MANAJEMEN PERPAPAJAKN
Disusun Oleh :
Kelompok 3
1. Putri Permatasari (1517202003)
2. Bakhrul Ulum Asysidiqi (1517202008)
3. Edwin Gunawan (1517204001)
FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM PROFESI AKUNTANSI
UNIVERSITAS WIDYATAMA
Terakreditasi (accredited)
SK. Ketua Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT)
Nomor : 1148/SK/BAN-PT/Ak-SURV/PPAK/XI/2015
Tanggal 31 Januari 2015
BANDUNG
2018
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang atas
kehendak-Nya dan izin-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat
untuk sauri tauladan yang paling sempurna bagi seluruh umat manusia.
Adapun maksud dan tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah
moril maupun materil serta doa yang diberikan oleh berbagai pihak. Pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih secara tulus kepada :
1. Ibu (Alm) Koesbandijah Abdoel Kadir, Prof., Dr., Hj., M.S., Ak. selaku
2. Ibu Sri Lestari Roespinoedji, S.H. selaku Ketua Badan Pengurus Yayasan
Widyatama.
3. Bapak Islahuzzaman, Dr., H., S.E., M.Si., Ak., CA. selaku Rektor
Universitas Widyatama.
4. Bapak Nuryaman, Dr., H., S.E., M.Si., Ak., CA. dan Ibu Dyah
i
5. Bapak R. Wedi Rusmawan K. , Dr., S.E., M.Si., Ak., CA. selaku Dekan
6. Ibu Rita Yuniarti, Dr., S.E., M.M., Ak., CA. selaku Wakil Dekan Fakultas
7. Bapak Obsatar Sinaga, Prof., Dr., H., S.IP., M.Si. selaku Direktur Program
8. Bapak Bachtiar Asikin, S.E., M.M., Ak., CA. selaku Wakil Direktur
9. Bapak Karhi Nisjar Siradjudin, Prof., Dr., H., M.M., Ak. selaku Ketua
10. Bapak Iji Samaji, S.E., M.SI., Ak., CA., BKP. Selaku Dosen Pembimbing
Yani, Dede, Yulianti, Rizkia, Sarah, Fadilla, Elsya, Joko, Andri dan
Denden.
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
Internasional ……………………………………………………. 4
iii
C. Konsep Anti Tax Avoidance ……………………………………….. 12
DAFTAR PUSTAKA
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
tunduk pada kesepakatan dunia internasional yang dikenal dengan istilah Konvensi
Wina.
Setiap kebijakan tentu mempunyai tujuan khusus yang ingin dicapai, begitu
juga dengan kebijakan perpajakan internasional juga mempunyai tujuan yang ingin
dicapai yaitu memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di
masing-masing negara, pemerintah berusaha untuk meminimalkan pajak yang
menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Salah upaya untuk meminimalkan
beban tersebut adalah dengan melakukan penghindaraan pajak berganda
internasional.
2
BAB II
PEMBAHASAN
b. Pemajakan terhadap wajib pajak luar negri (WPLN) atas penghasilan dari
dalam negeri (domestik).
Setiap kebijakan tentu mempunyai tujuan khusus yang ingin dicapai, begitu
juga dengan kebijakan perpajakan internasional juga mempunyai tujuan yang
ingin dicapai yaitu memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju
investasi di masing-masing negara, pemerintah berusaha untuk meminimalkan
pajak yang menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Salah upaya untuk
meminimalkan beban tersebut adalah dengan melakukan penghindaraan pajak
berganda internasional.
3. Prinsip-Prinsip yang Harus Dipahami dalam Perpajakan Internasional
4
Pemajakan berganda terjadi karena benturan antar klaim pemajakan. Hal ini
karena adanya prinsip pemajakan global untuk wajib pajak dalam negeri (global
principle) dimana penghasilan dari dalam luar negeri dan dalam negeri dikenakan
pajak oleh negara residen (negara domisili wajib pajak). Selain itu, terdapat
pemajakan teritorial ( source principle ) bagi wajib pajak luar negeri (WPLN) oleh
negara sumber penghasilan dimana penghasilan yang bersumber dari negara
tersebut dikenakan pajak oleh negara sumber. Hal ini membuat suatu penghasilan
dikenakan pajak dua kali, pertama oleh negara residen lalu oleh negara sumber
Misalnya: PT A punya cabang di Jepang. Penghasilan cabang di jepang dikenakan
pajak oleh fiskus Jepang. Lalu di Indonesia penghasilan itu digabung dengan
penghasilan dalam negeri lalu dikalikan tarif pajak UU domestik Indonesia.
Bentokran klaim lebih diperparah bila terjadi dual resident , dimana terdapat
dua negara sama-sama mengklaim seorang subjek pajak sebagi wajib pajak dalam
negerinya yang menyebabkan ia terkena pemajakan global dua kali. Misalnya:
Mr. A bekerja di Indonesia lebih dari 183 hari namun setiap sabtu dan minggu ia
pulang ke rumahnya di Singapura. Mr. A dianggap WPDN oleh Indonesia dan
juga Singapura sehingga untuk wajib melapor dan membayar pajak untuk
penghasilan globalnya pada Indonesia maupun Singapura.
Dalam kaitan pembagian hak pemajakan ini, negara-negara yang melakukan
perjanjian perpajakan dibagi menjadi dua jenis. Pertama adalah negara sumber
( source country) yang merupakan negara di mana penghasilan yang merupakan
objek pajak timbul. Kedua adalah negara domisili (resident country) yaitu negara
tempat subjek pajak bertempat tinggal, berkedudukan atau berdomisili
berdasarkan ketentuan perpajakan.
Baik negara sumber maupun negara domisili biasanya berhak untuk
mengenakan pajak berdasarkan undang-undang domestiknya. Pengenaan pajak
oleh dua yurisdiksi perpajakan terhadap satu jenis penghasilan inilah yang
biasanya menimbulkan pengenaan pajak berganda sehingga perlu diatur dalam
suatu persetujuan antara negara sumber dan negara domisili.
Ottmar Buhler membagi Hukum Pajak Internasional dalam arti sempit dan
hukum pajak internasional dalam arti luas. Hukum Pajak Internasional dalam arti
6
sempit adalah (Agus Setiawan, 2006): “Kaedah-kaedah norma hukum perselisihan
yang didasarkan pada hukum antar bangsa (hukum internasional),” Sedangkan
hukum pajak dalam arti luas ialah: “Kaedah-kaedah hukum antar bangsa ini
ditambah peraturan nasional yang mempunyai obyek hukum perselisihan,
khususnya tentang perpajakan.”
Teicher memberikan kesimpulan bahwa dalam hukum pajak internasional
dalam arti luas termasuk sebagai berikut:
a. Hukum Pajak Internasional dan Nasional
b. Hukum yang mengatur perjanjian pajak untuk mencegah pajak ganda dan lain-
lain perjanjian internasional;
c. Bagian dari hukum antar bangsa, yaitu :
1) Peraturan hukum yang mengandung soal-soal pajak dalam hukum
internasional/antar bangsa yang diakui secara umum;
2) Keputusan Pengadilan Internasional Den Haag yang memuat soal-soal
perpajakan;
3) Apa yang telah berkembang sebagai hukum pajak pada masyarakat
internasional (tertentu) seperti supranationales steuerrecht .
7
Menurut Negara-negara Anglo Saxon, hukum Pajak Internasional dibagi
sebagai berikut :
a. Hukum Pajak Nasional mengatur Hukum Pajak Luar Negeri ( National
External Tax Law);
National External Tax Law merupakan bagian dari hukum pajak nasional yang
memuat ketentuan-ketentuan mengenai pengenaan pajak yang mempunyai
daya kerja sampai di luar batas-batas negara karena terdapat unsur-unsur asing,
baik mengenai obyeknya (sumber ada di luar negeri) maupun mengenai
subyeknya (subyek ada di Luar Negeri).
b. Hukum Pajak Luar Negeri ( Foreign Tax law);
Foreign Tax Law ialah keseluruhan perundang-undangan dan peraturan-
peraturan dari negara-negara yang ada di seluruh dunia.
c. Hukum Pajak Internsional ( Internasioanal Tax Law);
Internasional Tax Law dibedakan dalam arti sempit dan arti luas. Hukum Pajak
Internasional dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaedah pajak yang
berdasarkan prinsip-prinsip hukum pajak yang telah lazim diterima baik oleh
Negara-negara di Dunia, mempunyai tujuan mengatur soal perpajakan antara
negara yang saling mempunyai kepentingan.
3. Kaidah Hukum Pajak Nasional/Inilateral Yang Mengandung Unsur Asing
Kaedah Hukum Pajak Nasional/Inilateral yang mengandung unsur asing,
antara lain:
a. Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur P3B (Pasal 32 A UU PPh)
tentang “Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan negara
lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan
pajak.”;
b. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang : Subjek Pajak Luar
Negeri dan Bentunk Usaha Tetap (BUT);
c. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk
Subyek Pajak;
d. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 5 ayat (2) UU PPh) tentang: Peraturan
Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subyek Pajak
8
Bentuk Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak
Termasuk Subjek Pajak Usaha Tetap;
e. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tentang: Hubungan
Istimewa, Billamana Terdapat Ketidakwajaran dalam Perpajakan;
f. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang: Kredit Pajak Luar
Negeri;
g. Peraturan Perpajakan Nasianal (Pasal 26 UU PPh) tentang: Pemotongan Pajak
atas Subjek Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Sedangkan kaedah-kaedah yang berasal dari traktat adalah:
a. Perjanjian bilateral;
b. Perjanjanjian ini diwujudkan dengan adanya Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda (P3B).
c. Perjanjian multirateral. Perjanjian ini seperti Konvensi Wina.
Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya putusan pengadilan pajak yang
menyangkut tentang perpajakan Internasional, atau Keputusan Pengadilan
internasional Den Haag yang memuat soal-soal perpajakan.
Berdasarkan Pasal 32A UU PPh, pemerintah berwenang untuk melakukan
perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran Pajak
Berganda dan pencegahan Pengelakan Pajak. Dalam penjelasannya, perjanjian ini
dimaksudkan dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan
dengan negara lain diperlukan suatu perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-
spesialis) yang mengatur hak-hak pengenaan pajak dari masing-masing negara
guna memberikan kepastian hukum dan menghindarkan pengenaan pajak
berganda serta pengelakan pajak. Adapun bentuk dan meterinya mengacu pada
Konvensi Internasional dan ketentuan lainnya serta ketentuan perpajakan nasional
masing-masing negara. Atas dasar tersebut maka Negara Indonesia mengakui
Konvensi Wina tahun 1961 (CD) dan 1963 (CC), dan tax treaty berbagai negara.
Menurut Rochmat Soemitro, dalam Hukum Pajak Internasional mencakup
juga perjanjian bilateral perpajakan yang disebut dengan istilah “Traktat antar
negara utuk mengatur soal-soal perpajakan dan dalam mana dapat ditunjukan
9
adanya unsur-unsur asing, baik mengenai subyeknya maupun mengenai
obyeknya.
Kekuasaan Negara tidak hanya menciptakan UU Pasal 23 ayat 2 UUD 1945,
namun kekuasaan ini juga tercemin dalam mana negara mempertahankan
kedaulatan negara dimana tidak ada Hukum Internasional mana atau oleh siapa
yang dapat membatasi wewenang ini.
Apabila negara kita tidak tunduk dan patuh terhadap hukum internasional,
maka negara kita akan diberikan sanksi secara bersama oleh negara yang
mengikuti konvensi tersebut, dalam hal demikian Indonesia akan dikucilkan
dalam dunia internasional dan berdampak terhadap perekonomian negara
Indonesia secara keseluruhan, sehingga mau tidak mau Indonesia harus turut serta
menjalankan konvensi tersebut.
5. Prinsip Non D iskri minasi
Antara suatu negara dengan negara lain bisa jadi saling berbeda
pandangannya tentang skema apa saja yang dapat dikategorikan sebagai
acceptable tax avoidance atau unacceptable tax avoidance. Dengan demikian,
bisa saja suatu skema penghindaran pajak tertentu di suatu negara dikatakan
sebagai penghindaran pajak yang tidak diperkenankan, tetapi di negara lain
dikatakan sebagai penghindaran pajak yang diperkenankan. Istilah lain yang
sering dipergunakan untuk menyatakan penghindaran pajak yang tidak
diperkenankan adalah aggressive tax planning dan istilah untuk penghindaran
pajak yang diperkenankan adalah defensive tax planning .
Dalam buku-buku perpajakan, istilah tax avoidance biasanya diartikan
“sebagai suatu skema transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan beban pajak
dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan perpajakan
suatu negara.” Dengan demikian, banyak ahli pajak menyatakan skema tersebut
sah-sah saja (legal) karena tidak melanggar ketentuan perpajakan. Lebih lanjut,
The Asprey Comittee of Australia, seperti yang dikutip oleh Indrayagus Slamet
menyatakan bahwa tax avoidance umumnya menyangkut perbuatan yang masih
dalam koridor hukum tapi tidak berdasarkan ” bonafide dan adequate
consideration”, atau berlawanan dengan maksud dari pembuat undang-undang
(the intention of parliament ).
Tax planning adalah “upaya Wajib Pajak untuk meminimalkan pajak yan g
terutang melalui skema yang memang telah jelas diatur dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan dan sifatnya tidak menimbulkan dispute antara
Wajib Pajak dan otoritas pajak.
Sedangkan tax evasion diartikan sebagai suatu skema memperkecil pajak
yang terutang dengan cara melanggar ketentuan perpajakan (illegal ) seperti
dengan cara tidak melaporkan sebagian penjualan atau memperbesar biaya dengan
cara fiktif.
Berkaitan dengan tax avoidance, pertanyaan yang layak kita ajukan adalah
apakah suatu skema transaksi yang tujuannya semata-mata untuk penghindaran
pajak (tidak ada tujuan bisnisnya) dengan cara memanfaatkan kelemahan
ketentuan perpajakan yang ada dapat dibenarkan? Dalam konteks perpajakan
11
internasional, ada berbagai skema yang biasa dilakukan oleh PMA untuk
melakukan penghematan pajak yaitu dengan skema seperti (1) transfer pricing ,
(2) thin capitalization, (3) treaty shopping , dan (4) controlled foreign corporation
(CFC).
Pada umumnya dalam melakukan penghematan pajak tersebut, Wajib Pajak
dapat menjalankan dalam bentuk:
a. Substantive tax planning , yang terdiri atas:
1) Memindahkan subjek pajak (transfer of tax subject ) ke negara-negara yang
dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan
pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.
2) Memindahkan objek pajak (transfer of tax subject ) ke negara-negara yang
dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan
pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.
3) Memindahkan subjek pajak dan objek pajak (transfer of tax subject and of
tax object ) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau
negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas
suatu jenis penghasilan.
b. Formal tax planning.
12
b. General Anti Avoidance Rule (GAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran pajak
untuk mencegah transaksi yang semata-mata dilakukan oleh Wajib Pajak yang
semata-mata untuk tujuan penghindaran pajak atau transaksi yang tidak
mempunyai substansi bisnis.
Di banyak negara, seperti di Israel dan Kanada, telah membuat suatu ketentuan
untuk menangkal praktik unacceptable tax avoidance atau aggressive tax planning
yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Hal ini disebabkan karena tax planning yang
dilakukan oleh Wajib Pajak tidak bersifat defensive tax planning lagi tetapi sudah
semakin offensive yaitu dengan membuat suatu transaksi semu yang pada dasarnya
tidak ada tujuan bisnisnya atau membuat suatu entitas usaha di negara-negara yang
dikategorikan sebagai tax haven country. Di Australia, skema-skema yang dapat
dikategorikan sebagai aggressive tax planning oleh Australian Taxation Office
(ATO) adalah sebagai berikut:
a. Transaksi yang dibuat semata-mata untuk tujuan menghindari pajak. Dengan kata
lain transaksi tersebut tidak mempunyai tujuan bisnis, kalaupun ada tujuan
bisnisnya tetapi sangat tidak signifikan.
b. Berusaha untuk mendapatkan fasiltas pajak yang sebenarnya fasilitas pajak
tersebut tidak ditujukan kepadanya.
c. Membuat transaksi yang berputar-putar yang akhirnya transaksi tersebut akan
kembali lagi kepadanya (round-robin flow of funds ).
d. Penggelelembungan nilai aset untuk mendapatkan biaya penyusutan yang besar di
masa yang akan datang.
e. Memanfaatkan suatu entitas usaha di mana penghasilan yang diterima oleh entitas
usaha tersebut dikecualikan sebagai objek pajak.
f. Transaksi bisnis yang melibatkan negara-negara yang dikategorikan sebagai tax
haven countries.
di Indonesia
Tax Avoidance
1. Definisi P3B
2. Tujuan P3B
3. Azas P3B
4. Metode P3B
15
Metode ini didasarkan pada konvensi internasional yang ketentuan atau
ketetapan atau keputusan yang dihasilkan untuk kepentingan banyak negara
yang ditandatangani oleh berbagai negara, misalnya Konvensi Wina.
a. Pembebasan / Pengecualian;
b. Kredit Pajak;
c. Metode Lainnya.
16
E. Tr ansfer Pr icin g
1. Proses Terjadinya Transfer Pricing
Sementara itu, penelitian tim UNTC PBB yang diketuai oleh Silvain
Plasschaert yang dinyatakan kembali oleh Gunadi (1999), disebutkan bahwa
motivasi transfer pricing di Indonesia terkait dengan beberapa hal antara lain:
17
g. Memperkecil akibat pembatasan dan risiko bisnis di luar negeri.
Kunci utama keberhasilan transfer pricing dari sisi pajak adalah adanya
transaksi karena adanya hubungan istimewa. Hubungan istimewa merupakan
hubungan kepemilikan antara satu perusahaan dengan perusahaan lain. Hubungan
ini terjadi karena adanya keterkaitan satu pihak dengan pihak lain yang tidak
terdapat pada hubungan biasa. Hubungan istimewa ini dapat mengakibatkan
kekurangwajaran pelaporan, sebagai akibat pengalihan penghasilan atau dasar
pengenaan biaya pada suatu transaksi dari suatu pihak ke pihak lainnya.
Saat ini transfer pricing diatur dalam Pasal 18 ayat (3) dan (4) Undang-
Undang No. 36 Tahun 2008. Dalam Pasal 18 ayat (3) diatur mengenai
kewenangan Ditjen Pajak untuk menghitung kembali suatu transaksi yang
dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Dalam Pasal 18 ayat (3) (a) diatur bahwa
“Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak
dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga
transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu periode tertentu dan
mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu
tersebut berakhir”. Penjelasan pasal ini juga menyatakan bahwa “kesepakatan
harga transfer ( Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara
Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk
yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa
(related parties) dengan Wajib Pajak tersebut”.
19
antara Wajib Pajak dengan Direktorat Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup
beberapa hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan, jumlah royalty, dan
lain-lain yang tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain
memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, fiskus tidak
perlu melakukan koreksi terhadap harga jual dan keuntungan produk yang dijual
oleh wajib pajak kepada perusahaan dalam suatu group yang sama. APA dapat
bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktorat Jenderal Pajak
dengan wajib pajak. APA dapat juga bersifat bilateral, yaitu merupakan
kesepakatan antara Direktorat Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan Negara
lain yang menyangkut wajib pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak
berada di bawah pengusaan yang sama baik secara langsung ataupun tidak
langsung; atau
20
Perusahaan yang menggunakan metode transfer ini menetapkan harga transfer
atas biaya variabel dan tetap, yang bisa dalam 3 (tiga) pemilihan bentuk, yaitu
biaya penuh ( full cost ), biaya penuh ditambah mark-up ( full cost plus markup ),
dan gabungan antara biaya variabel dan tetap (variable cost plus fixed fee).
b. Harga transfer atas dasar harga pasar (market basis transfer pricing)
Apabila ada suatu pasar yang sempurna, metode ini merupakan ukuran yang
paling memadai, karena sifatnya yang independen. Namun keterbatasan
informasi pasar yang terkadang menjadi kendala dalam menggunakan metode
transfer pricing ini.
Ada dua tujuan transfer pricing yang ingin dicapai oleh perusahaan
multinasional, yaitu:
a. Performance evaluation
Salah satu ukuran yang digunakan oleh banyak perusahaan untuk menilai
kinerjanya adalah menghitung berapa tingkat ROI-nya atau return on
investment. Terkadang tingkat ROI untuk satu divisi dengan divisi lainnya
dalam satu perusahaan yang sama berbeda satu dengan yang lain. Misalnya,
divisi penjual menginginkan harga transfer yang tinggi yang akan
meningkatkan income, yang secara otomatis juga akan meningkatkan ROI-nya.
Namun di sisi lain, divisi pembeli menuntut harga transfer yang rendah yang
nantinya berakibat pada peningkatan income, yang berarti juga peningkatan
21
dalam ROI. Oleh karena itu dalam hal ini induk perusahaan akan sangat
berkepentingan dalam penentuan harga transfer.
Tarif pajak antar satu Negara dengan Negara yang lain berbeda. Perbedaan ini
disebabkan oleh lingkungan ekonomi, sosial, politik, dan budaya yang berlaku
dalam Negara tersebut. Sebagai contoh di Afrika, karena tingkat investasi
rendah, tarif pajak yang berlaku di Negara itu juga rendah. Akan tetapi jika kita
bandingkan dengan Amerika, tidak mungkin tarif pajak yang diberlakukan di
Negara tersebut sama dengan di Afrika. Hal ini jelas karena di Negara maju
seperti Amerika tingkat investasi sangat tinggi yang dibuktikan dengan tingkat
pertumbuhan badan usaha yang semakin meningkat. Atas dasar inilah tarif
pajak yang ditetapkan di Negara tersebut tinggi.
22
Contoh Kasus Tr ansfer Pricing
Jika PT A mengekspor produk dengan harga pokok dan biaya lainnya US$100
ke XY di Negara PQ dengan harga US$200, atas laba US$100 dibayar PPh di
Indonesia sebesar US$30. Namun jika dijual ke perusahaan afiliasi SQ di Singapura
dengan harga transfer pricing sebesar US$120 dan kemudian SQ menjual kepada
XY dengan harga US$200. Maka, atas laba PT A sebesar US$20 dan QS sebesar
US$80 akan dibayar pajak sejumlah US$22 (di Indonesia US$6, dan di Singapura
US$16).
Dengan chanelling ke Singapura, dari laba global US$100 sudah didapat
penghematan pajak sebesar US$8. Kalau SQ menjual ke perusahaan afiliasinya HK
di HongKong (yang mengenakan pajak korporasi sebesar US$16) dengan harga
US$150, maka atas laba di Indonesia US$20, di Singapura US$30 dan di HongKong
US$50 akan dibayar PPh sebesar US$20 (PT A membayar US$6, SQ membayar
US$6, dan HK membayar US$8). Dengan tiga tahap penjualan ini, terdapat
penghematan pajak sebesar US$10. Jadi, semakin rendah tarif pajak Negara tempat
kedudukan perusahaan trading afiliasi yang dimanfaatkan dalam mata rantai
perdagangan, semakin besar pula penghematan pajak dari praktik transfer pricing
ini.
23
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
Jika, misalnya, dari operasi di Negara Q tersebut diperoleh kerugian sebesar 50,
maka penghitungan pajaknya adalah sebagai berikut :
Penghasilan domestik (Negara P) 200.000.000
Rugi Penghasilan Luar Negeri (Negara Q) (50.000.000)
Penghasilan global 150.000.000
Pajak Penghasilan kurang bayar:
37.500.000
25% x 150.000,000
24
tahun berikutnya dari operasi di Negara Q didapat laba 150.000,000, di samping laba
domestik 250.000.000, maka penghitungan pajak terutangnya adalah:
Penghasilan domestik (Negara P) 250.000.000
Penghasilan Luar Negeri (Negara Q) (150.000.000)
Penghasilan global 400.000.000
Pajak terutang (400.000.000 x 25%) 100.000.000
Eksemsi pajak
Penghasilan luar negeri 150.000.000
Perhitungan rugi laba tahun lalu (50.000.000)
Basis penghitungan eksemsi 100.000.000
Eksemsi pajak 100.000.000 x 25% (25.000.000)
Pajak Penghasilan kurang bayar 75.000.000
25
DAFTAR PUSTAKA