Anda di halaman 1dari 15

MANAJEMEN PERPAJAKAN

TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS UNSUR-UNSUR BEBAN POKOK


PENJUALAN DAN PENGURANGAN PENGHASILAN BRUTO

Dosen Pengampu:

Ahmad Yazid S.E.,M.Si.Akt

Disusun oleh:

Nur Rokhman 12030122220031

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
ridho dan rahmatnya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok untuk mata kuliah
Manajemen Perpajakan dengan judul makalah Tax Planning dan Pengendalian atas Unsur-
Unsur Beban Pokok Penjualan dan Pengurangan Penghasilan Bruto.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Dan
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Semarang, 10 Mei 2023


Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ketentuan perpajakan maupun peraturan-peraturannya secara umum yang tergabung


dan ditertibkan dalam undang-undang atau peraturan-peraturan perpajakan lainnya yang
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap usaha, hal tersebut akan meningkatkan
kompetisi dan prestasi suatu badan usaha, dimana kegiatan usaha dilakukan untuk mencapai
tujuan perusahaan, yaitu untuk mencapai laba yang sebesar-besarnya dan meminimalisasikan
beban pajak yang ditanggung oleh perusahaan. Untuk meminimalkan beban pajak yang
ditanggung wajib pajak dapat dilakukan dengan cara rekayasa yang masih berada dalam
ruang lingkup perpajakan hingga diluar ketentuan perpajakan. Upaya untuk meminimalisasi
pajak sering disebut dengan teknik tax planning.
Tax planning adalah tindakan legal karena penghematan pajak hanya dilakukan
dengan memanfaatkan hal-hal yang tidak diatur oleh undang-undang. Tujuannya bukan
untuk menghindari pajak, tetapi mengatur sehingga pajak yang dibayar tidak lebih dari jumlah
yang seharusnya. Pajak Penghasilan Badan adalah pajak yang dihitung berdasarkan peraturan
perpajakan dan dikenakan atas penghasilan kena pajak perusahaan. Terdapat perbedaan
perhitungan pajak versi PSAK dengan versi fiskal, tetapi perbedaan tersebut tidak perlu
dipertentangan karena keduanya memiliki tujuan penggunaan yang berbeda, meskipun
pengukuran profitnya diperoleh dari sumber data yang sama, yaitu laporan keuangan
komersial.
Biaya yang dikeluarkan perusahaan ada yang dapat diperlakukan sebagai pengurang
penghasilan kena pajak dan ada pula yang tidak dapat diperlakukan sebagai biaya pengurang
penghasilan kena pajak. Selain jenis biayanya, hal ini juga ditentukan oleh tujuan
penggunaanya. Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh wajib pajak apabila pemilihan atau
pengakuannya tepat maka dapat mempengaruhi besarnya PPh terutang dari Wajib Pajak.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:


1. Apa yang dimaksud dengan foreign exchange loss ?

2. Apa yang dikmaksud dengan capital expenditure versus revenue expenditure ?

3. Bagaimana pemilihan metode persediaan ?

4. Bagaimana pemilihan metode penyusutan ?

5. Bagaimana menyiasati SE–46/PJ.4/1995 ?

6. Apakah yang dimaksud dengan cadangan kerugian piutang tak tertagih ?

7. Apakah yang dimaksud dengan biaya entertainment ?

8. Apa saja persyaratan–persyaratan beban promosi sesuai peraturan perpajakan ?

9. Berbagaimana pengujian untuk menguji kebenaran beban pokok penjualan ?

10. Bagaimana equalisasi beben pokok penjualan dan beban operasional dengan DPP
PPN Masukan ?

1.3 Tujuan Pembahasan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk :


1. Untuk mengetahui pengertian foreign exchange loss.

2. Untuk mengetahui pengertian capital expenditure versus revenue expenditure.

3. Untuk mengetahui pemilihan metode persediaan.

4. Untuk mengetahui pemilihan metode penyusutan.

5. Untuk menyiasati SE–46/PJ.4/1995.

6. Untuk mengetahui cadangan kerugian piutang tak tertagih.

7. Untuk mengetahui pengertian biaya entertainment.

8. Untuk mengetahui persyaratan–persyaratan beban promosi sesuai


peraturan perpajakan.
9. Mengetahui pengujian untuk menguji kebenaran beban pokok penjualan.

10. Untuk mengetahui equalisasi beben pokok penjualan dan beban operasional
dengan DPP PPN Masukan.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Foreign Exchange Loss


Undang – Undang Pajak Penghasilan Pasal 6 ayat (1e) berbunyi “Besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan
berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan, termasuk: Kerugian selisih kurs mata uang asing”. Hal ini juga diatur dalam Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE–03/PJ.31/1997 tentang Perlakuan Pajak
Penghasilan terhadap selisih Kurs. Kerugian selisih kurs mata uang asing akibat fluktuasi kurs,
pembebanannya dilakukan berdasarkan pembukuan yang dianut oleh Wajib Pajak dan
dilakukan secara taat asas. Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan :

1) Kurs tetap (kurs histori), pembebanan selisih kurs dilakukan pada saat terjadinya
realisasi perkiraan mata uang asing tersebut;

2) Kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun,
pembebanannya dilakukan pada setiap akhir tahun berdasarkan kurs tengah Bank
Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun.

Kerugian yang terjadi karena selisih kurs, dapat diakui sebagai pengurang penghasilan
sepanjang Wajib Pajak tersebut mempunyai sistem pembukuan yang diselenggarakan secara
taat asas, sesuai dengan bukti dan keadaan yang sebenarnya, dan dalam rangka kegiatan
usahanya atau berkaitan dengan usahanya.

Dalam undang-undang pajak penghasilan, keuntungan selisih kurs merupakan salah satu
bentuk penghasilan yang menjadi obyek pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf
I UU PPh. Dalam memori penjelasannya ditegaskan bahwa keuntungan yang diperoleh karena
fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan
dilakukan secara taat asa sesuai dengan PSAK yang berlaku di Indonesia.

Disisi lain, kerugian selisih kurs yang dialami oleh wajib pajak dapat dikurangkan dalam
menghitung penghasilan kena pajak bagi pajak dalam negeri dan BUT. Hal ini ditegaskan
dalam pasal 6 ayat (1) huruf e Undang-undang PPh.
Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 memperjelas perlakuan PPh atas
keuntungan atau kerugian selisih kurs ini, terutama dalam hal selisih kurs yang terkait dengan
penghasilan yang dikenakan PPh Final dan penghasilan yang bukan obyek pajak.
Pasal 9 ayat (1) menegaskan kembali prinsip umum sebagaimana sudah dinyatakan
dalam Undang-undang PPh, yaitu bahwa keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang
asing diakuisebagai penghasilan atau biaya berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan
dilakukan secara taat asa sesuai dengan SAK yang berlaku di Indonesia.
Pasal 9 ayat (2) menegaskan bahwa keuntungan atau kerugian selisih kurs yang terkait
langsung dengan kegiatan usaha wajib pajak yang dikenakan PPh final atau yang bukan obyek
pajak, tidak diakui sebagaimana penghasilan atau biaya.
Sementara itu, keuntungan atau kerugian selisih kurs yang tidak berkaitan langsung
dengan usaha Wajib Pajak yang dikenakan PPh final atau yang bukan obyek pajak, diakui
sebagai penghasilan atau biaya sepanjang biaya tersebut dipergunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan.

2.2 Capital Expenditure dan Revenue Expenditure


Secara akuntansi, pengeluaran terkait dengan perolehan aset tetap dibagi menjadi dua
yaitucapital expenditure dan revenue expenditure. Capital expenditure merupakan alokasi
uang yang direncanakan (dalam anggaran) untuk memperoleh aset tetap yang memiliki masa
manfaat ekonomi lebih dari satu periode akuntansi, seperti gudang atau tanah, yang akan
menjadi aset perusahaan. Aset-aset modal tersebut memiliki umur manfaat yang panjang dan
berpengaruh pada peningkatan kapasitas produksi bisnis. Perlakuan akuntansinya adalah
dengan mengapitalisasikan besar biaya yang dikeluarkan sebagai asset. Revenue expenditure
merupakan pengeluaran yang dikeluarkan dengan tujuan untuk memperoleh penghasilan pada
periode di mana pengeluaran dan beban tersebut terjadi, masa manfaatnya hanya satu periode
saja. Perlakuan akuntansinya adalah dengan mencatat biaya yang dikeluarkan sebagai beban.

Dalam pajak, capital expenditure tidak dapat dibebankan sekaligus dalam suatu
laporan keuangan. Untuk membebankan capital expenditure, Wajib Pajak harus menggunakan
metode depresiasi atau amortisasi. Hal ini diatur dalam UU Pajak Penghasilan (UU No. 36
tahun 2008) pasal 9 ayat (2). Sementara itu, revenue expenditure sepanjang digunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sehubungan dengan kegiatan usaha,
boleh dibebankan seluruhnya dalam suatu laporan keuangan. Dengan demikian, penting bagi
Wajib Pajak untuk mengetahui jenis pengeluaran yang dilakukannya terkait dengan aset tetap.
2.3 Pemilihan Metode Persediaan

Menurut Undang – Undang Pajak Penghasilan Pasal 10 ayat (6) berbunyi “Persediaan
dan pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok dinilai berdasarkan harga
perolehan yang dilakukan secara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang
diperoleh pertama”.

Pajak tidak mempunyai metode sendiri untuk menghitung persediaan, pajak mengikuti
akuntansi tetapi dibatasi yaitu persediaan hanya boleh dihitung dengan metode FIFO
(mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama) atau rata-rata. Ketika Wajib Pajak telah
memilih salah satu metode di atas dalam menilai persediaannya, Wajib Pajak tersebut harus
konsisten dengan pilihannya.

2.4 Pemilihan Metode Penyusutan

Masa manfaat dan tarif penyusutan ditetapkan berdasarkan kelompok aktiva tetap
bukan bangunan dan aktiva tetap bangunan terdapat dalam Perturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 96/PMK.03/2009 tentang Jenis-jenis Harta yang Termasuk dalam
Kelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan untuk Keperluan Penyusutan. menurut Undang
– Undang Pajak Penghasilan Pasal 11 ayat (6) diatur mengenai tarif penyusutannya yaitu :

Kelompok Tarif Metode


Masa Tarif Metode
Harta Bukan Garis Saldo
Manfaat Garis Lurus
Bangunan Menurun
Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 tahun 12,50% 25%
Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,50%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10%
Kelompok
Harta
Bangunan
Permanen 20 tahun 5%
Tidak Permanen 10 tahun 10%

Tabel 2.1 Tarif Penyusutan


Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa dalam penyusutan aset tetap, perpajakan
hanya mengizinkan penggunaan dua jenis metode penyusutan yaitu metode garis lurus dan
saldo menurun. Khusus untuk aset dalam bentuk bangunan, metode yang diizinkan hanya garis
lurus saja.

2.5 Menyiasati SE–46/PJ.4/1995

SE-46/PJ.4/1995 merupakan peraturan yang mengatur tentang perlakuan biaya bunga


yang dibayar atau terutang dalam hal Wajib Pajak memperoleh penghasilan berupa bunga
deposito atau tabungan lainnya. Menurut peraturan ini, besarnya bunga pinjaman yang boleh
dibebankan oleh Wajib Pajak adalah:

1. Apabila jumlah rata-rata pinjaman sama besarnya dengan atau lebih kecil dari
jumlah rata-rata dana yang ditempatkan sebagai deposito berjangka atau tabungan
lainnya, maka bunga pinjaman tersebut seluruhnya tidak dapat dibebankan sebagai
biaya.
2. Apabila jumlah rata-rata pinjaman lebih besar dari jumlah rata-rata yang ditempatkan
dalam bentuk deposito atau tabungan lainnya, maka bunga pinjaman yang boleh
dibebankan hanya sebesar bunga yang dibayar atau terutang atas rata-rata pinjaman
yang melebihi jumlah rata-rata dana yang ditempatkan dalam deposito.

Peraturan ini juga memberikan pengecualian mana bunga pinjaman dapat di


bebankan sesuai dengan pasal 6 ayat (1) UU Pajak Penghasilan dalam hal :

1. Dana pinjaman tersebut disimpan/ditempatkan dalam bentuk rekening giro yang


atas jasanya dikenakan pajak bersifat final.
2. Adanya keharusan untuk menempatkan dana dalam jumlah tertentu pada suatu
bank dalam bentuk deposito sepanjangan jumlahnya semata-mata untuk memenuhi
keharusan tersebut, misalnya cadangan biaya reklamasi yang harus ditempatkan dalam
bentuk deposito atau tabungan di Bank Pemerintah.
3. Adanya bukti bahwa penempatan deposito atau tabungan dananya berasal dari
tambahan modal dari sisa laba setelah pajak.

2.6 Cadangan Kerugian Piutang Tak Tertagih

Pasal 9 ayat (1c) UU Pajak Penghasilan menyebutkan bahwa pembentukan atau


pemupukan dana cadangan tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, kecuali:
1. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan
konsumen, dan perusahaan anjak piutang.
2. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk
oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang meliputi cadangan premi tanggungan
sendiri dan klaim tanggungan sendiri untuk perusahaan asuransi serta cadangan premi
untuk perusahaan asuransi jiwa.
3. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan yaitu cadangan
penjaminan untuk lembaga yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan
dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan
kewenangannya.
4. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan yaitu cadangan biaya untuk
kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu
sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdaya guna
sesuai peruntukannya.
5. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan yaitu cadangan biaya
penanaman kembali bagi perusahaan yang diwajibkan melakukan penanaman
kembali atas hutan yang telah dieksploitasi untuk usaha terkait dengan sistem
pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan
yang diselenggarakan secara terpadu.
6. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri
untuk usaha pengolahan limbah industri yaitu cadangan biaya penutupan dan
pemeliharaan bagi perusahaan yang mengolah limbah industri yang mencakup
kegiatan penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan
limbah industri dan penimbunan hasil pengolahan limbah industri.

Besarnya cadangan piutang tak tertagih yang boleh dibebankan tersebut diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2009 jo. Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 219/PMK.011/2012.

2.7 Biaya Entertainment

Biaya entertainment merupakan salah satu jenis biaya yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto sepanjang biaya tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan. Untuk dapat membebankannya, Wajib Pajak harus membuat daftar
nominatif seperti yang dilampirkan oleh Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-27/PJ.22/1986
tentang biaya entertainment dan sejenisnya. Dalam hal manajemen pajak, Wajib Pajak harus
membuat daftar ini agar seluruh biaya entertainment yang berhubungan dengan usaha dapat
dibebankan.

2.8 Persyaratan–persyaratan Beban Promosi Sesuai Peraturan Perpajakan

Biaya promosi yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 02/PMK.03/2010. Besarnya biaya promosi yang boleh dibebankan
merupakan akumulasi dari jumlah:

1. Biaya periklanan di media elektronik, media cetak, dan/atau media lainnya,


2. Biaya pameran produk,
3. Biaya pengenalan produk baru, dan/atau
4. Biaya sponsorship yang berkaitan dengan promosi produk.

Apabila Wajib Pajak melakukan promosi dalam bentuk pemberian sampel produk,
maka biaya promosi yang dapat dibebankan adalah sebesar harga pokok sampel produk yang
diberikan sepanjang harga tersebut belum dibebankan dalam perhitungan harga pokok
penjualan. Pemberian imbalan berupa uang dan/atau fasilitas kepada pihak lain yang tidak
berkaitan langsung dengan penyelenggaraan promosi serta biaya promosi yang bukan
merupakan objek pajak dan/atau yang telah dikenai pajak bersifat final tidak termasuk dalam
biaya promosi yang dapat dibebankan. Wajib Pajak harus membuat daftar nominatif atas biaya
promosi sesuai dengan format yang dilampirkan dalam PMK Nomor 02/PMK.03/2010 dan
melampirkannya dalam SPT Tahunan Badan.

2.9 Berbagai Pengujian untuk Menguji Kebenaran Beban Pokok Penjualan

Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-04/PJ/2012 menyebutkan bahwa terdapat


beberapa teknik yang dapat digunakan pemeriksa untuk mendapatkan temuan dalam
pemeriksaannya seperti pemanfaatan informasi internal dan/atau eksternal Direktorat Jenderal
Pajak, pengujian keabsahan dokumen, evaluasi, analisis angka-angka, penelusuran angka-
angka (tracing), penelusuran bukti, pengujian keterkaitan, ekualisasi atau rekonsiliasi,
permintaan keterangan atau bukti, konfirmasi, inspeksi, pengujian kebenaran fisik, pengujian
kebenaran perhitungan matematika, wawancara, uji petik, teknik audit berbantuan Komputer,
dan teknikteknik pemeriksaan lainnya.
Dalam menguji kebenaran beban pokok penjualan, pemeriksa dapat melakukan teknik
pengujian keterkaitan yaitu pengujian yang dilakukan untuk meyakini suatu transaksi
berdasarkan pengujian atas mutasi pos-pos lain yang terkait atau berhubungan dengan
transaksi tersebut. Adapun pos yang berkaitan dalam rangka pengujian keterkaitan untuk
menguji kebenaran beban pokok penjualan antara lain:

1. Pembelian – Pelunasan Utang Usaha


2. Barang Masuk/Keluar – Mutasi Persediaan

Pengujian Keterkaitan berhubungan dengan beban pokok penjualan:

1. Pengujian arus barang yaitu untuk memastikan kebenaran semua unit barang yang
keluar ataupun masuk ke gudang dengan mempertimbangkan aspek-aspek seperti
pemakaian sendiri, barang rusak, sampel, pemberian cuma-cuma, retur pembelian,
barang dalam pengiriman, dan lainnya.
2. Formula :

HPP = Saldo Awal Persediaan + Pembelian – Saldo Akhir Persediaan

Pengujian arus utang yaitu untuk memastikan pembelian barang secara kredit.

Formula :

Pembelian = Saldo Akhir Utang Usaha + Pembelian Tunai + Pelunasan Utang


Usaha – Saldo Awal Utang Usaha +/- Penyesuaian

2.10 Equalisasi Beban Pokok Penjualan dan Beban Operasional dengan DPP PPN
Masukan

Secara teori, seharusnya besarnya nilai Pajak Masukan yang dimiliki oleh Wajib
Pajak adalah 10% dari total pembelian yang dilakukannya. Namun, pada kenyataannya
sering terjadi perbedaan antara Pajak Masukan dan pembelian yang disebabkan karena
beberapa hal:

1. Wajib Pajak tidak sepenuhnya melakukan pembelian dari Pengusaha Kena Pajak
(PKP) sehingga tidak ada Faktur Pajak yang diterima.
2. Wajib Pajak telah melakukan pembayaran uang muka kepada pemasok, namun
barang belum dikirim dan belum diterima. Wajib Pajak telah menerima faktur
pajak masukan dari pemasok sesuai dengan peraturan PPN.
3. Wajib Pajak menerima Faktur Pajak Masukan selain dari pemasok barang dagang
akibat adanya transaksi lain seperti pembelian aset tetap, pengangkutan barang,
dan transaksi lain dengan pemasok lainnya yang menunjang kegiatan operasional.
4. Wajib Pajak menerima Faktur Pajak cacat sehingga tidak dapat dikreditkan.

Dengan melakukan ekualisasi (Rekonsiliasi), Wajib Pajak dapat mengetahui


perbedaan yang ada serta mencari tahu penyebab atas perbedaan tersebut. Hal ini dilakukan
sebagai persiapan dalam memberikan tanggapan kepada Account Representative apabila
Wajib Pajak diperiksa oleh otoritas pajak.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kerugian yang terjadi karena selisih kurs, dapat diakui sebagai pengurang penghasilan
sepanjang Wajib Pajak tersebut mempunyai sistem pembukuan yang diselenggarakan secara
taat asas, sesuai dengan bukti dan keadaan yang sebenarnya, dan dalam rangka kegiatan
usahanya atau berkaitan dengan usahanya.

Untuk menghitung persediaan pajak tidak memiliki metode tersendiri, pajak mengikuti
akuntansi tetapi dibatasi yaitu persediaan hanya boleh dihitung dengan metode FIFO
(mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama) atau rata-rata. Ketika Wajib Pajak telah
memilih salah satu metode di atas dalam menilai persediaannya, Wajib Pajak tersebut harus
konsisten dengan pilihannya.

Perpajakan hanya mengizinkan penggunaan dua jenis metode penyusutan yaitu metode
garis lurus dan saldo menurun. Khusus untuk aset dalam bentuk bangunan, metode yang
diizinkan hanya garis lurus saja.
DAFTAR PUSTAKA

Ikatan Akuntan Indonesia. 2015. Modul Chartered Accountant Manajemen Perpajakan.


Jakarta Pusat : Ikatan Akuntan Indonesia.Muljono, Djoko. 2009. Tax Planning Menyiasati
Pajak dengan Bijak. Yogyakarta: Andi Offset.

Anda mungkin juga menyukai