Anda di halaman 1dari 36

MANAJEMAN PERPAJAKAN

“ Strategi Penghematan Pajak Melalui Pemilihan Bentuk Usaha dan


Manajemen Penutupan Usaha & Strategi Perpajakan”

Dosen Pengampu:
H. Kasyful Anwar, S.E., M.Si., Ak., CA.

Disusun Oleh Kelompok 1:

Ellya Nursehan (1710313120052)


Rizka Auliyana (1810313620049)
Salma Nanda K.P (1810313220016)
Sisky Andani Putri (1810313320044)
Siti Amalia (1810313220001)
Siti Nurhaliza (1810313320002)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARMASIN

2021
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, serta inayah-Nya kepada kami sehingga kami
diberi kekuatan untuk menyelesaikan makalah Manajeman Perpajakan yang berjudul
“Strategi Penghematan Pajak Melalui Pemilihan Bentuk Usaha dan Manajemen
Penutupan Usaha & Strategi Perpajakan”.

Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Analisa
Laporan Keuangan yang diampu oleh Bapak H. Kasyful Anwar, S.E., M.Si., Ak., CA.
yang merupakan dosen pengampu kami dalam mata kuliah ini. Tak lupa pula kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu
proses penyusunan makalah ini sehingga bisa selesai tepat pada waktunya.

Kami menyadari bahwa dalam makalah ini mungkin masih terdapat kesalahan
baik dari pengolahan kata, ejaan kata yang tidak benar dan lain sebagainya. Oleh karena
itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang
membangun dari berbagai pihak. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.

Banjarmasin, 1 September 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i

DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1

1.1. Latar Belakang....................................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah...............................................................................................2

1.3. Tujuan Penulisan.................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3

2.1. Pendahuluan........................................................................................................3

2.2. Usaha Perseroan Terbatas...................................................................................4

2.3. Usaha Persekutuan (CV, Firma, Kongsi)............................................................6

2.4. Usaha Perseorangan............................................................................................8

2.5. Usaha Koperasi.................................................................................................12

2.6. Usaha Organisasi Nirlaba (Yayasan)................................................................16

2.7. Manajemen Penutupan Usaha dan Strategi Perpajakan....................................20

2.7.1. Penyelesaian Kewajiban Perpajakan.............................................................21

2.7.2. Mengansur atau Menunda Pembayaran Pajak..............................................21

2.7.3. Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).......................................23

2.7.3.1. Keputusan Dirjen Pajak Atas Permohonan Penghapusan NPWP.............23

2.7.3.2. Tata Cara Penghapusan NPWP.................................................................24

2.7.3.3. Penghapusan NPWP dalam Keadaan Khusus...........................................24

2.7.3.4. NPWP Tidak Dapat Dihapuskan...............................................................25

2.7.3.5. Pencabutan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP)..........25

ii
2.7.3.6. Keputusan Dirjen Pajak Atas Permohonan Pencabutan Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak.................................................................................................25

2.7.4. Penghentian Kegiatan Operasional dan Status DORMANT........................26

2.7.5. Aspek Akuntansi dan Perpajakan Lain Atas Pembayaran Perusahaan.........28

BAB III KESIMPULAN.................................................................................................30

3.1. Kesimpulan.......................................................................................................30

3.2. Saran.................................................................................................................30

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................31

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kebanyakan permasalah yang sering dihadapi oleh penanam modal atau investor
baru yang ingin punya usaha adalah bingung mau ditempatkan dimana dana
investasinya, dari sekian banyak pilihan bentuk usaha. juga harus memikirkan jenis
usaha atau portofolio investasi, apakah portofolio investasi sekuritas (seperti saham,
obligasi, reksadana), kegiatan perdagangan (commerce), kegiatan industri, atau
kegiatan jasa (services) yang tujuan akhirnya adalah menentukan investasi yang
memberikan kontribusi profit paling besar, dengan risiko investasi yang paling
rendah.
Saat ini telah banyak pilihan bentuk usaha yang dapat dipertimbangkan investor,
yang semuanya akan bermuara pada besarnya pajak yang akan ditanggung kelak.
Tingkat keuntungan bisa sama di antara beberapa bentuk usaha namun besarnya
pajak yang ditanggung bisa berbeda, selain itu juga mempertimbangkan aspek
pengembangan usaha (business development) dalam jangka panjang. Karena, tidak
ada artinya mendapatkan keuntungan yang diperoleh dalam jangka pendek dengan
miminimalkan jumlah pajak, tetapi ujungnya terbentur pada batasan ruang gerak
pengembangan pasar dan perluasan usahanya kedepan dan jaringan bisnis yang
sempit.
Belum lagi tentang kepercayaan mitra usaha (bank dan supplier) terhadap badan
usaha yang umumnya lebih senang bekerjasama dengan bisnis yang berbadan
hukum. Ketika bicara mengenai masalah permodalan, pihak bank cenderung
memilih bekerja sama dengan badan usaha PT ketimbang usaha perseorangan,
karena ketika melakukan perhitungan, risiko manajemennya lebih tinggi pada usaha
perseorangan.
Cara yang paling baik untuk menghindari pungutan pajak ini adalah dengan
mencari cara meminimalkan pembayaran pajak tanpa menabrak koridor peraturan
perpajakan. Dalam peraturan perpajakan, banyak celah hukum yang dapat
dimanfaatkan untuk meminimalkan beban pajak tanpa harus berhadapan langsung
dengan aparat pajak dalam pemeriksaan dan penyidikan pajak, yaitu dengan cara

1
merapikan tax management dan tax planning perusahaan. Tujuan perencanaan pajak
yang baik adalah memberikan keuntungan sebesar-besarnya kepada investor agar
return on investment yang diperoleh semakin tinggi. Strategi perencanaan pajak
dapat dimulai sejak awal berbisnis dengan melakukan setting up bentuk usaha yang
akan dipilih investor.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Menjelasakan Usaha Perseroan Terbatas
1.2.2. Menjelaskan Usaha Persekutuan (CV, Firma, Kongsi)
1.2.3. Menjelaskan Usaha Perseorangan
1.2.4. Menjelaskan Usaha Koperasi
1.2.5. Menjelaskan Usaha Organisasi Nirbala (Yayasan)
1.2.6. Menjelaskan Manajeman Penutupan Usaha dan Strategi Perpajakan

1.3. Tujuan Penulisan


2.1.1. Usaha Perseroan Terbatas
2.1.2. Usaha Persekutuan (CV, Firma, Kongsi)
2.1.3. Usaha Perseorangan
2.1.4. Usaha Koperasi
2.1.5. Usaha Organisasi Nirbala (Yayasan)
2.1.6. Manajeman Penutupan Usaha dan Strategi Perpajakan

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pendahuluan
Banyak alternatif yang bisa kita pergunakan untuk menghindari pungutan pajak.
Cara yang paling mudah adalah dengan tidak melaporkan-kan penghasilan yang kita
terima, tapi tindakan itu akan membuat kita olahraga jantung, merasa dikejar-kejar
terus oleh fiskus. Cara yang paling elegan untuk menghindari pungutan pajak ini
adalah dengan mencari cara meminimalkan pembayaran pajak tanpa menabrak
koridor peraturan perpajakan.

Dalam peraturan perpajakan, banyak celah hukum yang dapat kita manfaatkan
untuk meminimalkan beban pajak tanpa harus berhadapan langsung dengan aparat
pajak dalam pemeriksaan dan penyidikan pajak, yaitu dengan cara merapikan tax
management dan tax planning perusahaan. Tujuan perencanaan pajak yang baik
adalah memberikan keuntungan sebesar-besarnya kepada investor agar refiem on
muestiment yang meningkat tinggi. Strategi perencanaan pajak dapat dimulai sejak
awal berbisnis dengan melakukan setting up bentuk usaha yang akan dipilih
investor.

Entitas hukum bisnis di Indonesia yang diakui UU Perpajakan adalah:

1. Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, dan Yayasan


2. Persekutuan (Firma, CV, Kongsi)
3. Perseorangan

Dilihat dari aspek legalitasnya, Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, dan Yayasan,
adalah entitas berbadan hukum (karena ada pengesahan pemerintah yakni Menteri
Hukum dan HAM atas akte pendirian dan anggaran dasarnya); sedangkan
Persekutuan (Firma, CV, Kongsi) dan Perseorangan tidak berbadan hukum.

Di luar itu terdapat banyak entitas bisnis lain yang kita kenal dalam lingkup
hukum kita seperti Joint Operation (KSO), Waralaba, BUT. Kita akan membatasi
ini dalam ketiga bentuk hukum entitas bisnis tersebut, karena kebanyakan pelaku
bisnis di Indonesia menggunakan ketiganya dalam menjalankan bisnis mereka.

3
Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan bentuk usaha
(Zain, 2003: 97), adalah:

1. Bagaimana hubungan antara tarif pajak penghasilan pribadi dan tarif pajak
penghasilan wajib pajak, termasuk ketentuan khusus yang mengatur hal itu.
2. Pengenaan pajak penghasilan secara berganda, baik atas laba bruto usaha,
maupun penghasilan dari pembagian keuntungan (dividen) kepada para
pemegang sahamnya.
3. Kesempatan untuk menunda pengenaan pajak pada tarif pajak peng-penghasilan
lebih kecil/besar jika dibandingkan dengan kesempatan yang terdapat pada tarif
penghasilan dan akumulasi penghasilan perusahaan.
4. Adanya ketentuan mengenai kerugian hasil usaha neto (kompensasi kerugian)
dan kredit investasi yang berlaku bagi bentuk usaha ter-tentu.
5. Kemungkinan pengajuan perlakuan khusus terhadap pajak atas mulasi laba,
pajak atas penghasilan personal, holding company, dan seterusnya.
6. Liberalisasi kententuan yang mengatur fringe benefit dan atau payment in kind.

2.2. Usaha Perseroan Terbatas


Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum
yang merupakan persekutuan modal yang didirikan berdasarkan perjanjian,
melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang selu ruhnya terbagi dalam
saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UU serta peraturan
pelaksanaannya. Perseroan Terbuka (Tbk.) adalah Perseroan Publik atau Perseroan
yang melakukan penawaran umum saham sesuai dengan ketentuan UU di bidang
pasar modal. Perseroan Terbatas adalah salah satu bentuk badan hukum entitas
bisnis yang banyak digunakan di Indonesia, yang didirikan dengan pa yung hukum
UU No. 40 tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Untuk mendirikan sebuah perusahaan berbentuk PT, berdasarkan akte notaris
yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam
Tambahan Berita Negara RI, diperlukan adanya pengesahan dari Kementerian
Hukum dan HAM. Pasal 97 UU tersebut secara eksplisit membedakan PT dengan
badan hukum lainnya, pada PT tanggung jawab perusahaan dibebankan kepada
direksi bukan pemegang saham. Direksi adalah organ perseroan yang berwenang

4
dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan
Perseroan. Jadi selama pemegang saham tidak merangkap sebagai pengurus
perusahaan, maka dia tidak dapat dimintai tanggungjawabnya terhadap tindakan
operasional perusahaan oleh pihak mana pun. Tanggung jawab pemegang saham
terbatas pada nilai saham yang diambilnya.
Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan UU perpajakan,
dalam hal badan, wajib pajak diwakili oleh pengurus yang bertanggungjawab secara
pribadi dan atau secara renteng atas pembayaran pajak terutang, kecuali apabila
dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka, dalam
kedudukannya, benar-be nar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas
utang tersebut. Mengenai tanggung jawab renteng ini dijelaskan lanjut dalam Surat
Edaran Dirjen Pajak No. 02/PJ.74/1990 dengan me spajak yang terlebih merujuk
kepada ketentuan Pasal 32 ayat 2 UU No. 6 tahun 1983 yang telah diubah terakhir
kalinya dengan UU No. 28 Tahun 2007 dan UU No. 16 th 2009 tentang ketentuan
Umum Dan Tata Cara Perpajakan.
Dalam ketentuan perpajakan, sesuai pasal 17 UU Nomor 7 tahun 1983 yang
telah diubah terakhir kali dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan, pengenaan pajak PT dikenakan pada level net income sebelum
pembagian dividen perusahaan kepada pemegang saham.

Ilustrasi perhitungan pajak Perseroan-PT dapat kita lihat berikut ini:

Income Tahun 2020 Rp 60.000.000.000

COGS Rp 58.800.000.000

Gross Income Rp 1.200.000.000

Operating Expenses Rp 500.000.000

Net Income before tax Rp 700.000.000

Corporate Tax (Pph badan) 22% Rp 154.000.000

Net Income after tax Rp 546.000.000

5
Pada saat penghasilan tersebut ditransfer ke pemegang saham sebagai dividen, maka
atas pembagian tersebut akan dikenakan pajak lagi sebesar 10% (PPh Final untuk
WPOP), sebagai berikut:

Net Income before tax Rp 700.000.000

Corporate Tax (PPh badan) 22% Rp 154.000.000

Net Income after tax Rp 546.000.000

Pajak Atas Dividen 10% (PPh Final) Rp 54.600.000

Return yang diterima pemegang saham Rp 491.400.000

% Beban Pajak (total tax/net Income) Rp 154.000.000+Rp 54.600.000 :


Rp 700.000.000 x 100% = 29,8%

Dengan demikian, secara total investor WPOP akan terbebani pajak keuntungan
yang diperoleh dari badan usaha PT tersebut sebesar 29,8%.

2.3. Usaha Persekutuan (CV, Firma, Kongsi)


Dalam literatur hukum, kita tahu ada 3 (tiga) macam perkumpulan bukan badan
hukum atau tidak termasuk kategori sebagai badan hukum, yaitu Persekutuan
Perdata, Firma, dan CV. Pendirian sebuah firma (Fa), walaupun didirikan dengan
akte notaris, didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam
Tambahan Berita Negara RI, tidak diperlukan adanya pengesahan dari Kementerian
Hukum dan HAM. Demikian pula halnya dengan pendirian sebuah CV, karena pada
dasarnya CV merupakan firma dengan bentuk khusus.

Oleh karena belum ada undang-undang yang mengatur masalah Fir ma, CV, dan
persekutuan Perdata, maka untuk persekutuan tersebut kita kembali kepada Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang mengatur masalah tersebut. Misalnya mengenai pendirian Persekutuan
(firma atau CV) yang diatur dalam pasal 1618 dan 1320 KUHPerdata dan juga
terdapat dalam Pasal 22 KUHD. Perbedaan antara persekutuan dengan PT terletak
pada tanggung jawab peseronya (shareholder). Pasal 18 dan 19 buku 1 KUHD

6
mengatur tanggung jawab renteng pemilik/pesero terhadap semua operasional atau
tuntutan dari pihak lain apabila terjadi suatu perkara.

Apabila CV mempunyai banyak utang sehingga jatuh pailit, dan apabila harta
benda CV tidak mencukupi untuk pelunasan utang-utang nya, maka harta benda
pribadi pesero pengurus dapat dipertanggungjawabkan untuk melunasi utang
perusahaan. Sebaliknya harta benda para Persero commanditaris (sleeping partner)
tidak dapat diganggu gugat. Pengaturan pajak CV diatur dalam pasal 6 dan Pasal 4
ayat 3 huruf 1 Undang-Undang PPh. Berbeda dengan PT, pengenaan pajak CV
hanya dikenakan sekali pada level net income Perseroan. Ketika didistribusikan
kepada pemegang saham tidak dikenakan pajak dividen lagi. Kita lihat ilustrasi
dibawah ini sesuai dengan data-data keuangan PT di atas.

Pasal 4 ayat 3 huruf i UU No. 7 Tahun 1983 yang telah diubah ter akhir kalinya
dengan UU No. 38 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. menegaskan,
"Yang dikecualikan dari objek pajak" yakni bagian laba yang diterima
atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas
saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang
unit penyertaan kontrak investasi kolektif.

Untuk kepentingan pengenaan pajak badan-badan, sebagaimana di sebut dalam


ketentuan tersebut yang merupakan himpunan para anggota nya, dikenai pajak
sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan ter sebut. Oleh karena itu bagian
laba yang diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi merupakan objek
pajak.

Dengan asumsi yang sama seperti contoh pada tabel berikut ini, maka ilustrasi
perhitungan pajak Firma/CV dapat kita lihat sebagai berikut:

Income Tahun 2020 Rp 60.000.000.000


COGS Rp 58.800.000.000
Gross Income Rp 1.200.000.000
Operating Expenses Rp 500.000.000

7
Net Income before tax Rp 700.000.000
Corporate Tax (Pph badan) 22% Rp 154.000.000
Net Income after tax Rp 546.000.000

Pada saat penghasilan tersebut ditransfer ke pemegang saham sebagai dividen, maka
atas pembagian tersebut tidak akan dikenai pajak lagi sebagai berikut:

Net Income before tax Rp 700.000.000

Corporate Tax (PPh badan) 22% Rp 154.000.000

Net Income after tax Rp 546.000.000

Pajak Atas Dividen 10% (PPh Final) Rp -

Return yang diterima pemegang saham Rp 546.000.000

% Beban Pajak (total tax/net Income) (Rp 154.000.000 :700jt) x


100% = 22%

Dengan demikian, secara total, investor akan terbebani pajak keuntungan yang
diperoleh dari badan usaha Firma/CV tersebut sebesar 22%. Bila diban dingkan
dengan badan usaha PT, persentase beban pajak investor Firma/CV dengan payung
hukum UU PPh No. 36 Tahun 2008 ternyata lebih rendah dari PT, di mana badan
usaha PT tersebut, sebagaimana diuraikan sebelum nya, sebesar 29,8%. Begitu juga
secara nominal keuntungan (return) yang diberikan kepada pemegang saham adalah
lebih besar yang diterima oleh pemegang saham Persekutuan (=Rp 546 juta)
dibanding dengan pemegang saham PT (=Rp 491,4 juta).

2.4. Usaha Perseorangan


Mayoritas penduduk Indonesia menjalankan bisnisnya secara
perseorangan, tidak mau terikat dengan badan usaha yang lebih formal, tanpa
akte notaris dan bersikap fleksibel terhadap kewajiban yang harus dipenuhi,
namun tetap memiliki NPWP untuk memenuhi kewajiban perpajakannya Bentuk

8
badan usaha perseorangan dapat berupa wartel, salon, rumah makan, usaha
dagang (UD), waralaba, dan masih
banyak lagi.
Ada beberapa perbedaan dalam menghitung pajak usaha antara pajak
perseorangan dengan pajak Perseroan, antara lain:
 Dalam perhitungan pajak perseorangan, ada beberapa faktor peng rang
seperti Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dan biaya jabatan. yang
dalam perhitungan pajak Perseroan faktor tersebut tidak ada dalam
ketentuannya.
 Terdapat pembedaan tax rate dan lapisan penghasilan kena pajak (taxable
income bracket) antara PPh Perseorangan dengan Pajak Peng hasilan
Badan, di mana PPh Persorangan menggunakan tarif progresif dari
lapisan tarif 5% hingga tarif maksimum 30%, sedangkan Penghasilan
Badan menggunakan tarif tunggal 22% (tarif 22% ber laku sejak awal
tahun 2020, sedangkan tahun 20010 tarifnya 25%).

Laporan Penghasilan PPh Pasal 21 Perseorangan Tarif Pajak


(UU PPh No. 36 Tahun 2008)

0 sampai Rp 50.000.000 5%

Diatas Rp 50.000.000 s.d Rp 250.000.000 15%

Diatas Rp 250.000.000 s.d Rp 500.000.000 25%

Diatas Rp 500.000.000 30%

Secara sederhana beban pajak yang harus ditanggung invenstor WPOP dengan
mengenakan pajak dengan terif progresif seperti terlihat pada tabel diatas.

Income Tahun 2020 Rp 60.000.000.000

COGS Rp 58.800.000.000

Gross Income Rp 1.200.000.000

9
Operating Expenses Rp 500.000.000

Net Income Before Tax Rp 700.000.000

PTKP (Kawin 3 anak atau K/3)*) Rp 72.000.000

Taxable Income Rp 628.000.000

Tax: PPh Pasal 21 Rp 133.400.000

K/3 = 54.000.000 + 4.500.000 + 13.500.000

Pada saat penghasilan tersebut ditransfer ke pemegang saham sebagai dividen maka atas
pembagian tersebut tidak akan dikenakan pajaka lagi, sebagai berikut:

Net Income Before Tax Rp 700.000.000

Tax: PPh Pasal 21 Rp 133.400.000

Income After Tax Rp 628.000.000

Pajak Atas Dividen 0% Rp -

Return yang diterima Share Holder Rp 628.000.000

% Beban Pajak (total Tax/Net Income) Rp 133.400.000 : 700jt x 100% =


19,06%

Perhitungan PPh Pasal 21:

Penghasilan Kena Pajak 628.000.000

PPh Psl. 21:

5% x 50.000.000 2.500.000

15% x 200.000.000 30.000.000

25% x 250.000.000 62.500.000

305 X 128.000.000 38.400.000

10
Total PPh Psl 21 133.400.000

Secara komparatif, beban pajak yang harus ditanggung investor dari ketiga
entitas bisnis tersebut adalah:

PT Persekutuan Perseorangan
(Fa/CV)

Net Income Rp 700.000.000 Rp 700.000.000 Rp 700.000.000

Beban Pajak (Rp) Rp 154.000.000 Rp. 154.000.000 Rp. 133.400.000

Beban Pajak (%) 30% 22% 19,06%

Dari analisis di atas, ada beberapa hal penting yang perlu kita catat:

1 Beban pajak yang ditanggung investor melalui persekutuan ternyata,


lebih kecil daripada usaha berbentuk PT.
2 Bisnis perseorangan tersebut bisa memberikan tingkat efisiensi pajak
yang jauh lebih besar dari pada bentuk badan usaha lainnya. Namun kita
tidak boleh tergesa-gesa mengambil keputusan atas dasar pertimbangan
ini semata, harus memperhatikan pertimbangan lain.
3 Pemilihan salah satu entitas bisnis dapat dijadikan referensi dalam
pengambilan keputusan oleh para investor untuk meminimalkan beban
pajak. Namun demikian faktor pajak bukan satu-satunya pertimbangan
dalam pengambilan keputusan bisnis. Masih banyak variabel lain yang
harus diperhatikan investor.
4 Investor konvensional lebih sering mengandalkan instuisi (naluri)
bisnisnya
daripada perhitungan di atas kertas. Dalam pengambilan keputusan,
mereka hanya bermodalkan pengalaman (learning curve yang tinggi)
yang sangat berharga, sehingga dengan keyakinan penuh menjalankan
usaha dengan kiat dan alur pemikiran mereka yang sederhana, tetapi
realistis dan terbukti bisa berhasil. Bagaimanapun juga, pengelolaan
bisnis modern dilakukan secara profesional dan tidak bias mengandalkan

11
instuisi semata, karena yang terakhir ini hanya dilakukan oleh pelaku
bisnis kawakan.
5 Di antara sederetan pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan
bisnis modern, harus juga diakomodasi masalah permodalan, advis
management risk, lingkungan hidup, tanggung jawab pesero bila terjadi
klaim pihak ketiga, business dan market development, serta hak dan
kewajiban lainnya yang timbul dari pemilihan bentuk usaha tersebut.

2.5. Usaha Koperasi


Koperasi adalah badan usaha yang mengorganisasi pemanfaatan dan
pendayagunaan sumber daya ekonomi para anggotanya atas dasar prinsip-
prinsip koperasi dan kaidah usaha ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup
anggota pada khususnya dan masyarakat daerah kerja pada umumnya, dengan
demikian koperasi merupakan gerakan ekonomi rakyar dan sokoguru
perekonomian nasional (PSAK No. 27). (IAI, SAK Per 1 Juli 2009).
Koperasi adalah salah satu bentuk badan hukum entitas bisnis yang
cukup banyak digunakan di Indonesia, yang didirikan dengan payung hukum
UU No. 25 tahun 1992 Tentang Perkoperasian. Dasar pendirian sebuah
perusahaan dengan bentuk koperasi adalah pada akte notaris yang didaftarkan di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita
Negara RI serta disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM. Dalam koperasi,
tanggung jawab perusahaan dibebankan kepada pengurus, bukan kepada anggota
koperasi. Pengurus koperasi adalah organ koperasi yang berwenang dan
bertanggung jawab penuh atas pengurusan koperasi dan untuk kepentingan
koperasi.
Beberapa jenis koperasi:
1. Koperasi Konsumen (misalnya koperasi warung serba ada atau super
market).
2. Koperasi Produsen (misalnya koperasi jasa konsultasi).
3. Koperasi Simpan Pinjam.
4. Koperasi Pemasaran.

Perlakuan Perpajakan Koperasi

12
Sebagaimana pada bentuk badan usaha lainnya, pada prinsipnya koperasi
dapat melakukan kegiatan di hampir semua bidang usaha, sehingga atas
penghasilan koperasi yang disebut sisa hasil usaha (SHU) merupakan objek
pajak penghasilan yang dikenai tarif PPh Badan, dengan tarif tunggal 28%
(tahun 2009), tarif 25% (tahun 2010), dan tariff 22% (tahun 2020)

Insentif Pajak Bagi Koperasi

Pada dasarnya, apa pun insentif pajak yang diberikan kepada badan usaha
(PT, firma, CV) juga berlaku bagi koperasi. Beberapa fasilitas insentif pajak
penghasilan dan yang dikecualikan dari pajak dalam UU PPh No. 36 Tahun
2008 yang berlaku bagi koperasi, antara lain:

a. Yang dikecualikan dari objek pajak adalah harta hibahan dan bantuan
atau sumbangan kepada koperasi, sepanjang tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak
yang bersangkutan (Pasal 4 ayat 3 huruf a UU PPh No: 36 Tahun 2008).
b. Sisa hasil usaha (SHU) yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggotanya, tidak dipotong PPh Pasal 23 (Pasal 23 ayat 4 huruf f 00 PPh
No. 36 Tahun 2008).
c. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh dari penyertaan
modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat dividen tersebut berasal dari cadangan laba yang
ditahan Pasal 4 ayat 3 huruf f UU PPh No. 36 Tahun 2008:
Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara,
atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha
yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indo- nesia dengan syarat:

1. Dividen tersebut berasal dari cadangan laba ditahan; dan


2. Bagi Perseroan terbatas, badan usaha milik negara, dan badan
usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham

13
pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua
puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor.
d. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 2009 PPh tentang bunga
simpanan yang dibayarkan oleh, koperasi kepada anggota koperasi
perorangan. Besarnya Pajak Penghasilan (final) adalah:
1. 0% (nol persen) untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai
dengan Rp 240 ribu per bulan; atau
2. 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan
berupa bunga simpanan lebih dari Rp 240 ribu per bulan.
e. Tarif baru bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Insentif ini
khusus untuk UMKM berbadan hukum yang memiliki omzet di bawah
Rp 4,8 miliar per tahun atau Rp 400 juta per bulan, Diberi insentif
pemotongan tarif PPh sebesar 50% dari tarif pajak normal sebesar 25%
oleh pemerintah
f. Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2007 dan No. 62 Tahun 2008 Tentang
Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang
Usaha tertentu Dan Atau Di Daerah-Daerah Tertentu.

Kegiatan Usaha Koperasi yang Mendapatkan Perlakuan Khusus

Ada beberapa kegiatan usaha koperasi yang mendapat perlakuan khusus

1. Koperasi yang menanamkam modalnya di bidang-bidang usah tertentu


dan atau di daerah-daerah tertentu (mendapatkan fasilita pajak
penghasilan untuk penanaman modal, sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2007 dan No. 62 Tahun 2008).
2. Pembebasan bea masuk dan tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai
serta Pajak Penjualan atas impor kendaraan bermotor jenis sedan untuk
dipergunakan dalam (usaha pertaksian oleh Koperasi Pengemudi Taksi.
PPN dan PPn BM yang ditanggung pemerintah berlaku sepanjang
kendaraan tersebut digunakan dalam usaha pertaksian sekurang-
kurangnya selana lima tahun sejak tanggal dikeluarkannya STNK
(Keputusan Presiden RI Nomor 30 Tahun 1986 dan Nomor 28 Tahun
1987 Jo. Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 1995).

14
3. Pondok Boro yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
adalah bangunan sederhana, berupa bangunan bertingkat atau tidak
bertingkat, yang dibangun dan dibiayai oleh perorangan atau koperasi
buruh atau koperasi karyawan yang diperuntukkan bagi para buruh tidak
tetap atau para pekerja sektor informal berpenghasilan rendah dengan
biaya sewa yang disepakati, yang tidak dipindahtangankan dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun sejak diperoleh (Perato an Menkeu No.
36/PMK.03/2007.jo.No.80/PMK.03/2008 dan No PMK.03/2011).

Dalam ketentuan perpajakan, sesuai pasal 17UU No. 7 Tahun 1983 yang telah
diubah terakhir kali dengan UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, pajak
koperasi dikenakan pada level net income sebelum pembagian SHU perusahaan kepada
anggota koperasi.

Ilustrasi perhitungan pajak koperasi dapat kita lihat dalam table berikut ini:

Income Tahun 2020 Rp 60.000.000.000

COGS Rp 58.800.000.000

Gross Income Rp 1.200.000.000

Operating Expenses Rp 500.000.000

Net Income before tax Rp 700.000.000

Corporate Tax (PPh Badan) 22% Rp 154.000.000

Net Income after tax Rp. 546.000.000

2.6. Usaha Organisasi Nirlaba (Yayasan)


Karakteristik organisasi atau lembaga nirlaba berbeda dengan organisasi
bisnis. Perbedaan utama terletak pada cara organisasi memperoleh sumber daya
yang dibutuhkan untuk melakukan berbagai aktivitas operasinya. Organisasi
nirlaba memperoleh sumber daya dari sumbangan para anggota dan para
penyumbang lain yang tidak mengharapkan imbalan apa pun dari organisasi
tersebut (IAI, SAK Per 1 Juli 2009). Yayasan adalah salah satu bentuk badan

15
hukum entitas bisnis yang cukup banyak digunakan di Indonesia, yang didirikan
dengan payung hukum UU No. 16 tahun 2001 Tentang Yayasan.
Pendirian sebuah perusahaan dengan bentuk Yayasan, didasarkan pada
akte notaris yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan
diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI, serta diperlukan adanya
pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM. Dalam Yayasan, tanggung
jawab per- usahaan dibebankan kepada Pengurus. Pengurus yayasan adalah
organ yayasan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan
yayasan untuk kepentingan dan tujuan yayasan.
Bahkan setiap pengurus bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila
yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai dengananggaran
dasar sehingga mengakibatkan kerugian yayasan atau pihak ketiga (pasal 35 ayat
3).
Ada beberapa macam jenis yayasan, diantaranya:
1. Yayasan Pendidikan (dari TK hingga universitas)
2. Yayasan Keagamaan dan Sosial (Misalnya: Yayasan Mesjid dan Yayasan
Panti Asuhan Yatim Piatu)
3. Yayasan Kesehatan (Misalnya:poliklinik dan rumah sakit)
4. Yayasan bidang penelitian dan pengembangan (misalnya yayasan lembaga
konsumen)

Perlakuan Perpajakan Yayasan

Sebagaimana pada bentuk hadan usalha lainnya, pada prinsipnya yayasan


dapat melakukan kegiatan di hampir semua bidang usaha, sehingga atas
penghasilan yayasan (SHU) merupakan objek pajak penghasilan yang dikenai
tarif PPh Ba- dan, dengan tarif tunggal 28% (Tahun 2009), tarif 25% (Tahun
2010) dan Tarig 22% (Tahun 2020).

Pengakuan penghasilan maupun biaya pada yayasan sama dengan badan


usaha lainnya. Namun demikian ada beberapa kegiatan usaha yayasan yang
mendapat perlakuan khusus seperti diuraikan berikut ini:

Kegiatan Usaha Yayasan yang Mendapatkan Perlakuan Khusus

16
1. Mendapat fasilitas pembebasan bea masuk dan cukai dengan mengajukan
permohonan untuk dapat ditetapkan sebagai badan atau lembaga yang
mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk berdasarkan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 144/KMK.05/1991 tentang Pembebasan Bea
Masuk Dan Cukai Atas Impor Barang Kiriman Hadiah Untuk Keperluan
Ibadah Umum, Amal, Sosial, dan Kebudayaan (Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 22/PMK.04/2000. sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
67/PMK.04/2006). Dalam hal ini Yayasan dapat mengajukan
permohonan untuk memperoleh fasilitas tersebut setiap saat dibutuhkan.
2. Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak
Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau
bangunan, yakni orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan
atau bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan
sosial, termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan
usaha mikro dan kecil, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-
pihak yang bersangkutan (PER- 30/PJ/2009 dan SE-48/PJ./2009).
3. Yayasan Keagamaan dan Sosial lainnya
Sesuai Pasal 2 UU Pajak Penghasilan, yayasan tetap digolongkan sebagai
subjek pajak penghasilan. Objek pajaknya terbagi dua, sesuai orientasi
bidang usaha yayasan. Bila yayasan bermotif mencari keuntungan
(misalnya yayasan universitas), maka penerimaannya merupakan objek
pajak penghasilan, namun sebaliknya bila penerimaan yayasan bukan
bermotif mencari keuntungan (misalnya sumbangan untuk panti asuhan
yatim piatu), maka atas penerimaan tersebut tidak terutang PPh.
Sebagaimana badan usaha lainnya, yayasan juga harus melaksanakan
kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan dalam hal yayasan tersebut
melakukan transaksi pembayaran berbagai jasa, seperti sewa, dividen,
royalti, dan gaji karyawan.

17
4. Peraturan Dirjen Pajak No. PER 44/PJ./2009 dan Peraturan Menkeu No.
80/PMK.03/2009 tentang pelaksanaan pengakuan Sisa Lebih yang
diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam
bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan pengembangan yang
dikecualikan dari objek pajak penghasilan. Yayasan pendidikan
diperkenankan untuk mengakui dana pembangunan gedung dan
prasarana pendidikan yang berasal dari Sisa Lebih.

Sisa Lebih adalah selisih dari seluruh penerimaan yang merupakan objek
Pajak Penghasilan, selain penghasilan yang dikenakan Paiak Penghasilan
tersendiri, dikurangi pengeluaran untuk biaya operasional sehari-hari badan atau
lembaga nirlaba. Badan atau lembaga nirlaba wajib menyampaikan
pemberitahuan mengenai rencana fisik sederhana dan rencana biaya
pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan atau
penelitian dan pengembangan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat
wajib pajak terdaftar dengan tindasan kepada instansi yang membidanginya.

Pemberitahuan disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat


Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak diperolehnya sisa lebih
tersebut atau paling lama sebelum pembangunan dan pengadaan sarana dan
prasarana kegiatan pendidikan dan atau penelitian dan pengembangan dimulai,
dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut.
Apabila setelah lewat dari jangka waktu 4 (empat) tahun, badan atau lembaga
nirlaba tidak menggunakan atau terdapat sisa lebih yang tidak digunakan untuk
pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan atau
penelitian dan pengembangan dimaksud, maka sisa lebih tersebut diakui sebagai
penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan pada tahun pajak berikutnya.

Contoh Perhitungan Pajak Yayasan Rumah Sakit

Berikut ini PKP yayasan Rumah Sakit X pada tahun 2017 sebesar Rp.
2.606.800.000 dengan rincian sebagai berikut :

Penghasilan usaha pendidikan Rp 2.441.800.000

18
Hibah Rp 120.000.000

Bantuan / sumbangan Rp 30.000.000

Penghasilan bunga deposito Rp 15.000.000

Biaya- biaya yang dikeluarkan pada tahun 2017:

1. Biaya- biaya yang berhubungan dengan kegiatan mendapatkan, menagih,


dan memelihara penghasilan (pasal 6 ayat 1 dan SE -34/PJ.4/1995) Rp
1.989.000.000
2. Biaya bunga Rp 30.000.000

Berapa PPh yang terutang pada tahun 2017 ?

Perhitungan:

Total Penghasilan Usaha Rp 2.441.800.000

Penghasilan Bukan Objek Pajak

Hibah Rp 120.000.000

Bantuan atau sumbangan Rp 30.000.000 +

Total Penghasilan Bukan Objek Pajak (a) Rp 150.000.000

PKP Final Bunga Deposito (b) Rp 15.000.000 +

Total (a) + (b) Rp 165.000.000 -

Penghasilan Bruto Rp 2.276.800.000

Total Pengeluaran Rp 1.989.000.000

Biaya yang Tidak Dapat Dikurangkan:

Sumbangan Rp 30.000.000

Total Biaya yang Tidak Dapat Dikurangkan Rp 30.000.000 -

Biaya yang Boleh Dikurangkan Rp 1.989.000.000 -

Selisih Lebih/Kurang Rp 317.800.000

Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp 317.800.000

19
PPh terutang :

5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000

15% x Rp 250.000.000 = Rp 37.500.000

25% x Rp 17.800.000 = Rp 4.450.000

PPh yang terutang Rp 44.450.000

2.7. Manajemen Penutupan Usaha dan Strategi Perpajakan


Manajemen penutupan usaha dan strategi perpajakannya adalah situasi dan
kondisi dimana perusahaan mengalami kerugian beruntun karena kemunduran
kegiatan usaha atau karena omzet usaha yang menurun drastis. Semua simpul
kegiatan perusahaan terhenti atau macet, ditambah kondisi usaha yang terlilit
utang sehingga cash flow perusahaan harus merekayasa ulang strategi perusahaan
dengan melakukan berbagai usaha penyelamatan agar perusahan terhindar dari
kebangkrutan. Selain dengan melakukan rektrukturisasi keuangan (financial
reengineering) dengan mengonversikan utang menjadi modal, dan melakukan
penjadwalan ulang pembayaran utang, serta renegosiasi suku bunga pinjaman,
manajemen bisa melakukan upaya persuasif terhadap investor agar mau
menyuntik dana talangan (bridging fund) atau membeli atau mengakuisisi
perusahaan tersebut.

Bila usaha penyelamatan tersebut juga buntu, tidak ada pilihan lain selain
menutup usaha atau melikuidasi perusahaan. Keputusan melikuidasi perusahaan
merupakan pilihan terakhir yang harus diambil pengusaha karena tindakan
tersebut selain berdampak pada berhentinya pemasukan, perusahaan juga harus
menyelesaikan kewajiban terhadap pihak ketiga, termasuk kewajiban utang pajak
yang dilindungi undang-undang.

2.7.1. Penyelesaian Kewajiban Perpajakan


Negara mempunyai hak mendahului (hak preferensi) pembayaran utang pajak
atas barang-barang milik penanggung pajak yang akan dilelang. Pembayaran
kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi. Dalam hal Wajib

20
Pajak dinyatakan pailit, bubar atau dilikuidasi, maka kurator, likuidator, atau
orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan, dilarang
membagikan harta wajib pajak dalam pailit, pembubaran, atau likuidasi kepada
pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut
untuk membayar utang pajak wajib pajak tersebut (Pasal 21 Ayat 1 dan (3a) UU
KUP No. 28 Tahun 2007).
Saat penutupan usaha tidak bisa lagi dihindari oleh pengusaha, dan legalisasi
dari pihak yang berwenang seperti notaris dan pihak-pihak berwenang lainnya
telah didapatkan, maka penutupan usaha idealnya ditindaklanjuti dengan
pengajuan permohonan penghapusan NPWP dan penghapusan NPPKP (Nomor
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak). Hal ini disebabkan karena penghapusan
NPWP atau pencabutan NPPKP tidak dapat terjadi secara otomatis karena alasan
perusahaan tidak beroperasi lagi. NPWP tidak dapat dihapus bila wajib pajak
masih memiliki utang pajak.
Seringkali, Wajib pajak membiarkan kondisi tersebut menggantung walaupun
mereka khawatir juga bila perusahaan sewaktu-waktu di datangi orang pajak
untuk pemeriksaan. Sebaiknya penyelesaian masalah ini tidak ditunda-tunda,
karena penundaan tersebut hanya solusi semu, karena saat gilirannya tiba wajib
pajak akan semakin terpuruk dengan timbulnya akumulasi sanksi perpajakan.

2.7.2. Mengansur atau Menunda Pembayaran Pajak


Wajib pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajak dalam Surat Tagihan Pajak,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan
jumlah pajak terutang bertambah, serta Pajak Penghasilan Pasal 29, kepada
Direktur Jendral Pajak (Peraturan Mentri Keuangan No. 184/PMK.03/2010).

Tata cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak:

1. Permohonan harus diajukan paling lama 9 (sembilan) hari kerja


sebelum saat jatuh tempo pembayaran utang pajak terakhir,

21
dengan disertai alasan dan jumlah pembayaran yang dimohonkan
untuk diangsur atau ditunda.

2. Apabila batas waktu 9 (sembilan) hari kerja tidak dapat dipenuhi


oleh wajib pajak karena keadaan diluar kekuasaannya,
permohonan wajib pajak masih dapat dipertimbangkan oleh
Direktur Jenderal Pajak, sepanjang wajib pajak dapat
membuktikan kebenaran keadaan diluar kekuasaannya tersebut.
Selanjutnya:

a. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan atas


permohonan berupa menerima seluruhnya, menerima
sebagian, atau;

b. Menolak, paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal


diterimanya permohonan.

3. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Dirjen Pajak tidak
memberi suatu keputusan, maka permohonan wajib pajak
dianggap diterima.

4. Surat Keputusan yang menerima seluruhnya atau sebagian,


dengan jangka waktu masa angsuran atau penundaan tidak
melebihi 12 (dua belas) bulan dengan mempertimbangkan
kesulitan likuiditas atau keadaan di luar kekuasaan wajib pajak.
5. Terhadap utang pajak yang telah diterbitkan surat keputusannya,
sebagaimana dimaksud pada butir 1 dan 2 di atas tidak dapat lagi
diajukan permohonannya untuk mengangsur atau menunda
pembayaran.

Kepastian hukum tentang penghapusan NPWP dan pencabutan


NPPKP diatur dalam Undang-Undang Perpajakan karena penutupan

22
perusahaan merupakan suatu hal yang diperkenankan oleh ketentuan
perpajakan, khususnya Pasal 2 ayat (6) Tahun 1983 yang telah dirubah
terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2009 tentang KUP, Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 20/PMK.03/2008 dan Keputusan Dirjen Pajak No.
161/PJ/2001 Jo PER 160/PJ./2007.

2.7.3. Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

1. Diajukan permohonan penghapusan NPWP antara lain oleh:

a. Wajib pajak dan atau ahli warisnya karena wajib pajak sudah
tidak memenuhi persyaratan subjektif dan atau objektif sesuai
dengan ketentuan undang-undang perpajakan.

b. Wajib pajak badan dalam rangka likuid pembubaran karena


penghentian atau penggabungan usaha.

c. Wajib pajak bentuk usaha tetap yang menghentikan kegiatan


usahanya di Indonesia.

2. Dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan


NPWP dari wajib pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan
subjektif dan atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.

2.7.3.1. Keputusan Dirjen Pajak Atas Permohonan Penghapusan NPWP


1. Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, harus memberikan
keputusan atas permohonan penghapusan NPWP dalam jangka waktu 6 (enam)
bulan untuk wajib pajak orang pribadi dan 12 (dua belas) bulan untuk wajib
pajak badan, sejak tanggal permohonan wajib pajak diterima secara lengkap.
2. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak
memberikan suatu keputusan, permohonan penghapusan NPWP dianggap
dikabulkan.

23
3. Dalam permohonan wajib pajak dianggap dikabulkan, Direktur Jenderal Pajak
harus menerbitkan surat keputusan penghapusan NPWP dalam rangka waktu
paling lama 1 (satu) bulan setelah itu.

2.7.3.2. Tata Cara Penghapusan NPWP

1. Wajib pajak mengajukan Permohonan Penghapusan NPWP secara tertulis


dengan menggunakan formulir yang telah ditentukan. Pemohonan ditunjukan
ke KPP (Kantor Pelayan Pajak Pratama) dimana wajib pajak telah terdaftar.
2. Permohonan tersebut harus dilampiri dengan dokumen pendukung
penghapusan NPWP, diantaranya:
a. RUPS pembubaran perusahaan khusus untuk wajib pajak badan atau paling
tidak surat keputusan pembubaran dari pemilik usaha.
b. SPT (Surat Pemberitahuan) PPh Tahun Pajak terakhir yang belum
disampaikan.
c. Jenis-jenis dokumen yang harus dilampirkan pada permohonan
penghapusan NPWP, ini tergantung kebijakan dan masing-masing Kantor
Pelyanan Pajak.

3. Permohonan penghapusan NPWP yang telah dilengkapi dengan dokumen


pendukung yang telah ditentukan (antara lain Negara Likuidasi Perusahaan)
akan ditindaklanjuti dengan suatu pemeriksaan pajak.

4. Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak permohonan dari wajib pajak orang
pribadi diterima dengan lengkap, Dirjen Pajak harus memberikan waktu
pemberian keputusannya 6 (enam) bulan atau dengan kata lain mencapai 12
(dua belas) bulan.

5. Dalam hal Dirjen Pajak tidak memberikan keputusan dalam jangka waktu
yang telah ditentukan, maka permohonan penghapusan NPWP dianggap
dikabulkan. Kemudian dalam waktu 1 (satu) bulan setelah jangka waktu

24
pemberian keputusan terakhir, Dirjen Pajak harus menerbitkan surat
keputusan penghapusan NPWP.

2.7.3.3. Penghapusan NPWP dalam Keadaan Khusus


Penghapusan NPWP dalam kondisi utang pajak belum dilunasi hanya
dapat terjadi jika berdasarkan pemeriksaan diketahui bahwa:

1. Utang pajak tidak dapat ditagih lagi kepada wajib pajak karena
sudah tidak adanya harta kekayaan.

2. Wajib pajak meninggal dunia dengan tidak meninggalkan


warisan dan tidak mempunyai ahli waris tidak dapat ditentukan.

3. Hak Negara untuk melakukan penagihan sudah kadaluwarsa.

2.7.3.4. NPWP Tidak Dapat Dihapuskan


NPWP tidak dapat dihapuskan jika hasil pemeriksaan
menginformasikan bahwa wajib pajak masih memiliki utang pajak dan negara
masih berhak menagih.

2.7.3.5. Pencabutan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP)


Pencabutan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP)

Terdapat 2 (dua) cara pencabutan NPPKP:

1. Pencabutan NPPKP berdasarkan permohonan wajib pajak.


2. Pencabutan NPPKP dapat dilakukan secara jabatan oleh Dirjen Pajak.

Tata cara pencabutan NPPKP:

1. Wajib pajak mengajukan permohonan pencabutan NPPKP secara tertulis


dengan menggunakan formulir yang telah ditentukan oleh KPP setempat, yang
selanjutnya akan ditindaklanjuti dengan pemeriksaan pajak.

25
2. Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara
lengkap, Dirjen Pajak harus memberikan keputusan.

3. Bila jangka waktu untuk memberikan keputusan telah lewat, maka pencabutan
NPPKP dianggap dikabulkan.

4. Surat keputusan mengenai Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak


harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka
waktu pemberian keputusan berakhir.
Penghapusan NPWP atau pencabutan NPPKP tidak menghilangkan kewajiban
perpajakan.

2.7.3.6. Keputusan Dirjen Pajak Atas Permohonan Pencabutan


Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak

1. Direktur Jenderal Pajak, karena jabatan atau atas permohonan wajib pajak
dapat melakukan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
2. Atas permohonan wajib pajak untuk melakukan Pencabutan Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak, Direktut Jenderal Pajak setelah melakukan
pemeriksaan harus memberikan keputusan dalam jangka waktu 6 (enam)
bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
3. Apabila jangka waktu telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak
member keputusan, maka permohonan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak dianggap dikabulkan dan surat keputusan mengenai Pencabutan
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak harus diterbitkan dalam jangka waktu paling
lama 1 (satu) bulan setelah itu

2.7.4. Penghentian Kegiatan Operasional dan Status DORMANT


Cara lain pembubaran perusahaan adalah dengan tidak langsung
melikuidasinya, melainkan dengan tahapan penghentian kegiatan operasional
usaha dan menkondisikan perusahaan menjadi perusahaan yang tidur dan
tidak aktif (dormant). Hal ini dapat dilakukan jika perusahaan masih berharap
akan mendapatkan proyek baru. Setelah itu jika perusahaan memang nantinya

26
benar-benar akan menutup usahanya, maka berangsur-angsur persyaratan
legal pembubaran perusahaan dilakukan.

Dalam rangka efisiensi usaha, pada masa dormant perusahaan dapat


memangkas biaya-biaya operasional, seperti menurunkan biaya gaji pegawai
dengan mem-PHK-kan sebagian karyawannya (dengan mempertahankan
beberapa person incharge yang menangani kewajiban perpajakan),
menurunkan biaya sewa gedung dengan cara memindahkan sementara lokasi
usaha ke tempat yang lebih murah, dan sebagainya. Yang perlu diperhatikan
adalah bahwa selama masa dormant perusahaan tetap harus melaksanakan
kewajiban perpajakan, baik masa maupun tahunan (meskipun nihil), karena
kewajiban pajak subjektifnya belum berakhir.

Dengan cara dormant, pemeriksaan pajak terkait dengan permohonan


penghapusan NPWP/NPPKP perusahaan cenderung dapat dikelola dengan
baik, mengingat dalam kondisi dormant, tidak banyak kewajiban yang
dilakukan oleh perusahaan sehingga tax exposure dapat ditekan seminimal
mungkin. Dalam kasus-kasus tertentu, masa dormant dapat diterapkan selama
masa kadaluwarsa penetapan pajak (berdasarkan UU KUP yang sekarang
berlaku adalah 5 tahun) untuk mengatasi tax exposure temuan pemeriksaan
pajak yang massif apabila pihak otoritas perpajakan memeriksa keseluruhan
tahun yang masih terbuka (all open years) untuk pemeriksaan.

Sebagai contoh, apabila pada tahun 2017 suatu perusahaan ingin


melakukan penutupan usaha, maka ketika perusahaan tersebut mengajukan
penghapusan NPWP dan NPPKP, konsekuensinya adalah pemeriksaan oleh
pemeriksa pajak. Tahun yang masih terbuka untuk pemeriksaan pajak adalah
tahun 2013 s.d. 2017. Jika perusahaan merasa bahwa dokumen-dokumen
tahun 2013 sudah tidak lengkap karena sebagian sudah hilang sehingga
dikhawatirkan akan menimbulkan tax exposure yang tinggi, maka perusahaan
dapat menunda penutupan usaha sampai tahun 2018 dengan cara menjadikan
perusahaan dormant. Maka ketika perusahaan diperiksa pada tahun 2018,
maka pemeriksa pajak sudah tidak bisa memeriksa untuk tahun 2013.

27
Jikapun ada temuan, dipastikan jumlahnya tidak material karena
secara subtantif perusahaan tidak lagi memiliki kegiatan operasional usaha
dan mungkin telah tidak lagi memiliki pegawai sehingga kemungkinan risiko
pajak yang ditemukan hanya berupa keterlambatan lapor SPT saja.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU KUP yang berlaku, di mana apabila SPT
tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian SPT sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), maka dikenai sanksi administrasi berupa
denda sebesar:

 Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk SPT Masa PPN ;


 Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Masa lainnya (seperti PPh
Pasal 4(2), 15 21/26,dan 23/26);
 Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak Badan; dan
 Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan
Orang Pribadi.
Pada dasarnya, perusahaan dengan status dormant dapat terbebas dari
pengenaan sanksi poin a sampai dengan c karena dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e
UU KUP disebutkan bahwa, “pengenaan sanksi administrasi berupa denda
sebagaimana disebutkan di atas tidak dilakukan terhadap Wajib Pajak badan
yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum dibubarkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku”.

Ketentuan tersebut juga diperkuat oleh Pasal 17 ayat (2) huruf e PMK
Nomor 243 Tahun 2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT) di mana bunyinya
persis sama dengan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU KUP. Akan tetapi, kenyataan
di lapangan justru berbicara lain. Pada kebanyakan kasus, pemeriksaan pajak
untuk penghapusan NPWP, Surat Tagihan Pajak (STP) untuk menagih denda
tersebut seringkali diterbitkan. Atas penerbitan STP tersebut, perusahaan
dapat mengajukan permohonan untuk membatalkan STP sesuai dengan
Pasal 36 ayat (1) huruf c UU KUP, tetapi sebaiknya perlu ada analisis dari

28
perusahaan terkait perbandingan biaya antara menerima STP dan mengajukan
permohonan pembatalan STP. Bisa jadi karena jumlahnya yang kurang
signifikan, banyak perusahaan menerima STP tersebut atau dengan kata lain
tidak keberatan untuk melunasi denda tersebut agar penghapusan
NPWP/NPPKP perusahaan dapat berjalan lancer.

2.7.5. Aspek Akuntansi dan Perpajakan Lain Atas Pembayaran Perusahaan


Perlu diperhatikan pula bahwa dalam kedua kondisi pembubaran
perusahaan, beberapa aspek akuntansi dan perpajakan yang tidak dapat
dihindari dan harus dikelola dengan baik, diantaranya adalah:

1. Pemutusan hubungan kerja (PHK) manajemen dan karyawan yang berakibat


pembayarannpesangon tetap merupakan obyek pemotongan PPh Pasal 21;
2. Pembubaran perusahaan mungkin berakibat terhapusnya piutang perusahaan
kepada pihak debitur (baik sebagian atau keseluruhan) dan sebaliknya
mungkin sebagian atau seluruh utang perusahaan kepada pihak kreditur juga
terhapus;
3. Mungkin terjadi pengalihan kontrak (novasi) yang berpotensi menyebabkan
pengalihan utang-piutang; atau
4. Dimungkinkan pengembalian sejumlah dana kepada pemegang saham baik
yang besarannya lebih kecil, sama dengan, atau lebih besar dari nilai
penyertaannya dulu kepada perusahaan; dan
5. Kerumitan pelaksanaan kewajiban perpajakan khususnya atas pemotongan
PPh dan PPN atas pembayaran jasa professional terkait dengan asistensi
pembubaran perusahaan , seperti imbalan jasa untuk notaris, legal counsel,
likuidator, konsultan hukum dan pajak, sementara perusahaan telah
dibubarkan.

29
30
BAB III
KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan
Bisnis dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk. Pembagian atas tiga bentuk
Badan Usaha tersebut bersumber dari Undang – Undang 1945 khususnya pasal 33.
Di Indonesia kita mengenal 3 macam bentuk badan yaitu Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), Koperasi dan Swasta. Bentuk badan usaha swasta dapat dibagi ke dalam
beberapa macam : Perseorangan, Firma, Perserikatan Komanditer (CV), Perseroan
Terbatas (PT), Yayasan.
Pilihan bentuk badan usaha yang tersedia secara umum adalah bentuk Perseroan
Terbatas (PT), Perseroan Komanditer (CV) atau Perorangan (Pribadi).
Secara umum, total beban pajak PT akan selalu lebih besar dari CV, karena
adanya tambahan PPh pasal 23 yang harus dipotong dari dividen yang dibayarkan
oleh PT, sedangkan pembagian hasil untuk CV tidak dikenakan pajak (bukan obyek
pajak). Sedangkan perbedaan besarnya total beban pajak yang dibayar oleh usaha
perorangan dan PT/CV tergantung pada besarnya penghasilan kena pajak (laba).

3.2. Saran
Pajak bukanlah satu – satunya alasan dalam pemilihan bentuk usaha, namun
pemilihan bentuk usaha yang tepat dapat memberikan penghematan pajak. Sehingga
dalam melakukan penghematan tersebut bisa dengan cara perencanaan pajak agar
kewajiban perpajakan dapat dilakukan oleh wajib pajak dengan baik.

31
DAFTAR PUSTAKA

Pohan, C. A. (2016). Manajemen Perpajakan. PT Gramedia Pustaka Utama.

Zain, M. (2003). Manajemen Perpajakan. Salemba Empat.

32

Anda mungkin juga menyukai