Anda di halaman 1dari 6

PENDAHULUAN

Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan


Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1 pajak adalah kontribusi wajib kepada negara
yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak menjadi
salah satu penentu utama dalam distribusi kekayaan dan redistribusi sumber daya ekonomi.
Sistem perpajakan merujuk pada kumpulan aturan, regulasi, dan prosedur yang digunakan
oleh pemerintah untuk mengumpulkan pajak dari warga negara atau entitas bisnis dalam
suatu negara.

Di Indonesia, sistem perpajakan mencakup berbagai jenis pajak yang dikenakan pada
berbagai subjek pajak, salah satunya adalah wajib pajak badan. Wajib pajak badan
memainkan peran yang krusial dalam perekonomian suatu negara. Dalam sebuah sistem
perpajakan yang baik, kontribusi dari wajib pajak badan dapat memberikan kontribusi
signifikan dalam menjaga stabilitas ekonomi dan keberlanjutan fiskal pemerintah.
Berdasarkan Pasal 28 ayat (7) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan
Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (UU KUP) disampaikan bahwa proses pembukuan setidaknya terdiri dari catatan
mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta pembelian dan penjualan
sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.

Laporan keuangan komersial disusun berdasarkan standar akuntasi keuangan yang


belum tentu sama dan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Maka dari itu,
dibutuhkan penyesuaian dengan melakukan koreksi fiskal atau sering disebut dengan
rekonsiliasi fiskal.

ISI

1. Wajib Pajak Badan


Definisi Wajib Pajak Menurut UU Nomor 28 Tahun 2007 pasal 1, wajib pajak adalah
orang pribadi atau badan, pembayar pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak
dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha
milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan
lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Bagi Pengusaha badan, kewajiban melaporkan usahanya tersebut adalah pada kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan
Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan. Dengan demikian Pengusaha orang
pribadi atau badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha di wilayah beberapa
kantor Direktorat Jenderal Pajak, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak baik di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha maupun di kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha
dilakukan .
2. Aspek pada Wajib Pajak Badan
3. Pajak dikenakan pada Wajib Pajak Badan
1) Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21)
Setiap perusahaan tentu memiliki pegawai untuk membantu bisnisnya dapat berjalan
sehingga mereka dikenakan Penghasilan 21 (PPh 21). PPh 21 ini merupakan pajak
atas penghasilan berdasarkan pekerjaan yang dilakukan karyawannya. PPh 21
dibayarkan setiap bulannya. Biasanya, perusahaan memungut PPh 21 dengan
melakukan pemotongan secara langsung dari gaji bulanan karyawan.
2) Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh 22)
PPh pasal 22 akan dikenakan kepada perusahaan yang melakukan perdagangan /
kegiatan ekspor-impor. PPh pasal 22 ini hanya berlaku pada transaksi dimana kedua
belah pihak diuntungkan.
3) Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh 23)
Perusahan diwajibkan untuk membayar PPh 23 ketika melakukan transaksi:
- Pembayaran royalti atas karya tertentu
- Pembagian keuntungan saham (dividen)
- Pembayaran hadiah, penghargaan, dan bonus
- Pembayaran jasa seperti manajemen, konsultan hukum, konsultan
keuangan, Teknik, dsb seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015.
4) Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh 26)
Ketika perusahaan melakukan transaksi dengan wajib pajak luar negeri, maka akan
dikenakan PPh 26. Transaksi tersebut dapat terdiri dari pembayaran gaji karyawan,
bonus, tunjangan, royalti, dividen, jasa, pensiun, atau lainnya sesuai dengan peraturan.
PPh pasal 26 identik dengan PPh 21 dan PPh 21. Hanya saja PPh 26 dikenakan ketika
penerima penghasilannya merupakan wajib pajak luar negeri, baik WNA/perusahaan
asing.
5) Pajak Penghasilan Pasal 29 (PPh 26)
Perusahaan akan dikenakan PPh 29 jika nilai pajak terutang tahunan perusahaan lebih
besar daripada total kredit yang sudah disetorkan ke KPP. Oleh karena itu, sering kali
disebut sebagai PPh kurang bayar. PPh 29 ini tercantum dalam SPT tahunan, sehingga
harus dilunaskan terlebih dahulu sebelum melaporkan SPT PPh ke KPP setiap 30
April.
6) Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
PPN atau VAT (value added tax) adalah pajak yang dikenakan ketika ada barang yang
mengalami pertambahan nilai ketika berpindah dari produsen ke konsumen. Ketika
perusahaan melakukan transaksi penjualan barang/jasa kena pajak, maka harus
menerbitkan faktur sebagai bukti sah pungutan PPN. Perusahaan akan dikenakan PPN
10% ketika mereka melakukan transaksi jual beli dan impor, sedangkan 0% untuk
ekspor.
7) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 15
Pada pajak perusahaan ini akan dikenakan atas penghasilan yang diperoleh wajib
pajak tertentu. Sebagai contoh, pada perusahaan-perusahaan asing seperti asuransi
luar negeri, perusahaan penerbangan internasional, dan juga usaha investasi bangunan
bersifat guna-serah, serta perusahaan asing sejenis lainnya.
8) Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2)
Pada pajak perusahaan ini akan dikenakan atas beberapa jenis penghasilan yang
diperoleh maupun pemotongannya yang bersifat final. Tarif dari PPh final ini pun
bervariasi, tergantung dari masing-masing jenis penghasilannya. Sebagai contoh, pada
perusahaan dengan omzet di bawah 4,8 milyar per tahun maka tarif pajaknya yang
akan dikenakan hanya sebesar 1%.
4. Rekonsiliasi Fiskal
Rekonsiliasi fiskal dapat didefinisikan sebagai cara untuk dapat mencocokkan
perbedaan dalam laporan keuangan yang disusun berdasarkan sistem keuangan
akuntansi (komersial) dengan laporan keuangan yang disusun berdasarkan sistem
pajak (fiskal).
Terdapat dua jenis koreksi fiskal yaitu koreksi fiskal negatif dan koreksi fiskal
positif. Koreksi positif ialah perbaikan yang dilakukan pada catatan penghasilan dan
biaya yang memiliki efek pada kenaikan jumlah biaya wajib pajak. Sedangkan,
koreksi fiskal negatif ialah perbaikan yang dilakukan dan hasilnya mengurangi jumlah
biaya pajak, sehingga beban pajak pun menjadi lebih ringan.
Koreksi fiskal positif biasanya terjadi karena biaya-biaya yang tidak
diperkenankan oleh pajak sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 9 UU PPh.
Sedangkan, koreksi fiskal negatif akan menyebabkan laba kena pajak berkurang atau
pengurangan PPh terutang. Hal ini dikarenakan, biaya komersial yang lebih kecil
dibandingkan biaya-biaya fiskal dan pendapatan lebih tinggi daripada pendapatan
fiskal. Koreksi fiskal negatif penyebabnya ialah penghasilan yang dikenakan PPh
Final dan penghasilan yang tidak termasuk objek pajak, tetapi termasuk dalam
peredaran usaha. Selanjutnya, selisih penyusutan atau amortisasi komersial di bawah
penyusutan atau amortisasi fiskal. Kemudian, penyesuaian fiskal negatif lain yang
tidak berasal dari berbagai hal yang telah disebutkan di atas.

5. Dampak Rekonsiliasi Fiskal


Dalam perusahaan, laporan keuangan pada umumnya disusun berdasarkan
standar akuntansi, namun dalam praktiknya standar tersebut mungkin tidak sama atau
sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Oleh karena itu, Wajib Pajak atau
Wajib Pajak badan berupaya menyusun laporan keuangan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Apalagi jika laporan akuntansi
menjadi dasar laporan laba rugi yang disampaikan ke kantor pajak. Apabila hasil
laporan keuangan yang disusun tidak penting, maka perbedaan antara laporan
keuangan usaha berdasarkan sistem akuntansi harus direkonsiliasi dengan laporan
keuangan yang disusun berdasarkan sistem perpajakan. Proses inilah yang disebut
dengan Penyesuaian Fiskal atau yang sering disebut dengan Rekonsiliasi Fiskal.
Formulir kepatuhan perpajakan berupa dokumen kerja yang dilampirkan pada
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan dan memuat penyesuaian
antara laba dan rugi usaha sebelum pajak dengan hasilnya menurut peraturan
perpajakan. Artinya rekonsiliasi pajak dilakukan untuk seluruh area laporan laba rugi
yang mencakup pendapatan dan beban. Pendapatan yang dimaksud dapat berupa
pendapatan usaha maupun pendapatan non usaha. Bahkan pengeluaran atau
pengeluaran mempunyai pengeluaran bisnis dan juga pengeluaran non-bisnis. Terkait
dengan PPh, komponen penghitungan pajak juga terdiri dari pendapatan dan beban.
Sederhananya, rekonsiliasi perpajakan dilakukan terhadap pos-pos pendapatan dan
pengeluaran dalam laporan keuangan usaha, termasuk rekonsiliasi penghasilan kena
pajak, penghasilan tidak kena pajak, dan biaya-biaya wajib pajak yang mungkin tidak
dikeluarkan. menjadi pengurang penghasilan. mentah Selain itu, rekonsiliasi
perpajakan juga dilakukan terhadap wajib pajak yang menggunakan metode akuntansi
yang berbeda dengan peraturan perpajakan, serta bagi wajib pajak yang melakukan
pengeluaran untuk memperoleh penghasilan kena pajak dan penghasilan kena pajak
dengan pajak penghasilan yang bersifat final. Nilai pendapatan dan beban yang
seharusnya dalam laporan keuangan fiskal diperoleh dari nilai akun menurut PSAK
ditambah koreksi fiskal positif dan dikurangi koreksi fiskal negatif. Adapun
penambahan dan pengurangan dalam koreksi fiskal harus didasarkan atas ketentuan
undang-undang perpajakan yang berlaku.

KESIMPULAN

Pada makalah ini penulis telah membahas secara mendalam tentang rekonsiliasi pajak wajib
pajak badan yang merupakan proses perpajakan penting yang harus diselesaikan oleh
perusahaan. Rekonsiliasi pajak merupakan langkah untuk memastikan laporan keuangan
suatu perusahaan sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Hal ini membantu
menghindari sengketa pajak dan konsekuensi hukum yang berpotensi merugikan. Wajib pajak
badan harus mengikuti pedoman perpajakan saat ini dan melakukan rekonsiliasi pajak secara
berkala, biasanya setiap tahun pajak. Perusahaan bertanggung jawab untuk mematuhi
peraturan perpajakan dan pelaporan pendapatan dan beban pajak dengan benar. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa koordinasi perpajakan wajib pajak penghasilan badan
merupakan bagian yang sangat penting dalam penatausahaan pajak penghasilan badan. Proses
ini memungkinkan perusahaan untuk memastikan kepatuhan pajak, memitigasi risiko, dan
memastikan transparansi dalam pelaporan keuangan. Dengan menyesuaikan pajak secara
hati-hati, dunia usaha dapat menjaga kesehatan keuangannya dan menghindari masalah pajak
di masa depan.

SUMBER

UU NO 36 TAHUN 2004

Anda mungkin juga menyukai