
Sedangkan Amerika Serikat juga termasuk negara yang menentukan domisili fiskal, tetapi
tetap melihat status kewarganegaraan. Setiap warga negara Amerika Serikat secara otomatis
akan menjadi penduduk (resident) untuk tujuan pemajakan di Amerika.
UU PPh tidak melihat status subjek pajak Orang Pribadi berdasarkan kewarganegaraan,
namun pada faktor:

1. tempat tinggal

2. berapa lama berada di Indonesia;

3. pajak luar negeri, baik orang pribadi maupun badan sekaligus merupakan wajib pajak,
karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau
menerima dan/ adanya niat bertempat tinggal di Indonesia.

Wajib Pajak dalam negeri baik orang pribadi maupun badan sesuai Pasal 4 ayat (1 )UU
PPh akan dikenakan pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia.
Dengan kata lain, wajib pajak dikenakan pajak menggunakan prinsip world wide income.
Sedangkan wajib atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia.

Ketentuan Pasal 26 UU PPh, mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang


bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri (baik orang
pribadi maupun badan) selain Bentuk Usaha Tetap.

Perbedaan antara wajib pajak dalam negeri dengan wajib pajak luar negeri terletak dalam
pemenuhan kewajiban pajaknya antara lain:

1. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau yang
diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan wajib pajak luar negeri
dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber Indonesia.

2. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan netto dengan tarif
umum, sedangkan wajib pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto
dengan tarif pajak sepadan.
3. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT)
Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam satu
tahun pajak, sedangkan wajib pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pjak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui
melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

Pengertian dan Tujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)

Pengertian Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah perjanjian pajak


antara dua negara secara bilateral. Persetujuan penghindaran pajak ini mengatur mengenai
pembagian hak pemajakan yang diterima atau diperoleh penduduk dari salah satu atau kedua
negara pada pihak persetujuan.

Tujuan diadakannya Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) ini adalah


untuk menghindari adanya pemajakan berganda atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh subyek yang sama.

P3B membatasi hak pemajakan suatu negara untuk mengenakan pajak atas suatu
penghasilan tertentu. Ketika masing-masing ketentuan domestik suatu negara sama-sama
mengenakan pajak atas penghasilan yang sama, maka berdasarkan P3B, hak masing-masing
negara untuk mengenakan pajak atas suatu penghasilan tersebut dapat dihilangkan atau
dibatasi. Dengan kata lain, ketika suatu negara mengadakan P3B, maka negara tersebut setuju
untuk dibatasi haknya dalam mengenakan pajak berdasarkan pembatasan yang diatur dalam
P3B.

Kedudukan P3B di Indonesia terhadap UU Pajak Penghasilan diperlakukan


sebagai lex specialis, sehingga apabila ada pertentangan antara UU Domestik Indonesia
dengan P3B, maka atuaran-aturan yang ada dalam P3B akan didahulukan.

P3B tidak memberikan hak pemajakan baru kepada negara yang mengadakan
P3B.Pengenaan pajak suatu negara atas suatu penghasilan, didasarkan atas ketentuan
domestik negara tersebut. Dengan demikian, apabila dalam P3B suatu negara diberi hak
pemajakan atas suatu penghasilan tertentu, akan tetapi negara tersebut berdasarkan hukum
domestik tidak mengenakan pajak atas penghasilan tertentu tersebut, maka negara tersebut
tidak dapat mengenakan pajak atas penghasilan tertentu tersebut, walaupun P3B memberikan
hak pemajakan kepada negara tersebut.
Beberapa Permasalahan Dalam Perpajakan Internasional

1. Transfer Pricing

2. Reaty Shopping

3. Tax Heaven Countries

Terjadinya Pajak Berganda Internasional


Pajak berganda internasional umumnya terjadi karena pada dasarnya tidak ada hukum
internasional yang mengatur hal tersebut sehingga terjadi bentrokan hukum antar dua negara
atau lebih. Velkenbond memberikan pengertian bahwa pajak berganda internasional terjadi
apabila pengenaan pajak dari dua negara atau lebih saling menindih sedemikian rupa,
sehingga orang-orang yang dikenakan pajak di negara-negara yang lebih dari satu memikul
beban pajak yang lebih besar daripada jika mereka dikenakan pajak di satu negara saja. Beban
tambahan yang terjadi tidak semata-mata disebabkan karena perbedaan tarif dari negara-
negara yang bersangkutan, melainkan karena dua negara atau lebih secara bersamaan
memungut pajak atas objek dan subjek yang sama.
Dari pengertian di atas jelas bahwa pajak berganda internasional akan timbul karena
atas suatu objek pajak dan subjek pajak yang sama dikenakan pajak lebih dari satu kali
sehingga menimbulkan beban yang berat bagi subjek pajak yang dikenakan pajak tersebut.

Cara Penghindaran Pajak Berganda Internasional


Ada dua cara untuk menghindari pajak berganda internasional, yaitu dengan cara
sebagai berikut:
1. Cara Unilateral
Cara ini dilakukan dengan memasukkan ketentuan untuk menghindari pajak berganda
dalam UU suatu negara dengan suatu prosedur yang jelas. Pengguanaan cara ini merupakan
wujud kedaulatan suatu negara untuk mengatur sendiri masalah pemungutan pajak dalam
suatu UU.
2. Cara Bilateral atau Multilateral
Cara Bilateral atau Multilateral dilakukan melalui suatu perundingan antar negara
yang berkepentingan untuk menghindarkan terjadinya pajak berganda. Perjanjian yang
dilakukan secara bilateral oleh dua negara, sedangkan multelateral dilakukan oleh lebih dari
dua negara, yang lebih dikenal dengan sebutan traktat atau tax treaty. Proses terjadinya
perjanjian secara bilateral maupun multilateral tentu akan membutuhkan waktu yang cukup
lama karena masing-masing negara mempunyai prinsip pemajakannya masing-masing sesuai
dengan kedaulatan negaranya sendiri.

Perjanjian Dalam Pajak Berganda Internasional


Perjanjian seperti ini kebanyakan masih berusia muda, dahulu hanya dikenakan
persetujuan persahabatan, persetujuan untuk menetap, persetujuan dagangan dan peretujuan
pelayanan yang kadang-kadang mencakup satu ketentuan yang ada hubungannya dengan
beberapa macam pajak yang kebanyakan mencantumkan klausul tentang keharusan adanya
perlakuan yang sama terhadap penduduk atau penguasa dari negara-negara yang mengadakan
persetujuan.
Prosedur dari perjanjian kolektif ternyata sukar untuk dilaksanakan karena bermacam-
macam ragam, sistem dan asas perpajakan di berbagai negara, dan karena lambannya
prosedur perundingan untuk tidak berbicara tentang lambannya atau resikonya pengukuhan
oleh kepala negara-negara peserta perjanjian.
Ketentuan-ketentuan penting yang tercantum dalam perjanjian-perjanjian pajak
berganda secara singkat adalah sebagai berikut:

1. Orang-orang yang dapat menikmati keuntungan dari perjanjian-perjanjian.


2. Pajak-pajak yang diatur dalam perjanjian.
3. Sengketa internasional.
4. Arti tempat kediaman fiskal.

Kedudukan Hukum Perjanjian Perpajakan


Bagaimana kedudukan hukum suatu perjanjian perpajakan yang diadakan antara
Indonesia dengan negara lain? Bila ditelusuri dasar hukum bisa diadakannya perjanjian
perpajakan antar negara, maka kita kembali pada konstitusi yaitu pasal 11 ayat (1) UUD 1945
beserta perubahannya. Mengacu pada dasar hukum tersebut, tentu saja akan memerlukan
waktu yang cukup lama. Oleh karenanya, dengan pertimbangan kepraktisan khusus dalam lalu
lintas hukum internasional antara Indonesia dengan negara-negara lain yang cukup intensif,
maka tidak diperlukan lagi persetujuan DPR tetapi cukup diberitahukan saja.
Berdasarkan ketentuan Pasal 11 UUD 1945 di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
kedudukan hukum perjanjian perpajakan adalah sama dengan UU Nasional seperti UU
tentang PPh. Kedudukan hukum perjanjian perpajakan tidak lebih tinggi dari UU Perpajakan
Nasional.

A. RUANG LINGKUP PERPAJAKAN INTERNASIONAL


Untuk memudahkan dalam pemahaman tentang pajak internasional khususnya ditinjau
dari Subjek dan Objek Pajak, maka dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) pandangan yaitu:
1. Taxing Inbound Income; Pemajakan atas Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) yang
memperoleh penghasilan yang bersumber dari luar negeri.
2. Taxing Outbound Income; Pemajakan atas Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) yang
memperoleh penghasilan yang bersumber dari dalam negeri.

Kita mengetahui bahwa negara memiliki kedaulatan untuk mengenakan pajak terhadap
setiap penghasilan setiap individu dan terdapat “connecting factors” antara Negara dengan
suatu transaksi/peristiwa ekonomi yang menimbulkan penghasilan. Dalam Undang - Undang
pajak menerapkan dua prinsip berdasarkan “connecting factors” tersebut yaitu:

1. Residence Principle (Azas Residensi), Hak Negara mengenakan pajak kepada seseorang
(individu atau badan) karena terdapat “personal attachment”, seperti: residensi, domisili,
kewarganegaraan, tempat pendirian, tempat kedudukan manajemen. (Worldwide Income).

2. Source Principle (Azas Sumber), Hak Negara mengenakan pajak kepada seseorang (individu
atau badan) karena terdapat “economic attachment” yaitu penghasilan yang bersumber di
Negara tersebut.
Beberapa prinsip dalam perpajakan internasional yang salah satunya dikemukakan oleh
Doernberg (1989) menyebut 3 unsur netralitas yang harus dipenuhi dalam kebijakan
perpajakan internasional, yaitu:
1. Capital Export Neutrality (Netralitas Pasar Domestik): Kemanapun kita berinvestasi, beban
pajak yang dibayar haruslah sama. Sehingga tidak ada bedanya bila kita berinvestasi di
dalam atau luar negeri. Maka jangan sampai bila berinvestasi di luar negeri, beban
pajaknya lebih besar karena menanggung pajak dari dua negara. Hal ini akan melandasi
UU PPh Pasal 24 yang mengatur kredit pajak luar negeri.

2. Capital Import Neutrality (Netralitas Pasar Internasional): Darimana pun investasi berasal,
dikenakan pajak yang sama. Sehingga baik investor dari dalam negeri atau luar negeri akan
dikenakan tarif pajak yang sama bila berinvestasi di suatu negara. Hal ini melandasi hak
pemajakan yang sama dengan Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) terhadap permanent
establishment (PE) atau Badan Uasah Tetap (BUT) yang dapat berupa cabang perusahaan
ataupun kegiatan jasa yang melewati time-test dari peraturan yang berlaku.

3. National Neutrality: Setiap negara, mempunyai bagian pajak atas penghasilan yang sama.
Sehingga bila ada pajak luar negeri yang tidak bisa dikreditkan boleh dikurangkan sebagai
biaya pengurang laba.

B. KEANEKARAGAMAN SISTEM PAJAK NASIONAL

Suatu perusahaan dapat melakukan bisnis internasional dengan mengekspor barang


dan jasa atau dengan melakukan investasi asing langsung atau tidak langsung. Ekspor jarang
sekali memicu potensi pajak di negara yang melakukan impor, karena sulit sekali bagi
negara pengimpor untuk menetapkan pajak yang dikenakan atas eksportir luar negeri. Di sisi
lain, suatu perusahaan yang beroperasi di negara lain melalui canbang atau perusahaan
afiliasi terkena pajak di negara itu. Perbedaan ini mencakup jenis-jenis pajak dan beban
pajak hingga perbedaan pelaporan dan filosofi pengenaan pajak.
B.1. Macam-macam pajak

Perusahaan yang beroperasi di luar negeri menghadapi berbagai jenis pajak. Pajak
langsung missal: pajak penghasilan mudah dikenali dan umumnya diungkapkan pada
laporan keuangan perusahaan. Yang lainnya, yaitu pajak tidak langsung misal: pajak
konsumsi tidak dapat dikenali dengan jelas dan tidak terlalu sering diungkapkan.
Umumnya, mereka tersembunyi dalam pos “biaya dan beban lain-lain”.

• Pajak Penghasilan adalah pajak yang digunakan secara lebih luas untuk
menghasilkan pendapatan bagi pemerintah dibandingkan dengan pajak utama
lainnya, dengan kemungkinan pengecualian untuk bea dan cukai.

• Pajak Pungutan adalah pajak yang dikenakan oleh pemerintah terhadap dividen,
bunga, dan pembayaran royalty yang diterima oleh investor asing.

• Pajak Pertambahan Nilai adalah merupakan pajak konsumen yang ditemukan di


Eropa dan Kanada. Pajak ini umumnya dikenakan terhadap nilai tambahan dari
setiap tahap produksi dan distribusi. Pajak ini berlaku untuk total penjualan
dikurangi dengan pembelian dari unit penjualan perantara.

• Pajak Perbatasan adalah (seperti bea cukai dan bea impor) umumnya ditunjukan
untuk menjaga agar barang domestic dapat bersaing dalam harga dengan barang
impor. Dengan demikian, pajak yang dikenakan terhadap impor umumnya
dilakukan secara parallel dan pajak tidak langsung lainnya dibayarkan oleh
produsen domestic barang yang sejenis.

• Pajak Transfer merupakan jenis pajak tidak langsung lainnya. Pajak ini dikenakan
terhadap pengalihan (transfer) obyek antar pembayar pajak dan dapat
menimbulkan pengaruh yang penting terhadap keputusan bisnis seperti struktur
akuisisi.

B.2. Beban Pajak

Perbedaan dalam beban pajak secara keseluruhan merupakan sesuatu yang


penting dalam bisnis internasional. Berbagai tarif wajib pajak penghasilan merupakan
sebuah sumber penting perbedaan ini. Pertimbangan lain yang secara signifikan dapat
mempengaruhi beban pajak efektif bagi perusahaan multinasional adalah perbedaan
nasional dalam definisi penghasilan kena pajak.

B.3. Sistem Administrasi Pajak

Sistem penentuan pajak nasional juga mempengaruhi beban pajak relaif.


Beberapa system utama saat ini digunakan. Pembahasan dibatasi terhadap system
klasik dan terintegrasi. Berdasarkan system klasik, pajak penghasilan perusahaan atas
penghasilan kena pajak dikenakan pada tingkat perusahaan dan tingkat pemegang
saham. Pemengang saham dikenakan pajak pada saat laba perusahaan dibayarkan
sebagai dividen atau pada saat mereka mencairkan investasinya. Ketika suatu
perusahaan dikenakan pajak atas laba yang diukur sebelum dilakukan pembayaran
deviden, dan pemegang saham kemudian dikenakan pajak atas deviden yang mereka
terima, maka pendapatan deviden pemegang saham secara efektif telah dikenakan
pajak sebanyak dua kali.

B.4. Insentif Pajak Luar Negeri

Negara-negara yang bermaksud untuk mempercepat perkembangan ekonomi


cukup menyadari manfaat bisnis internasional. Banyak negara menawarkan insentif
pajak untuk menarik investasi luar ngeri. Insentif dapat berupa hibah tunai bebas pajak
yang digunakan untuk biaya aktiva tetap dari proses industry baru atau pengampunan
untuk membayar pajak selama beberapa periode waktu (pembebasan pajak – tax
holiday)

B.5. Kompetisi Pajak yang Membahayakan

Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (Organization for Economic


Cooperation and Development – OECD) mencoba untuk menghentikan kopetisi pajak
yang dilakukan oleh beberapa negara surge pajak. Tren di seluruh dunia yang
mengarah pada penurunan tarif pajak penghasilan perusahaan merupakan dampak
langsung kompetisi pajak. Kompetisi pajak akan bermanfaat jika dapat membuat
pemerintah menjadi lebih efisien.
Kompetisi pajak akan berbahaya jika mengalahkan pendaptan pajak dari
pemerintah yang sebenarnya memerlukan pendapatan tersebut untuk menyediakan jasa
yang dibutuhkan oleh kalangan usaha. OECD secara khusus mengkhwatirkan bahwa
negara-negara surga pajak akan memungkinkan kalangan usaha untuk memghinari
atau memcurangi pajak negara lain.

B.6. Harmonisasi Internasional

Mempertimbangkan perbedaan system pajak di seluruh dunia, harmonisasi


kebijakan pajak secara global akan telihat cukup bermanfaat. Uni Eropa menghabiskan
banyak energi dalam hal ini karena sedang berupaya untuk menciptakan pasar tunggal.
Pengenalan mata uang tunggal oleh UE, euro, memperlihatkan disparitas pajak di antara
anggotanya. Perusahaan multinasional, yang dibebani oleh pajak nasional, juga
menambah tekanan terhadap reformasi pajak internasional.

C. Pajak Terhadap Sumber Laba Dari Luar Negeri Dan Pajak Ganda
Setiap negara mengklaim hak untuk mengenakan pajak terhadap laba yang dihasilkan di
dalam wilayahnya. Namun demikian, filosofi nasional atas pengenaan pajak terhadap
sumber-sumber dari luar negeri berbeda-beda dan ini merupakan hal yang penting dari sudut
pandang seorang perencana pajak.

Beberapa negara (Prancis, Kosta Rika, Hong Kong, Panama, Afrika Selatan, Swiss dan
Venezuela) merupakan prinsip pajak territorial dan tidak mengenakan pajak terhadap
perusahaan yang berdomisili di dalam negeri yang labanya dihasilkan di luar wilayah negara
tersebut. Hal ini mencerminkan gagasan bahwa beban pajak perusahaan afiliasi luar negeri
harus setara dengan para pesaing lokalnya. Dalam pandangan ini, perusahaan afiliasi luar
negeri dari perusahaan local dipandang sebagai perusahaan luar negeri yang kebetulan
dimiliki oleh penduduk lokal.

C.1 Kredit Pajak Luar Negeri

Berdasarkan prinsip perpajakan seluruh dunia, laba luar negeri yang diperoleh
sebuah perusahaan domestic terkena pajak yang dikenakan secara penuh baik di negara
tuan rumah maupun negara asal. Untuk menhindari keengganan kalangan usaha untuk
berekspansi ke luar negeri dan untuk mempertahankan konsep netralisasi luar negeri,
tempat domisili induk perusahaan (negara tempat kedudukan) dapat memilih untuk
memperlakukan pajak luar negeri yang dibayarkan sebagai kredit terhadap kewajiban
pajak domestic induk perusahaan atau dedukdi sebagai pengurangan atas penghasilan
kena pajak.

C.2 Pembatasan Kredit Pajak

Negara asal dapat menggunakan sumber pajak luar negeri dengan berbagai cara.
Suatu negara dapat memilih untuk mengenakan pajak atas laba dari sumber-sumber
nasional yang terpisah. Di sisi lain, seluruh sumber laba luar negeri dari setiap sumber
luar negeri digabungkan dan dikenakan pajak satu kali. Beberapa negara mengenakan
pajak atas sumber laba luar negeri tersebut maksimum sebesar pajak domestic terkait
yang dapat dikenakan atas laba itu.

C.3 Perjanjian Pajak

Meskipun kredit pajak luar negeri melindungi sumber pajak luar negeri dari
pengenaan pajak ganda, perjanjian itu umumnya menyetujui bagaimana pajak dan
insentif pajak akan dikenkan, dihormati, dibagi, atau yang lain dihapuskan terhadap
pendapatan usaha yang dihasilkan oleh warga negara dan negara lain di satu wilayah
yurisdiksi pajak.

Kebanyakan perjanjian pajak antara negara asal dan negara tuan rumah
memungkinkan laba yang dihasilkan oleh perusahaan domestic di negara tuan rumah
akan terkena pajak negara asal jika perusahaan itu tetap berdiri permanen di sana.
Perjanjian pajak juga akan mempengaruhi pajak pungutan atas deviden, bunga, dan
royalty yang dibayarkan oleh perusahaaan di satu negara kepada pemegang saham
asing. Perjanjian ini biasanya memberikan pengurangan timbal balik atas pajak
pungutan dividen dan seringkali mengecualikan royalty dan bunga dan pajak pungutan.

C.4 Pertimbangan Mata Uang Asing


Undang-undang Reformasi Pajak Tahun 1986 memperkenalkan aturan formal
menyangkut pengenaan pajak atas keuntungan atau kerugian mata uang asing di
Amerika Serikat. Sesuai dengan SFAS No.52, seluruh penentuan pajak harus dibuat
berdasarkan mata uang fungsional pembayaran pajak.

Keuntungan atau kerugian transaksi dalam mata uang asing selain mata uang
fungsional secara umum dicatat berdasarkan sudut pandang dua transaksi. Berdasarkan
pendekatan ini, setiap keuntungan atau kerugian transaksi yangmemenuhi syarat sebagai
lindung nilai transaksi dalam mata uang asing tertentu dapat diintegrasikan dengan
transaksi yang mendasari.

Kesimpulan

Perpajakan Internasional merupakan alat untuk mengetahui perbedaan pajak dalam negeri
dan memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di masing-masing negara,
pemerintah berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan dan investasi
tersebut. Adalah merupakan suatu tujuan ekonomi dalam negara untuk memajukan perdagangan
di tiap dan antar negara serta mendorong laju investasi. Dan setiap pemerintah suatu
negara berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan investasi dimana
salah satunya adalah dengan melakukan penghindaran pajak berganda.
Suatu perusahaan dapat melakukan bisnis internasional dengan mengekspor barang dan jasa
atau dengan melakukan investasi asing langsung atau tidak langsung. Ekspor jarang sekali
memicu potensi pajak di negara yang melakukan impor, karena sulit sekali bagi negara
pengimpor untuk menetapkan pajak yang dikenakan atas eksportir luar negeri.
Daftar Pustaka

http://www.nusahati.com/2009/09/sekilas-tentang-perpajak-internasional/

http://makalah2107.blogspot.com/2016/06/makalah-hukum-pajak-internasional.html

Anda mungkin juga menyukai