Anda di halaman 1dari 13

AKUNTANSI MANAJEMEN LANJUTAN

“Triple Bottom Accounting”

Disusun Oleh :

Nama : Niken Ayuningrum


NIM : 0104481719001
Kelas : PPAK Weekend
Dosen : Emylia Yuniarti, SE.,M.Si.,Ak.,CA

PROGRAM PROFESI AKUNTANSI


UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN 2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Perusahaan dalam menjalankan operasional usahanya di tengah-tengah lingkungan


bisnis saat ini telah mengalami pergeseran paradigma dalam pencapaian tujuannya. Dalam
perspektif yang masih konvensional, orientasi pada laba merupakan ukuran mutlak atas
kinerja perusahaan, sehingga tentunya tingkat profitabilitas yang tinggi merupakan ukuran
keberhasilan perusahaan tersebut. Sementara dalam perspektif yang lebih modern, tujuan
perusahaan mengalami perluasan, selain mengupayakan laba maksimal, perusahaan juga
harus memperhatikan kesejahteraan sosial dan lingkungannya. Komponen- komponen
tersebut harus dipandang sebagai suatu keseluruhan bukan pencapaian parsial dari salah
satu komponen saja.

Triple bottom line (3BL) muncul sebagai konseptualisasi yang populer sebagai alat
pelaporan untuk mengartikulasikan kinerja sosial, lingkungan, dan ekonomi perusahaan.
Konsep ini memiliki perhatian yang signifikan sehubungan dengan keberhasilan dan
kecukupannya sebagai alat untuk melaporkan sejauh mana sebuah organisasi telah
memenuhi tanggung jawab sosialnya. Sebenarnya, pendekatan ini telah banyak digunakan
sejak awal tahun 2007 di Indonesia seiring perkembangan pendekatan full cost accounting
yang banyak digunakan oleh perusahaan sektor publik. Pada perusahaan sektor swasta,
salah satu bentuk TBL diterapkan dalam penerapan tanggung jawab sosial (Corporate
Social Responsibility/CSR).
Konsep TBL mengimplikasikan bahwa perusahaan harus lebih mengutamakan
kepentingan stakeholder (semua pihak yang terlibat dan terkena dampak dari kegiatan
yang dilakukan perusahaan) daripada kepentingan shareholder (pemegang saham).
Kepentingan stakeholder ini dapat dirangkum menjadi tiga bagian yaitu kepentingan
dari sisi keberlangsungan laba (Profit), sisi keberlangsungan masyarakat (People), dan
sisi keberlangsungan lingkungan hidup (Planet).
Dalam mempertahankan keberlangsungan suatu perusahaan tidak cukup hanya dengan
mengejar profit saja, ini dibuktikan dengan adanya fenomena-fenomena di sekitar kita, dimana
beberapa perusahaan-perusahaan terkemukan diindikasikan melakukan perusakan hutan tropis
yang membahayakan kehidupan satwa, lalu pembakaran hutan oleh perusahaan di sumatera
dan kalimantan akhir-akhir ini, dan banyak fenomena lainnya. Ini mengimplikasikan bahwa
apabila perusahaan terfokus pada kesehatan keuangan saja, maka tidak akan menjamin
perusahaan bisa tumbuh secara berkelanjutan. Keberlanjutan perusahaan akan terjamin apabila
perusahaan memperhatikan dimensi terkait lainnya, termasuk dimensi sosial lingkungan.
Oleh karena itu, perusahaan kini tidak cukup dengan hanya memperhatikan kepentingan
shareholder tetapi juga harus memperhatikan kepentingan stakeholder, sehingga
pengungkapan informasi pada perusahaan tidak hanya dengan informasi keuangan perusahaan
saja, tetapi juga mengungkapkan informasi tentang tanggung jawab perusahaan terhadap sosial
dan lingkungan

1.2 Rumusan Masalah


Penulis telah menyusun beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai
batasan dalam pembahasan. Beberapa masalah tersebut antara lain:
1. Bagaimana Konsep dari Triple Bottom Line?
2. Bagaimana PenerapanTriple Bottom Line di Indonesia?
3. Faktor-Faktor apa saja yang mempengaruhi Triple Bottom Line ?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan dalam penulisan makalah ini sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui konsep dari Triple Bottom line
2. Untuk mengetahui Penerapan Triple Bottom Line di Indonesia
3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi Triple Bottom Line

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Triple Bottom Line
John Elkington pada tahun 1998 dalam (Wibisono 2007) melalui bukunya “Cannibals with
Fork, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business”. Elkington mengembangkan
konsep triple bottom line dalam istilah economic prosperity, environmental quality dan social
justice. Elkington memberikan pandangan bahwa perusahaan yang ingin berkelanjutan, harus
memperhatikan “3P”. Selain mengejar profit, perusahaan juga mesti memperhatikan dan
terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam
menjaga kelestarian lingkungan (planet). Hubungan ini kemudian diilustrasikan dalam bentuk
segi tiga sebagai berikut:
Sosial
(people)

Lingkungan Ekonomi
(planet) (profit)

Dalam gagasan tersebut, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang
berpijak pada single bottom line, yaitu aspek ekonomi yang direfleksikan dalam kondisi
financial-nya saja, namun juga harus memperhatikan aspek sosial dan lingkungan
(Wibisono 2007:33).
Hubungan yang ideal antara profit (keuntungan), people (masyarakat) dan planet
(lingkungan) adalah seimbang, tidak bisa mementingkan satu elemen saja. Konsep 3P ini
menurut Elkington dapat menjamin keberlangsungan bisnis perusahaan. Hal ini dapat
dibenarkan, sebab jika suatu perusahaan hanya mengejar keuntungan semata, bisa jadi
lingkungan yang rusak dan masyarakat yang terabaikan menjadi hambatan kelangsungan
bisnisnya. Beberapa perusahaan bahkan menjadi terganggu aktivitasnya karena tidak
mampu menjaga keseimbangan 3P ini. Jika muncul gangguan dari masyarakat maka yang
rugi adalah bisnisnya sendiri (Prastowo dan Huda 2011:27).
CSR menjadi hal penting penting dalam menjamin kelangsungan hidup dunia usaha
saat ini. Adapun manfaat dan motivasi yang didapat perusahaan dengan melakukan tanggung
jawab sosial perusahaan menurut Ambadar (2008) meliputi: (1) perusahaan terhindar dari
reputasi negatif perusak lingkungan yang hanya mengejar keuntungan jangka pendek tanpa
memperdulikan akibat dari perilaku buruk perusahaan, (2) kerangka kerja etis yang kokoh
dapat membantu para manajer dan karyawan menghadapi masalah seperti permintaan lapangan
kerja di lingkungan dimana perusahaan bekerja, (3) perusahaan mendapat rasa hormat dari
kelompok inti masyarakat yang membutuhkan keberadaan perusahaan khususnya dalam hal
penyediaan lapangan pekerjaan, (4) perilaku etis perusahaan aman dari gangguan lingkungan
sekitar sehingga dapat beroperasi secara lancar.
Berdasarkan pendapat di atas, pelaksanaan CSR menjadi suatu keharusan bagi
perusahaan dalam mendukung aktivitas dunia usahanya, bukan hanya sekedar pelaksanaan
tanggung jawab tetapi menjadi suatu kewajiban bagi dunia usaha. Dalam megimplemetasikan
CSR, oreantasi perusahaan bukan hanya pada pencapaian laba maksimal tetapi juga menjadi
suatu organisasi pembelajaran, dimana setiap individu yang terlibat di dalamnya memiliki
kesadaran sosial dan rasa memiliki tidak hanya pada lingkungan organisasi melainkan juga
pada lingkungan sosial dimana perusahaan berada. Meskipun kegiatan tampak sederhana dan
cakupan masalah sempit tetapi memiliki dampak positif yang sangat besar bagi masyarakat
sekitar perusahaan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa untuk meraih sustainability, perusahaan
perlu peduli terhadap lingkungan alam sekitar (natural environment), hak-hak pegawai,
perlindungan konsumen, corporate governance, dan pengaruh perilaku bisnis terhadap isu-isu
sosial pada umumnya seperti kekurangan pangan, kemiskinan, pendidikan, perawatan
kesehatan, HAM, yang semuanya dihubungkan dengan profit.

2.2 Penerapan Triple Bottom di Indonesia


Perusahaan tidak bisa begitu saja mengabaikan peranan stakeholders (konsumen, pekerja,
masyarakat, pemerintah, dan mitra bisnis) dan shareholders dengan hanya mengejar profit
semata. Jika perusahaan mengabaikan keseimbangan Triple Bottom Line maka akan terjadi
gangguan pada manusia dan lingkungan sekitar perusahaan yang dapat menimbulkan reaksi
seperti demo masyarakat sekitar atau kerusakan lingkungan sekitar akibat aktifitas perusahaan
yang mengabaikan keseimbangan tersebut.
Jadi, ada atau tidaknya sebuah peraturan yang mewajibkan sebuah perusahaan yang
menjalankan program tanggung jawab sosial atau tidak sebenarnya tidak akan terlalu
membawa perubahan karena jika perusahaan tidak menjaga keseimbangan antara people,
profit, dan planet maka cepat atau lambat pasti akan timbul reaksi dari pihak yang dirugikan
kepada perusahaan tersebut.
Banyak cara bisa dilakukan perusahaan untuk menerapkan program tanggung jawab sosial dan
tetap menjaga keseimbangan Triple Bottom Line. Beberapa contoh perusahaan yang telah
menerapkan program program tanggung jawab sosial antara lain :

1. PT Freeport Indonesia mengklaim telah menyediakan layanan medis bagi masyarakat


Papua melalui klinik-klinik kesehatan dan rumah sakit modern di Banti dan Timika. Di
bidang pendidikan, PT Freeport menyediakan bantuan dana pendidikan untuk pelajar
Papua, dan bekerja sama dengan pihak pemerintah Mimika melakukan peremajaan gedung-
gedung dan sarana sekolah. Selain itu, perusahaan ini juga melakukan program
pengembangan wirausaha seperti di Komoro dan Timika.

2. Melalui Program Kemitraan dan Bina Lingkungan, Pertamina terlibat dalam aktivitas
pemberdayaan ekonomi dan sosial masyarakat, terutama di bidang pendidikan, kesehatan
dan lingkungan. Pada aspek pendidikan, BUMN ini menyediakan beasiswa pelajar mulai
dari tingkatan sekolah dasar hingga S2, maupun program pembangunan rumah baca,
bantuan peralatan atau fasilitas belajar. Sementara di bidang kesehatan Pertamina
menyelanggarakan program pembinaan posyandu, peningkatan gizi anak dan ibu,
pembuatan buku panduan untuk ibu hamil dan menyusui dan berbagai pelatihan guna
menunjang kesehatan masyarakat. Sedangkan yang terkait dengan persoalan lingkungan,
Pertamina melakukan program kali bersih dan penghijauan seperti pada DAS Ciliwung dan
konservasi hutan di Sangatta.

3. PT HM Sampoerna, salah satu perusahaan rokok besar di negeri ini juga menyediakan
beasiswa bagi pelajar SD, SMP, SMA maupun mahasiswa. Selain kepada anak-anak
pekerja PT HM Sampoerna, beasiswa tersebut juga diberikan kepada masyarakat umum.
Selain itu,melalui program bimbingan anak Sampoerna, perusahaan ini terlibat sebagai
sponsor kegiatan-kegiatan konservasi dan pendidikan lingkungan.

4. PT Coca Cola Bottling Indonesia melalui Coca Cola Foundation melakukan serangkaian
aktivitas yang terfokus pada bidang-bidang: pendidikan, lingkungan, bantuan infrastruktur
masyarakat, kebudayaan, kepemudaan, kesehatan, pengembangan UKM, juga pemberian
bantuan bagi korban bencana alam.
5. PT Bank Central Asia, Tbk berkolaborasi dengan PT Microsoft Indonesia
menyelenggarakan pelatihan IT bagi para guru SMP dan SMA negeri di Tanggamus,
Lampung. Pelatihan ini sebagai pelengkap dari pemberian bantuan pendirian laboratorium
komputer untuk beberapa SMP dan SMA di Gading Rejo, Tanggamus yang merupakan
bagian dari kegiatan dalam program Bakti BCA.

6. Nokia Mobile Phone Indonesia telah memulai program pengembangan masyarakat yang
terfokus pada lingkungan dan pendidikan anak-anak perihal konservasi alam. Perusahaan
ini berupaya meningkatkan kesadaran sekaligus melibatkan kaum muda dalam proyek
perlindungan orangutan, salah satu fauna asli Indonesia yang dewasa ini terancam punah.

7. PT Timah, dalam rangka melaksanakan tanggung jawab sosialnya menyebutkan bahwa ia


telah menyelenggarakan program-program yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat lokal. Perusahaan ini menyatakan bahwa banyak dari program tersebut yang
terbilang sukses dalam menjawab aspirasi masyarakat diantaranya berupa pembiakan ikan
air tawar, budidaya rumput laut dan pendampingan bagi produsen garmen.

8. Astra Group, melalui Yayasan Dharma Bhakti Astra menyebutkan bahwa mereka telah
melakukan program pemberdayaan UKM melalui peningkatan kompetensi dan kapasitas
produsen. Termasuk di dalam program ini adalah pelatihan manajemen, studi banding,
magang, dan bantuan teknis. Di luar itu, grup Astra juga mendirikan Yayasan Toyota dan
Astra yang memberikan bantuan pendidikan. Yayasan ini kemudian mengembangkan
beberapa program seperti: pemberian beasiswa, dana riset, mensponsori kegiatan ilmiah
universitas, penerjemahan dan donasi buku-buku teknik, program magang dan pelatihan
kewirausahaan di bidang otomotif.

9. PT Pamapersada Nusantara (PAMA) sebagai salah satu anak perusahaan Astra Group yang
bergerak di bidang jasa kontraktor pertambangan, sangat focus menjalankan program
community development di seluruh wilayah operasi. Program unggulan yang dijalankan
adalah program pengembangan dan peningkatan ekonomi masyarakat atau lebih dikenal
Income Generating Activity (IGA) dengan melakukan pembinaan pada koperasi dan
UMKM melalui LPB Pama Mitra Daya (PAMIDA), LPB Adaro-PAMA. Kemudian di
bidang pengembangan pendidikan fokus pada program pustaka keliling, peningkatan
kompetensi tenaga pengajar, pembangunan sekolah unggulan SD-SMA Hasbunallah
Kalsel, beasiswa, magang operator dan mekanik alat-alat berat.

Contoh diatas hanya merupakan sebagian kecil dari sedikit perusahaan di Indonesia yang
telah menerapkan program program tanggung jawab sosial.

2.3 Faktor yang mempengaruhi pengugkapan Triple Bottom Line


TBL dapat dipengaruhi oleh leverage, profitabilitas, likuiditas, dan jenis industri, kemudian
TBL juga dapat dipengaruhi oleh struktur kepemilikan perusahaan. Adapun penjelasan lebih
lanjut mengenai hal tersebut adalah sebagai berikut ini :
1. Leverage dan Pengungkapan Triple Bottom Line.
Bahwa perusahaan yang mempunyai leverage yang tinggi beresiko memiliki biaya
monitoring yang tinggi pula. Sehingga manajemen secara konsisten mengungkapkan
untuk tujuan monitoring agar memastikan kepada kreditor kemampuan untuk
membayar. Hal ini dilakukan untuk mengurangi biaya agensi. Jika perusahaan
mempunyai tingkat utang yang tinggi, maka kemampuan perusahaan untuk melakukan
kegiatan dalam rangka penungkapan triple bottom line menjadi sulit. Oleh karena itu,
perusahaan yang memiliki tingkat leverage yang tinggi cenderung untuk menurunkan
pelaporan pengungkapan triple bottom line. Faktor tingkat leverage berpengaruh
negatif terhadap pengungkapan tanggungjawab sosial.

2. Profitabilitas dan Pengungkapan Triple Bottom Line.


Tujuan utama perusahaan adalah untuk meningkatkan nilai perusahaan, sehingga
perusahaan dapat bertahan selama-lamanya. Sehingga besar kecilnya suatu perusahaan
itu dinilai dari profit yang dihasilkan. Sebagai bentuk pertanggung jawaban dari agen
yang memegang kendali pada perusahaan maka perusahaan pasti melakukan
pengungkapan ekonomi, sosial dan lingkungan serta pelaporannya. Investor
menangkap setiap informasi yang disampaikan dapat membandingkan kegiatan dan
pengungkapan triple bottom line yang sudah dilakukan oleh perusahaan dengan profit
yang dimilikinya. Konsep legitimasi juga menghubungkan antara laba yang dihasilkan
perusahaan dengan pengungkapan triple bottom line. Jika perusahaan memiliki laba
yang tinggi, manajemen juga harus memberikan akstifitas sosial dan lingkungannya
sebagai perwujudan kontrak sosial yang terjadi dalam interaksi dimasyarakat.
3. Likuiditas`dan Pengungkapan Triple Bottom Line.
Likuiditas perusahaan adalah faktor utama penting bagi pengungkapan yang dilakukan
perusahaan, karena investor, kreditor dan pemangku kepentingan lainnya sangat
memperhatikan status going concern perusahaan. Sesuai konsep agensi, manajer
perusahaan sebagai agen berusaha untuk memenuhi kepentingan para investor
(prinsipal) antara lain dengan meningkatkan nilai perusahaan dan menjaga
kelangsungan operasi perusahaan dengan menjaga likuiditasnya agar perusahaan dapat
bertahan lama. Perusahaan dengan tingkat likuiditas yang tinggi selalu menciptakan
nilai berupa image positif terhadap prinsipalnya. Oleh karena itu, perusahaan berusaha
untuk memperluas pegungkapkan seluruh informasi tentang perusahaan, terutama
tentang triple bottom line. Perusahaan sangat likuid mungkin memiliki insentif yang
kuat untuk memberikan rincian lebih lanjut dalam pengungkapan perusahaan mereka
tentang kemampuan mereka untuk memenuhi kewajiban jangka pendek keuangan.
Sehingga semakin tinggi tingkat likuiditasnya maka semakin luas pula pengungkapan
triple bottom line perusahaan.

4. Jenis Industri dan Pengungkapan Triple Bottom Line.


Perusahaan pada jenis industri yang sejenis mempengaruhi penuh kebijakan
pengungkapan informasi dan informasi yang disampaikan cenderung serupa, baik isi
dan pengungkapannya. Jenis industri dikategorikan berdasarkan low profile dan high
profile. Perusahaan dengan kategori high profile berusaha memberikan pengungkapan
informasi yang cenderung lebih luas.

5. Kepemilikan Asing dan Pengungkapan Triple Bottom Line.


Hubungan pengungkapan triple bottom line di Indonesia dengan kepemilikan asing
adalah untuk menjamin bagaimana kepercayaan yang diberikan oleh prinsipal yaitu
investor asing dipertanggungjawabkan oleh maanajemen yang bersangkutan.

6. Kepemilikan manajemen dan Pengungkapan Triple Bottom Line.


Semakin tinggi tingkat kepemilikan manajemen, semakin tinggi pula untuk melakukan
program tanggung jawab sosial perusahaan. Kepemilikan manajemen dapat
berpengaruh terhadap pengeluaran program tanggungjawab sosial dengan tujuan
meningkatkan nilai perusahaan. Akan Tetapi, pada suatu titik yang mana mengurangi
nilai perusahaan dan batasan yang telah dicapai ditemukan hubungan negatif. Hal ini
berhubungan dengan kepemilikan saham perusahaan. Hal ini dapat berbeda jika
prinsipalnya adalah orang-orang yang duduk dalam manajemen perusahaan itu sendiri.
Bila dihubungkan dengan konsep agensi, jadi prinsipal dan agen menjadi satu pihak
yang tidak terpisahkan. Sehingga manajemen cenderung untuk berbuat semaunya
sendiri. Oleh karena itu, luas pengungkapan triple bottom line pasti rendah. Informasi
pengungkapan yang disampaikan juga berbeda bila penerima informasi bukan orang
yang menyampaikan informasi tersebut.

7. Kepemilikan Institusional dan Pengungkapan Triple Bottom Line.


Persentase saham institusional menyebabkan tingkat monitor lebih efektif. Oleh karena
itu, semakin tinggi kepemilikan institusi, maka untuk program tanggungjawab sosial
dan lingkungan semakin luas. Monitor yang ketat yang dilakukan oleh prinsipal dalam
hal ini dilakukan untuk meminimalkan biaya agensi yang terjadi. Sehingga
pengungkapan triple bottom line menjadi lebih luas. Investor konstitusional memiliki
kekuatan dan pengalaman serta bertanggungjawab dalam menerapkan konsep good
corporate governance untuk mengkomodasi hak dan kepentingan seluruh pemegang
saham sehingga mereka menuntut perusahaan melakukan komunikasi secara transparan
oleh manajemen. Oleh karena itu, kepemilikan institusional dapat meningkatkan
kualitas dan kuantitas pengungkapan triple bottom line. Hal ini berarti kepemilikan
institusional dapat mendorong perusahaan untuk meningkatkan pengungkapan triple
bottom line.

8. Ukuran dewan komisaris dan Pengungkapan Triple Bottom Line.


Berdasarkan konsep teori legitimasi, adanya direktur independen dalam komposisi
dewan perusahaan dapat memperkuat pandangan publik terhadap legitimasi
perusahaan. Masyarakat menganggap dan menilai tinggi suatu perusahaan jika
memiliki independen direktur yang seimbang atau banyak dalam dewan perusahaan,
karena kondisi seperti ini menandakan lebih efektifnya pengawasan dalam aktivitas
managemen perusahaan.
Berbeda hal nya menurut teori agensi yang menjelaskan bahwa dewan komisaris
bertugas melakukan mekanisme untuk mengatasi masalah keagenan yang muncul dari
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manajemen selaku agen. Karena mungkin
fungsi pengawasan dan pemonitoran dewan komisaris sangat efektif dilakukan.

9. Ukuran komite audit dan Pengungkapan Triple Bottom Line.


Dalam pelaksanaan good corporate governance banyak aspek yang dapat dilakukan
oleh manajemen sebagai pelaku utama dalam melakukan mekanisme perusahaan. Salah
satu aspek dari pelaksanaan good corporate governance adalah pembentukan komite
audit. Komite audit sebagai wakil dari dewan komisaris yang langsung mengawasi
operasi perusahaan, sehingga shareholder dalam hal ini diwakili oleh dewan komisaris
menjadi lebih mudah dalam mengontrol manajemen. Sehingga biaya agensi yang
ditimbulkan oleh adanya moral hazard lebih dapat diminimalkan.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. TBL merupakan konsep yang berkembang seiring dengan isu keberlangsungan atau
sustainability. Perusahaan kini dituntut untuk tidak hanya memperhatikan
kepentingan shareholder namun stakeholder yang merupakan semua pihak yang
terkena dampak dari kegiatan yang dilakukan perusahaan. Kepentingan ini dapat
dirangkum ke dalam tiga pilar yang disebut TBL. Tiga pilar ini terdiri dari Profit,
People, dan Planet. Masing-masing komponen dalam TBL tidaklah berdiri sendiri-
sendiri, namun saling mendukung satu sama lain.
2. TBL merupakan konsep yang dinamis sehingga diperlukan pemantauan secara rutin
agar perusahaan dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi seiring
dengan perkembangan waktu dan kondisi lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA
Felisia dan Amelia Limijaya.2014. Triple Bottom Line dan Suistainability. Jurnal Bina
Ekonomi Volume 18, Nomor 1. Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan
Indonesia. Diakses Pada Tanggan 30 Maret 2018.
Elkington, J 1998, ‘Cannibals with forks: The Triple Bottom Line of 21st Century Businesses,
Gabriola Island, BC Canada: New Society Publishers.
Wibisono, Yusuf. 2007. Membedah Konsep & Aplikasi CSR. Gresik: Fascho Publishing\

Anda mungkin juga menyukai