Anda di halaman 1dari 8

202050103 – THEODORE SEBASTIAN – SEMINAR DASAR – DASAR

PERPAJAKAN INTERNASIONAL
LATAR BELAKANG
Perpajakan Internasional merupakan alat untuk mengetahui perbedaan pajak dalam negeri
dan memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di masing-masing
negara, pemerintah berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan dan
investasi tersebut. Adalah merupakan suatu tujuan ekonomi dalam negara untuk memajukan
perdagangan di tiap dan antar negara serta mendorong laju investasi. Dan setiap pemerintah
suatu negara berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan investasi
dimana salah satunya adalah dengan melakukan penghindaran pajak berganda. Sehingga
yang melatar belakangi suatu pajak internasional dapat disimpulkan sebagai berikut :
 Indonesia adalah bagian dari dunia Internasional; dalam era globalisasi Indonesia
perlu menjalin hubungan dengan negara lain, mengadakan transaksi-transaksi lintas
batas yang saling menguntungkan dan mengizinkan entitas asing untuk melakukan
kegiatan ekonomi dan memperoleh penghasilan di Indonesia.
 Penghasilan entitas asing di dalam negeri bisa menjadi sumber pendapatan pajak
bagi Indonesia; Menurut benefit theory of taxation, pemajakan ini bisa dilakukan
karena terdapat hubungan (economic attachment) antara Indonesia sebagai negara
sumber (Source State) dengan aktivitas yang memberikan penghasilan tersebut.
 Penghasilan entitas asing di Indonesia bisa menjadi sumber pendapatan perpajakan
bagi negara domisili entitas asing tersebut; negara yang menjadi domisili
entitas asing (residence state) juga berhak atas pajak penghasilan yang bersumber dari
luar negaranya karena terdapat keterkaitan antara negara negara dengan subjek pajak
dalam negerinya (personal attachment).
 Maka diperlukan adanya perjanjian perpajakan internasional
yang mengatur pemajakan penghasilan entitas asing didalam negeri dan penghasilan
entitas dalam negeri dari luar negeri; Yang bertujuan adalah untuk
menghindari terjadinya pemajakan berganda yang memberatkan wajib pajak masing-
masing negara.
Sehingga berbicara perpajakan internasional adalah berbicara suatu permasalahan yang rumit
dan complicated karena mencakup hak pemajakan (taxing right) suatu negara. Karena
masing-masing negara sangat berkepentingan terhadap kebijakan perpajakan internasional
yang baik yang dipilih oleh PBB maupun OECD (Organisation for Economic Co-operation
and Development). Hal ini disebabkan karena dalam menyusun Perjanjian Penghindaraan
Pajak Berganda (Tax Treaty), maupun kebijakan Perpajakan Internasional dalam UU
Domestik, ada 2 (dua) ‘kiblat’ yaitu :
 United Nations (UN) Model
 OECD Model
1. Pengantar Perpajakan Internasional – UU PPH
Subjek Pajak Pasal 2 dan Pasal 3
Objek Pajak Pasal 4 ayat (1)

Pasal 5 ayat (1) dan

Pasal 26 ayat (1),(2), dan (4)

Menghitung PPH Terutang Pasal 16,

Pasal 17, dan

Pasal 26

Kredit Pajak Luar Negeri Pasal 24


Anti Penghindaran Pajak Pasal 18
Tax Treaty & Perjanjian Internasional Pasal 32A

OUTLINE
1. Pengantar Perpajakan Internasional
2. Karakteristik P3B
3. Implementasi Dosmetik P3B
4. Penghasilan
5. Lets Read a Tax Treaty

1. Pengantar Perpajakan Internasional


Azas Residensi adalah
 Residence Principle (Azas Residensi), Hak Negara mengenakan pajak
kepada seseorang (individu atau badan) karena terdapat “personal
attachment”, seperti: residensi, domisili, kewarganegaraan, tempat
pendirian, tempat kedudukan manajemen. (Worldwide Income)
Source Principle adalah
 Source Principle (Azas Sumber), Hak Negara mengenakan pajak
kepada seseorang (individu atau badan) karena terdapat “economic
attachment” yaitu penghasilan yang bersumber di Negara tersebut.
Beberapa prinsip dalam perpajakan internasional yang salah satunya
dikemukakan oleh Doernberg (1989) menyebut 3 unsur netralitas yang
harus dipenuhi dalam kebijakan perpajakan internasional, yaitu :
1. Capital Export Neutrality (Netralitas Pasar Domestik): Kemanapun
kita berinvestasi, beban pajak yang dibayar haruslah sama. Sehingga
tidak ada bedanya bila kita berinvestasi di dalam atau luar negeri.
Maka jangan sampai bila berinvestasi di luar negeri, beban pajaknya
lebih besar karena menanggung pajak dari dua negara. Hal ini akan
melandasi UU PPh Psl 24 yang mengatur kredit pajak luar negeri.
2. Capital Import Neutrality (Netralitas Pasar Internasional):
Darimana pun investasi berasal, dikenakan pajak yang sama.
Sehingga baik investor dari dalam negeri atau luar negeri akan
dikenakan tarif pajak yang sama bila berinvestasi di suatu negara.
Hal ini melandasi hak pemajakan yang sama dengan Wajib Pajak
Dalam Negeri (WPDN) terhadap permanent establishment (PE) atau
Badan Uasah Tetap (BUT) yang dapat berupa cabang perusahaan
ataupun kegiatan jasa yang melewati time-test dari peraturan yang
berlaku.
3. National Neutrality: Setiap negara, mempunyai bagian pajak atas
penghasilan yang sama. Sehingga bila ada pajak luar negeri yang
tidak bisa dikreditkan boleh dikurangkan sebagai biaya pengurang
laba.

RUANG LINGKUP
Untuk memudahkan dalam pemahaman tentang pajak internasional
khususnya ditinjau dari Subjek dan Objek Pajak, maka dapat
dikategorikan menjadi 2 (dua) pandangan yaitu :
1. Taxing Inbound Income ; Pemajakan atas Subjek Pajak Dalam
Negeri (SPDN) yang memperoleh penghasilan yang bersumber dari
luar negeri.
2. Taxing Outbound Income ; Pemajakan atas Subjek Pajak Luar Negeri
(SPLN) yang memperoleh penghasilan yang bersumber dari dalam
negeri.
Upaya Penghindaran Pajak Berganda Internasional
 Tax Treaty (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda/P3B): yaitu
perjanjian antara 2 negara untuk menghindari pajak berganda untuk
memajukan investasi antara 2 negara tersebut. Untuk active income,
Biasanya negara sumber hanya berhak memajaki penghasilan dari
cabang (BUT) dan penghasilan dari aset tak bergerak yang berhasil
dari negara sumber tersebut. Bila ekspor-impor biasa tanpa BUT
maka negara sumber tidak bisa memajaki. Penghasilan pegawai
hanya boleh dipajaki bila melewati time-test atau dibayar oleh WPDN
ataupun BUT. Untuk passive income seperti deviden, bunga dan
royalti, kedua negara berhak memajaki namun terdapat pengurangan
tarif.
 Kredit Pajak Luar Negeri: Yaitu jumlah pajak yang dibayarkan di luar
negeri dapat dijadikan pengurang pajak penghasilan secara
keseluruhan. Di Indonesia diatur dalam UU PPh pasal 24. Dimana
kredit pajak luar negeri hanya sebatas: Penghasilan LN/(Semua
penghasilan LN dan DN) x PPh terutang untuk semua penghasilan.

Beberapa Permasalahan Dalam Perpajakan Internasional


1. Transfer Pricing: Kegiatan ini adalah mentransfer laba dari dalam
negeri ke perusahaan dengan hubungan istimewa di negara lain yang
tarif pajaknya lebih rendah. Hal ini dapat dilakukan dengan
membayar harga penjualan yang lebih rendah dari harga pasar,
membiayakan biaya-biaya lebih besar daripada harga yang
wajar, thin capitalization (memperbesar utang dengan beban bunga
untuk mengurangi laba). Misalnya: tarif pajak di Indonesia 28%, di
Singapura 25%. PT A punya anak perusahaan B Ltd di Singapura,
maka laba di PT A dapat digeser ke B Ltd yang tarifnya lbh kecil
dengan cara B LTd meminjamkan uang dengan bunga yang besar,
sehingga laba PT A berkurang, memang pendapatan B Ltd
bertambah namun tarif pajaknya lebih kecil. Hal bisa juga dilakukan
dengan PT A menjual rugi (mark down) barang dan jasa (harga jual
di bawah ongkos produksinya) ke B Ltd. Di Indonesia, transfer
pricing dicegah dalam UU PPh pasal 18 dimana pihak fiskus berhak
mengkoreksi harga transaksi, penghitungan utang sebagai modal dan
DER (Debt Equity Ratio).
2. Treaty Shopping: Fasilitas di tax treaty justru bukannya
menghindarkan pajak berganda namun malah memberi kesempatan
bagi subjek pajak untuk tidak dikenakan pajak dimana-mana.
Misalnya: Investasi SBI di bursa singapura dibebaskan pajak. Treaty
Shopping diredam dengan ketentuan beneficial owner (penerima
manfaat) dalam tax treaty (P3B) baik yang memakai model OECD
maupun PBB sehingga tax treaty hanya berlaku bila penerima
manfaat yang sebenarnya adalah residen di negara yang
menandatangani tax treaty.
3. Tax Heaven Countries: Negara-negara yang memberikan keringanan
pajak secara agresif seperti tarif pajak rendah, pengawasan pajak
longgar telah membuat penerimaan pajak dari negara-negara
berkembang merosot tajam. Negara tax heaven yang termasuk dalam
KMK No.650/KMK04/1994 antara lain Argentina, Bahrain, Saudi
Arabia, Mauritius, Hongkong, Caymand Island, dll. Saat ini negara
tax heaven sedang dimusuhi dunia internasional, pengawasan tax
avoidance (penghindaran pajak) di negara-negara tersebut sedang
gencar-gencarnya. Berinvestasi di negara tax heaven beresiko besar
terkena koreksi UU PPh Pasal 18. Lebih baik berinvestasi pada
negara dengan tax treaty.

Penyebab Terjadinya Pajak Berganda Internasional


Perpajakan berganda terjadi karena benturan antar klaim perpajakan. Hal
ini karena adanya prinsip perpajakan global untuk wajib pajak dalam
negeri (global principle) dimana penghasilan dari dalam luar negeri dan
dalam negeri dikenakan pajak oleh negara residen (negara domisili wajib
pajak). Selain itu, terdapat pemajakan teritorial (source principle) bagi
wajib pajak luar negeri (WPLN) oleh negara sumber penghasilan dimana
penghasilan yang bersumber dari negara tersebut dikenakan pajak oleh
negara sumber. Hal ini membuat suatu penghasilan dikenakan pajak dua
kali, pertama oleh negara residen lalu oleh negara sumber Misalnya: PT A
punya cabang di Jepang. Penghasilan cabang di jepang dikenakan pajak
oleh fiskus Jepang. Lalu di Indonesia penghasilan itu digabung dengan
penghasilan dalam negeri lalu dikalikan tarif pajak UU domestik Indonesia.
Dari beberapa referensi tentang Pengertian Perpajakan Internasional,
terdapat elemenelemen penting:
1. Ketentuan perpajakan domestik suatu negara (bukan aturan
internasional tentang perpajakan),
2. Yang mempunyai aspek mengatur transaksi internasional (lintas
negara/jurisdiksi),
3. Umumnya hanya mencakup perlakuan perpajakan atas penghasilan atau
modal, dan
4. Termasuk tax treaty (Perpajakan Internasional bukan berarti Tax Treaty
saja, Treaty adalah bagian dari Perpajakan Internasional).
Keadilan Pemajakan
 Keadilan horizontal: Subjek pajak yang memperoleh jumlah
penghasilan yang sama menanggung beban pajak yang sama.

 Keadilan vertikal: Subjek pajak yang memperoleh penghasilan yang


lebih besar akan menanggung beban pajak yang lebih besar.

Anda mungkin juga menyukai