Anda di halaman 1dari 15

Tugas Kelompok :

Pengambilan Keputusan Manajerial

“CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)”

Di susun oleh :

KELOMPOK IV

Agus Herdianto : 21610119


Idul Rahman : 21610150
Muhammad Samid M : 21610162
Suhardi : 21610176
Rahman : 21610190
Tamrin : 21610212
Yuriska Afiana K : 21610224
Kadirja Adhi Sadewo : 21610232
Niluh Putu Lilis P : 21610043
Sumiati : 21610067
Ahmad Rifai : 21610118

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KENDARI
PENGERTIAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)

CSR sebagai sebuah konsep yang semakin populer belakangan ini, belum memiliki definisi yang tuggal,
yang dapat diterapakan dalam sebuah perusahaan, namun ada beberpa definisi yang dapat di jadikan
acuan dalam pengungkapan CSR.

1. The Word Business Council for Sustainable Development (WBCSD) mendefinisikan CSR
atau tanggung jawab sosial perusahaan, sebagai:

“Continuing commitment by business to behave athically and contribute to economic


development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of
the local community and society at large.” Dalam bahasa bebas kurang lebih maksudnya adalah,
komitmen dunia usaha untuk terus menerus bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan
berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan pengingkatan kualitas hidup dari
karyawan dan keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat
secara lebih luas (Wibisono 2007:7).

2. Menurut (Wibisono 2007:8) CSR dapat didefinisikan sebagai:

Tanggung jawab perusahaan kepada para pemamangku kepentingan untuk berlaku etis,
meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif yang mencangkup aspek
ekonomi sosial dan lingkungan (triple bottom line). Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan
berkelanjutan.

3. Kotler dan Lee (2005) dalam (Solihin 2009) memberika rumusan:

“corporate social responsibility is a commitment to improve community well being through


discretionary business practices and contribution of corporate resources” Dalam definisi tersebut,
Kotler dan Lee memberikan penekanan pada kata discretionary yang berarti kegiatan CSR
semata-mata merupakan komitmen perusahaan secara sukarela untuk turut meningkatkan
kesejahteraan komunitas dan bukan meruapakan aktifitas bisnis yang diwajibkan oleh hukum dan
perundangundangan seperti kewajiban untuk membayar pajak atau kepatuhan perusahaan
terhadap undang-undang ketenagakerjaan. Kata discretionary juga memberikan nuansa bahwa
perushaan yang melakukan aktivitas CSR haruslah perusahaan yang telah menaati hukum dalam
pelaksaaan bisnisnya. (solihin 2009:5).

4. Menurut Undang-undang Perseroan Terbatas No.40 tahun 2007 pasal 1 ayat 3.

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam
pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan
yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada
umumnya.

5. Menurut (Prastowo dan Huda 2011:17):

CSR adalah mekanisme alami sebuah perusahaan untuk ‘membersikan’ keuntungan-keuntungan


besar yang diperoleh. Sebagaimana diketahui, cara-cara perusahaan untuk memperolah
keuntungan kadang-kadang merugikan orang lain, baik itu yang tidak disengaja apalagi yang
disengaja. Dikatakan sebagai mekanisme alamiah karena CSR adalah konsekuensi dari dampak
keputusankeputusan ataupun kegiatan-kegiatan yang dibuat oleh perusahaan, maka kewajiban
perusahaan tersebut adalah membalikkan keadaan masyarakat yang mengalami dampak tersebut
kepada keadaan yang lebih baik.

6. Definisi menurut ISO 26000 dalam (Prastowo dan Huda 2011) adalah:

“Responsibility of organization for the impacts of its decisions and activities on society and the
environment, through transparent and ethical behavior that contributes to sustainable
development, including health and the welfare of society; takes into account the expectations of
stakeholders; is in compliance with applicable law and consistent with international norms of
behavior; and is integrated throughout the organization and practiced in its relationship.”
Terjemahan bebasnya: (Tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari
keputusan-keputusan dan kegiatan-kegiatanya pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan
dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan
termasuk kesehatan dan kesejahteraan masyarakat; mempertimbangkan harapan pemangku
kepentingan; sejalan dengan hukum yang ditetapkan dengan normanorma perilaku internasional;
serta terintegrasi dengan organisasi secara menyeluruh) (Prastowo dan Huda 2011:101).

Walupun perumusan ISO 26000 tidak berpretensi untuk menyediakan definisi tunggal, setidaknya
kalangan korporasi dan stakeholder yang berkepentingan tentang CSR dapat menghargai jerih
paya perumus ISO 26000 yang telah bekrja selama bertahun-tahun. Sehingga, definisi CSR pada
ISO 26000 ini setidaknya dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menerapkan CSR dengan baik.
Hal yang menarik, bahwa ISO 26000 menegaskan tanggung jawab sosial (social
responsibility/SR) tidak hanya berkaitan dengan perusahaan saja sebagaimana yang dikenal CSR
selama ini. Tetapi, setiap organisasi yang memiliki dampak atas kebijakan-kebijakannya terutama
terhadap lingkungan dan masyarakat, direkomendasikan untuk menjalankan CSR (Prastowo dan
Huda 2011:101).

Dari berbagai macam definisi di atas, dapat diakatakan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan adalah
kewajiban perushaan dalam menaati peraturan pemerintah yang tercantum dalam undang-undang dan
memberikan dampak positif terhadap masyarakat sekitar baik dari segi lingkungan dan pembangunan
berkelanjutan.
Kotler dan Lee (2005) menyebutkan enam kategori aktivitas CSR yaitu:

1. PROMOSI KEGIATAN SOSIAL (CAUSE PROMOTIONS)

 Pada aktivitas CSR ini perusahaan menyediakan dana atau sumber daya lainnya yang dimiliki
perusahaan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap suatu kegiatan sosial atau untuk
mendukung pengumpulan dana, partisipasi dari masyarakat atau perekrutan tenaga sukarela untuk
suatu kegiatan tertentu

 Fokus utama dari kategori aktivitas CSR ini adalah komunikasi persuasif, dengan tujuan
menciptakan kesadaran masyarakat terhadap suatu masalah sosial

 Menurut Kotler dan Lee (2005:51) beberapa tujuan komunikasi persuasif yang ingin dicapai oleh
perusahaan melalui pelaksanaan cause promotion antara lain adalah:

 Menciptakan kesadaran dan perhatian dari masyarakat terhadap suatu masalah dengan
menyajikan angka-angka statistik serta fakta-fakta yang menggugah.

 Membujuk masyarakat untuk memperoleh informasi lebih banyak mengenai suatu isu
sosial dengan mengunjungi website tertentu.

 Membujuk orang untuk menyumbangkan waktunya untuk membantu mereka yang


membutuhkan.

 Membujuk orang untuk menyumbangkan uangnya untuk kemanfaatan masyarakat melalui


pelaksanaan program sosial perusahaan.

 Membujuk orang untuk menyumbangkan sesuatu yang mereka miliki selain uang.

 Benefit yang dapat diperoleh perusahaan dengan melaksanakan kegiatan cause promotions menurut
Kotler dan Lee (2005) adalah sebagai berikut:

 Memperkuat positioning merk perusahaan.

 Menciptakan jalan bagi ekspresi loyalitas konsumen terhadap suatu masalah, yang pada
akhirnya dapat meningkatkan loyalitas konsumen terhadap perusahaan penyelenggara
promosi.

 Memberikan peluang kepada para karyawan perusahaan untuk terlibat dalam suatu
kegiatan sosial yang menjadi kepedulian mereka.

 Menciptakan kerjasama antara perusahaan dengan pihak-pihak lain (misalnya media),


sehingga memperbesar dampak pelaksanaan promosi.

 Meningkatkan citra perusahaan (corporate image), dimana citra perusahaan yang baik
akan dapat memberikan berbagai pengaruh positif lainnya, misalnya meningkatkan
kepuasan dan loyalitas karyawan yang dapat memberikan kontribusi positif bagi
peningkatan kinerja finansial perusahaan.
Model CSR.
Stakeholder Theory pada CSR.

Istilah stakeholder diperkenalkan pertama kali oleh Standford Research Institute (SRI) di tahun
1963 (Freeman 1984) Menurut Freeman (1984:46), stakeholder didefinisikan sebagai sebuah organisasi,
grup atau individu yang dapat dipengaruhi dan mempengaruhi tujuan organisasi tersebut Kemudian,
Freeman (2010: 32) menambahkan bahwa: The stakeholder concept was originally defined as “those
groups without whose support the organization would cease to exist.” The list of stakeholders originally
included shareowners, employees, customers, suppliers, lenders and society.

Pengertian stakeholders dapat dijelaskan berdasarkan pengklasifikasiannya. Menurut Kasali


(2005) mengklasifikasikan stakeholder menjadi beberapa jenis yaitu; Stakeholders internal adalah
stakeholders yang berada dalam lingkungan organisasi, misalnya karyawan, manajer dan pemegang
saham (shareholders) sedangkan penyalur atau pemasok, konsumen atau pelanggan, masyarakat dan
pemerintah termasuk dalam stakeholders eksternal karena stakeholders ini berada diluar lingkungan orga
nisasi Stakeholders primer merupakan stakeholders yang harus diperhatikan oleh perusahaan dan
stakeholders sekunder merupa kan stakeholders kurang penting, sedangkan stakeholders marjinal
merupakan stakeholders yang sering diabaikan oleh perusahaan (Hadi 2011: 110)

Menurut Kasali (2005), karyawan dan konsumen merupakan stakeholders tradisional karena saat
ini sudah berhubungan dengan organisasi sedangkan stakeholders masa depan adalah stakeholders pada
masa yang akan datang dan diperkirakan akan memberikan pengaruhnya pada organisasi seperti
mahasiswa, peneliti dan konsumen potensial Stakeholders proponents merupakan stakeholders yang
berpihak kepada perusahaan, stakeholders opponents merupakan stakeholders yang tidak memihak
perusahaan, sedangkan stakeholders yang tak peduli lagi terhadap perusahaan disebut stakeholders
uncommitted Silent majority stakeholders dan vocal minority stakehol ders dilihat dari aktivitas
stakeholders dalam melakukan komplain atau mendukung perusahaan, tentu ada yang menyatakan
pertentangan atau dukungannya secara aktif (vocal) namun ada pula yang menyatakan secara pasif (silent)
(Hadi 2011) Selain itu Certo dan Certo (2006) dalam Lesmana dan Tarigan (2014:108) membagi
stakeholder pada perusahaan beserta kriteria kepuasan yang hendak dipenuhi oleh perusahaan sebagai
berikut Dalam teori Stakeholder, perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk
kepentingannya sendiri serta hanya berorientasi pada keuntungan semata, namun harus memberikan
manfaat bagi stakeholder-nya yang dalam hal ini terdiri atas pemegang saham, kreditor, konsumen,
pemasok, pemerintah, masyarakat, analis dan pihak lain Jadi, dapat dikatakan bahwa keberadaan dan
keberlangsungan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan oleh stakeholder
kepada perusahaan tersebut (Ghozali dan Chariri 2007

Legitimasi pada CSR.

Teori Legitimasi merupakan teori lain yang melandasi CSR serta berhubungan erat dengan teori
stakeholder Legitimasi akan mengalami pergeseran seiring dengan perubahan lingkungan dan
masyarakat tempat perusahaan berada

Seperti yang telah diungkapkan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa akan timbul 3 (tiga) hal
yang menyebabkan legitimacy gap terjadi yaitu, pertama adalah ada perubahan dalam kinerja perusahaan,
tetapi harapan masyarakat terhadap kinerja perusahaan tidak berubah Perusahaan yang sebelumnya
melaksanakan tanggung jawab sosialnya secara rutin kemudian menghentikan pelaksanaan program
tersebut dengan berbagai alasan Masalah legitimasi kemudian muncul karena terjadi perubahan kinerja
perusahaan namun di sisi lain masyarakat telah bergantung pada program rutin tersebut dan tidak ingin
dihentikan Kedua, adalah kinerja perusahaan tidak berubah namun harapan masyarakat terhadap kinerja
perusahaan sudah berubah Masyarakat mengharapkan perusahaan untuk memberikan kepedulian lebih
dari sekedar sumbangan kemanusiaan seperti jaminan hidup dengan membuka kesempatan bagi
masyarakat lokal untuk bekerja di perusahaan tersebut Sedangkan perusahaan meng anggap bahwa
dengan membuka peluang kerja bagi masyarakat sekitar tidak akan memberikan efek positif bagi
perusahaan karena adanya keterbatasan pendidikan sehingga hal tersebut tidak dilakukan Kemudian
ketiga adalah kinerja perusahaan dan harapan masyarakat berubah ke arah yang berbeda atau ke arah yang
sama dalam waktu yang berbeda Perusahaan menggunakan masyarakat sekitar sebagai tenaga kerja di
perusahaan tersebut karena dianggap lebih murah dan saat itu angka pengangguran di lingkungan tersebut
berkurang .

Namun kemudian perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja dan yang terkena dampak
adalah masyarakat lokal yang bekerja di perusahaan tersebut Perusahaan mengganti tenaga kerja manusia
menggunakan mesin karena dianggap lebih

menguntungkan bagi perusahaan dan dapat mengurangi beban perusahaan Masyarakat menerima
keputusan tersebut dan berharap perusahaan tetap membantu kehidupan mereka yang selama ini ditopang
dari upah yang diberikan perusahaan dengan memberikan bantuan pembiayaan usaha kecil menengah
bagi masyarakat Masalah legitimasi muncul ketika perusahaan tidak memenuhi harapan mereka tersebut
Selain itu, berdasarkan pernyataan yang sebelumnya diungkapkan oleh O’ Donovan (2002) Legitimacy
gap dapat dikurangi dengan meningkatkan kesesuaian pada operasi perusahaan dan pengharapan
masyarakat salah satunya dengan cara meningkatkan social responsibility dan social disclosure. Adanya
legitimasi gap sebagai akibat dari ketidaksesuaian antara aktifitas operasi perusahaan terhadap ekspektasi
masyarakat memunculkan tekanan dari stakeholders (Grahovar 2011)

Legitimasi dari stakeholders sangat penting bagi perusahaan karena dengan adanya legitimasi gap
memiliki potensi besar terjadinya protes dari stakeholders terhadap perusahaan yang berdampak pada
eksistensi perusahaan dan mengganggu stabilitas operasional dan berakhir pada profitabilitas. Legitimasi
dianggap sebagai cara untuk mempertahankan keberlangsungan hidup suatu organisasi yang dicapai
melalui tindakan organisasi yang sesuai aturan dan dapat diterima secara luas oleh masyarakat
(O’Donovan 2002) Namun, perusahaan memiliki kecenderungan untuk menggunakan kinerja berbasis
lingkungan dan pengungkapan informasi lingkungan hanya untuk mendapatkan legitimasi dari
masyarakat atas aktivitas perusahaan yang dilakukan (Ghozali dan Chariri 2007) dan bukan sebagai
bentuk kesadaran atas tanggung jawabnya terhadap masyarakat atas aktivitas perusahaan yang dilakukan
Perusahaan memiliki kontrak sosial dengan masyarakat di lingkungan bisnisnya dan melalui
pengungkapan tersebut diharapkan perusahaan akan mendapatkan legitimasi dari masyarakat yang
berdampak pada kelangsungan hidup perusahaan

Reverte (2009) juga mendukung pendapat tersebut bahwa secara eksplisit teori legitimasi
mengakui bahwa bisnis dibatasi oleh kontrak sosial yang membuat perusahaan sepakat untuk
menunjukkan berbagai aktivitas sosial yang dilakukan Melalui pengungkapan tersebut, diharapkan
perusahaan akan mendapat kan legitimasi dari masyarakat yang berdampak pada kelangsungan hidup
perusahaan Pendapat tersebut juga didukung oleh pendapat dariGuthrie dan Parker (1989) yang
menjelaskan “Suatu legitimasi dapat diperoleh ketika terdapat kesesuaian antara keberadaan perusahaan
yang tidak mengganggu atau sesuai dengan eksistensi sistem nilai yang ada dalam masyarakat dan
lingkungan sehingga, ketika terjadi pergeseran yang menuju ketaksesuaian, maka hal tersebut akan
mengancam legitimasi dari perusahaan (Deegan, et.al. 2002) Dengan adanya kontrak sosial yang bersifat
implisit antara perusahaan dan masyarakat, pengungkapan CSR dapat menjadi media komunikasi diantara
keduanya yang diharapkan dapat memperbaiki legitimasi perusahaan, meningkatkan keuntungan
perusahaan di masa yang akan datang dan memastikan going concern perusahaan
Arti Pentingnya CSR Bagi Perusahaan Bisnis

CSR merupakan komitmen yang berkesinambungan dari kalangan bisnis, untuk berperilaku secara etis
dan memberi kontribusi bagi perkembangan ekonomi, seraya meningkatkan kualitas kehidupan dari
karyawan dan keluarganya, serta komunitas lokal dan masyarakat luas pada umumnya. Ada enam
kecenderungan utama, yang semakin menegaskan arti penting CSR, yaitu meningkatnya kesenjangan
antara kaya dan miskin, posisi negara yang semakin berjarak pada rakyatnya, makin mengemukanya arti
kesinambungan, makin gencarnya sorotan kritis dan resistensi dari publik, bahkan yang bersifat anti-
perusahaan, tren ke arah transparansi, dan harapan-harapan bagi terwujudnya kehidupan yang lebih baik
dan manusiawi pada era milenium baru.

Artinya, CSR sangat dibutuhkan masyarakat di sekitar lokasi perusahaan. Sebab, selain akan terjadi
berbagai perubahan sosial, kekayaan sumber daya alam yang selama ini sangat bermanfaat bagi
masyarakat juga akan terganggu disinilah letak paradoks dari proses perubahan sosial kekayaan akan
sumber daya alam dapat menjadi pedang bermata dua bagi suatu negara yang sedang berkembang. Ia
dapat menguntungkan tetapi pada saat yang sama dapat pula menjadi kerugian.

Jika kekayaan sumber daya alam itu tidak dikelola dengan baik dan bermanfaat bagi masyarakat maka,
penolakan terhadap kehadiran perusahaan akan terus terjadi. Jadi CSR itu memang harus terus
diupayakan. Apalagi, menurut Zamroni (2001), pembangunan dalam era abad 21 dewasa ini memiliki 3
(tiga) ciri utama, yakni revolusi informasi (komputer dan sarana telekomunikasi), pasar global yang
sangat kompetitif dan, kerusakan lingkungan yang sangat parah.

Dalam memasuki ekonomi global perlu mengkaji secara cermat atas aspekaspek yang penting dalam
kehidupan masyarakat seperti manajemen pembangunan, demokrasi dan pendidikan. Ketepatan dalam
menentukan pilihan akan sangat menentukan kehidupan bangsa dimasa mendatang. Oleh karena kajian-
kajian yang jernih, obyektif dan dengan pertimbangan nasib warga secara keseluruhan sangat diperlukan.

David C Korten mengatakan kekuatan rakyat untuk memegang kekuasaan atas hidup dan lembaga-
lembaga mereka pada akhirnya tergantung pada keyakinan bahwa mereka mempunyai hak sekaligus
kesempatan. Dengan tumbuhnya kesadaran akan kenyataan ini, usaha-usaha pembangunan daerah
pedesaan di dunia ketiga memberi prioritas yang semakin besar kepada program-program yang
menekankan penguasaan sumber daya lokal oleh masyarakat setempat.

Dalam rangka melakukan CSR, pemerintah juga harus tetap memperhatikan kelompok pembaharu, usaha
kecil menengah dan sektor pendidikan. Sebab, menurut Boediono (2009) selain menciptakan iklim usaha
dan iklim kompetisi yang sehat, pemerintah dapat memacu terbentuknya kelompok pembaharuan dengan
mendorong perkembangan kelompok wirausaha yang tangguh melalui program-program khusus untuk
menghilangkan kendala-kendala yang dihadapi usaha kecil dan menengah untuk mengakses pembiayaan,
teknologi, layanan infrastruktur dan pasar. Pengusaha kecil dan menengah adalah embrio kelas menengah
yang tangguh karena itu pengembangan UKM merupakan elemen penting dalam upaya pengembangan
demokrasi. Langkah penting lain untuk membentuk kelompok pembaharuan yang handal adalah melalui
pendidikan.

Pemerintah sebenarnya dapat melakukan banyak aktivitas nonregulatori yang mendorong CSR seperti
koordinasi kebijakan mengenai CSR antar departemen, meningkatkan profil CSR sehingga makin banyak
perusahaan tertarik, membiayai penelitian-penelitian tentang CSR, mempromosikan CSR pada UKM,
serta menciptakan insentif untuk perusahaan-perusahaan yang memiliki kinerja CSR yang baik selain
memberi disinsentif bagi mereka yang berkinerja buruk.
Terakhir, pemerintah dapat mendemonstrasikan praktik-praktik terbaik CSR, sebagai sarana perusahaan-
perusahaan untuk belajar bagaimana kinerja terbaik itu bisa dicapai. Pada bulan September 2004, ISO
(International Organization for Standardization) sebagai induk organisasi standarisasi internasional,
berinisiatif mengundang berbagai pihak untuk membentuk tim (working group) yang membidani lahirnya
panduan dan standarisasi untuk tanggung jawab sosial yang diberi nama ISO 26000: Guidance Standard
on Social Responsibility.

Jika merujuk pemahaman yang digunakan oleh para ahli yang menggodok ISO 26000 Guidance Standard
on Social Responsibility yang secara konsisten mengembangkan tanggung jawab sosial, maka masalah
CSR akan mencakup 7 isu pokok yaitu:

1. Pengembangan Masyarakat
2. Konsumen
3. Praktek Kegiatan Institusi yang Sehat
4. Lingkungan
5. Ketenagakerjaan
6. Hak asasi manusia
7. Organizational Governance (governance organisasi)

ISO 26000 menjadi kunci penting untuk mendorong CSR yang substansial dan komprehensif. Karenanya,
perusahaan tidak boleh berkesimpulan bahwa hanya karena berderma bermiliar miliar dari
keuntungannya, sebuah perusahaan disebut telah bertanggung jawab sosial. Bagaimana keuntungan itu
dibuat -apakah dengan dampak negatif minimum dan dampak positif maksimum lebih menentukan
tanggung jawabnya.
Penerapan CSR di Indonesia
Seiring dengan perkembangan isu lingkungan global, konsep dan aplikasi CSR semakin berkembang,
termasuk di Indonesia. CSR tidak semata menjadi kewajiban sosial perusahaan, namun juga dikaitkan
sebagai konsep pengembangan yang berkelanjutan (sustainable development). Sayangnya, dikarenakan
belum adanya aturan baku dan pemahaman yang sama tentang pemberdayaan masyarakat, sebagian besar
korporasi di Indonesia belum menjalankan prinsip-prinsip CSR yang sesungguhnya.Meneg Lingkungan
Hidup (LH) Rachmat Witoelar mengatakan kepedulian industri di Indonesia terhadap fungsi tanggung
jawab sosialnya (CSR) parah karena kurang dari 50 persen yang menerapkan program CSR terutama di
bidang lingkungan.

Meskipun CSR di Indonesia bukan lagi sebatas wacana, namun yang terjadi sesunguhnya kebanyakan
baru sebatas pada fenomena “CSR Peduli”, yaitu aktivitas reaktif dan latah dengan membuka posko
peduli atau berduyun-duyun membagikan paket bantuan sembako dan memberi layanan kesehatan di
wilayah bencana. Tentu saja dengan kampanye iklan di media massa dengan harapan mendapatkan citra
positif perusahaan. Kegiatan Public Relations seperti ini memang tidak menyalahi prinsip solidaritas
kemanusiaan tetapi menjadi aktivitas simbolis belaka dalam konteks CSR. Fenomena CSR Peduli ini
ibarat orang kaya yang kikir dengan hanya melempar sekeping uang seratus perak pada pengemis yang
meratap di gerbang mewah rumahnya.

Fakta lain dari penerapan CSR oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia ternyata sebagian besar masih
dilatarbelakangi oleh upaya untuk meredam konflik antara perusahaan dengan masyarakat sekitar, seperti
misalnya yang terjadi di Papua oleh PT. Freeport. “Motif meredam konflik seperti ini, tentu tidak akan
memungkinkan upaya pemberdayaan masyarakat untuk dilakukan secara komprehensif. Banyak kasus
menunjukkan bahwa realisasi program pembangunan masyarakat (community Development) yang
dilakukan dengan motif seperti ini, dilakukan secara parsial, tidak partisipatif, belum terencana, bersifat
elitis dan belum mampu meningkatkan kapasitas masyarakat lokal,”

Beberapa perusahaan memang mampu mengangkat status CSR ke tingkat yang lebih tinggi dengan
menjadikannya sebagai bagian dari upaya brand building dan peningkatan corporate image. Namun
upaya-upaya CSR tersebut masih jarang yang dijadikan sebagai bagian dari perencanaan strategis
perusahaan.

Meskipun demikian, penerapan CSR oleh beberapa perusahaan di Indonesia patut untuk dijadikan contoh
bagi perusahaan-perusahaan lainnya. PT. Bogasari, misalnya memiliki program CSR yang terintegrasi
dengan strategi perusahaan, melalui pendampingan para pelaku usah mikro, kecil, dan menengah
(UMKM) berbasis terigu. Seperti yang telah kita ketahui, jika mereka adalah konsumen utama dari
produk perusahaan ini. Demikian juga dengan PT. Unilever yang memiliki program CSR berupa
pendampingan terhadap petani kedelai. Bagi kepentingan petani, adanya program CSR ini berperan dalam
meningkatkan kualitas produksi, sekaligus menjamin kelancaran distribusi. Sedangkan bagi Unilever
sendiri, hal ini akan menjamin pasokan bahan baku untuk setiap produksi mereka yang berbasis kedelai,
seperti kecap Bango, yang telah menjadi salah satu andalan produknya.

Penerapan CSR oleh beberapa perusahaan diatas membuktikan bahwa CSR apabila dilakukan secara
sungguh-sungguh, terencana dan terimplementasi dengan baik akan berimbas pada bukan hanya pada
citra/image perusahaan dimata masyarakat, akan tetapi lebih daripada itu, juga merupakan simbiosis
mutualisme antara perusahaan dengan masyarakat.
Dasar Hukum CSR
1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM)

2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT)

3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 232/KMK.013/1989 tanggal 11 Nopember 1989 tentang


Pedoman Pembinaan Pengusaha konomi Lemah dan Koperasi melalui Badan Usaha Milik Negara
(BUMN).

4. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha
Kecil.

5. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN

6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

7. Undang-undang  Nomor  13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin

8. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 13 Tahun 2012  tentang Forum tanggungjawab dunia usaha
dalam penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.

Regulasi

1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM)

 Pasal 15 huruf b UUPM menyatakan bahwa setiap penanam modal berkewajiban


melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.
 Pasal 16 huruf d menyatakan bahwa setiap penanam modal bertanggungjawab terhadap
kelestarian lingkungan hidup.
 Pasal 16 huruf e UUPM menyatakan bahwa setiap penanam modal bertanggungjawab
untuk menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja.
 Pasal 17 UUPM menentukan bahwa penanam modal yang mengusahakan sumber daya
alam yang tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan
lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup yang pelaksanaannya diatur
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT)


UU No 40 tahun 2007 Pasal 74 ayat (1), (2), (3), dan (4), bunyi pasal tersebut sebagai berikut :

 Undang-undang Perseroan Terbatas tersebut menyatakan perseroan yang menjalankan


kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan segala sumber daya alam wajib
melaksanakan tanggung jawab social dan lingkungan;
 Tanggung jawab social dan lingkungan itu merupakan kewajiban perseroan yang
dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan
dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran;

 Perseroan Terbatas tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana pasal 1 dikenakan sanksi


sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

 Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab social dan lingkungan diatur dengan
peraturan pemerintah.

3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 232/KMK.013/1989 tanggal 11 Nopember 1989 tentang


Pedoman Pembinaan Pengusaha konomi Lemah dan Koperasi melalui Badan Usaha Milik Negara
(BUMN).
Dana pembinaan disediakan dari penyisihan sebagian laba BUMN sebesar 1%-5% (dari laba setelah
pajak). Nama program saat itu lebih dikenal dengan Program Pegelkop (Pembinaan Pengusaha
Ekonomi Lemah dan Koperasi).

Pada Tahun 1994, nama program Pegelkop diubah menjadi Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi
(Program PUKK) berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 316/KMK.016/1994 tanggal 27
Juni 1994 tentangPedoman Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi melalui pemanfaatan dana dari
Bagian Laba BUMN.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil.
Penjelasan Pasal 16, lembaga pembiayaan menyediakan dukungan modal untuk pembinaan dan
pengembangan usaha kecil antara lain meliputi sekema modal awal, modal bergulir, kredit usaha kecil,
kredit program dan kredit modal kerja usaha kecil, kredit kemitraan, modal ventura, dana dari bagian
laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN), anjak piutang dan kredit lainnya.
Sebagai tindak lanjut dari PP No. 32 Tahun1998 ini dikeluarkanlah Keputusan Menteri Negara
Pendayagunaan BUMN/Kepala Badan Pembina BUMN No.Kep-216/M-PBUMN/1999 tanggal 28
September 1999 tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan BUMN.

5. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN


Pasal 2, … salah satu tujuan pendirian BUMN adalah turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan
kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
Pasal 88 ayat (1). …BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan
usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN.
Sebagai tindak lanjut UU No. 19 Tahun 2003 ini dikeluarkanlah Keputusan Menteri BUMN Nomor
Kep-236/MBU/2003 tanggal 17 Juni2003 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil
dan Program Bina Lingkungan.

6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Pasal 21, … Badan Usaha Milik Negara dapat menyediakan pembiayaan dari penyisihan bagian laba
tahunan yang dialokasikan kepada Usaha Mikro dan Kecil dalam bentuk pemberian pinjaman,
penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya. PKBL merupakan Program Pembinaan Usaha Kecil dan
pemberdayaan kondisi lingkungan oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN.
Jumlah penyisihan laba untuk pendanaan program maksimal sebesar 2% (dua persen) dari laba bersih
untuk Program Kemitraan dan maksimal 2% (dua persen) dari laba bersih untuk Program Bina
Lingkungan.
7. Undang-undang  Nomor  13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin
Undang-undang ini tidak membahas secara khusus peran dan fungsi perusahaan dalam menangani
fakir miskin, melainkan terdapat klausul dalam pasal 36 ayat 1 “Sumber pendanaan dalam penanganan
fakir miskin, meliputi: c. dana yang disisihkan dari perusahaan perseroan. Diperjelas dalam ayat 2 
Dana yang disisihkan dari perusahaan perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf digunakan
sebesar-besarnya untuk penanganan fakir miskin.
Pasal 41 tentang “Peran Serta Masyarakat”, dalam ayat 3 dijelaskan bahwa“Pelaku usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf j berperan serta dalam menyediakan dana pengembangan masyarakat
sebagai pewujudan dari tanggung jawab sosial terhadap penanganan fakir miskin.

8. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 13 Tahun 2012  tentang Forum tanggungjawab dunia usaha dalam
penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.Kementrian Sosial  memandang penting dibentuknya forum
CSR pada level Provinsi, sebagai sarana kemitraan antara pemerintah dengan dunia usaha.
Rekomendasi Permensos adalah dibentuknya Forum CSR di tingkat provinsi beserta pengisian struktur
kepengurusan yang dikukuhkan oleh Gubernur.

Catatan Regulasi

1. Regulasi yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah terkait CSR tersebut di atas pada dasarnya
mengarahkan perusahaan agar dalam melaksanakan kegiatan usahanya tidak hanya berorientasi
pada tanggung jawab ekonomi (profit) saja, melainkan juga legal, moral dan etis.

2. Pemaknaan kegiatan CSR harusnya tidak sekedar sebagai “perlakuan” tertentu pada inside
stakeholders (karyawan), atau outside stakeholders yang terdiri dari pelanggan, pemasok,
pemerintah, dan kelompok masyarakat setempat atau yang lebih luas.

3. CSR/TJSL seyogyanya dimaknai yang lebih “luas”, yaitu kegiatan perusahaan yang dibuatdalam
rencana jangka panjang dan juga memiliki efek jangka panjang (sustainability development)
sehingga dapat meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi
komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya.

4. Penggunaan istilah yang berbeda didapati dalam UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman
Modal dan Perda Provinsi Jawa Timur Nomor4 Tahun 2011 yang menggunakan istilah
“Tanggung Jawab Sosial Perusahaan” (TSP); dan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseoran
Terbatas yang menggunakan istilah “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan”
(TJSL)/CSR.

5. Perbedaan ini berlanjut dengan penggunaan istilah CSR yang mengacu pada UU No. 25 / 2007,
dan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang mengacu pada UU No 40 Tahun
2007. Istilah CSR dan PKBL belakangan ini cenderung disamakan, padahal sebenarnya berbeda.

6. Program Kemitraan (PK) terkait dengan hubungan kemitraan antara usaha maju dengan Usaha
Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang berorientasi pada pengembangan usaha di antara
yangbermitra. Bina lingkungan pada dasarnya sama dengan CSR. Perbedaan PK dan BL ini juga
dikuatkan oleh UU Nomor 20 Tahun 2008 Tentang UMKM.

7. UU ini mewajibkan BUMN menyisihkan laba bersihnya sebesar 2% untuk ProgramKemitraan


dan 2% untuk Bina Lingkungan. Penggunaan istilah yang berbeda ini mengakibatkan kerancuan
dalam mengukur pelaksanaan CSR di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai