Anda di halaman 1dari 5

Aspek Perpajakan Rumah Sakit

Aspek PPh

Rumah sakit dapat dianggap sebagai suatu bidang usaha yang dapat

menciptakan penghasilan yang dapat dikelola oleh orang pribadi, yayasan,

perseroan atau badan hukum lainnya. Dalam prakteknya, rumah sakit

pada umumnya dikelola oleh badan hukum yang berbentuk yayasan.

Perlakuan PPh bagi rumah sakit yang berbentuk yayasan maupun

perseroan terbatas pada dasarnya sama. Khusus badan hukum yayasan

diatur secara detail dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-34/PJ.4/1995

yang mengacu kepada ketentuan umum yang yang berlaku di bidang

perpajakan.

Perbedaannya adalah pada penghasilan berupa dividen, dimana

penghasilan berupa dividen yang diterima oleh yayasan merupakan

penghasilan, sedangkan dividen yang diterima oleh perseroan terbatas

dikecualikan dari pengenaan PPh sepanjang memenuhi syarat sebagai

berikut:

<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Dividen dibayarkan dari laba ditahan;

<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Kepemilikan pada perseroan lain

tersebut minimal 25% dari total modal disetor, dan

Rumah sakit yang berbentuk yayasan maupun perseroan terbatas

merupakan Subjek Pajak Penghasilan badan yang mempunyai kewajiban

perpajakan sesuai ketentuan yang berlaku. Rumah sakit juga mempunyai


kewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan sesuai ketentuan Pasal

28 UU KUP beserta peraturan pelaksanaannya dan wajib menyampaikan

Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan dan SPT Masa sesuai dengan

ketentuan yang berlaku.

Penghasilan Kena Pajak yayasan yang dilaporkan dalam Surat

Pemberitahuan Tahunan merupakan selisih lebih yaitu penghasilan,

kecuali yang bukan obyek pajak atau yang dikenakan PPh Final dikurangi

dengan biaya-biaya fiskal. PPh Badan dikenakan atas Penghasilan Kena

Pajak tersebut di atas berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) UU PPh, dan

apabila menunjukkan selisih negatif tidak terutang Pajak Penghasilan.

Seperti layaknya Wajib Pajak Badan lainnya rumah sakit memiliki

kewajiban PPh sebagai berikut:

<!--[if !supportLists]-->A. <!--[endif]-->PPh Pasal 25 atau PPh Badan

Pada intinya PPh Badan dikenakan atas laba usaha atau selisih lebih,

sehingga berkaitan erat dengan penghasilan dan biayanya menurut

ketentuan fiskal. (SE-34/PJ.4/1995)

<!--[if !supportLists]-->B. <!--[endif]-->PPh Pemotongan/Pemungutan

Sebagai Wajib Pajak Badan, rumah sakit yang berbentuk yayasan

maupun perseroan terbatas dibebani kewajiban perpajakan yang sama

dengan Wajib Pajak Badan lainnya termasuk kewajiban melakukan

pemotongan/pemungutan, penyetoran dan pelaporan PPh pihak lain

(Withholding tax).
Kewajiban tersebut meliputi:

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->PPh Pasal 21

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->PPh Pasal 22

<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->PPh Pasal 23

<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->PPh Pasal 26

<!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]-->PPh Pasal 4 ayat (2)

<!--[if !supportLists]-->6. <!--[endif]-->PPh Pasal 15

Aspek PPN

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000, jasa di

bidang pelayanan kesehatan medik termasuk jenis jasa yang tidak

dikenakan PPN (Bukan Jasa Kena Pajak). Jasa tersebut meliputi :

a. Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;

b. Jasa dokter hewan;

c. Jasa ahli kesehatan seperti akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, dan

fisioterapi;

d. Jasa kebidanan dan dukun bayi;

e. Jasa paramedis dan perawat; dan


f. Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium

kesehatan, dan sanatorium.

Oleh karena itu, bila rumah sakit semata-mata hanya menyerahkan non

JKP, maka badan usaha rumah sakit tidak wajib dikukuhkan sebagai

Pengusaha Kena Pajak (PKP). Akan tetapi pada umumnya rumah sakit

juga menyerahkan obat-obatan yang merupakan Barang Kena Pajak

(BKP) kepada pasien. Sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor:

SE-06/PJ.52/2000, khusus penyerahan obat-obatan kepada pasien rawat

inap dan pasien gawat darurat dikecualikan dari pengenaan PPN karena

dianggap sebagai bagian dari jasa rumah sakit.

Jika instalasi farmasi atau apotik yang dikelola rumah sakit tersebut

menyerahkan obat-obatan kepada pasien rawat jalan atau pihak lainnya,

maka termasuk penyerahan yang dapat dikenakan PPN karena dianggap

melakukan penyerahan BKP. Jika penyerahan BKP (obat-obatan dan lain-

lain) yang dilakukan oleh rumah sakit tersebut melebihi Rp600.000.000,-

dalam satu tahun buku, maka rumah sakit tersebut wajib PKP.

Aspek Pajak Lainnya

Aspek pajak lain yang melekat pada rumah sakit antara lain Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB). Khusus tanah dan bangunan yang digunakan untuk
kepentingan sosial dapat diberikan pengurangan BPHTB dan atau
pembebasan PBB.
Dari keseluruhan konsep dan perhitungan perpajakan yang ada dalam undang-undang
perpajakan kita, PPh Pasal 21 merupakan salah satu jenis pajak yang kompleks dan
rumit, karena melibatkan variasi status kepegawaian dan bentuk-bentuk pembayaran
kepada pegawai yang terus berkembang sejalan dengan berkembangnya bentuk-
bentuk hubungan antara pekerja dan pemberi kerja;

Berkaitan dengan hal di atas, Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ./2009 tentang Perubahan atas Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ./2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak
Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang
Pribadi.

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ./2009 merubah beberapa


ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ./2009 yang
mengatur penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak
Orang Pribadi yang berstatus Bukan Pegawai termasuk contoh perhitungannya.

Download PER-57/PJ./2009

DIarsipkan di bawah: PPh Pasal 21 | Ditandai: PER-31/PJ./2009, PPh Pasal 21

« SPT Masa dan Bukti Potong PPh Pasal 23/26 Berubah Lagi Workshop Pajak: Tax
Update PPh Pemotongan dan Pemungutan Tahun 2009 »

Anda mungkin juga menyukai