Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

MANAJEMEN PERPAPAJAKN

KONSEP DASAR PERPAJAKAN INTERNASIONAL

Diajukan untuk memenuhi dan melengkapi salah satu syarat dalam


Menempuh Perkuliahan Manajemen Perpajakan pada
Fakultas Ekonomi Program Profesi Akuntansi Universitas Widyatama

Dosen Pembimbing : Iji Samaji, S.E., M.Si., Ak., CA., BKP

Disusun Oleh :

Kelompok 3
1. Putri Permatasari (1517202003)
2. Bakhrul Ulum Asysidiqi (1517202008)
3. Edwin Gunawan (1517204001)

FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM PROFESI AKUNTANSI
UNIVERSITAS WIDYATAMA
Terakreditasi (accredited)
SK. Ketua Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT)
Nomor : 1148/SK/BAN-PT/Ak-SURV/PPAK/XI/2015
Tanggal 31 Januari 2015
BANDUNG
2018
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang atas

kehendak-Nya dan izin-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat

serta salam tercurah limpahkan kepada baginda Rasullallah Muhammad S.A.W.

untuk sauri tauladan yang paling sempurna bagi seluruh umat manusia.

Makalah ini berjudul “Konsep Dasar Perpajakan Internasional”.

Adapun maksud dan tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah

satu syarat dalam menempuh perkuliahan Manajemen Perpajakan pada Fakultas

Ekonomi Program Profesi Akuntansi Universitas Widyatama.

Selama penulis menyelesaikan makalah ini tidak terlepas dari dukungan

moril maupun materil serta doa yang diberikan oleh berbagai pihak. Pada

kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih secara tulus kepada :

1. Ibu (Alm) Koesbandijah Abdoel Kadir, Prof., Dr., Hj., M.S., Ak. selaku

Pendiri Yayasan Widyatama.

2. Ibu Sri Lestari Roespinoedji, S.H. selaku Ketua Badan Pengurus Yayasan

Widyatama.

3. Bapak Islahuzzaman, Dr., H., S.E., M.Si., Ak., CA. selaku Rektor

Universitas Widyatama.

4. Bapak Nuryaman, Dr., H., S.E., M.Si., Ak., CA. dan Ibu Dyah

Kusumastuti, Dr., Ir., M.Sc. selaku Wakil Rektor Universitas Widyatama.

i
5. Bapak R. Wedi Rusmawan K. , Dr., S.E., M.Si., Ak., CA. selaku Dekan

Fakultas Ekonomi Universitas Widyatama.

6. Ibu Rita Yuniarti, Dr., S.E., M.M., Ak., CA. selaku Wakil Dekan Fakultas

Ekonomi Universitas Widyatama.

7. Bapak Obsatar Sinaga, Prof., Dr., H., S.IP., M.Si. selaku Direktur Program

Pasca Sarjana Universitas Widyatama.

8. Bapak Bachtiar Asikin, S.E., M.M., Ak., CA. selaku Wakil Direktur

Program Pasca Sarjana Universitas Widyatama.

9. Bapak Karhi Nisjar Siradjudin, Prof., Dr., H., M.M., Ak. selaku Ketua

MAKSI-PPAK Universitas Widyatama.

10. Bapak Iji Samaji, S.E., M.SI., Ak., CA., BKP. Selaku Dosen Pembimbing

Mata Kuliah Manajemen Perpajakan.

11. Teman-teman Kelas Program Profesi Akuntansi Angkatan XXX, Riandy,

Yani, Dede, Yulianti, Rizkia, Sarah, Fadilla, Elsya, Joko, Andri dan

Denden.

Demikian ucapan terima kasih yang dapat disampaikan, penulis berharap

semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca.

Jazakumullahu khairan katsira. Amin

Bandung, Juni 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………...................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Perpajakan Internasional ............................................ 3

1. Definisi Pajak Internasional ……………………………..…..….. 3

2. Tujuan Kebijakan Perpajakan Internasional ……………….…… 4

3. Prinsip - Prinsip yang Harus Dipahami dalam Perpajakan

Internasional ……………………………………………………. 4

4. Pemajakan Lintas Negara ………………………………………. 4

B. Konsep Juridical Versus Economical Double Taxation ………...… 5

1. Juridical Versus Economical Double Taxation ………………… 5

2. Sumber hukum Perpajakan Internasional ………………………. 6

3 Kaidah Hukum Pajak Nasional/Inilateral yang Mengandung

Unsur Asing …………………………………………..………… 8

4. Keputusan Hakim Nasional Atau Komisi Internasional Tentang

Pajak – Pajak Internasional ……………………………………... 9

5. Prinsip Non-Diskriminasi ………………………………………. 10

iii
C. Konsep Anti Tax Avoidance ……………………………………….. 12

D. Penghindaran Pajak Berganda (P3B) ……………………………… 14

1. Definisi P3B …………………………………………………….. 14

2. Tujuan P3B ………………………………………………...…… 14

3. Azaz P3B ……………………………………………………….. 15

4. Metode P3B …………………………………………………….. 15

5. Model Perpjanjian Pajak Berganda ………………………..…… 16

6. Dasar Hukum P3B ……………………………………………… 16

E. Transfer Pricing …………………………………………………… 17

1. Proses Terjadinya Transfer Pricing …………………………….. 17

2. Metode Transfer Pricing ………………………………...…....... 20

3. Tranfer Pricing Pada Perusahaan Multinasional …………...…... 21

4. Transfer Pricing Atas Royalti ………………………………... 22

BAB III PEMBAHASAN KASUS

1. Simulasi Kasus Pajak Internasional …………………………… 24

DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai Negara berdaulat memiliki hak untuk membuat ketentuan


tentang perpajakan. Fungsi dari pajak yang ditarik oleh pemerintah ini utamanya
adalah untuk membiayai kegiatan pemerintahan dalam rangka menyediakan barang
dan jasa publik yang diperlukan oleh seluruh rakyat Indonesia. Di samping itu, pajak
 juga berfungsi untuk mengatur perilaku Warga Negara untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu.
Indonesia juga bagian dari dunia internasional yang sudah pasti dalam
menjalankan roda pemerintahannya melakukan hubungan internasional. Hubungan
internasional dapat berupa kerjasama di bidang keamanan pertahanan, kerjasama di
 bidang sosial, ekonomi, budaya dan lainnya, namun pembahasan ini terbatas pada
kegiatan ekspor maupun impor (Transaksi Perdagangan Internasional) yang terkait
dengan pajak internasional. Setiap kerjasama yang dilakukan oleh setiap negara
tentunya harus disepakati terlebih dahulu oleh para pihak guna mencapai komitmen
 bersama yang termuat dalam suatu perjanjian internasional, tidak terkecuali
 perjanjian dalam bidang
bidan g perpajakan.
Transaksi perdagangan antara dua negara atau beberapa negara
 berpotensi menimbulkan aspek perpajakan, hal ini tentunya harus diatur oleh kedua
negara atau dunia internasional secara umum guna meningkatkan perekonomian dan
 perdagangan negara-negara yang melakukan
melak ukan kerjasama
ker jasama tersebut.
te rsebut. Ini menjadi
menjad i penting
pentin g
agar tidak menghambat aliran dana investasi akibat pengenaan pajak yang
memberatkan Wajib Pajak yang bekedudukan di kedua negara yang melakukan
transaksi tersebut. Untuk itu perlu adanya kebijakan perpajakan internasional dalam
hal mengatur hak pengenaan pajak yang berlaku disuatu negara, dengan asumsi
 bahwa disetiap negara dapat dipastikan sudah mengatur ketentuan pajak dalam
wilayah yang menjadi kedaulatannya. Namun setiap negara tidak bebas mengatur
 pengenaan pajak terhadap badan atau warga negara asing, pajak internasional
merupakan salah satu bentuk hukum internasional, dimana setiap negara harus

1
tunduk pada kesepakatan dunia internasional yang dikenal dengan istilah Konvensi
Wina.
Setiap kebijakan tentu mempunyai tujuan khusus yang ingin dicapai, begitu
 juga dengan kebijakan perpajakan internasional juga mempunyai tujuan yang ingin
dicapai yaitu memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di
masing-masing negara, pemerintah berusaha untuk meminimalkan pajak yang
menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Salah upaya untuk meminimalkan
 beban tersebut adalah dengan melakukan penghindaraan pajak berganda
internasional.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Perpajakan International

1. Definisi Pajak International

Definisi Pajak Internasional dalam Undang-undang Pajak Penghasilan


sampai detik ini belum ada. Penulis bersama dengan Bapak Sriadi Kepala Seksi
Perjanjian Perpajakan Eropa, Kantor Pusat Direktorat Jendral Pajak,
memberanikan diri untuk mendefinisikan tentang pengertian Pajak Internasional
 berdasarkan uraian sebelumnya.
Pajak Internasional adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku di antara
negara yang mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan
 pelaksanaanya dilakukan dengan niat baik sesuai dengan Konvensi Wina  Pacta
(
Sunservanda).
Dengan demikian peraturan perpajakan yang berlaku di Negara Indonesia
terhadap badan atau orang asing menjadi tidak berlaku bilamana terdapat
 perjanjian bilateral (dua negara) tentang Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda dengan negara asal atau penduduk asing tersebut.
Secara umum, ketentuan pajak internasional suatu negara meliputi 2 (dua)
dimensi luas yaitu:
a. Pemajakan terhadap wajib pajak dalam negeri (WPDN) atas penghasilan dari
luar negeri, dan

 b. Pemajakan terhadap wajib pajak luar negri (WPLN) atas penghasilan dari
dalam negeri (domestik).

Dimensi pertama merujuk pada permajakan atas penghasilan luar negeri


atau transaksi (ke) luar batas negara (outward , outbound transaction ) karena
umumnya melibatkan eksportasi modal ke manca negara sedangkan dimensi
kedua menunjuk pada pemajakan ataspenghasilan domestik atau transaksi (ke)
dalam batas negara (inward , inbound transaction ) karena umumnya melibatkan
importasi modal dari manca negara. Dalam aplikasinya pemajakan penghasilan
3
luar negeri dilakukan oleh negara domisili (residence country), sedangkan
 pemajakan penghasilan domestik dilakukan oleh negara sumber  (source country).
2. Tujuan Kebijakan Perpajakan Internasional

Setiap kebijakan tentu mempunyai tujuan khusus yang ingin dicapai, begitu
 juga dengan kebijakan perpajakan internasional juga mempunyai tujuan yang
ingin dicapai yaitu memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju
investasi di masing-masing negara, pemerintah berusaha untuk meminimalkan
 pajak yang menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Salah upaya untuk
meminimalkan beban tersebut adalah dengan melakukan penghindaraan pajak
 berganda internasional.
3. Prinsip-Prinsip yang Harus Dipahami dalam Perpajakan Internasional

Doernberg (1989) menyebut 3 unsur netralitas yang harus dipenuhi dalam


kebijakan pemajakan internasional:
1. Capital Export Neutrality  (Netralitas Pasar Domestik): Kemanapun kita
 berinvestasi, beban pajak yang dibayar haruslah sama. Sehingga tidak ada
 bedanya bila kita berinvestasi di dalam atau luar negeri. Maka jangan sampai
 bila berinvestasi di luar negeri, beban pajaknya lebih besar karena menanggung
 pajak dari dua negara. Hal ini akan melandasi UU PPh Psl 24 yang mengatur
kredit pajak luar negeri.
2. Capital Import Neutrality  (Netralitas Pasar Internasional): Darimanapun
investasi berasal, dikenakan pajak yang sama. Sehingga baik investor dari
dalam negeri atau luar negeri akan dikenakan tarif pajak yang sama bila
 berinvestasi di suatu negara. Hal ini melandasi hak pemajakan yang sama
dengan Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) terhadap permanent establishment
(PE) atau Badan Usaha Tetap (BUT) yang dapat berupa cabang perusahaan
ataupun kegiatan jasa yang melewati time-test  dari peraturan yang berlaku.
3.  National Neutrality : Setiap negara, mempunyai bagian pajak atas penghasilan
yang sama. Sehingga bila ada pajak luar negeri yang tidak bisa dikreditkan
 boleh dikurangkan sebagai biaya pengurang laba.
4. Pemajakan Lintas Negara

4
Pemajakan berganda terjadi karena benturan antar klaim pemajakan. Hal ini
karena adanya prinsip pemajakan global untuk wajib pajak dalam negeri  (global
 principle) dimana penghasilan dari dalam luar negeri dan dalam negeri dikenakan
 pajak oleh negara residen (negara domisili wajib pajak). Selain itu, terdapat
 pemajakan teritorial ( source principle ) bagi wajib pajak luar negeri (WPLN) oleh
negara sumber penghasilan dimana penghasilan yang bersumber dari negara
tersebut dikenakan pajak oleh negara sumber. Hal ini membuat suatu penghasilan
dikenakan pajak dua kali, pertama oleh negara residen lalu oleh negara sumber
Misalnya: PT A punya cabang di Jepang. Penghasilan cabang di jepang dikenakan
 pajak oleh fiskus Jepang. Lalu di Indonesia penghasilan itu digabung dengan
 penghasilan dalam negeri lalu dikalikan tarif pajak UU domestik Indonesia.
Bentokran klaim lebih diperparah bila terjadi dual resident , dimana terdapat
dua negara sama-sama mengklaim seorang subjek pajak sebagi wajib pajak dalam
negerinya yang menyebabkan ia terkena pemajakan global dua kali. Misalnya:
Mr. A bekerja di Indonesia lebih dari 183 hari namun setiap sabtu dan minggu ia
 pulang ke rumahnya di Singapura. Mr. A dianggap WPDN oleh Indonesia dan
 juga Singapura sehingga untuk wajib melapor dan membayar pajak untuk
 penghasilan globalnya pada Indonesia maupun Singapura.
Dalam kaitan pembagian hak pemajakan ini, negara-negara yang melakukan
 perjanjian perpajakan dibagi menjadi dua jenis. Pertama adalah negara sumber
( source country) yang merupakan negara di mana penghasilan yang merupakan
objek pajak timbul. Kedua adalah negara domisili (resident country) yaitu negara
tempat subjek pajak bertempat tinggal, berkedudukan atau berdomisili
 berdasarkan ketentuan perpajakan.
Baik negara sumber maupun negara domisili biasanya berhak untuk
mengenakan pajak berdasarkan undang-undang domestiknya. Pengenaan pajak
oleh dua yurisdiksi perpajakan terhadap satu jenis penghasilan inilah yang
 biasanya menimbulkan pengenaan pajak berganda sehingga perlu diatur dalam
suatu persetujuan antara negara sumber dan negara domisili.

B. Konsep Ju r idi cal Ver sus Economic Double Taxati on 

1. Juridical Versus Economic Double Taxation


5
Dalam Pasal 23 A dan 23 B model P3B OECD membedakan antara pajak
 berganda yuridis ( juridical double taxation) dengan pajak ganda ekonomis
(economic double taxation ). Pajak berganda yuridis terjadi apabila atas
 penghasilan yang sama yang diterima oleh orang yang sama dikenakan pajak oleh
lebih dari satu negara, sedangkan pajak berganda ekonomis terjadi apabila dua
orang yang berbeda (secara hukum) dikenakan pajak atas suatu penghasilan yang
sama (atau identik).
Atas perbedaan tersebut Arnold dan McIntyre (2002) menyebutkan sebagai
definisi legal atas Pajak Berganda Internasional (sebutan lain dari PBI yuridis) dan
konsep ekonomis yang luas atas PBI. Berdasar definisi legal, pemajakan badan
usaha (atau perusahaan induk) oleh suatu Negara dan pemajakan atas pemegang
saham (atau perusahaan anak) oleh negara lain bukanlah suatu pajak berganda
karena mereka merupakan dua subjek hukum yang berbeda. Namun demikian,
secara ekonomis PBI terjadi dalam kasus badan dengan pemegang sahamnya
karena mereka merupakan satu kesatuan ekonomis. Pajak bergganda ekonomis
dapat terjadi apabila penghasilan dikenakan pajak pada persekutuan dan kepada
sekutu, atau kepada lembaga wali amanat (trust) dan pemilik manfaat manat
(beneficiaries), dan pemajakan penghasilan pada keluarga dan anggota keluarga.
Dalam komentar atas Pasal 23A dan 23B, model konvensi OECD
menjelaskan tentang PBI yuridis dan ekonomis. Sementara PBI yuridis terjadi
apabila suatu penghasilan (atau modal) yang sama dikenakan pajak di tangan
orang (subjek) yang sama oleh lebih dari satu Negara, PBI ekonomis timbul
apabila dua orang yang (secara yuridis) berbeda dikenakan pajak atas suatu
 penghasilan (atau modal maupun objek) yang sama (oleh lebih dari satu negara).
Dalam PBI yuridis tampak bahwa pemajakan oleh lebih dari satu negara tersebut
dilakukan terhadap satu subjek legal yang sama (legal identityof subject ). Di pihak
lain, PBI ekonomis meliputi pemajakan atas objek yang sama terhadap legal
subjek yang berbeda, namun secara ekonomis identik atau setidaknya merupakan
 para wajib pajak yang terdapat hubungan (economic identity of subject ).
2. Sumber Hukum Perpajakan Internasional

Ottmar Buhler   membagi Hukum Pajak Internasional dalam arti sempit dan
hukum pajak internasional dalam arti luas. Hukum Pajak Internasional dalam arti
6
sempit adalah (Agus Setiawan, 2006): “Kaedah-kaedah norma hukum perselisihan
yang didasarkan pada hukum antar bangsa (hukum internasional),”  Sedangkan
hukum pajak dalam arti luas ialah: “Kaedah-kaedah hukum antar bangsa ini
ditambah peraturan nasional yang mempunyai obyek hukum perselisihan,
khususnya tentang perpajakan.”
Teicher   memberikan kesimpulan bahwa dalam hukum pajak internasional
dalam arti luas termasuk sebagai berikut:
a. Hukum Pajak Internasional dan Nasional
 b. Hukum yang mengatur perjanjian pajak untuk mencegah pajak ganda dan lain-
lain perjanjian internasional;
c. Bagian dari hukum antar bangsa, yaitu :
1) Peraturan hukum yang mengandung soal-soal pajak dalam hukum
internasional/antar bangsa yang diakui secara umum;
2) Keputusan Pengadilan Internasional Den Haag yang memuat soal-soal
 perpajakan;
3) Apa yang telah berkembang sebagai hukum pajak pada masyarakat
internasional (tertentu) seperti supranationales steuerrecht .

Menurut  Rosendorff , Hukum Pajak Internasional sebagai keseluruhan


Hukum Pajak Nasional dari semua negara yang ada di Dunia. Menurut PJA
Adriani, Hukum Pajak Internasional ialah keseluruhan peraturan yang mengatur
tata tertib hukum dan yang mengatur soal penyedotan daya beli itu di masing-
masing negara.
Pengertian Hukum Pajak Internasional itu merupakan suatu pengertian yang
lebih luas dari pada pengertian Pajak Ganda dan Hukum Pajak Nasional itu
termasuk di dalam Hukum Pajak Internasional. Hukum Pajak Internasional
merupakan suatu kesatuan hukum yang mengupas suatu persoalan yang diatur
dalam Undang-undang nasional mengenai :
a. Pengenaan pajak terhadap orang-orang luar negeri;
 b. Peraturan-peraturan nasional untuk menghindari pajak ganda;
c. Traktat-traktat.

7
Menurut Negara-negara  Anglo Saxon, hukum Pajak Internasional dibagi
sebagai berikut :
a. Hukum Pajak Nasional mengatur Hukum Pajak Luar Negeri ( National
 External Tax Law);
 National External Tax Law  merupakan bagian dari hukum pajak nasional yang
memuat ketentuan-ketentuan mengenai pengenaan pajak yang mempunyai
daya kerja sampai di luar batas-batas negara karena terdapat unsur-unsur asing,
 baik mengenai obyeknya (sumber ada di luar negeri) maupun mengenai
subyeknya (subyek ada di Luar Negeri).
 b. Hukum Pajak Luar Negeri ( Foreign Tax law);
 Foreign Tax Law   ialah keseluruhan perundang-undangan dan peraturan-
 peraturan dari negara-negara yang ada di seluruh dunia.
c. Hukum Pajak Internsional ( Internasioanal Tax Law);
 Internasional Tax Law  dibedakan dalam arti sempit dan arti luas. Hukum Pajak
Internasional dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaedah pajak yang
 berdasarkan prinsip-prinsip hukum pajak yang telah lazim diterima baik oleh
 Negara-negara di Dunia, mempunyai tujuan mengatur soal perpajakan antara
negara yang saling mempunyai kepentingan.
3. Kaidah Hukum Pajak Nasional/Inilateral Yang Mengandung Unsur Asing
Kaedah Hukum Pajak Nasional/Inilateral yang mengandung unsur asing,
antara lain:
a. Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur P3B (Pasal 32 A UU PPh)
tentang “Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan negara
lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan
 pajak.”;
 b. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang : Subjek Pajak Luar
 Negeri dan Bentunk Usaha Tetap (BUT);
c. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk
Subyek Pajak;
d. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 5 ayat (2) UU PPh) tentang: Peraturan
Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subyek Pajak

8
Bentuk Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak
Termasuk Subjek Pajak Usaha Tetap;
e. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tentang: Hubungan
Istimewa, Billamana Terdapat Ketidakwajaran dalam Perpajakan;
f. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang: Kredit Pajak Luar
 Negeri;
g. Peraturan Perpajakan Nasianal (Pasal 26 UU PPh) tentang: Pemotongan Pajak
atas Subjek Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Sedangkan kaedah-kaedah yang berasal dari traktat adalah:
a. Perjanjian bilateral;
 b. Perjanjanjian ini diwujudkan dengan adanya Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda (P3B).
c. Perjanjian multirateral. Perjanjian ini seperti Konvensi Wina.

4. Keputusan Hakim Nasional Atau Komisi Internasional Tentang Pajak-Pajak


Internasional.

Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya putusan pengadilan pajak yang
menyangkut tentang perpajakan Internasional, atau Keputusan Pengadilan
internasional Den Haag yang memuat soal-soal perpajakan.
Berdasarkan Pasal 32A UU PPh, pemerintah berwenang untuk melakukan
 perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran Pajak
Berganda dan pencegahan Pengelakan Pajak. Dalam penjelasannya, perjanjian ini
dimaksudkan dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan
dengan negara lain diperlukan suatu perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-
 spesialis) yang mengatur hak-hak pengenaan pajak dari masing-masing negara
guna memberikan kepastian hukum dan menghindarkan pengenaan pajak
 berganda serta pengelakan pajak. Adapun bentuk dan meterinya mengacu pada
Konvensi Internasional dan ketentuan lainnya serta ketentuan perpajakan nasional
masing-masing negara. Atas dasar tersebut maka Negara Indonesia mengakui
Konvensi Wina tahun 1961 (CD) dan 1963 (CC), dan tax treaty berbagai negara.
Menurut Rochmat Soemitro, dalam Hukum Pajak Internasional mencakup
 juga perjanjian bilateral perpajakan yang disebut dengan istilah “Traktat antar
negara utuk mengatur soal-soal perpajakan dan dalam mana dapat ditunjukan
9
adanya unsur-unsur asing, baik mengenai subyeknya maupun mengenai
obyeknya.
Kekuasaan Negara tidak hanya menciptakan UU Pasal 23 ayat 2 UUD 1945,
namun kekuasaan ini juga tercemin dalam mana negara mempertahankan
kedaulatan negara dimana tidak ada Hukum Internasional mana atau oleh siapa
yang dapat membatasi wewenang ini.
Apabila negara kita tidak tunduk dan patuh terhadap hukum internasional,
maka negara kita akan diberikan sanksi secara bersama oleh negara yang
mengikuti konvensi tersebut, dalam hal demikian Indonesia akan dikucilkan
dalam dunia internasional dan berdampak terhadap perekonomian negara
Indonesia secara keseluruhan, sehingga mau tidak mau Indonesia harus turut serta
menjalankan konvensi tersebut.
5. Prinsip Non D iskri minasi

Ketentuan non diskriminasi dimaksudkan untuk memberikan perlindungan


di bidang perpajakan bagi warga negara dari suatu negara treaty partner yang
melakukan kegiatan di negara treaty partner   lainnya. perlindungan yang
dimaksud adalah warga negara dari negara treaty partner   lainnya dibandingkan
warga negara di negara itu dalam keadaan atau kondisi yang sama (the same
circumstances).
Ketentuan non diskriminasi itu berlaku atas suatu bentuk usaha tetap dari
 perusahaan yang adalah penduduk dari suatu negara treaty partner lainnya atau
 perusahaan penanaman modal di negara itu yang modalnya sebagian atau
seluruhnya dimiliki atau dikuasai baik langsung maupun tidak langsung oleh
 penduduk dari negara yang disebutkan pertama. Namun, ketentuan ini tidak
mewajibkan negara treaty partner   lainnya memberikan keringanan (allowances),
 potongan (reliefs) ataupun pengurangan (deductions) pengenaan pajak kepada
warga negara atau penduduk dari negara yang disebutkan pertama di atas.
Sebagai perusahaan yang berorientasi laba, sudah tentu suatu perusahaan
domestik maupun perusahaan multinasional berusaha meminimalkan beban pajak
dengan cara memanfaatkan kelemahan sistem ketentuan pajak dari suatu negara.
Di banyak negara, skema penghindaran pajak dapat dibedakan menjadi:
a. Penghindaran pajak yang diperkenankan (acceptable tax avoidance).
10
 b. Penghindaran pajak yang tidak diperkenankan (unacceptable tax avoidance ).

Antara suatu negara dengan negara lain bisa jadi saling berbeda
 pandangannya tentang skema apa saja yang dapat dikategorikan sebagai
acceptable tax avoidance   atau unacceptable tax avoidance. Dengan demikian,
 bisa saja suatu skema penghindaran pajak tertentu di suatu negara dikatakan
sebagai penghindaran pajak yang tidak diperkenankan, tetapi di negara lain
dikatakan sebagai penghindaran pajak yang diperkenankan. Istilah lain yang
sering dipergunakan untuk menyatakan penghindaran pajak yang tidak
diperkenankan adalah aggressive tax planning   dan istilah untuk penghindaran
 pajak yang diperkenankan adalah defensive tax planning .
Dalam buku-buku perpajakan, istilah tax avoidance  biasanya diartikan
“sebagai suatu skema transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan beban pajak
dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan perpajakan
suatu negara.” Dengan demikian,  banyak ahli pajak menyatakan skema tersebut
sah-sah saja (legal) karena tidak melanggar ketentuan perpajakan. Lebih lanjut,
The Asprey Comittee of Australia, seperti yang dikutip oleh Indrayagus Slamet
menyatakan bahwa tax avoidance umumnya menyangkut perbuatan yang masih
dalam koridor hukum tapi tidak berdasarkan ” bonafide dan adequate
consideration”,  atau berlawanan dengan maksud dari pembuat undang-undang
(the intention of parliament ).
Tax planning  adalah “upaya Wajib Pajak untuk meminimalkan pajak yan g
terutang melalui skema yang memang telah jelas diatur dalam peraturan
 perundang-undangan perpajakan dan sifatnya tidak menimbulkan dispute  antara
Wajib Pajak dan otoritas pajak.
Sedangkan tax evasion  diartikan sebagai suatu skema memperkecil pajak
yang terutang dengan cara melanggar ketentuan perpajakan (illegal ) seperti
dengan cara tidak melaporkan sebagian penjualan atau memperbesar biaya dengan
cara fiktif.
Berkaitan dengan tax avoidance, pertanyaan yang layak kita ajukan adalah
apakah suatu skema transaksi yang tujuannya semata-mata untuk penghindaran
 pajak (tidak ada tujuan bisnisnya) dengan cara memanfaatkan kelemahan
ketentuan perpajakan yang ada dapat dibenarkan? Dalam konteks perpajakan
11
internasional, ada berbagai skema yang biasa dilakukan oleh PMA untuk
melakukan penghematan pajak yaitu dengan skema seperti (1) transfer pricing ,
(2) thin capitalization, (3) treaty shopping , dan (4) controlled foreign corporation
(CFC).
Pada umumnya dalam melakukan penghematan pajak tersebut, Wajib Pajak
dapat menjalankan dalam bentuk:
a. Substantive tax planning , yang terdiri atas:
1) Memindahkan subjek pajak (transfer of tax subject ) ke negara-negara yang
dikategorikan sebagai tax haven  atau negara yang memberikan perlakuan
 pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.
2) Memindahkan objek pajak (transfer of tax subject ) ke negara-negara yang
dikategorikan sebagai tax haven  atau negara yang memberikan perlakuan
 pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.
3) Memindahkan subjek pajak dan objek pajak (transfer of tax subject and of
tax object ) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven  atau
negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas
suatu jenis penghasilan.
 b.  Formal tax planning.

Melakukan penghindaran pajak dengan cara tetap mempertahankan substansi


ekonomi dari suatu transaksi dengan cara memilih berbagai bentuk formal jenis
transaksi yang memberikan beban pajak yang paling rendah.

C. Konsep Anti Tax Avoidance

Dalam menghadapi skema-skema unacceptable tax avoidance  atau aggressive


tax planning   seperti tersebut di atas, umumnya suatu negara menerbitkan ketentuan
 pencegahan penghindaran pajak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
 perpajakan sebagai berikut ini:
a. Specific Anti Avoidance Rule  (SAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran pajak
atas transaksi seperti (i) transfer pricing , (ii) thin capitalization, (iii) treaty
 shopping , dan (iv) controlled foreign corporation (CFC).

12
 b. General Anti Avoidance Rule  (GAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran pajak
untuk mencegah transaksi yang semata-mata dilakukan oleh Wajib Pajak yang
semata-mata untuk tujuan penghindaran pajak atau transaksi yang tidak
mempunyai substansi bisnis.

Di banyak negara, seperti di Israel dan Kanada, telah membuat suatu ketentuan
untuk menangkal praktik unacceptable tax avoidance  atau aggressive tax planning 
yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Hal ini disebabkan karena tax planning   yang
dilakukan oleh Wajib Pajak tidak bersifat defensive tax planning   lagi tetapi sudah
semakin offensive  yaitu dengan membuat suatu transaksi semu yang pada dasarnya
tidak ada tujuan bisnisnya atau membuat suatu entitas usaha di negara-negara yang
dikategorikan sebagai tax haven country. Di Australia, skema-skema yang dapat
dikategorikan sebagai aggressive tax planning   oleh  Australian Taxation Office
(ATO) adalah sebagai berikut:
a. Transaksi yang dibuat semata-mata untuk tujuan menghindari pajak. Dengan kata
lain transaksi tersebut tidak mempunyai tujuan bisnis, kalaupun ada tujuan
 bisnisnya tetapi sangat tidak signifikan.
 b. Berusaha untuk mendapatkan fasiltas pajak yang sebenarnya fasilitas pajak
tersebut tidak ditujukan kepadanya.
c. Membuat transaksi yang berputar-putar yang akhirnya transaksi tersebut akan
kembali lagi kepadanya (round-robin flow of funds ).
d. Penggelelembungan nilai aset untuk mendapatkan biaya penyusutan yang besar di
masa yang akan datang.
e. Memanfaatkan suatu entitas usaha di mana penghasilan yang diterima oleh entitas
usaha tersebut dikecualikan sebagai objek pajak.
f. Transaksi bisnis yang melibatkan negara-negara yang dikategorikan sebagai tax
haven countries.

 di Indonesia
Tax Avoidance 

Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan kita yang berlaku saat ini,


 belum ada definisi yang jelas mengenai tax plannning , agresive tax planning ,
acceptable tax avoidance dan unacceptable tax avoidance . Dengan demikian, dalam
 praktiknya sering menimbulkan penafsiran yang berbeda antara Wajib Pajak dan
13
aparat pajak. Wajib Pajak dan aparat pajak tentu akan memberikan penafsiran
sendiri-sendiri yang menguntungkan mereka, sehingga menimbulkan ketidakpastian
hukum.
Dari sudut pandang Wajib Pajak, tentu akan berpendapat bahwa sepanjang
skema penghindaran pajak yang mereka lakukan tidak dilarang dalam peraturan
 perundang-undangan perpajakan tentu sah-sah saja (legal). Hal ini dimaksudkan
untuk memberi kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Akan tetapi, di sisi lain,
 pemerintah tentu juga berkepentingan bahwa jangan sampai suatu ketentuan
 perpajakan disalahgunakan oleh Wajib Pajak untuk semata-mata tujuan
 penghindaran pajak yang akan merugikan penerimaan negara. Oleh karena itu, untuk
kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak maupun bagi pemerintah, ketentuan tentang
tax planning , tax avoidance, dan anti tax avoidance   yang berupa Specific Anti
 Avoidance Rule (SAAR) maupun General Anti Avoidance Rule  (GAAR) harus diatur
secara jelas dan rinci dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
 baik untuk ketentuan formalnya yaitu terkait dengan sanksi, maupun dalam ketentuan
materialnya.

D. Penghindaran Pajak Berganda (P3B)

1. Definisi P3B

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah perjanjian


internasional di bidang perpajakan antar kedua negara guna menghindari
 pemajakan ganda agar tidak menghambat perekonomian kedua negara dengan
 prinsip saling menguntungkan antar kedua negara dan dilaksanakan oleh
 penduduk antar kedua negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut.

2. Tujuan P3B

Tujuan P3B adalah sebagai berikut:

a. Tidak terjadi pemajakan berganda yang memberatkan ikim dunia usaha;


 b. Peningkatan investasi modal dari luar negeri ke dalam negeri;
c. Peningkatan sumber daya manusia;
14
d. Pertukaran informasi guna mencegah pengelakan pajak;
e. Kedudukan yang setara dalam hal pemajakan antar kedua negara.

3. Azas P3B

Azaz utama yang dijadikan landasan untuk mengenakan pajak adalah:

a. Azas domisili atau azas kependudukan;


 b. Azas Sumber;
c. Azas Nasionalitas atau azas kewarganegaraan.

4. Metode P3B

Metode hak pemajakan di berbagai negara, untuk menghindari pemajakan


 berganda, antara lain:

a. Metode Pemajakan Unilateral

Metode ini mengatur bahwa negara Republik Indonesia mempunyai kekuatan


hukum didalamnya yang mengatur masyarakat atau badan internasional dan
ditetapkan sepihak oleh negara Indonesia sendiri, dengan kata lain tidak ada
yang bisa mengatur negara kita lain karena hail itu merupakan kewibawaan dan
kedaulatan negara kita.

 b. Metode Pemajakan Bilateral

Metode ini dalam penghitungan pengenaan pajaknya harus mempertimbangkan


 perjanjian kedua negara (Tax Treaty). Indonesia tidak dapat sesuka hati
menerapkan jumlah pajak terutang penduduk asing atau badan internasional
dua negara yang telah mengadakan perjanjian. Justru peraturan perpajakan
Indonesia tidak berlaku bilamana terdapat Tax Treaty.

c. Metode Pemajakan Multilateral

15
Metode ini didasarkan pada konvensi internasional yang ketentuan atau
ketetapan atau keputusan yang dihasilkan untuk kepentingan banyak negara
yang ditandatangani oleh berbagai negara, misalnya Konvensi Wina.

Metode Penghindaran Pajak Berganda adalah:

a. Pembebasan / Pengecualian;
 b. Kredit Pajak;
c. Metode Lainnya.

5. Model Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda:

a. Model OECD (Organization for Economic Cooperation and Development );


 b. Model UN (United Nation);
c. Model Indonesia (Gabungan antara model OECD dan UN).

6. Dasar Hukum P3B

P3B merupakan perjanjian antara negara berdaulat dan mempunyai status


legal sebagai perjanjian internasional dan berfungsi sebagai perjanjian pembuat
undang-undang (lawmaking treaties) berdasar hukum publik internasional karena
disepakati (pemerintah) negaranegara (contracting states) dalam kapasitasnya
sebagai subjek hukum publik internasional (knechtle; 1979). Negara (Pemerintah)
Indonesia dapat menutup P3B yang menyatakan berdasar amanat Pasal 11 (1)
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa presiden dengan
 persetujuan DPR membuat perjanjian dengan negara lain. Selanjutnya Pasal 4 (1)
Undang-Undang No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional antara lain
menyatakan bahwa Pemerintah RI membuat perjanjian internasional dengan satu
negara atau lebih, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan;
dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan
itikad baik. Khusus untuk pajak penghasilan, Pasal 32 A UU PPh menyatakan
 bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah
negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan
 pengelakan pajak.

16
E. Tr ansfer Pr icin g
1. Proses Terjadinya Transfer Pricing

Transfer pricing   adalah transaksi antara pihak-pihak yang memiliki


hubungan istimewa.Pertumbuhan kegiatan ekonomi internasional yang
 berkembang pesat turut memacu perkembangan korporasi multinasional
(multinational company). Kegiatan korporasi multinasional sebagai group-group
 perusahaan telah banyak ditemukan dalam negara berkembang, sehingga menjadi
unit-unit bisnis yang besar dan berkuasa, dengan konsep dan strategi yang lebih
luas.

Transfer pricing  (harga transfer) merupakan sebutan atau istilah yang umum


digunakan untuk penentuan harga atas berbagai transaksi antar anggota group
korporasi multinasional. Transfer pricing   dapat ditentukan berbeda dengan harga
wajar atau harga yang berlaku di pasaran bebas, namun dapat juga ditentukan
lebih tinggi atau bahkan lebih rendah. Transfer pricing   ini merupakan isu klasik
dalam bidang perpajakan, khususnya menyangkut transaksi internasional yang
dilakukan oleh korporasi multinasional.

Sementara itu, penelitian tim UNTC PBB yang diketuai oleh Silvain
Plasschaert yang dinyatakan kembali oleh Gunadi (1999), disebutkan bahwa
motivasi transfer pricing di Indonesia terkait dengan beberapa hal antara lain:

a. Pengurangan objek pajak, terutama pajak penghasilan;

 b. Pelonggaran pengaruh pembatasan kepemilikan luar negeri;

c. Penurunan pengaruh depresiasi Rupiah;

d. Menguatkan tuntutan kenaikan harga atau proteksi terhadap saingan impor;

e. Mempertahankan sikap low profile tanpa mempedulikan tingkat keuntungan


usaha;

f. Mengamankan perusahaan dari tuntutan atas imbalan atau kesejahteraan


karyawan dan kepedulian lingkungan;

17
g. Memperkecil akibat pembatasan dan risiko bisnis di luar negeri.

Untuk menghindari praktik penyalahgunaan transfer pricing   oleh korporasi


multinasional, Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
 junto Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas
Undang- Undang No. 7 Tahun 1983 memberikan kewenangan kepada otoritas
 pajak untuk menentukan kembali harga wajar transaksi antar pihak-pihak yang
memiliki hubungan istimewa (associated enterprises/related parties) dan
mewajibkan Wajib Pajak yang mempunyai transaksi dengan pihak-pihak yang
memiliki hubungan istimewa untuk membuat perjanjian dengan Direktur Jenderal
Pajak dalam bentuk  Advance Pricing Agreement (APA) atau kesepakatan harga
transfer mengenai harga wajar produk dalam transaksi yang dilakukan antar
mereka.

Kunci utama keberhasilan transfer pricing   dari sisi pajak adalah adanya
transaksi karena adanya hubungan istimewa. Hubungan istimewa merupakan
hubungan kepemilikan antara satu perusahaan dengan perusahaan lain. Hubungan
ini terjadi karena adanya keterkaitan satu pihak dengan pihak lain yang tidak
terdapat pada hubungan biasa. Hubungan istimewa ini dapat mengakibatkan
kekurangwajaran pelaporan, sebagai akibat pengalihan penghasilan atau dasar
 pengenaan biaya pada suatu transaksi dari suatu pihak ke pihak lainnya.

Transfer pricing sering digunakan oleh perusahaan-perusahaan


multinasional untuk meminimalkan jumlah pajak yang dibayar melalui rekayasa
harga yang ditransfer antardivisi. Perusahaan multinasional cenderung merelokasi
 penghasilan globalnya pada low tax country dan menggeser biaya-biaya dalam
 jumlah yang lebih besar pada high tax country . Artinya, ada pergeseran kewajiban
 perpajakan dari Negara-negara yang memiliki tarif pajak yang tinggi ke Negara
yang menerapkan pajak rendah. Disinilah terlihat praktik transfer pricing tersebut
yang mengakibatkan potensi penerimaan suatu Negara khususnya yang berasal
dari penerimaan pajak akan berkurang. Sementara dari sisi bisnis, perusahaan
akan cenderung berupaya meminimalkan biaya-biaya termasuk efisiensi dalam hal
 pembayaran pajak perusahaan. Bagi perusahaan multinasional, transfer pricing
merupakan strategi yang efektif untuk memenangkan persaingan dengan sumber
18
daya yang terbatas. Jika transfer pricing dilakukan antar perusahaan lokal (dalam
negeri) maka hal ini tidak menjadi persoalan, karena pemerintah tetap akan
memperoleh pajak dari salah satu perusahaan yang diuntungkan. Yang menjadi
masalah adalah jika transfer pricing dilakukan oleh perusahaan asing dengan
 perusahaan lokal. Jika hal ini terjadi maka akan sangat berbahaya. Perusahaan
lokal yang menjadi subsidiari dari perusahaan asing akan “dikorbankan”.  Artinya,
 perusahaan lokal itu sengaja dibuat merugi, padahal sebenarnya perusahaan lokal
tersebut sedang tidak merugi. Tujuannya tentu untuk menghindari pembayaran
 pajak oleh kedua perusahaan tersebut. Kasus ini sering terjadi pada industri batu
 bara. Jenis tambang itu merupakan incaran perusahaan tambang multinasional.
 perusahaan asing yang mendekati perusahaan tambang batu bara lokal. Dari
sinilah akan timbul negosiasi harga. Setelah itu yang terjadi justru praktik transfer
 pricing. Jika batu bara banyak dibeli oleh perusahaan asing, maka tidak mungkin
 perusahaan lokal itu akan merugi. Jika ada dua perusahaan yang berkonspirasi
untuk merugikan suatu perusahaan, hal ini sudah pasti transfer pricing.

Saat ini transfer pricing diatur dalam Pasal 18 ayat (3) dan (4) Undang-
Undang No. 36 Tahun 2008. Dalam Pasal 18 ayat (3) diatur mengenai
kewenangan Ditjen Pajak untuk menghitung kembali suatu transaksi yang
dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Dalam Pasal 18 ayat (3) (a) diatur bahwa
“Direktur Jenderal Pajak berwenang  melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak
dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga
transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu periode tertentu dan
mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu
tersebut berakhir”. Penjelasan pasal ini juga menyatakan bahwa “kesepakatan
harga transfer ( Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara
Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk
yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa
(related parties) dengan Wajib Pajak tersebut”.

Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik


 penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multinasional. Persetujuan

19
antara Wajib Pajak dengan Direktorat Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup
 beberapa hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan, jumlah royalty, dan
lain-lain yang tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain
memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, fiskus tidak
 perlu melakukan koreksi terhadap harga jual dan keuntungan produk yang dijual
oleh wajib pajak kepada perusahaan dalam suatu group yang sama. APA dapat
 bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktorat Jenderal Pajak
dengan wajib pajak. APA dapat juga bersifat bilateral, yaitu merupakan
kesepakatan antara Direktorat Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan Negara
lain yang menyangkut wajib pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.

Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh memberikan pengertian mengenai


apa yang dimaksud dengan hubungan istimewa dan penanganan transfer pricing
harus memenuhi kedua unsur, yaitu adanya kewenangan Direktorat Jenderal Pajak
serta memenuhi definisi hubungan istimewa.

Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh mengatur hubungan istimewa


dianggap ada apabila:

a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung


 paling rendah 25% pada Wajib Pajak lain;

 b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak
 berada di bawah pengusaan yang sama baik secara langsung ataupun tidak
langsung; atau

c. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis


keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.

2. Metode Tr ansfer Pri cing

Beberapa metode transfer pricing yang sering digunakan oleh perusahaan


konglomerasi dan divisionalisasi/departementasi adalah sebagai berikut:
a. Harga transfer dasar biaya (cost based transfer pricing )

20
Perusahaan yang menggunakan metode transfer ini menetapkan harga transfer
atas biaya variabel dan tetap, yang bisa dalam 3 (tiga) pemilihan bentuk, yaitu
 biaya penuh ( full cost ), biaya penuh ditambah mark-up ( full cost plus markup ),
dan gabungan antara biaya variabel dan tetap (variable cost plus fixed fee).

 b. Harga transfer atas dasar harga pasar (market basis transfer pricing)

Apabila ada suatu pasar yang sempurna, metode ini merupakan ukuran yang
 paling memadai, karena sifatnya yang independen. Namun keterbatasan
informasi pasar yang terkadang menjadi kendala dalam menggunakan metode
transfer pricing ini.

c. Harga transfer negosiasi (negotiated transfer prices)

Dalam ketiadaan harga, beberapa perusahaan memperkenankan divisi-divisi


dalam perusahaan yang berkepentingan dengan transfer pricing untuk
menegosiasikan harga transfer yang diinginkan. Harga transfer negosiasi
mencerminkan perspektif kontrol abilitas yang inheren dalam pusat-pusat
 pertanggungjawaban, karena setiap divisi yang berkepentingan tersebut pada
akhirnya akan bertanggungjawab atas harga transfer yang dinegosiasikan.

3. Tr ansfer Pri cing Pada Perusahaan Multinasional

Ada dua tujuan transfer pricing yang ingin dicapai oleh perusahaan
multinasional, yaitu:
a.  Performance evaluation

Salah satu ukuran yang digunakan oleh banyak perusahaan untuk menilai
kinerjanya adalah menghitung berapa tingkat ROI-nya atau return on
investment. Terkadang tingkat ROI untuk satu divisi dengan divisi lainnya
dalam satu perusahaan yang sama berbeda satu dengan yang lain. Misalnya,
divisi penjual menginginkan harga transfer yang tinggi yang akan
meningkatkan income, yang secara otomatis juga akan meningkatkan ROI-nya.
 Namun di sisi lain, divisi pembeli menuntut harga transfer yang rendah yang
nantinya berakibat pada peningkatan income, yang berarti juga peningkatan

21
dalam ROI. Oleh karena itu dalam hal ini induk perusahaan akan sangat
 berkepentingan dalam penentuan harga transfer.

 b. Optimal determination of taxes

Tarif pajak antar satu Negara dengan Negara yang lain berbeda. Perbedaan ini
disebabkan oleh lingkungan ekonomi, sosial, politik, dan budaya yang berlaku
dalam Negara tersebut. Sebagai contoh di Afrika, karena tingkat investasi
rendah, tarif pajak yang berlaku di Negara itu juga rendah. Akan tetapi jika kita
 bandingkan dengan Amerika, tidak mungkin tarif pajak yang diberlakukan di
 Negara tersebut sama dengan di Afrika. Hal ini jelas karena di Negara maju
seperti Amerika tingkat investasi sangat tinggi yang dibuktikan dengan tingkat
 pertumbuhan badan usaha yang semakin meningkat. Atas dasar inilah tarif
 pajak yang ditetapkan di Negara tersebut tinggi.

4. Tr ansfer Pri cing Atas Royalti

Perkembangan ekonomi global dan adanya persaingan internasional


membuat suatu perusahaan harus melakukan berbagai upaya untuk menguasai
 pasar dan mendekatkan diri dengan konsumen yang berada di berbagai Negara.
Perkembangan tersebut mengakibatkan banyak perusahaan di berbagai Negara
mengubah konsep bisnisnya menjadi perusahaan multinasional. Dalam konsep
 perusahaan multinasional ini, kontrol yang dimiliki oleh perusahaan induk
terhadap anak perusahaan di berbagai Negara seringkali menyebabkan terjadinya
transaksi internasional, yaitu transfer pricing. Transaksi transfer pricing dapat
 berupa transfer harga atas barang, jasa dan harta tidak berwujud. Transaksi antar
 perusahaan yang memiliki hubungan istimewa seringkali menimbulkan
ketidakwajaran harga transfer. Hal ini dilakukan sebagai upaya memonopoli pasar
global sebagai strategi bisnis ataupun untuk mengurangi total beban pajak global
yang harus ditanggung perusahaan akibat transaksi lintas Negara.

22
Contoh Kasus Tr ansfer Pricing 

Jika PT A mengekspor produk dengan harga pokok dan biaya lainnya US$100
ke XY di Negara PQ dengan harga US$200, atas laba US$100 dibayar PPh di
Indonesia sebesar US$30. Namun jika dijual ke perusahaan afiliasi SQ di Singapura
dengan harga transfer pricing sebesar US$120 dan kemudian SQ menjual kepada
XY dengan harga US$200. Maka, atas laba PT A sebesar US$20 dan QS sebesar
US$80 akan dibayar pajak sejumlah US$22 (di Indonesia US$6, dan di Singapura
US$16).
Dengan chanelling ke Singapura, dari laba global US$100 sudah didapat
 penghematan pajak sebesar US$8. Kalau SQ menjual ke perusahaan afiliasinya HK
di HongKong (yang mengenakan pajak korporasi sebesar US$16) dengan harga
US$150, maka atas laba di Indonesia US$20, di Singapura US$30 dan di HongKong
US$50 akan dibayar PPh sebesar US$20 (PT A membayar US$6, SQ membayar
US$6, dan HK membayar US$8). Dengan tiga tahap penjualan ini, terdapat
 penghematan pajak sebesar US$10. Jadi, semakin rendah tarif pajak Negara tempat
kedudukan perusahaan trading afiliasi yang dimanfaatkan dalam mata rantai
 perdagangan, semakin besar pula penghematan pajak dari praktik transfer pricing
ini.

23
BAB III

PEMBAHASAN KASUS

Simulasi Kasus Pajak Internasional

Wajib pajak A yang berkedudukan di Negara P yang mengenakan pajak


 penghasilan dengan tarif 25% mendapat penghasilan dari Negara Q sebesar 100.000.000
yang telah dikenakan pajak sebesar 30%, sedangkan penghasilan domestic adalah
200.000.000, berapakah pajak terutangnya ?

Penghasilan domestik (Negara P) 200.000.000


Penghasilan Luar Negeri (Negara Q) 100.000.000
Penghasilan global 300.000.000
Pajak terutang (300.000.000 x 25%) 75.000.000
Eksemsi pajak
100.000.000 – 75.000.000 (25.000.000)
Pajak Penghasilan kurang bayar 50.000.000

Jika, misalnya, dari operasi di Negara Q tersebut diperoleh kerugian sebesar 50,
maka penghitungan pajaknya adalah sebagai berikut :
Penghasilan domestik (Negara P) 200.000.000
Rugi Penghasilan Luar Negeri (Negara Q) (50.000.000)
Penghasilan global 150.000.000
Pajak Penghasilan kurang bayar:
37.500.000
25% x 150.000,000

Dengan demikian, apabila kegiatan diluar negeri mendapat kerugian sebagai


konsekuansi dari sistem pemajakan global, kerugian tersebut sepertinya dapat
mengurangi penghasilan kena pajak domestic. Namun secara berkesinambungan
 pengurangan tersebt harus dipulihkan/diganti kembali (recaptured ) pada periode
 berikutnya apabila memperoleh laba. Kalau misalnya, dalam contoh tersebut, pada

24
tahun berikutnya dari operasi di Negara Q didapat laba 150.000,000, di samping laba
domestik 250.000.000, maka penghitungan pajak terutangnya adalah:
Penghasilan domestik (Negara P) 250.000.000
Penghasilan Luar Negeri (Negara Q) (150.000.000)
Penghasilan global 400.000.000
Pajak terutang (400.000.000 x 25%) 100.000.000
Eksemsi pajak
Penghasilan luar negeri 150.000.000
Perhitungan rugi laba tahun lalu (50.000.000)
Basis penghitungan eksemsi 100.000.000
Eksemsi pajak 100.000.000 x 25% (25.000.000)
Pajak Penghasilan kurang bayar 75.000.000

25
DAFTAR PUSTAKA

Ikatan Akuntan Indonesia. 2015. Manajemen Perpajakan. Modul Chartered


Accountant. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai